• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia dan Malaysia di Pasar Singapura

Analisis Keunggulan Komparatif

Analisis keunggulan komparatif menggunakan nilai RCA yang membandingkan periode 2003-2009 dengan periode 2010-2013 untuk mengetahui perubahan daya saing setelah dan sebelum diberlakukannya kebijakan bea keluar biji kakao. Pada tahun 2010 dipilih sebagai tahun pemisah karena sejak tahun tersebut mulai diberlakukan kebijakan bea keluar biji kakao pada 1 April 2010. Hasil perhitungan RCA untuk Indonesia dan Malaysia dalam mengekspor produk

kakao (biji kakao dan olahan kakao) ke Singapura disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Berdasarkan data pada Gambar 4, pada dua periode yang diteliti, Indonesia mempunyai keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibanding Malaysia dalam mengekspor biji kakao ke Singapura. Hal tersebut diindikasikan dalam nilai RCA Indonesia yang selalu lebih besar dibandingkan Malaysia setaip tahunnya. Selanjutnya Gambar 4 juga menunjukkan bahwa keunggulan komparatif Indonesia pada komoditas biji kakao pada periode 2010-2013 mengalami penurunan dibandingkan periode 2003-2009. Pada periode 2010-2013 khususnya pada tahun 2012 dan 2013 Malaysia memiliki nilai RCA lebih dari satu.

Penurunan nilai RCA Indonesia disebabkan karena perubahan komposisi produk ekspor setelah diberlakukannya kebijakan bea keluar biji kakao Indonesia. Komposisi produk ekspor Indonesia yang sebelumnya didominasi oleh biji kakao beralih menjadi produk olahan kakao. Pada periode 2010-2013 Malaysia mulai meningkatkan produksi biji kakao dan mengekspor biji kakao tersebut ke Singapura sebagai salah satu negara yang memiliki permintaan biji kakao yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan industri kakaonya. Nilai RCA Indonesia yang selalu berada diatas satu mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata dunia, namun keuntungan komparatif biji kakao Indonesia tidak didukung oleh perkembangan industri kakao Indonesia.

Gambar 4 Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013

Salah satu kelemahan Indonesia dalam perdagangan kakao internasional adalah mutu biji kakao yang kurang baik. Keberadaan standar mutu kakao yang mendorong kepada perbaikan mutu dan diakui oleh pihak-pihak pengguna di luar maupun dalam negeri mutlak diperlukan. Rendahnya citra mutu kakao Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari penerapan standar mutu kakao yang tidak konsisten oleh petani. Pelaksanaan standar mutu secara konsisten akan mendorong perbaikan mutu dan secara bertahap akan memperbaiki citra mutu kakao Indonesia di dalam

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Indonesia Malaysia

perdagangan internasional. Pada periode 2003-2009 industri hilir kakao Indonesia masih belum berkembang dan beroperasi secara optimal. Hal ini karena sebagian besar kakao yang diekspor masih dalam bentuk komoditas primer (biji kakao). Kakao dalam bentuk komoditas komoditas primer tersebut akan terkena diskon harga yang kemudian diinput sebagai kerugian. Kerugian tersebut seharusnya dapat dikurangi apabila industri kakao Indonesia mampu mendukung agribisnis kakao secara optimal. Oleh karena itu, kebijakan bea keluar biji kakao bertujuan untuk mengoptimalkan industri kakao Indonesia untuk mampu meningkatkan nilai tambah kakao Indonesia.

Pada periode 2010-2013, kebijakan bea keluar biji kakao terbukti mampu meningkatkan keunggulan komparatif Indonesia dalam produk olahan kakao. Hal ini diindikasikan dari nilai RCA Indonesia meningkat dari periode sebelumnya untuk produk olahan kakao. Pada periode 2003-2009 Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap produk olahan kakao karena nilai indeks RCA bernilai dibawah satu dan pada periode selanjutnya nilai indeks RCA mampu mencapai 1,28 walaupun nilai RCA produk olahan Indonesia masih berada dibawah satu. Pada periode tahun 2010-2013 Malaysia memiliki keunggulan komparatif untuk produk olahan kakao di pasar Singapura yang diindikasikan nilai RCA selalu lebih dari satu.

