PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN
HUTAN LINDUNG JOMPI KABUPATEN MUNA,
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
DASMIN SIDU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, November 2006
ABSTRAK
DASMIN SIDU. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN, PANG S. ASNGARI dan SUMARDJO.
Hutan sebagai aset pembangunan nasional sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Oleh karena itu, hutan harus dikelola, dikembangkan dan dimanfaatkan secara baik dan lestari demi kesejahteraan masyarakat. Kawasan hutan lindung Jompi adalah salah satu kawasan hutan lindung di Kabupaten Muna yang memiliki sumber mata air yang saat ini telah mengalami kerusakan yang serius dengan kondisi kelurahan/desa di sekitarnya 78 persen tidak berdaya/miskin. Tujuan penelitian adalah : (1) menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial masyarakat sekitar kawasan hutan
lindung, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung, (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung, dan (4) merumuskan model pember-dayaan masyarakat yang efektif d i sekitar kawasan hutan lindung sesuai dengan kondisi lokal. Penelitian ini dilakukan di sekitar kawasan hutan lindung Jompi Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober 2005 sampai Mei 2006 dengan
teknik survei, wawancara, dan Focus Group Discussion (FGD). Populasi
penelitian adalah masyarakat tani yang bermukim di bagian hulu DAS Jompi yang berjumlah 981 rumah tangga. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik
culster sampling dengan jumlah sampel 226 rumah tangga tani. Analisis yang
digunakan adalah analisis korelasi, regresi berganda dan analisis jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) modal sosial masyarakat sekitar kawasan hutan lindung sudah melemah (rata-rata skor 52), terutama dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya ketersediaan modal fisik dan rendahnya kualitas
modal manusia, (2) proses pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan
lindung masih rendah (rata-rata skor 36), terutama dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku pemberdayaan, kurang tersedianya modal fisik, dan melemahnya modal sosial, (3) T ingkat keberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung adalah masih rendah (rata-rata skor 42), terutama dipengaruhi secara nyata oleh rendahnya proses pemberdayaan dan kurang tersedianya modal fisik, dan (4) perpaduan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keberdayaan masyarakat seperti faktor proses pemberdayaan,
modal fisik, kemampuan pelaku pemberdayaan, modal sosialdan modal manusia
merupakan model pemberdayaan masyarakat yang efektif di sekitar kawasan hutan lindung.
of Jompi, Muna Regency, Southeast Sulawesi Province. Under the Supervision of BASITA GINTING SUGIHEN, PANG S. ASNAGARI and SUMARDJO.
Forest as an asset of national development is very important and has a great advantage for human life and livelihood. For this reason, forest ought to be managed, developed and exploited continuously for the people’s welfare. The protection forest of Jompi is one of such forests in the Muna Regency, having water resource which at present suffers from severe damage and 78% of the condition around the villages is powerless or poor. The objectives of this research were (1) to analyze the factors influencing the social capital of the community surrounding the protection forest of Jompi, (2) to analyze the factors influencing the process of community empowerment around the forest, (3) analyze the power level of the community around the forest, and (4) to formulate an effective empowerment model for the community around the forest suitable to its local condition. The study was conducted around the area of protection forest of Jompi, Muna Regency, Southeast Sulawesi Province. The data were collected from October 2005 to May 2006 by using a survey, interview, in-depth interview, and focus group discussion. The research population were 981 households taken from the farmer community living at the downstream of Jompi water-shed area. The cluster sampling technique was used to obtain a sample of 226 farmer households. The data was analyzed by means of correlation, Multiple Regression, and Path Analysis. The analysis results showed that (1) the social capital of the people around the protection forest of Jompi was already declining (the average score of 52), which was significantly influenced by a low availability of physical capital and low quality of human resource/capital, (2) the community empowerment activity around the forest was still limited (the average score of 36), which was affected significantly by the limited skill of those who carried out the empowerment, insufficient physical capital, and declining social capital (the average score of 52), (3) the power level of the community around the protection forest was still low (the average score of 42), which was significantly affected by limited activity of empowerment and inadequate physical capital, (4) a combination of those factors affecting the power level of the community significantly, such as empowering process, physical capital, the ability of those conducting empowerment, social and human capitals, is an effective model of empowerment for the community around the protection forest of Jompi.
