• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. VERIFIKASI BAHAN PENGAWET

Bahan pengawet digunakan untuk mencegah atau memperlambat kerusakan kimia dan biologi dari suatu produk pangan. Saat ini ada sekitar 30 komponen antimikroba yang diizinkan untuk digunakan dalam produk pangan (Branen dan Davidson, 1993). Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan pengawet diantaranya adalah: karakteristik fisik dan kimia bahan pengawet, spektrum antimikroba dan aktivitas penghambatannya, karakteristik produk pangan, jumlah dan tipe mikroorganisme yang ada dalam produk pangan, pengaruh penggunaan metode pengawetan lain, kondisi penyimpanan produk pangan, legalitas dan keamanan bahan pengawet, serta nilai ekonomis bahan pengawet yang akan digunakan (Branen dan Davidson, 1993).

Berdasarkan hasil studi literatur dengan mempertimbangkan faktor- faktor tersebut maka dipilih beberapa bahan pengawet, yaitu: nisin, kalium sorbat, metil paraben, dan propil paraben. Selanjutnya pengawet-pengawet tersebut diaplikasikan dalam minuman kopi dalam kemasan cup dan diujikan secara organoleptik dengan metode focus group discussion (FGD). Hasil uji FGD untuk pengawet nisin disajikan pada Tabel 4, kalium sorbat disajikan pada Tabel 5, metal paraben disajikan pada Tabel 6, sedangkan propil paraben disajikan pada Tabel 7.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tahun 1992, ditetapkan batasan maksimum penggunaan nisin sebesar 12.5 ppm, kalium sorbat 1000 ppm, metil paraben 450 ppm, dan propil paraben 450 ppm.

Tabel 4. Hasil focus group discussion pengawet nisin

Konsentrasi Rasa Aroma Aftertaste Lainnya 1.25 ppm Dominan asam Lebih rendah

dari standar

Pahit

6.25 ppm Lebih enak dari standar

Baik Chemical/bau obat

Standar jadi terasa lebih asam 12.5 ppm Lebih enak dari

standar

Baik Chemical/bau obat lebih kuat

Standar jadi terasa lebih asam

Pada penggunaan nisin 6.25 ppm dan 12.5 ppm diperoleh bahwa penerimaan rasa lebih baik dibandingkan standar (minuman kopi tanpa penambahan pengawet). Akan tetapi, pada konsentrasi nisin 12.5 ppm tingkat aftertaste chemical dan bau obat yang ditimbulkan lebih kuat dibandingkan konsentrasi nisin 6.25 ppm. Sehingga, secara keseluruhan hasil uji organoleptik pada ketiga level konsentrasi, didapatkan konsentrasi optimal yang diterima oleh panelis adalah pada konsentrasi nisin 6.25 ppm.

Tabel 5. Hasil focus group discussion pengawet kalium sorbat

Konsentrasi Rasa Aroma Aftertaste Lainnya 100 ppm Dominan asam Asam (tidak ada

aroma kopinya)

Sedikit pahit

500 ppm Rasa lebih enak dibandingkan standar

Baik Sedikit pahit

1000 ppm Rasa lebih enak dibandingkan standar Aroma tidak enak Pahit (bertahan lama) Ada sensasi coating di lidah

Penggunaan kalium sorbat pada konsentrasi 500 ppm dan 1000 ppm diperoleh bahwa penerimaan rasa lebih baik dibandingkan standar. Akan tetapi, pada konsentrasi kalium sorbat 1000 ppm aftertaste pahit dirasakan bertahan lama dan dirasakan pula adanya sensasi coating di lidah yang tidak disukai. Sehingga disimpulkan bahwa secara keseluruhan orgenoleptik, konsentrasi kalium sorbat optimal yang diterima oleh panelis adalah pada konsentrasi 500 ppm.

