MAKALAH SEJARAH
KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI
Kelompok :
1. Ahmad Lukman Hakim
(02)
2. Annisa Nur Fauziyah
(06)
3. Ninik Widyantari Nurkholifah (23)
4. Sri Wahyuni
(31)
SMA NEGERI 2 KEBUMEN
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Kami juga berterimakasih kepada
Bpk. Henri Wibowo selaku guru sejarah kami. Tanpa bimbingan beliau, kami
tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.
Kebumen, Mei 2017
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...i
Daftar Isi...ii
Daftar Gambar...iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah...2
C. Tujuan...3
D. Metodologi Data...3
BAB II PEMBAHASAN A. Kerajaan Gowa Tallo...4
1. Sejarah Awal...4
2. Kerajaan Gowa Tallo...6
3. Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo...10
4. Perkembangan Ekonomi...16
5. Perkembangan Pemerintah/Politik...19
a. Raja-raja...20
b. Wilayah Kekuasaan...25
c. Hubungan dengan Luar Negeri...28
6. Perkembangan Agama...29
B. Kerajaan Wajo...31
1. Sejarah Awal...31
2. Kerajaan Wajo...33
3. Peninggalan Kerajaan Wajo...38
4. Raja-Raja...43
BAB III PENUTUPAN A. Kesimpulan...48
B. Saran ...48
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta lokasi Kerajaan Gowa-Tallo
Gambar 1.2 Benteng Fort Rotterdam
Gambar 1.3 Batu Pallantikang
Gambar 1.4 Masjid Katangka sebelum direnovasi
Gambar 1.5 Masjid Katangka / Al-Hilal setelah direnovasi
Gambar 1.6 Masjid Al-Hilal Katangka di antara tembok kuburan
Gambar 1.7 Sultan Hasanuddin
Gambar 1.8 Masjid Tosora
Gambar 1.9 Makam-makam kuno di situs Tosora
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam sudah dikenal masyarakat sejak dahulu. Banyak
sekali cara penyebaran agama islam sehingga dapat diterma dengan
mudahnya oleh masyarakat. Dalam hal ini, dahulu islam berkembang
melalui kerajaan– kerajaan di Nusantara. Kerajaan Islam berkembang
pesat di nusantara baik berasal dari penyebaran oleh para pedangang
maupun melalui media lainnya. Seiring dengan persebaran agama Islam di
nusantara banyak didirikan kerajaan Islam. Salah satu Kerajan Islam tertua
di kawasan timur nusantara ialah Kerajaan Ternate, kerajaan ini berdiri
pada abad ke-13 hingga abad ke-17. Kerajaan Ternate pada umumnya
disebut kesultanan Ternate memiliki kekuatan besar dibidang
perekonomian karena memiliki kekayaan rempah-rempah dan daerah ini
mengalami eksodus penduduk dari Halmahera. Oleh sebab tersebut
Kerajaan Ternate memiliki pengaruh besar terhadap perdagangan di
nusantara dan padat penduduk. Kerajaan Islam yang berkedudukan di
Maluku setelah Kerajaan Ternate ialah Kerajaan Tidore. Kerajaan Tidore
berdiri pada tahun 1108 M dibawah kekuasaan Kolonel Belanda. Belanda
berusaha untuk memonopoli bumi Maluku karena memiliki kekayaan
rempah-rempah yang melimpah. Kerajaan Tidore mengalami masa
telah berjalan dengan baik. Dalam menghadapi penjajahan Kolonial
Belanda, Kerajaan Tidore mendapat bantuan dari Kerjaan Makassar yang
berkedudukan di Pantai barat semenanjung Sulawesi Selatan untuk
berjuang melawan Kolonial Belanda. Kerajaan Makassar menjadi
persinggahan para pedagang karena lokasinya strategis dengan jalur
perdagangan nusantara. Meskipun memiliki kekuatan yang besar dibawah
kepemimpinan Sultan Hassanudian, Belanda mampu menumbangkan
kejayaannya dengan melakukan politik devide et impera dan berdiplomasi
dengan kerajaan Bone yang diperintah oleh Raja Aru Palaka melakukan
pemberontakan terhadap Makassar. Kerajaan tersebut diatas berperan
penting dalam persebaran Islam, keadaan perekonomian, budaya, serta
politik pemerintahan di nusantara.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo?
2. Apa itu Kerajaan Gowa Tallo?
3. Apa saja peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa Tallo?
4. Bagaimana perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa Tallo?
5. Bagaimana perkembangan pemerintah/politik Kerajaan Gowa Tallo?
6. Bagaimana perkembangan agama Kerajaan Gowa Tallo?
7. Bagaimana perkembangan sosial dan budaya Kerajaan Gowa Tallo?
8. Bagaimana sejarah awal Kerajaan Wajo?
10. Apa saja peninggalan-peninggalan Kerajaan Wajo?
11. Siapa saja raja yang pernah memerintah Kerajaan Wajo?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo
2. Mengetahui Kerajaan Gowa Tallo
3. Mengetahui peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
4. Mengetahui perkembangan politik Kerajaan Gowa Tallo
5. Mengetahui perkembangan pemerintah/politik Kerajaan Gowa Tallo
6. Mengetahui perkembangan agama Kerajaan Gowa Tallo
7. Mengetahui perkembangan sosial budaya Kerajaan Gowa Tallo
8. Mengetahui sejarah awal Kerajaan Wajo
9. Mengetahui Kerajaan Wajo
10. Mengetahui peninggalan-peninggalan Kerajaan Wajo
11. Mengetahui raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Wajo
D. Metodologi data
Metode yang kami gunakan dalam membuat makalah ini yaitu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerajaan Gowa-Tallo
1. Sejarah Awal
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan
komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan
Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo,
Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero
dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan,
komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa.
Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai
pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan
empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang
pertama adalah Batara Guru dan saudaranya Gambar di bawah
merupakan peta Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan pada abad
16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone,
Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar.
2. Kerajaan Gowa-Tallo
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa
kerajaan kecil, seperti Goa, Tello, Sopeng dan Bone. Di antara
kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian muncul sebagai kerajaan
besar ialah Goa dan Tello keduanya lebih dikenal dengan nama
Kerajaan Makasar.1
Di daerah Sulawesi Selatan, proses islamisasi makin
mantap dengan adanya para mubalig yang disebut Dato’
Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri bandang (Abdul Makmur
atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana
atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias
Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo
Tengah, Minangkabau. Para Mubalig itulah yang
mengislamkan Raja Luwuw yaitu Datu’La Patiware’ Daeng
Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16
Ramadhan 103H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul
oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari
Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng
Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil
Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan
1 Dwi Ari Listiyani, Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI BAHASA, Jakarta : Pusat
Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng
Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016
H atau 9 November 1607 M.2
Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan
tonggak sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi
Selatan, karena setelah itu, terjadi konversi ke dalam Islam
secara besar-besaran. Konversi itu ditandai dengan
dikeluarkannya sebuah dekrit Sultan Alauddin pada tanggal 9
Nopember 1607 sebagai agama kerajaan dan agama
masyarakat.3
Setelah Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi kerajaan
Islam dan raja-rajanya telah memperoleh gelar Sultan, maka
kerajaan itu juga yang menjadi pusat pengislaman di seluruh
Sulawesi Selatan, agar mereka juga menerima Islam. Seruan
ini juga berdasarkan perjanjian Gowa dengan kerajaan lain,
yang menyatakan bahwa siapa yang menemukan suatu jalan
yang lebih baik, maka ia akan memberitahukan jalan itu
kepada raja—raja yang lain.4
2 Restu Gunawan, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan Sadirman, Sejarah Indonesia SMA/MA/MAK kelas X, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud, 2016, hlm. 221-222
3 Prof. Dr. M. Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2005, hlm. 2
Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi
Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran
sufisme Khalwatiyah5 dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga
tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada
pertengahan abad ke 17. Karena banyaknya tantangan dari
kaum bangsawan Gowa, maka ia meninggalkan Sulawesi
Selatan dan pergi ke Banten ia diterima oleh Sultan Ageng
Tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai
mufti6 di kesultanan.7
Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang
sejarah perjuangan Sultan Hassanudin dalam
mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan
politik dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VPC
tidak menaruh perhatian terhadap Kerajaan Gowa-Tallo yang
telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Berita
tentang pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat setelah
kapal Portugis dirampas oleh VOC pada masa Gubernur
Jendral J.P. Coen di dekat perairan Malaka. Di dalam kapal
5 Sufisme Khalwatiyah (Tarekat Khakwatiyah勝 adalah sebuah nama tarekat
yang berkembang di Mesir. Tarekat Khalwatiyah artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
6 Mufti adalah ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan
teks dan memberikan fatwa kepada umat.
tersebut terdapat orang Makassar. Dari orang Makassar
tersebut itulah ia mendapat berita tentang pentingnya
Pelabuhan Somba Opu sebagai pelabuhan transit terutama
untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634
VOC memblokir kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil.
Perisriwa peperangan dari waktu ke waktu terus berjalan dan
baru berhenti antara 1637-1638. Sempat tercipta perjanjian
damai namun tidak kekal karena pada 1638 terjadi
perampokkan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu
cendana dan muatannya dijual kepada orang Portugis. Perang
di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian
Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa
Tallo.8
3. Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo
Beberapa peninggalan Kerajaan Gowa Tallo di
antaranya adalah Benteng Rotterdam (Benteng Ujung
Pandang), Batu Pallantikang, Masjid Katangka, Kompleks
Makam Katangka, serta Makam Syekh Yusuf.
a. Benteng Fort Rotterdam
Benteng Fort Rotterdam adalah sebuah bangunan
benteng peninggalan masa kejayaan kerajaan Gowa Tallo
yang terletak di pesisir barat pantai kota Makassar. Benteng
ini dibangun oleh raja Gowa ke-9, yakni I Manrigau Daeng
Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna pada tahun
1545. Karena awalnya berbahan tanah liat, Raja Gowa ke-14,
yakni Sultan Alauddin kemudian memugar bangunan benteng
dengan bahan batu padas yang diperoleh dari pegunungan
Karst di Maros. Orang Makassar menyebut benteng Fort
Rotterdam dengan sebutan benteng panyyua atau benteng
penyu. Pasalnya, jika dilihat dari atas, benteng ini memiliki
bentuk seperti penyu. Bentuk ini memiliki filosofi bahwa
Kerajaan Gowa Tallo adalah kerajaan yang berjaya di laut dan
daratan, sama seperti penyu yang hidup di dua alam. Pada
masa silam, benteng Fort Rotterdam menjadi markas pasukan
katak kerajaan. selain itu, ia juga berfungsi sebagai pusat
pertahanan kerajaan Gowa-Tallo dari serangan laut. Pada
masa kepemimpinan Cornelis Speelman atas distrik Sulawesi
benteng ini pernah beralih fungsi menjadi tempat
penyimpanan rempah-rempah dari seluruh wilayah di
Indonesia Timur. Selain itu, nama benteng yang sebetulnya
adalah benteng Ujung Pandang, olehnya kemudian diubah
pula menjadi Benteng Rotterdam untuk mengenang tanah
b. Batu Pallantikang
Batu pallantikang atau batu pelantikan adalah sebuah batu
andesit yang diapit batu kapur. Batu peninggalan Kerajaan Gowa
Tallo ini dipercaya memiliki tuah karena dianggap sebagai batu
dari khayangan. Karena anggapan tersebut, sesuai namanya batu
ini digunakan sebagai tempat pengambilan sumpah atas setiap raja
atau penguasa baru di kerajaan Gowa Tallo. Batu ini masih insitu
atau berada di tempat aslinya, yakni di tenggara kompleks
pemakaman Tamalate.
c. Masjid Katangka
Masjid Al-Hilal lebih dikenal dengan mana Katangka
mengambil nama tempat atau desa di mana masjid berdiri. Ketika
naskah ini dibuat nama jalan di mana masjid berada adalah Jl.
