METODE DETEKSI CENDAWAN PENYEBAB INFEKSI
LATEN PADA BUAH JERUK IMPOR
DAN PERLAKUAN FITOSANITARI
NURHOLIS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Metode Deteksi Cendawan Penyebab Infeksi Laten pada Buah Jeruk Impor dan Perlakuan Fitosanitari adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN
NURHOLIS. Metode Deteksi Cendawan Penyebab Infeksi Laten pada Buah Jeruk Impor dan Perlakuan Fitosanitari. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA dan EFI TODING TONDOK.
Infeksi laten adalah hubungan parasitik patogen yang bersifat dorman dalam tanaman inang, yang dapat berubah menjadi patogen yang aktif. Patogen infeksi laten pada buah jeruk impor berpotensi tinggi sebagai sumber inokulum yang dapat menyebabkan epidemik penyakit tumbuhan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah tersedianya metode yang akurat, cepat dan dapat diaplikasikan untuk mendeteksi cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor dan diperolehnya perlakuan fitosanitari yang efektif dalam mematikan cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor.
Deteksi cendawan penyebab infeksi laten telah dilakukan berdasarkan studi kasus buah jeruk impor asal Argentina melalui pintu pemasukan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Deteksi cendawan telah dilakukan pada bagian kalik, kulit, biji dan karpel dari buah jeruk menggunakan metode konvensional dan molekuler. Deteksi secara konvensional terdiri atas direct agar plating technique (DAPT), kombinasi senescence stimulating technique (SST) dan DAPT, overnight freezing incubation technique (ONFIT), kombinasi SST dan Inkubasi. Deteksi secara molekuler menggunakan pasangan primer universal ITS1F dan ITS4. Iradiasi UV-C digunakan sebagai perlakuan fitosanitari yang dilaksanakan secara in vitro dan in vivo terhadap cendawan temuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk berhasil dideteksi menggunakan metode konvensional dan molekuler. metode DAPT berhasil mendeteksi Alternaria citri, Colletotrichum gloeosporioides dan Fusarium incarnatum pada hari ketiga setelah inkubasi. Cendawan yang sama juga ditemukan melalui metode kombinasi SST dan DAPT pada hari kedua setelah inkubasi. Menggunakan metode ONFIT berhasil menemukan A. citri, C. gloeosporioides, F. incarnatum, C. boninense dan Guignardia mangiferae pada hari ketiga setelah inkubasi. Metode kombinasi SST dan inkubasi tidak menemukan cendawan. Temuan kelima spesies cendawan tersebut adalah hasil identifikasi secara konvensional melalui karakter morfologi yang diperkuat oleh teknik identifikasi secara molekuler. Keberadaan DNA cendawan infeksi laten dalam buah jeruk juga berhasil dideteksi secara langsung melalui metode molekuler. Hasil sikuen mengidentifikasi cendawan tersebut adalah Alternaria sp. dan Fusarium sp. Perlakuan UV-C terbukti efektif mematikan semua cendawan temuan pada pengujian in vitro selama 120 menit dan mampu menghambat pertumbuhan A. citri dan C. gloeosporioides hingga 100% pada pengujian in vivo selama 5 jam
SUMMARY
NURHOLIS. Detection Methods of Fungal Latent Infection on Imported Citrus Fruits and Phytosanitary Treatment. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA and EFI TODING TONDOK.
Latent infection is a quiescent or dormant parasitic relationship of pathogens on their host, which can change into an active one. The latent infection pathogens on imported citrus fruits have high potential as the source of inoculum for plant disease epidemic in Indonesia. The objectives of this study are to detect the latent pathogens in imported citrus fruits and to obtain phytosanitary treatment for controlling the pathogens.
Detections of the fungal latent infection have been done to the case study of imported citrus fruits from Argentina through entry point of Tanjung Perak Sea Port, Surabaya. Detection of fungi were done on calyx, peel, seed and carpel of citrus fruits using conventional and molecular methods. Conventional detections have been performed through direct agar plating technique (DAPT), senescence stimulating technique (SST) and DAPT combination, overnight freezing incubation technique (ONFIT), SST and incubation combination. A pair of universal primer ITS1F and ITS4 has been used in molecular detection. The UV-C irradiation has been tested as phytosanitary treatment that was carried out by in vitro and in vivo test.
The result of the study showed that fungal latent infection on imported citrus fruits were successfully detected by conventional and molecular methods. Through DAPT methods, have been detected Alternaria citri, Colletotrichum gloeosporioides and Fusarium incarnatum at the third days after incubation. The same species were obtained by combination methods of SST and DAPT at the second days after incubation. Moreover, through the ONFIT methods have been found A. citri, C. gloeosporioides, F. incarnatum, C. boninense and Guignardia mangiferae at the third days after incubation. No fungi were found by combined SST and incubation methods. The five species of the fungal latent infection were conventionally identified by morphological characters and confirmed by molecular identification techniques. The universal primers were able to amplify the fungal DNA on fresh citrus fruits. Sequencing of DNA showed that the fungi were Alternaria sp. and Fusarium sp. The UV-C treatment for 120 minutes showed an effective treatment against all detected fungi in vitro test. The fungal growth of A. citri and C. gloeosporioides can be inhibited 100% by exposing UV-C for 5 hours in vivo test.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
METODE DETEKSI CENDAWAN PENYEBAB INFEKSI
LATEN PADA BUAH JERUK IMPOR
DAN PERLAKUAN FITOSANITARI
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 sampai Maret 2015 ini adalah Metode Deteksi Cendawan Penyebab Infeksi Laten pada Buah Jeruk Impor dan Perlakuan Fitosanitari.
Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc dan Dr Efi Toding Tondok, SP MSc sebagai komisi pembimbing yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis selama penelitian berlangsung hingga selesainya penyusunan karya ilmiah ini;
2. Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc sebagai Ketua Program Studi Fitopatologi dan Dr Ir Pudjianto, MSi sebagai Ketua Program Studi Entomologi yang selalu memotivasi baik selama perkuliahan hingga selesainya penyusunan karya ilmiah ini;
3. Dr Ir Antarjo Dikin, MSc, Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati, sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan saran perbaikan tesis ini;
4. Dr Ir Eliza Rusli, MSi, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta ijin berupa sarana dan prasarana penunjang penelitian di Laboratorium Karantina Uji, BBKP Surabaya;
5. Dr Ir M. Mussyafak Fauzi, SH MSi, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Seokarno Hatta Jakarta, yang telah memberikan ijin berupa sarana dan prasarana penunjang penelitian;
6. Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa pendidikan program khusus magister Sains di Institut Pertanian Bogor;
7. Rekan-rekan mahasiswa program khusus magister sains karantina tumbuhan angkatan 3, atas semangat dan kebersamaannya selama menjalani studi;
8. Resti Indah Hayati Sukma (istri), Alesha Azqia Nurputri Sukma (anak), Eman Sulaeman dan Jariyah (kedua orang tua) atas dukungan, pengertian, segala doa dan kasih sayangnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini tepat pada waktunya.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi Badan Karantina Pertanian dalam upaya cegah tangkal Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
DAFTAR TABEL
1 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode direct agar
plating technique (DAPT) 19
2 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode kombinasi
senescence stimulating technique (SST) dan DAPT 20 3 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode overnight
freezing incubation technique (ONFIT) 21
4 Spesies cendawan laten temuan dengan metode deteksi
konvensional dan molekuler 23
5 Identifikasi isolat cendawan laten temuan secara konvensional
dan molekuler 23
6 Morfometri konidia cendawan laten temuan 26
7 Tingkat homologi 535 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat
A. citri temuan dengan isolat dari negara lain 28 8 Tingkat homologi 539 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat
C. gloeosporioides temuan dengan isolat dari negara lain 30 9 Tingkat homologi 571 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat
C. boninense temuan dengan isolat dari negara lain 31 10 Tingkat homologi 621 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat
G. mangiferae temuan dengan isolat dari negara lain 33 11 Tingkat homologi 591 pb sikuen nukleotida area ITS DNA isolat
F. incarnatum temuan dengan isolat dari negara lain 35 12 Rata-rata persentase penghambatan perlakuan UV-C in vitro
terhadap cendawan temuan pada 5 hari setelah inkubasi 39 13 Rata-rata persentase penghambatan perlakuan UV-C in vivo
terhadap kemunculan A. citri dan C. Gloeosporioides pada 7 hari
setelah inkubasi 40
DAFTAR GAMBAR
1 Anatomi buah jeruk 5
2 Gejala penyakit bercak hitam disebabkan oleh G. citricarpa 6 3 Gejala penyakit busuk hitam disebabkan oleh A. citri 6 4 Gejala penyakit melanosa disebabkan oleh D. citri 7 5 Gejala penyakit antraknosa disebabkan oleh C. gloeosporioides 7 6 Gejala penyakit busuk coklat disebabkan oleh P. citrophthora 8 7 Gejala penyakit busuk pangkal buah disebabkan oleh B.
