• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep-madu Asia

Eliminasi 15 variabel lingkungan yang dilakukan menggunakan uji t

mendapatkan 9 variabel lingkungan. Variable tersebut dapat dianalisis lebih lanjut karena berbeda nyata atau memiliki hubungan nyata antara presence

dan pseudo-absence. Sisanya, yaitu sebanyak 6 variabel tidak berhubungan nyata antara presence dan pseudo-absence (Tabel 7).

Tabel 7 Hasil analisis signifikansi 15 variabel lingkungan dengan uji t

No Variabel

Lingkungan Singkatan

Sample t-test

Keterangan t* df* Sig*

1. Badan Air JTKA 5.70 114 0.000 Signifikan 2. Pertanian JTKPt 1.84 114 0.069 Tidak Signifikan 3. Perkebunan JTKPb 4.61 114 0.000 Signifikan 4. Hutan Mangrove JTKM 5.70 114 0.000 Signifikan 5. Permukiman JTKPm 4.98 114 0.000 Signifikan 6. Hutan JTKH -4.36 114 0.000 Signifikan 7. Sawah STKS 0.50 114 0.619 Tidak Signifikan 8. Belukar JTKB 0.46 114 0.645 Tidak Signifikan 9. Slope 0-3 % JTKS1 3.95 114 0.000 Signifikan 10. Slope 3-8% JTKS2 -0.52 114 0.604 TidakSignifikant 11. Slope 8-15% JTKS3 -2.08 114 0.040 Signifikan 12. Slope 15-25 % JTKS4 -1.34 114 0.185 Tidak Signifikant 13. Slope 25-40 % JTKS5 -2.81 114 0.006 Signifikan 14. Slope > 40 % JTKS6 -2.18 114 0.032 Signifikan 15. Elevasi JTKE 1.83 114 0.069 Tidak Signifikant Keterangan: * t: Hasil uji t df: derajat bebas, Sig: Nilai Signifikan

Hasil analisis regresi logistik menggunakan metode Backward Stepwise (LR) menunjukkan bahwa dari 9 variabel yang telah dianalisis, terdapat 6 variabel yang nyata secara statistik penting bagi karakteristik distribusi habitat musim dingin Sikep-madu Asia di Pulau Rupat, yaitu; badan air (JKTBA), perkebunan (JKTPb), hutan mangrove (JKTM), slope 0-3% (JKTS1), slope 25-40 (JKTS3), slope >40% (JKTS6) (Tabel 8).

Tabel 8 Akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode

Backward Stepwise (LR)

No Variabel Coeffi* Sig* Exp*

Hosmer and Lemeshow Test Nagelke rke R2

1 Badan Air (JKTBA) 3.795 0.01 44.46

0.786 78,6 2 Perkebunan (JKTPb) 0.953 0.01 2.60 3 Hutan Mangrove (JKTM) 1.045 0.03 2.84 4 Slope 0-3% (JKTS1) 1.384 0.005 3.99 5 Slope 8-15% (JKTS3) 2.77 0.006 15.96 6 Slope >40 % (JKTS6) -3.636 0.001 0.03 Constant -0.508 0.401 0.60

Keterangan: * Coeffi: Koefisien, Sig: Signifikan, Exp: nilai ekspektasi, Hosmer and Lemeshow Test: Nilai Hosmer dan Lemeshow, Nagelkerke R2 : Nilai Nagelkerke R2

Berdasarkan table 8, maka dapat dijelaksan bahwa kesesuaian habitat singgah Sikep-adu Asia diwakili oleh persamaan 1 nilai ekspektasi (nilai harapan) dari nilai konstanta (-0,508). Ini berarti bahwa peluang kemungkinan kesesuain habitat Sikep-madu Asia pada setiap variabel lingkungan meningkat sebesar nilai harapan yang ada (Tabel 8). Sehingga, model kesesuaian habitat Sikep-madu Asia dapat dimasukkan ke dalam rumus regresi logistik sebagai berikut:

