• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI.docx"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH SEJARAH

KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI

Kelompok :

1. Ahmad Lukman Hakim

(02)

2. Annisa Nur Fauziyah

(06)

3. Ninik Widyantari Nurkholifah (23)

4. Sri Wahyuni

(31)

SMA NEGERI 2 KEBUMEN

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk

itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah

berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Kami juga berterimakasih kepada

Bpk. Henri Wibowo selaku guru sejarah kami. Tanpa bimbingan beliau, kami

tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena

itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca

agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat

maupun inspirasi terhadap pembaca.

Kebumen, Mei 2017

(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...i

Daftar Isi...ii

Daftar Gambar...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...2

C. Tujuan...3

D. Metodologi Data...3

BAB II PEMBAHASAN A. Kerajaan Gowa Tallo...4

1. Sejarah Awal...4

2. Kerajaan Gowa Tallo...6

3. Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo...10

4. Perkembangan Ekonomi...16

5. Perkembangan Pemerintah/Politik...19

a. Raja-raja...20

b. Wilayah Kekuasaan...25

c. Hubungan dengan Luar Negeri...28

6. Perkembangan Agama...29

(5)

B. Kerajaan Wajo...31

1. Sejarah Awal...31

2. Kerajaan Wajo...33

3. Peninggalan Kerajaan Wajo...38

4. Raja-Raja...43

BAB III PENUTUPAN A. Kesimpulan...48

B. Saran ...48

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta lokasi Kerajaan Gowa-Tallo

Gambar 1.2 Benteng Fort Rotterdam

Gambar 1.3 Batu Pallantikang

Gambar 1.4 Masjid Katangka sebelum direnovasi

Gambar 1.5 Masjid Katangka / Al-Hilal setelah direnovasi

Gambar 1.6 Masjid Al-Hilal Katangka di antara tembok kuburan

Gambar 1.7 Sultan Hasanuddin

Gambar 1.8 Masjid Tosora

Gambar 1.9 Makam-makam kuno di situs Tosora

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam sudah dikenal masyarakat sejak dahulu. Banyak

sekali cara penyebaran agama islam sehingga dapat diterma dengan

mudahnya oleh masyarakat. Dalam hal ini, dahulu islam berkembang

melalui kerajaan– kerajaan di Nusantara. Kerajaan Islam berkembang

pesat di nusantara baik berasal dari penyebaran oleh para pedangang

maupun melalui media lainnya. Seiring dengan persebaran agama Islam di

nusantara banyak didirikan kerajaan Islam. Salah satu Kerajan Islam tertua

di kawasan timur nusantara ialah Kerajaan Ternate, kerajaan ini berdiri

pada abad ke-13 hingga abad ke-17. Kerajaan Ternate pada umumnya

disebut kesultanan Ternate memiliki kekuatan besar dibidang

perekonomian karena memiliki kekayaan rempah-rempah dan daerah ini

mengalami eksodus penduduk dari Halmahera. Oleh sebab tersebut

Kerajaan Ternate memiliki pengaruh besar terhadap perdagangan di

nusantara dan padat penduduk. Kerajaan Islam yang berkedudukan di

Maluku setelah Kerajaan Ternate ialah Kerajaan Tidore. Kerajaan Tidore

berdiri pada tahun 1108 M dibawah kekuasaan Kolonel Belanda. Belanda

berusaha untuk memonopoli bumi Maluku karena memiliki kekayaan

rempah-rempah yang melimpah. Kerajaan Tidore mengalami masa

(8)

telah berjalan dengan baik. Dalam menghadapi penjajahan Kolonial

Belanda, Kerajaan Tidore mendapat bantuan dari Kerjaan Makassar yang

berkedudukan di Pantai barat semenanjung Sulawesi Selatan untuk

berjuang melawan Kolonial Belanda. Kerajaan Makassar menjadi

persinggahan para pedagang karena lokasinya strategis dengan jalur

perdagangan nusantara. Meskipun memiliki kekuatan yang besar dibawah

kepemimpinan Sultan Hassanudian, Belanda mampu menumbangkan

kejayaannya dengan melakukan politik devide et impera dan berdiplomasi

dengan kerajaan Bone yang diperintah oleh Raja Aru Palaka melakukan

pemberontakan terhadap Makassar. Kerajaan tersebut diatas berperan

penting dalam persebaran Islam, keadaan perekonomian, budaya, serta

politik pemerintahan di nusantara.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo?

2. Apa itu Kerajaan Gowa Tallo?

3. Apa saja peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa Tallo?

4. Bagaimana perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa Tallo?

5. Bagaimana perkembangan pemerintah/politik Kerajaan Gowa Tallo?

6. Bagaimana perkembangan agama Kerajaan Gowa Tallo?

7. Bagaimana perkembangan sosial dan budaya Kerajaan Gowa Tallo?

8. Bagaimana sejarah awal Kerajaan Wajo?

(9)

10. Apa saja peninggalan-peninggalan Kerajaan Wajo?

11. Siapa saja raja yang pernah memerintah Kerajaan Wajo?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo

2. Mengetahui Kerajaan Gowa Tallo

3. Mengetahui peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa Tallo

4. Mengetahui perkembangan politik Kerajaan Gowa Tallo

5. Mengetahui perkembangan pemerintah/politik Kerajaan Gowa Tallo

6. Mengetahui perkembangan agama Kerajaan Gowa Tallo

7. Mengetahui perkembangan sosial budaya Kerajaan Gowa Tallo

8. Mengetahui sejarah awal Kerajaan Wajo

9. Mengetahui Kerajaan Wajo

10. Mengetahui peninggalan-peninggalan Kerajaan Wajo

11. Mengetahui raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Wajo

D. Metodologi data

Metode yang kami gunakan dalam membuat makalah ini yaitu

(10)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerajaan Gowa-Tallo

1. Sejarah Awal

Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan

komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan

Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo,

Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero

dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan,

komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa.

Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai

pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan

empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang

pertama adalah Batara Guru dan saudaranya Gambar di bawah

merupakan peta Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan pada abad

16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone,

(11)

Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar.