Gambar 5 Nilai RCA dan Indeks RCA produk olahan kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013

Malaysia tidak memiliki keunggulan komparatif untuk produk biji kakao pada tahun 2003-2013 karena Malaysia lebih fokus memproduksi kakao olahan dibandingkan mengekspor biji kakao. Keunggulan komparatif Malaysia pada periode 2003-2009 untuk produk olahan kakao lebih tinggi dibanding Indonesia pada periode yang sama, namun Indonesia memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dilihat dari perbandingan indeks RCA Indonesia dan Malaysia pada produk olahan kakao. Penurunan pertumbuhan keunggulan komparatif Malaysia disebabkan karena berkurangnya pangsa pasar olahan kakao Malaysia di Singapura pada

0 0,5 1 1,5 2 2,5 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Indonesia Malaysia

periode 2010-2013. Hal tersebut mengindikasikan bahwa persaingan antara Indonesia dan Malaysia semakin ketat walaupun Malaysia memiliki keunggulan komparatif produk kakao yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

Hasil studi diatas didukung hasil studi lain seperti Hasibuan et al. (2012) yang menganalisis kinerja dan daya saing perdagangan biji kakao dan produk kakao olahan Indonesia di pasar internasional periode 2001-2010 menggunakan RCA. Hasilnya, Indonesia memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata dunia dengan nilai RCA lebih dari satu. Pada periode yang sama Malaysia terus mengalami penurunan produksi kakao dan tidak memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao. Hasibuan et al. (2012) dengan metode RCA juga menjelaskan bahwa meskipun Malaysia tidak memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao dibandingkan Indonesia, namun memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dalam memproduksi kakao pasta, kakao butter, dan kakao bubuk dibandingkan Indonesia.

Salah satu faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif produk kakao diantaranya adalah harga domestik biji kakao. Kenaikan harga domestik akan mendorong produsen lokal lebih meningkatkan jumlah produksinya dan memperhatikan kualitas biji kakao, sehingga biji kakao mampu bersaing di pasar internasional. Efek dari peningkatan harga domestik tersebut akan meningkatkan pendapatan yang kemudian meningkatkan keunggulan komparatif kakao Indonesia.

Kenaikan harga kakao internasional juga memberikan pengaruh positif terhadap ekspor kakao. Kenaikan harga kakao internasional akan mendorong eksportir untuk mengekspor dalam jumlah yang lebih besar, sehingga nilai ekspor akan meningkat. Goldin (1990) menyebutkan keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA sangat dipengaruhi oleh liberalisasi perdagangan serta dukungan pemerintah karena nilai RCA hanya didasarkan pada kinerja ekspor. Nilai RCA juga dapat bias ketika ukuran negara menjadi sangat kecil.

Analisis daya saing komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura selanjutnya dilengkapi dengan menggunakan model CMSA dan hasilnya disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Metode CMSA dapat mendekomposisikan sumber-sumber pertumbuhan ekspor dan menagkap dengan lebih cermat potensi daya saing suatu komoditas. Basri (2010) juga menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode CMSA peningkatan pangsa nilai (value share) suatu negara tidak selalu berarti nilai ekspor suatu komoditas mengalami penurunan.

Hasil analisis CMSA untuk komoditas kakao (HS-18) menunjukkan bahwa ekspor kakao Indonesia tidak memiliki daya saing di pasar Singapura. Hal ini terjadi karena ekspor kakao Indonesia didominasi produk biji kakao dan memiliki kualitas rendah sehingga hanya dijadikan sebagai bahan campuran di negara-negara industri kakao seperti Singapura serta memiliki harga yang lebih rendah dari negara eksportir lainnya. Senada dengan pendapat Athanasoglou et al. (2010) yang menyatakan bahwa ukuran daya saing dengan metode CMSA sangat terkait dengan faktor harga dan non. Indonesia harus meningkatkan kualitas produk melalui proses fermentasi dan penanganan pasca panen lainnya agar produk kakao Indonesia memiliki nilai tambah dan mampu bersaing dengan kakao negara lain seperti Malaysia.