Tabel 6. Hasil focus group discussion pengawet metil paraben

Konsentrasi Rasa Aroma Aftertaste Lainnya 45 ppm Rasa lebih asam dari standar Aroma berkurang/menurun dibandingkan standar Asam 225 ppm Rasa di awal seperti standar Aroma berkurang/menurun dibandingkan standar

Sedikit pahit Di awal ada rasa manis, di akhir pahit 450 ppm Rasa pahit yang kentara di akhir Aroma berkurang/menurun dibandingkan standar Pahit dominan

Berdasarkan hasil FGD diketahui bahwa untuk pengawet metil paraben memiliki tingkat penerimaan yang rendah. Dapat dilihat dari deskripsi rasa, aroma dan aftertaste yang disampaikan panelis yang keseluruhannya bersifat negatif. Begitu pula halnya dengan propil paraben yang juga memiliki tingkat

Tabel 7. Hasil focus group discussion pengawet propil paraben

Rasa Aroma Aftertaste Lainnya

45 ppm Rasa kopi kurang & ada sensasi rasa lebih berat dbanding standar (standar lebih mild)

Tidak muncul Berat di tenggorokan

225 ppm Rasa pahit dominan di awal dan akhir, rasa pahit seperti obat

Tidak muncul Pahit Sensasi coating pada lidah

450 ppm Rasa pahit paling dominan

Tidak muncul Pahit Sensasi coating pada lidah sulit hilang

Berdasarkan hasil FGD dapat disimpulkan bahwa pengawet nisin dengan konsentrasi 6.25 ppm dan kalium sorbat dengan konsentrasi 500 ppm dapat diterima oleh panelis. Sedangkan metil paraben dan propil paraben tidak diterima oleh panelis pada ketiga level konsentrasi. Setelah itu dilakukan penerapan barrier isu keamanan pangan yang merupakan salah satu pertimbangan dalam pemilihan bahan pengawet, yaitu aspek legalitas dan keamanannya (Branen dan Davidson, 1993). Penerapan barrier ini dilakukan pada pengawet nisin dan kalium sorbat. Nisin diketahui memiliki aktivitas antibiotik, sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan resistensi silang antara nisin dan antibiotik yang digunakan di dunia kedokteran (Branen dan Davidson, 1993). Sehingga disimpukan bahwa bahan pengawet yang akan digunakan pada penelitian ini adalah kalium sorbat.

Penentuan konsentrasi bahan pengawet yang akan digunakan yaitu berdasarkan hasil studi literatur mengenai batas maksimum penggunaan bahan pengawet pada minuman kopi. Setelah itu dilakukan metode trial and error

disinergikan dengan uji organoleptik untuk menetapkan tiga konsentrasi yang akan digunakan pada penelitian ini. Berdasarkan hasil pengujian FGD pada kalium sorbat diketahui bahwa pada konsentrasi 1000 ppm panelis merasakan aftertaste pahit yang bertahan lama dan sensasi coating di lidah yang tidak disukai. Pada konsentrasi 500 ppm panelis juga mulai merasakan aftertaste yang sedikit pahit sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi maksimum kalium sorbat yang masih diterima oleh panelis adalah 500 ppm. Dua level konsentrasi lainnya ditentukan yaitu konsentrasi yang berada di bawah 500 ppm, yaitu 300 dan 400 ppm. Penetapan konsentrasi 300 dan 400 ppm dilakukan karena apabila konsentrasi kalium sorbat yang digunakan terlalu rendah dikhawatirkan akan menyebabkan efektikitasnya sebagai antimikroba akan menurun.

B. VERIFIKASI KEMASAN CUP TERHADAP PERLAKUAN PANAS Verifikasi dilakukan dengan memasukkan kemasan cup berbahan polypropylene yang telah berisi minuman kopi ke dalam waterbath bersuhu 95˚C selama 45 menit. Setiap 5 menit diambil 3 cup minuman kopi dan dikeluarkan dari waterbath serta diamati penampakannya. Hasil verifikasi kemasan dapat dilihat pada Tabel 8.