(12)

2. Kerajaan Gowa-Tallo

Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa

kerajaan kecil, seperti Goa, Tello, Sopeng dan Bone. Di antara

kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian muncul sebagai kerajaan

besar ialah Goa dan Tello keduanya lebih dikenal dengan nama

Kerajaan Makasar.1

Di daerah Sulawesi Selatan, proses islamisasi makin

mantap dengan adanya para mubalig yang disebut Dato’

Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri bandang (Abdul Makmur

atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana

atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias

Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo

Tengah, Minangkabau. Para Mubalig itulah yang

mengislamkan Raja Luwuw yaitu Datu’La Patiware’ Daeng

Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16

Ramadhan 103H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul

oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari

Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng

Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil

Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan

1 Dwi Ari Listiyani, Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI BAHASA, Jakarta : Pusat

(13)

Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng

Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016

H atau 9 November 1607 M.2

Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan

tonggak sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi

Selatan, karena setelah itu, terjadi konversi ke dalam Islam

secara besar-besaran. Konversi itu ditandai dengan

dikeluarkannya sebuah dekrit Sultan Alauddin pada tanggal 9

Nopember 1607 sebagai agama kerajaan dan agama

masyarakat.3

Setelah Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi kerajaan

Islam dan raja-rajanya telah memperoleh gelar Sultan, maka

kerajaan itu juga yang menjadi pusat pengislaman di seluruh

Sulawesi Selatan, agar mereka juga menerima Islam. Seruan

ini juga berdasarkan perjanjian Gowa dengan kerajaan lain,

yang menyatakan bahwa siapa yang menemukan suatu jalan

yang lebih baik, maka ia akan memberitahukan jalan itu

kepada raja—raja yang lain.4

2 Restu Gunawan, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan Sadirman, Sejarah Indonesia SMA/MA/MAK kelas X, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud, 2016, hlm. 221-222

3 Prof. Dr. M. Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2005, hlm. 2

(14)

Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi

Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran

sufisme Khalwatiyah5 dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga

tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada

pertengahan abad ke 17. Karena banyaknya tantangan dari

kaum bangsawan Gowa, maka ia meninggalkan Sulawesi

Selatan dan pergi ke Banten ia diterima oleh Sultan Ageng

Tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai

mufti6 di kesultanan.7

Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang

sejarah perjuangan Sultan Hassanudin dalam

mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan

politik dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VPC

tidak menaruh perhatian terhadap Kerajaan Gowa-Tallo yang

telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Berita

tentang pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat setelah

kapal Portugis dirampas oleh VOC pada masa Gubernur

Jendral J.P. Coen di dekat perairan Malaka. Di dalam kapal

5 Sufisme Khalwatiyah (Tarekat Khakwatiyah勝 adalah sebuah nama tarekat

yang berkembang di Mesir. Tarekat Khalwatiyah artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.

6 Mufti adalah ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan

teks dan memberikan fatwa kepada umat.

(15)

tersebut terdapat orang Makassar. Dari orang Makassar

tersebut itulah ia mendapat berita tentang pentingnya

Pelabuhan Somba Opu sebagai pelabuhan transit terutama

untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634

VOC memblokir kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil.

Perisriwa peperangan dari waktu ke waktu terus berjalan dan

baru berhenti antara 1637-1638. Sempat tercipta perjanjian

damai namun tidak kekal karena pada 1638 terjadi

perampokkan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu

cendana dan muatannya dijual kepada orang Portugis. Perang

di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian

Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa

Tallo.8

(16)

3. Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo

Beberapa peninggalan Kerajaan Gowa Tallo di

antaranya adalah Benteng Rotterdam (Benteng Ujung

Pandang), Batu Pallantikang, Masjid Katangka, Kompleks

Makam Katangka, serta Makam Syekh Yusuf.

a. Benteng Fort Rotterdam

Benteng Fort Rotterdam adalah sebuah bangunan

benteng peninggalan masa kejayaan kerajaan Gowa Tallo

yang terletak di pesisir barat pantai kota Makassar. Benteng

ini dibangun oleh raja Gowa ke-9, yakni I Manrigau Daeng

Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna pada tahun

1545. Karena awalnya berbahan tanah liat, Raja Gowa ke-14,

(17)

yakni Sultan Alauddin kemudian memugar bangunan benteng

dengan bahan batu padas yang diperoleh dari pegunungan

Karst di Maros. Orang Makassar menyebut benteng Fort

Rotterdam dengan sebutan benteng panyyua atau benteng

penyu. Pasalnya, jika dilihat dari atas, benteng ini memiliki

bentuk seperti penyu. Bentuk ini memiliki filosofi bahwa

Kerajaan Gowa Tallo adalah kerajaan yang berjaya di laut dan

daratan, sama seperti penyu yang hidup di dua alam. Pada

masa silam, benteng Fort Rotterdam menjadi markas pasukan

katak kerajaan. selain itu, ia juga berfungsi sebagai pusat

pertahanan kerajaan Gowa-Tallo dari serangan laut. Pada

masa kepemimpinan Cornelis Speelman atas distrik Sulawesi

benteng ini pernah beralih fungsi menjadi tempat

penyimpanan rempah-rempah dari seluruh wilayah di

Indonesia Timur. Selain itu, nama benteng yang sebetulnya

adalah benteng Ujung Pandang, olehnya kemudian diubah

pula menjadi Benteng Rotterdam untuk mengenang tanah

(18)

b. Batu Pallantikang

Batu pallantikang atau batu pelantikan adalah sebuah batu

andesit yang diapit batu kapur. Batu peninggalan Kerajaan Gowa

Tallo ini dipercaya memiliki tuah karena dianggap sebagai batu

dari khayangan. Karena anggapan tersebut, sesuai namanya batu

ini digunakan sebagai tempat pengambilan sumpah atas setiap raja

atau penguasa baru di kerajaan Gowa Tallo. Batu ini masih insitu

atau berada di tempat aslinya, yakni di tenggara kompleks

pemakaman Tamalate.

c. Masjid Katangka

(19)

Masjid Al-Hilal lebih dikenal dengan mana Katangka

mengambil nama tempat atau desa di mana masjid berdiri. Ketika

naskah ini dibuat nama jalan di mana masjid berada adalah Jl.