Syech Yusuf, sebuah cabang dari Jalan Raya Gowa berbelok ke
timur pada Km 8,5. Dari persimpangan jalan tersebut, kurang
lebih 500M terdapat makam Syech Yusuf ulama Sufi dari
Makassar termasyur yang namanya untuk jalan tersebut. Masjid
katangka terletak beberapa ratus meter di sebelah timur makam di
sisi selatan jalan yang menjadi batas administrasi antara kota
Makassar dengan Kabupaten Gowa. Tahun didirikan masjid
Katangka tertera pada 1603 prasasti namun diragukan beberapa
sejarawan, mengingat konstruksi dan arsitekturnya yang tidak
sesuai dengan jaman dan tempat pembangunannya. Ada yang
berpendapat bahwa Masjid Katangka didirikan pada abad ke
XVIII. Konon masjid dibangun oleh seorang ulama Sumatera
tepatnya dari Minang kemudian oleh masyarakat diberi gelar
Daeng Bandang. Pada awal masuknya Islam di Sulawesi Selatan
pada 1582, raja Gowa XOO Tunijallo membangun masjid di
Mangallekana dekat benteng Somba Opu. Namun seperti telah
diuraikan di depan pusat pemerintahan Sumba Opu diratakan
dengan tanah oleh Belanda. Masjid telah dipugar beberapa kali,
yang pertama memperbaiki konstruksi atap, pintu dan jendela,
keluarga pendimnya, para pemuka islam dengan bentuk cukup
khas dan unik dengan model makam raja-raja Bugis-Makassar.9
d. Kompleks Makam Katangka
Di areal masjid Katangka, terdapat sebuah kompleks
pemakaman dari mendiang keluarga dan keturunan raja-raja Gowa,
termasuk makam Sultan Hasanuddin. Makam raja-raja bisa
dikenali dengan mudah karena diatapi dengan kubah. Sementara
makam pemuka agama, kerabat, serta keturunan raja hanya
ditandai dengan batu nisan biasa.
e. Makam Syekh Yusuf
9 Dr. Akin Duli,MA, ST. dkk, Monumen Islam di Sulawesi Selatan, Makassar :
Balai Cagar Budaya Makassar, 2013, hlm.39.
Syekh Yusuf adalah ulama besar yang hidup di zaman
kolonial Belanda. Pengaruhnya yang sangat besar bagi perlawanan
rakyat Gowa Tallo terhadap penjajah, membuat Belanda
mengasingkannya ke Srilanka, kemudian ke Cape Town, Afrika
Selatan. Jenazahnya setelah beberapa tahun kemudian
dikembalikan ke Makassar dan dimakamkan di sana, tepatnya di
dataran rendah Lakiung sebelah barat Masjid Katangka.
4.
Perkembangan Ekonomi
Pada abad ke-11 di Sulawesi Selatan terdapat kerajaan
Gowa, Tallo, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Perkembangan
kerajaan-kerajaan itu tidak sama karena masing-masing mempunyai potensi
yang berbeda. Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi besar karena
letaknya strategis, yaitu berada di jalur perdangan sehingga sering
menjadi tempat persinggahan pedagang dari Ternate dan Tidore
yang akan berdagang ke Malaka atau Jawa. Kerajaan Gowa Tallo
berkembang pesat dan menjadi penghubung antara Malaka, Jawa
dan Maluku.
Gowa-Tallo (Makassar) tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai
karena letaknya berada di tengah antara Maluku, Jawa,
Kalimantan, Sumatra, dan Malaka. Pertumbuhan Makassar makin
cepat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), sedangkan
Maluku dikuasai oleh Portugis dan Belanda. Banyak pedagang dari
Malaka, Aceh, dan Maluku yang pindah ke Makassar. Para
pedagang Makassar membawa beras dan gula dari Jawa dan daerah
Makassar sendiri ke Maluku yang ditukarkan dengan
rempah-rempah. Rempah-rempah itu lalu dijual ke Malaka dan pulangnya
membawa dagangan, seperti kain dari India, sutra dan tembikar
dari Cina, serta berlian dari Banjar.
Untuk menunjang Makasar sebagai pelabuhan transito10
dan untuk mencukupi kebutuhannya, maka kerajaan ini menguasai
daerah-daerah sekitarnya. Di sebelah timur ditaklukanlah Kerajaan
Bone; sedangan untuk memperlancar dan memperluas jalan
perdagangan, Makasar mengusai daerah-daerah selatan, seperti
10 Pelabuhan transito adalah pelabuhan tempat persinggahan kapal-kapal
pulau Selayar, Buton demikian juga Lombok dan Sumbawa di
Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian jalan perdagangan waktu
musim Barat yang melalui sebelah Utara kepulauan Nusa Tenggara
dan jalan perdagangan waktu musim Timur yang melalui sebelah
selatan dapat dikuasainya.
Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional,
sehingga banyak pedagang Asing seperti Portugis, Inggris, dan
Denmark berdagang di Makasar. Dengan jenis perahu-perahunya
seperti Pinisi dan Lambo, pedagang-pedagang Makasar memegang
peranan penting dalam perdagangan di Indonesia. Hal ini
menyebabkan mereka berhadapan dengan Belanda yang
menimbulkan beberapa kali peperangan. Pihak Belanda yang
merasa berkuasa atas Maluku sebagai sumber rempah-rempah,
menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap; sebab di Makasar
diperjualbelikan rempah-rempah yang berasal dari Maluku.
Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam
wilayahnya disusunlah hukum niaga dan perniagaan yang disebut
Ade Allopioping Bicarance Pabbalu'e dan sebuah naskah lontar
karya Amanna Gappa.
Kerajaan Gowa-Tallo berkembang pesat karena alasan-alasan
berikut
2. Banyak pedangang dari Malakan,Aceh dan Maluku yang
pindah ke Makasar
3. Banyak disinggahi para pedagang asing
5.
Perkembangan Pemerintah/ Politik
Sebetulnya ada banyak kerajaan di sekitar Makassar.
Misalnya Gowa, Tallo, Bone, Soppeng, Wajo, dan Sidenreng.
Namun, hanya Gowa dan Tallo yang menggabungkan diri menjadi
satu kekuatan dengan nama Makassar. Raja Makassar yang
pertama masuk Islam adalah Karaeng Matoaya dengan gelar Sultan
Alaudin (1593– 1639). Penguasa selanjutnya adalah Malekul Said
(1639–1653), berhasil membuat Kerajaan Makassar menjadi
saat Sultan Hasanuddin memegang tampuk kekuasaan. Di
tangannya, Kerajaan Makassar berkembang menjadi sebuah
kerajaan dengan jaringan perdagangan yang kuat dan pengaruh
yang luas.
Sultan Hasanuddin adalah seorang raja yang
antimonopoli, sehingga ketika Belanda datang ingin menguasai
jaringan perdagangan yang telah lama terbentuk, ia menentang
dengan keras. Keinginan VOC untuk memonopoli perdagangan di
Indonesia bagian timur jelas tidak bisa diterima oleh sultan.
Konflik terjadi dan Hasanuddin berhasil menghalau pasukan VOC
dari kawasan Maluku. Namun, upaya Belanda untuk menguasai
jaringan perdagangan di kawasan Indonesia bagian timur itu tidak
pernah surut. Dengan siasat adu domba, Belanda berhasil
memanfaatkan Aru Palaka (Raja Bone) untuk memasukkan
pengaruhnya. Saat itu, Kerajaan Bone masuk dalam kekuasaan
Kerajaan Makassar. Akhirnya, pada tahun 1667 Sultan Hasanuddin
harus menandatangani Perjanjian Bongaya dengan Belanda. Isi
perjanjian itu antara lain VOC diperbolehkan memonopoli
perdagangan dengan mendirikan benteng, Makassar melepaskan
wilayah-wilayah kekuasaannya, dan Aru Palaka dirajakan di
Bone.11
Kehidupan politik Kerajaan Gowa Tallo dapat dilihat
dari raja-raja yang memerintah, wilayah kekuasaan, dan
hubungannya dengan pihak luar negeri.
a. Raja yang memerintah
Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan kerajaan kembar
yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua kerajaan ini
letaknya berdekatan. Beberapa raja atau Sultan yang pernah
berkuasa pada masa kerajaan Gowa dan Tallo adalah sebagai
berikut :
1) Karaeng Matoaya
Karaeng Matoaya, lengkapnya Karaeng Matoaya I
Malingkang Daeng Manyonri' Karaeng Katangka atau
Sultan Abdullah, adalah seorang raja Kerajaan Tallo
(memerintah 1593-1623) sekaligus perdana menteri
Kesultanan Makassar, yang sangat berpengaruh pada abad
ke-17. Ia melantik Sultan Alauddin sebagai raja Kerajaan
Gowa, menggantikan saudaranya Tunipasulu. Hubungan
yang erat antara Karaeng Matoaya dan Sultan Alauddin
kemudian berhasil meningkatkan kejayaan Kesultanan
Makassar sehingga menjadi kekuatan militer dan
perdagangan yang disegani di wilayah timur Nusantara.
sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa, dan bergelar Sultan
Abdullah dengan julukan Awalul Islam.
2) Sultan Alaudin
Sultan Alaudin merupakan raja Gowa yang
memiliki nama asli Daeng Manrabia.12 Nama lengkapnya
yaitu I Mangakrangi Daeng Manrakbia. Raja Gowa dan
Tallo disebut penguasa dwitunggal.
I Mangakrangi Daeng Manrabia dilantik menjadi
Raja Gowa XIV ketika baru berusia tujuh tahun.Menurut
hukum adat Gowa-Tallo bahwa selama raja belum dewasa,
maka Tumabbicara Butta atau mangkubumi yang harus
menjalankan pemerintahan.Kebetulan yang menjadi
mangkubumi waktu itu ialah pamannya sendiri bernama I
Mallingkaang Daeng Nyonrik, Karaeng Katangka,
(kemudian jadi Raja Tallo).
Sultan Alauddin adalah raja pertama yang melakukan
jihad.Selain mengajarkan bagaimana melaksanakan
Ibadah, juga mengajarkan bagaimana berjihad di jalan
Allah.Waktu itu Belanda sudah masuk ke Kerajaan Gowa.
Kedatangannya pertama-tama hanya ingin melakukan
perdagangan, tapi selanjutnya ia mengembangkan misi
lainnya, selain menyebarkan Agama Kristen juga berusaha
untuk monopoli perdagangan rempah-rempah dari
Maluku.
3) Sultan Muhammad Said
Sultan Muhammad Said adalah pengganti Sultan
Alauddin. Ia meneruskan perjuangan ayahnya.13 Kerajaan
Gowa bertambah maju dan disegani dunia luar pada masa
pemerintahan raja Gowa ke XV I Manuntungi Daeng
Mattola yang bergelar Sultan Muhammad Said atau
Malikussaid, dari tahun 1639-1653. Raja ini didampingi
oleh mangkubuminya yang terkenal yang bernama
Karaeng Pattingaloang. Pada masa inilah, kerajaan Gowa
mencapai puncak kejayaan, mempunyai wilayah yang luas
dan besar pengaruhnya.14
4) Sultan Hassanudin
13Ibid.