Berdasarkan hasil pengamatan, didapati 3 cup yang mengalami kerusakan yaitu berupa kemasan penutup yang mudah dibuka dan kebocoran pada bagian yang di-seal. Sedangkan cup lainnya tidak mengalami kerusakan. Sehingga secara keseluruhan kemasan cup yang akan digunakan pada penelitian ini cukup kuat untuk digunakan pada suhu air 95˚C sampai 45 menit. Sedangkan temuan seal kemasan yang bocor pada menit ke-30 bersifat probabilitas, yang mungkin disebabkan pada saat sealing, sealer yang digunakan kurang panas/kurang kencang men-seal kemasan cup tersebut. Akan tetapi berdasarkan pengamatan, secara keseluruhan kemasan cup yang digunakan masih kuat digunakan pada suhu 95˚C.

kaku dan lebih kuat dibandingkan LDPE, memiliki permeabilitas yang lebih rendah terhadap kelembaban dan gas dibandingkan LDPE dan HDPE, serta memiliki titik leleh yang lebih tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengemas pada produk pangan yang menerapkan perlakuan panas. Akan tetapi, PP tidak dapat digunakan sebagai bahan pengemas untuk produk yang mengalami sterilisasi komersial dengan proses retort.

Tabel 8. Hasil verifikasi kemasan cup terhadap perlakuan panas

Waktu

(menit) Cup 1 Cup 2 Cup 3

5 Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

10 Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

15 Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

20 Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

25

Tidak penyok, tidak bocor, kemasan penutup mudah dibuka

Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

30

Agak menggembung di bagian atas, tidak penyok, seal mudah dibuka

Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

35

Tidak penyok, tidak bocor, kemasan penutup mudah dibuka

Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

40 Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

45 Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

Tidak penyok, tidak bocor

C. VERIFIKASI MIKROBIOLOGI BAHAN BAKU

Verifikasi mikrobiologi bahan baku dilakukan dengan tujuan memberikan gambaran mengenai potensi mikroba awal pada bahan baku. Verifikasi mikrobiologi yang dilakukan adalah uji total mikroba (Fardiaz, 1993). Total mikroba ditetapkan dengan SPC (Standard Plate Count). Hasil analisis mikrobiologi bahan baku disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil analisis mikrobiologi bahan baku Jenis Bahan Baku SPC (cfu/g)

Pemanis 0 (<2.5 x 10¹) Creamer 6.5 x 10²

Gula 8.1 x 10²

Kopi 0 (<2.5 x 10¹)

Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh bahwa bahan baku yang potensial berkontribusi terhadap mikroba awal pada produk minuman kopi dalam kemasan cup adalah creamer dan gula. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), gula dapat mendorong pertumbuhan khamir seperti Saccharomyces, Candida, dan Rhodotorula, serta beberapa spesies kapang. Sedangkan creamer dapat mendorong pertumbuhan bakteri seperti Bacillus.

D. UJI KECUKUPAN PANAS

Minuman kopi dalam kemasan yang dibuat memiliki pH di atas 5.0. Menurut Kusnandar et al., (2006), dapat dikelompokkan sebagai bahan pangan berasam rendah. Produk pangan berasam rendah adalah produk pangan dengan pH ≥ 4.5 dan aw ≥ 0.85. Produk pangan ini memiliki risiko keamanan pangan yang cukup tinggi. Sehingga, apabila dilakukan teknologi

yaitu kalium sorbat. Dengan ditambahkannya bahan pengawet ini maka diharapkan proses termal yang diterapkan bertujuan menurunkan probabilitas potensi kerusakan produk yang disebabkan oleh mikroorganisme. Oleh karena itu, tidak diterapkan sterilisasi komersial melainkan dengan pasteurisasi.

Pada penelitian ini, dilakukan hanya sebatas pada hal mengevaluasi kecukupan panas yang telah diberikan pada minuman kopi dalam kemasan cup, tidak untuk merancang berapa waktu dan suhu yang tepat untuk pasteurisasi minuman kopi dalam kemasan cup. Sebelum melakukan pengukuran dan perhitungan kecukupan panas, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi alat pengukur panas yang digunakan yakni termokopel dan mengukur distribusi panas pada bak pasteurizer (waterbath).

