• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Habitat Singgah Sikep Madu Asia Di Pulau Rupat Berdasarkan Data Satellite Tracking

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemodelan Habitat Singgah Sikep Madu Asia Di Pulau Rupat Berdasarkan Data Satellite Tracking"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN HABITAT SINGGAH SIKEP MADU ASIA DI

PULAU RUPAT BERDASARKAN DATA

SATELLITE

TRACKING

HENDRY PRAMONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

1

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemodelan Habitat Singgah Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus) di Pulau Rupat Berdasarkan Data

Satellite Tracking adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Hendry Pramono E351110141

1 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar

(4)

RINGKASAN

HENDRY PRAMONO. Pemodelan Habitat Singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat Berdasarkan Data Satellite Tracking. Dibimbing oleh YENI ARYATI MULYANI dan SYARTINILIA.

Burung pemangsa merupakan kelompok burung penting dalam sebuah ekosistem karena posisinya sebagai predator puncak (top predator). Kelompok burung ini sering digunakan sebagai indikator kesehatan lingkungan dalam suatu ekosistem. Sebanyak 202 jenis burung pemangsa di dunia melakukan migrasi, 55 jenis diantaranya bermigrasi di Benua Asia.

Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus) merupakan salah satu burung pemangsa yang bermigrasi. Burung ini terbang dari daerah berbiak yaitu bagian Asia Utara menuju serta melalui Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Hasil pengamatan menggunakan satellite tracking diketahui bahwa Sikep-madu Asia bermigrasi dari Jepang menuju Indonesia melalui pulau Rupat (Sumatera).

Data satellite tracking berisikan data lokasi dan waktu keberadaan Sikep-madu Asia. Bila data tersebut digabungkan dengan variabel lingkungan seperti (penutupan lahan, slope dan elevasi) yang dianalisis dengan model regresi logistik menggunakan analisis GIS, maka dapat dibuat peta karakteristik habitat, salah satunya adalah habitat singgah. Pada penelitian ini dilakukan juga pengamatan langsung untuk mendeskripsikan jumlah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat. Penghitungan dilakukan menggunakan metode point count, sedangkan pengambilan data pola terbang dilakukan menggunakan metode pemindaian (scanning method). Data yang dihasilkan berupa grafik, tabel maupun gambar.

Hasil analisis pada wilayah studi seluas 1 461.95 km2 menunjukkan bahwa kawasan yang sesuai untuk habitat singgah di pulau Rupat seluas 1 276.67 km2 ( 87%), sedangkan kawasan yang tidak sesuai seluas 15 876 km2 (13%). Terdapat enam variabel yang sangat penting bagi karakteristik habitat singgah Sikep-madu Asia di pulau Rupat. Ketersediaan pakan berhubungan dengan badan air, mangrove dan perkebunan, sedangkantermal berhubungan erat dengan variabel slope. Hasil pengamatan selama bulan Oktober 2012 mencatat sejumlah 4 074 ekor Sikep-madu Asia terbang menuju Pulau Rupat pada pukul 07:00-15:00 WIB, dengan puncak migrasi harian terjadi pukul 10:00-11:00 WIB. Pola terbang dominan berupa

gliding (melayang/meluncur) (57.14%), disusul oleh soaring (membubung ke atas) (28.57%) dan flapping (mengepak) (14.29%).Rekomendasi yang ditawarkan untuk pengembangan Pulau Rupat berdasarkan migrasi burung pemangsa adalah perubahan RTRW, perbaikan penutupan lahan hutan mangrove, pembatasan izin pembukaan lahan, pengkayaan jenis pohon dengan pohon kelapa (Cocos nucifera) dan pendidikan lingkungan.

(5)

SUMMARY

HENDRY PRAMONO. Modelling Stop over Habitat of Oriental Honey-buzzard in Rupat Island Based on Satellite Tracking Data. Supervised by YENI ARYATI MULYANI and SYARTINILIA.

Birds of prey is group of birds is very important in a ekositem, as its position is top of predators, so this group of birds is often used as an indicator of environmental health in an ecosystem. A total of 202 species of birds of prey in the world do migrate, 55 species of them migrated in the continental Asia. Birds of prey that migrate across the ocean towards the area that has the potential for far more resources, because their breeding areas are experiencing winter.

One of a species of birds of prey that migrate are Oriental Honey-buzzard (Pernis ptilorhynchus). The birds flew from breeding site in the northern parts of asia to the southern part of a country like malaysia the Philippines, and Thailand and Indonesia. The results of the observations are used by tracking satellite, Oriental Honey-buzzard migrated from Japan to the Indonesian passing through Rupat Island on Sumatera.

Data satellite contains data tracking the location and time where Sikep-Asian honey. However, when these data are combined with such environmental variables (land cover, slope and elevation) were analyzed by logistic regression model using GIS analysis, it will obtain a stop over habitat characteristics Sikep-Asian honey in the form of maps stop over habitat characteristics. Direct observation is done also to describe the amount of Oriental honey Buzzard in Rupat using point count methode, while fly pattern data collection is done by collecting data in the field using scanning methode. The data generated in the form of graphs, tables and images.

Analysis of characteristic habitats done with logistic regression methode with the final result is form of maps characteristic of habitats Oriental Honey-buzzard on the Rupat Island, while discriptioni done with point count methode and scanning methode. The results of analysis of the study areas using 1 461.95 km2 show that area that is suitable for stop over habitats of 1 276.67 km2 (87%), while the area

which does not suitable as much as 15 876 km2 (13%). There were only 6 variables that are important for stop over characteristic habitat of Oriental Honey Buzzard on the Rupat Island. The availability of feed relating to a body of water, mangrove and plantation, thermal while closely connected with a variable slope.

The results of observations during October 2012, a number of Oriental Honey-buzzard as 4 074 individu recorded by flew to the island at 7:00-15:00 wib and the top daily migration occurred at 10:00-11:00 wib with a fly pattern are

gliding on 57.14%, flapping on 14.29%, and soaring on 28.57%.

Recommendations are offered for development Rupat Island by the migration of birds of prey can be strengthened through changes in spatial planning RTRW), improvement of mangrove forest land cover, land clearing permit restrictions, enrichment coconut tree species and environmental education.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(7)
(8)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

PEMODELAN HABITAT SINGGAH SIKEP MADU ASIA DI

PULAU RUPAT BERDASARKAN DATA

SATELLITE

TRACKING

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala

atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah Ilmu Hewan, dengan judul “Pemodelan Habitat Singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat Berdasarkan Data Satellite Tracking.

Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada suri teladan Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Penelitian ini merupakan rangkaian penelitian dalam kerjasama peneliti yang berjudul “Hibah Kerjasama Luar Negeri dan Publikasi Internasional No. 203/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2012 Tahun Anggaran 2012 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan ketua tim Dr. Syartinilia, SP, M.Si.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Hiroyoshi Higuchi (Keio University, Jepang) atas kesediaannya memberikan izin kepada penulis untuk menggunakan data Satellite-tracking dari individu Sikep-madu Asia (SMA).

2. Komisi pembimbing atas nasihat dan bimbingannya;

3. Kelompok Studi Satwa Liar Riau atas dukungan tenaga dan waktunya; 4. Perkumpulan Suaka Elang atas atas dukungannya,

5. Bapak, Ibu, adik, dan keluarga tercinta atas nasihat, doa, dan dukungannya;

6. Teman-teman tercinta atas doa, dukungan, dan bantuannya.

Mudah-mudahan tesis ini dapat memberikan nilai manfaat dan menjadi amal saleh yang diterima oleh Allah SWT., amin.

Bogor, Juni 2015

(12)

DAFTAR ISI

Model Kesesuaian Habitat 8

Sikep-madu Asia 8

Prosedur Analisis Data 14

Membangun Model Distribusi Habitat Singgah (Stop over Habitat)

Berdasarkan Data Satellite tracking 18

Jumlah Individu dan Pola Terbang 20

Penyusunan Rekomendasi 21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Hasil 22

Model Distribusi Habitat Sikep-madu Asia 22 Jumlah, Pola Terbang dan Waktu Migrasi 27

Periode Singgah Sikep-madu Asia 28

Pembahasan 28

Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep-madu Asia 28

Periode Singgah Sikep-madu Asia 29

Deskripsi Jumlah 30

Penggunaan Waktu dan Pola terbang 30

Rekomendasi Pengelolaan Pulau Rupat 31

5 SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 41

(13)

DAFTAR TABEL

No Daftar Hal

1 Jenis, bentuk dan sumber data penelitian 14

2 Deskripsi kelas penutupan lahan 16

3 Kondisi penutupan lahan di Pulau Rupat 16

4 Klasifikasi kemiringan lahan 17

5 Klasifikasi kelas ketinggan 17

6 Variabel jarak ke lingkungan 18

7 Hasil analisis signifikansi 14 variable lingkungan dengan uji t 22 8 Akurasi Hosmer-Lemeshow dan Nagelkerke (R²) dengan metode

Backward Stepwise (LR) 22 9 Jenis burung pemangsa yang bermigrasi melewati Pulau Rupat 32 10 Keanekaragaman jenis burung pemangsa penetap di Pulau Rupat

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Daftar Hal

1 Alur kerangka penelitian Sikep-madu Asia 4

2 Musim migrasi burung pemangsa di Asia 5

3 Jalur migrasi Sikep-madu Asia melalui satellite tracking 6 4 Cara kerja satellite tracking melalui ARGOS 8 5 Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus orientalis) 9