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
DASMIN SIDU
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi : Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Nama Mahasiswa : Dasmin Sidu
N I M : P 061030031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA. Ketua
Prof. Dr. H. Pang S. Asngari Dr. Ir. Sumardjo, M.S
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Sekitar
Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara” ini berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Basita Ginting Sugihen,
MA selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. H. Pang S. Asngari dan Dr. Ir.
Sumardjo, M.S. selaku anggota komisi pembimbing. yang telah banyak men
-curahkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan kepada penulis. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar
Notodiputro, M.S. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta
stafnya dan Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan
Pembangunan (PPN) beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan
admi-nistrasi secara baik. Demikian juga penulis ucapkan banyak terima kasih kepada
rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bagor terutama mahasiswa
pada program studi PPN yang telah memberi masukkan dan saran yang sangat
bermanfaat dalam penulisan disertasi ini.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna, oleh karena
itu masukkan dan saran dari berbagai pihak demi penyempurnaan tulisan ini
sangat penulis harapkan. Semoga semua usaha menuju kesempurnaan selalu
dituntun dan diridhoi oleh Allah SWT.
Bogor, November 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Lipu-Muna, Sulawesi Tenggara pada tanggal 6 Mei 1972
sebagai anak kelima dari pasangan La Sidu dan Wa Hinu. Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas
Pertanian UGM lulus tahun 1997. Pada tahun 2000 penulis diterima di Program
Studi Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana UGM Yogyakarta dan lulus pada
tahun 2002. Pada bulan September tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan
melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan
Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor dengan beasiswa BPPS dari
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas
Haluoleo (UNHALU) Kendari sejak tahun 1999, sebagai tim pengajar untuk mata
kuliah Dasardasar Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Penyuluhan dan Ko
-munikasi Pertanian, Evaluasi dan Administrasi Penyuluhan. Metode Penyuluhan
dan Komunikasi Pertanian. Pembuatan Materi Penyuluhan dan Komunikasi
Per-tanian, Statistik untuk Ilmu Sosial dan Dasar-dasar Manajemen. Penulis pernah
menjadi Staf Peneliti pada Pusat Studi Lingkungan (PSL) UNHALU, staf peneliti
pada Pusat Pengembangan Ilmu-Ilmu Pertanian (PPIP) UNHALU dan staf
pengajar tetap di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian pada Sekolah Tinggi Ilmu
Pertanian Wuna di Raha untuk mata kuliah Penyuluhan dan Komunikasi
Pertanian, Metode Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian dan Dasar -dasar
Manajemen.
Selama mengikuti program S3, penulis menjadi Anggota Tim Verfikasi
Nasional Penerima Biaya Kompensasi BBM untuk tingkat SMP se-Indonesia
tahun 2004, Anggota Tim Nasional Penyusunan Data Base Sosial Ekonomi,
budaya dan Kelembagaan lokasi Calon Penerima Bantuan Program P2KP
se-Indonesia tahun 2004, Anggota Tim Kajian Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
di Indonesia tahun 2005 dan Anggota Tim Evaluasi Nasional Program P2KP
Halaman
DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN ………...………....…………..
Latar Belakang ………...……….………….………….. Masalah Penelitian ………..……….. Tujuan Penelitian ………..………..………….. Kegunaan Penelitian ………..……….………….. Definisi Istilah ………..
TINJAUAN PUSTAKA ………..……..….……….. Konsep Pemberdayaan ... Proses Pemberdayaan ……...……….……….……….. Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat…..………...
Kemampuan Pelaku Pemberdayaan (Stakeholders) ………….….. ……...
Memahami Modal Manusia (Human Capital) ……….
Modal Sosial (Social Capital) ……….…….……….…….
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS…..………..………….. Kerangka Berpikir ………..……….……… Hipotesis Penelitian……….….……….……..…………..
METODE PENELITIAN ………...…………... Populasi dan Sampel ... Populasi ... Sampel ... Desain Penelitian………...………...…………... Data dan Instrumen ... Data ... Instrumen... ...