Pengujian kecukupan panas dilakukan dengan dua tahap, yaitu penentuan distribusi panas dan penetrasi panas. Distribusi panas adalah suatu pengukuran panas pada setiap bagian dari pasteurizer (waterbath) sehingga diketahui kinerja dari suatu pasteurizer. Penetrasi panas menunjukkan besarnya panas yang diterima oleh produk dan mampu membunuh mikroba pembusuk dan patogen yang terdapat pada produk.

Alat yang digunakan untuk mengukur suhu kecukupan panas adalah termokopel (Winarno, 1994). Termokopel terdiri dari rekorder pencatat suhu dan sensor (probe). Termokopel dapat digunakan untuk menguji kecukupan panas pada pasteurizer yang digunakan pada proses pembuatan minuman kopi dalam kemasan cup.

Kegiatan pengukuran distribusi panas dilakukan dengan menempatkan lima probe (sensor-sensor) termokopel pada titik-titik berbeda yang diduga memiliki suhu paling dingin di dalam waterbath. Penentuan titik terdingin penting dilakukan agar dapat diketahui kecukupan panas yang diberikan oleh waterbath, sehingga dapat dipastikan suhu pasteurisasi telah tercapai melalui titik tersebut. Apabila titik terdingin ini sudah mendapat panas yang cukup maka titik lain dapat diasumsikan sudah mendapat panas yang cukup pula. Selain itu, pengukuran distribusi panas juga bermanfaat untuk mengevaluasi apakah distribusi panas yang ada

didalam waterbath berlangsung secara homogen atau merata. Penempatan termokopel saat pengukuran distribusi panas dapat dilihat pada Gambar 7. Target dari pengujian ini adalah untuk menentukan daerah terdingin dari distribusi panas di dalam waterbath yang bermanfaat dalam menghitung panas minimal yang didapat oleh produk bila dipasteurisasi di daerah ini.

Gambar 7. Posisi sensor pada penentuan distribusi panas

Berdasarkan hasil uji distribusi panas selama 30 menit, didapat hasil bahwa panas yang terbaca oleh termokopel di lima titik yang telah ditetapkan, besarnya hampir sama atau homogen. Akan tetapi tetap didapati titik yang paling lama mencapai suhu 95oC yaitu pada titik T5 (Gambar 8).

70 75 80 85 90 95 S uhu ( C ) T1 T2 T3 T4 T5 T 2 T 3 T 4 T 5 T 1

Setelah diketahui titik terdingin pada pasteurizer maka dapat dilakukan pengukuran penetrasi panas pada pasteurizer. Pada penentuan penetrasi panas sensor dipasang di dalam produk dan ditempatkan pada T5. Penentuan tersebut dilakukan dengan kondisi suhu awal produk sebesar 31˚C, ukuran pasteurizer sebesar ± 14 liter, dan volume tiap cup minuman kopi sebesar 65 ml. Penentuan volume minuman kopi dalam cup dilakukan dengan cara mengisi cup sampai penuh.

Penempatan sensor dalam produk (cup) dilakukan secara berbeda- beda, tergantung bagian terdingin (coldest spot) pada jenis produk yang akan dipasteurisasi. Menurut Winarno (1994), letak coldest spot tersebut tergantung pada jenis perambatan panasnya, yaitu apakah secara konduksi atau konveksi. Produk yang perambatan panasnya dengan konduksi, coldest spot-nya berada pada titik tengah geometri kaleng (cup). Produk yang mengalami perambatan panas secara konduksi biasanya tidak mengandung atau sedikit saja mengandung cairan bebas (produk padat).

Keterangan:

= Sensor

Gambar 9. Penempatan sensor dalam cup

Sedangkan pada produk yang banyak mengandung cairan (produk cair), perambatan panas terjadi secara konveksi. Segera setelah cairan mendapat panas, aliran panas akan bergerak berputar keseluruh bagian kaleng (cup). Perambatan panas dalam cairan bergerak lebih cepat dan seragam. Coldest spot dengan perambatan panas secara konveksi terletak di bagian dekat dasar pada pusat kaleng (cup). Perambatan panas pada minuman kopi dalam kemasan cup adalah secara konveksi, sehingga sensor termokopel dipasang di bagian bawah cup (Gambar 9).