theobromae 9
8 Gejala penyakit busuk asam disebabkan oleh G. citri-aurantii 9 9 Gejala penyakit busuk disebabkan oleh P. italicum dan P.
digitatum 10
10 Posisi ultraviolet dalam spektrum elektromagnetik 12 11 Kemunculan cendawan laten dengan metode direct agar plating
12 Kemunculan cendawan laten dengan metode kombinasi
senescence stimulating technique (SST) dan DAPT 20 13 Kemunculan cendawan laten dengan metode overnight freezing
incubation technique (ONFIT) 21
14 Hasil amplifikasi DNA cendawan pada buah jeruk impor dengan
primer universal 22
15 Visualisasi hasil amplifikasi DNA target dengan primer spesifik
A. citri pada 1,2 % gel agarosa 25
16 Pohon filogeni isolat A. citri temuan dan isolat dari negara lain 27
17 Morfologi A. citri 27
18 Pohon filogeni isolat C. gloeosporioides temuan dan isolat dari
negara lain 29
19 Morfologi C. gloeosporioides 29
20 Morfologi C. boninense 31
21 Pohon filogeni isolat C. boninense temuan dan isolat dari negara
lain 32
22 Morfologi G. mangiferae 32
23 Pohon filogeni isolat G. mangiferae temuan dan isolat dari negara
lain 33
24 Morfologi F. incarnatum 34
25 Pohon filogeni isolat F. incarnatum temuan dan isolat dari negara
lain 35
26 Gejala penyakit oleh cendawan laten temuan hasil postulat Koch 36 27 Skor keparahan penyakit busuk hitam Alternaria yang disebabkan
oleh A. citri 37
28 Pertumbuhan koloni cendawan laten setelah perlakuan UV-C in
vitro 38
29 Koloni cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vitro 39 30 Pertumbuhan cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vivo 41 31 Pertumbuhan cendawan laten setelah perlakuan UV-C in vivo 42 32 Kotak lampu UV-C merk Camag yang digunakan untuk
perlakuan UV-C in vitro 69
33 Lemari UV-C yang digunakan untuk perlakuan UV-C in vivo 69
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data pengukuran konidia cendawan temuan 51
2 Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan A. citri
temuan dengan beberapa isolat dari negara lain 53 3 Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan C.
gloeosporioides temuan dengan beberapa isolat dari negara lain 55 4 Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan C. boninense
temuan dengan beberapa isolate dari negara lain 57 5 Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan G.
mangiferae temuan dengan beberapa isolat dari negara lain 59 6 Perunutan basa nukleotida area ITS DNA cendawan F.
7 Rata-rata diameter koloni cendawan harian setelah perlakuan
beberapa waktu papar UV-C 64
8 Rata-rata jumlah buah yang ditumbuhi miselia cendawan setelah
perlakuan beberapa waktu papar UV-C 65
9 Sidik ragam (ANOVA) rata-rata persentase penghambatan perlakuan beberapa waktu papar UV-C in vitro terhadap
cendawan temuan 66
10 Sidik ragam (ANOVA) rata-rata persentase penghambatan perlakuan beberapa waktu papar UV-C in vivo terhadap
cendawan temuan 68
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan buah-buahan Indonesia pada tahun 2013 adalah 15.49 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya mencapai 13.85 juta ton (BPS 2013). Hal ini berarti terjadi kekurangan produksi buah-buahan sebesar 1.64 juta ton. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 03 tahun 2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa dalam rangka mencukupi kebutuhan produk hortikultura di dalam negeri dapat dilakukan melalui impor produk hortikultura, dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan produk hortikultura yang belum tercukupi dari pasokan di dalam negeri.
Ketentuan kuota sebagaimana diatur dalam Permentan No. 03 tahun 2012 tersebut, bertentangan dengan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT) (RI 1994). GATT melarang pengaturan kuota didalam perdagangan bebas, namun Sanitary and Phytosanitary (SPS) Agreement menyebutkan untuk menjamin kualitas produk pertanian yang dilalulintaskan dan melindungi tumbuh-tumbuhan atau pertanian di negaranya, setiap anggota berhak untuk mengambil tindakan yang berkaitan dengan fitosanitari, tetapi harus tetap didasarkan pada prinsip atau kaidah dan bukti ilmiah yang cukup (Anderson dan Nielsen 2005; Roberts 2005). Pemahaman kualitas dalam produk pertanian yang diimpor ke dalam suatu negara adalah produk tersebut harus zero tolerance bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) (Sikdar et al. 2014). Oleh karena itu, untuk memastikan produk pertanian yang diimpor tersebut berkualitas bebas OPTK harus dilakukan deteksi dini yang cepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah di setiap tempat pemasukan (Faisal et al. 2011).
memberikan ancaman terhadap pertanian di Indonesia. Oleh karena itu, sudah sangat diperlukan metode yang dapat mendeteksi cendawan penyebab infeksi laten pada buah-buahan impor.
Michailides et al. (2010) melaporkan bahwa metode Direct Agar Plating Technique (DAPT) mampu mendeteksi pertumbuhan cendawan Monilinia spp. dalam waktu inkubasi 4 sampai 7 hari pada suhu 25 °C. Luo dan Michailides (2001) mampu mendeteksi Monilinia fructicola yang terinfeksi laten pada stadia pembungaan tanaman dalam 5 sampai 7 hari setelah inkubasi (HSI). Selain itu, M. fructicola, M. laxa, (penyebab busuk coklat pada buah-buahan), Botrytis cinerea (penyebab busuk pada buah anggur) dan Alternaria (penyebab penyakit hawar pada kacang-kacangan) dapat terdeteksi dalam 5 sampai 7 hari menggunakan metode Overnight Freezing Incubation Technique (ONFIT) (Michailides et al. 2010). Penggunaan metode deteksi secara molekuler dilaporkan mampu mendeteksi cendawan penyebab infeksi laten relatif lebih cepat dibandingkan metode konvensional. Sikdar et al. (2014) melaporkan Phacidiopycnis washingtonensis dan Sphaeropsis pyriputrescens dalam buah apel dapat terdeteksi dalam 6 jam menggunakan motode Real Time PCR.
Keberadaan cendawan penyebab infeksi laten pada buah-buahan impor harus diwaspadai, karena cendawan tersebut sangat berpotensi menyebar di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan perlakuan untuk mematikan cendawan tersebut sebelum dimasukkan ke Indonesia. Tindakan yang umumnya dilakukan selama ini pada buah-buahan pascapanen adalah menggunakan fungisida (Gachango et al. 2012). Tetapi fungisida yang digunakan biasanya hanya untuk melindungi buah dari ancaman cendawan yang berasal dari luar bukan yang berasal dari dalam buah itu sendiri. Selain itu penggunaan fungisida banyak dilaporkan menimbulkan resistensi pada patogen dan meninggalkan residu pada buah-buahan.
Beberapa perlakuan alternatif selain penggunaan fungisida telah banyak dilakukan. Salah satu alternatif perlakuan yang dinilai tidak banyak menimbulkan dampak negatif adalah menggunakan perlakuan fisik (Talibi et al. 2014). Perlakuan fisik yang telah digunakan untuk mematikan cendawan pada buah jeruk adalah dengan perlakuan panas, seperti panas kering, perendaman air panas dan microwave. Selain dapat mematikan cendawan, perlakuan panas ini juga dapat memberikan dampak buruk dengan menurunkan kualitas buah jeruk. Perlakuan panas 50 °C selama 10 menit sudah dapat menyebabkan perubahan warna kulit jeruk menjadi kecoklatan (Rab et al. 2011). Nutrisi dalam buah jeruk berkurang akibat pengaruh perlakuan panas 50 °C selama 5 menit (Khan et al. 2007).
pada komoditas pascapanen karena biaya yang relatif murah dan mudah dalam penggunaannya (Civello et al. 2006).
Tujuan Penelitian
Tersedianya metode yang akurat, cepat dan dapat diaplikasikan untuk mendeteksi cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor dan diperolehnya perlakuan fitosanitari yang efektif dalam mematikan cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor.
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Arti Penting dan Permasalahan Buah-buahan
Salah satu komoditas unggulan pertanian yang banyak dikembangkan adalah buah-buahan. Secara rasional, meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan buah-buahan karena hal tersebut merupakan tuntutan bagi kecukupan gizi penduduk. Di Indonesia, saat ini konsumsi buah-buahan baru mencapai sekitar 40 kg/kapita/tahun, sedangkan yang direkomendasikan FAO sebesar 65.75 kg/kapita/tahun. Laju peningkatan permintaan pasar dalam negeri terhadap komoditas buah-buahan cenderung meningkat. Pada tahun 2000-2005 laju permintaan buah-buahan di dalam negeri diperkirakan mencapai 6.5% per tahun dan pada tahun 2005-2010 meningkat menjadi 6.8% per tahun serta pada tahun 2010-2015 mencapai 6.9% per tahun (Yuliastuti et al. 2014).