Nama aslinya adalah Muhammad Bakir atau I
Mallambosi yang dikenal dengan nama Sultan Hassanudin.
Ia lahir di Makassar, 12 Januari 1631.
Setelah Sultan Hassanudin naik tahta, ia
menggabungkan beberapa kerajaan kecil Indonesia bagian
timur untuk bersama-sama melawan Belanda. Lalu di
tahun 1660 meletuslah perang antara Gowa dan Belanda
yang diakhiri dengan perdamaian. Karena di dalam
perdamaian tersebut banyak merugikan Gowa maka di
tahun 1666 Sultan Hasanuddi kembali menggencarkan
perlawanan terhadap Belanda. Dalam peperangan ini
Belanda dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang dapat
dipengaruhi. Perlawanan terus berlangsung akhirnya pada
tanggal 18 Nopember 1667 diadakan perjanjian Bongaya15
yang mengakhiri perang tersebut.
15 Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja勝 adalah
perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan phial Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman.
Namun perjanjian Bongaya ini tidak berhasil
memelihara perdamaian dalam waktu yang lama, dan
Sultan Haanuddin tertekan oeh isis perjanjian itu. Pada
bulan April 1667 Sultan Hasanuddin kembali melancarkan
serangan terhadap Belanda.
Tanggal 24 Juni 1668, pertahanan terkuat kerajaan
Gowa yaitu benteng Sobaupo jatuh ke tangan Belanda.
Dengan jatuhnya benteng tersebut ke tangan Belanda,
maka kekuatan Sultan Hasanuddin melemah. Beberapa
hari kemudian Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari
tahta kerajaan dan ia tetap tidak mau bekerja sama dengan
Belanda. Sultan Hasanuddin meninggal dunia tanggal 12
Juni 1670 karena keberaniannya, Belanda menjulukinya
“Ayam Jantan dari Timur”.16
5) I Mappasomba
Ia merupakan pengganti Sultan Hassanudin. Ketika
ia menjadi raja, ia masih berusia 13 tahun.17 I
Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Katangka bergelar
16 Amir Hendrasah, Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler, Yogyakarta :
Galangpress Group,hlm. 27.
Sultan Ali adalah putra mahkota Kerajaan Gowa. Sebagai
putra mahkota Kerajaan Gowa, I Mappa- nama panggilan
kecilnya di kerajaan ditugasi sebagai kepala staf gabungan
militer sekaligus kepala koordinasi pemerintahan Kerajaan
Gowa. Sering menggantikan ayahnya untuk menjalankan
tugas-tugas kenegaraan, I Mappa tergolong gigih
menentang kompeni.18
b. Wilayah Kekuasaan
Kerajaan Gowa-Tallo atau Makassar adalah salah satu
Kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara. Wilayah
kekuasaan Kerajaan Makassar pada pertengahan abad
XVII dapat meliputi sebagian besar kepulauan Nusantara
bagian Timur, seluruh Sulawesi, Sula,
Dobo,Buru-Kepulauan Aru Maluku di sebelah timur, termasuk Sangir,
18 S.M Noor, Perang Makassar 1669, Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara,2011, hlm. xi
Talaud, Pegu, Mindanao di bagian utara, Timor, Sumba,
Flores, Sumbawa, Lombok-Nusa Tenggara di sebelah
selatan, serta Kutai dan Berau di Kalimantan Timur
sebelah Barat bahkan sampai Marege-Australia Utara.
Makassar sudah dikenal dan tercantum dalam
lembaran Syair 14 (4) dan (5) Kitab Negarakertagama
karangan Prapanca (1364) sebagai Daerah ke-VI Kerajaan
Majapahit di Sulawesi. Kemunduran Kerajaan Majapahit
akibat adanya kekacauan politik serta perang saudara di
dalam kerajaan membuat wilayah-wilayah jajahannya
terbengkalai. Banyak wilayah jajahan Majapahit
melepaskan diri sepenuhnya dari Majapahit dan menjadi
Kerajaan tersendiri.
Kerajaan Makassar merupakan kerajaan yang berdiri di
Sulawesi. Kerajaan Makassar merupakan gabungan dari
kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kerajaan Gowa dan
Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga
melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan
sebutan kerajaan Makasar. Sebelumnya Kerajaan Gowa
dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Kerajaan Siang.
Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Tallo pernah
ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri
besar” dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004). Pada
pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun
pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai
barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan
Somba Opu. Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang
mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa
pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna.
Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa
petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di
penghujung Abad XVI.
Kerajaan Makassar mulai berkembang sejak
Tumapa'risi Kallona memperluas daerah kerajaannya
dengan menaklukkan beberapa kampung atau kerajaan
kecil. Tumapa'risi Kallonna memerintahkan pula
membangun beberapa benteng di pesisir pantai yang
merupakan benteng pertahanan memanjang dari utara ke
selatan. Pada masa itu Makassar mempunyai belasan
benteng pertahanan, dan benteng Somba Opu merupakan
yang paling besar. Bahkan Ilmuwan Inggris, William
Wallace, menyatakan, Benteng Somba Opu adalah
benteng terkuat yang pernah dibangun orang nusantara.
Pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya,
meskipun kerajaan Gowa-Tallo ini bercorak Islam, akan
tetapi diberitakan adanya hubungan baik dengan bangsa
Portugis yang datang dengan membawa agama
Kristen-Katolik. Kerajaan ini bahkan memberi bantuan dan menanam
sahah dalam perdagangan orang-orang Portugis (Francisco
Viera yang menjadi utusan kerajaan Gowa ke Batavia dan
Banten).