Tabel 2 Hasil analisis CMS kakao Indonesia di pasar Singapura (US$ juta) Periode Efek Distribusi Pasar Efek Komposisi Komoditas Efek Daya Saing Pertumbuhan Ekspor Indonesia 2003-2004 17,71 -25,14 -8,48 -15,913 2004-2005 7,35 -8,02 -4,45 -5,121 2005-2006 8,24 1,64 7,16 17,048 2006-2007 6,32 14,66 -4,18 16,800 2007-2008 16,55 5,45 5,67 27,684 2008-2009 -24,73 20,28 41,87 37,427 2009-2010 37,46 9,51 -30,21 16,763 2010-2011 29,44 -17,43 -62,34 -50,332 2011-2012 4,04 -11,98 2,82 -5,119 2012-2013 -1,19 -5,19 -15,10 -21,482 Periode 2003-2009

Nilai pertumbuhan ekspor pada Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan Indonesia dan Malaysia mampu memperoleh keuntungan pada periode 2003-2009 di pasar Singapura. Hasil perhitungan CMS Indonesia selama periode 2003-2009 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor komoditas kakao Indonesia lebih dipengaruhi oleh efek distribusi pasar yang berperan meningkatkan ekspor kakao Indonesia ke Singapura. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan impor Singapura berpengaruh dominan terhadap pertumbuhan ekspor kakao Indonesia ke Singapura, sedangkan efek daya saing dan efek komposisi komoditas lebih banyak memberikan pengaruh penurunan ekspor kakao Indonesia.

Pengaruh distribusi pasar Indonesia dan Malaysia selama periode 2003-2009 bernilai positif kecuali pada tahun 2008-2009. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia dan Malaysia sudah mendistribusikan ekspor biji kakao dan olahan kakao ke Singapura yang memiliki pertumbuhan impor tinggi. Efek tersebut menunjukkan bahwa perkembangan ekspor kakao Indonesia ke Singapura bergantung pada pertumbuhan impor total Singapura. Ekspor kakao Indonesia dan Malaysia terarah ke pasar-pasar yang berkembang lebih pesat dibandingkan dengan rata-rata dunia seperti Singapura. Pada tahun 2008-2009 efek distribusi pasar Indonesia dan Malaysia mengalami nilai negatif karena pada tahun tersebut terjadi krisis yang dialami oleh Singapura sehingga mempengaruhi permintaan ekspor kakao dari negara lain seperti Indonesia dan Malaysia.

Efek komposisi komoditas memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan ekspor kakao Indonesia dan Malaysia. Pada periode 2003-2009 Indonesia dan Malaysia tercatat hanya dua kali efek komposisi komoditas memberikan pengaruh negatif pada tahun 2003 hingga tahun 2005. Pengaruh positif dari efek komposisi komoditas ini mengindikasikan bahwa Indonesia sudah mengkonsentrasikan ekspornya pada komoditas yang mengalami peningkatan

permintaan di pasar Singapura, Sedangkan efek daya saing Indonesia lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mengindikasikan bahwa Indonesia tidak mampu mempertahankan pangsa pasarnya di Singapura pada periode 2003-2009. Berdasarkan hasil kalkulasi CMS pada periode 2003-2009 pengaruh positif pertumbuhan ekspor kakao Indonesia dipengaruhi oleh efek distribusi pasar dan efek komposisi komoditas, sedangkan efek daya saing memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekspor kakao Indonesia.

Hasil analisis daya saing menggunakan metode CMSA memiliki keterkaitan dengan hasil yang diperoleh dari metode RCA (Gambar 4 dan 5). Nilai efek daya saing kakao Indonesia pada periode 2009-2010 bernilai negatif yang disebabkan karena penurunan nilai RCA biji kakao tahun 2009-2010. Pada tahun yang sama, walaupun nilai RCA produk olahan kakao Indonesia mengalami peningkatan belum mampu mengimbangi penurunan nilai RCA biji kakao karena Indonesia lebih banyak mengekspor biji kakao di bandingkan dengan produk olahan kakao pada periode tersebut. Penurunan nilai RCA biji kakao ini menyebabkan nilai efek daya saing kakao Indonesia pada periode 2009-2010 mengalami penurunan sebesar 30,21%.

Tabel 3 Hasil analisis CMS kakao Malaysia di pasar Singapura (US$ juta) Periode Efek Distribusi Pasar Efek Komposisi Komoditas Efek Daya Saing Pertumbuhan Ekspor Malaysia 2003-2004 7,06 -10,02 3,51 0,551 2004-2005 3,98 -4,34 6,39 6,036 2005-2006 6,14 1,22 -6,10 1,262 2006-2007 3,51 8,14 -2,78 8,875 2007-2008 9,09 2,99 -8,28 3,808 2008-2009 -10,90 8,94 9,41 7,452 2009-2010 14,12 3,58 2,82 20,542 2010-2011 13,73 -8,13 20,73 26,337 2011-2012 3,74 -11,08 58,39 51,049 2012-2013 -1,74 -7,59 20,73 11,396 Periode 2010-2013