Syech Yusuf, sebuah cabang dari Jalan Raya Gowa berbelok ke

timur pada Km 8,5. Dari persimpangan jalan tersebut, kurang

lebih 500M terdapat makam Syech Yusuf ulama Sufi dari

Makassar termasyur yang namanya untuk jalan tersebut. Masjid

katangka terletak beberapa ratus meter di sebelah timur makam di

sisi selatan jalan yang menjadi batas administrasi antara kota

Makassar dengan Kabupaten Gowa. Tahun didirikan masjid

Katangka tertera pada 1603 prasasti namun diragukan beberapa

sejarawan, mengingat konstruksi dan arsitekturnya yang tidak

sesuai dengan jaman dan tempat pembangunannya. Ada yang

berpendapat bahwa Masjid Katangka didirikan pada abad ke

XVIII. Konon masjid dibangun oleh seorang ulama Sumatera

tepatnya dari Minang kemudian oleh masyarakat diberi gelar

Daeng Bandang. Pada awal masuknya Islam di Sulawesi Selatan

pada 1582, raja Gowa XOO Tunijallo membangun masjid di

Mangallekana dekat benteng Somba Opu. Namun seperti telah

diuraikan di depan pusat pemerintahan Sumba Opu diratakan

dengan tanah oleh Belanda. Masjid telah dipugar beberapa kali,

yang pertama memperbaiki konstruksi atap, pintu dan jendela,

(20)

keluarga pendimnya, para pemuka islam dengan bentuk cukup

khas dan unik dengan model makam raja-raja Bugis-Makassar.9

d. Kompleks Makam Katangka

Di areal masjid Katangka, terdapat sebuah kompleks

pemakaman dari mendiang keluarga dan keturunan raja-raja Gowa,

termasuk makam Sultan Hasanuddin. Makam raja-raja bisa

dikenali dengan mudah karena diatapi dengan kubah. Sementara

makam pemuka agama, kerabat, serta keturunan raja hanya

ditandai dengan batu nisan biasa.

e. Makam Syekh Yusuf

9 Dr. Akin Duli,MA, ST. dkk, Monumen Islam di Sulawesi Selatan, Makassar :

Balai Cagar Budaya Makassar, 2013, hlm.39.

(21)

Syekh Yusuf adalah ulama besar yang hidup di zaman

kolonial Belanda. Pengaruhnya yang sangat besar bagi perlawanan

rakyat Gowa Tallo terhadap penjajah, membuat Belanda

mengasingkannya ke Srilanka, kemudian ke Cape Town, Afrika

Selatan. Jenazahnya setelah beberapa tahun kemudian

dikembalikan ke Makassar dan dimakamkan di sana, tepatnya di

dataran rendah Lakiung sebelah barat Masjid Katangka.

4.

Perkembangan Ekonomi

Pada abad ke-11 di Sulawesi Selatan terdapat kerajaan

Gowa, Tallo, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Perkembangan

kerajaan-kerajaan itu tidak sama karena masing-masing mempunyai potensi

(22)

yang berbeda. Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi besar karena

letaknya strategis, yaitu berada di jalur perdangan sehingga sering

menjadi tempat persinggahan pedagang dari Ternate dan Tidore

yang akan berdagang ke Malaka atau Jawa. Kerajaan Gowa Tallo

berkembang pesat dan menjadi penghubung antara Malaka, Jawa

dan Maluku.

Gowa-Tallo (Makassar) tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai

karena letaknya berada di tengah antara Maluku, Jawa,

Kalimantan, Sumatra, dan Malaka. Pertumbuhan Makassar makin

cepat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), sedangkan

Maluku dikuasai oleh Portugis dan Belanda. Banyak pedagang dari

Malaka, Aceh, dan Maluku yang pindah ke Makassar. Para

pedagang Makassar membawa beras dan gula dari Jawa dan daerah

Makassar sendiri ke Maluku yang ditukarkan dengan

rempah-rempah. Rempah-rempah itu lalu dijual ke Malaka dan pulangnya

membawa dagangan, seperti kain dari India, sutra dan tembikar

dari Cina, serta berlian dari Banjar.

Untuk menunjang Makasar sebagai pelabuhan transito10

dan untuk mencukupi kebutuhannya, maka kerajaan ini menguasai

daerah-daerah sekitarnya. Di sebelah timur ditaklukanlah Kerajaan

Bone; sedangan untuk memperlancar dan memperluas jalan

perdagangan, Makasar mengusai daerah-daerah selatan, seperti

10 Pelabuhan transito adalah pelabuhan tempat persinggahan kapal-kapal

(23)

pulau Selayar, Buton demikian juga Lombok dan Sumbawa di

Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian jalan perdagangan waktu

musim Barat yang melalui sebelah Utara kepulauan Nusa Tenggara

dan jalan perdagangan waktu musim Timur yang melalui sebelah

selatan dapat dikuasainya.

Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional,

sehingga banyak pedagang Asing seperti Portugis, Inggris, dan

Denmark berdagang di Makasar. Dengan jenis perahu-perahunya

seperti Pinisi dan Lambo, pedagang-pedagang Makasar memegang

peranan penting dalam perdagangan di Indonesia. Hal ini

menyebabkan mereka berhadapan dengan Belanda yang

menimbulkan beberapa kali peperangan. Pihak Belanda yang

merasa berkuasa atas Maluku sebagai sumber rempah-rempah,

menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap; sebab di Makasar

diperjualbelikan rempah-rempah yang berasal dari Maluku.

Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam

wilayahnya disusunlah hukum niaga dan perniagaan yang disebut

Ade Allopioping Bicarance Pabbalu'e dan sebuah naskah lontar

karya Amanna Gappa.

Kerajaan Gowa-Tallo berkembang pesat karena alasan-alasan

berikut

(24)

2. Banyak pedangang dari Malakan,Aceh dan Maluku yang

pindah ke Makasar

3. Banyak disinggahi para pedagang asing

5.

Perkembangan Pemerintah/ Politik

Sebetulnya ada banyak kerajaan di sekitar Makassar.

