• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Usahatani Lidah Buaya Di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Usahatani Lidah Buaya Di Kabupaten Bogor"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS USAHATANI LIDAH BUAYA

DI KABUPATEN BOGOR

RIZKY LUTFI SUPRABOWO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Rizky Lutfi Suprabowo

(4)
(5)

ABSTRAK

RIZKY LUTFI SUPRABOWO, Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SITI JAHROH.

Sebagai daerah yang pernah dicanangkan menjadi daerah pengembangan komoditas lidah buaya, perkembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor mengalami kemunduran sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa keterkaitan ke depan dan ke belakang pada usahatani serta analisis pendapatan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini dijabarkan dengan cara deskriptif dan dengan metode kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa performa keterkaitan ke belakang sudah baik, sedangkan performa keterkaitan ke depan sudah cukup baik karena saat ini sudah ada pasar dan pabrik pengolahan. Penyiangan gulma dalam usahatani lidah buaya ada dua metode yang digunakan petani yaitu metode herbisida dan metode manual. Rata-rata hasil panen petani responden per hektar per tahun sebesar 81 395.90 kg. Sedangkan per metode diketahui, pada metode herbisida sebesar 79 207.01 kg/ha/tahun dan 84 898.12 kg/ha/tahun pada metode manual. Nilai R/C atas biaya tunai petani metode herbisida dan manual sebesar 3.41 dan 3.39, sedangkan jika dilihat nilai R/C atas biaya tunai petani responden secara keseluruhan sebesar 3.40. Nilai R/C atas biaya total petani metode herbisida, manual serta metode secara keseluruhan yaitu sama, sebesar 2.82.

Kata kunci : keterkaitan, metode herbisida, metode manual, nilai R/C

ABSTRACT

RIZKY LUTFI SUPRABOWO. Farm Analysis of Aloe Vera in Bogor District. Supervised by SITI JAHROH.

Although Bogor District has been launched as a development area of aloe vera, development of aloe vera is still declining at present. This study aims to describe the performance of forward linkage and backward linkage aloe vera farming and to analyze farm income of aloe vera farming in Bogor District. This study used descriptive and quantitative methods. The results showed performance of backward linkage was good, while the performance of forward linkage was also good due to the existing markets and processing plants. Aloe vera farmers, in terms of weeding, could be divided into two methods, using herbicides and manually. The average yield per hectare per year was 81 395.90 kg. Farmers using herbicides and manual method gained 79 207.01 kg/ha/year and 84 898.12 kg/ha/year, respectively. R/C ratio over cash costs of farmers using herbicides and manual methods was 3.41 and 3.39, respectively, whereas overall farmers was 3.40. Meanwhile, R/C ratio over total costs of farmers using herbicides, manual methods and overall farmers were the same, equal to 2.82.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS USAHATANI LIDAH BUAYA

DI KABUPATEN BOGOR

RIZKY LUTFI SUPRABOWO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta`ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang telah dilaksanakan selama bulan Januari 2015 sampai Februari 2015 dengan judul penelitian Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Siti Jahroh PhD, selaku dosen pembimbing yang selalu membantu penulis dalam penyusunan tugas akhir ini. Ungkapan terima kasih kepada petani lidah buaya di Kabupaten Bogor dan semua pihak yang telah membantu selama pengumpulan data dalam penyelesaian tugas akhir ini. Ungkapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Bapak Eriyanto dan Ibu Roto Hartatik serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang banyak membantu selama proses penyusunan skripsi, Oktarina Nur Widyanti, teman-teman Dramaga Cantik S-02, teman-teman fasttrack Agribisnis angkatan 48, seluruh teman Agribisnis angkatan 48 dan semua teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis. Terima kasih atas dukungan dan bantuan semua pihak selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan

(Forward Linkage) Pengembangan Komoditas Pertanian 5

Analisis Usahatani Lidah Buaya 6

Penerapan Metode yang Berbeda dalam Usahatani 7

KERANGKA PEMIKIRAN 8

Kerangka Pemikiran Teoritis 8

Konsep Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan 8

Konsep Usahatani 9

Penerimaan Usahatani 10

Biaya Usahatani 10

Pendapatan Usahatani 11

Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya 11

Kerangka Pemikiran Operasional 12

METODE PENELITIAN 14

Lokasi dan Waktu Penelitian 14

Jenis dan Sumber Data 14

Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data 14

Metode Pengolahan dan Analisis Data 14

Deskripsi Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan 15

Biaya Usahatani Lidah Buaya 15

Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya 16

Uji Beda Mann-Whitney U Test 17

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 18

Karakteristik Wilayah 18

Karakteristik Petani Responden 18

Pendidikan 19

Pengalaman Usahatani Lidah Buaya 20

Status Usahatani 20

Luas Lahan Garapan 21

Status Kepemilikan Lahan 21

HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan

(Forward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya 22 Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) pada Usahatani Lidah

Buaya 22

Keterkaitan ke Depan (Forward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya 23

(14)

Input Usahatani Lidah Buaya 26

Teknik Budidaya 31

Output Usahatani Lidah Buaya 35

Rangkuman Input dan Output Usahatani Lidah Buaya 36 Analisis Pendapatan Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor 37

Penerimaan Usahatani Lidah Buaya 37

Biaya Usahatani Lidah Buaya 39

Uji Beda Mann-Whitney 45

Analisis Pendapatan Usahatani Lidah Buaya 45

Analisis Nilai Rasio R/C 46

SIMPULAN DAN SARAN 47

Simpulan 47

Saran 47

DAFTAR PUSTAKA 48

LAMPIRAN 50

(15)

DAFTAR TABEL

1 Lima besar kabupaten/kota produsen lidah buaya di Jawa Barat ( kg ) 3 2 Sebaran responden berdasarkan desa dan metode penyiangan 19

3 Usia petani lidah buaya di Kabupaten Bogor 19

4 Tingkat pendidikan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor 20 5 Karakteristik pengalaman usahatani lidah buaya petani lidah buaya di

Kabupaten Bogor 20

6 Karakteristik status usahatani petani lidah buaya di Kabupaten Bogor

tahun 2014 21

7 Karakteristik luas lahan garapan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor

tahun 2014 21

8 Karakteristik status kepemilikan lahan petani lidah buaya di Kabupaten

Bogor tahun 2014 22

9 Penggunaan jarak tanam dan kebutuhan bibit lidah buaya petani lidah

buaya di Kabupaten Bogor 26

10 Penggunaan tenaga kerja pada usahatani lidah buaya di Kabupaten

Bogor tahun 2014 29

11 Hasil panen pelepah lidah buaya petani responden di Kabupaten Bogor

tahun 2014 36

12 Uji beda Mann-Whitney rata-rata penggunaan input dan hasil output

usahatani lidah di Kabupaten Bogor tahun 2014 36

13 Penerimaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 38 14 Biaya pupuk dan herbisida usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor

tahun 2014 40

15 Biaya tenaga kerja pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor

tahun 2014 41

16 Biaya penyusutan peralatan pertanian pada usahatani lidah buaya di

Kabupaten Bogor tahun 2014 43

17 Uji signifikasi biaya penggunaan input dan penerimaan usahatani lidah

buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 45

18 Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan nilai R/C usahatani lidah

buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 46

DAFTAR GAMBAR

1 Luas panen tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 4

2 Kurva hubungan biaya dengan tingkat produksi 10

3 Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani lidah buaya di

Kabupaten Bogor 13

4 Penggunaan pupuk kandang pada usahatani lidah buaya di Kabupaten

Bogor tahun 2014 27

5 Penggunaan herbisida pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor

tahun 2014 28

6 Penggunaan peralatan tambahan pada usahatani lidah buaya di

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan nilai R/C usahatani lidah

buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 50

2 Karakteristik petani responden usahatani lidah buaya di Kabupaten

Bogor 51

3 Output SPSS uji beda Mann-Whitney raat-rata penggunaan input dan hasil output pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014

(α = 5 %) 51

4 Output SPSS uji beda Mann-Whitney raat-rata biaya penggunaan input dan penerimaan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun

2014 (α = 5 %) 52

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat melimpah, salah satu sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah sektor pertanian. Salah satu potensi dalam bidang pertanian yang memiliki peluang yang bagus untuk dikembangkan adalah dalam sektor tanaman biofarmaka atau tanaman obat. Pemanfaatan tanaman obat di Indonesia telah banyak dilakukan baik secara tradisional sebagai ekstrak untuk obat atau jamu bubuk maupun sebagai bahan kosmetik. Tanaman obat memiliki potensi yang besar untuk pasar dalam negeri maupun di pasar internasional. Hal tersebut mengindikasikan tanaman obat mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Kesadaran masyarakat saat ini akan pentingnya kesehatan serta kepedulian masyarakat untuk mengkonsumsi obat-obat yang berasal dari bahan alami berpengaruh pada potensi tanaman obat itu sendiri. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (rikesdas) 2013, sekitar 30.40 persen penduduk Indonesia telah memanfaatkan obat tradisional, dan 49 persen diantaranya menggunakan ramuan jamu1. Disaat masyarakat mulai sadar akan pentingnya kesehatan dan adanya kecenderungan masyarakat untuk beralih ke obat yang berbahan alami, peluang tanaman obat sebagai komoditas perdagangan semakin besar. Semakin populernya tanaman biofarmaka saat ini dapat dilihat dari nilai omset jamu dan obat tradisional di pasar domestik yang mencapai angka Rp 15 triliun hingga akhir 2014, naik 7.14 persen dari tahun 2013 yang hanya sebesar Rp 14 triliun2.

Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa potensi dan peluang dari pengembangan produk pertanian khususnya biofarmaka di Indonesia sangat menjanjikan khususnya pertanian tanaman lidah buaya (Aloe Vera L). Keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia diharapkan mampu menjadikan komoditas tanaman lidah buaya sebagai komoditas yang dapat memperkuat perekonomian Indonesia sehingga dapat menambah devisa negara. Lidah buaya menurut sejarahnya berasal dari Kepulauan Canary di sebelah barat Afrika dan sejak dulu sudah dipercayai oleh masyarakat sebagai tanaman yang berkhasiat baik untuk kesehatan tubuh atau perawatan rambut. Arifin (2015) menjelaskan bahwa lidah buaya memiliki banyak khasiat di semua bagiannya dan memiliki banyak kandungan zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Nutrisi yang terkandung pada gel dan lendir lidah buaya diantaranya beberapa jenis mineral seperti Zn, K, Fe, dan beberapa macam vitamin seperti A, B1, B2, B12, C dan E,

inositol, asam folat dan kholin. Selain itu, Arifin (2015) juga menyebutkan bahwa gel lidah buaya mengandung 18 asam amino yang penting dan sangat bermanfaat. Hal tersebut menunjukkan bahwa peluang diversifikasi produk dari

1

Kebijakan Kesehatan Indonesia. 2015. Kemkes Kembangkan Budaya Minum Jamu. [internet]. [diakses 2015 Maret 08]. Tersedia pada http://www.kebijakankesehatanindonesia. net/juli/25- berita/berita/2078-kemkes-kembangkan-budaya-minum-jamu.

2

(18)

2

pengembangan olahan berbahan baku lidah buaya sangat banyak. Kompleksnya kandungan senyawa kimia dan zat aktif di dalam lidah buaya, memberikan efek penyembuhan yang luar biasa untuk berbagai macam penyakit. Beberapa penyakit yang dapat disembuhkan dengan bahan baku lidah buaya, antara lain menghambat infeksi HIV, nutrisi tambahan bagi pengidap HIV, menurunkan kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes, mencegah radang sendi, menghambat sel kanker, membantu penyembuhan luka, antibakteri dan antijamur untuk membersihkan luka, kandungan saponin yang berkhasiat untuk antiseptik, mengatasi gangguan pencernaan, mencegah penuaan, serta penelitian terbaru menyebutkan bahwa kandungan emodin pada gel lidah buaya berkhasiat mencegah virus flu burung. Gel lidah buaya dalam industri kosmetik digunakan untuk membuat shampoo, kondisioner rambut dan pelembab karena gel lidah buaya yang mengandung polisakarida, tannin, asam amino, inositol, vitamin C, vitamin A, enzim dan mineral yang memberikan efek penyegar dan mencegah rambut rontok.

Banyaknya khasiat yang terkandung dalam lidah buaya, saat ini lidah buaya tidak hanya digunakan untuk keperluan kesehatan dan kosmetik namun juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan makanan ringan dan minuman. Adapun makanan ringan dan minuman yang berbahan baku lidah buaya yaitu minuman nata de aloe vera, jus, minuman ekstrak, krupuk, manisan, dodol, selai. Banyaknya manfaat yang terkandung dalam lidah buaya dan diversifikasi olahan yang bermacam-macam dari lidah buaya, lidah buaya termasuk kedalam salah satu dari sepuluh tanaman terlaris dalam perdagangan internasional3. Hal ini menunjukkan potensi pasar yang sangat bagus dari komoditas lidah buaya jika pengembangan komoditas lidah buaya diperhatikan. Peluang pasar yang menjanjikan tersebut ditangkap oleh Dirjen Hortikultura dan Aneka Tanaman dengan membuat strategi pengembangan komoditas unggulan lidah buaya di beberapa wilayah yang sesuai di Indonesia. Wilayah yang termasuk dalam pengembangan lidah buaya antara lain Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan (Adhiana, 2005). Namun sampai saat ini, daerah yang masih menjadi tempat pengembangan lidah buaya dan mendapatkan dukungan dari Dirjen Hortikultura hanya tinggal tiga wilayah saja yaitu di Pontianak, Bali dan Kabupaten Bogor 4.

Menurut Adhiana (2005), Kabupaten Bogor pernah dicanangkan untuk pengembangan tanaman lidah buaya di wilayah Jawa Barat. Sampai tahun 2013 Kabupaten Bogor menduduki peringkat kedua dalam hal jumlah produksi tanaman lidah buaya di daerah Jawa Barat setelah Kota Bogor. Data lima besar kabupaten atau kota terbanyak produksi lidah buaya di daerah Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.

3

Badan Litbang Pertanian. 2015. Lidah Buaya Khas Lahan Gambut Kalbar. [Internet]. [diakses pada 2015 April 9]. Tersedia pada http:// balittra.litbang.pertanian.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=1328: lidah-buaya-khas-lahan-gambut-kalbar&catid=13: info-aktual&Itemid.

4

(19)

3 Tabel 1 Lima besar kabupaten/kota produsen lidah buaya di Jawa Barat ( kg )

No Kabupaten/kota Tahun

2008 2009 2010 2011 2012 2013

1 Kota Bogor 6 800 253 403 115 450 184 345 124 505 26 257 2 Kabupaten Bogor 35 354 55 278 44 437 103 521 29 672 20 919

3 Kota Depok 5 932 16 435 1 332 12 814 17 583 19 278

4 Sukabumi 5 000 27 900 1 900 200 2 000 2

5 Ciamis 0 5 489 16 370 17 252 92 692

Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2014).

Selain faktor modal dan peran serta pemerintah, faktor lain yang mendukung berkembangnya tanaman lidah buaya adalah permintaan terhadap lidah buaya dari sektor industri pengolahan. Kenyataannya saat ini Kabupaten Bogor sebagai tempat pengembangan lidah buaya di Provinsi Jawa Barat jumlah petani yang masih relatif sedikit dan berdampak kepada pasokan lidah buaya yang masih sangat terbatas dan kontinuitasnya masih belum terjaga, maka perlu diadakan pengkajian mengenai keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya dan melihat peluang perkembangan lidah buaya dari sisi produsen yaitu petani. Tingkat pendapatan petani lidah buaya merupakan salah satu alasan petani mengusahakan lidah buaya. Diharapkan dari penelitian ini dapat mengetahui permasalahan yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor serta peluang pengusahaan lidah buaya. Sehingga dengan penelitian ini dapat memberikan alternatif-alternatif yang dapat membantu untuk pengembangan komoditas tanaman lidah buaya yang lebih baik lagi, serta dapat mengetahui pendapatan petani yang saat ini telah melakukan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor.