��

= +exp[- - , , JTKA + , JTKPb + , JTKM + , JTKS + , JTKS - , JTKS ]

Model menjelaskan bahwa karakteristik habitat singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat dipengaruhi oleh badan air (JTKA), perkebunan (JTKPb), hutan mangrove (JTKM), slope 0-3% (JTKS1), slope 25-40 % (JTKS5), dan

slope >40% (JTKS6). Penerapan model menghasilkan peta kesesuaian habitat yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu; daerah yang sesuai (suitable) seluas 127. 667 km2 (87%) dan daerah yang tidak sesuai (non-suitable) seluas 15.876 km2 (13%).

Uji Kelayakan Model

Hasil uji kelayakan model menunjukkan bahwa model dapat diterima, karena memiliki nilai akurasi yang tinggi (hosmer-lemeshow = 0.786 dan

Negelkerke R2 = 78.6%) (Tabel 8). Nilai tersebut merupakan gambaran sejauh mana variable-veriabel dalam model menjelaskan variasi kesesuaian habitat Sikep-madu Asia, sedangkan sisanya (32.4%) dijelaskan oleh faktor atau variable lain yang tidak masuk dalam model yang terbentuk (Tabel 8). Model Validasi

Model validasi menjelaskan bahwa dari 30% titik yang digunakan, sebanyak 3 titik validasi masuk dalam area habitat yang tidak layak dengan nilai kappa akurasi sebesar 82%, sedangkan sisanya masuk dalam area habitat yang layak (sebesar 18%). Ini menjelaskan bahwa tingkat keakuratan model cukup memuaskan. Model validasi juga menunjukkan bahwa terdapat kesalahan model dalam memprediksi lokasi sebagai habitat yang tidak sesuai, meskipun Sikep-madu Asia ditemukan pada lokasi tersebut (omission error) sebesar 17.64%. Kesalahan yang lain adalah kesalahan model dalam memprediksi suatu lokasi sebagai habitat yang sesuai, meskipun tidak pernah ditemukan adanya Sikep-madu Asia pada lokasi tersebut (commision error) sebesar 17.3% (Gambar 14).

Gambar 13 Peta model kesesuaian habitat singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat

Gambar 14 Peta model validasi kesesuaian habitat singgah Sikep-madu Asia

Jumlah, Pola Terbang dan Waktu Migrasi

Pengamatan total jumlah individu memperoleh hasil sebanyak 4 074 ekor. Perhitungan jumlah individu tertinggi terjadi pada tanggal 31 Oktober 2012 (889 individu). Sedangkan perhitungan individu terendah terjadi pada tanggal 2 Oktober (2 individu) (Gambar 15).

Gambar 15 Jumlah individu Sikep-madu Asia yang teramati Waktu Migrasi

Pengamatan waktu menunjukkan bahwa aktivitas migrasi Sikep-madu Asia dimulai pada pukul 07.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Perhitungan waktu tertinggi terjadi pada pukul 10.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB (140 individu). Perhitungan waktu terendah terjadi pada pukul 05.00 WIB sampai pukul 06.00 WIB. Sikep-madu Asia belum terlihat pada pukul 05.00 WIB sampai 06.00 WIB dan sudah tidak terlihat terbang pada pukul 16.00 WIB sampai pukul 19.00 WIB (Gambar 16).

Gambar 16 Penggunaan waktu bermigrasi Sikep-madu Asia Pola Terbang

Pengamatan pola terbang menunjukkan bahwa Sikep-madu Asia terbang rendah dengan ketinggian rata-rata 10 hingga 20 mdpl. Kecepatan terbang antara 10 sampai 15 km/jam. Burung tersebut terbang dari arah Utara menuju ke Selatan, yaitu dari Tj. Tuan- Port Dickson ke Pulau Rupat. Sikep-madu Asia melintasi Pulau Rupat dengan menggunakan tiga pola terbang yaitu; gliding, soaring, dan flapping (Gambar 17).