Misalnya Gowa, Tallo, Bone, Soppeng, Wajo, dan Sidenreng.

Namun, hanya Gowa dan Tallo yang menggabungkan diri menjadi

satu kekuatan dengan nama Makassar. Raja Makassar yang

pertama masuk Islam adalah Karaeng Matoaya dengan gelar Sultan

Alaudin (1593– 1639). Penguasa selanjutnya adalah Malekul Said

(1639–1653), berhasil membuat Kerajaan Makassar menjadi

(25)

saat Sultan Hasanuddin memegang tampuk kekuasaan. Di

tangannya, Kerajaan Makassar berkembang menjadi sebuah

kerajaan dengan jaringan perdagangan yang kuat dan pengaruh

yang luas.

Sultan Hasanuddin adalah seorang raja yang

antimonopoli, sehingga ketika Belanda datang ingin menguasai

jaringan perdagangan yang telah lama terbentuk, ia menentang

dengan keras. Keinginan VOC untuk memonopoli perdagangan di

Indonesia bagian timur jelas tidak bisa diterima oleh sultan.

Konflik terjadi dan Hasanuddin berhasil menghalau pasukan VOC

dari kawasan Maluku. Namun, upaya Belanda untuk menguasai

jaringan perdagangan di kawasan Indonesia bagian timur itu tidak

pernah surut. Dengan siasat adu domba, Belanda berhasil

memanfaatkan Aru Palaka (Raja Bone) untuk memasukkan

pengaruhnya. Saat itu, Kerajaan Bone masuk dalam kekuasaan

Kerajaan Makassar. Akhirnya, pada tahun 1667 Sultan Hasanuddin

harus menandatangani Perjanjian Bongaya dengan Belanda. Isi

perjanjian itu antara lain VOC diperbolehkan memonopoli

perdagangan dengan mendirikan benteng, Makassar melepaskan

wilayah-wilayah kekuasaannya, dan Aru Palaka dirajakan di

Bone.11

(26)

Kehidupan politik Kerajaan Gowa Tallo dapat dilihat

dari raja-raja yang memerintah, wilayah kekuasaan, dan

hubungannya dengan pihak luar negeri.

a. Raja yang memerintah

Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan kerajaan kembar

yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua kerajaan ini

letaknya berdekatan. Beberapa raja atau Sultan yang pernah

berkuasa pada masa kerajaan Gowa dan Tallo adalah sebagai

berikut :

1) Karaeng Matoaya

Karaeng Matoaya, lengkapnya Karaeng Matoaya I

Malingkang Daeng Manyonri' Karaeng Katangka atau

Sultan Abdullah, adalah seorang raja Kerajaan Tallo

(memerintah 1593-1623) sekaligus perdana menteri

Kesultanan Makassar, yang sangat berpengaruh pada abad

ke-17. Ia melantik Sultan Alauddin sebagai raja Kerajaan

Gowa, menggantikan saudaranya Tunipasulu. Hubungan

yang erat antara Karaeng Matoaya dan Sultan Alauddin

kemudian berhasil meningkatkan kejayaan Kesultanan

Makassar sehingga menjadi kekuatan militer dan

perdagangan yang disegani di wilayah timur Nusantara.

(27)

sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa, dan bergelar Sultan

Abdullah dengan julukan Awalul Islam.

2) Sultan Alaudin

Sultan Alaudin merupakan raja Gowa yang

memiliki nama asli Daeng Manrabia.12 Nama lengkapnya

yaitu I Mangakrangi Daeng Manrakbia. Raja Gowa dan

Tallo disebut penguasa dwitunggal.

I Mangakrangi Daeng Manrabia dilantik menjadi

Raja Gowa XIV ketika baru berusia tujuh tahun.Menurut

hukum adat Gowa-Tallo bahwa selama raja belum dewasa,

maka Tumabbicara Butta atau mangkubumi yang harus

menjalankan pemerintahan.Kebetulan yang menjadi

mangkubumi waktu itu ialah pamannya sendiri bernama I

Mallingkaang Daeng Nyonrik, Karaeng Katangka,

(kemudian jadi Raja Tallo).

Sultan Alauddin adalah raja pertama yang melakukan

jihad.Selain mengajarkan bagaimana melaksanakan

Ibadah, juga mengajarkan bagaimana berjihad di jalan

Allah.Waktu itu Belanda sudah masuk ke Kerajaan Gowa.

Kedatangannya pertama-tama hanya ingin melakukan

perdagangan, tapi selanjutnya ia mengembangkan misi

lainnya, selain menyebarkan Agama Kristen juga berusaha

(28)

untuk monopoli perdagangan rempah-rempah dari

Maluku.

3) Sultan Muhammad Said

Sultan Muhammad Said adalah pengganti Sultan

Alauddin. Ia meneruskan perjuangan ayahnya.13 Kerajaan

Gowa bertambah maju dan disegani dunia luar pada masa

pemerintahan raja Gowa ke XV I Manuntungi Daeng

Mattola yang bergelar Sultan Muhammad Said atau

Malikussaid, dari tahun 1639-1653. Raja ini didampingi

oleh mangkubuminya yang terkenal yang bernama

Karaeng Pattingaloang. Pada masa inilah, kerajaan Gowa

mencapai puncak kejayaan, mempunyai wilayah yang luas

dan besar pengaruhnya.14

4) Sultan Hassanudin

13Ibid.

(29)

Nama aslinya adalah Muhammad Bakir atau I

Mallambosi yang dikenal dengan nama Sultan Hassanudin.

Ia lahir di Makassar, 12 Januari 1631.

Setelah Sultan Hassanudin naik tahta, ia

menggabungkan beberapa kerajaan kecil Indonesia bagian

timur untuk bersama-sama melawan Belanda. Lalu di

tahun 1660 meletuslah perang antara Gowa dan Belanda

yang diakhiri dengan perdamaian. Karena di dalam

perdamaian tersebut banyak merugikan Gowa maka di

tahun 1666 Sultan Hasanuddi kembali menggencarkan

perlawanan terhadap Belanda. Dalam peperangan ini

Belanda dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang dapat

dipengaruhi. Perlawanan terus berlangsung akhirnya pada

tanggal 18 Nopember 1667 diadakan perjanjian Bongaya15

yang mengakhiri perang tersebut.