Perumusan Masalah

(20)

4

Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2014)

Gambar 1 Luas panen tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 Penurunan jumlah produksi dan luas panen lidah buaya di Kabupaten Bogor yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 2 mengindikasikan bahwa komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor tidak berkembang dengan baik. Pengembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor kurang berjalan dengan baik, diduga ada beberapa penyebabnya. Penyebab yang pertama yaitu tidak ada keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahataninya. Keterkaitan ke belakang (backward linkage) maksudnya petani memiliki kemudahan dalam hal akses pemenuhan input-input atau sarana budidaya lidah buaya. Keterkaitan ke depan (forward linkage) maksudnya kegiatan usahatani lidah buaya memiliki hubungan dengan sektor pengolahan dan pemasaran yang baik, sehingga saat petani masuk masa panen petani tidak merasa kesulitan dalam hal pemasaran maupun pengolahan hasil panen. Jika pengembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) dengan baik maka akan mampu mempengaruhi para petani dalam mengusahakan tanaman lidah buaya. Gambar 1 menunjukkan adanya indikasi usahatani lidah buaya tidak berkembang dengan baik, maka ada kemungkinan keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tidak bekerja dengan baik sehingga berdampak kepada minat petani untuk membudidayakan berkurang.

Prinsip petani salah satunya adalah akan membudidayakan suatu komoditas pertanian, jika mendapatkan kepastian pasar hasil panen dan pendapatan dari hasil usahataninya sesuai dengan yang diharapkan. Pasar dan besarnya pendapatan merupakan faktor utama dari suatu kegiatan bisnis, termasuk dalam sebuah kegiatan pertanian baik skala besar maupun skala kecil. Besarnya pendapatan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah penggunaan metode yang berbeda juga dapat mempengaruhi besarnya pendapatan yang diperoleh oleh masing-masing petani. Petani lidah buaya yang ada di Kabupaten Bogor dalam proses penyiangan gulma ada dua cara atau metode, yang pertama petani melakukan metode penyiangan gulma dengan cara manual dan yang kedua dengan metode menyemprot menggunakan herbisida.

Berdasarkan pada permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor?

(21)

5 3. Bagaimana pendapatan dan efisiensi usahatani lidah buaya di Kabupaten

Bogor?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari uraian perumusan masalah yang telah dituliskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendiskripsikan keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor

2. Mengetahui keragaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor

3. Mengetahui pendapatan dan efisiensi usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan tambahan wawasan kepada para petani lidah buaya, pembaca, serta masyarakat yang hendak melakukan usahatani lidah buaya. Bagi petani lidah buaya diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan selama menjalankan usahatani lidah buaya. Bagi pembaca dan masyarakat diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan tentang usahatani lidah buaya sehingga dapat memberikan gambaran tentang usahatani lidah buaya itu sendiri sehingga outpun dari membaca hasil penelitian ini dapat merencanakan dan menjalankan usahatani lidah buaya dengan baik.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan perhitungan usahatani untuk satu tahun berdasarkan biaya dan penerimaan pada tahun 2014. Petani yang menjadi responden merupakan petani yang memiliki lahan yang ditanami lidah buaya, dengan pertimbangan petani tersebut telah melakukan pemanenan selama minimal satu tahun yaitu sejak awal tahun 2014. Penerimaan usahatani dilakukan dengan cara menghitung produksi dikalikan dengan harga jual. Perhitungan modal petani yang dikeluarkan berasal dari total biaya tunai dan biaya tidak tunai yang dikeluarkan oleh petani.

TINJAUAN PUSTAKA

Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan (Forward

Linkage) Pengembangan Komoditas Pertanian

(22)

6

diimbangi dengan peningkatan persentase tanaman nenas itu sendiri, sehingga suplai nenas bogor sangat sedikit dan menyebabkan nenas bogor hilang dari pasaran. Dari hasil penelitian terlihat bahwa performa forward linkage dan

backward linkage nenas bogor kurang baik, dimana pada subsistem budidaya tidak produktif, karena lahan yang tidak diperhatikan dan rendahnya penggunaan pupuk. Dilihat dari performa forward linkage, akses pasar bagi petani yang sulit dan posisi tawar petani yang rendah. Selain itu dari lembaga penunjang baik dari kelompok tani dan badan penyuluh kurang efektif dalam meningkatkan performa pengembangan komoditas nanas bagor. Selain itu penelitian mengenai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada pengembangan komoditas pertanian juga pernah dilakukan oleh Santoso (2001), hasil penelitian menyebutkan bahwa secara umum performa backward linkage dan forward linkage tebu rakyat bebas lahan kering di Kabupaten Ngawi yang mencakup subsistem penyediaan sarana produksi, subsistem usahatani, subsistem pemasaran hasil tebu dan subsistem pengolahan hasil pada waktu dilakukan penelitian belum ada keterkaitan. Salah satu dampak dari tidak adanya keterkaitan yang baik yaitu petani harus memanen tebunya lebih awal dikarenakan pabrik pegolahan gula sudah mulai beroprasi, sehingga berpengaruh ke berat tebu yang dipanen petani rendah.

Analisis Usahatani Lidah Buaya

Penelitian mengenai tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor pernah dilakukan oleh Adhiana (2005). Pada tahun 2005 petani lidah buaya berjumlah 35 petani yang menyebar di tujuh desa di Kabupaten Bogor. Harga ditingkat petani pada tahun 2005 untuk mutu A sebesar Rp1 700/kg, mutu B sebesar Rp1 000/kg dan mutu C sebesar Rp500/kg, harga tersebut berlaku jika petani menjual hasil panennya melalui tengkulak. Pemupukan tanaman lidah buaya menggunakan kotoran ayam sebanyak 25 ton/ha, urea sebanyak 300 kg/ha dan kotoran kambing sebanyak 27 ton/ha. Lamanya pemanenan lidah buaya di lapang adalah 15 sampai 30 hari sekali panen yang dilakukan secara bergilir, selain itu juga ditentukan oleh ada tidaknya permintaan. Berdasarkan penelitian di Desa Cihujung, pemanenan pernah tidak dilakukan selama 3 bulan karena tidak ada permintaan. Selain itu di Desa Cibening, petani mengalami kesulitan dalam hal pemasaran sehingga petani melakukan pamanenan 1.5 bulan sekali. Di Desa Cijunjung pemanenan tidak dilakukan selama 6 bulan, dikarenakan tidak ada permintaan. Pada tahun 2005, petani yang sudah memperoleh pasar melakukan panen sebanyak 9 kali per tahun dengan interval panen rata-rata dua minggu hingga empat minggu sekali panen.

(23)

7 petani tidak memiliki informasi pasar dan jumlah pembeli yang masih terbatas. Saat dilakukan penelitian diketahui bahwa, petani yang saat itu mengusahakan tanaman lidah buaya tidak tergabung dalam sebuah kelompok tani.

Penelitian tentang lidah buaya sudah banyak dilakukan khususnya dilakukan di daerah Kalimantan Barat, mengingat di daerah tersebut merupakan daerah sentra produksi lidah buaya di Indonesia. Menurut Sudiman dalam Yurisinthae et al (2012) menyebutkan biaya terbesar dalam usahatani lidah buaya adalah biaya tenaga kerja dan pengeluaran terbesar kedua pada komponen biaya pemakaian pupuk urea dan abu yang mencapai 21.91 persen. Penggunaan abu dilakukan untuk mengontrol keasaman tanah, karena lahan yang ditanami lidah buaya di daerah Pontianak dilakukan di tanah gambut. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2010) menyatakan pada tahun 2001, produksi lidah buaya di Kecamatan Pontianak Utara mencapai 7 720 ton dan meningkat menjadi 16 156.8 ton pada tahun 2004. Namun, pada tahun berikutnya produksi lidah buaya justru mengalami penurunan menjadi 7 776 ton pada tahun 2006. Faktor utama yang membuat penurunan produksi yaitu yang faktor produksi dan pasca produksi, harga pupuk yang terlalau mahal, turunnya harga jual lidah buaya dan keterbatasan pemasaran. Penurunan produksi lidah buaya di daerah sentra diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Yurisinthae (2010), diketahui penurunan produksi lidah buaya di Kotamadya Pontianak berlangsung sejak tahun 2005 sampai 2009. Penurunan ini dipengaruhi oleh sistem distribusi pemasaran dan cakupan pemasaran yang dilakukan oleh petani terlalu sempit. Petani lidah buaya di Kotamadya Pontianak sejak tahun 2000 sampai tahun 2010 tidak mendapatkan kenaikan harga jual lidah buaya hasil panennya, hanya sebesar Rp900 per kilogram. Penurunan produksi dan rendahnya harga jual mempengaruhi R/C usahatani lidah buaya. Berdasarkan Muinet et al dalam Yurisinthae (2010) nilai R/C usahatani lidah buaya sebesar 1.99.

