• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Letak Geografis dan Luas Wilayah

Kabupaten Muna adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi

Tenggara yang secara geografis berada diantara 4o06'–5o15' Lintang Selatan (LS)

dan 122o08'–123o15' Bujur Timur (BT). Secara administrasi di sebelah Utara

berbatasan dengan Selat Tiworo dan Kabupaten Kendari, sebelah Selatan berbata-san dengan Kabupaten Buton, Sebelah Timur berbataberbata-san dengan Laut Banda dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Buton (Selat Spelman).

Luas wilayah Kabupaten Muna adalah 4.887.00 ha atau 12,8 persen dari luas Propinsi Sulawesi Tenggara. Luas kawasan hutan Kabupaten Muna adalah 235.759 ha (50.2 persen dari luas areal daratan Kabupaten Muna) terdiri dari hutan lindung seluas 46.363 ha, hutan konservasi seluas 82.009 dan hutan produksi seluas 95.431,36 ha.

Kawasan hutan lindung Jompi adalah salah satu kawasan hutan lindung yang masuk dalam wilayah kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Muna dan sejak tahun 2004 berubah nama menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD). Secara

geografis kawasan hutan lindung Jompi terletak pada garis lintang 40 45’ 38,18”

sampai dengan 40 58’ 18,28” Lintang Selatan (LS) dan 1220 46’ 8,67” Bujur

Timur (BT). Secara administrasi kawasan hutan lindung Jompi berada di wilayah Kabupaten Muna yang bersentu-han langsung dengan lima kecamatan yaitu: Kecamatan Batalaiworu, Katobu, Duruka, Kontunaga dan Watupute. Kawasan hutan

lindung Jompi memiliki luas ± 1.927 ha atau 4, 2 persen dari luas kaw asan hutan

lindung di Kabupaten Muna. Dari luas Kawasan hutan lindung Jompi tersebut, ±

1.233 ha atau 64 persen adalah hutan jati alam dan ± 694 ha atau 36 persen adalah

hutan campuran. Kawasan hutan lindung Jompi telah mengalami kerusakan yang

cukup serius, ± 1.080 ha atau 56,1 persen (seluruhnya hutan jati) sudah rusak dan

± 263 ha atau 13,7 persen terancam rusak dan ± 578 ha atau 30 persen dalam

keadaan aman (Dinas Kehutanan Kabupaten Muna, 2005).

63 63

Iklim dan Topografi

Iklim di wilayah kawasan hutan lindung Jompi adalah iklim tropis

dengan suhu rata-rata antara 250C – 270C yang terbagi dalam empat tipe iklim dan

memiliki dua musim, yaitu musim kemarau (bulan Nopember sampai Maret) dan musim hujan (bulan April sampai Oktober). Rata-rata curah hujan tahunan wilayah kawasan hutan lindung Jompi sebesar 1.636,2 mm per tahun dengan curah hujan maksimum 268,2 mm terjadi pada bulan Januari dan minimum 10,0 mm terjadi pada bulan Agustus dengan 3 Bulan Kering dan 5 Bulan Basah.

Schmid dan Ferguson mengklasifikasikan iklim di Indonesia berdasarkan

nilai Q (Quation index) sebagai perbandingan antara jumlah bulan kering dengan

jumlah bulan basah sebagai berikut :

a. 0.000 < Q < 0.143 : tipe A sangat basah b. 0.143 < Q < 0.333 : tipe B basah

c. 0.333 < Q < 0.600 : tipe C agak basah d. 0.600 < Q < 1.000 : tipe D sedang e. 1.000 < Q < 1.670 : tipe E agak kering f. 1.670 < Q < 3.000 : tipe F kering g. 3.000 < Q < 7.000 : tipe G sangat kering

h. Q > 7.000 : tipe H luar biasa kering

Nilai Q dirumuskan oleh Schmidt dan Ferguson sebagai berikut : Q = W/D; W = jumlah bulan kering (3 bulan) dan D = Jumlah bulan basah (5 bulan). Dari hasil perhitungan Nilai Q diperoleh sebesar 60 %. Berdasarkan nilai Q tersebut, maka kawasan hutan lindung Jompi adalah iklim C (agak basah).