15 Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja勝 adalah

perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan phial Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman.

(30)

Namun perjanjian Bongaya ini tidak berhasil

memelihara perdamaian dalam waktu yang lama, dan

Sultan Haanuddin tertekan oeh isis perjanjian itu. Pada

bulan April 1667 Sultan Hasanuddin kembali melancarkan

serangan terhadap Belanda.

Tanggal 24 Juni 1668, pertahanan terkuat kerajaan

Gowa yaitu benteng Sobaupo jatuh ke tangan Belanda.

Dengan jatuhnya benteng tersebut ke tangan Belanda,

maka kekuatan Sultan Hasanuddin melemah. Beberapa

hari kemudian Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari

tahta kerajaan dan ia tetap tidak mau bekerja sama dengan

Belanda. Sultan Hasanuddin meninggal dunia tanggal 12

Juni 1670 karena keberaniannya, Belanda menjulukinya

“Ayam Jantan dari Timur”.16

5) I Mappasomba

Ia merupakan pengganti Sultan Hassanudin. Ketika

ia menjadi raja, ia masih berusia 13 tahun.17 I

Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Katangka bergelar

16 Amir Hendrasah, Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler, Yogyakarta :

Galangpress Group,hlm. 27.

(31)

Sultan Ali adalah putra mahkota Kerajaan Gowa. Sebagai

putra mahkota Kerajaan Gowa, I Mappa- nama panggilan

kecilnya di kerajaan ditugasi sebagai kepala staf gabungan

militer sekaligus kepala koordinasi pemerintahan Kerajaan

Gowa. Sering menggantikan ayahnya untuk menjalankan

tugas-tugas kenegaraan, I Mappa tergolong gigih

menentang kompeni.18

b. Wilayah Kekuasaan

Kerajaan Gowa-Tallo atau Makassar adalah salah satu

Kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara. Wilayah

kekuasaan Kerajaan Makassar pada pertengahan abad

XVII dapat meliputi sebagian besar kepulauan Nusantara

bagian Timur, seluruh Sulawesi, Sula,

Dobo,Buru-Kepulauan Aru Maluku di sebelah timur, termasuk Sangir,

18 S.M Noor, Perang Makassar 1669, Jakarta: PT. Kompas Media

Nusantara,2011, hlm. xi

(32)

Talaud, Pegu, Mindanao di bagian utara, Timor, Sumba,

Flores, Sumbawa, Lombok-Nusa Tenggara di sebelah

selatan, serta Kutai dan Berau di Kalimantan Timur

sebelah Barat bahkan sampai Marege-Australia Utara.

Makassar sudah dikenal dan tercantum dalam

lembaran Syair 14 (4) dan (5) Kitab Negarakertagama

karangan Prapanca (1364) sebagai Daerah ke-VI Kerajaan

Majapahit di Sulawesi. Kemunduran Kerajaan Majapahit

akibat adanya kekacauan politik serta perang saudara di

dalam kerajaan membuat wilayah-wilayah jajahannya

terbengkalai. Banyak wilayah jajahan Majapahit

melepaskan diri sepenuhnya dari Majapahit dan menjadi

Kerajaan tersendiri.

Kerajaan Makassar merupakan kerajaan yang berdiri di

Sulawesi. Kerajaan Makassar merupakan gabungan dari

kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kerajaan Gowa dan

Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga

melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan

sebutan kerajaan Makasar. Sebelumnya Kerajaan Gowa

dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Kerajaan Siang.

Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Tallo pernah

ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri

(33)

besar” dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004). Pada

pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun

pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai

barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan

Somba Opu. Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang

mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa

pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna.

Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa

petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di

penghujung Abad XVI.

Kerajaan Makassar mulai berkembang sejak

Tumapa'risi Kallona memperluas daerah kerajaannya

dengan menaklukkan beberapa kampung atau kerajaan

kecil. Tumapa'risi Kallonna memerintahkan pula

membangun beberapa benteng di pesisir pantai yang

merupakan benteng pertahanan memanjang dari utara ke

selatan. Pada masa itu Makassar mempunyai belasan

benteng pertahanan, dan benteng Somba Opu merupakan

yang paling besar. Bahkan Ilmuwan Inggris, William

Wallace, menyatakan, Benteng Somba Opu adalah

benteng terkuat yang pernah dibangun orang nusantara.

(34)

Pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya,

meskipun kerajaan Gowa-Tallo ini bercorak Islam, akan

tetapi diberitakan adanya hubungan baik dengan bangsa

Portugis yang datang dengan membawa agama

Kristen-Katolik. Kerajaan ini bahkan memberi bantuan dan menanam

sahah dalam perdagangan orang-orang Portugis (Francisco

Viera yang menjadi utusan kerajaan Gowa ke Batavia dan

Banten).

Hubungan erat Gowa-Tallo dengan orang Portugis

dalam bidang perdagangan ini mungkin disebabkan adanya

ancaman dari VOC Belanda yang berusaha memonopoli

perdagangan rempah-rempah Maluku.

6. Perkembangan Agama

Agama yang berkembang di kerajaan Gowa Tallo

adalah agama islam. Perkembangan agama islam di daerah

Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran

(35)

tersebar di kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan

abad ke-17 Masehi. Akan tetapi, karena banyaknya tantangan dari

kaum bangsawan Gowa, ia meninggalkan Sulawesi Selatan pergi

ke Banten yang kemudian diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

7. Perkembangan sosial dan Budaya

Sudah sejak lama suku bangsa Bugis dikenal sebagai

bangsa pelaut yang ulung. Salah satu hasil budayanya yang

mengagumkan adalah perahu pinisi. Dengan menggunakan perahu

itu, mereka mengarungi lautan lepas dan membangun jaringan

pelayaran dan perdagangan antarpulau bahkan antarkawasan. Para

penguasa Gowa sudah sejak lama menerapkan prinsip mare

liberum atau laut bebas. Meskipun begitu, mereka sangat terikat

dengan dengan norma adat yang ketat. Norma yang dianut

masyarakat Makassar biasa disebut pangadakkang bersumber dari

ajaran agama Islam. Bahkan hingga kini, masyarakat Makassar

terkenal dengan penghormatannya yang kuat pada norma-norma

adat. Struktur sosial masyarakat Makassar meliputi golongan

bangsawan yang disebut karaeng, rakyat kebanyakan yang disebut

to maradeka dan hamba sahaya yang disebut ata.19

Walaupun masyarakat Makassar memiliki

kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan

hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat

(36)

dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan

masyarakat Makassar diatur berdasarkan adat dan agama Islam

yang disebut Pangadakkang. dan masyarakat Makassar sangat

percaya terhadap norma-norma tersebut.