Hasil perhitungan CMS Indonesia selama periode 2010-2013 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor komoditas kakao Indonesia lebih dipengaruhi oleh efek komposisi komoditas yang berperan negatif terhadap ekspor kakao Indonesia ke Singapura. Penurunan nilai ekspor Indonesia pada periode 2010-2013 karena efek komposisi komoditas yang bernilai negatif disebabkan karena pada 1 April 2010 Indonesia menerapkan kebijakan bea keluar biji kakao. Hal ini menyebabkan menurunnya nilai ekspor kakao Indonesia karena ekspor kakao Indonesia ke Singapura.

Pengaruh efek komposisi komoditas kakao Indonesia yang bernilai negatif disebabkan karena ekspor kakao Indonesia ke pasar Singapura dari tahun 2010-2013 masih didominasi biji kakao. Dari sisi kemampuan produk dalam merespon perubahan permintaan pasar, biji kakao Indonesia dianggap tidak responsif terhadap pasar Singapura. Kondisi tersebut tentunya merugikan Indonesia khususnya dalam persaingan komoditas kakao di ASEAN. Mutu kakao Indonesia yang rendah menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap produk kakao Indonesia, Khususnya dalam perdagangan kakao internasional. Secara umum, produk biji kakao Indonesia belum memiliki daya saing akibat rendahnya kualitas yang dimiliki serta belum mampu menyesuaikan diri dengan kondisi permintaan pasar, khususnya di pasar Singapura yang menjadi tujuan ekspor utama kakao Indonesia dan Malaysia. Sedangkan produk olahan kakao Indonesia walaupun komposisinya ekspornya tidak sebesar biji kakao, memiliki daya saing yang lebih baik.

Selama periode 2010-2013 pengaruh distribusi pasar Indonesia dan Malaysia mengalami peningkatan. Hal tersebut menunjukkan perbaikan dibandingkan periode sebelumnya. Sebagai contoh, Indonesia berhasil mengimbangi pertumbuhan ekspor olahan kakao terhadap ekspor biji kakao ke pasar Singapura. Kebijakan bea keluar biji kakao ini ditujukan untuk mendorong industrialisasi kakao Indonesia untuk dapat meningkatkan daya saing ekspor produk kakao dalam arti luas. Kebijakan bea keluar biji kakao ini mampu meningkatkan keunggulan komparatif produk olahan kakao Indonesia dilihat dari peningkatan nilai indeks RCA. Potensi pengembangan industri kakao masih sangat besar jika dilihat dari berlimpahnya bahan baku yang tersedia untuk keperluan dalam negeri serta peluang untuk memperoleh nilai tambah produk kakao.

Selama tahun 2010-2013 Indonesia memiliki kelemahan dalam komponen komposisi komoditas dan daya saing. Pada periode 2010-2011 nilai dari efek daya saing mengalami penurunan yang signifikan sebesar 62,34%. Penurunan ini memiliki keterkaitan dengan hasil nilai RCA biji kakao yang juga mengalami penurunan pada tahun 2010-2011. Nilai efek daya saing sangat dipengaruhi oleh total nilai ekspor kakao Indonesia yang didominasi oleh biji kakao. Peningkatan nilai RCA produk olahan kakao pada tahun yang sama tidak mampu mengimbangi penurunan nilai RCA biji kakao yang mengakibatkan daya saing mengalami penurunan di tahun 2010-2011.

Pada periode 2011-2012 nilai efek daya saing mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Peningkatan ini tidak terlepas dari nilai RCA biji kakao dan produk olahan kakao yang mengalami peningkatan. Nilai efek daya saing pada periode 2012-2013 kembali mengalami penurunan yang juga disebabkan karena menurunnya nilai RCA biji kakao dan produk olahan kakao Indonesia pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang saling terkait antara hasil analisis menggunakan metode RCA dengan metode CMSA.

Kondisi di atas didukung oleh hasil studi Hasibuan et al. (2012) yang menggunakan metode CMSA untuk kakao Indonesia terhadap pasar ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China. Kakao pasta berlemak Indonesia (HS-180310) sudah memiliki daya saing di pasar China. Sedangkan untuk pasar ASEAN, Amerika Serikat dan Uni Eropa belum mampu bersaing. Hal ini terjadi karena ekspor kakao pasta berlemak Indonesia masih memiliki pangsa pasar yang

relatif kecil dari total ekspor produk kakao. Namun demikian, Indonesia memiliki kemampuan untuk merespon perubahan pasar permintaan di pasar ASEAN.