Hubungan erat Gowa-Tallo dengan orang Portugis
dalam bidang perdagangan ini mungkin disebabkan adanya
ancaman dari VOC Belanda yang berusaha memonopoli
perdagangan rempah-rempah Maluku.
6. Perkembangan Agama
Agama yang berkembang di kerajaan Gowa Tallo
adalah agama islam. Perkembangan agama islam di daerah
Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran
tersebar di kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan
abad ke-17 Masehi. Akan tetapi, karena banyaknya tantangan dari
kaum bangsawan Gowa, ia meninggalkan Sulawesi Selatan pergi
ke Banten yang kemudian diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
7. Perkembangan sosial dan Budaya
Sudah sejak lama suku bangsa Bugis dikenal sebagai
bangsa pelaut yang ulung. Salah satu hasil budayanya yang
mengagumkan adalah perahu pinisi. Dengan menggunakan perahu
itu, mereka mengarungi lautan lepas dan membangun jaringan
pelayaran dan perdagangan antarpulau bahkan antarkawasan. Para
penguasa Gowa sudah sejak lama menerapkan prinsip mare
liberum atau laut bebas. Meskipun begitu, mereka sangat terikat
dengan dengan norma adat yang ketat. Norma yang dianut
masyarakat Makassar biasa disebut pangadakkang bersumber dari
ajaran agama Islam. Bahkan hingga kini, masyarakat Makassar
terkenal dengan penghormatannya yang kuat pada norma-norma
adat. Struktur sosial masyarakat Makassar meliputi golongan
bangsawan yang disebut karaeng, rakyat kebanyakan yang disebut
to maradeka dan hamba sahaya yang disebut ata.19
Walaupun masyarakat Makassar memiliki
kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan
hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat
dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan
masyarakat Makassar diatur berdasarkan adat dan agama Islam
yang disebut Pangadakkang. dan masyarakat Makassar sangat
percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Makassar
juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang
merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan
“Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to
Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para
hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makassar
banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan
dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis
kapal yang dibuat oleh orang Makassar dikenal dengan nama
Pinisi dan Lombo.
8. Kerajaan Wajo
1. Sejarah Awal
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain
yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To
Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo
Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah,
utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau
Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui
namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri
Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui
tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan
danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan
memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri
Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang
yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri
menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi
sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat
Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus
Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan
membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La
Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng
menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali
La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi
membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan
menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian
meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui
perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah
kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama
bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng
yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau
menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah
menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi
Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng
Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri
Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.
2.
Kerajaan Wajo
Berita tentang tumbuh dan berkembangnya kerajaan
Wajo terdapat pada sumber hikayat lokal. Di hikayat lokal
tersebut ada cerita yang menghubungkan tentang pendirian
kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari keturunan dewa
yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga
bagian (limpo) bangsa Wajo : Bettempola, Talonlenreng, dan
Tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo
dengan gelar Batara Wajo. Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun
tahta karena kelakuannya yang buruk dan dibunuh oleh tiga orang
Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu raja-raja di Wajo
tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang
keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau
utama.
Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja
diperluas dengan tiga pa’betelompo (pendukung panji) 30
arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota
dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan
segala perkara. Kerajaan Wajo mempeluas daerah kekuasaannya
sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. Wajo pernah
bersekutu dengan Kerajaan Luwu dan bersatu dengan Kerajaan
Bone dan Soppeng dalam perjanjian Tellum Poco pada 1582.
Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas
Islam dan pernah tunduk pada 1610. Di samping itu diceritakan
pula dalam hikayat tersebut bahwa Dato’ ri Bandang dan Dato’
Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap
waktu itu di Kerajaan wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau
syura dan yang menjadikadi pertama di Wajo ialah konon seorang
wali dengan mukjizatnya ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan
bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 sampai 1679 diperintah
oleh sepuluh orang arung-matoa.Persekutuandengan Gowa pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalam
peperangan tetapi berulang kali Gowa juga mencampuri urusan
pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu
Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone
pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah
ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka Kerajaan
Bone sendiri takluk kepada kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan
Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat
bantuan dari Aru Palaka dari Bone berakhir dengan perjanjian
Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa
pada VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang
tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan Wajo
yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-matoa
penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar
tentang penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC.20
Wajo mengalami perubahan struktural pasca
Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak
kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat
monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat
monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada
pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi
anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah
bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara
bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610
pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan
Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo.
Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah
yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas
Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan
meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669)
disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah
Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai
To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan
Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani
perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan
gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke
Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan
banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun
komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang
terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang
kini dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua
Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan
militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan
pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata.
La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung
Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan
posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di
sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan
Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral),
Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten).
Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan
dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo
dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung
pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan politik
pasifikasi untuk memaksa semua kerajaan di Sulawesi Selatan
tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga
harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar
denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau
tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun
1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama
swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957.
Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara
maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah
1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang
dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya
Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
Masa keemasan dan kemegahan Kerajaan Wajo
masih terasa melalui peninggalannya yang tersisa meskipun
beberapa di antaranya dalam kondisi tidak terawat. Salah satu,
bukti dan peninggalan sejarah yang tersisa yakni Masjid Kuno
di Tosora. Tempat ibadah umat Islam ini yang pertama di
bangun di Wajo. Ada yang menyebutnya Masjid Jami Tosora,
adapula yang menyebutnya dengan nama Masjid Kuno
Tosora.