Kawasan hutan lindung Jompi pada umumnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian di bawah 50 meter dpl. Berdasarkan topografinya maka wilayah kawasan hutan lindung Jompi sangat cocok untuk pertumbuhan jati dan potensial untuk dikembangkan tanaman pangan dan perkebunan. Hardjodarsono (1982) mengatakan bahwa pertumbuhan jati di Indonesia tidak akan baik lagi pada ketinggian lebih dari 700 meter dpl, dengan demikian maka topografi di kawasan hutan lindung Jompi sangat layak untuk ditanami jati dan jenis kayu lain nya.

65

Jenis Tanah dan Hidrologi

Jenis tanah di kawasan hutan lindung Jompi cukup beragam, yaitu terdiri dari delapan asosiasi sub -ordo jenis tanah, yaitu Ultic Haplustalfs, Typic Paleustalf (P52); Typic Ustropepts, Typic Paleustalf (P41); Typic Ustropepts,Typic Haplustalf (H23); Typic Ustropepts, Typic Ustorthents, Udic Haplustalfs, Rock Outcrops (H14); Ustic Dystropepts, Typic Hap lustalf (T23); Typic Ustropepts, Ustic Dystropepts (H42); Hydric Tropohemists, Sulfic Tropaquepts (B1); dan Rockland, Typic Ustropepts, Typic Ustorthents (C3). Jika dilihat dari asosiasi jenis tanah, maka Kawasan Hutan Lindung Jompi di dominasi asosiasi ordo jenis tanah Inceptisol-Alfisol, Inceptisol-Entisol-Alfisol-Rock, Inceptisol dan Histosol-Inceptisol. (BP-DAS Sampara, 2004).

Wilayah kawasan hutan lindung Jompi dilalui ole h beberapa sungai yaitu: sungai Jompi, Tula dan Labalano yang merupakan sumber mata air bersih bagi penduduk Kota Muna. Sumber mata air yang ada di dalam kawasan hutan lindung Jompi dikenal dengan nama Mata Air Jompi yang merupakan satu -satunya mata air yang merupakan sumber air bersih bagi penduduk Kota Muna saat ini yang kondisinya sudah kritis. Kawasan hutan yang menjadi penyangganya telah rusak akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Debit airnya semakin berkurang seiring berjalannya waktu dan kerusakan hutan di sekitarnya.

Data PDAM Kabupaten Muna menunjukkan bahwa sungai Jompi pada kondisi yang masih baik debit air kurang lebih 300 liter per detik dan pada saat ini dengan kondisi lingkungan kawasan hutan lindung Jompi mulai dirambah sehingga mengalami kerusakan yang cukup signifikan, debit air sungai Jompi turun drastis menjadi 28 liter per detik. Hal ini berarti telah mengalami penurunan debit sungai sebesar sepuluh kali sejak dekade terakhir ini. Indikator yang dapat dirasakan adalah terjadinya fluktuasi air sungai yang besar yakni pada musim

kemarau debitnya sebesar 0,028 m3/detik atau 28 liter/detik sedang pada musim

hujan terjadi genangan dan banjir yang dirasakan oleh masyarakat di muara sungai Jompi, sungai Tula dan sungai Labalano.

Berdasarkan data kondisi debit sungai Jompi, sungai Tula dan Labalano pada tahun 2004 bahwa ketersediaan air di Sub-DAS Jompi dapat dinyatakan sudah mulai dirasakan kekurangannya terutama untuk sarana air minum. Hasil pengamatan curah hujan di stasiun klimatologi nampak bahwa periode curah hujan lebih pendek dibandingkan dengan periode musim kemarau. Hasil analisis neraca air menunjukkan bahwa di Sub-DAS Jompi memiliki nilai surplus (kelebihan air) selama 4 bulan yakni bulan Januari dan April sebesar 147,9 mm dan nilai defisit (kekurangan air) selama 6 bulan yakni mulai bulan Mei sampai Oktober sebesar 334,6 mm.