6 Pola terbang gliding 10

7 Pola terbang soaring 11

8 Pola terbang flaping 11

9 Peta Pulau Rupat sebagai lokasi penelitian 14

10 Penutupan lahan di Pulau Rupat 15

11 Lokasi pengamatan 20

12 Simulasi penentuan lokasi dan pengamatan 21 13 Peta model kesesuaian habitat singgah Sikep-madu Asia

di Pulau Rupat 24

14 Peta model validasi kesesuaian habitat singgah

Sikep-madu Asia 25

15 Jumlah individu Sikep-madu Asia yang teramati 26

16 Waktu bermigrasi Sikep-madu Asia 26

17 Pola terbang yang teramati 27

18 Periode Singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Hal

1. Peta penutupan lahan 41

2. Peta kelas kemiringan 42

3. Peta kelas kelerengan 43

4. Peta jarak terdekat dengan hutan 44

5. Peta jarak terdekat dengan semak belukar 45

6. Peta jarak terdekat dengan sawah 46

7. Peta jarak terdekat dengan badan air 47

8. Peta jarak terdekat dengan mangrove 48

9. Peta jarak terdekat dengan perkebunan 49 10. Peta jarak terdekat dengan permukiman 50 11. Peta jarak terdekat dengan pertanian 51 12. Peta jarak terdekat dengan slope 0-3% 52 13. Peta jarak terdekat dengan slope 25-40% 53 14. Peta jarak terdekat dengan slope 3-8% 54 15. Peta jarak terdekat dengan slope >40% 55 16. Peta jarak terdekat dengan slope 15-25% 56 17. Peta jarak terdekat dengan slope 8-15% 57

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Burung pemangsa merupakan terminologi yang sering digunakan dalam mendefinisikan pengelompokan jenis-jenis elang; secara global terminologi tersebut berkembang dikalangan peneliti dan pemerhati burung (Rahman 2006; Yamazaki et al. 2012). Burung pemangsa memiliki peranan penting dalam ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) menjadikan kelompok burung ini sebagai indikator kesehatan lingkungan. Gangguan terhadap jenis burung pemangsa dapat mempengaruhi keseimbangan ekologi suatu ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan perilakunya, burung pemangsa dapat hidup sebagai penetap dan tinggal di suatu kawasan (resident), sedangkan beberapa diantaranya hidup bermigrasi (migrant), yaitu melakukan perjalanan panjang mengarungi samudera secara periodik setiap tahunnya. Ini merupakan adaptasi alami burung migran untuk mempertahankan hidupnya karena daerah berbiak mereka sedang mengalami musim dingin. Burung-burung migran mengunjungi daerah yang lebih hangat agar mendapatkan sumber pakan (Ferguson & Christie. 2001). Menurut Ferguson dan Christie (2001) terdapat 307 jenis burung pemangsa di dunia, dan menurut Bildstein (2006) 202 jenis diantaranya merupakan burung pemangsa migran.

Indonesia merupakan salah satu perlintasan dan daerah singgah migrasi burung pemangsa. Sejak tahun 2003, pengamatan telah dilakukan oleh komunitas pengamat, pemerhati dan peneliti burung pemangsa di Indonesia. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa migrasi yang dilakukan melewati kawasan berhutan dan kawasan terbuka, beberapa diantaranya cenderung memilih untuk tinggal sementara hingga musim berbiak tiba.

Menurut Zalles dan Bildstein (2000) 24 jenis burung pemangsa migran melintasi dan menetap sementara (stop over) di wilayah Indonesia melalui Pulau Sumatera. Sumatera menjadi salah satu pintu gerbang migrasi burung pemangsa di Indonesia melalui Pulau Rupat. Walaupun belum didefinisikan sebagai daerah penting untuk burung (Important Bird Area), namun Holmes dan Rombang (2001) menyatakan bahwa Pulau Rupat sangat penting karena merupakan lintasan sekaligus persinggahan (stop over) bagi migrasi burung pemangsa. Menurut Sukmantoro et al (2006) bahwa burung pemangsa bermigrasi melintasi Pulau Rupat, singgah sementara waktu dan kemudian melanjutkan perjalannya kembali. Sedangkan Iqbal (2000) menyatakan bahwa sebanyak 1 080 individu burung pemangsa teramati melintasi Pulau Rupat.

Salah satu jenis burung pemangsa migran yang teramati menggunakan Pulau Rupat sebagai habitat singgah adalah Sikep-madu Asia (Zales & Bildstein. 2000; Iqbal 2000; Bildstein 2006; Sukmantoro et al. 2006; Yamazaki et al. 2012; Syartinilia et al. 2013). Penelitian menggunakan

(17)

Migrasi Sikep-madu Asia sangat bergantung kepada kesediaan pakan dan termal. Termal adalah udara hangat yang bergerak naik secara vertikal akibat perbedaan lansekap dipermukaan bumi dalam menerima sinar matahari (Bildstein 2006) yang membantu burung untuk terbang membumbung kemudian melayang dan meluncur untuk mempersingkat jarak agar dapat menghemat energi (Tholin 2011). Untuk memenuhi kebutuhan pakan selama bermigrasi, Sikep-madu Asia lebih banyak menggunakan daratan sebagai lintasan migrasinya karena daratan menyediakan lebih sumber pakan untuk mengisi energi (Tholin 2011).

Sejak tahun 2003, sebanyak 49 ekor Sikep-madu Asia telah dipasangi transmiter di Jepang guna mengetahui arah pergerakan burung tersebut menggunakan teknologi satellite tracking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sumatera merupakan salah satu pintu masuk migrasi Sikep-madu Asia, burung tersebut terbang melewati Semenanjung Malaysia melintasi Selat Malaka kemudian menuju ke Pulau Sumatera melalui Pulau Rupat, Provinsi Riau (Higuchi et al. 2005; Syartinilia et al. 2013).

Penelitian dan pengembangan studi menggunakan teknologi satellite tracking untuk bidang ekologi mulai dikembangkan sejak tahun 1966 (Cohn 1999; Webster et al. 2002) hingga saat ini. Teknologi ini membantu para ahli mengumpulkan banyak bukti, misalnya; lokasi persinggahan (Higuchi et al.

1996; Green et al. 2002; Hake et al. 2003; Syartinilia et al. 2013; Ameliawati 2014; Mardiyanto 2015) dan penelitian tersebut telah terpublikasi. Penelitian yang telah dilakukan tidak hanya memberikan informasi dasar namun juga memberikan kontribusi terhadap penentuan lokasi penting yang digunakan sebagai habitat persinggahan atau tumpang tindih sejumlah spesies burung (Brothers et al. 1998; Higuchi et al. 2004).

Data satellite tracking hanya terbatas informasi mengenai lokasi keberadaan dan waktu keberadaan satwa tersebut dalam waktu tertentu. Namun informasi tersebut menjadi sangat penting jika digabungkan dengan variabel lingkungan (penutupan lahan, elevasi dan slope) dan dianalisis kembali menggunakan pemodelan, sehingga menghasilkan peta karakteristik habitat, termasuk karakteristik habitat singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat.

Perumusan Masalah

Habitat yang dibutuhkan oleh setiap jenis satwa liar sangatlah berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra 2002). Satwa liar tidak menggunakan seluruh kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya, tetapi hanya menempati beberapa bagian secara selektif (Morris 1987), hal ini berlaku juga bagi Sikep-madu Asia yang bermigrasi, burung tersebut tidak hanya menempati seluruh kawasan berhutan, tetapi juga kawasan lahan yang dikelola dan kawasan semi-gurun (Ferguson & Christie. 2001).

(18)

sehingga dikhawatirkan menjadi hambatan terhadap keberhasilan siklus migrasi dimasa mendatang. Tingginya tingkat kerusakan hutan (deforestasi, degradasi dan fragmentasi), tumpang tindih kawasan, alih fungsi lahan, serta konversi kawasan menjadi lahan pertanian tanpa memperhatikan kondisi

biotik dan abiotik sekitar (Rakhman et al. 2006) menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan siklus tersebut. Penggunaan pestisida secara berlebihan juga dapat memotong rantai ekologi satwa pakan pakan, sehingga jika dikonsumsi secara akumulatif dapat menjadi racun yang berdampak buruk terhadap kondisi burung pemangsa saat berbiak dan melakukan perjalanan panjang (Smithsonian Institute 2012).

Informasi dasar persinggahan burung pemangsa diharapkan dapat menjadi bahan dalam penyusunan kebijakan mengenai pembangunan Pulau Rupat. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan masukan dalam pengelolaan kawasan-kawasan penting bagi migrasi burung pemangsa di Pulau Rupat dan daerah persinggahan lainnya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan; 1) membuat model distribusi habitat serta melakukan analisis terhadap karakteristik distribusi habitat singgah (stop over) Sikep-madu Asia di Pulau Rupat, 2) mendeskripsikan jumlah, penggunaan waktu dan pola terbang migrasi saat masuk ke daratan Pulau Rupat, dan 3) menyusun rekomendasi pengelolaan Pulau Rupat untuk pelestarian habitat Sikep-madu Asia.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak terkait sebagai dasar dalam merencanakan pembangunan Pulau Rupat berdasarkan siklus migrasi burung pemangsa. Melalui penelitan ini diharapkan dapat meminimalkan dampak penurunan kualitas habitat persinggahan dan lintasan migrasi burung pemangsaan di Pulau Rupat.