Pola terbang gliding dilakukan sebesar 57.14%, soaring sebesar 28.57% dan flapping sebesar 14.29% (Gamabr 17). Pengamatan yang dilakukan melihat Sikep-madu Asia melintasi Selat Malaka dengan cara terbang meluncur rendah tanpa mengepakkan sayap. Ketika mencapai daratan, Sikep-madu Asia terbang mengepakkan sayap, berputar merentangkan sayap dan ekor secara penuh selama beberapa saat (soaring) hingga mencapai

61 409 2 8 60 10 300 150 400 18 15 22 26 11 23 40 40 79 28 197 127 87 30 107 419 5 204 83 151 889 60 13 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 ju m la h waktu pengamatan Jumlah 0 0 80 206 805 1140 911 15 649 230 38 0 0 0 0 200 400 600 800 1000 1200 Ju m la h Jam pengamatan Jumlah

ketingggian maksimal dan kemudian meluncur dengan cara menyempitkan rentang sayap dan merapatkan ekor (gliding).

Keterangan: Soaring: terbang meluncur, Flapping: terbang mengepakkan sayap, Pearching: bertengger, Hunting: berburu, Undulating: terbang bergelombang, Diving: meluncur ke bawah

Gambar 17 Pola terbang yang teramati Periode Singgah Sikep-madu Asia

Data satellite tracking yang digunakan merupakan data migrasi dari tahun 2003 hingga 2009. Data tersebut menginformasikan bahwa Sikep-madu Asia menggunakan Pulau Rupat sebagai lokasi persinggahan sementara (stop over) dengan durasi antara 1 menit hingga 33 jam 45 menit.

Keterangan: Autum: migrasi datang, Spring: migrasi kembali

Suber: Higuchi et al. 2005

Gambar 18 Periode singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat berdasarkan data sattelite tracking

Hasil analisis data sattelite tracking mendapatkan sebanyak 26 titik terekam yang artinya Sikep-madu Asia menggunakan Pulau Rupat sebagai persinggahan sementara (stop-over). Titik tersebut adalah rekaman milik 10 individu Sikep-madu Asia dengan nomor Platform 40729, 40759, 40790, 641317, 66547, 66550, 66551, 66552, 66553, 84430 (Tabel 9). Dari data tersebut, diperoleh hasil Sikep-madu Asia menggunakan Pulau Rupat di

57.14% 28.57% 14.29% Gliding Soaring Flaping 01 September 2002 14 Januari 2004 28 Mei 2005 10 Oktober 2006 22 Februari 2008 06 Juli 2009 18 November 2010 4 0 7 2 9 4 0 7 5 9 4 0 7 9 0 4 1 3 1 7 6 6 5 4 7 6 6 5 5 0 6 6 5 5 1 6 6 5 5 2 6 6 5 5 3 8 4 4 3 0 P er io de Sin g g a h No Platform Outumn Spring

musim migrasi datang (autum migration) sebanyak 4 individu, sedangkan 6 individu di musim migrasi kembali (spring migration) (Gambar 18).

Daerah yang terindikasi sebagai daerah tidak sesuai didominasi oleh daerah terbuka yang dimiliki oleh perusahaan kayu penyuplai bubur kertas dan perkebunan sawit dengan luasan area >5 Ha. Aktivitas pembersihan lahan (land clearing) diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan daerah tersebut kurang diminati oleh Sikep-madu Asia sebagai habitat singgah. Gangguan yang ditimbulkan berupa aktivitas manusia saat melakukan pembukaan hutan secara besar-besaran. Pembukaan lahan menggunakan alat berat (traktor) untuk keperluan pembersihan lahan (land clearing) menjadi potensi ancaman bagi aktivitas migrasi karena dapat menyebabkan hilangnya potensi pakan, hilangnya tempat peristirahatan dan ancaman gangguan lainnya.