Sisa peradaban masa lampau Kerajaan Wajo ini
terletak di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng. Lokasi ini
pernah menjadi pusat peradaban di Kabupaten Wajo, karena
merupakan pusat Kerajaan Wajo pada zaman dahulu. Bahkan,
Tosora pernah menjadi ibu kota Kabupaten Wajo sebelum
dipindahkan ke Sengkang. Berbagai peninggalan sejarah
berupa bangunan maupun makam raja-raja Wajo bisa
ditemukan di wilayah ini.
b. Makam-makam kuno
Menurut informasi dari masyarakat mengatakan
bahwa di Desa Tosora terdapat banyak sekali makam-makam
kuno yang tersebar di mana-mana, baik terkonsentrasi pada
beberapa kompleks pemakaman maupun yang tersebar secara
acak. Sebaran makam-makam kuno seperti tersebut di atas,
penulis masih dapat amati ketika pertama kali berkunjung ke
Tosora pada tahun 1987. Namun kondisinya sudah berubah
ketika tahun 2002 penulis berkunjung lagi ke daerah tersebut,
yaitu semakin bertambah dan padatnya pemukiman penduduk,
sehingga sebahagian besar makam-makam kuno tersebut
sudah hilang, bahkan bagian-bagian bangunan jirat dan
nisannya dipergunakan penduduk sebagai bahan membuat
jalan, jembatan dan bangunan rumah. Kondisi tersebut sangat
menyedihkan, namun kita tidak bisa berbuat banyak untuk Gambar 1.9 Makam-makam kuno di
mengatasi hal yang demikian.Untung bahwa makam-makam
kuno yang terkonsentrasi berupa suatu kompleks, sebagian
besar sudah dilindungi oleh pihak Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala, walaupun kelihatannya tidak terawat
dengan baik.
Peninggalan makam-makam kuno yang
dideskripsikan dalam tulisan ini, terdiri atas tujuh kompleks
yang penamaannya diberikan sesuai dengan nama tokoh yang
paling berpengaruh yang dimakamkan di dalamnya, yaitu :
Kompleks Makam Arung Benteng Pola
Kompleks makam Arung Benteng Pola berada di sisi
barat Mesjid Tua Tosora (Lihat Foto 3).Kompleks makam
ini berada pada ketinggian 30,6 m dpl. Terdapat 12
makam yang terlihat.Sebagian makam tersebut sudah
tidak memiliki jirat. Bentuk nisanyang terlihat terdiri dari
meriam, mahkotadan pipih. Menurut ceritera masyarakat
bahwa makam dengan dua nisan meriam, adalah makam
dari Renreng Benteng Pola La Gau dengan gelar
MatinroE ri Masigina.
Adapun ukuran nisan yaitu :
Tinggi : 74 cm
Diameter : 35 cm
Nisan tipe pipih
Tinggi : 66 cm
Lebar : 35,5 cm
Tebal : 9,5 cm
Nisan tipe mahkota
Tinggi : 33 cm
Diameter : 60 cm
Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngeng
Kompleks makam La Tenrilai To Sengeng berada
tidak jauh dari mesjid tua Tosora. Letaknya berada di sisi
utara benteng.Kompleks makam ini berada pada
ketinggian 30,7 m dpl.Jumlah makam yang terlihat di
kompleks makam tersebut sebanyak 44 makam.Bentuk Gambar 1.10 Beberapa makam di
jirat sebagian besar makam tersebut sangat sederhana.Hal
tersebut terlihat karena sebagian besar jirat makam ini
terbuat dari papan batu yang disusun persegi.Bahkan ada
juga makam yang tidak memiliki jirat.Makam tersebut
hanya ditandai dengan nisan yang ditancapkan.
Di dalam kompleks makam tersebut, terdapat
beberapa bentuk nisan yang terlihat, yaitu : nisan dari
meriam yang konon menurut penduduk setempat
mengatakan sebagai makam dari La Tenrilai
Tosengngeng, nisan menhir baik yang masif maupun
yang sudah ditata dengan ukuran antara 0,43 m – 1,64 m,
nisan setengah lingkaran (tipe Wajo) dengan hiasan
berupa jari-jari berjumlah 4, 8, 16, 22, dan nisan tipe
pipih (berbentuk perisai, ujung tombak). Bahan batu yang
digunakan adalah batu sedimen.
Kompleks Makam La Maungkace To U’damang
Kompleks makam La Maungkace To U’ damang
berada di luar benteng sisi utara.Makam terletak
diketinggian 30,6 m dpl. Jumlah makam di kompleks ini
sebanyak 83 makam.Sebagian besar jirat di kompleks
makam ini tidak terlihat (kemungkinan makam ini juga
tidak jirat). Makam tersebut hanya ditandai dengan nisan.
pada umumnya masih masif, dengan tinggi antara 0,45 m
– 2,12 m, nisan silindrik yang paling dominan, dan nisan
setengah bulat (tipe Wajo). Menurut masyarakat setempat
mengatakan bahwa salah satu tokoh yang dimakamkan di
dalamnya adalah La Maungkace To U’damang yang
menggunakan nisan menhir yang paling tinggi.
4.