Ruang Lingkup Penelitian

(19)

Gambar 1 Kerangka penelitian Sikep-madu Asia

TINJAUAN PUSTAKA

Migrasi dan Jalur

Migrasi merupakan perpindahan sekumpulan satwa dari satu wilayah menuju ke wilayah lain secara periodik (Yamazaki et al. 2012). Migrasi dilakukan sebagai usaha untuk mempertahankan hidupnya dari musim dingin di habitat berbiaknya (Clark & Newton. 1990; Yamazaki et al. 2012). Fenomena migrasi telah berlangsung selama ratusan tahun, ini dilakukan juga oleh burung pemangsa. Musim dingin yang melanda daerah berbiak burung tersebut mengakibatkan minimnya ketersedian pakan, maka pilihan yang dapat diambil adalah bermigrasi ke daerah yang lebih hangat dengan sumber pakan yang lebih berlimpah (Bildstein 2006; Yamazaki et al. 2012).

Penelitian ilmiah telah banyak dilakukan untuk mengetahui bagaimana sejumlah burung melakukan migrasi. Pendapat yang paling kuat mengenai bagaimana burung bermigrasi adalah magnetic sensing. Burung migran memiliki bahan kimia khusus atau senyawa dalam mata dan otak untuk membantu merasakan medan magnet di bumi, ini sangat membantu navigasi burung dalam melakukan perjalanan panjang (Ferguson & Christie. 2001).

Burung migran melakukan migrasi dengan rute setiap tahun, walaupun terkadang rute tersebut berubah ketika mengalami gangguan yang disebabkan oleh alam, seperti; gunung meletus, kebakaran hutan maupun badai. Rute yang dilewati diajarkan oleh induk kepada burung muda yang

Habitat singgah

slope/ kelerengan Elevasi/ kemiringan

(20)

telah mampu bermigrasi. Informasi rute tersebut kemudian diteruskan ke generasi berikutnya (Mayenth 2012). Burung pemangsa memiliki penglihatan tajam sehingga memungkinkan untuk memetakan perjalanan dalam bentang alam yang luas dan fitur geografis yang berbeda; seperti sungai, pesisir dan pegunungan (Smithsonian Institute 2012).

Musim migrasi umumnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu; 1) migrasi musim gugur (autumn migration), yaitu burung bermigrasi dari daerah berbiak (breeding area) menuju daerah musim dingin (wintering area), umumnya dilakukan sekitar Bulan September-November, dan 2) migrasi musim semi (spring migration), yaitu burung bermigrasi kembali dari daerah musim dingin (wintering area) menuju daerah berbiak (breeding area), umumnya dilakukan sekitar Bulan Maret-Mei (Gambar 2) (Yamazaki et al. 2012).

Gambar 2 Musim migrasi burung pemangsa di Asia

(Sumber: Yamazaki et al. 2012: halaman 2)

(21)

Gambar 3 Jalur migrasi Sikep-madu Asia melalui satellite- tracking (Sumber: Higuchi et al. 2005)

Keberadaan migrasi tidak hanya menjadi isu lokal, tetapi juga dijadikan sebagai kerangka dasar dalam pengelolaan dan perlindungan suatu area, seperti penentuan important bird area oleh BirdLife atau area perlindungan yang diusulkan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) (IUCN 2008). Secara umum, strategi konservasi yang ditetapkan pemerintah Indonesia mengenai migrasi lebih banyak mengacu pada IUCN melalui pedoman pengelompokan pengelolaan kawasan dilindungi (Guidelines for Protected Area Management Categories) (IUCN 2008). Namun peraturan-peraturan yang lebih spesifik terhadap pengelolaan kawasan sebagai lintasan maupun habitat singgah migrasi burung pemangsa belum diatur secara terperinci.

Satellite Tracking

(22)

persinggahan (Higuchi et al. 1996; Green et al. 2002; dan Hake et al. 2003) dan jarak mencari makan (Brothers et al. 1998). Penelitian lain telah dilakukan, tidak hanya memberikan informasi dasar mengenai pergerakan spesies, tetapi juga memberikan kontribusi bagi konservasi satwa liar seperti menunjukkan area persinggahan, tumpang tindih suatu spesies burung dalam mencari makan, migrasi penyu dan paus (Brothers et al. 1998; Higuchi et al. 2004).

Sattelite tracking yang terpasang pada satwa disebut Platform Terminal Transmitter (PTTs). PTTs merupakan transmitter yang digabungkan dengan

Global Position System (GPS). Pada jenis burung, alat tersebut dipasangkan pada bagian punggung (Gillespie 2001). Transmitter yang dipasang pada Sikep-madu Asia memiliki berat kurang dari 5% dari berat badan burung tersebut, yaitu sekitar 9.5 gram. Alat ini menggunakan baterai nikel-kadmium

dengan memanfaatkan bahan bertenaga surya agar dapat terisi kembali. Masa pakai baterai PTTs digunakan mencapai lebih kurang 2 sampai 4 tahun (Howey 1997; Gillespie 2001).

Frekuensi transmisi yang digunakan pada PTTs berada pada frekuensi 401.67 MHz dan 401.68 MHz. Cara kerja PTTs adalah merekam jalurnya menggunakan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration). Data yang diperoleh berupa informasi lokasi dan waktu saja (kapan dan dimana satwa tersebut berada). Bentuk dan ukuran PPTs yang terpasang pada burung pemangsa dirancang khusus agar pada saat burung tersebut beraktivitas tidak merasa terganggu (Howey 1997).

(23)

Gambar 4 Cara kerja satellite tracking melalui ARGOS

(Sumber: Higuchi et al. 2005)

Model Kesesuaian Habitat

Model kesesuaian habitat didefinisikan sebagai suatu perkiraan yang menunjukkan kemampuan suatu unit habitat untuk mendukung kehidupan dan perkembangbiakan satwa (Nursal 2007). Menurut Shenk dan Franklin (2001) bahwa pendekatan yang dapat dilakukan dalam pembuatan model adalah dengan mengumpulkan variabel bebas yang merupakan fungsi suatu ruang yang dihubungkan dengan variabel bebas dengan ruang lainnya. Tujuan pembangunan sebuah model bagi satwa adalah memprediksi kelayakan suatu wilayah tertentu untuk dijadikan sebagai pendekatan dalam mengambil keputusan pengelolaan melalui pemahaman terhadap sistem ekologi, ini dilakukan sebagai bahan evaluasi terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan dari keadaan tertentu (Shenk & Franklin. 2001). Model kesesuaian habitat merupakan sebuah pendekatan yang umum dilakukan dalam analisa spasial

,

hal ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang

dihadapi agar dapat mengetahui keadaan terhadap suatu kondisi lingkungan yang kompleks.

Sikep-madu Asia

(24)

sayap mencapai 150-170 cm dan berat badan mencapai 0.75-1.49 kg (Yamazaki et al. 2012).

Ras Jenis Sikep-madu Asia

Burung ini digolongkan dalam dua ras yang dibedakan, perbedaan tersebut didasarkan pada panjang jambul, yaitu; 1). Ras berjambul panjang seperti Pernis ptilorhynchus torquatus dan Pernis ptilorhynchus ptilorhynchus, dan 2). Ras berjambul palearktika timur dengan jambul pendek yaitu Pernis ptilorhynchus orientalis.

Jenis Pernis ptilorhynchus torquatus tersebar mulai dari Semenanjung Malaysia, Thailand, Sumatera dan Borneo dan jenis Pernis ptilorhynchus ptilorhynchus tersebar di wilayah Jawa, Sumatra dan Kalimantan.

Jenis Pernis ptilorhynchus orientalis tersebar diseluruh Sunda Besar. Berbiak di selatan Siberia, Korea (Selatan dan Utara), China dan Taiwan. Pada saat musim dingin burung ini melakukan migrasi dari Asia bagian utara (Siberia, Jepang, Korea dan Cina) menuju Asia (Ferguson & Christie. 2001).

Pernis ptilorhynchus orientalis dapat hidup hingga ketinggian 1 200 mdpl (MacKinnon 1990).

Gambar 5 Sikep-madu Asia (Pernis ptilorhynchus orientalis) Perilaku Bermigrasi

Sikep-madu Asia memiliki prilaku bermigrasi secara berkelompok (flock) bersama jenis migran lainnya antara lain, seperti; Elang Alap Cina/

(25)

(Ferguson & Christie. 2001; DeCandido et al. 2004; Higuchi 2005; Syartinilia 2013).

MacKinnon et al (1990) menjelaskan bahwa migrasi Sikep-madu Asia dilakukan dengan mengunjungi hutan pegunungan dan daerah terbuka. Sewaktu terbang, burung tersebut memiliki ciri khas yaitu melakukan beberapa kali kepakan kemudian melayang tinggi di udara dengan sayap membentang datar (soaring) diikuti dengan luncuran panjang (gliding) (MacKinnon et al. 1990). Selain itu, burung ini memiliki kebiasaan unik lain, yaitu merampas sarang-sarang lebah (The Peregrine Found 2012).

Pola Terbang

Pola terbang migrasi burung pemangsa merupakan adaptasi dari bentuk dan ukuran tubuh burung tersebut dengan lingkungan sekitar. Ini dilakukan oleh burung pemangsa secara umum segai usaha melakukan efisiensi energi mereka. Menurut Prawiradilaga et al (2003), pola terbang burung pemangsa diidentifikasi dengan menggunakan istilah yang umum digunakan oleh peneliti dan pemerhati burung pemangsa. Beberapa istilah tersebut antara lain :

Undulating

(berayun)

: merupakan pola terbang berayun ke atas dan ke bawah berbentuk frekuensi transversal, ini biasa dilakukan untuk menghindari terpaan angin secara berlawanan.