Pembahasan

Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep-madu Asia

Pemilihan habitat singgah oleh Sikep-madu Asia sangat dipengaruhi kondisi iklim dan ketersediaan pakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa badan air, hutan mangrove, perkebunan dan slope merupakan variabel yang sangat penting bagi habitat singgah musim dingin. Ini diduga berhubungan dengan ketersediaan air untuk minum, ketersediaan pakan berupa sarang-sarang lebah di daerah mangrove dan lokasi peristirahatan.

Badan air, hutan mangrove dan Perkebunan diduga berhubungan dengan ketersediaan air untuk minum, ketersediaan pakan berupa sarang-sarang lebah di daerah mangrove dan tempat beristirahat. Habitat Sikep-madu Asia sangat tergantung pada preferensi habitat lebah (Yamaguchi et al. 2008; Syartinilia et al. 2013; Ameliawati 2014; Mardiyanto 2015), sementara Wetland International (2012) menyebutkan bahwa lebah jenis Apis dorsata

juga mencari makan dan membangun sarang di daerah mangrove.

Jenis burung pemakan lebah yaitu Kirik-kirik laut (Merops philippinus) dijumpai pula di sekitar hutan mangrove. Lokasi tersebut juga digunakan oleh kirik-kirik sebagai tempat beristirahat dan tempat berburu. Di lokasi yang sama ditemukan berbagai macam hewan vertebrata yang digunakan mereka sebagai sumber pakan, ini merupakan fakta bahwa badan air dan mangrove merupakan ekosistem yang kaya (Mardiyanto 2015). Ini membuktikan bahwa di Pulau Rupat masih terdapat sumber pakan yang dibutuhkan. Walaupun tidak dalam jumlah besar dan kualitas yang baik, namun cukup untuk memulihkan energi. Sumber pakan sangat penting di habitat untuk mengisi energi kembali (Mardiyanto 2015). Sikep-madu Asia diduga juga menggunakan hutan mangrove yang ada di Pulau Rupat sebagai tempat peristirahatan sementara. Raptor Indonesia (2012) menyebutkan bahwa Sikep-madu Asia dan kelompok Kirik-kirik laut singgah dan bermalam di Hutan mangrove Tanjung Lapin (Rupat Utara).

Perkebunan menjadi salah satu variabel yang penting, diduga hal ini berhubungan juga dengan preferensi habitat lebah dan tempat beristirahat. Koloni lebah dan tawon membangun sarang didaerah berhutan dan tempat

mencari makanan di daerah perkebunan (Yamaguchi et al. 2008; Syartinilia

et al. 2013; Ameliawati 2014; Mardiyanto 2015). Perkebunan menyediakan serangga dan hewan vertebrata lainnya sebagai pakan alternatif guna memenuhi kebutuhan nutrisi guna pemulihan tenaga (Yamaguchi et al. 2008; Syartinilia et al. 2013).

Perkebunan jenis kelapa (Cocos nucifera) menjadi tempat peristirahatan yang baik bagi Sikep-madu Asia. Sukmantoro (2013) melaporkan bahwa Sikep-madu Asia terlihat bertengger di pohon kelapa di Tanjung Medang. Pada kajian habitat singgah lain di Bangka Belitung bahwa karakteristik habitat singgah Sikep-madu Asia dipengaruhi oleh badan air dan perkebunan, hal ini berkaitan dengan ketersedian pakan (Mardiyanto 2015). Slope menjadi salah satu variabel penting bagi distribusi habitat singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat. Slope adalah bentukan topografi berupa kelerengan lahan. Variable slope diduga berhubungan dengan pembentukan termal, karena topografi yang jika tersinari matahari akan menghasilkan tekanan udara panas yang bergerak ke atas atau biasa disebut termal. Menurut Norman (2010), slope merupakan perpaduan dari perbedaan permukaan bentang alam dengan tekanan yang berbeda, sehingga mampu menciptakan termal. Termal adalah udara hangat yang bergerak naik akibat perbedaan lansekap dipermukaan bumi dalam menerima sinar matahari (Bildstein 2006). Termal merupakan faktor penting yang sangat dibutuhkan oleh Sikep-madu Asia untuk melayang mencapai ketinggian tertentu tanpa harus melakukan kepakan sayap, sehingga dapat melakukan perjalanan panjang dengan menghemat penggunaan energi (Spaar 1997; Newton 2008; Tholin 2011; Syartinilia et al. 2013; Ameliawati 2014; Mardiyanto 2015).