Di samping norma tersebut, masyarakat Makassar

juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang

merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan

“Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to

Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para

hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makassar

banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan

dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis

kapal yang dibuat oleh orang Makassar dikenal dengan nama

Pinisi dan Lombo.

8. Kerajaan Wajo

1. Sejarah Awal

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain

yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To

Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo

(37)

Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah,

utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau

Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui

namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri

Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui

tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan

danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.

Komunitas Lampulung terus berkembang dan

memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri

Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang

yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri

menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi

sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat

Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus

(38)

Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan

membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.

La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La

Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng

menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali

La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi

membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan

menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian

meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui

perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah

kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama

bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng

yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau

menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah

menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi

Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng

Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri

Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.

2.

Kerajaan Wajo

Berita tentang tumbuh dan berkembangnya kerajaan

Wajo terdapat pada sumber hikayat lokal. Di hikayat lokal

tersebut ada cerita yang menghubungkan tentang pendirian

(39)

kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari keturunan dewa

yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga

bagian (limpo) bangsa Wajo : Bettempola, Talonlenreng, dan

Tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo

dengan gelar Batara Wajo. Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun

tahta karena kelakuannya yang buruk dan dibunuh oleh tiga orang

Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu raja-raja di Wajo

tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang

keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau

utama.

Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja

diperluas dengan tiga pa’betelompo (pendukung panji) 30

arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota

dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan

segala perkara. Kerajaan Wajo mempeluas daerah kekuasaannya

sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. Wajo pernah

bersekutu dengan Kerajaan Luwu dan bersatu dengan Kerajaan

Bone dan Soppeng dalam perjanjian Tellum Poco pada 1582.

Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas

Islam dan pernah tunduk pada 1610. Di samping itu diceritakan

pula dalam hikayat tersebut bahwa Dato’ ri Bandang dan Dato’

Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap

(40)

waktu itu di Kerajaan wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau

syura dan yang menjadikadi pertama di Wajo ialah konon seorang

wali dengan mukjizatnya ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan

bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 sampai 1679 diperintah

oleh sepuluh orang arung-matoa.Persekutuandengan Gowa pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalam

peperangan tetapi berulang kali Gowa juga mencampuri urusan

pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu

Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone

pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah

ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka Kerajaan

Bone sendiri takluk kepada kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan

Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat

bantuan dari Aru Palaka dari Bone berakhir dengan perjanjian

Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa

pada VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang

tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan Wajo

yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-matoa

penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar

tentang penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC.20

Wajo mengalami perubahan struktural pasca

Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak

kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat

(41)

monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat

monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada

pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi

anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah

bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara

bungsu.

Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610

pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan

Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo.

Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah

yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas

Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan

meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669)

disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah

Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai

To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan

Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani

perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan

gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke

Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan

banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun

komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang

(42)

terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang

kini dikenal sebagai Samarinda.

Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua

Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan

militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan

pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata.

La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung

Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan

posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di

sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan

Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral),

Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten).

Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan

dari perjanjian Bungaya.

Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo

dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung

pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan politik

pasifikasi untuk memaksa semua kerajaan di Sulawesi Selatan

tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga

harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar

denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte

(43)

Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau

tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun

1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama

swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957.

Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara

maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah

1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang

dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya

Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.

(44)

Masa keemasan dan kemegahan Kerajaan Wajo

masih terasa melalui peninggalannya yang tersisa meskipun

beberapa di antaranya dalam kondisi tidak terawat. Salah satu,

bukti dan peninggalan sejarah yang tersisa yakni Masjid Kuno

di Tosora. Tempat ibadah umat Islam ini yang pertama di

bangun di Wajo. Ada yang menyebutnya Masjid Jami Tosora,

adapula yang menyebutnya dengan nama Masjid Kuno

Tosora.

Sisa peradaban masa lampau Kerajaan Wajo ini

terletak di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng. Lokasi ini

pernah menjadi pusat peradaban di Kabupaten Wajo, karena

merupakan pusat Kerajaan Wajo pada zaman dahulu. Bahkan,

Tosora pernah menjadi ibu kota Kabupaten Wajo sebelum

dipindahkan ke Sengkang. Berbagai peninggalan sejarah

berupa bangunan maupun makam raja-raja Wajo bisa

ditemukan di wilayah ini.

(45)

b. Makam-makam kuno

Menurut informasi dari masyarakat mengatakan

bahwa di Desa Tosora terdapat banyak sekali makam-makam

kuno yang tersebar di mana-mana, baik terkonsentrasi pada

beberapa kompleks pemakaman maupun yang tersebar secara

acak. Sebaran makam-makam kuno seperti tersebut di atas,

penulis masih dapat amati ketika pertama kali berkunjung ke

Tosora pada tahun 1987. Namun kondisinya sudah berubah

ketika tahun 2002 penulis berkunjung lagi ke daerah tersebut,

yaitu semakin bertambah dan padatnya pemukiman penduduk,

sehingga sebahagian besar makam-makam kuno tersebut

sudah hilang, bahkan bagian-bagian bangunan jirat dan

nisannya dipergunakan penduduk sebagai bahan membuat

jalan, jembatan dan bangunan rumah. Kondisi tersebut sangat

menyedihkan, namun kita tidak bisa berbuat banyak untuk Gambar 1.9 Makam-makam kuno di

(46)

mengatasi hal yang demikian.Untung bahwa makam-makam

kuno yang terkonsentrasi berupa suatu kompleks, sebagian

besar sudah dilindungi oleh pihak Balai Pelestarian

Peninggalan Purbakala, walaupun kelihatannya tidak terawat

dengan baik.