Mata Air Jompi sebagai sumber air bersih penduduk Kota Muna terancam kering. Oleh karena itu, pemerintah, swasta dan masyarakat harus duduk bersama untuk menyatukan pikiran, sikap, dan tindakan dalam rangka menyelamatkan mata air Jompi dari kekeringan. Pemerintah daerah dengan kewen angannya harus menyiapkan program dan prangkat hukum yang berpihak pada pelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan hutan. Pihak swasta dengan kekuatan ekonominya berpartisipasi dalam program pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan secara berkelanjutan dan memiliki komitmen yang jelas untuk selalu mendukung setiap upaya pelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Demikian juga masyarakat dengan segala kemampuan dan potensi yang dimilikinya harus berpikir, bersikap dan bertindak sebagai subyek pembangunan dalam rangka kelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan keluarganya.

Jumlah dan Kepadatan Penduduk

Jumlah penduduk di lima kecamatan sekitar kawasan hutan lindung Jompi berjumlah 64.079 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebesar 30.932 jiwa atau 48,3 persen dan perempuan berjumlah 33.147 jiwa atau 51,7 persen dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,9 persen per tahun.

Kepadatan penduduk menunjukkan banyaknya penduduk pada satu satuan luas wilayah tertentu. Tingkat kepadatan penduduk didasarkan pada dua kriteria

67

yaitu tingkat kepadatan geografis dan kepadatan agraris. Kepadatan geografis adalah kepadatan penduduk terhadap luas wilayah secara keseluru han. Kepadatan agraris adalah tingkat kepadatan penduduk terhadap luas lahan pertanian. Data tentang jumlah dan kepadatan penduduk lima kecamatan sekitar kawasan hutan lindung Jompi lebih rinci disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Luas wilayah dan kepadatan penduduk kecamatan di sekitar kawasan hutan lindung Jompi

Luas Wilayah (km2) Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) No. Kecamatan Jumlah Penduduk

(jiwa) Wilayah Lahan

Pertanian Geografis Agraris

1. Batalaiworu 9.251 227.1 100.9 41 92 2. Katobu 26.741 128.8 11.9 208 2247 3 Duruka 9.945 115.2 61.6 86 161 4. Kontunaga 7.308 422.3 358.5 14 20 5. Watopute 10.834 968.2 369.9 11 29 Jumlah 64.079 1861.6 902.8 34 71

Sumber: Analisis kecamatan dalam angka 2004

Tabel 13 menunjukkan bahwa Kecam atan Katobu dan Kecamatan Duruka merupakan kecamatan terpadat, baik secara geografis maupun agraris dibanding empat kecamatan lainnya. Kondisi ini tidak memungkinkan di Kecamatan Katobu dan Duruka untuk mengembangkan usaha pertanian sebagai tulang punggung sumber penghasilan masyarakat. Pengembangan sektor lain seperti sektor jasa dan perdagangan merupakan alternatif yang mungkin dikembangkan sebagai mata pencaharian utama masyarakat.

Tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi di Kecamatan Katobu, disebabkan oleh karena Kecamatan Katobu merupakan salah satu kecamatan di ibukota kabupaten yang merupakan pusat perkantoran dan perdagangan di Kabupaten Muna. Sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan tentunya mobili-tas masyarakat dan arus migrasi cukup tinggi sehingga pertambahan penduduk akan tinggi pula.

Gambaran lain tentang tingkat perkembangan penduduk di sekitar kawasan hutan lindung Jompi dapat dilihat dari tingkat kepadatan RT. Secara keseluruhan jumlah RT yang berada di sekitar kawasan hutan lindung Jompi

adalah sekitar 12.814RT dengan tingkat kepadatan RT rata-rata 5 jiwa/RT. Data

jumlah RT dan tingkat kepadatan RT dapat dilihat pada Tabel 14

Tabel 14 Jumlah rumah tangga (RT) dan tingkat kepadatan RT di kecamatan sekitar kawasan hutan lindung Jompi

No. Kecamatan Jumlah

Penduduk Jumlah RT Tingkat Kepadatan Jiwa/RT 1. Batalaiworu 9.251 1.845 5 2. Katobu 26.741 5.165 5 3 Duruka 9.945 2.081 5 4. Kontunaga 7.308 1.525 5 5 Watopute 10.834 2.198 5 Jumlah 64.079 12.814 5

