• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis daya saing ekspor komoditas kakao Indonesia di bandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura tahun 2003-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis daya saing ekspor komoditas kakao Indonesia di bandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura tahun 2003-2013"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS KAKAO

INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN MALAYSIA DI

PASAR SINGAPURA TAHUN 2003-2013

AFIF NAUFAL

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia Dibandingkan Malaysia di Pasar Singapura Tahun 2003-2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

(4)

ABSTRAK

AFIF NAUFAL. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia Dibandingkan dengan Malaysia di Pasar Singapura Tahun 2003-2013 dibimbing oleh HENY K S DARYANTO.

Sektor perkebunan kakao memiliki potensi untuk memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan nilai ekspor Indonesia. Sejak pelaksanaan kebijakan bea keluar biji kakao 1 April 2010 menyebabkan ekspor kakao Indonesia mengalami penurunan, sedangkan kebijakan bea keluar biji kakao untuk ekspor biji kakao pada bulan April 2010 bertujuan untuk meningkatkan industri pengolahan kakao Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis daya saing ekspor kakao Indonesia dibandingkan malaysia di Singapura sebagai salah satu negara tujuan ekspor kakao di ASEAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series perdagangan Indonesia, Malaysia dan dunia dengan Singapura pada periode 2003-2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Revealed Compare Analysis (RCA) untuk menentukan keunggulan komparatif Indonesia dan Malaysia. Metode Constant Market Share (CMS) adalah untuk menguraikan faktor-faktor penentu pertumbuhan ekspor kakao Indonesia dan Malaysia ke Singapura. Berdasarkan perbandingan nilai kakao RCA Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura selama periode 2003-2013 terlihat bahwa nilai RCA Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia dalam produk biji kakao, sedangkan nilai RCA Indonesia pada produk olahan kakao masih lebih rendah dibandingkan Malaysia. Berdasarkan hasil nilai CMS di Indonesia, rata-rata pertumbuhan ekspor kakao Indonesia ke Singapura pada periode 2003-2009 lebih dipengaruhi oleh efek efek komposisi komoditas, sedangkan periode 2010-2013 perkembangan nilai CMS Indonesia lebih dipengaruhi efek daya saing.

Kata kunci: kakao, daya saing, CMS, pajak ekspor, RCA

ABSTRACT

AFIF NAUFAL. Analysis of Export Competitiveness of the Indonesian Cocoa Commodity Compared to Malaysia in Singapore 2003-2013 supervised by HENY K S DARYANTO.

(5)

Based on the comparison of the value of cocoa RCA Indonesia and Malaysia in the Singapore market over the period 2003-2013 is seen that the value of RCA Indonesia is still higher compared to Malaysia for cocoa beans, while the value of Indonesia's RCA on processed cocoa products is lower than Malaysia. Based on the results of the CMS in Indonesia, the average growth of Indonesian cocoa exports to Singapore in the period 2003-2009 is more influenced by the effects of the commodity composition effect, while the growth rate in 2010-2013 CMS Indonesia is more influenced competitiveness effect.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS KAKAO

INDONESIA DIBANDINGKAN DENGAN MALAYSIA DI

PASAR SINGAPURA TAHUN 2003-2013

AFIF NAUFAL

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah perdagangan internasional, dengan judul Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia Dibandingkan dengan Malaysia di Pasar Singapura Tahun 2003-2013.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Rr Heny K S Daryanto selaku pembimbing, yang telah membimbing, memberikan semangat dan motivasi, Ungkapan terima kasih saya sampaikan kepada Mama, Siti Arisyah, dan Papa, Ujang Jarnuji, SE, atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang tak henti-hentinya diberikan setiap saat kepada saya. Terima kasih kepada Ayumi F G, yang selalu memberikan dukungan dan motivasi, serta Inesta Fulla Naldi, Atika Azariawati Sugiono terima kasih saya ucapkan atas dukungan, motivasi, dan doa yang telah diberikan. Tidak lupa kepada teman-teman satu bimbingan saya, serta kepada seluruh teman-teman Agribisnis 47 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih telah menjadi bagian dari hidup saya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

KERANGKA PEMIKIRAN 10

Kerangka Pemikiran Teoritis 10

Kerangka Pemikiran Operasional 16

METODE PENELITIAN 18

Lokasi dan Waktu Penelitian 18

Jenis dan Sumber Data 18

Metode Analisis dan Pengolahan Data 18

HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia dan Malaysia di Pasar

Singapura 21

Dampak Kebijakan Bea Keluar Biji Kakao Terhadap Pertumbuhan Ekspor

Kakao dan Industri Pengolahan Kakao Indonesia 44

SIMPULAN DAN SARAN 47

Simpulan 47

Saran 47

DAFTAR PUSTAKA 47

LAMPIRAN 51

(13)

DAFTAR TABEL

1 Produk kakao berdasarkan kode Harmonized System (HS-18) 4-dijit 5 2 Hasil analisis CMS kakao Indonesia di pasar Singapura 25 3 Hasil analisis CMS kakao Malaysia di pasar Singapura 26 4 Luas area perkebunan dan produksi kakao di Indonesia tahun

2003-2013 29

5 Penggolongan ukuran biji kakao Indonesia 40

6 Persyaratan umum biji kakao Indonesia 40

7 Persyaratan khusus biji kakao Indonesia 41

8 Standar mutu nasional Malaysia 41

9 Persyaratan umum standar mutu biji kakao Malaysia 42

10 Persyaratan khusus biji kakao Malaysia 42

DAFTAR GAMBAR

1 Keseimbangan dalam perdagangan internasional 14

2 Model Berlian Porter 16

3 Kerangka pemikiran operasional 17

4 Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar

Singapura periode tahun 2003-2013 22

5 Nilai RCA dan Indeks RCA produk olahan kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013 23 6 Keterkaitan antar komponen Porter's Diamond System 43 7 Perbandingan nilai ekspor kakao umum (HS-18) dengan biji kakao

(HS-1801) Indonesia 44

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar

Singapura periode tahun 2003-2013 51

2 Nilai RCA dan Indeks RCA produk olahan kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013 51

3 Hasil perhitungan CMS Indonesia 52

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kakao merupakan salah satu produk ekspor perkebunan yang memiliki peranan penting dan diandalkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia selain kelapa sawit, rempah-rempah, karet dan kopi. Kakao menyumbang devisa sebesar USD 1.053 Milyar dari ekspor biji kakao dan produk kakao olahan (Kemenperin 2014). Namun pengembangan kakao terkendala rendahnya pertumbuhan industri kakao dalam negeri dan belum optimalnya nilai tambah produk kakao di Indonesia. Sucipto (2010) menyatakan bahwa masih ditemukan bubuk kakao yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengurangi pasar industri pengolahan kakao bermutu dalam negeri. Sebagian besar produksi kakao Indonesia digunakan untuk keperluan ekspor dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Dradjat dan Wahyudi (2013) menyatakan bahwa produk yang diekspor sebagian besar (78,5 %) berupa produk primer, yakni dalam bentuk biji kering dan sebagian kecil (21,5 %) berupa hasil olahan. Negara sasaran ekspor kakao Indonesia adalah Amerika Serikat, Malaysia, Brazil, dan Singapura. Selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor biji kakao yang berasal dari Pantai Gading, Ghana, dan Papua Nugini. Hal ini karena biji kakao produksi Indonesia bermutu rendah. Senada dengan hal tersebut, Helble dan Okubo (2006) menyatakan bahwa keberhasilan ekspor berkelanjutan hanya dapat tercapai jika produktivitas tinggi dikombinasikan dengan mutu tinggi.

The International Cocoa Organization (ICCO) pada tahun 2011 menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan kakao dunia sekitar 4 juta ton per tahun dan dalam lima tahun terakhir permintaan tumbuh rata-rata 5% per tahun. Berdasarkan Data ICCO, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, serta tertinggi pertama di Asia. Komoditas kakao masih sangat potensial untuk dikembangkan dimana tingkat konsumsi kakao khususnya di Indonesia masih rendah. Pada awal tahun 2014 tingkat konsumsi kakao Indonesia mencapai 0,3 kilogram per kapita, sedangkan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Singapura tingkat konsumsinya mendekati 1 kilogram per kapita (Sikumbang 2014).

(15)

pangsa pasarnya di kawasan ASEAN khususnya dalam perkembangan komoditas kakao.