Periode Singgah Sikep-madu Asia

Periode singgah diduga berkaitan erat dengan jarak tempuh. Secara geografis Pulau Rupat merupakan daratan terdekat antara Sumatera dan Malaysia, oleh karena itu Pulau Rupat menjadi pilihan utama sebagai jalur migrasi yang lebih pendek mencapai daratan setelah melintai Selat Malaka untuk menghemat penggunaan energinya. Pulau Rupat diduga digunakan sebagai diversion line bagi migrasi Sikep-madu Asia. Divertion line adalah jalur pengalihan yang mengerucut membentuk satu jalur botleneck. Biasanya digunakan untuk menghindari samudra atau selat yang luas (Bildstein 2006). Karena tidak ada daratan lain yang memiliki jarak lebih pendek maka tidak ada pilihan lain bagi burung tersebut untuk melewati daerah lain selain Pulau Rupat.

Titik Sattelite tracking yang telah dianalisis memperlihatkan jalur

terbang Sikep-madu Asia, terlihat bahwa burung tersebut sebagian besar menggunakan daratan sebagai koridor terbangnya. Perilaku ini digunakan sebagai strategi penghematan energi dalam melakukan perjalanan panjang. Hal ini diduga berhubungan dengan ketergantungan burung tersebut terhadap termal yang dihasilkan oleh perbedaan topografi daratan dan lokasi makan dan minum untuk kebutuhan energi. Meningkatnya kecepatan perjalanan tanpa pengeluaran banyak energi memungkinkan burung untuk memperpanjang waktu yang tersedia untuk migrasi (Bildstein 2006), dan

hanya mengepakkan sayap pada pagi hari dan sore hari (Bruderer 1994). Pulau Rupat menjadi sangat penting untuk dipertahankan karena hilangnya pulau tersebut akan memperpanjang jarak terbang sehingga memperkecil peluang mengumpulkan energi di lokasi makan dan minum yang biasa digunakan di wilayah tersebut. Hal ini dikhawatirkan dapat mengganggu siklus migrasi karena Sikep-madu Asia bias mengalami keterlambatan berbiak. Migrasi jarak jauh membutuhkan energi ekstra (Bildstein 2006), sehingga jalan memutar atau mengambil jalur terdekat mungkin menguntungkan dalam hal meminimalkan energi yang digunakan selama perjalanan (Alerstam 2011).

Deskripsi Jumlah

Pengamatan jumlah pada bulan Oktober 2012 (wintering migration) tercatat sebanyak 4 074 ekor Sikep-madu Asia berhasil melewati Pulau Rupat, sedangkan hasil laporan pengamatan Raptor Indonesia (2012) pada Bulan Maret 2012 (spring migration) terpantau hingga mencapai lebih dari 4 000 ekor, dalam kurun waktu 3 hari. Hal ini membuktikan bahwa pilihan jalur yang tersingkat untuk melewati Selat Malaka adalah melalui Pulau Rupat. Posisi Pulau Rupat yang menjadi daratan terdekat antara Malaysia dan Indonesia digunakan sebagai tempat beristirahat dan mengumpulkan energi (makan dan minum). Laporan Raptor Indonesia (2012) menunjukkan bahwa pada musim kembali (spring migration) Sikep-madu Asia bermalam di Mangrove sekitar Tanjung Lapin (Rupat Utara), kemudian melanjutkan perjalanannya pada pagi hari menuju Malaysia.