Diving

(menukik)

: merupakan pola terbang menukik ke bawah dengan cepat, aktivitas ini biasa dilakukan pada saat berburu ataupun menghindari angin yang bergerak kencang.

Gliding

(meluncur)

: merupakan pola terbang meluncur dengan membuka saya sedikit mengerucut tanpa melakukan kepakan. Aktivitasi ini menggunakan bantuan angin dan sangat efektif dalam perjalanan panjang selama bermigrasi.

(26)

Soaring

(membubung)

: yaitu terbang membumbung keatas membentuk lingkaran spiral, adaptasi ini dilakukan burung pemangsa saat pemanfaatan tekanan udara panas yang naik secara vertikal atau biasa disebut termal.

Gambar 7 Pola terbang soaring Flapping

(mengepak)

: Aktivitas ini dilakukan oleh semua jenis burung,

flapping merupakan aktivitas terbang dengan mengepakkan sepasang sayapnya, beberapa burung pemangsa berukuran sedang hingga besar sangat jarang melakukannya karena membutuhkan tenaga yang cukup besar.

Gambar 8 Pola terbang flapping

Status Konservasi

(27)

Pulau Rupat

Pulau Rupat memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan terjadi antara Bulan Juli hingga November, dengan jumlah curah hujan ± 1 100 mm/tahun dan curah hujan rata-rata 2 356 mm/tahun. Suhu udara antara 25.5-26.4 °C dengan tekanan udara rata-rata 1 010.5 atm. Pulau Rupat ketinggian maksimum 25 mdpl dengan topografi datar. Kelas kemiringan yang dominan adalah kelas kemiringan 0-3%.

Habitat penting untuk migrasi bagi burung pemangsa di Asia adalah daerah lintasan (migration routes), daerah singgah (stop over) dan daerah-daerah yang menjadi habitat musim dingin (wintering area) (Yamazaki et al. 2012). Habitat ini menjadi faktor kunci keberhasilan dari migrasi burung pemangsa (Higuchi et al. 1996). Berdasarkan data satellite tracking, Pulau Rupat memiliki nilai penting dalam jalur migrasi burung pemangsa yaitu sebagai habitat singgah (Higuchi 2005). Holmes dan Rombang (2001) menyatakan bahwa Pulau Rupat adalah daerah penting untuk migrasi burung pemangsa di Sumatera.

Menurut Zalles dan Bildstein (2000) danYamazaki et al (2012), diperkirakan migrasi burung pemangsa bergerak dari Tanjung Tuan-Malaysia sejauh 50 km ke arah Selatan menuju Pulau Rupat melewati selat Melaka. Sebanyak 1 080 individu Sikep-madu Asia telah dihitung di Teluk Rhu dan Pulau Rupat pada tahun 2005 (Iqbal 2010). Burung tersebut singgah di Pulau Rupat pada malam hari dan melanjutkan perjalanan pada pagi hari. Jarak tempuh sejauh 50 km dilalui oleh Sikep-madu Asia untuk melewati selat Melaka dari Semenanjung Malaysia menuju Pulau Rupat-Sumatera, begitu juga sebaliknya (Yamazaki et al. 2012). Beberapa pulau lain yang menjadi jalur migrasi diantaranya adalah: 1). Pulau Bengkalis, 2). Kepulauan Karimata, dan 3). Kepulauan Riau dan 4). Pulau Belitung (Higuchi et al. 2005).

METODE

Lokasi

(28)

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS, Tally sheet pengamatan,

Binocular dan Telescope, Digital SLR Camera dengan perbesaran lensa 70-300 mm hingga 150-400 mm, kompas, alat penunjuk waktu, Manual Guide Raptor of the Word (Ferguson & Christie. 2001). Analisis data dilakukan dengan menggunakan ArcMap 9.3, Ramas GIS, SPSS 16.0, dan Erdas ER MAPPER.

Gambar 9 Peta Pulau Rupat sebagai lokasi penelitian

Bahan

Bahan yang digunakan adalah peta Aster DEM untuk membuat peta slope dan elevasi peta. Data Citra Spot_4 diakses tanggal 27 Juni 2011 dengan skala 10x10 m digunakan untuk membuat peta penutupan lahan, dan data

satellite tracking untuk membuat Presence (Tabel 1). Data satellite tracking

yang diperoleh merupakan data satelit yang telah di analisis sebelumnya (Higuchi et al. 2005).

Tabel 1 Jenis, bentuk dan sumber data penelitian

No. Jenis data Tipe data Sumber data

1. Peta Administrasi

Kabupaten Bengkalis Vektor BAPPEDA Kabupaten Bengkaliss 2. Data Tracking Vektor: Poin ARGOS 2011

3. Slope/ Kelerengan Raster; Continue

ASTER GDEM

(http://asterweb.jpl.nasa. gov/gdem.asp)

4. Elevasi Raster; Continue

(29)

aRaster adalah kumpulan pixel yang membentuk suatu objek yang terdiri dari baris dan

kolom; bVektor merupakan gambar yang didefinisikan dalam notasi x dan y guna

menggambarkan titik lokasi, garis atau polygon; cDEM (Digital Elevation Model)

Prosedur Analisis Data

Analisis data dalam penelitian dilakukan melalui 3 tahap, yaitu; pembangunan model distribusi habitat singgah Sikep-madu Asia berbasis data satellite tracking, tahap kedua adalah mendeskripsikan jumlah dan pola terbang migrasi Sikep-madu Asia di Pulau Rupat dan tahap ketiga adalah menyusun rekomendasi kebijakan pengelolaan Pulau Rupat.

Kondisi penutupan lahan

Data yang digunakan dalam pembuatan model adalah peta penutupan lahan, oleh karena itu diperlukan analisis citra untuk pembuatan peta penutupan lahan. Pembuatan penutupan lahan dimulai dengan menentuan kelas penutupan lahan yang sesuai dengan kondisi dilokasi penelitian. Peta yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Spot 4_27 Juni 2011 dengan resolusi 10x10 m yang telah dilakukan koreksi geometrik dalam format WGS 1984 UTM Zone 47S. Proses pembuatan peta penutupan lahan dikerjakan dengan menggunakan software ERDAS IMAGE 9.1.

Analisis penutupan lahan Pulau Rupat memperoleh 8 kelas penutupan lahan yaitu; badan air, hutan, mangrove, pemukiman, pertanian, perkebunan, sawah dan semak belukar (Table 2 & 3). Penutupan lahan kemudian dihitung nilai akurasinya. Akurasi dapat diterima jika overall accuration dan Kappa accuration mencapai minimal 75% untuk akurasi keseluruhan (Syartinilia & Tsuyuki. 2008). Berdasarkan hasil analisa penutupan lahan, diperoleh nilai akurasi umum hasil klasifikasi dalam peta penutupan lahan sebesar 96.69%, sedangkan akurasi kappa sebesar 96.37%.

(30)
(31)

Tabel 2 Diskripsi kelas penutupan lahan

No Penutupan

Lahan Diskripsi

1 Air : Seluruh kawasan dengan kenampakan perairan, termasuk

sungai, danau dan waduk.

2 Hutan : Merupakan area hutan yang luas, sebagian hutan tergenang air

setiap periodik dan sebagian merupakan area hutan gambut.

Sebagian telah dibersihkan (land clearing) secara masif.

Daerah ini merupakan konsesi hutan produksi yang telah disahkan oleh Pemerintah daerah dan mendapat persetujuan Kementerian Kehutanan untuk dikelola.

3 Perkebunan : Merupakan tegakan monokultur seperti kelapa (Cocos

nucifera), kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) atau karet

(Hevea brasiliensis) yang dikelola oleh perorangan maupun perusahaan. Tegakan ini menggunakan lahan yang luas (minimal 2 Ha), ditanam dengan rapih menggunakan jarak tanam yang telah ditentukan.

4 Pertanian : Merupakan area tanaman pangan berupa jenis pertanian lahan

kering seperti singkong, jagung dan tanaman sayuran lainnya.

5 Mangrove : Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh di daerah

pantai atau sekitar muara yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Di Pulau Rupat Vegetasi mangrove tersebut meliputi

koloni bakau hitam (Rhizophora mucronata), bakau putih (R.

apiculata), api-api (Avicennia sp.), tanjang (Bruguiera

6 Permukiman : Seluruh kawasan yang difungsikan sebagai permukiman,

bangunan maupun sarana dan prasaranan terbangun lainnya. Berupa permukiman padat (perumahan) atau area terbangun lainnya. belukar yang tumbuh secara liar dan belum termanfaatkan.

Sumber: data lapang

Tabel 3 Kondisi penutupan lahan di Pulau Rupat

No Penutupan Lahan km2 %

(32)

Kemiringan lahan

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/ Kpts/ Um/ 11/ 1980 dan No: 683/ Kpts/ Um/ 8/ 1981, maka untuk kelas kemiringan lahan (slope) dibagi menjadi enam kelas (Tabel 4). Pembuatan klasifikasi kelas kemiringan lahan dilakukan dengan metode reclassify menjadi 6 kelas dengan menggunakan software ARC MAP 9.3 (Lampiran 2). Bahan pembuatan peta

slope yaitu peta ASTER DEM dengan resolusi 30x30 m. Tabel 4 Klasifikasi kemiringan lahan

No. Kelas Kemiringan Lahan

1.

Sumber : SK. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No: 683/Kpts/Um/8/1981. Sumber: ASTER DEM Juni 2011

Kelas kemiringan lahan Di Pulau Rupat didominasi oleh kelas kemiringan 0-3%. Walaupun demikian, beberapa daerah di Pulau Rupat juga memiliki kelas kemiringan lahan mencapai >40%. Daerah yang memiliki kelas kemiringan lereng >40% terdapat di perbatasan antara Rupat Utara dan Rupat Selatan (Lampiran 2).