Buah-buahan memainkan peranan yang sangat penting dalam nutrisi manusia dengan mensuplai faktor pertumbuhan penting seperti vitamin dan mineral esensial dalam makanan yang dimakan manusia sehari hari. Salah satu faktor pembatas yang dapat mempengaruhi nilai ekonomi buah-buahan adalah periode umur buah yang relatif pendek akibat serangan patogen. Diperkirakan 20-25% buah pascapanen dirusak oleh patogen selama penanganan pascapanen. Infeksi cendawan pada buah dapat terjadi pada musim tanam, pemanenan, penanganan pascapanen, pengangkutan, tempat penyimpanan sampai kepada pemasaran atau bahkan ketika dibeli konsumen. Buah-buahan mengandung gula berkadar tinggi dan elemen nutrisi lainnya dan nilai pH yang rendah membuat buah-buahan tersebut disukai oleh patogen (Bhale 2011). Penyakit pascapanen berdampak serius pada kualitas buah jeruk. Kehilangan hasil selama di tempat penyimpanan dapat mencapai 40% bila buah-buahan tersebut tidak diberi perlakuan dingin atau pestisida (Brown 1986a). Sholberg dan Conway (1998) melaporkan kehilangan hasil pada komoditas pascapanen akibat patogen dapat mencapai 10-30% per tahun, walaupun sudah menggunakan teknik dan fasilitas penyimpanan yang modern. Di Indonesia kerusakan buah-buahan akibat patogen pascapanen mencapai 50% atau lebih akibat masih buruknya penanganan produk pascapanen.
Jarak transportasi yang jauh dan ditambah periode penyimpanan di pasar dapat membuat buah-buahan tersebut lebih rentan terhadap penyakit. Menurut Faisal et al. (2011), keberadaan penyakit pada buah-buahan pascapanen dapat mengakibatkan pengurangan jumlah nutrisi buah, kontaminasi buah-buahan oleh mikotoksin yang dihasilkan oleh patogen, metabolit toksik dihasilkan oleh jaringan tanaman yang sakit dalam merespon infeksi cendawan, perubahan rasa pada buah-buahan yang terdapat penyakit, sehingga tidak dapat diterima oleh konsumen.
menjelaskan kondisi cuaca sangat mempengaruhi epidemiologi penyakit dilapangan, selain itu besar kecilnya intensitas kejadian penyakit pascapanen bergantung kepada infeksi laten yang terjadi di lapangan selama musim tanam, kontaminasi propagul cendawan selama pemanenan, keefektifan perlakuan fitosanitari pascapanen dan penanganan di tempat penyimpanan dan pemasaran.
Biologi dan Penyakit Penting pada Buah Jeruk
Biologi buah jeruk
Buah jeruk adalah buah tahunan yang berasal dari Asia. Cina merupakan tempat pertama kali buah jeruk tumbuh. Sejak ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau dibudidayakan. Tanaman jeruk yang ada di Indonesia adalah peninggalan masa penjajahan Belanda yang mendatangkan jeruk manis dan keprok dari Amerika dan Italia (Yuliastuti et al. 2014).
Tanaman jeruk tergolong divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Rutales, Genus Citrus dan spesies Citrus sp. Bagian-bagian buah jeruk terdiri atas 1) kulit yaitu Bagian-bagian terluar buah jeruk yang terbagi kedalam dua bagian yaitu flavedo (bagian kulit terluar) dan albedo (bagian kulit dalam), 2) karpel adalah daging buah jeruk yang mengandung banyak cairan 3) Biji dan 4) Kalik yaitu bagian jeruk yang menghubungkan buah jeruk dan tangkai (Iglesies et al. 2007).
Gambar 1 Anatomi buah jeruk (Etebu & Nwauzoma 2007)
Penyakit penting pada buah jeruk
Penyakit bercak hitam. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Guignardia citricarpa (Anamorf : Phyllosticta citricarpa). Cendawan ini menyebabkan bercak nekrotik pada kulit buah. Serangan berat cendawan ini dapat menggugurkan buah muda dan menurunkan hasil panen (Brown 2011).
Gejala penyakit ini dimulai dengan bercak berwarna merah dan oranye berukuran kecil dengan pinggiran bercak berwarna hitam sampai keseluruhan bercak berwarna coklat atau hitam. Penyakit ini berkembang pada kondisi lingkungan hangat dan basah. Semua kultivar jeruk dilaporkan masih rentan
Kalik
Kulit
Biji
terhadap serangan penyakit ini. Kultivar yang sangat rentan adalah Sweet Valencia, lemon, jeruk mandarin dan jeruk peras (McBride et al. 2010).
Karakteristik morfologi G. citricarpa dicirikan dengan makrokonidia dibentuk dalam piknidia, coklat gelap sampai hitam, berbentuk bulat berukuran 115-190 µm. Makrokonidia hialin, bentuk bervariasi, obovoid, tidak bersekat, berukuran (6-) 8-10,5 (-13) x (5-) 5,5-7 (-9) µm, dikelilingi oleh struktur mantel agar-agar. Mikrokonidia hialin, berbentuk halter, berukuran 5-8 x 0,5-1 µm (EPPO 2009).
Gambar 2 Gejala penyakit bercak hitam disebabkan oleh G. citricarpa (Mc Bride et al. 2010)
Penyakit busuk hitam Alternaria. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Alternaria citri (Embaby et al. 2013). Serangan cendawan ini mulai terjadi sejak di lapangan. Penyakit ini penyebab busuk hitam pada buah yang disimpan untuk waktu yang lama. Patogen dapat menginfeksi laten di dalam buah jeruk. Pada saat buah jeruk mencapai senescence (pengusangan), patogen mulai tumbuh dalam jaringan buah jeruk dan memproduksi konidia. Busuk hitam Alternaria juga dapat menjadi masalah bagi industri pengolahan karena dapat mengontaminasi jus (Brown 2011).
Gambar 3 Gejala penyakit busuk hitam disebabkan oleh A. citri. Gejala luar (A), Gejala dalam (B) (Embaby et al. 2013)
Karakteristik morfologi A. citri dicirikan dengan koloni mengumpul, berwarna abu-abu, kuning langsat, coklat sampai hitam. Konidiofor sederhana atau bercabang, lurus atau bengkok, bersepta, pucat, lebar hingga 3-5 µm. Konidia tunggal, rantai sederhana atau bercabang, lurus atau sedikit melengkung,
berbentuk oval, panjang 8-60 (rata-rata 42 µm), lebar 6-24 (rata-rata 17 µm) (Ellies 1971).
Penyakit melanosa. Penyakit ini disebabkan oleh Diaporthe citri (anamorf : Phomopsis citri). Penyakit ini menurunkan kualitas buah jeruk di pasar, walaupun masih layak untuk dikonsumsi. Penyakit ini tidak sampai menurunkan produksi olahan buah jeruk (Nelson 2008).
Gejala pada buah berupa perubahan warna buah menjadi gelap, terdapat kudis (tonjolan melebar pada kulit buah) dengan berbagai ukuran, terbentuk retakan-retakan pada kudis. Kudis ini akan meluas ketika cendawan menginfeksi sejak buah masih muda (Rhodes 2014).
Fase anamorf cendawan ini menghasilkan 2 tipe konidia, alfa dan beta konidia. Alfa konidia berukuran 5-9 x 2.5-4 µm, tidak bersekat dan hialin. Beta konidia berukuran 20-30 x 0.7-1.5 µm, berbentuk filiform dan bengkok di salah satu ujungnya, seperti tanda koma (,) (Nelson 2008).
Gambar 4 Gejala penyakit melanosa disebabkan oleh D. citri (Nelson 2008)
Penyakit antraknosa. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Colletotrichum gloeosporioides. Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar di tempat penyimpanan. Penyakit antraknosa banyak menyerang buah-buahan yang dipanen lebih awal yang proses pemasakannya dipercepat oleh etilen (buah-buahan klimakterik) (Zivkovic et al. 2010).
C. gloeosporioides adalah saprofit fakultatif yang mampu tumbuh dan bersporulasi di bahan-bahan organik mati, dengan bantuan air spora dapat menyebar ke permukaan buah yang belum matang, kemudian membentuk struktur apresoria. Apresoria ini tetap laten dan tidak menyebabkan kerusakan pada buah sebelum panen. Apresoria membentuk kapak penetrasi dan menginfeksi ketika buah diperlakukan dengan etilen selama proses pemasakan. Gejala awal penyakit antraknosa yaitu kulit buah berwarna abu-abu keperakan dan kasar. Selanjutnya, kulit yang terinfeksi menjadi coklat keabu-abuan sampai hitam sehingga buah menjadi busuk. Ukuran busuk bervariasi dan bentuknya tidak teratur (Rhodes 2014).
Karakteristik morfologi C. gloeosporioides dicirikan dengan aservuli memiliki seta, panjang bervariasi antara 50-130 µm. Konidia tunggal, silinder, panjang 10-15 µm dan lebar 5-7 µm, ujung tumpul, tidak bersekat, hialin, dan halus. Apresoria berbentuk oval, bulat, berwarna coklat sampai coklat tua, berukuran 8-12 x 6-9 mm. Koloni pada PDA berkembang dengan baik, miselia aerial, setelah 10 hari berdiameter 8-9 cm, seperti kapas, putih keabu-abuan, dengan titik-titik hitam (Weir et al. 2012).