Berdasarkan penelitian Burhansyah (2002), anjuran teknis dari Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak merekomendasikan populasi tanaman 10 000 per hektar dengan jarak tanam dalam baris 1 meter dan antar baris 1 sampai 1.5 meter, namun petani lidah buaya di Kalimantan Barat menggunakan jarak tanam 200 x 100 cm ( populasi 5 000 per hektar) sampai 120 x 75 cm ( populasi tanaman 10 800 per hektar). Input pupuk yang digunakan petani di lokasi penelitian yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. Pupuk kimia yang digunakan meliputi pupuk Urea, TSP dan KCL dan pupuk organik yang sering dipakai adalah pupuk abu. Penggunaan pupuk organik mencapai 16 602 kg/hektar/tahun dan pupuk kimia mencapai 951 kg/hektar/tahun. Dari hasil penelitian diketahui produksi maksimal pada umur 4 sampai 5 tahun, dengan nilai gross B/C 2.25.

Penerapan Metode yang Berbeda dalam Usahatani

(24)

8

biaya tunai yang dikeluarkan selama 1 musim tanam dengan luasan 1 ha untuk metode padi sehat SRI dan konvensional secara berturut-turut yaitu Rp8 567 707.79 dan Rp9 125 727.81. Perbedaan yang sangat signifikan terjadi pada hasil panen pada kedua metode bertani tersebut yaitu pada metode padi sehat SRI panen yang diperoleh sebesar 7 531 kg dan pada metode padi konvensional hanya sebesar 5 448 kg. Rata-rata harga jual GKP yang diterima oleh petani padi metode SRI sebesar Rp3 400/kg, sedangkan harga yang diperoleh oleh petani metode konvensional jika menjual GKP ke pasaran hanya sekitar Rp3 000/kg. Petani metode padi sehat SRI dalam semusim memperoleh pendapatan sebesar Rp25 606 305.95 sedangkan petani metode konvensional hanya memperoleh Rp16 344 070. Perhitungan R/C atas biaya total untuk petani metode SRI dan konvensional sebesar 2.60 dan 1.67.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan

Menurut Soeharjo (1987) dalam Hernanto (1996) pengertian agribisnis adalah kegiatan yang mencakup semua kegiatan mulai dari pengadaan sarana produksi pertanian sampai pada tataniaga produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya. Hernanto (1996) menjelaskan bahwa agribisnis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa subsistem, yaitu :

1. Subsitem pembuatan dan penyaluran berbagai sarana produksi pertanian, seperti: bibit, pupuk, alat pertanian, bahan bakar, dan lainnya. Pelaku dalam subsistem ini adalah perusahaan swasta, koperasi, pemerintah, bank atau pun perorangan.

2. Subsistem kegiatan produksi dalam usahatani yang menghasilkan bermacam produk pertanian. Usahatani mencakup semua bentuk organisasi produksi, mulai dari skala kecil sampai skala besar dan termasuk juga budidaya pertanian yang menggunakan lahan secara intensif (akuakultur, florikultur).

3. Subsistem pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyaluran produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya ke konsumen.

4. Subsistem penunjang (koperasi, bank, lembaga penelitian, angkutan pasar, peraturan pemerintah).

Dalam sistem agribisnis terdapat keterkaitan antar subsistem dengan subsistem lainnya. Kinerja masing-masing subsistem akan sangat ditentukan oleh keterkaitan dengan subsistem lain, sehingga gangguan pada salah satu subsistem dapat menyebabkan keseluruhan sistem terganggu. Terdapat dua keterkaitan dalam sistem agribisnis yaitu :

1. Keterkaitan ke belakang (Backward Linkage)

(25)

9 2. Keterkaitan ke Depan (Fordward Linkage)

Dalam menjalankan kegiatan bisnis terdapat keterkaitan pada kegiatan bisnis dengan proses selanjutnya. Jika proses diarahkan pada kegiatan usaha maka

Fordward Linkage pada kegiatan tersebut yaitu terdapat hubungan antara usahatani dengan pengolahan produk.

Konsep Usahatani

Menurut Suratiyah (2008) ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengordinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan yang maksimal. Dimana bisa dikatakan sebuah usahatani efektif, jika petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya (yang dikuasainya) sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan tertentu sedangkan dikatakan efisien, jika pemanfaatan atas sumberdaya yang dimilikinya menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi 2002). Hernanto (1996) menjelaskan bahwa ada empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam kegiatan usahatani, yaitu : 1. Tanah

Tanah selalu memiliki hubungan yang kuat dengan pertanian dan pedesaan. Tanah memiliki beberapa sifat khusus yaitu relatif langka, distribusi penguasaan yang tidak merata di masyarakat, luasnya relatif tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan dan dapat diperjualbelikan. Menurut jenisnya tanah dibedakan menjadi kolam, tambak, sawah, perkarangan, perkebunan, tegalan dan lain sebagainya. 2. Tenaga Kerja

Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam keluarga dan luar keluarga. Tenaga kerja dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu tenaga kerja manusi, ternak dan mekanik. Tenaga kerja manusia dibagi lagi menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak. Menurut Yang (1995) dalam Hernanto (1996) menyatakan bahwa adanya konversi tenaga kerja dimana membandingkan tenaga kerja pria sebagai ukuran baku dan jenis tenega kerja lainnya dikonversikan, menjadi 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP), 1 Wanita = 0.7 HKP, 1 ternak = 2 HKP, dan 1 anak = 0.5 HKP.

3. Modal

Modal adalah barang atau uang bersama-sama dengan faktor produksi lain untuk menghasilkan produk pertanian. Modal dibedakan menurut sifatnya menjadi dua, yaitu modal tetap dan modal tidak tetap. Modal tetap diartikan modal yang tidak habis pada satu periode produksi, contohnya bangunan, tanah. Sedangkan modal tidak tetap diartikan sebagai modal yang habis dalam satu periode proses produksi, contohnya alat-alat pertanian, piutang, uang tunai, tanaman, ternak, ikan dikolam. Berdasarkan sumbernya modal dapat berasal dari modal sendiri, pinjaman, hasil sewa, maupun warisan.

4. Manajemen

(26)

10

dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sesuai yang diharapkan.

Penerimaan Usahatani

Menurut Hernanto (1996) penerimaan usahatani adalah nilai dari perkalian antara total produksi dengan harga satuan produk usahatani. Total produksi dalam usahatani dapat berupa produk yang dijual maupun produk yang tidak dijual. Menurut Soekartawi (2011) produk yang tidak dijual misalnya digunakan untuk konsumsi rumah tangga, digunakan kembali dalam usahatani, produk yang digunakan untuk pembayaran dan produk yang disimpan digudang pada akhir tahun. sehingga dalam usahatani ada dua jenis penerimaan yaitu penerimaan tunai dan penerimaan total. Penerimaan tunai yaitu nilai yang dijual oleh petani sedangkan penerimaan total adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik nilai produk yang dijual maupun nilai produk yang tidak dijual.

Biaya Usahatani

Biaya dalam usahatani diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang relatif sama jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Sehingga besar kecilnya biaya tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi. Contohnya, pajak, sewa tanah. Biaya variabel adalah biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh besarnya produksi, sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah tergantung dari besar-kecilnya produksi yang diinginkan. Contoh biaya variabel adalah biaya untuk sarana produksi, karena jika petani menginginkan hasil produksi yang tingggi, maka pengeluaran untuk tenaga kerja, pupuk dan segala hal yang mempengaruhi peningkatan produksi akan ikut bertambah. Gambar 2 menunjukkan hubungan tingkat produksi dengan besaran biaya.