Ketinggian Tempat

Berdasarkan penelitian sebelumnya, kelas ketinggian tempat (elevasi) dibagi menjadi lima kelas. Dengan cara recode/ reclassify menjadi 5 kelas dengan menggunakan software ARC MAP 9.3 (Tabel 5 & lampiran 3). Bahan pembuatan peta ketinggian tempat yaitu peta ASTER DEM dengan resolusi 30x30m.

Tabel 5 Klasifikasi kelas ketinggian tempat

Sumber : ASTER DEM Juni 2011

Hasil analisis menunjukkan bahwa maksimal elevasi atau ketinggian tempat di Pulau Rupat hanya mencapai 85 meter (< 100 meter). Mengacu pada Ameliawati (2014) dan Mardiyanto (2015) maka maka kelas elevasi dianggap memiliki kelerengan seragam (Lampiran 3)

(33)

Pembuatan Variabel Lingkungan

Peta jarak terdekat (euclidean distance) dari selurh variable lingkungan dibuat untuk memberikan informasi setiap sel dalam raster ke sumber terdekat sama (ESRI 2007). Untuk memperoleh jarak terdekat, maka seluruh peta diubah melalui proses euclidean distance pada Spatial Analysis Tools sehingga menghasilkan peta jarak dari 15 variabel lingkungan yang digunakan dalam proses penyusunan model (Tabel 6 & Lampiran 4-18). Tabel 6 Variabel jarak ke Lingkungan

No Variabel Lingkungan Singkatan Sumber

1 Jarak terdekat ke Kemiringan 0-3 % JTKS1 Ekstrasi dari ASTER DEM yang di buat menjadi peta euclidean distance

2 Jarak terdekat ke Kemiringan 3-8 % JTKS2 3 Jarak terdekat ke Kemiringan 8-15 % JTKS3 4 Jarak terdekat ke Kemiringan 15-25 % JTKS4 5 Jarak terdekat ke Kemiringan 25-40 % JTKS5 6 Jarak terdekat ke Kemiringan > 40 % JTKS6

9 Jarak terdekat ke Pertanian JTKPt 10 Jarak terdekat ke Pemukiman JTKPm 11 Jarak terdekat ke perkebunan JTKPb 12 Jarak terdekat ke Sawah JTKS 13 Jarak terdekat ke Hutan JTKH 14 Jarak terdekat ke Belukar JTKB 15 Jarak terdekat ke Mangrove JTKM

Membangun Model Distribusi Habitat Singgah (Stop over Habitat) Berdasarkan Data Satellite tracking

Kajian habitat singgah dilakukan dengan cara melakukan observasi langsung (ground check) berdasarkan data satellite tracking,data informasi dilapangan maupun studi literatur. Informasi yang terkumpul kemudian didokumentasikan dalam bentuk pencatatan koordinat. Evaluasi yang dilakukan berupa evaluasi fisik mengenai perubahan atau gangguan lingkungan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi terkini sebagai bahan analisis selanjutnya, sehingga dapat diteruskan ke membangun model. Membangun Model

Data yang dikumpulkan adalah data spasial dan non-spasial. Data spasial meliputi peta administrasi, peta penutupan lahan, peta kemiringan lahan dan peta ketinggian tempat. Sedangkan data non-spasial berupa data informasi dari lapangan maupun studi literatur.

(34)

lokasi teridentifikasi tidak ada. Model ini pernah digunakan pada burung Elang Jawa (Syartinilia & Tsuyuki. 2008), Burung Maleo (Ambagau 2010).

Presence dan Pseudo-absence

Model dibangun berdasarkan presence dan pseudo-absence dengan asumsi bahwa titik presence maupun pseudo-absence berjumlah sama (Syartinilia & Tsuyuki. 2008; Ambagau 2010; Ameliawati 2014). Data

presence berjumlah 58 titik, dengan rincian berupa 26 titik satellte tracking

dan 32 titik yang terkumpul dilapang.

Pseudo-absence diambil dari lokasi yang tidak ditemukan Sikep-madu Asia melalui hasil pengamatan dilapangan (20 titik). Sejumah 38 titik ditambahkan melalui pemilihan lokasi terdekat dengan titik presence.

Pemilihan didasarkan pada karakteristik penutupan lahan yang sama, namun tidak dijumpai Sikep-madu Asia. Ini dibuat dengan cara membuat grid seluas 1x1 km2, kemudian menunjukan titik sejauh 3 grid dari titik presence, dilakukan menggunakan random sampleplug-in hawths tools pada perangkat lunak ArcGIS. Jumlah total yang digunakan secara keseluruhan adalah 116 titik. Total jumlah titik yang digunakan untuk membangun model sebanyak 70%, sedangkan sisanya sebanyak 30% digunakan sebagai validasi model.

Analisis regresi logistik digunakan untuk memprediksi pengaruh antara variabel terikat dan variabel bebas. Pengaruh nyata atau tidak variable tersebut dilakukan dengan uji t (α ≤0.01). Prosedur penanggulangan untuk

mengatasi masalah variabel tidak berpengaruh nyata (tidak signifikan) dilakukan dengan mengeliminasi peubah yang memiliki sig (p ≤0.05). Pengembangan model regresi logistik dilakukan menggunakan software

SPSS, selanjutnya dimasukan kedalam software Ramas GIS (Syartinilia & Tsuyuki. 2008) sesuai rumus yang telah ditentukan (Syartinilia 2008; Ambagau 2010; Ameliawati 2014) hingga menghasilkan peta kesesuaian.

Keterangan: P= Peluang perjumpaan Sikep-madu Asia; Xji = adalah variabel/ peubah atas

(kovariet); i adalah piksel dan ß0 adalah konstanta dan ßjadalah koefisien

hasil pengukuran dan k adalah jumlah peubah

Penerapan model akan menghasilkan peta kesesuaian habitat Sikep-madu Asia yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu; daerah yang sesuai (suitable) dan daerah yang tidak sesuai (not-suitable). Pembuatan peta kesesuaian habitat Sikep-madu Asia dibuat menggunakan tools RAMAS

Landscape dalam perangkat lunak ARC GIS 9.3. Uji Kelayakan Model

(35)

determinasi ditentukan berdasarkan nilai Nagelkerke R2 dengan batas nilai ≥ 50% (Syartinilia &Tsuyuki. 2008). Apabila model tersebut layak maka akan dilanjutkan pada tahapan berikutnya, sedangkan jika tidak memenuhi batas nilai maka proses di ulang kembali.

Model Validasi

Validasi model dilakukan dengan menggunakan 30% dari sisa penyusunan model, Validasi model akan menghasilkan dua kesalahan (error); pertama ommision error, yaitu model memprediksi suatu lokasi sebagai habitat yang tidak sesuai walaupun Sikep-madu Asia ditemukan pada lokasi tersebut dan, kedua adalah comission error, yaitu model memprediksi suatu lokasi sebagai habitat yang sesuai namun tidak pernah dilaporkan adanya Sikep-madu Asia pada lokasi tersebut (Ottaviani et al. 2014; Syartinilia & Tsuyuki. 2008).

Menurut Syartinilia dan Tsuyuki (2008), terdapat dua kesalahan (error) yang dijumpai dalam tahap validasi model baku. Pertama comission error, yaitu model memprediksi suatu lokasi atau bisa didefinisikan sebagai kesalahan karena mendeteksi kawasan yang tidak ditemukan adanya Sikep-madu Asia dan sebaliknya.

Jumlah Individu dan Pola Terbang Migrasi

Penentuan Lokasi Pengamatan

Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan mengkaji informasi perjumpaan Sikep-madu Asia, serta survei awal di lokasi pengamatan. Titik pengamatan merupakan koridor rute atau lintasan utama yang telah dipergunakan secara teratur, dan telah digunakan sebagai lokasi pengamatan sebelumnya. Menurut Bednarz dan Kerlinger (1989), dengan melakukan identifikasi jalur terbang migrasi maka, selanjutnya melakukan penentuan lokasi pengamatan yang tepat. Teluk Rhu dipilih sebagai lokasi pengamatan berdasarkan hasil kajian dari pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya (Sukmantoro et al. 2006; Iqbal 2010).

(36)

Arah burung terbang

Pengamatan Jumlah dan Pola Terbang

Pengamatan jumlah dilakukan dengan menggunakan metode Point Count, yaitu metode pengumpulan data menggunakan titik lokasi pengamatan tetap pada satu lokasi dalam radius tertentu. Teknik survei yang paling banyak digunakan untuk mengamati migrasi burung pemangsa adalah metode pengamatan dengan lokasi tetap (Point Count),di mana burung terkonsentrasi selama migrasi (Kjellen & Roos. 2000). Pengamatan dilakukan dengan membuat garis imajiner sejajar pengamat, sehingga ketika burung melintas langsung dapat dihitung (Gambar 12).

Pengamatan pola terbang dilakukan dengan menggunakan metode

Scanning atau pemindaian (Colin et al. 1992). Penentuan lamanya waktu yang digunaan burung masuk ke Pulau Rupat hingga tidak terlihat lagi digunakan sebagai acuan, yaitu selama ±7 menit per individu.