Pada perkembangan kakao di Indonesia, industri hilir kakao di Indonesia masih belum berkembang dan beroperasi secara optimal. Masalah utama terkait daya saing kakao Indonesia dalam perdagangan internasional adalah masalah produktivitas, kualitas mutu, dan industri kakao yang kurang berkembang. Pada tahun 2005 rata-rata produktivitas kakao Indonesia sebesar 900 kg/ha/tahun. Angka ini masih jauh dibawah rata-rata potensi yang diharapkan, yakni sebesar 2000 kg/ha/tahun (Asosiasi Kakao Indonesia 2005). Faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman kakao mayoritas disebabkan karena penggunaan bahan tanam yang kurang baik, teknologi budidaya yang kurang optimal, umur tanaman serta masalah serangan hama dan penyakit. Kakao dalam bentuk komoditas primer tersebut akan terkena diskon harga yang kemudian diinput sebagai kerugian (Dradjat dan Wahyudi 2013). Kerugian tersebut seharusnya dapat dikurangi apabila industri hilir Indonesia beroperasi secara optimal dan dapat meningkatkan mutu dan nilai tambah komoditas kakao Indonesia. Industri kakao dalam negeri juga kurang berkembang karena kurangnya pasokan bahan baku dalam negeri yang disebabkan besarnya ekspor kakao keluar negeri. Hal tersebut berbeda dengan Malaysia yang memiliki industri pengolahan kakao yang sudah berkembang dapat mengeskpor kakao dalam bentuk olahan kakao ke negara lain, termasuk Indonesia yang merupakan produsen biji kakao terbesar di Asia.

Industri kakao Indonesia belum memiliki pengolahan kakao yang baik jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, sehingga kakao Indonesia lebih banyak diekspor dalam bentuk biji kakao yang memiliki nilai tambah yang relatif kecil. Nilai tambah yang lebih besar justru dimiliki oleh Malaysia dan Singapura yang memiliki industri kakao yang lebih berkembang. Malaysia dipilih sebagai negara pembanding karena Malaysia dengan Indonesia memiliki kesamaan latarbelakang agroekosistemnya sehingga karakteristik kakao Indonesia memiliki kesamaan dengan kakao Malaysia. Singapura merupakan negara tujuan ekspor utama kakao Indonesia dan Malaysia di pasar ASEAN karena Singapura tidak memiliki sumberdaya alam yang menunjang untuk memproduksi biji kakao. Tingkat permintaan impor kakao yang tinggi untuk keperluan industri maupun konsumsi dari Singapura juga menjadikannya pasar tujuan ekspor terbesar kakao di ASEAN sehingga pasar Singapura dinilai mampu mempresentasikan persaingan perdagangan ekspor kakao di ASEAN.

(16)

komprehensif pada aspek produksi dan perdagangan serta mengetahui faktor-faktor penentu daya saing khususnya berkaitan dengan produktivitas dan pemenuhan akan persyaratan mutu menjadi penting.

Rumusan Masalah

Menurut Lutfi (2014) Indonesia berpeluang menjadi produsen kakao terbesar dunia mengingat potensi yang dimilikinya. Agribisnis kakao Indonesia sebagian besar merupakan perkebunan rakyat yang tersebar di hampir seluruh provinsi di tanah air sehingga agribisnis kakao secara langsung berkesinambungan dengan kesejahteraan masyarakat kecil di pedesaan. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, area kakao rakyat terus mengalami pertumbuhan yang nyata sehingga produksi kakao nasional juga terus meningkat seiring dengan peningkatan luas area lahan kakao (Apriyantono 2008).

Pada pasar perdagangan dunia, harga biji kakao dan produk olahannya memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah di masa yang akan datang. Adanya nilai tambah yang tinggi dalam industri pengolahan kakao dipandang sangat perlu untuk mendorong perkembangan industri pengolahan di dalam negeri. Sebagai salah satu produsen kakao terbesar dunia, Indonesia memiliki pengalaman dalam dunia agribisnis kakao mulai dari aspek budidaya, pengolahan hulu dan hilir, maupun pemasarannya. Namun demikian, masih banyak aspek yang belum dapat dioptimalkan mulai dari tingkat produksi, penanganan pasca panen, maupun industri hilirnya.

Menurut Apriyanto (2008), masalah utama yang perlu diatasi dalam agribisnis kakao Indonesia antara lain rendahnya produktivitas yang masih jauh di bawah potensi genetiknya, serangan hama dan penyakit utama yang merusak tanaman dan menurunkan mutu, penanganan pasca panen yang belum optimal, sistem tataniaga yang kurang mendukung, serta kemitraan dengan sektor pengolahan yang belum berjalan lancar. Diperlukan pemahaman yang komprehensif dalam mengembangkan komoditas kakao untuk memperoleh solusi terhadap permasalahan yang dihadapi agribisnis kakao Indonesia.

Pangsa pasar produk kakao Indonesia, baik ekspor maupun domestik terus meningkat secara signifikan (Djalil 2008). Pemerintah telah menetapkan kakao sebagai komoditas prioritas untuk direvitalisasi. Penetapan kakao sebagai komoditas prioritas tersebut didasarkan pada pertimbangan keunggulan kompetitif dan komparatif di pasar internasional. Meskipun memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan negara-negara lainnya di ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand, kondisi kakao Indonesia belum cukup menggembirakan. Banyak kendala yang masih belum sepenuhnya bisa diatasi, baik di tingkat produksi, pasca panen, maupun indistri hilirnya. Sampai saat ini, biji kakao rakyat masih dicirikan dengan karakter cita rasa lemah, kadar kotoran tinggi, serta banyak terkontaminasi bakteri (Djalil 2008).

(17)

dalam bentuk hasil jadi dan setengah jadi, meskipun luas area tanam kakao mereka lebih kecil dari Indonesia. Singapura dan Malaysia telah memiliki pabrik pengolahan kakao yang berkualitas yang mampu menghasilkan kakao olahan dengan mutu yang baik.

Selain permasalahan rendahnya produktivitas dan mutu seperti yang diuraikan di atas, industri agribisnis kakao Indonesia juga menghadapi beberapa masalah internal. Kendala internal tersebut antara lain efisiensi pemasaran yang rendah dan belum optimalnya kebijakan pemerintah terkait upaya peningkatan produktivitas dan mutu kakao nasional. Diberlakukannya kebijakan bea keluar biji kakao pada tanggal 1 April 2010 mengakibatkan menurunnya nilai ekspor kakao Indonesia. Dalam rangka mengembangkan industri pengolahan kakao nasional, kebijakan bea keluar biji kakao diharapkan mampu memberikan efek positif.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa tantangan yang dihadapi oleh kakao Indonesia dan negara ASEAN lainnya adalah daya saing produk, standar mutu, stabilitas harga, dan pangsa pasar yang lebih kompetitif dengan dimulainya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015. Perkembangan pasar akan dikuasai oleh perusahaan atau negara yang mampu menjual dengan mutu lebih baik pada kondisi constant return to scale dan increasing to scale. Pada kondisi tersebut yang dapat bertahan dalam persaingan adalah perusahaan atau negara yang mampu melakukan integrasi vertikal (Briggs et al. 2005).

Hal di atas menunjukkan bahwa kakao Indonesia harus lebih memiliki daya saing tinggi agar dapat bersaing dengan kakao dari negara pesaing seperti Malaysia. Dengan demikian, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana daya saing komoditas kakao Indonesia dibandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura sebagai tujuan utama ekspor kakao di ASEAN. Berdasarkan pada penjelasan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana daya saing perdagangan ekspor biji kakao dan produk olahan kakao

Indonesia dibandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura?

2. Apa dampak Kebijakan pemerintah mengenai komoditas kakao terhadap pertumbuhan ekspor kakao dan industri pengolahan kakao Indonesia?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis daya saing perdagangan biji kakao dan produk olahan kakao Indonesia dibandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura.

2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah mengenai komoditas kakao terhadap pertumbuhan ekspor kakao dan industri pengolahan kakao Indonesia.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi serta bukti empiris mengenai daya saing kakao Indonesia di pasar tujuan ekspor yaitu Singapura. Manfaat penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat

(18)

di salah satu pasar tujuan ekspor di ASEAN yaitu Singapura, sehingga pemerintah mendapat informasi dan bahan masukan dalam merumuskan berbagai kebijakan yang bersifat kompetitif di masa yang akan datang.

2. Bagi para pelaku pasar, hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi tambahan atas kondisi perkebunan kakao di Indonesia saat ini dan dapat mengeteahui langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing industri kakao Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai daya saing komoditas kakao Indonesia di pasar Asia Tenggara khususnya Singapura. Penelitian ini menggunakan beberapa alat analisis yaitu analisis deskriptif dan metode kuantitatif. Metode desktiptif digunakan untuk menganalisis perkembangan data-data yang digunakan dalam penelitian ini. Metode kuantitatif dengan pendekatan Revealed Comparatif Advantage (RCA) dan Constant Market Share (CMS). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu selama 10 tahun (2003-2013). Data tersebut diperoleh dari Situs Resmi Perdagangan Komoditas Internasional dan The International Cocoa Organization (ICCO). Data produk kakao yang dianalisis dibagi menjadi enam jenis berdasarkan kode Harmonized System (HS-18) 4-dijit ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Produk kakao berdasarkan kode Harmonized System (HS-18) 4-dijit No Kode Harmonized System Spesifikasi

1 1801 Cocoa beans, whole or broken, raw or roasted

2 1802 Cocoa shells, husks, skins and waste

3 1803 Cocoa paste

4 1804 Cocoa butter, fat, oil

5 1805 Cocoa powder, unsweetened

6 1806 Cocoa and other foods contaning cocoa

Sumber: Situs Resmi Perdagangan Komoditas Internasional (www.comtrade.un.org)

TINJAUAN PUSTAKA

Daya Saing

(19)

cenderung menjadi negara pengimpor. Hasil analisis Irnawaty (2008) dalam penelitiannya tentang daya saing Komoditas kakao Indonesia menunjukkan bahwa kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam perdagangan Internasional. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RCA yang dimiliki oleh Indonesia periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 lebih dari satu. Irnawaty (2008) dalam penelitiannya yang menggunakan Porter's Diamond Theory menjelaskan walaupun komoditas kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif, Indonesia masih berdaya saing lemah karena terdapat berbagai kendala yaitu kualitas kakao Indonesia yang masih rendah dan belum memenuhi standar internasional.

Penelitian lain mengenai daya saing komoditas kakao Indonesia dilakukan oleh Ragimun (2012) yang menganalisis daya saing kakao Indonesia dengan beberapa negara dalam kurun waktu 2002 sampai dengan 2011. Negara tujuan utama ekspor kakao dari Indonesia adalah Malaysia, Singapura, Amerika, China, dan Brazil yang menguasai sebesar 93,1 % dengan nilai ekspor komoditas kakao pada tahun 2002-2011 terus mengalami peningkatan walaupun nilai impor juga terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil dari analisis RCA, komoditas kakao merupakan komoditas unggulan Indonesia yang mempunyai daya saing cukup bagus karena memiiki RCA lebih besar dari 1. Nilai RCA Indonesia juga lebih tinggi dari Malaysia dari tahun 2002 hingga 2011, namun pada tahun 2011 RCA Indonesia mengalami penurunan menjadi 2,75 yang hampir sama dengan RCA Malaysia yang sebesar 2,52.

Penelitian dengan metode Revealed Compared Advantage yang menganalisis daya saing kakao Indonesia lainnya adalah Rahmanu (2009) yang menunjukkan bahwa kakao olahan Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 dengan nilai RCA di bawah satu dan memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2006 dengan nilai RCA diatas satu. Hal ini disebabkan pada tahun 1988 sampai tahun 1995 nilai ekspor hasil olahan kakao masih relatif sedikit dan mulai meningkat pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 seiring dengan meningkatnya industri makanan dan minuman dunia.

(20)

menurun menjadi 0,024 sedangkan untuk dunia meningkat menjadi positif yaitu 0,046.

Hadi dan Mardianto (2004) juga menjelaskan bahwa dalam era liberalisasi perdagangan, daya saing benar-benar menjadi kunci bagi setiap negara dalam mengembangkan produk-produknya yang akan diekspor, termasuk produksi pertainan. Negara yang tidak dapat mengembangkan dan mempertahankan daya saing produk-produk yang dihasilkannya akan kalah bersaing dengan negara-negara yang berupaya meningkatkan daya saing produk-produknya melalui rekayasa dan inovasi teknologi secara terus-menerus yang menghasilkan keunggulan biaya dan keunggulan kualitas. Apabila dicermati lebih lanjut, dari 24 kelompok produk pertanian yang dianalisis, ternyata 10 kelompok produk bernilai negatif dan 14 kelompok produk bernilai positif pada periode 1997-1999. Beberapa kelompok produk yang bernilai positif memang merupakan produk pertanian unggulan ekspor Indonesia, seperti CPO, sayuran dan umbi-umbian, kopi, teh, dan kakao. Pada periode 1999-2001 hanya 8 kelompok yang bertanda positif, sedangkan sisanya bertanda negatif. Kelompok kakao merupakan salah satu kelompok produk yang bernilai positif dan nilainya meningkat dibanding pada periode 1997-1999.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing

Kalaba (2012) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi daya saing biji kakao dipengaruhi oleh harga domestik biji kakao, harga internasional biji kakao, nilai tukar Rupiah, nilai tukar Ringgit Malaysia, dan nilai tukar Dollar Singapura. Daya saing pasta kakao dipengaruhi oleh harga domestik pasta kakao dan nilai tukar mata uang New Zealand (NZD). Menurut Irnawaty (2008) dalam penelitiannya yang menggunakan analisis Porter's Diamond menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan daya saing kakao Indonesia disebabkan karena penggunaan bibit unggul yang masih rendah, kualitas SDM yang rendah, kurangnya daya dukung sarana infrastruktur dan masih kurangnya industri terkait dan industri pendukung dalam pengadaan bibit unggul guna peningkatan kualitas kakao.

Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Irnawaty (2008), menurut hasil analisis Porter's Diamond yang dilakukan oleh Rahmanu (2009) menunjukkan bahwa industri pengolahan kakao nasional kurang kompetitif. Beberapa hal yang menjadi kendala perkembangan industri pengolahan kakao adalah infrastruktur yang terbatas, sulitnya akses terhadap sumber permodalan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada komoditas primer serta kualitas biji kakao yang rendah. Sedangkan Irwanto (2012) menjelaskan dengan pendekatan Porter's Diamond menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi daya saing komoditas kakao Indonesia adalah kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung, peran pemerintah, serta peran kesempatan. Keempat komponen ini memiliki keunggulan yang mampu mengangkat daya saing komoditas kakao Indonesia. Sementara itu, komoditas kakao Indonesia masih memiliki kelemahan dalam komponen kondisi faktor serta strategi perusahaan, struktur, dan persaingan.

(21)

menggunakan data sekunder time series dari tahun 1990-2009 dan menggunakan metode 2 SLS (Two stage Least Square). Dari hasil studi tersebut dapat diketahui bahwa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja ekspor kakao Indonesia adalah ekspor kakao Indonesia ke Amerika Serikat, ekspor kakao Pantai Gading, ekspor kakao Ghana, dan harga dunia. Jika dikaji lebih rinci, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Indoneisa ke Amerika Serikat adalah tambahan harga kakao dunia pada tahun ke-t, rasio nilai tukar pada 1 tahun sebelum dengan tahun ke-t, dummy automatic detention, dan dummy pajak ekspor. Sedangkan ekspor kakao Pantai Gading dipengaruhi oleh rasio kakao dunia pada 1 tahun sebelum dengan tahun ke-t dan produksi kakao Pantai Gading pada tahun sebelumnya. Lalu ekspor kakao Ghana dipengaruhi oleh produksi kakao Ghana pada tahun ke-t dan ekspor kakao pada 1 tahun sebelumnya. Sedangkan harga kakao dunia dipengaruhi oleh ekspor kakao dunia pada tahun ke-t, impor kakao dunia pada 1 tahun sebelumnya, dan harga kakao dunia pada 1 tahun sebelumnya.

Berdasarkan penggunaan sumberdaya agribisnis kakao domestik, Kalaba (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa biji kakao lebih murah diproduksi di dalam negeri dibanding impor dari luar negeri. Saat ini produksi pabrik pengolahan Indonesia tidak hanya memakai kakao dalam negeri, tetapi masih memakai campuran kakao impor. Hal ini karena mutu kakao Indonesia yang masih belum sebaik mutu kakao impor. Disamping itu, produk fermentasi juga belum bermutu baik dan jumlahnya pun masih dibawah kebutuhan industri karena keterbatasan petani dalam mendapatkan input produksi berkualitas dengan harga yang terjangkau. Kalaba (2012) menjelaskan bahwa dengan adanya dukungan seperti subsidi input mampu membantu petani kakao Indonesia walaupun harga input setelah disubsidi masih cukup tinggi sehingga kebijakan pemerintah terkait subsidi masih sangat perlu ditingkatkan.

Dampak Kebijakan Pemerintah

Penelitian yang membahas tentang kebijakan perdagangan kakao Indonesia juga telah dilakukan oleh Lubis dan Nuryanti (2011) yang melakukan penelitian tentang dampak ACFTA dan kebijakan perdagangan kakao di pasar domestik dan China. Penelitian ini membandingkan Indonesia dengan Malaysia dalam perdagangan kakao di pasar domestik dan China. Menggunakan analisis daya saing Revealed Symentric Comparative Advantage (RSCA), Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), dan analisis regresi berganda diketahui bahwa daya saing biji kakao Indonesia di pasar China terhadap Malaysia ternyata tidak meningkat sejak pelaksanaan ACFTA. Analisis dengan menggunakan metode RSCA bertujuan untuk membuat perbandingan daya saing Indonesia dengan produk Malaysia di pasar China dan daya saing produk China dan Malaysia di pasar Indonesia. Malaysia merupakan negara eksportir pesaing Indonesia karena ekspornya meningkat pesat di China setelah ACFTA pada tahun 2005.

(22)

tersebut sangat tepat karena permintaan China untuk keduanya semakin besar dan justru menurun untuk biji kakao. Kemampuan Malaysia mempertahankan daya saing di pasar potensial seperti China untuk produk kakao ternyata berbanding terbalik dengan kinerja Indonesia. Indonesia mempunyai daya saing tetapi hanya untuk biji kakao dan bubuk kakao. Namun pangsa ekspor bubuk kakao Indonesia di China juga relatif masih rendah. Pada tahun 2009 Indoensia sama sekali tidak mempunyai daya saing untuk produk lemak dan pasta kakao di pasar China. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan tahun 2005 dan 2000, dimana Indonesia masih mempunyai daya saing meskipun masih dibawah Malaysia. Indonesia dan Malaysia keduanya tidak mempunyai daya saing untuk produk olahan kakao di pasar China. Keduanya tidak mampu bersaing dengan produk yang berasal dari Italia dan Singapura. Kemampuan Malaysia sebagai pemasok kedua terbesar pasar kakao di China sebenarnya bertolak belakang dengan kemampuan negara tersebut dalam memproduksi biji kakao. Pada tahun 2009 menunjukkan bahwa Indonesia adalah produsen biji kakao terbesar kedua di dunia dengan volume produksi biji kakao nasional mencapai 800 ribu ton setelah Pantai Gading, jauh lebih besar dibandingkan Malaysia yang hanya memproduksi 18,2 ribu ton. Dari data tersebut menunjukkan Malaysia sangat tergantung pada bahan baku biji kakao dari Pantai Gading, Indonesia dan Ghana untuk menghasilkan produk setengah jadi dan produk kakao untuk konsumsi

Penelitian Lubis dan Nuryanti (2011) juga menjelaskan bahwa daya saing ekspor biji kakao Indonesia tidak meraih keuntungan dalam perdagangan bebas ACFTA hanya dengan mengekspor produk primer seperti biji kakao ke China atau Malaysia. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia tidak dapat mengoptimalkan momentum ACFTA yang telah dimulai sejak 2005 untuk meningkatkan kinerja ekspor di pasar China seperti Malaysia yang mengambil keuntungan dari ACFTA dengan meningkatkan kinerja ekspor ke China, khususnya untuk komoditas kakao dibandingkan Indonesia. Oleh karena itu, sejak 1 April 2010 ekspor biji kakao telah dikenakan kebijakan bea keluar (BK) yang berlaku secara progresif berdasarkan harga internasional atau dikenal sebagai harga referensi. Apabila Indonesia hendak meningkatkan daya saing produk kakao, Indonesia memang harus membatasi ekspor biji kakao dan meningkatkan produksi produk olahan kakao seperti kakao bubuk, kakao pasta dan lemak kakao untuk diekspor dan memperoleh nilai tambah serta memperbaiki daya saing kakao di pasar China maupun Internasional.

Terkait dengan kebijakan bea keluar (BK) yang berlaku pada 1 April 2010, penelitian yang dilakukan oleh Rifin dan Nauly (2013) memperoleh hasil bahwa tujuan pemerintah menerapkan pajak ekspor terhadap biji kakao sejak April 2010 adalah untuk meningkatkan industri kakao olahan dan menggeser komposisi produk ekspor kakao dari biji kakao menjadi produk olahan kakao. Disisi lain, pertumbuhan ekspor kakao Indonesia masih dibawah pertumbuhan permintaan kakao dunia yang menyebabkan daya saing Indonesia berkurang. Hal ini terbukti dengan berkurangnya nilai ekspor kakao Indonesia pada 2011 dengan nilai US$ 1 364 170 460 dibandingkan dengan tahun 2009 yang bernilai US$ 1 469 157 944, menurun sekitar 7,15%.

(23)

kakao dan produk olahan kakao disebabkan karena efek komposisi komoditas serta efek daya saing yang bernilai negatif, dengan nilai masing-masing -0,043 dan -2,082. Penerapan pajak ekspor telah mengurangi daya saing biji kakao dan produk kakao Indonesia. Berbeda dengan negara produsen kakao terbesar dunia yaitu Pantai Gading dan Ghana yang memperoleh pertumbuhan ekspor yang positif pada periode 2009 dan 2011. Ghana yang merupakan produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading memperoleh pertumbuhan ekspor tertinggi yang secara signifikan meningkatkan daya saing produk kakaonya dan Pantai Gading yang memperoleh pertumbuhan ekspor positif juga memperoleh pasar dan komposisi produk yang positif, yang menunjukkan bahwa Pantai Gading berfokus pada produk dan pasar yang memiliki pertumbuhan positif.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan antar negara atau perdagangan internasional sudah ada sejak dahulu namun dalam jumlah dan ruang lingkup yang terbatas, dimana pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat diproduksi dalam negeri masing-masing negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut dipenuhi dengan cara barter. Pada awalnya perdagangan internasional merupakan pertukaran atau perdagangan tenaga kerja dengan barang dan jasa lainnya, yang selanjutnya diikuti perdagangan barang dan jasa sekarang dengan kompensasi barang dan jasa dikemudian hari. Hal tersebut memungkinkan setiap negara melakukan diversivikasi atau penganekaragaman kegiatan perdagangan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka melalui perluasan komoditas ekspor dan memperbesar penerimaan devisa.

Menurut Basri (2010) Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama. Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya, jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang tertentu, mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien jika dibandingkan dengan negara tersebut memproduksi segala jenis barang. Pola-pola perdagangan internasonal yang terjadi mencerminkan perpaduan dari kedua motif ini.

Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya taraf kehidupan yang bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat. Maka perdagangan internasional menjadi suatu hal yang penting. Pada saat ini tidak ada satu negara pun yang berada dalam kondisi autarki, yaitu negara yang terisolasi, tanpa mempunyai hubungan ekonomi.

(24)

komoditas yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan buminya dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam menyerap komoditas tertentu pada tingkat yang lebih efisien.

Menurut pandangan merkantilisme, perdagangan dilakukan dengan mengekspor sebanyak-banyaknya dan menekan impor sesedikit mungkin adalah satu-satunya jalan untuk menjadi negara kaya. Surplus ekspor yang diterima akan dialihkan menjadi stok emas dan logam mulia. Para kaum merkantilisme beranggapan bahwa negara yang kaya adalah negara yang paling banyak memiliki cadangan emas dan logam mulia (Salvatore 1997).

Berbeda dengan pandangan kaum merkantilisme, Adam Smith beranggapan bahwa perdagangan antara dua negara disebabkan karena adanya keunggulan absolut. Jika sebuah negara lebih efisien dalam memproduksi sebuah komoditas dibandingkan negara lain walaupun negara ini kurang efisien jika memproduksi barang lainnya dibandingkan dengan negara lain maka kedua negara ini akan memperoleh keuntungan dengan melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan barang yang memiliki kerugian absolut (Salvatore 1997).

Daya Saing

Daya saing ekspor merupakan kemampuan suatu komoditas untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan di dalam pasar tersebut, dalam artian jika suatu produk mempunyai daya saing maka produk tersebutlah yang banyak diminati konsumen (Salvatore 1997). Pembahasan daya saing tidak dapat terlepas dari dua istilah yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif tiap negara akan menentukan apa yang terjadi jika terjadi perdagangan diantara mereka.

Sumber keunggulan komparatif tidak hanya berasal dari faktor alamiah tetapi dapat juga diciptakan. Sumber keunggulan komparatif suatu negara dalam memproduksi suatu produk dapat berasal dari keunggulan komparatif dari faktor pengetahuan (learning factor) disebut sebagai keunggulan dinamis dan keunggulan komparatif dalam proses produksi dengan memanfaatkan tenaga kerja dan atau modal yang disebut sebagai keunggulan statis (Salvatore 1997). Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keunggulan statis berupa tenaga kerja sedangkan negara-negara maju sebagai penyedia teknologi memiliki keunggulan dinamis berupa teknologi. Salah satu metode untuk menganalisis keunggulan komparatif adalah Revealed Compared Advantage (RCA). Konsep RCA merupakan rasio antara pangsa pasar dari sebuah produk suatu negara dalam pasar dunia dengan pangsa pasar ekspor suatu negara terhadap total ekspor dunia.

Menurut Gonarsyah (2007) para ekonom seperti Barkema, Drabenstotti dan Tweeter, serta Shaples mengartikan keunggulan kompetitif sebagai hasil kombinasi dari distorsi pasar dan keunggulan komparatif. Distorsi pasar dapat bersumber karena kebijakan pemerintah (goverment policy) maupun adanya ketidaksempurnaan pasar (market imperfectionist). Kebijakan pemerintah dapat bersifat langsung seperti tarif maupun tidak langsung seperti regulasi. Ketidaksempurnaan pasar misalnya adanya monopoli atau monopsoni domestik.

(25)

keunggulan komparatif yang dapat memiliki keunggulan kompetitif. Upaya peningkatan daya saing harus lebih bertumpu pada upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator, dinamisator melalui kebijakan penelitian dan pengembangan, penyuluhan, meningkatkan akses pasar, perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar. Dalam jangka panjang, upaya-upaya tersebut lebih memberikan proteksi bagi masyarakat.

Sudaryanto (2005) menambahkan bahwa keunggulan komparatif tidak menjamin keunggulan kompetitif. Selain keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif ditentukan oleh kemampuan memasok produk dengan atribut sesuai dengan keinginan konsumen. Tambunan (2001) menyebutkan bahwa keunggulan kompetitif suatu komoditas adalah suatu keunggulan yang dapat dikembangkan, jadi keunggulan kompetitif ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya.

Keunggulan kompetitif merupakan hasil interaksi dari tiga tingkatan pasar yaitu pasar internasional dari produk, pasar domestik dari produk, dan pasar sarana produksi. Keunggulan kompetitif merupakan hasil resultan dari rantai agribisnis secara vertikal mulai dari perolehan sarana produksi, usahatani, pemasaran domestik, dan pemasaran internasional. Dalam rangka meningkatkan keunggulan kompetitif diperlukan koordinasi vertikal petani-agribisnis antara-agribisnis hilir.

Analisis keunggulan kompetitif dapat dilakukan melalui pendekatan pangsa pasar konstan atau Constant Market Share Analiysis (CMSA). CMSA secara umum adalah prosedur akunting untuk mengetahui sumber pertumbuhan ekspor dari suatu negara. Asumsi dasar dari model pangsa pasar konstan adalah pangsa pasar suatu negara di pasar dunia tidak berubah sepanjang waktu. Asumsi dasar dari model CMSA adalah daya saing yang dimiiki suatu negara untuk ekspor suatu komditas pada tingkatan yang sama, mempunyai pasar konstan. Akibatnya setiap perbedaan antara perubahan aktual ekspor dari suatu negara dan penjumlahan pasar dari pesaing menjadi penyebab perubahan komposisi ekspor atau day saing. Nilai negatif menunjukkan bahwa negara tersebut gagal memperthankan pangsa pasarnya. Efek daya saing pada analisis CMSA ini lebih bersumber dari daya saing harga.

Salah satu kelebihan model CMSA dibandingkan RCA yaitu CMSA dapat mendekomposisi perubahan ekspor menjadi beberapa komponen (Kustiari 2007). Pertumbuhan ekspor suatu negara dapat dipisahkan menjadi komposisi komoditas, distribusi pemasaran, dan efek daya saing yang menggambarkan interaksi permintaan dan penawaran. Penggunaan model CMSA mempunyai keterbatasan antara lain bahwa persamaan untuk menguraikan pertumbuhan ekspor merupakan persamaan identitas. Oleh karena itu, alasan-alasan terjadinya perubahan daya saing tidak dapat dievaluasi dengan hanya menggunakan analisis CMSA saja. Kelemahan lainnya yaitu mengabaikan perubahan daya saing pada titik waktu yang terdapat diantara dua titik waktu yang digunakan. Namun demikian analisis CMSA ini sangat berguna untuk mengkaji kecenderungan daya saing produk yang dihasilkan suatu negara.

Teori Revelaed Comparative Advantage (RCA)

(26)

ke arah mana investasi harus dilakukan serta ke negara mana komoditas perdagangan mereka harus diperjualbelikan dengan melihat nilai keunggulan mereka secara komparatif. Dalam teori komparatif David Ricardo, dua negara akan melakukan perdagangan apabila perdagangan tersebut menguntungkan kedua belah pihak. Keuntungan pada kedua belah pihak dapat dilihat dari daya tukar domestik negara tersebut. Apabila suatu negara dapat menghasilkan suatu komoditas dengan harga yang sama dibandingkan dengan membeli dari negara lain maka perdagangan antar dua negara tidak akan terjadi. Lain halnya jika negara tersebut dapat membeli suatu komoditas dari negara lain lebih murah daripada memproduksi sendiri komoditas tersebut. maka perdagangan antar dua negara akan terjadi. Dengan catatan, negara yang menjual komoditas mendapatkan keuntungan dari jual beli tersebut.

Revealed Comparatif Advantage (RCA) atau keunggulan komparatif yang terungkap, merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain) yang cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya. Basri (2010) menyatakan bahwa Pada mulanya Balassa mengajukan postulasi tentang perdagangan internasional yang didasarkan kepada nisbah atau rasio ekspor impor. Metode inilah yang merupakan cikal bakal perumusan RCA yang kita kenal sekarang.

Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia.

Basri (2010) juga menyebutkan bahwa RCA dapat dikembangkan menjadi suatu metode pengukuran yang bersifat dinamis dengan memasukkan unsur waktu, sehingga dapat menunjukkan perkembangan pangsa relatifnya dari waktu ke waktu. Dengan membandingkan angka RCA antara dua waktu, maka akan diperoleh indeks RCA. Indeks ini menunjukkan perkembangan RCA dari waktu ke waktu. Indeks yang lebih kecil dari satu menunjukkan terjadinya penurunan RCA. Artinya, kinerja ekspor komoditas i dan negara j mengalami kemunduran relatif dibandingkan dengan kinerja ekspor rata-rata dunia. Sebaliknya, indeks yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa ekspor komoditas i dari negara j mengalami peningkatan relatif dibandingkan dengan rata-rata dunia, sehingga pangsanya di pasaran dunia meningkat.

(27)

Teori Constant Market Share (CMS)

Dalam perdagangan internasional ada berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor suatu negara. Diantara berbagai faktor tersebut faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor diantaranya terdapat faktor distribusi pasar, komposisi komoditas dan daya saing. Tiga faktor tersebut masing-masing dapat diukur berapa besar efek yang berpengaruh pada pertumbuhan ekspor suatu negara. Salah satu metode untuk mengukur besarnya efek dari masing-masing faktor adalah metode Constant Market Share.

Pendekatan Constant Market Share (CMS) digunakan untuk mengukur dinamika tingkat daya saing suatu industri dari suatu negara. Penggunaan pendekatan ini didasarkan pada pemahaman bahwa laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama, atau lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia. Basri (2010) menyatakan bahwa ekspor suatu negara bisa meningkat lebih cepat (atau lebih lambat) dibandingkan dengan rata-rata ekspor dunia disebabkan oleh tiga alasan utama :

1. Efek komposis komoditas : ekspor mungkin terkonsentrasi pada komoditas-komoditas yang permintaannya relatif elastis atau inelastis terhadap pendapatan.

2. Efek distribusi pasar : ekspor mungkin terarah ke pasar-pasar yang berkembang lebih pesat (lebih lambat) dibandingkan dengan rata-rata dunia. 3. Efek daya saing : ekspor mungkin lebih dapat (kurang dapat) bersaing dengan

negara-negara pengekspor lain, baik karena pertumbuhan produktivitasnya lebih tinggi (lebih rendah) atau karena undervaluation (overvaluation) mata uang domestik.

Teori Harga Relatif

Harga relatif terbentuk dari perpotongan kurva tawar menawar pada dua negara. Perpotongan kurva tawar-menawar itulah yang akan menghasilkan suatu titik yang melambangkan harga relatif komoditas ekuilibrium yang akan menjadi dasar bagi berlangsungnya perdagangan diantara kedua negara tersebut. Hanya pada harga ekuilibrium itu saja maka perdagangan antara negara 1 dan negara 2 benar-benar seimbang (Salvatore 1997).

(28)

Pada Gambar 1 menjelaskan tentang terbentuknya keseimbangan harga relatif untuk sebuah komoditas misal kakao. Pada panel A menunjukkan harga keseimbangan yang terbentuk dari interaksi kurva demand (Dp) dan supply (Sp) di negara P berada pada titik P1 sedangkan untuk negara Q interaksi antara demand (Dq) dan supply (Sq) berada pada titik P3. Perbedaan harga domestik kakao antara kedua negara tersebut akan menjadi dasar untuk melaukakan perdagangan. Perdagangan antara kedua negara tersebut akan terjadi apabila harga yang akan terbentuk nantinya berada pada kisaran antara P1 dan P3 atau dalam kurva tersebut digambarkan berada pada titik P2 sehingga akan menguntungkan kedua negara tersebut.

Apabila harga yang terbentuk adalah sebesar P2 maka negara P akan meningkatkan produksi kakaonya melebihi permintaan kakao pada negara P itu sendiri sehingga terjadi kelebihan penawaran.Kelebihan penawaran kakao tersebut selanjutnya akan diekspor ke negara Q. Disisi negara Q menginginkan harga untuk kakao berada dibawah P3 maka permintaan kakao di negara Q akan mengalami peningkatan melebihi penawaran yang ada pada negara Q. Hal ini akan mendorong negara Q untuk mengimpor kakao dari negara P.

Teori Keunggulan Kompetitif

Konsep ini dikembangkan oleh Michael E Porter dalam bukunya yang berjudul Competitif Advantage of Nations. Menurut Porter, terdapat empat atribut yang dapat membentuk lingkaran dimana perusahaan-perusahaan lokal berkompetisi sedemikian rupa sehingga mendorong terciptanya keunggulan kompetitif. Keempat atrIbut tersebut yaitu, kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung serta strategi perusahaan, struktur dan persaingan. Keempat atribut tersebut saling berhubungan sehingga Porter menggambarkannya dalam sebuah diamond, atau lebih dikenal dengan Porter's Diamond. Proses penentuan daya saing (secara kompetitif) nasional dalam pembangunan ekonomi di suatu negara yang digambarkan dalam Porter's Diamond adalah sebagai berikut :

1. Kondisi faktor, yaitu posisi negara dalam faktor poduksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur, perlu untuk bersaing dalam suatu industri tertentu. Titik awal pada negara berkembang yaitu memiliki ketergantungan yang tinggi pada ketersedeiaan upah rendah dan tenaga kerja tidak terampil, kemudian kurangnya kapital, Hampir semua teknologi dipasok dan dikendalikan secara eksternal, serta belum berkembangnya infrastruktur, pasar modal, dan sistem pendidikan membuat produktivitas negra menjadi rendah. Dengan adanya persaingan faktor produksi dalam suatu industri maka negara berkembang dapat membangun ekonomi yang sukses.

2. Kondisi Permintaan, yaitu sifat dari permintaan pasar asal untuk barang dan jasa industri. Titik awal pada negara berkembang dapat terlihat dari produk yang terdiferensiasi adalah menjadi andalan ekspor utama, demand lokal yang tidak canggih (informasi terbatas, seleksi yang terbatas, fokus terhadap harga), rancangan produk dan jasa bersifat imitasi atau lisensi dari luar, rendahnya standar produk, terjadi permintaan local yang tinggi.

(29)

dilihat dari industrinya yang berorientasi pada ekspor yang terisolasi, industri pendukung langka dan tidak kompetitif, mesin- mesin canggih dan peralatan yang modern didapat dari impor.

4. Strategi Perusahaan, struktur, dan persaingan. Kondisi dalam negara yang mengatur bagaimana perusahaan diciptakan, diatur, dan dikelola, sebagaimana juga sifat dari persaingan domestik.

Gambar 2 Model Berlian Porter Sumber : Porter 1985

Kerangka Operasional

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting dalam perekonomian nasional, sumber pendapatan dan devisa negara. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia, namun Indonesia mengalami pertumbuhan volume ekspor kakao yang fluktuatif dan berkualitas rendah yang mempengaruhi daya saing dalam perdagangan Internasional. Salah satu negara importir utama di ASEAN adalah Singapura. Singapura merupakan negara yang memiliki pendapatan perkapita yang tinggi tetapi tidak memiliki sumberdaya alam untuk dapat menyediakan bahan baku untuk industri pengolahan kakao, sehingga Singapura menjadi salah satu pasar utama bagi Indonesia di ASEAN selain Malaysia. Persaingan dalam perdagangan kakao pada tahun 2015 akan semakin ketat, khususnya setelah kebijakan ASEAN Economy Community (AEC) diberlakukan. Negara yang dianggap menjadi pesaing utama Indonesia dalam perdagangan komoditas kakao di ASEAN adalah Malaysia.

Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif yaitu Revealed Compared Analysis (RCA). RCA digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif

Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan

Industri Terkait dan Industri pendukung

(30)

komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura. Nilai RCA diperoleh dari perbandingan nilai ekspor komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura dengan pangsa komoditas dunia di pasar Singapura, sehingga jika nilai RCA sama dengan satu berarti keunggulan komparatif komoditas kakao di pasar Singapura sama dengan keunggulan komparatif negara produsen kakao lain (pesaing Indonesia) di pasar Singapura. Analisis RCA juga dilengkapi dengan analisis Constant Market Share Analysis (CMSA). Nilai CMSA diperoleh dari perbandingan pangsa pasar komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura dengan pangsa komoditas dunia di pasar Singapura, sehingga jika nilai CMSA bernilai positif berarti negara tersebut berhasil mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar komoditas kakaonya di pasar Singapura. Nilai CMSA bernilai negatif menunjukkan negara tersebut kehilangan pangsa pasar komoditas kakaonya di pasar Singapura.

Keunggulan kompetitif komoditas kakao Indonesia dianalisis dengan menggunakan Porter's Diamond Theory. Teori ini menganalisis tentang faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keunggulan kompetitif suatu negara. Dari ketiga metode analisis tersebut diperoleh posisi daya saing Indonesia dan Malaysia di Pasar Singapura dan mampu menjelaskan pengaruh kebijakan yang telah dilakukan terkait peningkatan daya saing kakao.

Gambaran lengkap mengenai pemikiran operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional Revealed Compared

Advantage (RCA)

Constant Market Share Analysis (CMSA)

Porter's Diamond Theory

Posisi Daya Saing Kakao Indonesia dan Malaysia di Pasar Singapura Pertumbuhan ekspor komoditas kakao

Indonesia dan Malaysia ke Singapura

(31)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian yang dilakukan adalah Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan menggunakan data nilai ekspor dan impor. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah negara eksportir utama kakao di ASEAN dan Singapura sebagai importir utama komoditas kakao di wilayah ASEAN yang berperan sebagai pasar yang dianalisis. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2014 hingga Agustus 2014.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber atau instansi terkait. Data yang digunakan adalah data sekunder deret waktu selama 10 tahun (2003-2013). Data tersebut diperoleh dari Situs Resmi Perdagangan Komoditas Internasional dan The International Cocoa Organization (ICCO). Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data ekspor komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura, data impor komoditas kakao Singapura dari seluruh dunia, dan juga data total impor seluruh komoditas Singapura.

Metode analisis dan Pengolahan Data

Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis perkembangan data-data yang digunakan dalam penelitian ini. Metode kuantitaif dengan pendekatan Revealed Comparatif Advantage (RCA), Constant Market Share (CMS) dan Berlian Porter digunakan untuk menganalisis tingkat daya saing komoditas kakao Indonesia dibandingkan dengan Malaysia di pasar Singapura.

Revealed Comparatif Advantage (RCA)

(32)

Rumusnya RCA adalah sebagai berikut :

Dimana : Xij = Nilai ekspor komoditas kakao Indonesia Xit = Nilai total ekspor Indonesia

Wj = Nilai ekspor dunia komoditas kakao ke Singapura Wt = Nilai total ekspor dunia ke Singapura

Indeks RCA merupakan perbandingan antara nilai RCA sekarang dengan nilai RCA tahun lalu. Rumus indeks RCA adalah sebagai berikut :

RCAt = Nilai RCA tahun ke-(t) RCAt-1 = Nilai RCA tahun ke-(t-1)

Indeks RCA berkisar antara nol sampai tak terhingga. Nilai indeks RCA suatu negara untuk suatu komoditas lebih dari satu menunjukkan bahwa daya saing komoditas dari negara tersebut mengalami peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya. Sebaliknya jika nilai indeks RCA menunjukkan nilai di bawah satu maka komoditas dari negara tersebut menurun daya saingnya.

Constant Market Share (CMS)

Daya saing suatu negara tentunya bergantung pada berbagai faktor. Namun tidak semua faktor berpengaruh pada tingkat daya saing memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk merubah tingkat daya saing tersebut. Salah satu metode yang biasa digunakan dalam mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap daya saing, bagaimana pengaruh fator tersebut, serta seberapa besar pengaruhnya adalah menggunakan metode Constant Market Share (CMS) atau model pangsa pasar konstan. Analisis CMS pernah digunakan salah satunya oleh Ichikawa (1996) dalam mengevaluasi pertumbuhan ekspor komoditas unggulan Australia di pasar Selandia Baru periode 1990-1994 dan Renjana (2010) dalam menganalisis daya saing ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia dibandingkan dengan China di pasar Amerika Serikat tahun 2001-2008.

CMS adalah metode yang digunakan untuk mendekomposisikan pertumbuhan suatu negara kedalam beberapa determinan pertumbuhan espor negara tersebut. Metode ini juga dapat untuk mendekomposisikan pertumbuhan ekspor komoditas tertentu dari suatu negara. Dalam penelitian ini metode CMS digunakan untuk mendekomposisikan pertumbuhan ekspor komoditas kakao Indonesia dan Malaysia ke Singapura.

Metode ini digunakan karena terdapat kemungkinan laju pertumbuhan ekspor suatu negara pada suatu periode tidak mampu mengikuti pertumbuhan secepat pertumbuhan ekspor rata-rata dunia. Dari hasil perhitungan CMS akan didapat tiga determinan pertumbuhan ekspor. Masing-masing determinan tersebut akan menghasilkan informasi yang berbeda-beda. Determinan tersebut adalah efek distribusi pasar, efek komposisi komoditas, dan efek daya saing.

(33)

Indonesia) mendistribusikan pasarnya ke pusat pertumbuhan permintaan (Prajogo 2004). Misalnya apabila pasar Singapura sedang mengalami kenaikan pertumbuhan impor dan Indonesia dengan menaikkan volume ekspor kakao Indonesia ke Singapura maka parameter efek distribusi pasarnya akan bernilai positif. Apabila terjadi hal sebaliknya, pada saat pasar Singapura mengalami penurunan permintaan namun Indonesia menaikkan volume ekspornya maka parameter dari efek distribusi pasar akan bernilai negatif.

Parameter efek komposisi komoditas bisa bernilai positif atau negatif. Parameter yang menunjukkan nilai positif menunjukkan bahwa negara pengekspor menjadi perhatian (misal Indonesia) mengekspor suatu komoditas ke negara yang mempunyai distribusi pasar komoditas tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kelompok komoditas tersebut.

Parameter efek daya saing dapat bernilai positif maupun negatif. Parameter ini mengindikasikan kenaikan atau penurunan bersih (net gain or loss) dalam pangsa pasar ekspor Indonesia secara relatif terhadap standar setelah memperhitungkan perubahan komposisi produk dan distribusi pasar. Parameter bernilai positif menunjukkan bahwa Indonesia berhasil mempertahankan pangsa pasar dari pada pesaingnya. Parameter yang bernilai negatif menunjukkan bahwa sebagian pangsa pasar Indonesia diambil alih oleh negara pesaing.

Asumsinya adalah bahwa efek daya saing yang didasarkan pada perubahan pangsa pasar ekspor negara pengekspor yang menjadi perhatian (misal Indonesia) di pasar Singapura untuk produk tertentu hanya dapat terjadi selama periode analisis sebagai respon terhadap perubahan harga relatif produk asal Indonesia.

Xij2 – Xij1 = mXij1 + {(mi - m) Xij1} + {Xij2 – Xij1 – mi Xij1}

(1) (2) (3)

Dimana : Xij1 = ekspor komoditas i dari negara j ke Singapura tahun ke-1 Xij2 = ekspor komoditas i dari negera j ke Singapura tahun ke t m = persentase peningkatan impor umum di Singapura mi = persentase peningkatan impor komoditas di di Singapura (1) = Efek distribusi pasar; (2) = Efek komposisi komoditas; (3) = Efek daya saing

Porter's Diamond Theory

Suatu negara memperoleh keunggulan daya saing jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Porter's Diamond Theory sebagai alat analisis sekaligus kerangka dalam membangun dan memperkuat daya saing. Menurut Porter (1985), terdapat empat komponen utama dan dua komponen penunjang yang memberikan dampak atas kemampuan perusahaan-perusahaan lokal di suatu negara untuk menggunakan sumber-sumber negara itu untuk memperoleh keunggulan kompetitif.

(34)

sistem pendidikan membuat produktivitas negra menjadi rendah. Dengan adanya persaingan faktor produksi dalam suatu industri maka negara berkembang dapat membangun ekonomi yang sukses. Komponen tersebut menentukan keunggulan kompetitif suatu negara. Ketersediaan faktor tersebut juga harus didukung oleh biaya dan modal serta aksesbilitas dalam memperoleh biaya dan modal, serta kondisi sarana dan prasarana yang memadai.

2. Kondisi permintaan, yaitu sifat dari permintaan pasar asal untuk barang dan jasa industri. Titik awal pada negara berkembang dapat terlihat dari produk yang terdiferensiasi adalah menjadi andalan ekspor utama, demand lokal yang tidak canggih (informasi terbatas, seleksi yang terbatas, fokus terhadap harga), rancangan produk dan jasa bersifat imitasi atau lisensi dari luar, rendahnya standar produk, terjadi permintaan domestik yang tinggi.

3. Industri terkait dan industri pendukung. Keberadaan atau ketiadaan industri pemasok dan industri terkait lainnya di negara tersebut yang secara internasional bersifat kompetitif. Titik awal pada Negara berkembang dapat dilihat dari industrinya yang berorientasi pada ekspor yang terisolasi, industri pendukung langka dan tidak kompetitif, mesin- mesin canggih dan peralatan yang modern didapat dari impor.

4. Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan, yaitu perluasan persaingan domestik, adanya hambata-hambatan untuk masuk serta organisasi dan gaya manajemen perusahaan. Porter mengungkapkan bahwa perusahaan yang mengalami persainan berat di pasar-pasar domestiknya secara konstan akan meningkatkan efisiensinya yang menciptakan tingkat kompetitif yang ideal dalam perdagangan internasional.

5. Peran pemerintah, yaitu tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap daya saing namun peranannya sangat menentukan pertumbuhan suatu negara. Pemerintah bertindak sebagai regulator yang mempengaruhi daya saing dengan kebijakan yang dapat memperkuat atau memperlemah faktor penentu daya saing.