Peninggalan makam-makam kuno yang

dideskripsikan dalam tulisan ini, terdiri atas tujuh kompleks

yang penamaannya diberikan sesuai dengan nama tokoh yang

paling berpengaruh yang dimakamkan di dalamnya, yaitu :

 Kompleks Makam Arung Benteng Pola

Kompleks makam Arung Benteng Pola berada di sisi

barat Mesjid Tua Tosora (Lihat Foto 3).Kompleks makam

ini berada pada ketinggian 30,6 m dpl. Terdapat 12

makam yang terlihat.Sebagian makam tersebut sudah

tidak memiliki jirat. Bentuk nisanyang terlihat terdiri dari

meriam, mahkotadan pipih. Menurut ceritera masyarakat

bahwa makam dengan dua nisan meriam, adalah makam

dari Renreng Benteng Pola La Gau dengan gelar

MatinroE ri Masigina.

Adapun ukuran nisan yaitu :

(47)

 Tinggi : 74 cm

 Diameter : 35 cm

 Nisan tipe pipih

Tinggi : 66 cm

Lebar : 35,5 cm

Tebal : 9,5 cm

 Nisan tipe mahkota

 Tinggi : 33 cm

 Diameter : 60 cm

 Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngeng

Kompleks makam La Tenrilai To Sengeng berada

tidak jauh dari mesjid tua Tosora. Letaknya berada di sisi

utara benteng.Kompleks makam ini berada pada

ketinggian 30,7 m dpl.Jumlah makam yang terlihat di

kompleks makam tersebut sebanyak 44 makam.Bentuk Gambar 1.10 Beberapa makam di

(48)

jirat sebagian besar makam tersebut sangat sederhana.Hal

tersebut terlihat karena sebagian besar jirat makam ini

terbuat dari papan batu yang disusun persegi.Bahkan ada

juga makam yang tidak memiliki jirat.Makam tersebut

hanya ditandai dengan nisan yang ditancapkan.

Di dalam kompleks makam tersebut, terdapat

beberapa bentuk nisan yang terlihat, yaitu : nisan dari

meriam yang konon menurut penduduk setempat

mengatakan sebagai makam dari La Tenrilai

Tosengngeng, nisan menhir baik yang masif maupun

yang sudah ditata dengan ukuran antara 0,43 m – 1,64 m,

nisan setengah lingkaran (tipe Wajo) dengan hiasan

berupa jari-jari berjumlah 4, 8, 16, 22, dan nisan tipe

pipih (berbentuk perisai, ujung tombak). Bahan batu yang

digunakan adalah batu sedimen.

 Kompleks Makam La Maungkace To U’damang

Kompleks makam La Maungkace To U’ damang

berada di luar benteng sisi utara.Makam terletak

diketinggian 30,6 m dpl. Jumlah makam di kompleks ini

sebanyak 83 makam.Sebagian besar jirat di kompleks

makam ini tidak terlihat (kemungkinan makam ini juga

tidak jirat). Makam tersebut hanya ditandai dengan nisan.

(49)

pada umumnya masih masif, dengan tinggi antara 0,45 m

– 2,12 m, nisan silindrik yang paling dominan, dan nisan

setengah bulat (tipe Wajo). Menurut masyarakat setempat

mengatakan bahwa salah satu tokoh yang dimakamkan di

dalamnya adalah La Maungkace To U’damang yang

menggunakan nisan menhir yang paling tinggi.

4.

Raja-Raja yang Memerintah

Raja raja yang pernah memerintah di kerajaan wajo

Zaman sebelum islam

1) La Tenri Bali Batara Wajo I (akhir abad ke XIV)

2) La Mataesso Batara Wajo II (awal abad ke XV)

3) La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III (1436-1456)

4) La Palewo To Palippu Batara Wajo IV (1456-1466)

5) La Obbi’ Settiware’ Batara Wajo V (1466-1469)

6) La Tenri Umpu’ To Langi Arung Matoa Wajo (1474-1482)

7) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo

(1482-1487)

8) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo

(1487-1491)

9) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo

(50)

10) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo

(1524-1535)

11) La Temmasonge Arung Matoa Wajo (1535-1538)

12) La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo

(1538-1547)

13) La Mallagenni Arung Matoa Wajo (1547/ hanya 2 bulan)

14) La Mappapuli To Appamadeng Ar

15) ung Matoa Wajo (1547-1564)

16) La Pakoko To Pabbele Arung Matoa Wajo (1564-1567)

17) La Mungkace To Addamang Arung Matoa Wajo

(1567-1607)

Zaman islam

1 L a Sangkuru Patau’ Mulajaji Sultan Abdul Rahman Arung

Matoa Wajo Matinroe ri Allepparenna (1607-1610)

2 La Mappepulu To Appamole Arung Matoa Wajo

(1612-1616)

3 La Samalewa To Appakiu Arung Matoa Wajo (1616-1621)

4 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo

(1621-1626)

5 La Mappasaunge’ Arung Matoa Wajo (1627-1628)

6 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo

(51)

7 La Tenri Lai To Addumemang Arung Matoa Wajo

(1636-1639)

8 La Isigajang To Bunne Arung Matoa Wajo Matinroe ri

Batana (1639-1643)

9 La Makkaraka To Patemmui Arung Matoa Wajo Matinroe

ri Panggaranna (1643-1648)

10 La Temmasonge Puanna Daeli Petta Pallinge Arung Matoa

Wajo (1648-1651)

11 La Paremma To Rewo Arung Matoa Wajo Matinroe ri

Passirinna (1651-1658)

12 La Tenri Lai To Sengngeng Arung Matoa Wajo Matinroe ri

Sale’kona (1658-1670)

13 La Pallili To Mallu Arung Matoa Wajo (1670-1679)

14 La Pariusi Daeng Manyampa Arung Matoa Wajo Matinroe

ri Buluna (1679-1699)

15 La Tenri Sessu Tomoe/ To Denra Arung Matoa Wajo

(1699-1702)