Penyakit busuk coklat. Penyakit busuk coklat disebabkan oleh cendawan Phytophthora citrophthora. Penyakit ini dapat terjadi sejak di lapangan sampai ke tahap pascapanen. Cendawan Phytophthora bertahan dalam tanah dan menyebar melalui percikan air dan kontak sehingga dapat menginfeksi buah. Umumnya, infeksi berkembang pada pohon-pohon yang berjarak 3 sampai 4 meter dari permukaan tanah. Gejala dimulai dengan perubahan warna kulit buah menjadi pucat. Selanjutnya kulit buah menjadi coklat muda dan kasar. Apabila kondisi lembab, busuk coklat dapat menyebar dengan cepat dan miselia putih dapat terbentuk pada daerah yang terinfeksi. Buah dengan busuk coklat memiliki bau tengik (Brown 2011).
Gambar 6 Gejala penyakit busuk coklat disebabkan oleh P. citrophthora (Brown 2011)
Karakteristik morfologi P. citrophthora menghasilkan banyak sporangia pada media agar V-8. Sporangia biasanya diproduksi dalam simpodial. Sporangia
Penyakit busuk pangkal buah. Penyakit busuk pangkal buah disebabkan oleh cendawan Botryodiplodia theobromae. B. theobromae adalah saprofit fakultatif yang melengkapi siklus hidupnya pada kayu pohon jeruk yang telah mati di kebun. Air menyebarkan konidia dari kayu mati tersebut ke permukaan buah yang belum matang. Cendawan tetap laten dan tidak menyebabkan pembusukan buah sebelum panen. Infeksi berkembang setelah panen terutama di bawah kondisi suhu tinggi dan kelembaban relatif. Patogen biasanya menginfeksi mulai dari pangkal buah. Selanjutnya melalui karpel, sehingga menyebabkan pembusukan hitam di kedua ujung buah. Pembusukan berkembang cepat selama dan setelah fase pengusangan (Brown 1986b).
Karakteristik morfologi B. theobromae dicirikan dengan koloni pada media berwarna keabu-abuan sampai hitam, berbulu dengan miselium aerial berlimpah. Piknidia sederhana atau majemuk dan lebar 5 mm. Konidiofor hialin, sederhana, kadang-kadang bersepta, jarang bercabang dan berbentuk silinder. Konidia uniseluler, hialin, granulosa, subovoid, berdinding tebal, konidia memiliki 1 septa, berukuran 20-30 x 10-15 µm (Ellis 2014).
Gambar 7 Gejala penyakit busuk pangkal buah disebabkan oleh B. theobromae (Brown 2011)
Penyakit busuk asam. Penyakit busuk asam disebabkan oleh cendawan Geotrichum citri-aurantii. Penyakit ini hampir menyerang seluruh kultivar jeruk. Kerusakan lebih parah terjadi pada buah yang disimpan dalam jangka waktu yang lama. Cendawan hanya menginfeksi buah melalui luka pada kulit buah (Rhodes 2014).
Gejala awal adalah busuk berair, berwarna kuning gelap. Jaringan buah yang membusuk memiliki bau asam yang dapat menarik lalat buah dan dapat menular pada buah lainnya yang luka selama penyimpanan. Cendawan berada dalam tanah dan bisa mencapai permukaan buah melalui tiupan angin atau percikan air hujan yang menyebabkan kontak antara buah dan tanah. Penyakit ini berkembang cepat pada suhu yang hangat, dengan suhu optimum mencapai 27 °C (Brown 2011).
Penyakit busuk oleh kapang biru dan kapang hijau. Busuk kapang biru disebabkan oleh cendawan Penicillium italicum. Cendawan ini menginfeksi buah jeruk melalui luka. Kapang biru dibentuk oleh massa spora berwarna biru yang diproduksi dalam buah busuk. Gejala berupa busuk yang mirip dengan gejala kapang hijau, tetapi pada kapang biru spora berwarna biru dan dikelilingi oleh miselium putih. Kapang biru lebih mudah menyebar pada buah di tempat penyimpanan dan dalam kemasan karton (Brown 2011).
Kapang hijau disebabkan oleh cendawan Penicillium digitatum. Kapang hijau merupakan massa spora yang berwarna hijau yang dihasilkan pada buah yang terinfeksi. Cendawan ini mulai menyerang buah jeruk di lapangan, pengepakan dan tempat penyimpanan dan di pasar. Infeksi terjadi hanya melalui luka yang telah mengandung nutrisi tersedia untuk merangsang spora. Pembusukan buah dimulai pada daerah buah yang terinfeksi. Selama pembusukan berlangsung, miselia putih tumbuh dan menghasilkan spora berwarna hijau. Miselium putih berkembang menjadi luas. Dalam beberapa hari seluruh buah dapat tertutupi oleh spora berwarna hijau. Penularan penyakit dapat terjadi melalui kontak antara buah yang sakit ke buah yang berdekatan yang terjadi dalam wadah pengiriman (karton), tetapi spora jamur hanya akan menginfeksi buah yang rusak (Ariza et al. 2002).
Gambar 9 Gejala penyakit busuk disebabkan oleh P. italicum (a), P. digitatum (b)
(Edwards 2011)
Infeksi Laten
Tanaman atau bagian tanaman diinfeksi oleh berbagai jenis patogen (Agrios 2005). Kerentanan inang menjadi salah satu penyebab terjadinya penyakit tanaman yang ditandai dengan timbulnya gejala penyakit. Ketika gejala infeksi tidak diekspresikan secara eksternal, hal ini disebut infeksi laten (Sinaga 2003). Sinclair (1991) mendefinisikan infeksi laten sebagai hubungan parasitik antara
inang dan patogen, dimana patogen berada dalam posisi non aktif di dalam jaringan tanaman, dan akan berubah menjadi aktif bila kondisi inang sesuai untuk perkembangannya sehingga dapat menginduksi gejala makroskopik, memainkan peranan yang penting dalam kejadian dan keparahan penyakit pascapanen. Menurut Michailides et al. (2010) jika kondisi lingkungan cocok, kejadian infeksi laten akan memperbesar resiko perkembangan penyakit pascapanen dan sebaliknya apabila kondisi lingkungan tidak cocok maka resiko perkembangan penyakit dapat dihindari. Keberhasilan patogen dalam menginfeksi secara laten, kemudian berkembang kepada timbulnya penyakit tergantung pada jumlah inokulum, kerentanan inang dan kondisi lingkungan yang kondusif untuk menginfeksi.
Infeksi laten memberikan pengaruh yang sangat merugikan pada buah yang sudah matang. Mehrota (2001) menjelaskan beberapa cendawan patogen yang menginfeksi buah yang belum matang tidak dapat mengekspresikan gejala, patogen bersifat dorman dalam jaringan tanaman. Ketika buah menjadi matang, patogen berkembang karena kondisi menjadi cocok sehingga dapat terbentuk gejala. Buah yang masih muda sulit diinfeksi cendawan patogen karena buah yang masih hijau atau muda tidak menyediakan nutrisi yang dibutuhkan cendawan, enzim potensial penting yang dimiliki cendawan belum cukup untuk menginfeksi buah muda, dan beberapa metabolit toksin yang ada pada buah muda mampu menahan infeksi cendawan.
Prusky dan Lichter (2006) menjelaskan bahwa inang dan patogen, merupakan 2 hal penting yang dapat menentukan perubahan dari infeksi laten ke infeksi aktif, atau dari fase biotrofi ke fase nekrotrofi. Pada fase biotrofi, patogen menginfeksi secara laten karena patogen tidak mempunyai kekuatan enzimatik untuk menembus pertahanan inang. Pada fase ini tanaman inang memiliki struktur pertahanan yang masih kuat. Selama proses pengusangan, struktur pertahanan inang semakin mengalami penurunan, hal ini dimanfaatkan patogen untuk menginfeksi inang secara aktif dan pada kondisi ini disebut fase nekrotrofi.
Deteksi Infeksi Laten
Narayanasamy (2011) menyebutkan sangat penting untuk mengenali infeksi tanaman oleh patogen secepat mungkin, lebih bagus deteksi dilakukan sebelum penampakan gejala untuk menghindari kejadian penyakit dan untuk membatasi penyebaran penyakit lebih lanjut. Deteksi patogen dalam tanaman dilakukan dengan tujuan :
1. Menentukan keberadaan dan kuantitas patogen dalam tanaman untuk menginisiasi tindakan preventif dan kuratif.
2. Mensertifikasi benih dan bahan tanaman untuk program karantina atau sertifikasi kesehatan tanaman.
3. Menghitung populasi patogen di lokasi serangan dan menghubungkan dengan kehilangan hasil.
4. Menilai variasi infeksi patogen, termasuk infeksi laten atau infeksi aktif. 5. Mengidentifikasi secara cepat patogen atau strain baru untuk membatasi
penyebaran lebih lanjut.