Gambar 12 Simulasi penentuan lokasi dan pengamatan Waktu Pengamatan

Pengamatan dilakukan mulai pukul 06.00 WIB (terbitnya matahari) pukul 18.00 WIB (terbenam matahari). Hal ini dilakukan karena Sikep-madu Asia merupakan burung yang melakukan aktivitas pada siang hari (diurnal) (Yamazaki et al. 2012). Pengamatan dilakukan mulai tanggal 1-31 Oktober 2012. Hasil pengamatan tersebut dibahas dan disajikan dalam bentuk gambar, tabulasi dan grafik serta dianalisa secara deskriptif kualitatif.

Penyusunan Rekomendasi

Pengelolaan satwa liar dan habitatnya memerlukasun peraturan yang sistematis untuk mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. Aturan tersebut dibuat berdasarkan rekomendasi dan masukan dari hasil penelitian. Penelitian ini menghasilkan gambar peta kesesuaian habitat migrasi burung pemangsa. Hasil penelitian digunakan sebagai dasar penyusunan rekomendasi sesuai dengan kondisi terkini. Data lain berdasarkan studi literatur digunakan sebagai data tambahan bagi penyusunan rekomendasi.

Titik pengamatan

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep-madu Asia

Eliminasi 15 variabel lingkungan yang dilakukan menggunakan uji t

mendapatkan 9 variabel lingkungan. Variable tersebut dapat dianalisis lebih lanjut karena berbeda nyata atau memiliki hubungan nyata antara presence

dan pseudo-absence. Sisanya, yaitu sebanyak 6 variabel tidak berhubungan nyata antara presence dan pseudo-absence (Tabel 7).

Tabel 7 Hasil analisis signifikansi 15 variabel lingkungan dengan uji t

No Variabel Keterangan: * t: Hasil uji t df: derajat bebas, Sig: Nilai Signifikan

Hasil analisis regresi logistik menggunakan metode Backward Stepwise (LR) menunjukkan bahwa dari 9 variabel yang telah dianalisis, terdapat 6 variabel yang nyata secara statistik penting bagi karakteristik distribusi habitat musim dingin Sikep-madu Asia di Pulau Rupat, yaitu; badan air

(38)

Berdasarkan table 8, maka dapat dijelaksan bahwa kesesuaian habitat singgah Sikep-adu Asia diwakili oleh persamaan 1 nilai ekspektasi (nilai harapan) dari nilai konstanta (-0,508). Ini berarti bahwa peluang kemungkinan kesesuain habitat Sikep-madu Asia pada setiap variabel lingkungan meningkat sebesar nilai harapan yang ada (Tabel 8). Sehingga, model kesesuaian habitat Sikep-madu Asia dapat dimasukkan ke dalam rumus regresi logistik sebagai berikut:

��

= +exp[- - , , JTKA + , JTKPb + , JTKM + , JTKS + , JTKS - , JTKS ]

Model menjelaskan bahwa karakteristik habitat singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat dipengaruhi oleh badan air (JTKA), perkebunan (JTKPb), hutan mangrove (JTKM), slope 0-3% (JTKS1), slope 25-40 % (JTKS5), dan

slope >40% (JTKS6). Penerapan model menghasilkan peta kesesuaian habitat yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu; daerah yang sesuai (suitable) seluas 127. 667 km2 (87%) dan daerah yang tidak sesuai (non-suitable) seluas 15.876 km2 (13%).

Uji Kelayakan Model

Hasil uji kelayakan model menunjukkan bahwa model dapat diterima, karena memiliki nilai akurasi yang tinggi (hosmer-lemeshow = 0.786 dan

Negelkerke R2 = 78.6%) (Tabel 8). Nilai tersebut merupakan gambaran sejauh mana variable-veriabel dalam model menjelaskan variasi kesesuaian habitat Sikep-madu Asia, sedangkan sisanya (32.4%) dijelaskan oleh faktor atau variable lain yang tidak masuk dalam model yang terbentuk (Tabel 8). Model Validasi

(39)
(40)

Gambar 14 Peta model validasi kesesuaian habitat singgah Sikep-madu Asia

Jumlah, Pola Terbang dan Waktu Migrasi

(41)

Gambar 15 Jumlah individu Sikep-madu Asia yang teramati Waktu Migrasi

Pengamatan waktu menunjukkan bahwa aktivitas migrasi Sikep-madu Asia dimulai pada pukul 07.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Perhitungan waktu tertinggi terjadi pada pukul 10.00 WIB hingga pukul 11.00 WIB (140 individu). Perhitungan waktu terendah terjadi pada pukul 05.00 WIB sampai pukul 06.00 WIB. Sikep-madu Asia belum terlihat pada pukul 05.00 WIB sampai 06.00 WIB dan sudah tidak terlihat terbang pada pukul 16.00 WIB sampai pukul 19.00 WIB (Gambar 16).

Gambar 16 Penggunaan waktu bermigrasi Sikep-madu Asia Pola Terbang

Pengamatan pola terbang menunjukkan bahwa Sikep-madu Asia terbang rendah dengan ketinggian rata-rata 10 hingga 20 mdpl. Kecepatan terbang antara 10 sampai 15 km/jam. Burung tersebut terbang dari arah Utara menuju ke Selatan, yaitu dari Tj. Tuan- Port Dickson ke Pulau Rupat. Sikep-madu Asia melintasi Pulau Rupat dengan menggunakan tiga pola terbang yaitu; gliding, soaring, dan flapping (Gambar 17).

(42)

ketingggian maksimal dan kemudian meluncur dengan cara menyempitkan rentang sayap dan merapatkan ekor (gliding).

Keterangan: Soaring: terbang meluncur, Flapping: terbang mengepakkan sayap, Pearching: bertengger, Hunting: berburu, Undulating: terbang bergelombang, Diving: meluncur ke bawah

Gambar 17 Pola terbang yang teramati

Periode Singgah Sikep-madu Asia

Data satellite tracking yang digunakan merupakan data migrasi dari tahun 2003 hingga 2009. Data tersebut menginformasikan bahwa Sikep-madu Asia menggunakan Pulau Rupat sebagai lokasi persinggahan sementara (stop over) dengan durasi antara 1 menit hingga 33 jam 45 menit.

Keterangan: Autum: migrasi datang, Spring: migrasi kembali

Suber: Higuchi et al. 2005

Gambar 18 Periode singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat berdasarkan data sattelite tracking

Hasil analisis data sattelite tracking mendapatkan sebanyak 26 titik terekam yang artinya Sikep-madu Asia menggunakan Pulau Rupat sebagai persinggahan sementara (stop-over). Titik tersebut adalah rekaman milik 10 individu Sikep-madu Asia dengan nomor Platform 40729, 40759, 40790, 641317, 66547, 66550, 66551, 66552, 66553, 84430 (Tabel 9). Dari data tersebut, diperoleh hasil Sikep-madu Asia menggunakan Pulau Rupat di

(43)

musim migrasi datang (autum migration) sebanyak 4 individu, sedangkan 6 individu di musim migrasi kembali (spring migration) (Gambar 18).

Daerah yang terindikasi sebagai daerah tidak sesuai didominasi oleh daerah terbuka yang dimiliki oleh perusahaan kayu penyuplai bubur kertas dan perkebunan sawit dengan luasan area >5 Ha. Aktivitas pembersihan lahan (land clearing) diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan daerah tersebut kurang diminati oleh Sikep-madu Asia sebagai habitat singgah. Gangguan yang ditimbulkan berupa aktivitas manusia saat melakukan pembukaan hutan secara besar-besaran. Pembukaan lahan menggunakan alat berat (traktor) untuk keperluan pembersihan lahan (land clearing) menjadi potensi ancaman bagi aktivitas migrasi karena dapat menyebabkan hilangnya potensi pakan, hilangnya tempat peristirahatan dan ancaman gangguan lainnya.

Pembahasan

Model Kesesuaian Habitat Singgah Sikep-madu Asia

Pemilihan habitat singgah oleh Sikep-madu Asia sangat dipengaruhi kondisi iklim dan ketersediaan pakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa badan air, hutan mangrove, perkebunan dan slope merupakan variabel yang sangat penting bagi habitat singgah musim dingin. Ini diduga berhubungan dengan ketersediaan air untuk minum, ketersediaan pakan berupa sarang-sarang lebah di daerah mangrove dan lokasi peristirahatan.

Badan air, hutan mangrove dan Perkebunan diduga berhubungan dengan ketersediaan air untuk minum, ketersediaan pakan berupa sarang-sarang lebah di daerah mangrove dan tempat beristirahat. Habitat Sikep-madu Asia sangat tergantung pada preferensi habitat lebah (Yamaguchi et al. 2008; Syartinilia et al. 2013; Ameliawati 2014; Mardiyanto 2015), sementara Wetland International (2012) menyebutkan bahwa lebah jenis Apis dorsata

juga mencari makan dan membangun sarang di daerah mangrove.

Jenis burung pemakan lebah yaitu Kirik-kirik laut (Merops philippinus) dijumpai pula di sekitar hutan mangrove. Lokasi tersebut juga digunakan oleh kirik-kirik sebagai tempat beristirahat dan tempat berburu. Di lokasi yang sama ditemukan berbagai macam hewan vertebrata yang digunakan mereka sebagai sumber pakan, ini merupakan fakta bahwa badan air dan mangrove merupakan ekosistem yang kaya (Mardiyanto 2015). Ini membuktikan bahwa di Pulau Rupat masih terdapat sumber pakan yang dibutuhkan. Walaupun tidak dalam jumlah besar dan kualitas yang baik, namun cukup untuk memulihkan energi. Sumber pakan sangat penting di habitat untuk mengisi energi kembali (Mardiyanto 2015). Sikep-madu Asia diduga juga menggunakan hutan mangrove yang ada di Pulau Rupat sebagai tempat peristirahatan sementara. Raptor Indonesia (2012) menyebutkan bahwa Sikep-madu Asia dan kelompok Kirik-kirik laut singgah dan bermalam di Hutan mangrove Tanjung Lapin (Rupat Utara).