Gambar 2 Kurva hubungan biaya dengan tingkat produksi

Dalam penelitian ini perhitungan biaya dalam usahataninya dibedakan menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai. Penggunaan biaya tunai dan tidak tunai didasarkan karena objek yang menjadi penelitian masih berskala kecil. Sedangkan penggunaan jenis biaya tetap dan bariabel digunakan untuk usaha yang sudah berskala besar dan diterapka di negara maju. Biaya tunai adalah biaya yang

C C

TC VC

C FC

Y C

(27)

11 harus dikeluarkan oleh petani secara tunai, biaya ini terdiri dari beberapa komponen kegiatan usahatani. Biaya tunai terdiri dari pembelian pupuk kandang, herbisida, upah tenaga kerja luar keluarga, pajak bagi petani pemilik lahan sendiri, sewa lahan, pembelian perlengkapan tambahan seperti koran dan karung untuk pemanenan. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya yang tidak termasuk ke dalam biaya tunai, akan tetapi biaya tersebut diperhitungkan dalam usahatani. Biaya tidak tunai terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan yang diperhitungkan, biaya bibit yang dibebankan selama umur produktif dan penyusutan peralatan.

Pendapatan Usahatani

Menurut Soekartawi (2011) pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari pengunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan dalam kegiatan usahatani.

Menurut Suratiyah (2008) ada faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan, secara garis besar dapat dibagi kedalam dua golongan yaitu:

 Faktor internal dan faktor eksternal

Faktor internal seperti umur petani, pendidikan, pengalaman, keterampilan, jumlah tenaga kerja keluarga, luas lahan dan modal. Faktor eksternal seperti input (ketersediaan dan harga) dan output (permintaan dan harga)

 Faktor manajemen

Petani sebagai manajer harus dapat mengambil berbagai pertimbangan ekonomi sehingga dapat mendatangkan hasil yang maksimal. Mengingat faktor internal tertentu dan faktor eksternal yang selalu berubah-ubah, petani sebagai juru tani harus dapat melaksanakan usahataninya dengan sebaik-baiknya, yaitu menggunakan faktor produksi dan tenaga kerja secara efisien sehingga akan memperoleh manfaat yang setinggi-tingginya.

Namun perlu diperhatikan bahwa pendapatan yang besar tidak selalu menunjukan usahatani berjalan efisien, karena bisa saja pendapatan usahatani yang besar juga diimbangi oleh biaya yang besar pula. Sehingga dalam proses pembandingan penampilan usahatani perlu digunakan ukuran efisiensi usahatani seperti R/C ratio.

Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya

(28)

12

Kerangka Pemikiran Operasional

(29)

13

Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor

Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor

 Kabupaten Bogor sebagai daerah pengembangan komoditas lidah buaya di Provinsi Jawa Barat

 Produksi dan luas lahan yang ditanami lidah buaya mengalami penurunan pada dua tahun terakhir

 Perlu adanya penelitian mengenai performa backward linkage dan forward linkage pada usahatani dan segi pendapatan usahatani lidah buaya

1. Bagaimana keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor ? 2. Bagaimana keragaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor ?

3. Bagaimana pendapatan dan efisiensi usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor ?

Keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada usahatani lidah buaya

Keragaan usahatani lidah

buaya

Pendapatan dan efisiensi usahatani lidah

buaya

(30)

14

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Bogor Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan bahwa Kabupaten Bogor merupakan daerah pengembangan komoditas lidah buaya di Provinsi Jawa Barat. Kecamatan yang dijadikan tempat penelitian di Kabupaten Bogor ada tiga yaitu di Kecamatan Kemang, Ciseeng dan Ranca Bungur. Penentuan Ketiga kecamatan tersebut berdasarkan ketersedian petani lidah buaya yang telah melakukan pemanenan minimal satu tahun terakhir. Waktu penelitian ini dilaksanakan selama bulan Januari sampai Februari 2015.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui pengamatan dan wawancara dengan 13 petani lidah buaya. Data primer yang digunakan dalam penelitian mencakup karakteristik responden, kegiatan petani yang mengindikasikan performa keterkaitan ke depan dan ke belakang pada usahatani dan keragaan usahatani lidah buaya.

Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer serta mencakup data produktivitas lidah buaya, luas panen serta data-data yang mendukung untuk penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari Direktorat Jenderal Hortikultura, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor maupun pusat. Selain itu, dilakukan juga penelusuran melalui internet, buku serta penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan analisis usahatani lidah buaya.

Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data

Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 13 petani lidah buaya dengan rincian 8 petani metode herbisida dan 5 petani metode manual. Jumlah tersebut berdasarkan hasil observasi dan data yang berasal dari Dinas Pertanin Kabupaten Bogor. Penentuan petani yang menjadi responden secara sengaja (purposive) dan merupakan petani yang telah melakukan proses pemanenan lidah buaya selama satu tahun terakhir. Pengumpulan data primer dengan cara memberikan pertanyaan kepada responden dengan acuan berupa kuesioner. Tujuan penggunaan kuesioner yaitu agar ada acuan pertanyaan dan pertanyaan yang diajukan sistematis serta untuk mendapatkan data kuantitatif mengenai segala hal yang menyangkut usahatani lidah buaya.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

(31)

15 SPSS. Pengolahan data secara kuantitatif nantinya akan dapat melihat struktur biaya dan pendapatan, serta nilai R/C dan uji beda Mann-Whitney U test. Sedangkan analisis data secara kualitatif nantinya akan dapat menjelaskan performa keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya dapat menjelaskan atau menjabarkan hasil perhitungan kuantitatif usahatani lidah buaya. Setelah data diolah maka disajikan dan dijelaskan secara kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan analisis yang telah diuraikan dalam kerangka teoritis.

Deskripsi Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan

Diskripsi keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor akan menjelaskan ketekaitan ke belakang sistem usahatani dengan sektor hulu seperti pengadaan input (bibit, pupuk, tenaga kerja, alat-alat pertanian). Keterkaitan ke depan akan menjelaskan keterkaitan ke depan sistem usahatani dengan sektor hulu yaitu pemasaran dan pengolahan. Diskripsi keterkaitan ke belakang dan ke depan akan dapat menjelaskan gambaran secara umun mengenai keterkaiatan sistem usahatani dengan sektor hulu dan hilir.

Biaya Usahatani Lidah Buaya

Analisis biaya usahatani lidah buaya digunakan untuk mengetahui jumlah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan usahatani lidah buaya baik petani metode herbisida maupun manual. Dalam analisis biaya usahatani lidah buaya ini menggunakan dua jenis biaya yaitu, biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya usahatani adalah hasil penjumlahan secara keseluruhan yang dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan usahatani baik biaya tunai maupun biaya tidak tunai. Perhitungan biaya usahatani sebagai berikut :

Keterangan :

TC = Total Biaya Usahatani C = Total Biaya Tunai NC = Total Biaya Tidak Tunai

Biaya tunai terdiri dari pembelian pupuk kandang, herbisida, upah tenaga kerja luar keluarga, pajak bagi petani pemilik lahan sendiri, sewa lahan. pembelian perlengkapan tambahan seperti koran dan karung untuk pemanenan. Biaya tidak tunai terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan yang diperhitungkan, biaya bibit yang dibebankan selama umur produktif dan penyusutan peralatan. Menurut Suratiyah (2009) perhitungan penyusutan berdasarkan metode garis lurus (straight line method) adalah dengan membagi hasil antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang selanjutnya dibagi oleh umur ekonomi dari alat tersebut.

Penerimaan Usahatani Lidah Buaya

(32)

16

Keterangan : TR = Total Penerimaan (Rupiah)

Y = Produksi yang diperoleh dalam usahatani (Kg) Py = Harga produk per unit (Rupiah/Kg)

Penerimaan dalam kegiatan usahatani terdiri dari dua jenis sumber penerimaan, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai adalah penerimaan yang didapatkan dari hasil kegiatan produksi usahatani yang dijual. Penerimaan tidak tunai adalah hasil produksi yang tidak dijual oleh petani, namun hasil tersebut digunakan untuk keperluan lain, seperti untuk konsumsi atau benih. Sehingga penerimaan total usahatani merupakan hasil keseluruhan nilai produksi yang usahatani yang dijual, dikonsumsi keluarga, serta yang dijadikan persediaan.