6. Mempelajari hubungan taksonomi dan evolusi dari patogen tanaman.
7. Memecahkan komponen kompleks penyakit-penyakit yang diinduksi oleh dua atau lebih patogen.
8. Mempelajari interaksi antara tanaman dan patogen kaitannya dengan fenomena patogenesis dan fungsi gen.
Perlakuan UV-C
Penyakit pascapanen umumnya dikendalikan oleh fungisida pada pra dan pascapanen. Benzimidazol dan imazalil adalah bahan aktif fungisida yang sering digunakan dalam pengendalian penyakit pascapanen (Gachango et al. 2012). Tetapi, permasalahan penyakit pascapanen semakin kompleks karena fungisida dapat menyebabkan resistensi patogen. Disamping itu, permintaan buah-buahan bebas residu kimia oleh konsumen selalu meningkat, sehingga strategi pengendalian alternatif seperti perlakuan fisik menjadi sebuah pilihan yang prosfektif (Cia et al. 2007).
Iradiasi ultraviolet adalah salah satu strategi non fungisida untuk mengendalikan penyakit pascapanen (Canale et al 2011; Darras et al. 2012). Spektrum UV dapat dibagi kedalam 3 panjang gelombang. UV gelombang pendek (UV-C) antara 200-280 nm, UV gelombang sedang (UV-B) 280-320 dan UV gelombang panjang (UV-A) antara 320-400 nm (Civello et al. 2006).
Gambar 10 Posisi ultraviolet dalam spektrum elektromagnetik (Civello et al. 2006)
mudah diaplikasikan (Rivera-Pastrana et al. 2007). Perlakuan UV-C pada pascapanen dilakukan dengan memaparkan komoditi pada periode waktu tertentu dibawah sinar UV-C. Tingkat pengrusakan atau inaktivasi mikroorganisme oleh radiasi UV-C tergantung pada dosis yang digunakan (Civello et al. 2006). UV-C sangat efisien dalam mengendalikan penyakit pascapanen pada buah jeruk dan mengendalikan infeksi laten pada produk pascapanen (Stevens et al. 1996).
UV-C telah digunakan sebagai agen germisida karena mampu menghambat perkecambahan spora cendawan. Selain itu, UV-C juga dapat menginduksi ketahanan buah-buahan dan sayuran terhadap infeksi cendawan patogen (Terry dan Joyce 2004). Pengujian in vitro membuktikan bahwa radiasi UV-C dapat menunda dan menurunkan perkecambahan dan pertumbuhan miselium B. cinerea dan M. fructigena. Iradiasi UV-C juga dapat meningkatkan akumulasi fitoaleksin (scoparon dan scopoletin) pada buah-buahan dan mampu menghambat patogen busuk buah P. digitatum dan mampu menginduksi aktivitas phenylalanine ammonia-liase dan peroxidase pada buah jeruk. Namun, kerusakan yang terlihat pada buah akibat pemaparan UV-C terlalu lama juga telah dilaporkan pada buah jeruk dan pisang. UV-C dapat menyebabkan perubahan warna coklat pada jaringan kulit buah jeruk dan pisang. Tetapi, perlakuan UV-C pada waktu papar rendah tidak menyebabkan perubahan warna pada bagian kulit buah jeruk, juga tidak berpengaruh terhadap aroma dan rasa (Rivera-Pastrana et al. 2007).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Uji Karantina Tumbuhan Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya dan Laboratorium Uji Karantina Tumbuhan Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Soekarno Hatta Jakarta pada bulan Juli 2014 – Maret 2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jeruk impor asal Argentina, Potato Dextrose Agar (PDA), asam laktat 25%, alkohol 70%, etanol 70%, Sodium hypochlorite 5%, tween 20, akuades steril, kertas bloter, etrel, Thermo Scientific “GeneJET Plant Genomic DNA purification” mini kit, DNeasy Plant Kit Qiagen. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah thermocycler, sentrifuge, shaker, laminar air flow, freezer, cork borer, cawan petri, rak plastik, wadah plastik, kotak lampu UV-C merk camag, lemari UV-C, plastik berlubang, mikoroskop kompon, mikroskop stereo dan pipet.
Deteksi dan Identifikasi Cendawan Penyebab Infeksi Laten
Terdapat dua tipe metode yang diuji untuk mendeteksi infeksi laten yaitu secara konvensional dan molekuler. Metode deteksi dilakukan berdasarkan studi kasus impor jeruk asal Argentina, menggunakan 3 kali ulangan dengan masing masing ulangan terdiri atas 5 buah jeruk. Sampel pengujian diperoleh dari pemasukan buah jeruk melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dengan nomor registrasi : 2014.2.04.01.S01.I.020852.
Deteksi konvensional
Direct agar plating technique (DAPT). Media Acidified Potato Dextrose Agar (APDA) dibuat dengan menambahkan 25% asam laktat sebanyak 0.625 ml ke PDA. Buah jeruk dicuci menggunakan air mengalir. Buah jeruk disterilisasi permukaan menggunakan larutan Sodium hypochlorite (NaOCl) 5% selama 2 menit. Buah selanjutnya dibilas 2 kali dengan akuades steril. Buah jeruk dipotong-potong dengan ukuran 3×3×3 mm kubik secara aseptik untuk mendapatkan bagian kalik, kulit, karpel dan biji buah. Potongan bagian buah dikeringanginkan di atas kertas bloter steril, kemudian ditempatkan pada media APDA dan diinkubasi pada 25 ºC selama 5 sampai 7 hari.
wadah dijaga dengan menambahkan air. Buah dibekukan di dalam freezer –20 °C selama 15 jam, selanjutnya wadah ditempatkan pada suhu ruang.
Kombinasi senescence stimulating technique (SST) dan DAPT.
Permukaan buah dicuci dengan air bersih mengalir, selanjutnya disterilisasi permukaan menggunakan NaOCl 5% selama 2 menit. Buah dibilas 2 kali dengan akuades steril. Buah dikeringanginkan pada kertas bloter steril. Buah direndam dalam larutan etrel (2-chloroethyl phosphonic acid) 1500 ppm selama 5 menit, kemudian buah dikeringanginkan selama 30 menit agar etrel diserap oleh buah. Buah dipotong-potong untuk mendapatkan bagian kalik, kulit, karpel dan biji buah, kemudian potongan buah ditempatkan pada media APDA.
Kombinasi SST dan inkubasi. Langkah awal pengerjaan sama seperti pada metode kombinasi SST dan DAPT, setelah dikeringanginkan, tanpa dipotong-potong, buah langsung diinkubasikan dalam wadah plastik selama 7 hari.
Identifikasi konvensional
Identifikasi dilakukan melalui karakter morfologi dengan mengamati bentuk, ukuran dan warna konidia serta mengamati tipe miselia, selanjutnya disesuaikan dengan kunci identifikasi cendawan untuk mengidentifikasi sampai ke level spesies.
Deteksi molekuler
Ekstraksi DNA total buah jeruk. DNA total diekstrak dari buah jeruk yang tidak bergejala penyakit dengan mengambil sebanyak 0.1 g bagian kulit (sampel 1), biji (sampel 2), kalik (sampel 3) dan karpel (sampel 4). Sebelum ekstraksi, buah jeruk disterilisasi permukaan menggunakan NaOCl 5% selama 2 menit dan dibilas 2 kali dengan akuades steril, kemudian dikeringanginkan 10 menit. Ekstraksi DNA total dilakukan berdasarkan Thermo Scientific “GeneJET Plant Genomic DNA Purification” mini kit #K0791, #K0792 dengan tahapan ekstraksi sesuai dengan arahan protokol. DNA hasil ekstraksi disimpan pada -20 °C sebelum digunakan.
Amplifikasi DNA cendawan. Amplifikasi rDNA area ITS cendawan dilakukan dengan Thermalcycler menggunakan pasangan primer universal ITS1F (CTTGGTCATTTAGAGGAAGTAA) (Gardes dan Bruns 1993) dan ITS4 (CCTCCGCTTATTGATATGC) (White et al. 1990) dengan ukuran produk amplifikasi sekitar 600 pb. Amplifikasi DNA target cendawan dilakukan dalam volume 50 µl yang mengandung 20 µl PCR master mix, 2 µl primer ITS1F, 2 µl primer ITS4, 4 µl DNA hasil ekstraksi dan 22 µl ddH2O. Amplifikasi DNA dilaksanakan melalui tahap denaturasi utas ganda DNA pada 94 °C selama 35 detik, tahap penempelan primer ke DNA target pada 51 °C selama 1 menit, tahap pemanjangan DNA pada 72 °C selama 2 menit selama 35 siklus. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dilakukan pada gel agarosa 1.2%.