(44)

mencari makanan di daerah perkebunan (Yamaguchi et al. 2008; Syartinilia

et al. 2013; Ameliawati 2014; Mardiyanto 2015). Perkebunan menyediakan serangga dan hewan vertebrata lainnya sebagai pakan alternatif guna memenuhi kebutuhan nutrisi guna pemulihan tenaga (Yamaguchi et al. 2008; Syartinilia et al. 2013).

Perkebunan jenis kelapa (Cocos nucifera) menjadi tempat peristirahatan yang baik bagi Sikep-madu Asia. Sukmantoro (2013) melaporkan bahwa Sikep-madu Asia terlihat bertengger di pohon kelapa di Tanjung Medang. Pada kajian habitat singgah lain di Bangka Belitung bahwa karakteristik habitat singgah Sikep-madu Asia dipengaruhi oleh badan air dan perkebunan, hal ini berkaitan dengan ketersedian pakan (Mardiyanto 2015). Slope menjadi salah satu variabel penting bagi distribusi habitat singgah Sikep-madu Asia di Pulau Rupat. Slope adalah bentukan topografi berupa kelerengan lahan. Variable slope diduga berhubungan dengan pembentukan termal, karena topografi yang jika tersinari matahari akan menghasilkan tekanan udara panas yang bergerak ke atas atau biasa disebut termal. Menurut Norman (2010), slope merupakan perpaduan dari perbedaan permukaan bentang alam dengan tekanan yang berbeda, sehingga mampu menciptakan termal. Termal adalah udara hangat yang bergerak naik akibat perbedaan lansekap dipermukaan bumi dalam menerima sinar matahari (Bildstein 2006). Termal merupakan faktor penting yang sangat dibutuhkan oleh Sikep-madu Asia untuk melayang mencapai ketinggian tertentu tanpa harus melakukan kepakan sayap, sehingga dapat melakukan perjalanan panjang dengan menghemat penggunaan energi (Spaar 1997; Newton 2008; Tholin 2011; Syartinilia et al. 2013; Ameliawati 2014; Mardiyanto 2015).

Periode Singgah Sikep-madu Asia

Periode singgah diduga berkaitan erat dengan jarak tempuh. Secara geografis Pulau Rupat merupakan daratan terdekat antara Sumatera dan Malaysia, oleh karena itu Pulau Rupat menjadi pilihan utama sebagai jalur migrasi yang lebih pendek mencapai daratan setelah melintai Selat Malaka untuk menghemat penggunaan energinya. Pulau Rupat diduga digunakan sebagai diversion line bagi migrasi Sikep-madu Asia. Divertion line adalah jalur pengalihan yang mengerucut membentuk satu jalur botleneck. Biasanya digunakan untuk menghindari samudra atau selat yang luas (Bildstein 2006). Karena tidak ada daratan lain yang memiliki jarak lebih pendek maka tidak ada pilihan lain bagi burung tersebut untuk melewati daerah lain selain Pulau Rupat.

Titik Sattelite tracking yang telah dianalisis memperlihatkan jalur

(45)

hanya mengepakkan sayap pada pagi hari dan sore hari (Bruderer 1994). Pulau Rupat menjadi sangat penting untuk dipertahankan karena hilangnya pulau tersebut akan memperpanjang jarak terbang sehingga memperkecil peluang mengumpulkan energi di lokasi makan dan minum yang biasa digunakan di wilayah tersebut. Hal ini dikhawatirkan dapat mengganggu siklus migrasi karena Sikep-madu Asia bias mengalami keterlambatan berbiak. Migrasi jarak jauh membutuhkan energi ekstra (Bildstein 2006), sehingga jalan memutar atau mengambil jalur terdekat mungkin menguntungkan dalam hal meminimalkan energi yang digunakan selama perjalanan (Alerstam 2011).

Deskripsi Jumlah

Pengamatan jumlah pada bulan Oktober 2012 (wintering migration) tercatat sebanyak 4 074 ekor Sikep-madu Asia berhasil melewati Pulau Rupat, sedangkan hasil laporan pengamatan Raptor Indonesia (2012) pada Bulan Maret 2012 (spring migration) terpantau hingga mencapai lebih dari 4 000 ekor, dalam kurun waktu 3 hari. Hal ini membuktikan bahwa pilihan jalur yang tersingkat untuk melewati Selat Malaka adalah melalui Pulau Rupat. Posisi Pulau Rupat yang menjadi daratan terdekat antara Malaysia dan Indonesia digunakan sebagai tempat beristirahat dan mengumpulkan energi (makan dan minum). Laporan Raptor Indonesia (2012) menunjukkan bahwa pada musim kembali (spring migration) Sikep-madu Asia bermalam di Mangrove sekitar Tanjung Lapin (Rupat Utara), kemudian melanjutkan perjalanannya pada pagi hari menuju Malaysia.

Penggunaan Waktu dan Pola terbang

Perilaku keluarga buzard dipengaruhi beberapa faktor, seperti; geografi, angin arah angin, waktu hari, dan kemampuan navigasi (Agustini & Mellone.2007). Penggunaan waktu saat melintasi Selat Malaka menuju Pulau Rupat dimulai pada pukul 07.00 hingga pukul 15.00 WIB. DeCandido et al

(46)

Hasil pengamatan pola terbang menjelaskan bahwa Sikep-madu Asia merentangkan sayap dan kemudian terangkat membumbung ke atas (soaring) dengan pola lingkaran spiral. Ini terjadi diduga karena mengikuti kemunculan termal secara vertikal akibat bentukan geograsi yang berbeda, seperti slope

yang ada permukaan bumi. Pola selanjutnya yaitu terbang meluncur (gliding) pada saat mencapai ketinggian maksimal dengan bantuan angin. Gliding

mampu menyimpan energi besar untuk mempersingkat jarak terbang dibanding harus mengepakkan sayap secara periodik. Pada saat mencapai terbang rendah, maka burung tersebut akan mengepakkan sayap (flapping) untuk mencari lokasi lain yang berpotensi memunculkan termal, sehingga burung tersebut dapat membumbung naik kembali. Keluarga Buzzard, Kite, Eagle dan Vulture lebih sering menggunakan pola terbang flapping, gliding dan soaring (Tholin 2011). Dengan rentang sayap yang berukuran sedang dan ujung sayap yang membulat membuat, maka Sikep-madu Asia sangat bergantung pada termal untuk mendapatkan tinggi maksimal sehingga harus memperhatikan cuaca, arah angin dan waktu terbang (Bildstein 2006; Tholin 2011). Spesies ini sangat tergantung pada arus naik seperti termal dan angin orografis untuk mendapatkan tinggi, dengan demikian harus peka terhadap kondisi cuaca yang tidak menguntungkan selama migrasi (Spaar 1997; Bildstein 2006; Tholin 2011; Panuccio (2011)

Arah angin dari utara (Malaka) ke selatan yaitu Pulau Rupat diduga juga menjadi faktor yang mempengaruhi Sikep-madu Asia menggunakan gliding

untuk meningkatkan kecepatan tempuh sementara energi dapat disimpan. Terpaan angin kencang dengan arah yang berlawanan serta perubahan gerak tekanan udara yang merubah arah angin secara tidak teratur (turbulance) merupakan rintangan bagi Migrasi Sikep-madu Asia. Sejalan dengan penelitian Panuccio (2011) yang menyebutkan bahwa sebagian besar burung pemangsa bergerak meluncur dengan menggunakan angin termal dan arah yang sesuaiuntuk menghemat energi.

Daratan selain memiliki potensi sebagai sumber pakan, juga berpotensi menghasilkan termal yang membantu burung terbang lebih tinggi, sedangkan lautan merupakan barrier yang dapat menjadi penghambat bagi migrasi, oleh karena itu dibutuhkan ketepatan waktu dan arah angin yang tepat untuk melewatinya, oleh sebab itu Sikep-madu Asia yang bermigrasi dari dan ke Sumatera melewati Pulau Rupat untuk mendapatkan termal hingga ketinggian maksimal kemudian meluncur (gliding). Newton (2008) menunjukkan bahwa kondisi cuaca dapat bertindak sebagai hambatan selama migrasi selain hambatan ekologis. Strandberg et al (2009) menyebutkan perilaku migrasi burung bisa juga dibentuk oleh "hambatan meteorologi" karena kondisi lingkungan selama migrasi dapat membawa efek.

Rekomendasi Pengelolaan Pulau Rupat

(47)

perkebunan dan pulp and paper dan perkebunan masyarakat. Pembangunan ekonomi seperti urbanisasi, perluasan lahan pertanian, dan produksi kayu menjadi penyebab kerusakan habitat (Yong et al. 2006).

Nilai Penting Pulau Rupat

Secara geografis Pulau Rupat memiliki peran yang cukup strategis migrasi. Merupakan pulau terluar dan daratan terdekat dari Tanjung Tuan-Malaysia. Berjarak kurang lebih 47 km dari Tanjung, Pulau Rupat merupakan salah satu pintu masuk migrasi menuju daratan Sumatera. Tercatat 9 jenis burung pemangsa migran menggunakan Pulau Rupat sebagai jalur migrasi, satu jenis diantaranya memiliki status Rentan (Vurnerable) menurut IUCN, yaitu Greater Spotted Eagle (Aquila clanga). Sedangkan jenis burung pemangsa penetap di Pulau rupat sebanyak 4 jenis yang tersebar di seluruh Pulau Rupat (Tabel 9 & tabel 10) (Sukmantoro et al. 2006).