Sebelum melakukan pengukuran penetrasi panas, hal yang harus dipersiapkan adalah penyiapan cup dengan cara melubangi bagian bawahnya

tidak boleh terlalu besar ataupun terlalu kecil, hal ini berguna untuk menghindari kebocoran setelah pengisian cup dengan minuman kopi. Selain itu ukuran lubang yang sesuai juga berguna agar sekrup dapat menutupi dengan baik lubang yang telah dibuat sehingga pengukuran suhu produk saat pasteurisasi dan cooling dapat berjalan dengan baik.

Hal penting yang harus diperhatikan selama cooling adalah waktu cooling harus dibuat secepat mungkin dan suhu produk harus sama atau dibawah 45oC. Kondisi ini penting diciptakan, agar bakteri termofilik yang mungkin ada pada produk, peluang tumbuh dan berkembangnya menjadi sangat kecil atau bahkan tidak ada. Cara mengetahui suhu produk sudah mencapai 45oC atau dibawahnya, adalah dengan membaca data rekaman termokopel yang terbaca oleh display. Pada penelitian ini rata-rata diperlukan waktu 4-5 menit setelah pasteurisasi guna mencapai suhu 45oC atau dibawahnya. Grafik hasil pengukuran penetrasi panas disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Kurva penentrasi panas minuman kopi dalam cup

Berdasarkan data suhu yang ditunjukkan oleh display dapat ditentukan nilai Lethal Rate (LR) dengan rumus:

LR = 10 (T – To) / z Fo = LR x t Penetrasi Panas 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 Waktu (menit) S u hu ( C )

Dari nilai LR maka dapat ditentukan nilai Fo. Nilai Fo merupakan waktu proses (menit) pada suhu tetap yaitu pada penelitian ini adalah 185oF (85oC) yang dibutuhkan untuk membunuh sejumlah mikroba yang memiliki nilai z tertentu. Dengan menentukan nilai Fo maka dapat ditentukan apakah suatu proses termal yang diberikan itu cukup untuk memusnahkan bakteri atau spora yang tidak diinginkan. Nilai z yang digunakan dalam pengukuran ini adalah 16oF (8.9oC). Nilai z adalah perbedaan suhu yang dapat memperkecil nilai D sebesar 90%. Nilai D adalah waktu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah bakteri dari populasi awal sebesar 90% (Kusnandar et al., 2006)

Menurut Doyle et al. (1997), semakin tinggi nilai F maka peluang jumlah mikroba pada suatu produk pangan akan semakin rendah. Akan tetapi, nilai F yang dibutuhkan bervariasi tergantung karakteristik produk pangan yang bersangkutan. Pada penelitian ini, akan dilakukan evaluasi kecukupan panas pada nilai Fo = 20 menit, 30 menit, dan 40 menit. Evaluasi akan dilakukan dengan analisis mikrobiologi dengan metode Total Plate Count (TPC).

E. PENGUKURAN pH DAN oBRIX

Pengukuran pH dan kadar brix yang dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke-56 bertujuan mengetahui perubahan yang terjadi pada parameter tersebut selama penyimpanan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi kondisi ketika produk tersebut dipasarkan. Data pengukuran pH dan kadar brix tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.

Berdasarkan hasil pengukuran pH diperoleh bahwa telah terjadi penurunan pH pada minuman kopi dalam kemasan cup selama penyimpanan 56 hari. Minuman kopi dalam kemasan cup pada masa penyimpanan 0 hari memiliki pH berkisar antara 5.60-5.73 pada keseluruhan perlakuan, sedangkan minuman kopi dalam kemasan cup pada masa penyimpanan 56 hari memiliki pH berkisar antara 5.30-5.44 pada keseluruhan perlakuan. Penurunan pH yang terjadi pada produk yang telah mengalami penyimpanan 56 hari menunjukkan terjadinya perubahan gula dan karbohidrat lainnya

menjadi asam selama penyimpanan. Perubahan ini dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba yang terdapat pada produk yang memetabolisme karbohidrat menjadi asam dan alkohol (Desrosier, 1983).