Perdagangan biji kakao Indonesia bersifat inelastis sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan industri hilir kakao (Arsyad dan Yusuf 2007). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lubis dan Nuryati (2011) yang menyebutkan bahwa diperlukan kebijakan untuk mendorong perkembangan industri hilir kakao. Pada dasarnya, pengembangan agribisnis kakao Indonesia perlu dipertimbangkan berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut adalah aspek pasar, aspek budidaya, aspek teknologi, dan pengembangan industri. Aspek pasar diperlukan untuk melihat posisi suatu produk di pasar dalam konteks pertumbuhan, komposisi, distribusi dan persaingan. Dari aspek teknologi, salah satu tahapan dalam industri kakao yaitu teknologi conching masih belum sepenuhnya dikuasai oleh industri Indonesia. Teknologi ini bertujuan untuk mengurangi keasaman, memantapkan cita rasa, dan homogenitas produk akhir.

Penurunan pertumbuhan ekspor biji kakao dan kakao olahan merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia. Apabila Indonesia mampu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan posisi ekspor, Indonesia memiliki prospek yang cukup baik dalam melakukan ekspor ke pasar Singapura. Hal-hal yang harus diperhatikan terkait dengan pendistribusian pasar ekspor biji kakao dan kakao olahan ke pasar Singapura adalah Indonesia harus memahami bahwa negara pengekspor lain seperti Malaysia juga turut berusaha dalam meningkatkan pertumbuhan ekspornya dan Indonesia harus mampu mengoptimalkan pengaruh komposisi komoditas, misalnya dengan cara memperhatikan pertumbuhan impor kelompok komoditas kakao dan jenis kakao tertentu di pasar Singapura.

Analisis Keunggulan Kompetitif

Faktor Sumberdaya

Faktor sumberdaya merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap industri kakao. Faktor sumberdaya tersebut diantaranya adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal dan sumberdaya infrastruktur. Keterkaitan yang tidak saling mendukung terdapat pada komponen kondisi faktor sumberdaya dengan industri terkait dan industri pendukung. Hal ini disebabkan karena kondisi sumberdaya yang seharusnya mampu mencukupi kebutuhan bahan baku untuk industri produk olahan Indonesia tidak tercapai karena rendahnya kualitas biji kakao Indonesia. Hal ini menyebabkan industri olahan kakao mengimpor biji kakao dari negara lain yang kualitas biji kakaonya lebih baik untuk bahan utama, sedangkan biji kakao Indonesia hanya dijadikan sebagai bahan tambahan. Sumberdaya infrastruktur tergolong buruk karena sarana infrastruktur seperti jembatan dan jalan tidak dibangun dengan baik, sehingga menjadi kendala bagi pada industri terkait dan industri pendukung dalam pemenuhan kebutuhan transportasi.

Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi permintaan memiliki keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini terlihat pada tingkat produktivitas kakao Indonesia yang belum optimal serta kuaitas biji kakao yang kurang baik, sehingga permintaan terhadap biji kakao Indonesia kurang.

Indonesia sebagai produsen kakao terbesar di ASEAN memiliki tingkat grinding yang relatif kecil dibandingkan negara produsen kakao lain di ASEAN. Kondisi faktor sumberdaya tersebut diuraikan sebagai berikut.

1. Sumberdaya Alam

Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Hal ini menjadikan kakao sebagai sumber pendapatan harian atau mingguan bagi petani (Irnawaty 2008).

Tanaman kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis di Amerika Selatan. Di daerah asalnya, kakao merupakan tanaman yang tumbuh terlindung pohon-pohon besar. Hal tersebut membuat tanaman kakao dalam proses budidayanya memerlukan naungan. Sebagai negara yang memiliki daerah tropis Indonesia merupakan daerah yang sesuai untuk tanaman kakao. Seperti halnya Indonesia, Malaysia juga memiliki tanah yang subur dan luas dengan hutan hujan tropis yang luas. Luas area perkebunan kakao di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak tahun 2003 hingga tahun 2013. Hal ini terlihat pada Tabel 4. Tabel 4Luas area perkebunan dan produksi kakao di Indonesia tahun 2003-2013