Raja-Raja yang Memerintah
Raja raja yang pernah memerintah di kerajaan wajo
Zaman sebelum islam
1) La Tenri Bali Batara Wajo I (akhir abad ke XIV)
2) La Mataesso Batara Wajo II (awal abad ke XV)
3) La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III (1436-1456)
4) La Palewo To Palippu Batara Wajo IV (1456-1466)
5) La Obbi’ Settiware’ Batara Wajo V (1466-1469)
6) La Tenri Umpu’ To Langi Arung Matoa Wajo (1474-1482)
7) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo
(1482-1487)
8) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo
(1487-1491)
9) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo
10) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo
(1524-1535)
11) La Temmasonge Arung Matoa Wajo (1535-1538)
12) La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo
(1538-1547)
13) La Mallagenni Arung Matoa Wajo (1547/ hanya 2 bulan)
14) La Mappapuli To Appamadeng Ar
15) ung Matoa Wajo (1547-1564)
16) La Pakoko To Pabbele Arung Matoa Wajo (1564-1567)
17) La Mungkace To Addamang Arung Matoa Wajo
(1567-1607)
Zaman islam
1 L a Sangkuru Patau’ Mulajaji Sultan Abdul Rahman Arung
Matoa Wajo Matinroe ri Allepparenna (1607-1610)
2 La Mappepulu To Appamole Arung Matoa Wajo
(1612-1616)
3 La Samalewa To Appakiu Arung Matoa Wajo (1616-1621)
4 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo
(1621-1626)
5 La Mappasaunge’ Arung Matoa Wajo (1627-1628)
6 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo
7 La Tenri Lai To Addumemang Arung Matoa Wajo
(1636-1639)
8 La Isigajang To Bunne Arung Matoa Wajo Matinroe ri
Batana (1639-1643)
9 La Makkaraka To Patemmui Arung Matoa Wajo Matinroe
ri Panggaranna (1643-1648)
10 La Temmasonge Puanna Daeli Petta Pallinge Arung Matoa
Wajo (1648-1651)
11 La Paremma To Rewo Arung Matoa Wajo Matinroe ri
Passirinna (1651-1658)
12 La Tenri Lai To Sengngeng Arung Matoa Wajo Matinroe ri
Sale’kona (1658-1670)
13 La Pallili To Mallu Arung Matoa Wajo (1670-1679)
14 La Pariusi Daeng Manyampa Arung Matoa Wajo Matinroe
ri Buluna (1679-1699)
15 La Tenri Sessu Tomoe/ To Denra Arung Matoa Wajo
(1699-1702)
16 La Mattaone La Sakke Daeng Paguling Puanna Larumpang
Arung Matoa Wajo (1702-1703)
17 La Galigo To Sunnia Arung Matoa Wajo (1703-1712)
18 La Tenri Werung Arung Peneki Arung Matoa Wajo
19 La Salewangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo
(1715-1736)
20 La Maddukellang Puangna La Tombong Arung Peneki
Arung Singkang Sultan Pasir Arung Matoa Wajo
(1736-1754)
21 La Maddanaca Arung Matoa Wajo (1754-1755)
22 La Passaung Puangna La Omo Arung Matoa Wajo
(1758-1761)
23 La Mappajung Puangna Salewong Arung Matoa Wajo
(1764-1767)
24 La Malliungeng To Alleong Arung Alitta Arung Matoa
Wajo (1767-1770)
25 La Mallalengeng (La Cella’ Puangna To Appamadeng
Arung Matoa Wajo (1795-1817)
26 La Mamang To Appamadeng Radeng Gallong Arung
Matoa Wajo (1821-1825)
27 La Paddengngeng Puangna Palaguna Arung Matoa Wajo
(1839-1845)
28 La Pawellangi Pajungperot Arung Matoa Wajo
(1854-1859)
29 La Ciccing (Akil Ali) Karaeng Mangeppe Datu Pammana
30 La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo
(1885-1891)
31 La Passamula Datu Lompulle Arung Matoa Wajo
(1892-1897)
Zaman pengaruh belanda
1. Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe Arung Matoa Wajo
(1900-1916)
2. La Tenri Oddang Arung Larompong Arung Peneki Arung
Lowa Arung Matoa Wajo (1926-1933)
3. Andi Mangkona Arung Mariori Wawo (1933-1949) / Arung
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari makalah ini, kami dapat mengambil kesimpulan Munculnya
kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang
berlangsung ketika itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan
dengan jalur perdagangan. Penyebaran Islam yang dilakukan para pedagang
bisa dimungkinkan karena mereka pergi ke berbagai penjuru bumi. Dalam
ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban yang sama untuk berdakwah.
Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut untuk
dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat Al-Quran.
B. Saran
Demi kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan agar makalah ini dapat menjadikan suatu
pedoman untuk kalangan umum. Kami sebagai penyusun memohon maaf
atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Atas
DAFTAR PUSTAKA
Dwi Ari Listiyani. 2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI BAHASA. Jakarta :
Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Restu Gunawan, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan Sadirman. 2016. Sejarah
Indonesia SMA/MA/MAK kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Balitbang, Kemendikbud.
Prof. Dr. M. Ahmad Sewang. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI
sampai abad XVII). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Agussalim, S.Pd. 2016. “Suplemen Materi Ajar” Prasejarah Kemerdekaan di
Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2016.
Dr. Akin Duli, MA, ST, dkk.2013. Monumen Islam di Sulawesi Selatan.
Makassar : Balai Cagar Budaya Makassar.
Imtam Rus Ernawati. Nursiwi Ismawati.2009. Sejarah Kelas XI Untuk SMA/MA
Program Bahasa kelas XI. Klaten : PT. Cempaka Putih.
Drs. Sudjatmoko Adisukarjo dkk. 2007. Horizon IPS Ilmu Pengetahuan Sosial
Semester Pertama 5A. Bogor: Percetakan Ghalia.
Muhammad Abduh, dkk. 1985. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan
Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Amir Hendrasah. Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler. Yogyakarta :
Galangpress Group.
https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/2016/05/kerajaan-islam-di-sulawesi-dan-gorontalo.html
http://iingmetalica.blogspot.co.id/2012/11/makalah-sejarah-islam-di-sulaesi.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Gowa
http://ariakesuma12.blogspot.co.id/2016/11/kehidupan-ekonomi-kerajaan-gowa-tallo.html
http://www.nafiun.com/2013/02/masyarakat-kerajaan-gowa-tallo-kehidupan-sosial-dan-ekonomi.html
http://www.sejarah-negara.com/2015/02/tokoh-sejarah-kerajaan-gowa-tallo.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Karaeng_Matoaya
http://muhishaqramli.blogspot.co.id/2016/01/sultan-alauddin.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Bungaya
https://
artmelayu.blogspot.co.id/2013/07/tinggalan-masjid-lama-tosora-remains-of.html