Sumber: Analisis kecamatan dalam angka 2004

Tingkat kepadatan RT di sekitar kawasan hutan lindung Jompi masih dalam kondisi ideal yaitu rata-rata 5 jiwa per RT atau tiapa RT terdiri dari 3 anak dan ini masih tergolong sebagai keluarga kecil bahagia. Kondisi ini menggam-barkan bahwa program KB sekitar kawasan hutan lindung Jompi berhasil, hal ini diperkuat oleh data keikutsertaan pasangan usia subur dalam program Keluarga Berencana cukup tinggi. Misalnya di Desa Masalili Kecamatan Kontu naga dari 149 Pasangan Usia Subur (PUS) 70,5 persen diantaranya sebagai peserta aktif KB, Kelurahan Wali dari 292 PUS, 63,7 persen sebagai peserta aktif KB.

Angkatan Kerja

Salah satu aspek kependudukan yang penting untuk pembangunan wilayah adalah jumlah angkatan kerja. Ketersediaan tenaga kerja bisa berdampak positif ataupun negatif, tergantung situasi dan kondisi pada saat itu. Tenaga kerja

69

yang kurang sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja yang ada akan menyebabkan biaya operasional di lapangan menjadi mahal. Sebaliknya tenaga kerja melebihi ketersediaan lapangan kerja akan menimbulkan pengangguran.

Ketidakseimbangan jumlah tenaga kerja dengan ketersediaan lapangan kerja banyak dijumpai di daerah -daerah pedesaan termasuk. Bagi masyarakat pedesaan yang hidup sekitar kawasan hutan lindung, kurangnya lapangan kerja di luar sektor pertanian merupakan masalah tersendiri. Tingkat pendidikan, penge-tahuan, dan ketrampilan yang kurang memadai serta sarana dan prasarana yang kurang mendukung, terutama akses terhadap sumberdaya produktif, kesehatan dan pasar semakin menambah keterbatasan mereka. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya adalah dengan memanfaatkan sumber daya hutan yang ada di sekitarnya dan tentu akan berdampak negatif terhadap kelestarian hutan atau lingkungan dalam jangka panjang.

Ethika (Triwibowo 2001) menggolongkan jumlah penduduk berdasarkan produktifitas kerja sebagai berikut:

(1)Golongan tidak produktif: usia muda: =14 tahun dan usia tua: = 60 tahun.

(2)Golongan produktif: usia 15 – 59 tahun

Berdasarkan penggolongan tersebut, maka komposisi penduduk berdasarkan umur produktifitas kerja disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Komposisi penduduk berdasarkan golongan umur di kecamatan sekitar kawasan hutan lindung Jompi

Golongan tidak Produktif Gol Produktif

Kecamatan

Usia Muda (=14th)

Usia Tua

(=60) Jumlah (15 - 59th)

Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa %

Bata Laiworu 3.770 40,75 409 4,42 4.179 45,17 5.072 54,83 Katobu 9.582 35,83 1.084 37,71 10.666 39,89 16.075 60,11 Kontunaga 2.904 39,74 625 8,55 3.529 48,29 3.779 51,71 Dhuruka 3.913 39,35 1.790 18,00 5.703 57,35 4.242 42,65 Watupute 4.298 39,67 677 6,25 4.975 45,92 5.859 54,08

Jumlah 24.467 38,18 1.714 26,75 29.052 45,34 35.027 54,66 Sumber : Analisis kecamatan dalam angka 2004

Tabel 15 terlihat bahwa sebagian besar (55%) masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi merupakan golongan usia produktif (usia 15 – 59 tahun). Kondisi ini mengindikasikan bahwa di sekitar kawasan hutan lindung Jompi mempunyai tenaga kerja yang cukup memadai dan berpotensi meningkatnya tekanan penduduk terhadap hutan. Artinya bahwa jumlah golongan usia produktif yang tinggi dan lapangan kerja terbatas, kebutuhan semakin meningkat, maka mereka akan mencari sumber pendapatan alternatif misalnya memanfaatkan hasil hutan yang ada di sekitar mereka. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dilaku-kan untuk mengurangi tedilaku-kanan penduduk terhadap hutan seperti pembaladilaku-kan liar dan perambahan hutan adalah dengan pembukaan lapangan kerja baru.