Tabel 10. Hasil pengukuran pH dan oBrix untuk penyimpanan H-0 dan H-56

Perlakuan 0 hari 56 hari

pH ºBrix pH ºBrix 300 ppm, Fo = 20 400 ppm, Fo = 20 500 ppm, Fo = 20 5.60 5.65 5.69 5.3 5.1 5.6 5.30 5.38 5.44 5.5 5.3 5.2 300 ppm, Fo = 30 400 ppm, Fo = 30 500 ppm, Fo = 30 5.73 5.68 5.70 5.1 5.3 5.0 5.35 5.41 5.44 5.1 5.0 5.2 300 ppm, Fo = 40 400 ppm, Fo = 40 500 ppm, Fo = 40 5.66 5.65 5.68 5.0 5.2 5.0 5.31 5.39 5.41 5.2 5.0 5.1

Menurut Clarke et al. (1989), peningkatan keasaman selama masa penyimpanan dapat dideteksi dengan mengamati penurunan pH pada produk minuman kopi. Lebih lanjut, diketahui bahwa faktor kunci yang mempengaruhi perubahan keasaman ini adalah faktor pengemasan, yaitu tingkat kedap udaranya. Fenomena tersebut dapat berhubungan dengan hilangnya komponen-komponen volatil pada minuman kopi, termasuk banyak komponen aldehid yang dapat berubah menjadi asam karena adanya proses oksidasi oleh oksigen yang ada di udara. Sehingga, untuk menjaga kualitas sensori minuman kopi dalam kemasan maka pengemasan secara hermetis (kedap udara) menjadi faktor yang sangat penting.

Walau demikian, minuman kopi dalam kemasan cup yang telah disimpan selama 56 hari belum mengalami penurunan pH yang terlalu drastis, yaitu masih berada pada kisaran pH 5.

Berdasarkan hasil pengukuran ºBrix diperoleh bahwa total padatan terlarut minuman kopi dalam kemasan cup pada masa penyimpanan 0 hari dan 56 hari berkisar antara 5.0ºBrix-5.6ºBrix.

F. ANALISIS MIKROBIOLOGI PRODUK MINUMAN KOPI DALAM KEMASAN CUP

Keamanan pangan merupakan unsur mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap produk pangan. Analisis mutu mikrobiologi merupakan analisis yang harus dilakukan untuk mengetahui apakah produk minuman kopi dalam cup terjamin keamanannya. Jika dalam produk tersebut masih memiliki mikroba-mikroba yang dapat membahayakan konsumen, maka produk tersebut tidak dapat dijual. Dalam produk minuman kopi, analisis mikrobiologi yang dilakukan adalah uji pada produk.

Produk minuman kopi dalam kemasan cup merupakan salah satu produk yang memiliki pH tinggi (di atas 5.0) sehingga pada proses produksinya diperlukan penambahan pengawet dan perlakuan suhu tinggi. Kombinasi dari kedua perlakuan tersebut merupakan tindakan yang dilakukan untuk menurunkan probabilitas jumlah mikroba pada produk minuman kopi dalam kemasan cup. .

Untuk mengetahui kandungan mikroba (kapang, khamir, dan bakteri) pada bahan pangan ataupun produk jadi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu diantaranya adalah dengan metode standar total aerobic plate count atau TPC. Pada metode ini digunakan media Plate Count Agar (PCA) dan seluruh koloni yang tumbuh dinyatakan dengan total mikroba (kapang, khamir, dan bakteri).