No Tahun Luas area (Ha) Produksi (ribu ton) Produktvitas (ton/hektar) 1 2003 964.223 657,2 0,68 2 2004 1.090.960 636,8 0,58 3 2005 1.167.046 693,7 0,59 4 2006 1.320.820 702,2 0,53 5 2007 1.379.279 671,4 0,48 6 2008 1.473.259 740,7 0,50 7 2009 1.592.982 742,0 0,46 8 2010 1.650.621 772,8 0,46 9 2011 1.672.257 644,7 0,38 10 2012 1.774.463 687,2 0,38 11 2013 1.852.944 723,0 0,39

Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan 2013

Areal perkebunan kakao Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat dan selebihnya adalah perkebunan negara dan perkebunan swasta. Keberhasilan perluasan areal tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana pada tahun 2012 (ICCO 2013).

Sulawesi Selatan merupakan produsen kakao terbesar di wilayah Indonesia. Kontribusi Sulawesi Selatan terhadap produksi kakao nasional mencapai 60%. Produksi kakao ini didukung dari hasil perkebunan kakao rakyat yang tersebar di hampir semua kabupaten, sedangkan areal perkebunan swasta nasional jumlahnya masih terbatas (Irnawaty 2008). Perkebunan kakao Indonesia masih berpeluang untuk ditingkatkan produktivitasnya karena

produktivitas rata-rata saat ini masih belum optimal dari potensi yang seharusnya. Upaya peningkatan produktivitas kakao memiliki arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao dan olahan kakao masih sangat terbuka khususnya di pasar Singapura sebagai negara tujuan ekspor kakao di ASEAN.

Malaysia sebagai negara pesaing kakao Indonesia memiliki rencana mengembangkan area lahan kakao selama periode 10 tahun dari 2011-2020 yang akan mencapai 24.000 hetare dimana 12.000 hektar area lahan kakao yang sudah ada dan 12.000 hektar lainnya adalah area lahan yang akan dikembangkan (Lembaga Koko Malaysia 2014). Luas area perkebunan kakao Malaysia menunjukkan peningkatan daari 11.750 hektar pada tahun 2012 menjadi 13.730 hektar pada tahun 2013. Upaya perluasan lahan ini disebabkan karena harga kakao yang tinggi (RM 7.500-8.500) dan menarik minat para petani kakao di Malaysia. Mayoritas petani kakao Malaysia berasal dari kawasan pedalaman Sabah, Serawak, dan Semenanjung Malaysia. Salah satu upaya pemerintah Malaysia mengoptimalkan sumberdaya alam yang dimilikinya untuk perkebunan kakao Malaysia adalah Program Pembangunan Nurseri Anak Benih Koko (PNK). Upaya peningkatan produksi dan produktivitas kakao memiliki arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao dan olahan kakao masih sangat terbuka khususnya di pasar Singapura sebagai negara tujuan ekspor kakao di ASEAN.

2. Sumberdaya Manusia

Sumberdaya Manusia merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam melaksanakan kegiatan usahatani, sehingga apabila terjadi kekurangan SDM atau rendahnya SDM yang terampil maka akan mempengaruhi hasil produksi. Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan dari subsektor perkebunan yang sebagian besar diusahakan oleh petani dalam bentuk perkebunan rakyat. Sebagian besar petani kakao masih kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk menerapkan cara-cara pengelolaan kebun kakao yang baik.

Tingkat pendapatan petani kakao tergantung dari sistem usaha tani kakao dan sistem pengolahan agribisnis di Indonesia. Sistem usaha tani kakao yang diterapkan di daerah sentra kakao Indonesia selama ini masih memiliki banyak kelemahan. Petani kakao selama ini masih menggunakan bibit tanaman kakao yang berasal dari bibit lokal (Irwanto 2012). Penerapan good agriculture practices (GAP) di tingkat petani masih sangat rendah (Wahyudi dan Rahardjo, 2013). Keterbatasan pengetahuan dan kesadaran petani dalam menerapkan standar budidaya tanaman kakao perlu mendapat perhatian. Pemberian pelatihan dan penyuluhan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh dalam meningkatkan kemampuan SDM yang akan meningkatkan produktivitas tanaman kakao. Sejalan dengan program revitalisasi penyuluhan pertanian yang dicanangkan pemerintah membuat penyuluhan di bidang agribisnis kakao juga dilakukan.

Kenaikan produksi kakao selama ini lebih dikarenakan oleh meningkatnya

Dokumen terkait