Pengembangan Pendidikan

Pengembangan pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan suatu wilayah termasuk dalam pemberdayaan masyarakat. Tingkat pendidikan akan sangat menentukan kemampuan seseorang dalam memahami dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki termasuk dalam melaksanakan program pembangunan. Selain itu, tingkat pendidikan yang memadai akan mempengaruhi kreativitas seseorang untuk berkarya dan berinovasi dalam memenuhi kebutuhan .

Upaya peningkatan mutu pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Perhatian Pemerintah Daerah terhadap pengembangan pendidikan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan mulai dari jumlah gedung sekolah, dan guru. Sarana pendidikan dan tenaga pengajar (guru) yang sudah memadai untuk melayani penduduk di kecamatan yang bersen-tuhan langsung dengan kawasan hutan lindung Jompi akan berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Secara rinci sarana dan prasarana pendidikan di lima kecamatan yang bersentuhan langsung dengan kawasan hutan lindung Jompi disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Jumlah sekolah, guru, dan murid di kecamatan sekitar kawasan hutan lindung Jompi

Kecamatan Tingkat

Pendidikan

Jumlah

Sekolah (buah) Guru

(orang) Murid (Orang) Rasio Murid/guru Batalaiworu TK 3 10 74 7 SD 7 91 1.069 12 SLTP 1 68 1.078 15 SMU 2 108 1.630 15 13 277 3.851 14 Katobu TK 14 61 463 8 SD 31 472 7.113 15 SLTP 8 165 3.449 21 SMU 10 224 4.577 20 63 919 15.602 17 Duruka TK 5 19 38 2 SD 11 106 1.389 13 SLTP 1 23 222 10 17 148 1.699 11 Kontunaga TK 2 6 57 10 SD 7 52 1.116 21 SLTP 1 18 322 18 10 76 1.505 20 Watupute TK 3 15 80 5 SD 10 88 1.706 19 SLTP 2 47 560 12 MADRASAH 1 11 56 5 SMU 1 22 402 18 18 183 2.804 15

Sumber: Kabupaten Muna dalam angka tahun 2004 setelah dianalisis

Tabel 16 menunjukkan semua kecamatan telah memiliki sarana dan prasarana pendidikan pada semua tingkatan kecuali perguruan tinggi. Rasio tenaga pengajar dengan murid yang tergolong rendah jika dibandingkan standar nasional yaitu 15-30 murid per satu orang guru. Kondisi ini merupakan potensi yang dapat dikelola dengan baik agar tercipta sumberdaya manusia yang berkualitas. Kualitas SDM yang rendah (pengetahuan, ketrampilan, sikap dan moral) akan berdampak terhadap semua aspek pembangunan termasuk proses pemberdayaan dan pemahaman mereka terhadap fungsi dan manfaat serta cara memelihara hutan.

73

Pembalakan liar dan perambahan bisa terjadi karena ketidaktahuan masya-rakat atau sikap dan moral masyamasya-rakat yang tidak bertanggung jawab terhadap kepentingan kelestarian hutan dan masyarakat di masa yang akan datang. Oleh karena itu, ke depan kualitas penyelenggaraan pendidikan terus ditingkatkan kompetensi dan tingkat kesejahteraannya serta mempertimbangkan agar materi tentang lingkungan menjad i bagian dari mata ajaran anak Sekolah Dasar dan Menengah secara nasional sehingga pengetahuan masyarakat tentang kelestarian lingkungan diperkenalkan sejak dini.

Keadaan Umum Desa Sampel.