Identifikasi molekuler
Identifikasi molekuler dilakukan terhadap :
1. Hasil positif amplifikasi DNA cendawan dari buah jeruk
Malaysia untuk dirunut sikuennya. Sikuen area ITS 1 dan ITS4 DNA masing-masing cendawan temuan dibandingkan dengan sikuen DNA cendawan yang sama asal negara lain yang tersimpan dalam GenBank menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST). Homologi area ITS1 dan ITS4 DNA cendawan dilakukan menggunakan program BioEdit menggunakan
formulasi ClustalW dengan pilihan “sequence identity matrix”. Analisis
filogenetik dilakukan menggunakan software ClustaX version 2 dan Mega version 6, berdasarkan pendekatan neighbor-joining dengan nilai boostrap 1000 kali.
2. Isolat biakan masing-masing cendawan temuan
Ekstraksi, amplifikasi dan perunutan basa nukleotida DNA cendawan dilakukan dari isolat biakan murni masing-masing cendawan temuan. Isolat diidentifikasi secara molekuler menggunakan DNeasy Plant Kit Qiagen sesuai dengan protokol. Teknik ekstraksi, amplifikasi dan perunutan basa nukleotida DNA sama seperti pada langkah identifikasi pada hasil positif amplifikasi DNA cendawan dari buah jeruk.
Uji Postulat Koch
Cendawan yang telah diisolasi, selanjutnya dilakukan uji postulat Koch untuk mengetahui kemampuan patogenik cendawan tersebut terhadap buah jeruk lokal. Buah jeruk lokal diperoleh dari kebun jeruk di Desa Petung Sewu, Kecamatan Dawu, Kabupaten Malang.
Buah jeruk dibersihkan dengan air mengalir, untuk menghilangkan debu atau sisa-sisa pestisida yang masih menempel. Buah disterilisasi permukaan dengan NaOCl 5% selama 2 menit, selanjutnya dibilas 2 kali dengan akuades steril. Buah dilukai dengan jarum steril, lalu diletakkan potongan biakan cendawan berumur 7 hari menggunakan cork borer diameter 5 mm. Pada kontrol tetap dilukai dan hanya ditempelkan potongan media PDA saja (tanpa biakan cendawan). Buah dimasukan ke dalam wadah plastik, dan ditutup dengan plastik berlubang untuk menjaga kelembapan dalam wadah plastik. Pengamatan gejala dilakukan setiap hari sampai dengan 21 hari setelah inokulasi.
Perlakuan UV-C pada Cendawan Penyebab Infeksi Laten
Perlakuan UV-C in vitro
Biakan cendawan berumur 7 hari diambil menggunakan cork borer diameter 5 mm dan diletakkan pada media PDA dalam cawan petri ukuran 9 cm, selanjutnya dilakukan penyinaran UV-C dengan panjang gelombang 254 nm selama 0 (kontrol), 45, 60, 90 dan 120 menit. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali. Setelah perlakuan, cendawan diinkubasikan pada suhu kamar. Pertumbuhan koloni cendawan diamati setiap harinya sampai hari ketujuh.
Perlakuan UV-C in vivo
Buah jeruk disterilisasi permukaan dengan NaOCl 5% selama 2 menit, selanjutnya dibilas 2 kali dengan akuades steril. Permukaan buah jeruk dilukai dengan jarum steril. Biakan cendawan berumur 7 hari diambil menggunakan cork borer diameter 5 mm dan diinokulasikan pada buah jeruk yang telah dilukai. Selanjutnya buah diinkubasikan pada suhu ruang selama 7 hari, agar memberikan kondisi lingkungan yang cocok bagi cendawan untuk mengkoloni buah. Buah diberi perlakuan UV-C selama 4 dan 5 jam. Kontrol dipersiapkan tanpa perlakuan UV-C. Perlakuan dilaksanakan dalam 3 kali ulangan. Masing-masing unit perlakuan terdiri atas 10 buah jeruk. Perlakuan UV-C dilakukan pada cendawan A. citri dan C. gloeosporioides. Pengamatan dilakukan sampai hari ketujuh.
Persentase penghambatan pertumbuhan cendawan dihitung dengan rumus: (Kaiser et al. 2005)
Persentase penghambatan = dk - dp x 100% dk
Analisa data
Data hasil pengujian perlakuan UV-C dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of Variance, ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 5%. Analisis data dilakukan menggunakan piranti lunak program Minitab 16.
Persentase penghambatan = Penghambatan perlakuan terhadap kontrol
dk = diameter koloni cendawan pada kontrol
HASIL DAN PEMBAHASAN
Importasi Buah di Pelabuhan Tanjung Perak
Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya melaporkan bahwa tahun 2013 terdapat 15 jenis buah impor dari berbagai negara masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak. Buah impor masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak adalah anggur, apel, jeruk, pear, lengkeng, durian, buah naga, kiwi, plum, mangga, pisang, delima, strawberry, sawo, dan melon. Salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya komoditas buah impor yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak adalah kebijakan pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 42 tahun 2012 yang membatasi tempat pemasukan buah impor hanya melalui 4 tempat pemasukan yaitu bandar udara Soekarno-Hatta, pelabuhan Belawan, pelabuhan Makasar dan pelabuhan Tanjung Perak.
Buah jeruk merupakan salah satu komoditas buah impor yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Menurut data BBKP Surabaya, buah jeruk impor yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak tahun 2013 sebanyak 82 177 479.50 kg dengan frekuensi pemasukan sebanyak 1 646 kali. Buah jeruk tersebut berasal dari negara Cina, Australia, Pakistan, Mesir, Turki, Spanyol, Argentina, Afrika Selatan, Uruguay dan Malaysia. Importasi buah jeruk yang cukup tinggi dapat menimbulkan potensi terbawanya OPTK dari negara lain. Buah jeruk adalah media pembawa OPTK. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 14 tahun 2002 menyatakan bahwa yang termasuk ke dalam media pembawa OPTK adalah tumbuhan dan bagian-bagiannya.
Tindakan penanganan buah jeruk impor di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian nomor 42 tahun 2012 tentang tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan buah segar dan sayuran buah segar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Tetapi, tujuan peraturan ini lebih ditekankan kepada pencegahan masuknya OPTK hanya jenis lalat buah saja dan untuk memenuhi keamanan pangan segar asal tumbuhan. Oleh karena itu, sudah sangat diperlukan perhatian lebih intensif terhadap pemeriksaan patogen-patogen yang terbawa buah jeruk impor. Patogen pascapanen terutama cendawan dilaporkan banyak menyerang buah jeruk setelah dipanen. Cendawan dapat menginfeksi buah jeruk secara laten tanpa menimbulkan gejala, sehingga pemeriksaan karantina terhadap cendawan patogen pada buah jeruk impor harus juga menjadi skala prioritas. Buah jeruk impor sangat berpeluang membawa OPTK dan tergolong kedalam produk pascapanen beresiko tinggi karena dapat menjadi sumber inokulum dan dapat menimbulkan epidemik penyakit bila telah masuk ke Indonesia.
Deteksi Cendawan Penyebab Infeksi Laten
Deteksi konvensional
Deteksi cendawan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor asal Argentina berhasil diperoleh beberapa cendawan yang mempunyai karakter morfologi yang berbeda pada masing-masing metode uji. Berdasarkan morfologi warna koloni dan tipe miselium, diperoleh 3 morfotipe berbeda dengan metode DAPT yaitu koloni cendawan berwarna hijau (KHU), coklat (KCT) dan merah muda (KMM) dengan persentase kejadian berturut-turut sebesar 37.5%, 32.5% dan 30%. Ketiga morfotipe tersebut memiliki tipe miselium aerial (Tabel 1). Cendawan mulai terdeteksi pada hari ketiga setelah inkubasi (Gambar 11).
Tabel 1 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode direct agar plating technique (DAPT)
Morfotipea Jumlah isolat pada bagian b
Jumlah Total
Frekuensi (%) Kalik Kulit Biji Karpel
KHU 11 (73.33) 4 (26.67) 0 0 15 37.5
KMM 1 (6.67) 9 (60) 2 (22.22) 0 12 30
KCT 3 (20) 2 (13.33) 7 (77.78) 1 (100) 13 32.5
Jumlah Total 15 15 9 1 40 100
a
isolat cendawan temuan dibedakan atas 3 morfotipe: KHU, koloni hijau; KMM, koloni merah muda; KCT, koloni coklat. bAngka dalam kurung menunjukkan persentase jumlah isolat.
Gambar 11 Kemunculan cendawan laten dengan metode direct agar plating technique (DAPT). 1 HSI (A), 2 HSI (B), 3 HSI (C), 4 HSI (D)
Berdasarkan karakter morfologi warna koloni dan tipe miselium, metode kombinasi SST dan DAPT diperoleh 3 morfotipe berbeda yaitu koloni cendawan berwarna coklat (KCT), merah muda (KMM) dan hijau (KHU) dengan persentase kejadian berturut-turut sebesar 51.28%, 25.64% dan 23.08%. Ketiga morfotipe
A B
tersebut memiliki tipe miselium aerial (Tabel 2). Cendawan mulai terdeteksi pada hari kedua setelah inkubasi (Gambar 12).