Dari hasil pengujian diperoleh bahwa pada penyimpanan 0 hari, nilai SPC untuk semua perlakuan adalah <2.5 x 102 koloni/ml (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan panas dengan Fo 20, 30, dan 40 cukup efektif membunuh mikroba. Demikian pula halnya pada penyimpanan 14 hari, nilai SPC yang dihasilkan adalah <2.5 x 102 koloni/ml (Tabel 12). Walaupun sudah mulai didapati pertumbuhan mikroba, akan tetapi jumlah koloni yang tumbuh masih dibawah kisaran 25-250 koloni/ml (BAM FDA,

2001). Berikut adalah hasil pengamatan mikrobiologi produk minuman kopi dalam kemasan cup selama penyimpanan:

Tabel 11. Hasil analisis mikrobiologi untuk penyimpanan 0 hari Konsentrasi (ppm) SPC (koloni/ml)

Fo 20 Fo 30 Fo 40 300 <2,5 x102 <2,5 x102 <2,5 x102 400 <2,5 x102 <2,5 x102 <2,5 x102 500 <2,5 x102 <2,5 x102 <2,5 x102

Tabel 12. Hasil analisis mikrobiologi untuk penyimpanan 14 hari Konsentrasi (ppm) SPC (koloni/ml)

Fo 20 Fo 30 Fo 40 300 <2,5 x102 <2,5 x102 <2,5 x102 400 <2,5 x102 <2,5 x102 <2,5 x102 500 <2,5 x102 <2,5 x102 <2,5 x102

Tabel 13. Hasil analisis mikrobiologi untuk penyimpanan 28 hari Konsentrasi (ppm) SPC (koloni/ml)

Fo 20 Fo 30 Fo 40 300 5.0 x 104 1.0 x 104 <2.5 x 102 400 6.1 x 103 1.8 x 103 <2.5 x 102 500 1.6 x 103 <2.5 x 102 <2.5 x 102

Tabel 14. Hasil analisis mikrobiologi untuk penyimpanan 42 hari Konsentrasi (ppm) SPC (koloni/ml)

Fo 20 Fo 30 Fo 40 300 2.6 x 103 7.2 x 102 <2.5 x 102 400 1.8 x 103 5.0 x 102 <2.5 x 102 500 2.8 x 102 <2.5 x 102 <2.5 x 102

Tabel 15. Hasil analisis mikrobiologi untuk penyimpanan 56 hari SPC (koloni/ml)

500 2.3 x 103 1.6 x 103 <2.5 x 102

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh bahwa pada penyimpanan 28 hari, untuk Fo 20 diperoleh adanya pertumbuhan mikroba pada ketiga level konsentrasi (300, 400, dan 500 ppm) yaitu berturut-turut: 5.0 x 104 koloni/ml, 6.1 x 103 koloni/ml, dan 1.6 x 103 koloni/ml (Tabel 13). Jumlah mikroba yang tumbuh pada perlakuan nilai Fo 20 ini sudah menunjukkan jumlah yang cukup tinggi. Faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan mikroba pada produk pangan selama penyimpanan adalah: faktor karakteristik fisik dan kimia dari produk pangan, ketersediaan nutrisi bagi pertumbuhan mikroba, adanya oksigen, suhu, dan kemungkinan kontaminasi (Frazier dan Westhoff, 1978). Selain itu diduga bahwa mikroba yang tumbuh selama penyimpanan adalah mikroba yang mampu membentuk spora dan perlakuan panas yang diberikan, yaitu Fo 20 tidak mampu membunuh spora mikroba tersebut.

Pada nilai Fo 30 didapati pertumbuhan mikroba pada konsentrasi kalium sorbat 300 ppm dan 400 ppm, yaitu berturut-turut: 1.0 x 104 koloni/ml dan 1.8 x 103 koloni/ml. Sedangkan pada konsentrasi kalium sorbat 500 ppm diperoleh jumlah koloni mikroba <2.5 x 102 koloni/ml. Sedangkan untuk Fo 40 tidak didapati adanya mikroba yang tumbuh pada ketiga level konsentrasi. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi pengawet maka semakin rendah jumlah mikroba yang tumbuh. Pada Gambar 6 diketahui bahwa Fo juga berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba pada minuman kopi, yaitu semakin tinggi nilai Fo maka probabilitas pertumbuhan mikrobanya semakin rendah. Pada Fo 20 dan Fo 30 didapati adanya pertumbuhan mikroba, sedangkan pada Fo 40 diperoleh jumlah koloni mikroba <2.5 x 102 koloni/ml.

Gambar 11. Grafik hubungan tingkat konsentrasi pengawet terhadap

Dokumen terkait