Secara administrasi kawasan hutan lindung Jompi di kelilingi oleh lima kecamatan dengan tiga puluh dua kelurahan/desa. Penelitian ini dilakukan pada kelurahan/desa yang bersentu han langsung dengan kawasan hutan lindung Jompi dan terletak di bagian hulu DAS Jompi yaitu; Kelurahan Wali, Desa Labaha (Kecamatan Watupute), Desa Bungi, Desa Masalili (Kecamatan Kontu-naga) dan Desa Ghonsume (Kecamatan Duruka). Secara rinci kondisi desa/kelura-han lokasi penelitian adalah sebagai beriku t:

Letak Administrasi dan Luas Wilayah

Kelurahan Wali

Berdasarkan sejarah, nama Desa Wali berasal dari singkatan nama orang yaitu ”Watuputih-Bangkali” yang konon kabarnya mereka adik -kakak. Desa Wali mulai terbentuk pada tahun 1971 dan berubah status menjadi Kelurahan Wali tahun 1978. Secara administrasi Kelurahan Wali dibagian Utara berbatasan dengan kawasan hutan lindung Jompi. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bangkali, Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Labaha, dan sebelah Timur berbatasan dengan kawasan hutan lindung Jompi. Berdasarkan topografinya, Kelurahan Wali sebagian besar wilayahnya (502) ha dataran dan lebihnya 150 ha perbukitan dengan ketinggian tempat 65 meter dpl dan curah hujan rata-rata per

Kelurahan Wali memanjang dari Timur ke Barat mengikuti jalan utama menuju Kecamatan Kusambi. Jarak dengan ibukota kecamatan 0,5 km dan ibukota kabupaten 5 km. Luas wilayah Kelurahan Wali adalah 652 ha yang terdiri dari 189,13 ha untuk ladang/tegalan, 255,16 ha perkebunan rakyat, 349.51 ha hutan asli, 5,50 ha hutan sekunder, 18,16 ha pemukiman, 1,34 ha perkantoran, sekolah, masjid, pasar dan makam, 2,7 ha jalan, 1 ha lapangan sepak bola dan 4.5 ha tanah kritis/padang ilalang.

Desa Labaha

Desa Labaha adalah salah satu desa yang terletak di bagian hulu DAS Jompi yang pada tahun 90 -an masih merupakan wilayah Kelurahan Wali. Pada tahun 2000-an terbuka peluang bagi daerah atau kelurahan/desa yang memiliki wilayah yang luas untuk memisahkan, atau memekarkan daerah/kelurahan/desa berdasarkan UU 22 dan 25 tahun 1999. Peluang ini dimanfaatkan oleh masyarakat Labaha yang didukung oleh kelurahan induk untuk membentuk satu desa tersendiri. Pada tahun 2000 usaha dan kerjasama dari seluruh komponen masya-rakat yang d idukung oleh kelurahan induk, maka Desa Labaha terbentuk sebagai salah satu desa yang ada di wilayah Kecamatan Watupute.

Secara administrasi Desa Labaha dibagian Utara berbatasan dengan Kelurahan Wali. Sebelah Barat dengan Desa Dana, Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bungi, dan sebelah timur berbatasan dengan kawasan hutan lindung Jompi dan merupakan bagian hulu DAS Jompi. Sistem pemukiman Desa Labaha memanjang dari Utara ke Selatan mengikuti jalan utama ke arah Buton. Jarak dengan ibukota kecamatan 1 km, ibukota kabupaten 7 km.

Desa Labaha dengan luas wilayah 510 ha yang terdiri dari 328 ha perkebunan rakyat, 117 ha hutan asli, 56,75 ha pemukiman, 4,79 ha perkantoran, sekolah, masjid, pasar dan makam dan 3,38 ha jalan. Berdasarkan topografinya Desa Labaha sebagian besar wilayah atau 396 ha dataran dan lebihnya 114 ha perbukitan dengan ketinggian tempat 75 m dari permukaan laut dan curah hujan

75

Desa Bungi

Nama Bungi diambil dari nama sebuah tempat yang pada zaman

penjaja-han Belanda terkenal dengan wilayah atau tempat “bungi.” Wilayah atau tempat

bungi memiliki arti sebagai wilayah atau tempat yang bebas pajak dan dikelola

oleh Kepala Kampung. Pada pertengahan tahun 40-an Jepang masuk di Pulau Muna Kampung Bungi di hapus dan mulai dikenai pajak.