Tabel 9 Burung pemangsa yang bermigrasi melewati Pulau Rupat

Keterangan: LC: Least Concern, VU: Vurnelable

10 Keanekaragaman jenis burung pemangsa penetap di Pulau Rupat

No Species Nama Ilmiah Status

IUCN

Status perlindungan di Indonesia

1 White-bellied sea-eagle Haliaetus leucogaster LC

Undang-Undang No.5 tahun 1999

2 Brahminy Kite Haliastur indus LC 3 Black-winged Kite Elanus caeruleus LC 4 Changeable Hawk-eagle Spizaetus cirrhatus LC Keterangan: LC: Least Concern,

Surat Keputusan Bupati Bengkalis No.472/KPTS/XII/2012 tentang pembentukan Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan pulau Rupat (FKPKPP). Forum tersebut merekomendasikan pulau Rupat sebagai Kawasan Ekosistem Esensial. Meurut Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, ekosistem esensial adalah ekosistem atau kawasan yang memiliki keunikan habitat dan jenis tumbuhan dan satwa liar atau mempunyai fungsi penting sebagai sistem penyangga kehidupan. Dari analisa data dan informasi yang ada, maka rekomendasi yang diusulkan sebagai masukan bagi pihak terkait untuk pembangunan Pulau Rupat yaitu antara lain:

a. Sektor Ekologi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 87%, kawasan Pulau

No Nama Jenis Nama Ilmiah Status

IUCN

Status perlindungan di Indonesia

1 Oriental Honey Buzzard Pernis ptilorhynchus LC 2 Black Baza Aviceda leuphotes LC

Undang-Undang No.5 tahun 1999 3 Chinese Goshawk Accipiter soloensis LC

(48)

Rupat merupakan habitat singgah (stop-over). Kecamatan Rupat Utara mendominasi sebagai daerah yang sesuai dan Rupat Selatan sebaliknya, oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk mengkaji ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2010-2015. Menurut RTRW 2010-2015, kawasan Pulau Rupat dibagi menjadi kawasan utama yaitu kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kecamatan Rupat Selatan sebagian besar di usulkan untuk menjadi kawasan lindung (forest protected area) sedangkan Kecamatan Rupat Utara dialokasikan untuk kawasan pengembangan pariwisata. Namun jika dilihat dari peta kelayakan habitat singgah Sikep-madu Asia seharusnya Rupat Utara direkomendasikan menjadi kawasan lindung (forest protected area) karena merupakan habitat yang sesuai bagi Sikep-madu Asia, sedangkan Rupat Selatan diusulkan untuk menjadi kawasan budidaya. Namun begitu, Penetapan RTRW tersebut harus dibuat dengan melakukan kajian secara mendalam terlebih dahulu serta melakukan pengukuran batas administrasi yang jelas serta disahkan oleh Kementeran Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hutan mangrove dan badan air memiliki peranan yang sangat penting dalam migrasi Sikep-madu Asia dan kirik-kirik laut di Pulau Rupat. Oleh karena itu perlu adanya tindakan berupa perbaikan penutupan hutan mangrove, seperti penaman kembali (restorasi, rehabilitasi) maupun pembuatan aturan larangan penebangan hutan mangrove secara ketat. Hutan mangrove selain digunakan sebagai habitat bagi lebah, Kirik-kirik laut, juga digunakan oleh hewan vertebrata lainnya sehingga mampu menyediakan pakan.

Perbaikan habitat dapat dilakukan dengan mengembalikan kawasan yang telah terpecah menjadi satu kesatuan kawasan yang utuh atau terhubung antara satu dengan yang lain (Collinge 1998). Area yang kosong tersebut ditanami dengan vegetasi Kelapa (Cocos nucifera), Lontar (Borassus flabellifer) dan tanaman pohon lain yang memiliki karakteristik tumbuh menjulang, sehingga dapat digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi migrasi. Sukmantoro (2013) melaporkan bahwa Sikep-madu Asia pernah terlihat bertengger di Pohon Kelapa di Tanjung Medang.

Kawasan penting yang ada di Pulau Rupat diketahui berupa kawasan berhutan yang telah menjadi blok-blok kecil. Adanya perbaikan habitat, pembatasan atas ijin pembukaan hutan secara besar-besaran, dan mempertahankan areal berhutan yang masih tersisa harus menjadi prioritas utama dalam Rencana Pengelolaan Tata Ruang Wilayah bagi Pemerintah Kabupaten Bengkalis untuk mempertahankan Pulau Rupat.

b. Sektor Ekonomi

Pembangunan tanpa memperhatikan aspek ekologi suatu daerah akan rentan terhadap penurunan kualitas lingkungan tersebut,. Pembangun sangat erat kaitannya dengan peningkatan ekonomi suatu daerah, oleh karena itu dibutuhkan pendekatan dalam penyusunan kebijakan daerah yang lebih ramah terhadap lingkungan sekitar.

(49)

Kedekatan dengan negara-negara tetangga dan potensi sumberdaya alam yang dimiliki. Pulau Rupat juga dapat mengangkat wisata minat khusus berupa festival pemantauan migrasi burung pemangsa. Teluk Rhu dan Tanjung Medang menjadi lokasi yang direkomendasi sebagai lokasi pengamatan, sedangkan potensi lokasi persinggahan dapat diamati di Titi Akar. Kegiatan wisata minat khusus spring migration dapat dilaksanakan pada pertengahan Bulan Maret hingga awal bulan Juni dan kegiatan wisata minat khusus autumn migration dapat dilaksanakan pada akhir bulan September hingga November (berdasarkan data satellite tracking 2003-2009). Kegiatan wisata ini bersifat terbatas dan harus memperhatikan aspek etika dalam ekologi (Green & Darryl. 2010). Selain Sikep-madu Asia, tencatat beberapa jenis burung pemangsa lainnya bermigrasi melewati Pulau Rupat (Sukmantoro et al. 2006) (Table 9 &10), hal ini menjadi daya tarik lebih untuk menarik wisatawan baik asing maupun lokal.

Sikep-madu Asia pernah terlihat bertengger di Pohon Kelapa di Tanjung Medang, artinya Kelapa juga memberikan sumbangan terhadap migrasi, walaupun tidak ditemukannya data secara pasti (Sukmantoro 2013). Preferensi tempat tumbuh pohon Kelapa sangatlah sesuai bagi Pulau Rupat mengingat Pulau RUpat pernah menjadi salah satu kecamatan penghasil Kelapa. Selain tanaman kelapa juga memiliki nilai ekonomi dari sisi pemanfaatan mulai dari akar, batang, daun, bunga maupun buah (Debmandal & Syarmapadal. 2011; Sari CT et al. 2013).

Pengembangan peternakan lebah madu alami di kawasan mangrove yang ada di Pulau Rupat juga dapat mengangkat ekonomi masyarakat sekitar. Pemanfaatan peternakan lebah madu menjadi solusi alternatif bagi masyarakat dalam hal pemanfaatan mangrove skaligus dapat membantu menyediakan pakan (feeding) bagi migrasi Sikep-madu Asia. Namun, siklus panen harus diatur berdasarkan siklus migrasi sehingga tidak mengganggu migrasi burung pemangsa tersebut. Pemanfaatan arang sebagai alternatif bahan bahan bakar bagi masyarakat Pulau Rupat dapat digantikan dengan briket sampah rumah tangga, briket sampah perkebunan, briket tempurung kelapa ataupun biogas hasil kotoran ternak dari peternakan setempat.

c. Sektor Pendidikan

Gambar

Gambar 1  Kerangka penelitian Sikep-madu Asia
Gambar 2  Musim migrasi burung pemangsa di Asia (Sumber: Yamazaki et al. 2012: halaman 2)
Gambar 3  Jalur migrasi Sikep-madu Asia melalui satellite- tracking (Sumber: Higuchi et al
Gambar 4  Cara kerja satellite tracking melalui ARGOS (Sumber: Higuchi et al. 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil simulasi perhitungan persen refleksi cahaya oleh permukaan sel surya silikon yang diberi lapisan anti refleksi ZnO dapat disimpulkan bahwa persen refleksi

Dalam penelitian ini, KOSamf dapat dimodifikasi dengan memfungsionalisasi gugus aldehid yang terdapat pada rantai ujung KOSamf melalui reaksi reduktif

ZHtrA1 is not expressed at early stage of embryo as result from in situ that no signal was detected in 8 cells, 50% epiboly, 90% epiboly, 14 hpf and 25 hpf which also supported

Manfaat penelitian ini bagi perusahaan adalah sebagai referensi bagi perusahaan mengenai desain pit penambangan yang optimal serta sebagai dasar dalam

Setelah dilakukan pemeriksaan darah rutin dan PT/ APTT , pada tanggal 19 Maret 2012 pasien dirawat dengan diagnosis kerja suspek TB laring + radang kronis paru

Untuk mengetahui potensi bijih besi di Pulau Beringin, maka sebagai langkah awalnya dilakukan pendataan terhadap singkapan batuan/bijih besi pada permukaan tanah

Berdasarkan besarnya nilai resistivitas yang diperoleh pada model percobaan dengan beberapa variasi kepadatan, ERT mampu mendeteksi jenis tanah/material bawah

Jika diaplikasikan pada kode channel stasiun radio, pelabelan L(d,2,1) berarti bahwa untuk stasiun-stasiun berjarak 1, selisih kode channelnya minimal d,