Tabel 2 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode kombinasi senescence stimulating technique (SST) dan DAPT
Morfotipea Jumlah isolat pada bagian b
Jumlah Total
Frekuensi (%) Kalik Kulit Biji Karpel
KHU 6 (40) 0 1 (10) 2 (100) 9 23.08
KMM 2 (13.33) 8 (66.67) 0 0 10 25.64
KCT 7 (46.67) 4 (33.33) 9 (90) 0 20 51.28
Jumlah Total 15 12 10 2 39 100
a
isolat cendawan temuan dibedakan atas 3 morfotipe: KHU, koloni hijau; KMM, koloni merah muda; KCT, koloni coklat. bAngka dalam kurung menunjukkan persentase jumlah isolat
Buah jeruk sehat dibekukan dalam freezer semalaman melalui metode ONFIT. Melalui metode ini diperoleh 5 karakter morfologi cendawan berbeda yang tumbuh pada permukaan buah jeruk, yaitu koloni berwarna hijau (KHU), merah muda (KMM), coklat (KCT), putih (KPH) dan hitam (KHM) dengan persentase kejadian berturut-turut adalah 17.86%; 25%; 19.64%; 17.86% dan 19.64%. Persentase kejadian tertinggi terdapat pada morfotipe KMM. (Tabel 3). Cendawan mulai terdeteksi pada hari ketiga setelah inkubasi (Gambar 13).
Gambar 12 Kemunculan cendawan laten dengan metode kombinasi senescence stimulating technique (SST)
dan DAPT. 1 HSI (A), 2 HSI (B), 3 HSI (C), 4 HSI (D)
A B
Tabel 3 Morfotipe isolat cendawan temuan dengan metode overnight freezing incubation technique (ONFIT)
Morfotipe Jumlah isolat Frekuensi (%)
Koloni berwarna hijau (KHU) 10 17.86
Koloni berwarna merah muda (KMM) 14 25
Koloni berwarna coklat (KCT) 11 19.64
Koloni berwarna putih (KPH) 10 17.86
Koloni berwarna hitam (KHM) 11 19.64
Total 56 100
Gambar 13 Kemunculan cendawan laten dengan metode overnight freezing incubation technique (ONFIT); wadah kiri adalah perlakuan, wadah kanan adalah kontrol. 1 HSI (A), 2 HSI (B), 3 HSI (C), 4 HSI (D), 5 HSI (E), 6 HSI (F)
Deteksi molekuler
Deteksi molekuler pada buah jeruk menunjukan bahwa cendawan terdeteksi pada bagian kalik, kulit dan biji menggunakan primer universal ITS1F dan ITS4 yang ditandai dengan terbentuknya pita DNA pada gel agarosa 1.2%. Cendawan dalam buah jeruk terdeteksi dalam waktu 6 jam menggunakan primer ini sesuai
A B
C D
dengan ukuran target sekitar 600 pb. Pada bagian karpel tidak terdeteksi cendawan (Gambar 14). Area ITS rDNA telah banyak dilaporkan dapat mengidentifikasi cendawan patogen tanaman (Lacomi et al. 2002; Zhang et al. 2004; Zhao et al. 2007).
Hasil sikuen dari ekstraksi DNA buah jeruk secara langsung, pada bagian kalik adalah Alternaria sp., pada bagian kulit dan biji adalah Fusarium sp. Penentuan spesies Fusarium sp. merupakan hasil blast berdasarkan nomor aksesi GenBank HQ630965.1 dengan homologi 85% dan spesies Alternaria sp. didasarkan pada nomor aksesi GenBank GU584948.1 dengan homologi 90%. Menurut Sikdar et al. (2014) tangkai dan kalik merupakan bagian buah apel yang banyak terinfeksi laten oleh Phacidiopycnis washingtonensis dan Sphaeropsis pyriputrescens. Metode molekuler lebih sedikit mendeteksi cendawan terinfeksi laten dibandingkan dengan metode konvensional (Tabel 4). Hal ini terjadi karena konsentrasi DNA cendawan dalam buah jumlahnya sedikit, sehingga tidak mampu teramplifikasi oleh primer. Sikdar et al. (2014) menjelaskan bahwa DNA cendawan pada buah yang menunjukan gejala penyakit dapat dideteksi pada konsentrasi minimal 5 ng. Hal ini yang menyebabkan PCR tidak dapat mendeteksi keberadaan cendawan dalam buah yang tidak bergejala. Sebaiknya digunakan real time PCR karena mampu mendeteksi DNA dibawah konsentrasi kurang dari 5 ng.
Gambar 14 Hasil amplifikasi DNA cendawan pada buah jeruk dengan primer universal. Marker 1 kb (M), sampel pada kulit (1), sampel pada biji (2), sampel pada kalik (3), sampel pada karpel (4), kontrol negatif (5)
Sebanyak lima morfotipe cendawan berbeda berhasil dideteksi menggunakan berbagai metode uji baik konvensional maupun molekuler (Tabel 4). Kelima morfotipe cendawan tersebut juga berhasil diidentifikasi secara teknik konvensional dan molekuler (Tabel 5). Deteksi secara konvensional dilakukan dengan mengamati karakter morfologi dari masing-masing cendawan, seperti pengukuran konidia, panjang konidiofor, bentuk konidia dan tipe miselia yang tumbuh pada media. Selanjutnya diidentifikasi menggunakan berbagai literatur kunci identifikasi cendawan. Hasil identifikasi konvensional menunjukkan bahwa kelima morfotipe cendawan temuan tersebut adalah lima spesies yang berbeda berdasarkan perbedaan karakter morfologi. Deteksi secara molekuler dilakukan dengan mengamplifikasi DNA kelima morfotipe cendawan menggunakan primer universal, selanjutnya dilakukan perunutan basa nukleotida DNA. Hasil
identifikasi molekuler juga menunjukkan bahwa kelima morfotipe cendawan temuan tersebut adalah lima spesies yang berbeda sesuai dengan hasil identifikasi secara konvensional.
Tabel 4 Spesies cendawan laten temuan dengan metode deteksi konvensional dan molekuler
No. Metode Spesies Cendawan Temuan Jumlah Deteksi Waktu Kemunculana
HSI, Hari Setelah Inkubasi, bdeteksi dengan primer ITS1F dan ITS4, csetelah disikuen
Tabel 5 Identifikasi isolat cendawan laten temuan secara konvensional dan molekuler
Isolat
Identifikasi Isolat
Konvensional Molekuler
Spesies Referensi Spesies Homologi
(%) Asal
No. Aksesi Genbank
KHU Alternaria citri Ellies 1971 Alternaria citri 100 Jepang AB267479.1
KCT Colletotrichum
Temuan ketiga spesies cendawan penyebab infeksi laten sangat berpotensi menimbulkan kerusakan buah di tempat penyimpanan. Menurut Michailides dan Elmer (2000) patogen sudah memulai infeksi pada tahap pembungaan tanaman atau pada saat buah masih muda di lapangan. Di California, petani buah kiwi telah menggunakan metode DAPT ini untuk menentukan pemakaian fungisida pada buah-buahan di lapangan sebelum masa panen. Selain itu, metode DAPT ini dapat dimanfaatkan oleh bagian pengepakan dan pengapalan untuk menyortir buah yang terinfeksi laten. Informasi keberadaan patogen laten dalam buah-buahan dapat mengurangi penyebaran penyakit di tempat penyimpanan sekaligus dapat merencanakan waktu pemasaran (Michailides et al. 2010).
Hasil identifikasi 5 morfotipe cendawan pada metode ONFIT yaitu morfotipe KHU, KMM, KCT, KPH dan KHM berturut-turut adalah A. citri, F. incarnatum, C. gloeosporioides, C. boninense dan G. mangiferae. Metode ONFIT dapat mendeteksi cendawan lebih banyak dibandingkan dengan metode lainnya (Tabel 4). Menurut Michailides et al. (2010) hal ini dapat terjadi karena metode ONFIT bekerja langsung merusak jaringan buah, sehingga memudahkan patogen penyebab infeksi laten untuk mendapatkan nutrisi dari buah tersebut. Sebelumnya, Cerkauskas dan Sinclair (1980) melaporkan bahwa jaringan tanaman dapat dirusak menggunakan herbisida berbahan aktif paraquat, sehingga dapat mengaktifkan patogen laten pada tanaman kedelai. Herbisida tersebut adalah bersifat toksik, oleh karena itu perlu dicari alternatif lain yang lebih aman. ONFIT merupakan metode yang aman karena tidak menggunakan pestisida berbahaya. Luo dan Michailides (2003) menjelaskan penggunaan metode ONFIT pada tahap awal pembentukan buah dapat digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit busuk coklat Monilinia sp. pada buah plum di lapangan pada saat panen. Jumlah inokulum cendawan yang tinggi di lapangan adalah faktor yang mempercepat pertumbuhan cendawan pada metode ONFIT.