Pendapatan Usahatani Lidah Buaya

Menurut Soekartawi (2002) pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pendapatan usahatani adalah balas jasa yang didapatkan oleh petani atas penggunaan faktor produksi, seperti lahan, modal, serta tenaga kerja. Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai merupakan biaya yang harus dikeluarkan langsung oleh petani. Perhitungan dari pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara total penerimaan dengan biaya tunai. Sementara pendapatan atas biaya total adalah total biaya yang harus dikeluarkan oleh petani termasuk dengan semua input yang dimiliki petani diperhitungkan sebagai biaya. Perhitungan dari pendapatan atas biaya total adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

Keterangan :

= Pendapatan Usahatani

= Penerimaan total usahatani

= Total biaya Usahatani

Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya

Analisis rasio penerimaan dan biaya bisa juga di tulis rasio R/C, kegunaan analisis ini ialah untuk melihat efisiensi dari sebuah usahatani jika dijalankan. Rasio R/C membandingkan antara penerimaan dengan biaya. Nilai rasio ada dua jenis yaitu nilai R/C atas biaya tunai dan nilai R/C atas biaya total, secara matimatis dapat dituliskan :

(33)

17 Analisis rasio imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk melihat berapa penerimaan yang diperoleh oleh petani dari setiap rupiah yang telah dikeluarkan untuk usahataninya sebagai manfaat. Terdapat beberapa kriteria keputusan yang digunakan untuk melihat hasil dari analisis R/C rasio adalah sebagai berikut (Soekartawi 2002) :

 R/C rasio > 1 : Usahatani menguntungkan, dikatakan efisien karena setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya.

 R/C rasio = 1 : Usahatani impas, dikatakan kegiatan usahatani berada pada kondisi impas (keuntungan normal).

 R/C rasio < 1 : Usahatani rugi, dikatakan tidak efisien karena setiap tambahan biaya yang dikeluarkan kan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil.

Uji Beda Mann-Whitney U Test

Uji beda yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Mann Whitney U test. Uji statistik ini berguna untuk melihat perbedaan penggunaan input fisik dan output panen usahatani lidah buaya antara petani yang menggunakan metode herbisida dan metode manual serta untuk melihat perbedaaan besaran biaya input dan penerimaan lidah buaya antara petani yang menggunakan metode herbisida dan metode manual. Dengan cara menguji perbedaan median input fisik, output panen, biaya input dan penerimaan dari dua sampel yang saling bebas atau tidak berhubungan. Penggunaan uji beda Mann-Whitney U Test dikarenakan ada komponen-komponen yang diuji tidak menyebar normal. Adapun uji U adalah sebagai berikut (Nazir, 2003) :

Keterangan :

n1 = Jumlah sampel metode herbisida

n1 = Jumlah sampel metode manual

R1 = Jumlah rank/peringkat untuk sampel metode herbisida

R2 = Jumlah rank/peringkat untuk sampel metode manual

Adapun hipotesis dapat dituliskan sebagai berikut:

Ho = input fisik/output panen/biaya input/penerimaan petani metode herbisida

= input fisik/output panen/biaya input/penerimaan petani metode manual H1 = input fisik/output panen/biaya input/penerimaan petani metode herbisida

(34)

18

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Karakteristik Wilayah

Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat dengan pusat ibu kota yaitu Cibinong. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak pada koordinat 6º18` sampai 6º47`10`` Lintang Selatan dan 106º23`45`` sampai 107º13`30`` Bujur Timur. Secara keseluruhan wilayah Kabupaten Bogor seluas 298 838.304 Ha. Kabupaten Bogor di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang Selatan, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi. Berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Banten) di sebelah Barat. Berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Cianjur di sebelah Timur dan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur di sebelah Selatan.

Kabupaten Bogor memiliki ketinggian yang bervariasi, 29.28 persen berada pada ketinggian 15 sampai 100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42.62 persen berada pada ketinggian 100 sampai 500 meter dpl, 19.93 persen berada pada ketinggian 500 sampai 1000 meter dpl, 8.43 persen berada pada ketinggian 1000 sampai 2000 meter dpl dan 0.22 persen berada pada ketinggian 2000 sampai 2500 meter dpl. Pada tahun 2013 di Kabupaten Bogor suhu maksimal mencapai 34.7º C dan suhu terendah pada 19 ºC dengan suhu rata-rata pada tahun tersebut berkisar antara 25.1 ºC sampai 26.4 ºC. Pada tahun 2013 curah hujan di Kabupaten Bogor tertinggi pada bulan Januari yang mencapai 509.2 mm dengan jumlah hari hujan 28, dan terendah pada bulan Agustus yaitu 258.3 mm dengan jumlah hari hujan 12 hari.

Kabupaten Bogor merupakan wilayah administratif terluas keenam di Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 40 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 430 desa dan 17 kelurahan, 3 770 RW dan 15 124 RT. Dari 40 Kecamatan yang berada di Kabupaten Bogor hanya ada tiga kecamatan yang mengembangkan usahatani lidah buaya dan sudah melakukan pamanenan sepanjang tahun 2014 yaitu Kecamatan Kemang, Ranca Bungur dan Ciseeng, dan ada satu kecamatan yang baru melakukan penanaman pada bulan Oktober tahun 2014 yaitu di Kecamatan Gunung Sindur.

Karakteristik Petani Responden

(35)

19 memperlihatkan penyebaran petani responden pada masing-masing desa berdasarkan metode penyiangannya.

Tabel 2 Sebaran responden berdasarkan desa dan metode penyiangan

Desa Herbisida Manual Total Petani

Jumlah

Usia berkaitan erat dengan semangat kerja, kondisi fisik seseorang dan tenaga dalam melakukan kegiatan usahatani. Rata-rata usia responden petani lidah buaya pada kedua metode adalah 51.84 tahun. Usia petani responden paling banyak berada pada kisaran usia 40 sampai 49 tahun dengan persentase 38.46 persen, dan paling sedikit pada kisaran usia 30 sampai 39 tahun dengan persentase 7.69 persen. Namun petani responden metode herbisida memiliki usia yang rata-rata lebih tua dibanding petani metode manual. Rata-rata-rata usia petani responden metode herbisida memiliki usia 53 tahun sedangkan petani metode manual memiliki rata-rata usia 50 tahun. Tabel 3 menunjukkan usia petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor.

Tabel 3 Usia petani lidah buaya di Kabupaten Bogor

Usia (tahun)

Herbisida Manual Total Petani

Jumlah

(36)

20

petaninya memiliki latar pendidikan sampai tingkat SMA, sedangkan pada petani responden metode manual sebanyak 40 persen petani responden memiliki latar pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Tabel 4 memperlihatkan tingkat pendidikan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor.

Tabel 4 Tingkat pendidikan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor

Pendidikan Herbisida Manual Total Petani

Jumlah

Pengalaman usahatani mempengaruhi tindakan atau manajemen petani dalam mengelola usahataninya. Rata-rata petani responden memiliki pengalaman usahatani lidah buaya selama 3.28 tahun. Rata-rata pengalaman petani dalam usahatani lidah buaya pada kedua metode berbeda, dimana pada petani metode herbisida rata-rata memiliki pengalaman usahatani lidah buaya selama 3.74 tahun dan pada petani metode manual memiliki pengalaman selama 2.56 tahun. Tabel 5 menampilkan pengalaman petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor dalam melakukan usahatani lidah buaya.

Herbisida Manual Total Petani

Jumlah

(37)

21 Tabel 6 Karakteristik status usahatani petani lidah buaya di Kabupaten Bogor

tahun 2014

Status Usahatani

Herbisida Manual Total Petani

Jumlah garapan pada masing-masing metode penyiangan yaitu rata-rata luas lahan garapan pada petani metode herbisida seluas 0.79 ha dan pada petani metode manual seluas 0.21 ha. Luas lahan garapan paling banyak yang dimiliki per petani antara 0.10 sampai 1.00 ha, mencapai 61.54 persen dari total petani responden. Tabel 7 menunjukan sebaran petani responden berdasarkan luas lahan garapan. Tabel 7 Karakteristik luas lahan garapan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor

tahun 2014

Luas Lahan Garapan (Ha)

Herbisida Manual Total Petani

Jumlah

(38)

22

Tabel 8 Karakteristik status kepemilikan lahan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014

Status Kepemilikan

Lahan

Herbisida Manual Total Petani

Jumlah

Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan (Forward

Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya

Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya

Keterkaitan ke belakang (Backward Linkage) menjelaskan performa keterkaitan ke belakang (Backward Linkage) pada usahatani lidah buaya dengan pengadaan saran produksi atau input yang dibutuhkan dalam melakukan produksi. Beberapa input yang diperlukan dalam kegiatan usahatani lidah buaya diantaranya bibit, lahan, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, serta alat-alat pertanian untuk pengolahan, perawatan dan pemanenan. Backward Linkage akan memiliki performa yang baik jika petani dengan mudah dapat mengakses dan memperoleh input-input yang dibutukan.

Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang berfungsi sebagai tempat budidaya lidah buaya. Dari 13 petani responden lidah buaya, 10 petani melakukan usahatani lidah buaya di lahan sewa dan tiga petani melakukan dilahan milik pribadi. Biaya sewa atas lahan yang digarap petani memiliki besaran yang berbeda-beda tergantung harga yang berlaku di masing-masing wilayah dan akses untuk menjangkau lahan tersebut. Harga sewa lahan di wilayah Kecamatan Kemang khususnya di wilayah Perumahan Kahuripan sebesar Rp300/m2 per tahun, harga tersebut berlaku jika petani langsung melakukan transaksi dengan pihak pengelola perumahan. Harga sewa berbeda lagi jika petani melakukan transaksi dengan sesama petani harganya bisa mencapai Rp1 000/m2 per tahun. Selain itu petani juga memiliki perjanjian tertulis dengan pihak pengelola perumahan yaitu jika sewaktu-waktu pihak pengelola perumahan berencana membangun di atas tanah yang disewakan maka petani harus bersedia menyerahkan lahan sewaannya kepada pihak pengelola. Sedangkan petani yang menyewa di wilayah yang lain yaitu Kecamatan Ciseeng petani penyewa memiliki perjanjian dengan yang menyewakan mengenai lama waktu sewa lahan dan harganya.

(39)

23 yang lidah buayanya sudah berproduksi akan melakukan penjarangan anakan. Harga bibit lidah buaya di pasaran tergantung dari ukuran bibit, jika ukuran bibit 25 cm, maka harga bibit sebesar Rp2 500.

Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani lidah buaya dibagi menjadi dua jenis, yaitu Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Berdasarkan hasil di lapang selama penelitian, petani menggunakan TKDK dan TKLK laki-laki. Penggunaan TKLK laki-laki dikarenakan, pekerja laki-laki dapat bekerja lebih lama dan dapat memperoleh hasil kerja yang banyak. Penggunaan TKLK laki-laki mulai dari penyiapan lahan, pengolahan lahan, penanaman, perawatan dan pemanenan.

Pupuk dan obat-obatan merupakan input yang sangat penting dan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan lidah buaya sehingga dapat berdampak kepada hasil panen. Petani lidah buaya di Kabupaten Bogor semuanya menggunakan pupuk kandang yang berupa kotoran domba dan sebagian petani menggunakan obat herbisida dengan merek dagang Round-Up untuk pengendalian gulma di lahan. Petani relatif mudah dalam mendapatkan pupuk kandang kotoran domba, petani dapat membeli ke penduduk yang memiliki peternakan domba di desa yang berada di sekitar lahan pembudidayaan lidah buaya. Petani lebih memilih penggunakan pupuk kandang dari kotoran domba daripada pupuk kimia dikarenakan pupuk kandang lebih tahan lama dalam menyuburkan tanah sehingga pertumbuhan lidah buaya bisa baik dan pada waktu musim kemarau penurunan berat pelepah lidah buaya tidak terlalu signifikan. Sedikit kendala yang dihadapi petani dalam pengadaan pupuk kandang yaitu petani harus selektif dalam membeli pupuk kandang kotoran domba, karena ada pedagang nakal yang mencampur pupuk kandang dengan tanah dan sampah-sampah. Petani dalam penyiangan gulma di lahan ada dua jenis, yang pertama menggunakan herbisida dengan merek dagang Round-Up dan penyiangan dengan manual.

Alat-alat pertanian yang umumnya digunakan petani dalam usahatani lidah buaya berupa cangkul, garbu, parang, semprotan (hand sprayer), ember, pisau, koret, ember besar/drum, batu asah, gerobak sorong, timbangan dan terpal. Daya tahan alat berbeda-beda tergantung dari jenis alatnya, perawatan dan intensitas penggunaan. Alat-alat yang sering digunakan antara lain cangkul, pisau, parang, koret memiliki daya tahan 2 sampai 5 tahun. Pada umumnya alat-alat pertanian dapat diperoleh di toko-toko alat pertanian. Tidak semua petani dapat mencukupi alat-alat yang diperlukan dalam usahatani lidah buaya, seperti cangkul, parang dan garpu. Pekerja yang dipekerjakan biasanya membawa alat sendiri untuk menunjang pekerjaan yang dilakukan.

Secara keterkaiatan ke belakang (backward linkage) pada usahatani lidah buaya secara keseluruhan memiliki performa yang baik dimana petanai dengan mudah dapat mengakses dan memperoleh faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam usahatani lidah buaya. Meskipun dalam hal akses dan cara mendapatkanya yang mudah untuk faktor-faktor prduksi, namun perlu adanya pengawasan dan standar mutu dan ukuran pupuk kandang kotoran domba.

Keterkaitan ke Depan (Forward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya

(40)

24

panen mencakup kegiatan pemasaran dan pengolahan. Petani lidah buaya di Kabupaten Bogor menjual hasil panennya ada beberapa saluran pemasaran. Petani ada yang menjual melalui tengkulak, langsung ke pabrik ada juga yang langsung ke pengolahan rumah tangga. Namun yang paling sering petani melakukan menjual hasil panennya melalui tengkulak. Hasil dari wawancara dengan masing-masing petani diketahui bahwa sebanyak sepuluh petani responden menjual hasil panennya kepada tengkulak. Sedangkan tiga petani lainnya langsung menjual ke pabrik tanpa perantara tengkulak. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden hanya sebanyak 41.15 persen petani (6 petani) yang selama tahun 2014 pernah menjual kepihak supermarket baik lewat tengkulak atau jaringan supermarket. Mekanisme penjualan ke supermarket, petani menunggu pesanan dari pihak tengkulak atau individu pembeli, serta jumlah yang dibutuhkan juga tidak pasti. Kendala yang dihadapi petani jika menjual ke tengkulak mendapatkan harga yang lebih rendah jika dibandingkan menjual langsung ke pihak supermarket atau pabrik, hal tersebut mengindikasikan petani tidak memiliki kekuatan tawar atau kekuatan tawar petani lemah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tengkulak, kebutuhan pabrik pengolahan setiap bulannya bisa mencapai 100 ton, sedangkan saat ini kebutuhan pabrik hanya terpenuhi setiap bulannya sebesar 40 sampai 60 ton. Saat ini yang aktif membeli hasil panen pelepah lidah buaya petani di Kabupaten Bogor ada dua pabrik, salah satunya yaitu CV. Zio Nutri Prima yang bertempat di Jakarta. Hal tersebut mengindikasikan peluang pasar yang masih besar dan menjanjikan. Hasil penelian menunjukkan hal yang beberbeda dengan penelitian Nugraha (2008) dan Adhiana (2005) dimana pada saat diadakan penelitian petani kesulitan dalam hal pemasaran hasil panen yang berakibat petani tidak dapat memanen hasil panen secara teratur. Sulitnya memasarkan hasil panen lidah buaya juga dirasakan oleh petani lidah buaya yang berada di sentra lidah buaya di Pontianak, hal tersebut terlihat dari hasil penelitian Kurniawan (2010) dan Yurisinthae (2010), petani lidah buaya di Pontianak mengalami kesulitan pemasaran hasil panennya sehingga berdampak kepada penurunan produksi dan luas lahan sejak tahun 2005 sampai 2009. Sulitnya memasarkan hasil panen lidah buaya di Kabupaten Bogor pada waktu itu juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan salah seorang petani, pada awal tahun 2007 sampai 2010 petani mengalami kesulitan pemasaran sehingga memaksa petani untuk mengganti sebagian lahan yang ditanami lidah buaya dengan komoditas lainya. Namun sejak pertengahan tahun 2010 permintaan lidah buaya mulai ada meskipun masih dalam jumlah kecil.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala UPT Pertanian Kecamatan Ciseeng dan diperkuat dengan hasil wawancara dengan salah satu petani lidah buaya bahwa pada tahun 2000 pernah ada pabrik dengan nama PT. Niramas yang beroprasi dalam pengolahan pelepah lidah buaya menjadi nata de aloe vera . Namun karena kekurangan bahan baku, pabrik tersebut pindah ke Pontianak untuk mendekati sentra produksi lidah buaya. Kepindahan pabrik tersebut mengakibatkan hasil panen pelepah lidah buaya tidak ada yang menampung karena petani belum mempunyai pasar yang jelas untuk menjual hasil panennya pada waktu itu. Dengan kejadian tersebut petani merasa kecewa dan membongkar tanaman lidah buaya dan menggantinya dengan komoditas yang lain.

(41)

25 baik. Berdasarkan informasi dari beliau bahwa pernah diadakan pelatihan pembuatan aneka olahan dari lidah buaya kepada ibu-ibu KWT di Kecamatan Ciseeng, sempat berjalan usaha pembuatan minuman dari pelepah lidah buaya tetapi tidak bertahan lama. Olahan yang dapat dibuat oleh ibu-ibu KWT dari pemanfaatan pelepah lidah buaya sangat beragam, seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu KWT Matahari yang berada di daerah Jakarta. Produk KWT Matahari yang berasal dari olahan lidah buaya antara lain krupuk lidah buaya, onde-onde lidah buaya, minuman ekstrak lidah buaya. KWT Matahari mengambil bahan baku pelepah lidah buaya dari salah satu petani metode herbisida di Kabupaten Bogor. Pengolahan pelepah lidah buaya yang ada saat ini di Kabupaten Bogor masih sangat sedikit, pada tahun 2015 ada produk minuman dari olahan pelepah lidah buaya dengan merek dagang Aloe Jr dan selain itu pengolahan rumah tangga hanya mengolah pelepah lidah buaya untuk campuran es cincau, informasi ini didapat dari petani yang mempunyai langganan pembeli yang mempunyai usaha es cincau.

Keragaan Usahatani Lidah Buaya

Kegiatan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor sebenarnya sudah dilakukan sejak lama hal tersebut terlihat dari hasil penelitian Adhiana (2005) dan Nugraha (2008), dimana Kabupaten Bogor pernah dicanangkan sebagai tempat pengembangan komoditas lidah buaya di Provinsi Jawa Barat. Namun yang terlihat di lapangan petani yang menanam lidah buaya saat ini merupakan petani baru, hal ini tercermin dari rata-rata umur tanaman lidah buaya yang dibudidayakan rata-rata berumur 3.28 tahun, dimana umur rata-rata lidah buaya petani responden metode herbisida sekitar 3.75 tahun sedangkan rata-rata umur tanaman lidah buaya petani responden metode manual sekitar 2.75 tahun. Keragaan usahatani lidah buaya dikaji untuk mengetahui gambaran tentang kegiatan usahatani lidah buaya di lokasi penelitian. Keragaan yang dijelaskan berupa penggunaan input, teknik budidaya dan hasil output dari kegiatan usahatani lidah buaya. Penelitian ini dilakukan pada petani yang melakukan panen minimal satu tahun, sehingga komponen input dan output dalam kegiatan persiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan pada awal penanaman tidak dihitung.

Penggunaan Input dan Output

Input merupakan faktor produksi yang digunakan dalam usahatani. Input yang digunakan dalam usahatani lidah buaya antara lain bibit, pupuk, herbisida, tenaga kerja, peralatan usahatani dan peralatan lainnya. Perhitungan menggunakan input dilakukan berdasarakan pada penggunaan dalam luasan satu hektar per tahun (tahun 2014), karena tanaman lidah buaya merupakan tanaman tahunan dan saat melakukan penelitian rata-rata umur lidah buaya sudah 3.28 tahun maka input yang digunakan dalam tenaga kerja hanya saat perawatan dan pemanenan selama satu tahun atau pada tahun 2014.

(42)

26

permintaan, sehingga petani kebanyakan melakukan penjualan pelepah grade B. Pendekatan output hasil panen pelepah lidah buaya berdasarkan hasil panen terakhir pada tahun 2014 dan petani melakukan pemanenan berapa kali dalam setahun selain itu juga memperhatikan faktor musim yang dapat mempengaruhi hasil panan.

Input Usahatani Lidah Buaya

1. Bibit

Bibit pada lidah buaya diambil dari anakan yang muncul dari tanaman induknya. Anakan yang layak dijadikan bibit berukuran rata-rata dengan panjang minimal 15 sampai 20 cm. Setiap batang induk dapat menghasilkan 5 sampai 8 anakan yang tumbuh di sekeliling tanaman induknya. Semua petani responden lidah buaya yang ada di Kabupaten Bogor menanam bibit lidah buaya jenis Aloe vera chinensi. Jumlah bibit yang ditanam menyesuaikan dengan luasan lahan dan jarak tanam yang dipakai oleh petani. Semakin luas lahan dan semakin rapat jarak tanam yang diterapkan maka akan semakin banyak kebutuhan bibitnya. Rata-rata petani responden menggunakan jarak tanam antar baris atau bedeng 1 sampai 1.2 meter dan jarak dalam barisnya 0.8 sampai 1 meter, sehingga rata-rata bibit yang digunakan per hektarnya mencapai 10 686 tanaman. Jika berdasarkan metode penyiangannya, petani metode herbisida dalam penanamannya menggunakan jarak tanam antar baris atau bedeng 1 sampai 1.2 meter dengan jarak dalam barisnya 0.7 sampai 1 meter sehingga per hektar menggunakan bibit rata-rata sebanyak 10 741 tanaman, sedangkan petani metode manual dalam penanamannya menggunakan jarak tanam antar baris atau bedeng 1 sampai 1.2 dengan jarak dalam barisnya 0.8 sampai 1 meter sehingga per hektarnya menggunakan rata-rata bibit sebanyak 10 600 tanaman. Terlihat dari penggunaan jarak tanam pada petani metode herbisida yang lebih rapat mengakibatkan rata-rata penggunaan bibit pada petani herbisida lebih banyak dari petani manual. Tabel 9 memperlihatkan jumlah penggunaan bibit lidah buaya petani lidah buaya di Kabupaten Bogor.

Tabel 9 Penggunaan jarak tanam dan kebutuhan bibit lidah buaya petani lidah buaya di Kabupaten Bogor

Metode petani Jarak antar baris (meter)

Gambar

Tabel 1  Lima besar kabupaten/kota produsen lidah buaya di Jawa Barat ( kg )
Gambar 1 Luas panen tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012
Gambar 2 Kurva hubungan biaya dengan tingkat produksi
Gambar 3  Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani lidah buaya di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keputusan Kepala Bagian Umum Setda lGbupaten Banyuasin Nomor /KP[S/U[ /2015 t€48sal 2015, telah melakukan evaluasi penalryaran, negosiasi untuk Pengadaan CCTV pada

Tradhisi siraman iki minangka sawijine pakulinan kang ditindakake dening masyarakat Nganjuk ing wulan Sura. Tradhisi siraman iki wis tau ditliti saka aspek

Perusahaan yang pertumbuhannya berkembang juga akan membutuhkan dana yang besar untuk mendukung segala kegiatan perusahaan agar perusahaan mengalami pertumbuhan yang

Acara ini sangat menarik menurut peneliti , karena terdapat unsur persaingan yang ketat di setiap peserta ,sportifitas , profesionalitas , semangat yang tinggi dan ketekunan

Distribusi penduduk kecamatan Lobalain berdasarkan agama yang dianut menunjukkan bahwa pada tahun 2015 penduduk yang memeluk agama Kristen Protestan merupakan

Sebagiannya lagi, yaitu 18 orang (47,36%) mengatakan sangat baik dan tidak ada seorangpun yang mengatakan tidak baik dan kurang baik proses pengajaran yang ada pada majelis

Berdasarkan hasil pencocokan data karakteristik tanah dengan tanaman kentang maka diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual pada SPL 5 dan SPL 6 adalah tidak sesuai N

Sementara itu, perubahan indeks harga yang dibayar petani (Ib) juga mengalami penurunan sebesar 0,15 persen diakibatkan oleh menurunnya indeks subkelompok konsumsi