Desa Bungi adalah salah satu desa tua yang ada di Kecamatan Kontunaga. Secara administrasi Desa Bungi terletak di dataran Pulau Muna dengan batas -batas sebagai berikut; sebelah Utara ber-batasan dengan Kelurahan Wali dan Bangkali, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Lapodidi, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Mabodo dan Kontunaga, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Labaha dan Mabodo. Desa Bungi dengan ibukota kecamatan berja-rak 2,5 km dan dengan ibukota kabupaten berjaberja-rak 9 km.

Luas wilayah Desa Masalili adalah 1.389 ha yang terdiri dari 234 ha tegalan/ladang, 407 ha perkebunan rakyat, 303 ha hutan asli, 343.25 hutan sekun-der, 35 ha tanah kritis/tandus dan padang ilalang, 57.75 ha pemukiman, 3 ha perkantoran, sekolah, masjid, pasar, dan makam, 1ha lapangan sepak bola dan 6 ha jalan. Berdasarkan topografinya Desa Bungi sebagian besar wilayahnya atau 739 ha dataran dan lebihnya 650 ha perbukitan dengan ketinggian tempat 50 m dari permukaan laut dan curah hujan rata-rata per tahun 2.000-2.500 mm serta

keadaan suhu rata-rata 26oC.

Desa Masalili

Desa Masalili merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Kontunaga yang bersentuhan langsung dengan dengan kawasan hutan lindung Jompi yang terletak dibagian tengah DAS Jompi. Secara administrasi Desa Masalili terletak di dataran Pulau Muna dengan batas-batas sebagai berikut; sebelah Utara berbatasan dengan kawasan hutan lindung Jompi, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Mabodo, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Liangkobori.

Luas wilayah Desa Masalili adalah 775 ha yang terdiri dari 258 ha tegalan/ladang, 126 ha perkebunan rakyat, 230 ha hutan asli, 110 hutan sekunder, 25 ha tanah kritis/tandus, 17,5 ha pemukiman, 3,13 ha perkantoran, sekolah, masjid, pasar, 1 ha lapangan sepak bola dan makam dan 5,4 ha jalan. Berdasarkan topografinya Desa Masalili terdiri dari 549 ha dataran dan lebihnya 246 ha perbukitan dengan ketinggian tempat 100 m dari permukaan laut dan curah hujan

rata-rata per tahun 2.000-3.000 mm serta keadaan suhu rata-rata 28oC.

Desa Ghonsume

Desa Ghonsume adalah desa hasil pemekaran dari Kelurahan Palangga. Pembentukan desa Ghonsume melalui cerita dan perjuangan yang panjang. Ghonsume menurut cerita secara turun temurun merupakan perkampungan terisolir yang penduduknya kurang dari 30 KK di zaman pemerintahan Bone (Parintah Bone). Kampung Ghonsume juga dikenal sebagai tempat pelarian bagi orang-orang yang tidak mau tunduk pada perintah Belanda. Nama Ghonsume

diambil dari nama pohon yaitu pohon koghonsumeno yang diyakini memiliki

kekuatan dan bernilai sakral. Penduduk Kampung Ghonsume mulai bertambah dengan adanya pendatang baru dari Kampung Kasaka dan Kampung Lawa (Zaman Belanda). Kemudian penduduknya semakin bertambah setelah tahun 1971 Kampung Ghonsume menerima tambahan penduduk dari kegiatan Restlemen Desa yang berasal dari Kampung Lalemba. Seiring dengan perjalanan waktu maka pada tahun 1997, kampung Ghonsume mulai dipersiapkan sebagai desa defenitif dan pada tahun 1998 kampung Ghonsume resmi berdiri sebagai salah satu desa defenitif di wilayah Kecamatan Duruka saat ini.

Secara adminitrasi Desa Ghonsume terletak di dataran Pulau Muna dengan batas-batas sebagai berikut; sebelah Utara berbatasan dengan kawasan hutan lindung Jompi dan Kelurahan Palangga serta terletak dibagian tengah DAS Jompi, sebelah barat berbatasan dengan kawasan hutan lindung Jompi, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bolo dan Kondongia, dan sebalah Timur berbatasan dengan Desa Wapunto. Luas wilayah Desa Ghonsume adalah 218 ha yang terdiri

77

dari 26.78 ha tegalan/ladang, 60 ha perkebunan rakyat, 40 ha tanah kritis/tandus,

Dokumen terkait