Penggunaan Waktu dan Pola terbang

Perilaku keluarga buzard dipengaruhi beberapa faktor, seperti; geografi, angin arah angin, waktu hari, dan kemampuan navigasi (Agustini & Mellone.2007). Penggunaan waktu saat melintasi Selat Malaka menuju Pulau Rupat dimulai pada pukul 07.00 hingga pukul 15.00 WIB. DeCandido et al

(2004) menyatakan bahwa sebagian besar (95.0%) migrasi yang dilakukan oleh Sikep-madu Asia terlihat pada pukul 11.00 hingga puku 16.00, dengan puncak antara pukul 11.00 sampai 13.00 dan menurun mulai pukul 14.00 sampai 18:30. Hal ini memunculkan dugaan kuat bahwa penggunaan waktu dan pola terbang berhubungan kondisi geografis seperti slope. Siang hari, permukaan bumi (daratan) menyerap sejumlah sinar matahari lebih besar yang kemudian dipantulkan kembali dalam bentuk udara panas atau termal (Ahrens 2000). Hal lain adalah sistem navigasi yang digunakan oleh Sikep-madu Asia terbatas pada siang hari. Sistem navigasi matahari (sun compass) yang dimiliki oleh Sikep-madu Asia merupakan sistem navigasi yang biasa digunakan oleh satwa diurnal, yaitu hanya mampu melihat dengan jelas secara visual pada siang hari. Pada pukul 12.00 hingga 13:00 matahari mulai naik sehingga cahaya matahari dapat menyilaukan Sikep-madu Asia (Bruderer et al. 1994), sementara pukul 16.00 hingga 18:00 cahaya matahari sudah mulai meredup (Bruderer et al. 1994).

Hasil pengamatan pola terbang menjelaskan bahwa Sikep-madu Asia merentangkan sayap dan kemudian terangkat membumbung ke atas (soaring) dengan pola lingkaran spiral. Ini terjadi diduga karena mengikuti kemunculan termal secara vertikal akibat bentukan geograsi yang berbeda, seperti slope

yang ada permukaan bumi. Pola selanjutnya yaitu terbang meluncur (gliding) pada saat mencapai ketinggian maksimal dengan bantuan angin. Gliding

mampu menyimpan energi besar untuk mempersingkat jarak terbang dibanding harus mengepakkan sayap secara periodik. Pada saat mencapai terbang rendah, maka burung tersebut akan mengepakkan sayap (flapping) untuk mencari lokasi lain yang berpotensi memunculkan termal, sehingga burung tersebut dapat membumbung naik kembali. Keluarga Buzzard, Kite, Eagle dan Vulture lebih sering menggunakan pola terbang flapping, gliding dan soaring (Tholin 2011). Dengan rentang sayap yang berukuran sedang dan ujung sayap yang membulat membuat, maka Sikep-madu Asia sangat bergantung pada termal untuk mendapatkan tinggi maksimal sehingga harus memperhatikan cuaca, arah angin dan waktu terbang (Bildstein 2006; Tholin 2011). Spesies ini sangat tergantung pada arus naik seperti termal dan angin orografis untuk mendapatkan tinggi, dengan demikian harus peka terhadap kondisi cuaca yang tidak menguntungkan selama migrasi (Spaar 1997; Bildstein 2006; Tholin 2011; Panuccio (2011)

Arah angin dari utara (Malaka) ke selatan yaitu Pulau Rupat diduga juga menjadi faktor yang mempengaruhi Sikep-madu Asia menggunakan gliding

untuk meningkatkan kecepatan tempuh sementara energi dapat disimpan. Terpaan angin kencang dengan arah yang berlawanan serta perubahan gerak tekanan udara yang merubah arah angin secara tidak teratur (turbulance) merupakan rintangan bagi Migrasi Sikep-madu Asia. Sejalan dengan penelitian Panuccio (2011) yang menyebutkan bahwa sebagian besar burung pemangsa bergerak meluncur dengan menggunakan angin termal dan arah yang sesuaiuntuk menghemat energi.