16 La Mattaone La Sakke Daeng Paguling Puanna Larumpang

Arung Matoa Wajo (1702-1703)

17 La Galigo To Sunnia Arung Matoa Wajo (1703-1712)

18 La Tenri Werung Arung Peneki Arung Matoa Wajo

(52)

19 La Salewangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo

(1715-1736)

20 La Maddukellang Puangna La Tombong Arung Peneki

Arung Singkang Sultan Pasir Arung Matoa Wajo

(1736-1754)

21 La Maddanaca Arung Matoa Wajo (1754-1755)

22 La Passaung Puangna La Omo Arung Matoa Wajo

(1758-1761)

23 La Mappajung Puangna Salewong Arung Matoa Wajo

(1764-1767)

24 La Malliungeng To Alleong Arung Alitta Arung Matoa

Wajo (1767-1770)

25 La Mallalengeng (La Cella’ Puangna To Appamadeng

Arung Matoa Wajo (1795-1817)

26 La Mamang To Appamadeng Radeng Gallong Arung

Matoa Wajo (1821-1825)

27 La Paddengngeng Puangna Palaguna Arung Matoa Wajo

(1839-1845)

28 La Pawellangi Pajungperot Arung Matoa Wajo

(1854-1859)

29 La Ciccing (Akil Ali) Karaeng Mangeppe Datu Pammana

(53)

30 La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo

(1885-1891)

31 La Passamula Datu Lompulle Arung Matoa Wajo

(1892-1897)

Zaman pengaruh belanda

1. Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe Arung Matoa Wajo

(1900-1916)

2. La Tenri Oddang Arung Larompong Arung Peneki Arung

Lowa Arung Matoa Wajo (1926-1933)

3. Andi Mangkona Arung Mariori Wawo (1933-1949) / Arung

(54)

BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Dari makalah ini, kami dapat mengambil kesimpulan Munculnya

kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang

berlangsung ketika itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan

dengan jalur perdagangan. Penyebaran Islam yang dilakukan para pedagang

bisa dimungkinkan karena mereka pergi ke berbagai penjuru bumi. Dalam

ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban yang sama untuk berdakwah.

Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut untuk

dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat Al-Quran.

B. Saran

Demi kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran yang bersifat

membangun sangat kami harapkan agar makalah ini dapat menjadikan suatu

pedoman untuk kalangan umum. Kami sebagai penyusun memohon maaf

atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Atas

(55)
(56)

DAFTAR PUSTAKA

Dwi Ari Listiyani. 2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI BAHASA. Jakarta :

Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.

Restu Gunawan, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan Sadirman. 2016. Sejarah

Indonesia SMA/MA/MAK kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan

Balitbang, Kemendikbud.

Prof. Dr. M. Ahmad Sewang. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI

sampai abad XVII). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Agussalim, S.Pd. 2016. “Suplemen Materi Ajar” Prasejarah Kemerdekaan di

Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2016.

Dr. Akin Duli, MA, ST, dkk.2013. Monumen Islam di Sulawesi Selatan.

Makassar : Balai Cagar Budaya Makassar.

Imtam Rus Ernawati. Nursiwi Ismawati.2009. Sejarah Kelas XI Untuk SMA/MA

Program Bahasa kelas XI. Klaten : PT. Cempaka Putih.

Drs. Sudjatmoko Adisukarjo dkk. 2007. Horizon IPS Ilmu Pengetahuan Sosial

Semester Pertama 5A. Bogor: Percetakan Ghalia.

Muhammad Abduh, dkk. 1985. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan

Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Amir Hendrasah. Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler. Yogyakarta :

Galangpress Group.

(57)

https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/2016/05/kerajaan-islam-di-sulawesi-dan-gorontalo.html

http://iingmetalica.blogspot.co.id/2012/11/makalah-sejarah-islam-di-sulaesi.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Gowa

http://ariakesuma12.blogspot.co.id/2016/11/kehidupan-ekonomi-kerajaan-gowa-tallo.html

http://www.nafiun.com/2013/02/masyarakat-kerajaan-gowa-tallo-kehidupan-sosial-dan-ekonomi.html

http://www.sejarah-negara.com/2015/02/tokoh-sejarah-kerajaan-gowa-tallo.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Karaeng_Matoaya

http://muhishaqramli.blogspot.co.id/2016/01/sultan-alauddin.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Bungaya

https://

artmelayu.blogspot.co.id/2013/07/tinggalan-masjid-lama-tosora-remains-of.html

Gambar

Gambar 1.1 Peta lokasi
Gambar 1.2 Benteng Fort Rotterdam
Gambar 1.3  Batu Pallantikang
Gambar 1.6  Masjid Al-Hilal Katangka di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karena sumber Gowa menyebutkan pula bahwa di Tallo, wilayah utara Kerajaan Gowa yang merupakan konfederasinya terdapat kuburan Dato' Ri Bandang, Khatib Abdul Makmur.10 Bilamana

Diare atau dikenal dengan sebutan mencret memang merupakan penyakit yang masih banyak terjadi pada masa kanak dan bahkan menjadi salah satu penyakit yang banyak menjadi

Pada abad ke-16, di Sulawesi Selatan telah berdiri kerajaan Hindu Gowa dan Tallo. Penduduknya banyak yang memeluk agama Islam karena hubungannya dengan kesultanan Ternate. Pada

Meski belum terlalu banyak, namun upaya dakwah terus berlanjut dilakukan oleh para da’i di Sumatra, Malaka dan Jawa hingga menyentuh raja-raja di kerajaan Gowa dan Tallo atau

Dua taman kerajaan Karangasem penting yang hingga kini masih dapat dilihat wujud fisiknya, yaitu Taman Sukasada atau dikenal pula dengan sebutan Taman Ujung serta taman Tirta

Tujuan Khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang Awal masuk Islam di Kerajaan Samudra Pasai, Proses berkembangnya Kerajaan Samudra Pasai di segala

Dialog itu juga seolah-olah menunjukkan bahwa aliansi yang mereka buat untuk menyatukan kerajaan mereka dalam satu persekutuan, lebih disebabkan karena kekhawatiran ketiga

Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam