• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan (Forward

Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya

Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya

Keterkaitan ke belakang (Backward Linkage) menjelaskan performa keterkaitan ke belakang (Backward Linkage) pada usahatani lidah buaya dengan pengadaan saran produksi atau input yang dibutuhkan dalam melakukan produksi. Beberapa input yang diperlukan dalam kegiatan usahatani lidah buaya diantaranya bibit, lahan, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, serta alat-alat pertanian untuk pengolahan, perawatan dan pemanenan. Backward Linkage akan memiliki performa yang baik jika petani dengan mudah dapat mengakses dan memperoleh input-input yang dibutukan.

Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang berfungsi sebagai tempat budidaya lidah buaya. Dari 13 petani responden lidah buaya, 10 petani melakukan usahatani lidah buaya di lahan sewa dan tiga petani melakukan dilahan milik pribadi. Biaya sewa atas lahan yang digarap petani memiliki besaran yang berbeda-beda tergantung harga yang berlaku di masing-masing wilayah dan akses untuk menjangkau lahan tersebut. Harga sewa lahan di wilayah Kecamatan Kemang khususnya di wilayah Perumahan Kahuripan sebesar Rp300/m2 per tahun, harga tersebut berlaku jika petani langsung melakukan transaksi dengan pihak pengelola perumahan. Harga sewa berbeda lagi jika petani melakukan transaksi dengan sesama petani harganya bisa mencapai Rp1 000/m2 per tahun. Selain itu petani juga memiliki perjanjian tertulis dengan pihak pengelola perumahan yaitu jika sewaktu-waktu pihak pengelola perumahan berencana membangun di atas tanah yang disewakan maka petani harus bersedia menyerahkan lahan sewaannya kepada pihak pengelola. Sedangkan petani yang menyewa di wilayah yang lain yaitu Kecamatan Ciseeng petani penyewa memiliki perjanjian dengan yang menyewakan mengenai lama waktu sewa lahan dan harganya.

Bibit merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi lama atau tidaknya lidah buaya dapat dipanen. Bibit lidah buaya yang ditanam oleh semua petani lidah buaya di Kabupaten Bogor adalah jenis Aloe vera chinensi, alasan petani memilih menanam jenis Aloe vera chinensi karena peluang pasarnya yang bagus dan petani yang lainnya juga menanam jenis tersebut. Akses petani dalam mendapatkan bibit lidah buaya relatif mudah, karena setiap 2 bulan sekali petani

23 yang lidah buayanya sudah berproduksi akan melakukan penjarangan anakan. Harga bibit lidah buaya di pasaran tergantung dari ukuran bibit, jika ukuran bibit 25 cm, maka harga bibit sebesar Rp2 500.

Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani lidah buaya dibagi menjadi dua jenis, yaitu Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Berdasarkan hasil di lapang selama penelitian, petani menggunakan TKDK dan TKLK laki-laki. Penggunaan TKLK laki-laki dikarenakan, pekerja laki-laki dapat bekerja lebih lama dan dapat memperoleh hasil kerja yang banyak. Penggunaan TKLK laki-laki mulai dari penyiapan lahan, pengolahan lahan, penanaman, perawatan dan pemanenan.

Pupuk dan obat-obatan merupakan input yang sangat penting dan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan lidah buaya sehingga dapat berdampak kepada hasil panen. Petani lidah buaya di Kabupaten Bogor semuanya menggunakan pupuk kandang yang berupa kotoran domba dan sebagian petani menggunakan obat herbisida dengan merek dagang Round-Up untuk pengendalian gulma di lahan. Petani relatif mudah dalam mendapatkan pupuk kandang kotoran domba, petani dapat membeli ke penduduk yang memiliki peternakan domba di desa yang berada di sekitar lahan pembudidayaan lidah buaya. Petani lebih memilih penggunakan pupuk kandang dari kotoran domba daripada pupuk kimia dikarenakan pupuk kandang lebih tahan lama dalam menyuburkan tanah sehingga pertumbuhan lidah buaya bisa baik dan pada waktu musim kemarau penurunan berat pelepah lidah buaya tidak terlalu signifikan. Sedikit kendala yang dihadapi petani dalam pengadaan pupuk kandang yaitu petani harus selektif dalam membeli pupuk kandang kotoran domba, karena ada pedagang nakal yang mencampur pupuk kandang dengan tanah dan sampah- sampah. Petani dalam penyiangan gulma di lahan ada dua jenis, yang pertama menggunakan herbisida dengan merek dagang Round-Up dan penyiangan dengan manual.

Alat-alat pertanian yang umumnya digunakan petani dalam usahatani lidah buaya berupa cangkul, garbu, parang, semprotan (hand sprayer), ember, pisau, koret, ember besar/drum, batu asah, gerobak sorong, timbangan dan terpal. Daya tahan alat berbeda-beda tergantung dari jenis alatnya, perawatan dan intensitas penggunaan. Alat-alat yang sering digunakan antara lain cangkul, pisau, parang, koret memiliki daya tahan 2 sampai 5 tahun. Pada umumnya alat-alat pertanian dapat diperoleh di toko-toko alat pertanian. Tidak semua petani dapat mencukupi alat-alat yang diperlukan dalam usahatani lidah buaya, seperti cangkul, parang dan garpu. Pekerja yang dipekerjakan biasanya membawa alat sendiri untuk menunjang pekerjaan yang dilakukan.

Secara keterkaiatan ke belakang (backward linkage) pada usahatani lidah buaya secara keseluruhan memiliki performa yang baik dimana petanai dengan mudah dapat mengakses dan memperoleh faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam usahatani lidah buaya. Meskipun dalam hal akses dan cara mendapatkanya yang mudah untuk faktor-faktor prduksi, namun perlu adanya pengawasan dan standar mutu dan ukuran pupuk kandang kotoran domba.

Keterkaitan ke Depan (Forward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya

Keterkaitan ke depan (Forward Linkage) menjelaskan performa keterkaitan ke depan (Forward Linkage) sistem usahatani lidah buaya dengan kegiatan pasca

24

panen mencakup kegiatan pemasaran dan pengolahan. Petani lidah buaya di Kabupaten Bogor menjual hasil panennya ada beberapa saluran pemasaran. Petani ada yang menjual melalui tengkulak, langsung ke pabrik ada juga yang langsung ke pengolahan rumah tangga. Namun yang paling sering petani melakukan menjual hasil panennya melalui tengkulak. Hasil dari wawancara dengan masing- masing petani diketahui bahwa sebanyak sepuluh petani responden menjual hasil panennya kepada tengkulak. Sedangkan tiga petani lainnya langsung menjual ke pabrik tanpa perantara tengkulak. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden hanya sebanyak 41.15 persen petani (6 petani) yang selama tahun 2014 pernah menjual kepihak supermarket baik lewat tengkulak atau jaringan supermarket. Mekanisme penjualan ke supermarket, petani menunggu pesanan dari pihak tengkulak atau individu pembeli, serta jumlah yang dibutuhkan juga tidak pasti. Kendala yang dihadapi petani jika menjual ke tengkulak mendapatkan harga yang lebih rendah jika dibandingkan menjual langsung ke pihak supermarket atau pabrik, hal tersebut mengindikasikan petani tidak memiliki kekuatan tawar atau kekuatan tawar petani lemah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tengkulak, kebutuhan pabrik pengolahan setiap bulannya bisa mencapai 100 ton, sedangkan saat ini kebutuhan pabrik hanya terpenuhi setiap bulannya sebesar 40 sampai 60 ton. Saat ini yang aktif membeli hasil panen pelepah lidah buaya petani di Kabupaten Bogor ada dua pabrik, salah satunya yaitu CV. Zio Nutri Prima yang bertempat di Jakarta. Hal tersebut mengindikasikan peluang pasar yang masih besar dan menjanjikan. Hasil penelian menunjukkan hal yang beberbeda dengan penelitian Nugraha (2008) dan Adhiana (2005) dimana pada saat diadakan penelitian petani kesulitan dalam hal pemasaran hasil panen yang berakibat petani tidak dapat memanen hasil panen secara teratur. Sulitnya memasarkan hasil panen lidah buaya juga dirasakan oleh petani lidah buaya yang berada di sentra lidah buaya di Pontianak, hal tersebut terlihat dari hasil penelitian Kurniawan (2010) dan Yurisinthae (2010), petani lidah buaya di Pontianak mengalami kesulitan pemasaran hasil panennya sehingga berdampak kepada penurunan produksi dan luas lahan sejak tahun 2005 sampai 2009. Sulitnya memasarkan hasil panen lidah buaya di Kabupaten Bogor pada waktu itu juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan salah seorang petani, pada awal tahun 2007 sampai 2010 petani mengalami kesulitan pemasaran sehingga memaksa petani untuk mengganti sebagian lahan yang ditanami lidah buaya dengan komoditas lainya. Namun sejak pertengahan tahun 2010 permintaan lidah buaya mulai ada meskipun masih dalam jumlah kecil.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala UPT Pertanian Kecamatan Ciseeng dan diperkuat dengan hasil wawancara dengan salah satu petani lidah buaya bahwa pada tahun 2000 pernah ada pabrik dengan nama PT. Niramas yang beroprasi dalam pengolahan pelepah lidah buaya menjadi nata de aloe vera . Namun karena kekurangan bahan baku, pabrik tersebut pindah ke Pontianak untuk mendekati sentra produksi lidah buaya. Kepindahan pabrik tersebut mengakibatkan hasil panen pelepah lidah buaya tidak ada yang menampung karena petani belum mempunyai pasar yang jelas untuk menjual hasil panennya pada waktu itu. Dengan kejadian tersebut petani merasa kecewa dan membongkar tanaman lidah buaya dan menggantinya dengan komoditas yang lain.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala UPT Pertanian Kecamatan Ciseeng, pengolahan lidah buaya di tingkat ibu-ibu KWT belum berjalan dengan

25 baik. Berdasarkan informasi dari beliau bahwa pernah diadakan pelatihan pembuatan aneka olahan dari lidah buaya kepada ibu-ibu KWT di Kecamatan Ciseeng, sempat berjalan usaha pembuatan minuman dari pelepah lidah buaya tetapi tidak bertahan lama. Olahan yang dapat dibuat oleh ibu-ibu KWT dari pemanfaatan pelepah lidah buaya sangat beragam, seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu KWT Matahari yang berada di daerah Jakarta. Produk KWT Matahari yang berasal dari olahan lidah buaya antara lain krupuk lidah buaya, onde-onde lidah buaya, minuman ekstrak lidah buaya. KWT Matahari mengambil bahan baku pelepah lidah buaya dari salah satu petani metode herbisida di Kabupaten Bogor. Pengolahan pelepah lidah buaya yang ada saat ini di Kabupaten Bogor masih sangat sedikit, pada tahun 2015 ada produk minuman dari olahan pelepah lidah buaya dengan merek dagang Aloe Jr dan selain itu pengolahan rumah tangga hanya mengolah pelepah lidah buaya untuk campuran es cincau, informasi ini didapat dari petani yang mempunyai langganan pembeli yang mempunyai usaha es cincau.

Keragaan Usahatani Lidah Buaya

Kegiatan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor sebenarnya sudah dilakukan sejak lama hal tersebut terlihat dari hasil penelitian Adhiana (2005) dan Nugraha (2008), dimana Kabupaten Bogor pernah dicanangkan sebagai tempat pengembangan komoditas lidah buaya di Provinsi Jawa Barat. Namun yang terlihat di lapangan petani yang menanam lidah buaya saat ini merupakan petani baru, hal ini tercermin dari rata-rata umur tanaman lidah buaya yang dibudidayakan rata-rata berumur 3.28 tahun, dimana umur rata-rata lidah buaya petani responden metode herbisida sekitar 3.75 tahun sedangkan rata-rata umur tanaman lidah buaya petani responden metode manual sekitar 2.75 tahun. Keragaan usahatani lidah buaya dikaji untuk mengetahui gambaran tentang kegiatan usahatani lidah buaya di lokasi penelitian. Keragaan yang dijelaskan berupa penggunaan input, teknik budidaya dan hasil output dari kegiatan usahatani lidah buaya. Penelitian ini dilakukan pada petani yang melakukan panen minimal satu tahun, sehingga komponen input dan output dalam kegiatan persiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan pada awal penanaman tidak dihitung.

Penggunaan Input dan Output

Input merupakan faktor produksi yang digunakan dalam usahatani. Input yang digunakan dalam usahatani lidah buaya antara lain bibit, pupuk, herbisida, tenaga kerja, peralatan usahatani dan peralatan lainnya. Perhitungan menggunakan input dilakukan berdasarakan pada penggunaan dalam luasan satu hektar per tahun (tahun 2014), karena tanaman lidah buaya merupakan tanaman tahunan dan saat melakukan penelitian rata-rata umur lidah buaya sudah 3.28 tahun maka input yang digunakan dalam tenaga kerja hanya saat perawatan dan pemanenan selama satu tahun atau pada tahun 2014.

Output dalam usahatani lidah buaya meliputi pelepah lidah buaya hasil panen dan anakan. Namun dilapang petani hanya menghasilkan output pelepah lidah buaya dan petani tidak menjual anakan dikarenakan tidak ada permintaan. Output pelepah lidah buaya ada dua jenis yaitu ada pelepah grade A dan grade B. Tidak semua petani menjual hasil panen grade A dikarenakan tidak ada

26

permintaan, sehingga petani kebanyakan melakukan penjualan pelepah grade B. Pendekatan output hasil panen pelepah lidah buaya berdasarkan hasil panen terakhir pada tahun 2014 dan petani melakukan pemanenan berapa kali dalam setahun selain itu juga memperhatikan faktor musim yang dapat mempengaruhi hasil panan.

Input Usahatani Lidah Buaya

1. Bibit

Bibit pada lidah buaya diambil dari anakan yang muncul dari tanaman induknya. Anakan yang layak dijadikan bibit berukuran rata-rata dengan panjang minimal 15 sampai 20 cm. Setiap batang induk dapat menghasilkan 5 sampai 8 anakan yang tumbuh di sekeliling tanaman induknya. Semua petani responden lidah buaya yang ada di Kabupaten Bogor menanam bibit lidah buaya jenis Aloe vera chinensi. Jumlah bibit yang ditanam menyesuaikan dengan luasan lahan dan jarak tanam yang dipakai oleh petani. Semakin luas lahan dan semakin rapat jarak tanam yang diterapkan maka akan semakin banyak kebutuhan bibitnya. Rata-rata petani responden menggunakan jarak tanam antar baris atau bedeng 1 sampai 1.2 meter dan jarak dalam barisnya 0.8 sampai 1 meter, sehingga rata-rata bibit yang digunakan per hektarnya mencapai 10 686 tanaman. Jika berdasarkan metode penyiangannya, petani metode herbisida dalam penanamannya menggunakan jarak tanam antar baris atau bedeng 1 sampai 1.2 meter dengan jarak dalam barisnya 0.7 sampai 1 meter sehingga per hektar menggunakan bibit rata-rata sebanyak 10 741 tanaman, sedangkan petani metode manual dalam penanamannya menggunakan jarak tanam antar baris atau bedeng 1 sampai 1.2 dengan jarak dalam barisnya 0.8 sampai 1 meter sehingga per hektarnya menggunakan rata-rata bibit sebanyak 10 600 tanaman. Terlihat dari penggunaan jarak tanam pada petani metode herbisida yang lebih rapat mengakibatkan rata- rata penggunaan bibit pada petani herbisida lebih banyak dari petani manual. Tabel 9 memperlihatkan jumlah penggunaan bibit lidah buaya petani lidah buaya di Kabupaten Bogor.

Tabel 9 Penggunaan jarak tanam dan kebutuhan bibit lidah buaya petani lidah buaya di Kabupaten Bogor

Metode petani Jarak antar baris (meter)

Jarak dalam baris (meter) Kebutuhan bibit/ ha (tanaman) Herbisida 1.00 – 1.20 0.70 - 1.00 10 741 Manual 1.00 – 1.20 0.80 – 1.00 10 600 Rata-rata petani 1.00 – 1.20 0.70 – 1.00 10 686 2. Pupuk

Pupuk merupakan zat tambahan yang diberikan dengan tujuan meningkatkan kesuburan tanah dan meningkatkan unsur hara yang terkandung dalam tanah sehingga pertumbuhan vegetatif lidah buaya dapat subur sehingga pelepah lidah buaya yang dipanen bisa tebal dan besar. Pupuk yang digunakan dalam usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor menggunakan pupuk kandang yang berasal dari kotoran domba. Pupuk kandang berfungsi untuk menyuburkan tanah dan diberikan pada awal penanaman dan setelah tanam. Pemberian pupuk kandang dalam satu tahun mencapai 2 sampai 6 kali. Petani lebih memilih menggunakan pupuk kandang karena pupuk kandang dalam penyediaan hara

27 untuk tanah lebih awet dan pada saat musim kemarau penurunan bobot lidah buaya tidak terlalu banyak. Rata-rata pupuk kandang yang digunakan oleh seluruh petani lidah buaya per hektar per tahun di Kabupaten Bogor sebesar 43 272.73 kg. Sedangkan rata-rata penggunaan pupuk kandang berdasarkan masing-masing metode yaitu pada petani metode herbisida per hektar per tahun sebesar 40 943.18 kg, sedangkan pada petani metode manual rata-rata penggunaan pupuk kandang per hektar per tahun sebesar 47 000 kg. Gambar 4 memperlihatkan rata-rata penggunaan pupuk kandang pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor per hektar per tahun.

Gambar 4 Penggunaan pupuk kandang pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014

Terlihat pada penggunaan pupuk kandang pada petani lidah buaya metode manual lebih banyak daripada petani metode herbisida. Perbedaan jumlah pupuk total yang digunakan petani dikarenakan, petani dalam memberikan dosis pemupukan sesuai dengan ilmu yang petani dapatkan baik ilmu dari petani yang lainnya, buka maupun internet dan merupakan salah satu dampak dari tidak adanya pendampingan dari pihak penyuluh dalam hal budidaya tanaman lidah buaya kepada petani. Penggunaan pupuk pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor hanya menggunakan pupuk kandang dari kotoran domba, berbeda halnya dengan jenis pupuk yang digunakan oleh petani di daerah Pontianak, petani menggunakan pupuk organik dan pupuk kimia. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk abu yang digunakan untuk menetralkan tanah dan pupuk kimia Urea, KCL dan TSP (Burhansyah, 2002). Menurut Sudiman dalam Yurisinthae et al (2012) menyebutkan biaya terbesar dalam usahatani lidah buaya adalah biaya tenaga kerja dan pengeluaran terbesar kedua pada komponen biaya pemakaian pupuk urea dan abu yang mencapai 21.91 persen. Selain itu berdasarkan penelitian Adhiana (2005), saat diadakan penelitian petani lidah buaya di Kabupaten Bogor dalam pemupukan menggunakan pupuk kandang dari kotoran ayam sekitar 25 ton per hektar per tahun atau menggunakan pupuk kotoran kambing sekitar 27 ton per hektar per tahun.

3. Herbisida

Herbisida merupakan komponen usahatani yang tidak semua petani responden menggunakan input ini. Herbisida berfungsi untuk penyiangan gulma

40943.18 47000 43272.73 36000 38000 40000 42000 44000 46000 48000 Pupuk Kandang Do sis P en g g u n aa n P u p u k Kan d an g (Kg /Ha/tah u n ) Metode Herbisida Metode Manual

28

dengan cara menyemprotkan pada lahan usahatani lidah buaya yang ditumbuhi gulma, penyemprotan menggunakan hand sprayer. Penyemprotan dilakukan degan durasi dua bulan sekali. Jenis herbisida yang digunakan petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor menggunakan merek dagang Round-Up. Rata- rata petani responden lidah buaya menggunakan herbisida per hektar per tahun untuk penyiangan gulma sebanyak 17.46 liter. Berdasarkan masing-masing metode, petani metode herbisida menggunakan herbisida per hektar per tahun untuk penyiangan gulma sebanyak 28.37 liter, sedangkan petani metode manual tidak menggunakan herbisida dalam proses penyiangan gulmanya.

Gambar 5 Penggunaan herbisida pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014

4. Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan input yang digunakan dalam proses kegiatan usahatani lidah buaya. Tenaga kerja melakukan kegiatan dari mulai pembersihan lahan, pengolahan lahan, pembuatan bedengan, pembuatan lubang tanam, pemupukan, penyulaman, pembubunan, perawatan dan pemanenan. Dalam penelitian ini yang dimasukkan dalam perhitungan tenaga kerja yang diperlukan dalam usahatani lidah buaya hanya tenaga kerja yang digunakan selama setahun dalam proses perawatan usahatani lidah buaya yang sudah berproduksi di wilayah penelitian. Klasifikasi tenaga kerja untuk kegiatan usahatani lidah buaya terbagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Perhitungan tenaga kerja menggunakan standar hari orang kerja (HOK) yaitu 7 jam/HOK. Hari orang kerja dihitung pada setiap proses budidaya yang dilakukan oleh petani. Jam kerja yang digunakan petani dilahan khususnya untuk perawatan tanaman lidah buaya di lahan selama 7 jam kerja, dimana petani mulai kerja pukul 07.30 hingga pukul 11.30 dan dilanjut lagi mulai pukul 13.00 sampai pukul 16.00. Usahatani lidah buaya khususnya dalam hal perawatan dan pemanenan petani menggunakan TKLK laki-laki semuanya dan pada waktu pemanenan ada sebagian TKDK perempuan yang ikut dalam proses pemanenan. Dalam satu minggu, petani atau pekerja hanya bekerja selama 6 hari kerja, dan setiap hari jumat atau minggu pekerja libur. Sehingga dalam penelitian ini menggunakan perhitungan 1 HOK = 1 HKP, dengan 1 HKP = 7 jam kerja pria, sedangkan untuk penyetaraan HKW maka menggunakan asumsi 1 HKW = 0.7 HKP, sehingga 1 HKW = 0.7 HOK. Perhitungan ini sesuai dengan UU No.13

28.37 0 17.46 0 5 10 15 20 25 30 Herbisida Do sis P en g g u n aa n Her b is id a (li ter/Ha/tah u n ) Metode Herbisida Metode Manual

29 tentang ketenagakerjaan pasal 77 ayat 2. Rata-rata penggunaan tenaga kerja baik dari dalam maupun dari luar keluarga per hektar per tahun pada petani metode herbisida, petani metode manual dan rata-rata petani responden dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Penggunaan tenaga kerja pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014

No Aktivitas HOK/Ha/Tahun

Petani Metode Rata-rata Petani Responden Herbisida Manual TKDK TKLK TKDK TKLK TKDK TKLK 1 Penyiangan Gulma 0.00 22.04 26.83 316.80 10.32 135.41 2 Pemupukan 12.54 129.07 15.26 148.00 13.58 136.35 3 Pembubunan 15.61 146.42 0.00 0.00 9.61 90.10 4 Penjarangan Anakan 7.52 33.25 5.03 42.86 6.56 36.94 5 Pemanenan 43.72 183.91 35.97 225.81 40.74 200.03 Total HOK/Ha/Thn 79.39 514.68 83.08 733.47 80.81 598.83

Rata-rata penggunaan TKDK pada petani usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor per tahun per hektar sebesar 80.81 HOK dan 598.83 HOK dibutuhkan dari TKLK. Penggunaan HOK terbesar pada TKDK terdapat pada kegiatan pemanenan sebesar 40.74 HOK/ha/tahun, hal ini dikarenakan petani pemilik atau penggarap selain membantu memanen juga melakukan fungsi pengawasan dan penjualan. Sedangkan pada TKLK, HOK terbesar berada pada kegiatan pemanenan yaitu sebesar 200.03 HOK/ha/tahun. Hal ini dikarenakan petani lidah buaya melakukan pemanenan pelepah lidah buaya setiap bulan dan dalam setiap bulan tidak hanya memanen sebanyak satu kali saja, namun bisa mencapai dua sampai empat kali tergantung permintaan dari pembeli.

Penggunaan metode yang berbeda berdampak kepada curahan tenaga kerja pada masing-masing aktivitas pada kedua metode tidak sama dan total penggunaan tenaga kerja baik TKDK dan TKLK juga tidak sama. Pada usahatani lidah buaya metode herbisida, rata-rata penggunaan TKDK dan TKLK yaitu 79.39 HOK/ha/tahun dan 514.68 HOK/ha/tahun. Penggunaan HOK terbesar pada TKDK maupun TKLK terdapat pada kegiatan pemanenan, kedua terbesar pada kegiatan pembubunan, ketiga terbesar pada kegiatan pemupukan, terbesar keempat pada kegiatan penjarangan anakan dan paling kecil penggunaan HOKnya

Dokumen terkait