Daratan selain memiliki potensi sebagai sumber pakan, juga berpotensi menghasilkan termal yang membantu burung terbang lebih tinggi, sedangkan lautan merupakan barrier yang dapat menjadi penghambat bagi migrasi, oleh karena itu dibutuhkan ketepatan waktu dan arah angin yang tepat untuk melewatinya, oleh sebab itu Sikep-madu Asia yang bermigrasi dari dan ke Sumatera melewati Pulau Rupat untuk mendapatkan termal hingga ketinggian maksimal kemudian meluncur (gliding). Newton (2008) menunjukkan bahwa kondisi cuaca dapat bertindak sebagai hambatan selama migrasi selain hambatan ekologis. Strandberg et al (2009) menyebutkan perilaku migrasi burung bisa juga dibentuk oleh "hambatan meteorologi" karena kondisi lingkungan selama migrasi dapat membawa efek.

Rekomendasi Pengelolaan Pulau Rupat

Berdasarkan hasil analisis distribusi habitat singgah Sikep-madu Asia, diketahui sebagian besar (78%) kawasan Pulau Rupat layak sebagai habitat persinggahan sementara (stop over) maupun jalur bagi migrasi burung pemangsa. Namun pulau ini memiliki resiko kerusakan yang cukup tinggi, hal ini dapat di lihat dari maraknya izin pembukaan lahan oleh perusahaan

perkebunan dan pulp and paper dan perkebunan masyarakat. Pembangunan ekonomi seperti urbanisasi, perluasan lahan pertanian, dan produksi kayu menjadi penyebab kerusakan habitat (Yong et al. 2006).

Nilai Penting Pulau Rupat

Secara geografis Pulau Rupat memiliki peran yang cukup strategis migrasi. Merupakan pulau terluar dan daratan terdekat dari Tanjung Tuan-Malaysia. Berjarak kurang lebih 47 km dari Tanjung, Pulau Rupat merupakan salah satu pintu masuk migrasi menuju daratan Sumatera. Tercatat 9 jenis burung pemangsa migran menggunakan Pulau Rupat sebagai jalur migrasi, satu jenis diantaranya memiliki status Rentan (Vurnerable) menurut IUCN, yaitu Greater Spotted Eagle (Aquila clanga). Sedangkan jenis burung pemangsa penetap di Pulau rupat sebanyak 4 jenis yang tersebar di seluruh Pulau Rupat (Tabel 9 & tabel 10) (Sukmantoro et al. 2006).

Tabel 9 Burung pemangsa yang bermigrasi melewati Pulau Rupat

Keterangan: LC: Least Concern, VU: Vurnelable

10 Keanekaragaman jenis burung pemangsa penetap di Pulau Rupat

No Species Nama Ilmiah Status

IUCN

Status perlindungan di Indonesia

1 White-bellied sea-eagle Haliaetus leucogaster LC

Undang-Undang No.5 tahun 1999

2 Brahminy Kite Haliastur indus LC 3 Black-winged Kite Elanus caeruleus LC 4 Changeable Hawk-eagle Spizaetus cirrhatus LC Keterangan: LC: Least Concern,

Surat Keputusan Bupati Bengkalis No.472/KPTS/XII/2012 tentang pembentukan Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan pulau Rupat (FKPKPP). Forum tersebut merekomendasikan pulau Rupat sebagai Kawasan Ekosistem Esensial. Meurut Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, ekosistem esensial adalah ekosistem atau kawasan yang memiliki keunikan habitat dan jenis tumbuhan dan satwa liar atau mempunyai fungsi penting sebagai sistem penyangga kehidupan. Dari analisa data dan informasi yang ada, maka rekomendasi yang diusulkan sebagai masukan bagi pihak terkait untuk pembangunan Pulau Rupat yaitu antara lain:

a. Sektor Ekologi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 87%, kawasan Pulau

No Nama Jenis Nama Ilmiah Status

IUCN

Status perlindungan di Indonesia

1 Oriental Honey Buzzard Pernis ptilorhynchus LC 2 Black Baza Aviceda leuphotes LC

Undang-Undang No.5 tahun 1999 3 Chinese Goshawk Accipiter soloensis LC

4 Grey-faced Buzzard Butastur indicus LC 5 Japanese Sparrowhawk Accipiter gularis LC 6 Peregrine Falcon Falco peregrinus LC 7 Greater Spotted Eagle Aquila clanga VU 8 Osprey Pandion haliaetus LC

Rupat merupakan habitat singgah (stop-over). Kecamatan Rupat Utara mendominasi sebagai daerah yang sesuai dan Rupat Selatan sebaliknya, oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk mengkaji ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2010-2015. Menurut RTRW 2010-2015, kawasan Pulau Rupat dibagi menjadi kawasan utama yaitu kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kecamatan Rupat Selatan sebagian besar di usulkan untuk menjadi kawasan lindung (forest protected area) sedangkan Kecamatan Rupat Utara dialokasikan untuk kawasan pengembangan pariwisata. Namun jika dilihat dari peta kelayakan habitat singgah Sikep-madu Asia seharusnya Rupat Utara direkomendasikan menjadi kawasan lindung (forest protected area) karena merupakan habitat yang sesuai bagi Sikep-madu Asia, sedangkan Rupat Selatan diusulkan untuk menjadi kawasan budidaya. Namun begitu, Penetapan RTRW tersebut harus dibuat dengan melakukan kajian secara mendalam terlebih dahulu serta melakukan pengukuran batas administrasi yang jelas serta disahkan oleh Kementeran Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hutan mangrove dan badan air memiliki peranan yang sangat penting dalam migrasi Sikep-madu Asia dan kirik-kirik laut di Pulau Rupat. Oleh karena itu perlu adanya tindakan berupa perbaikan penutupan hutan mangrove, seperti penaman kembali (restorasi, rehabilitasi) maupun pembuatan aturan larangan penebangan hutan mangrove secara ketat. Hutan mangrove selain digunakan sebagai habitat bagi lebah, Kirik-kirik laut, juga digunakan oleh hewan vertebrata lainnya sehingga mampu menyediakan pakan.

Perbaikan habitat dapat dilakukan dengan mengembalikan kawasan yang telah terpecah menjadi satu kesatuan kawasan yang utuh atau terhubung antara satu dengan yang lain (Collinge 1998). Area yang kosong tersebut ditanami dengan vegetasi Kelapa (Cocos nucifera), Lontar (Borassus flabellifer) dan tanaman pohon lain yang memiliki karakteristik tumbuh menjulang, sehingga dapat digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi migrasi. Sukmantoro (2013) melaporkan bahwa Sikep-madu Asia pernah terlihat bertengger di Pohon Kelapa di Tanjung Medang.

Kawasan penting yang ada di Pulau Rupat diketahui berupa kawasan berhutan yang telah menjadi blok-blok kecil. Adanya perbaikan habitat, pembatasan atas ijin pembukaan hutan secara besar-besaran, dan mempertahankan areal berhutan yang masih tersisa harus menjadi prioritas utama dalam Rencana Pengelolaan Tata Ruang Wilayah bagi Pemerintah Kabupaten Bengkalis untuk mempertahankan Pulau Rupat.

b. Sektor Ekonomi

Pembangunan tanpa memperhatikan aspek ekologi suatu daerah akan

Dokumen terkait