6. Peran peluang, yaitu letaknya berada di luar kendali perusahaan atau pemerintah. Peran peluang dapat mempengaruhi daya saing seperti penemuan baru dan perubahan mata uang serta peningkatan permintaan yang lebih besar dari pasokannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Kakao Indonesia dan Malaysia di Pasar Singapura

Analisis Keunggulan Komparatif

(35)

kakao (biji kakao dan olahan kakao) ke Singapura disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Berdasarkan data pada Gambar 4, pada dua periode yang diteliti, Indonesia mempunyai keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibanding Malaysia dalam mengekspor biji kakao ke Singapura. Hal tersebut diindikasikan dalam nilai RCA Indonesia yang selalu lebih besar dibandingkan Malaysia setaip tahunnya. Selanjutnya Gambar 4 juga menunjukkan bahwa keunggulan komparatif Indonesia pada komoditas biji kakao pada periode 2010-2013 mengalami penurunan dibandingkan periode 2003-2009. Pada periode 2010-2013 khususnya pada tahun 2012 dan 2013 Malaysia memiliki nilai RCA lebih dari satu.

Penurunan nilai RCA Indonesia disebabkan karena perubahan komposisi produk ekspor setelah diberlakukannya kebijakan bea keluar biji kakao Indonesia. Komposisi produk ekspor Indonesia yang sebelumnya didominasi oleh biji kakao beralih menjadi produk olahan kakao. Pada periode 2010-2013 Malaysia mulai meningkatkan produksi biji kakao dan mengekspor biji kakao tersebut ke Singapura sebagai salah satu negara yang memiliki permintaan biji kakao yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan industri kakaonya. Nilai RCA Indonesia yang selalu berada diatas satu mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata dunia, namun keuntungan komparatif biji kakao Indonesia tidak didukung oleh perkembangan industri kakao Indonesia.

Gambar 4 Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013

Salah satu kelemahan Indonesia dalam perdagangan kakao internasional adalah mutu biji kakao yang kurang baik. Keberadaan standar mutu kakao yang mendorong kepada perbaikan mutu dan diakui oleh pihak-pihak pengguna di luar maupun dalam negeri mutlak diperlukan. Rendahnya citra mutu kakao Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari penerapan standar mutu kakao yang tidak konsisten oleh petani. Pelaksanaan standar mutu secara konsisten akan mendorong perbaikan mutu dan secara bertahap akan memperbaiki citra mutu kakao Indonesia di dalam

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(36)

perdagangan internasional. Pada periode 2003-2009 industri hilir kakao Indonesia masih belum berkembang dan beroperasi secara optimal. Hal ini karena sebagian besar kakao yang diekspor masih dalam bentuk komoditas primer (biji kakao). Kakao dalam bentuk komoditas komoditas primer tersebut akan terkena diskon harga yang kemudian diinput sebagai kerugian. Kerugian tersebut seharusnya dapat dikurangi apabila industri kakao Indonesia mampu mendukung agribisnis kakao secara optimal. Oleh karena itu, kebijakan bea keluar biji kakao bertujuan untuk mengoptimalkan industri kakao Indonesia untuk mampu meningkatkan nilai tambah kakao Indonesia.

Pada periode 2010-2013, kebijakan bea keluar biji kakao terbukti mampu meningkatkan keunggulan komparatif Indonesia dalam produk olahan kakao. Hal ini diindikasikan dari nilai RCA Indonesia meningkat dari periode sebelumnya untuk produk olahan kakao. Pada periode 2003-2009 Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap produk olahan kakao karena nilai indeks RCA bernilai dibawah satu dan pada periode selanjutnya nilai indeks RCA mampu mencapai 1,28 walaupun nilai RCA produk olahan Indonesia masih berada dibawah satu. Pada periode tahun 2010-2013 Malaysia memiliki keunggulan komparatif untuk produk olahan kakao di pasar Singapura yang diindikasikan nilai RCA selalu lebih dari satu.

Gambar 5 Nilai RCA dan Indeks RCA produk olahan kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar Singapura periode tahun 2003-2013

Malaysia tidak memiliki keunggulan komparatif untuk produk biji kakao pada tahun 2003-2013 karena Malaysia lebih fokus memproduksi kakao olahan dibandingkan mengekspor biji kakao. Keunggulan komparatif Malaysia pada periode 2003-2009 untuk produk olahan kakao lebih tinggi dibanding Indonesia pada periode yang sama, namun Indonesia memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dilihat dari perbandingan indeks RCA Indonesia dan Malaysia pada produk olahan kakao. Penurunan pertumbuhan keunggulan komparatif Malaysia disebabkan karena berkurangnya pangsa pasar olahan kakao Malaysia di Singapura pada

0 0,5 1 1,5 2 2,5

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(37)

periode 2010-2013. Hal tersebut mengindikasikan bahwa persaingan antara Indonesia dan Malaysia semakin ketat walaupun Malaysia memiliki keunggulan komparatif produk kakao yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

Hasil studi diatas didukung hasil studi lain seperti Hasibuan et al. (2012) yang menganalisis kinerja dan daya saing perdagangan biji kakao dan produk kakao olahan Indonesia di pasar internasional periode 2001-2010 menggunakan RCA. Hasilnya, Indonesia memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata dunia dengan nilai RCA lebih dari satu. Pada periode yang sama Malaysia terus mengalami penurunan produksi kakao dan tidak memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao. Hasibuan et al. (2012) dengan metode RCA juga menjelaskan bahwa meskipun Malaysia tidak memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao dibandingkan Indonesia, namun memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dalam memproduksi kakao pasta, kakao butter, dan kakao bubuk dibandingkan Indonesia.

Salah satu faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif produk kakao diantaranya adalah harga domestik biji kakao. Kenaikan harga domestik akan mendorong produsen lokal lebih meningkatkan jumlah produksinya dan memperhatikan kualitas biji kakao, sehingga biji kakao mampu bersaing di pasar internasional. Efek dari peningkatan harga domestik tersebut akan meningkatkan pendapatan yang kemudian meningkatkan keunggulan komparatif kakao Indonesia.

Kenaikan harga kakao internasional juga memberikan pengaruh positif terhadap ekspor kakao. Kenaikan harga kakao internasional akan mendorong eksportir untuk mengekspor dalam jumlah yang lebih besar, sehingga nilai ekspor akan meningkat. Goldin (1990) menyebutkan keunggulan komparatif dengan menggunakan metode RCA sangat dipengaruhi oleh liberalisasi perdagangan serta dukungan pemerintah karena nilai RCA hanya didasarkan pada kinerja ekspor. Nilai RCA juga dapat bias ketika ukuran negara menjadi sangat kecil.

Analisis daya saing komoditas kakao Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura selanjutnya dilengkapi dengan menggunakan model CMSA dan hasilnya disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Metode CMSA dapat mendekomposisikan sumber-sumber pertumbuhan ekspor dan menagkap dengan lebih cermat potensi daya saing suatu komoditas. Basri (2010) juga menjelaskan bahwa dengan menggunakan metode CMSA peningkatan pangsa nilai (value share) suatu negara tidak selalu berarti nilai ekspor suatu komoditas mengalami penurunan.

Gambar

Gambar 1  Keseimbangan dalam perdagangan internasional
Gambar 2 Model Berlian Porter
Gambaran lengkap mengenai pemikiran operasional pada penelitian ini dapat
Gambar 4 Nilai RCA dan Indeks RCA biji kakao Indonesia dan Malaysia ke pasar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar sebagai dasar kemampuan awal seorang pelaku animasi merupakan kunci kompetensi yang diakui oleh standar kompetensi nasional, juga oleh dunia industri,

Melihat indikasi tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah variabel budaya organisasi, lingkungan kerja, dan komunikasi secara simultan dan parsial berpengaruh

Untuk menganalisis tingkat daya saing ekspor karet Indonesia, Malaysia. dan Thailand di pasar

Berpedoman pada Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang tentang pengelolaan sampah, setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah

Dari hasil pengamatan kondisi karang, biota megabentos dan ikan karang dalam kegiatan monitoring (t2) di perairan Pulau Abang dan sekitarnya, Kota Batam tahun 2008 dan

Sebagai kepanjangan tangan PI-UMKM di daerah, Lembaga Intermediasi harus memiliki fungsi peran yang diharapkan oleh PI UMKM sebagai berikut : berpengalaman dalam

motor listrik yang lain adalah arus lain adalah arus sekun sekunder yang der yang dicipt diciptakan akan semata-mata oleh induksi, seperti pada transformator alih-alih

 Pengembangan industri hilir kakao di pedesaan yang berbasis kelompok tani dalam usaha meningkatkan nilai tambah komoditi ini.  Penelitian pengembangan kakao