Hasil identifikasi 3 morfotipe cendawan pada metode kombinasi SST dan DAPT yaitu morfotipe KCT, KMM dan KHU berturut-turut adalah C. gloeosporioides, F. incarnatum dan A. citri. Cendawan tersebut menempati lokasi yang berbeda-beda pada bagian buah jeruk. Cendawan yang paling dominan ditemukan pada bagian kalik, kulit, biji dan karpel berturut turut adalah C. gloeosporioides, F. incarnatum, C. gloeosporioides dan A. citri (Tabel 2). Cendawan C. gloeosporioides paling banyak terdeteksi melalui metode ini. Menurut Brown (1986a), C. gloeosporioides dan A. citri sering ditemukan bersifat laten pada buah jeruk. C. gloeosporioides mulai mengoloni buah ketika buah sudah mengalami fase senescence (pengusangan). Penyebab pengusangan buah adalah karena pengaruh etilen. Etilen dapat mempercepat masa pengusangan buah, sehingga menyebabkan penurunan ketegaran jaringan dalam buah. Kondisi ini mempermudah cendawan mengolonisasi lebih lanjut. Cristescu et al. (2008) melaporkan aplikasi etilen mampu mempercepat masa pengusangan, sehingga dapat mengaktifkan perkecambahan konidia B. cinerea, Penicillium expansum, Rhyzopus stolonifer, Gloeosporium perennans, Diplodia natalonis, dan P. citri.
(1983) melaporkan pemberian etilen dengan konsentrasi 1 ml etilen/l air belum dapat membuat buah mencapai pengusangan sehingga tidak dapat mengaktifkan cendawan Alternaria alternata, C. gloeosporioides, P. expansum, R. stolonifer, B. theobromae dan B. cinerea, tetapi konsentrasi tersebut mampu mengaktifkan cendawan P. digitatum, P. italicum dan Thielaviopsis paradoxa. Hal ini menurut Brown (1986a) disebabkan perbedaan kemampuan patogen dalam menginfeksi buah.
Metode konvensional yang paling akurat dan cepat dalam mendeteksi cendawan terinfeksi laten pada buah jeruk impor asal Argentina adalah metode ONFIT (Tabel 4). Melalui metode ini berhasil diperoleh 5 spesies cendawan penyebab infeksi laten yang tumbuh pada permukaan buah jeruk mulai hari ketiga setelah inkubasi. Metode ONFIT yang dilakukan sebelumnya dapat memunculkan cendawan M. fructicola pada buah plum mulai dari hari kelima setelah inkubasi pada suhu pembekuan -16 °C (Michailides et al. 2010). Setelah dilakukan pengembangan metode ONFIT pada buah jeruk dengan melakukan pembekuan pada suhu -20 °C terbukti mampu mendeteksi kemunculan cendawan mulai hari ketiga setelah inkubasi. Hasil pengembangan metode ini, tekstur buah jeruk masih terlihat utuh, sehingga masih memudahkan dalam hal pengamatan cendawan. Luo dan Michailides (2003) menyebutkan semakin rendah suhu pembekuan dapat menyebabkan buah mudah rusak sehingga menyulitkan proses identifikasi cendawan. Kecepatan deteksi kemunculan cendawan sangat diperlukan dalam melakukan tindakan pemeriksaan media pembawa oleh Badan karantina pertanian, agar cepat dilakukan pengambilan keputusan terhadap pemasukan buah jeruk, sehingga buah jeruk tidak tertahan lama di pelabuhan.
Spesies A. citri diidentifikasi lebih lanjut menggunakan primer spesifik untuk membuktikan kebenarannya mengingat spesies tersebut dalam Permentan 93 tahun 2011 tergolong dalam kategori A1 (belum terdapat di Indonesia). Pasangan primer spesifik yang digunakan adalah PG20 dan Pro2 dengan ukuran target 813 pb (Isshiki et al. 2003) dan UCREAF1 dan UCREAR3 dengan ukuran target 1395 pb (Katoh et al. 2007). Primer yang digunakan mengidentifikasi pertama kali adalah primer universal dengan ukuran target sekitar 600 pb.
Gambar 15 Visualisasi hasil amplifikasi DNA target dengan primer spesifik A. citri pada 1,2 % gel agarosa. Amplifikasi DNA A. citri dengan primer PG20 dan Pro2 (A). Marker 1 kb (M), kontrol negatif (1), A. citri (2), A. alternata (3). Amplifikasi DNA A. citri dengan primer UCREAF1 dan UCREAR3 (B). Marker 1 kb (M), kontrol negatif (1), A. citri (2), A. alternata (3)
Hasil elektroforesis DNA menunjukkan bahwa kedua primer yang digunakan mampu mengamplifikasi DNA target A. citri. Hal ini dibuktikan dengan munculnya pita DNA pada gel agarosa 1.2% sesuai dengan ukuran target 813 pb pada primer PG20 dan Pro2 dan 1395 pb pada primer UCREAF1 dan UCREAR3, namun pada primer PG20 dan Pro2 terdapat 2 pita DNA (Gambar 15A). Hal ini diduga primer tersebut masih kurang spesifik, sementara itu, pada sampel A. alternata (pembanding) tidak terlihat pita DNA. Identifikasi A. citri menggunakan primer spesifik UCREAF1 dan UCREAR3 menunjukkan bahwa primer dapat mengamplifikasi DNA target pada sampel A. citri dengan visualisasi 1 pita DNA, sehingga dapat dibuktikan bahwa sampel tersebut adalah positif A. citri (Gambar 15B). Primer spesifik UCREAF1 dan UCREAR3 lebih baik dalam mendeteksi spesies A. citri dibandingkan primer PG20 dan Pro2. Smith et al. (1996) dan Sharma et al. (2013) menyebutkan PCR merupakan pengujian deteksi organisme yang spesifik, sensitif dan cepat sampai ke level spesies.
Identifikasi Cendawan Penyebab Infeksi Laten
Cendawan temuan penyebab infeksi laten pada buah jeruk impor dibiakan dalam media PDA. Selanjutnya cendawan diidentifikasi secara konvensional terlebih dahulu dan dilakukan uji konfirmasi secara molekuler. Identifikasi konvensional dilakukan secara morfometri dengan mengukur 30 konidia masing-masing cendawan temuan dan mengamati seluruh bagian cendawan secara makroskopis dan mikroskopis (Tabel 6). Identifikasi spesies cendawan menggunakan berbagai literatur kunci identifikasi cendawan.
Tabel 6 Morfometri konidia cendawan laten temuan
Cendawan Temuan Konidia Terpendek (µm) Konidia Terpanjang (µm) Rata-rata Konidia (µm)
a
Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar
A. citri 14.98 8.89 56.58 17.87 42.14 16.07
Isolat KHU diidentifikasi sebagai A. citri
Hasil pengamatan cendawan secara morfometri dari 30 konidia diperoleh rata-rata panjang konidia isolat KHU adalah 42.14 µm dan lebar 16.07 µm (Tabel 6). Koloni umur 7 hari pada media PDA terlihat mengumpul, miselia aerial, berwarna abu abu di bagian atas koloni dan coklat di bagian bawah koloni (Gambar 17, A dan B). Konidia berbentuk seperti gada, bersekat dan tunggal (Gambar 17C). Berdasarkan kunci identifikasi Ellies (1971), karakteristik morfologi isolat KHU diidentifikasi sebagai A. citri.
berbentuk oval, panjang 8-60 (rata-rata 42 µm), lebar 6-24 (rata-rata 17 µm) (Ellies 1971).
Berdasarkan pohon filogeni (Gambar 16), cendawan A. citri berada dalam 1 grup dengan isolat dari negara USA, Brazil dan Cina. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan A. citri temuan memiliki kekerabatan yang sangat dekat secara genetik dengan isolat dari negara-negara tersebut. Keragaman genetik A. citri dalam grup tersebut sangat rendah, meskipun isolat tersebut berasal dari negara yang berbeda-beda. Penjelasan tersebut diperkuat oleh tingkat homologi sikuen nukleotida diantara keempat isolat tersebut (Tabel 7). Keempat isolat tersebut menunjukkan persentase homologi yang tinggi antara 93-100%. Sementara itu, A. alternata berada di luar grup, berarti jelas berbeda dengan A. citri. Persentase tingkat homologinya pun paling rendah yaitu sebesar 92.1%.
Gambar 16 Pohon filogeni isolat A. citri temuan dan isolat dari negara lain
Gambar 17 Morfologi A. citri. Koloni permukaan atas berumur 7 hari pada media PDA (A), Koloni permukaan bawah (B). konidia (perbesaran 400 x) (C)
Dalam Permentan no 93 tahun 2011, A. citri termasuk dalam OPTK kategori A1 yang belum ada di Indonesia. Temuan OPTK A1 ini dapat digunakan sebagai
A
50 µm
2 cm 2 cm
Alternaria_citri_KHU
Alternaria_citri_EF104220.1_USA
Alternaria_citri_EU520049.1_China
Alternaria_citri_DQ489290.1_Brazil
Alternaria_alternata_KM374667.1_China
0.002
A. citri (cendawan temuan)
A. citri (USA/EF104220.1)
A. citri (Brazil/DQ489290.1)
A. citri (Cina/EU520049.1)
A. Alternata (Cina/KM374667.1)
B