Validitas Instrumen ... Reliabilitas Instrumen ... Teknik Pengumpulan Data ... Analisis Data ... Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...
HASIL DAN PEMBAHASAN ... Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... Letak Geo grafis dan Luas W ilayah ... Iklim dan Topografi... ...
Jenis Tanah dan Hidrologi ... Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... Angkatan Kerja ... Pengembangan Pendidikan ... Keadaan Umum Desa Sampel ... Letak Administrasi dan Luas Wilayah ... Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... Tingkat Pendidikan ... Mata Pencaharian ... Angkatan Kerja ... Tata Guna Lahan ... Pola Usaha Tani ... Sarana dan Prasarana Perekonomian ... Karakteristik Responden ...
Umur ... Tingkat Pendidikan... Luas Lahan Garapan ... Status Kepemilikan Lahan ... Kondisi Modal Fisik Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi... ... Kondisi Modal manusia Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi... ... Kondisi Modal Sosial Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi... ... Persepsi Respond en terhadap Kemampuan Pelaku Pemberdayaan……... Persepsi Responden terhadap Proses Pemberdayaan……... Tingkat keberdayaan Masyarakat ...……... Sejarah Pembangunan Hutan Jati di Kabupaten Muna ...
Masa Kerajaan Sugi Laende (Awal Abad 15)... Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (1901-1942)... Masa Pemerintahan Jepang (1942-1945) ... Masa Kemerdekaan (1945 -1999)... Masa Otonomi Daerah (2001-sekarang) ... Kondisi Hutan Jati Muna Saat ini ... ...
Hutan Jati Alam ... Hutan Jati Tanaman... Interaksi Masyarakat dengan Hutan ... Pembangunan Hutan di Kawasan Hutan Lindung Jompi ...
Tujuan Pembangunan Hutan ... Pola Pembangunan Hutan di dalam dan Sekitar KHLJ...
Model Efektif Pemberdayaan Masyarakat ... Bentuk-Bentuk Pemberdayaan Masyarakat ... ...
SIMPULAN DAN SARAN ... Simpulan ... Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ………..…....
151 156
164 164 165
DAFTAR TABEL
Tabel Teks Halaman
1. Tahapan pemberdayaan knowledge, atitudes, practice dengan
pendekatan apek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif ...
2. Ciri-ciri masyarakat berdaya dilihat dari aspek pengetahuan,
sikap dan trampilan...
3. Ciri-ciri pelaku pemberdayaan yang memberdayakan dilihat dari aspek
perilaku, pengetahuan, sikap dan ketrampilan ...
4. Ciri masyarakat yang memiliki modal manusia (human capital) …..…
5 Tingkatan modal sosial (social capital) masyarakat ………..……...….
6 Kisaran nilai cronbach’s alpha hasil uji reliabilitas...
7 Indikator dan parameter modal fisik (phyisical capital)…….…..……..
8 Indikator dan parameter modal manusia (Human capita)……...……
9 Indikator dan parameter modal sosial (Social capital)………..…..…….
10 Indikator dan parameter kemampuan pelaku pemberdayaan ….…..…….
11 Indikator dan parameter proses pemberdayaan...…….…..…….
12 Indikator dan parameter tingkat keberdayaan masyarakat..….…...…..
13 Luas wilayah dan kepadatan penduduk di kecamatan sekitar KHLJ...
14 Jumlah RT dan tingkat kepadatan RT di kecamatan sekitar KHLJ...
15 Komposisi penduduk berdasarkan golo ngan umur sekitar KHLJ...
16 Jumlah sekolah, guru dan murid di kecamatan sekitar KHLJ...
17 Persebaran dan tingkat kepadatan penduduk di sekitar KHLJ...
18 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di desa sampel...
19 Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian di desa sampel...
20 Komposisi penduduk berdasarkan umur di desa sampel...
21 Pola penggunaan lahan penduduk di desa sampel... ...
22 Populasi ternak penduduk di desa sampel ... ...
23 Sebaran responden berdasarkan umur...
24 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal ...
25 Sebaran responden berdasarkan luas lahan garapan...
26 Hasil penilaian (skor) responden terhadap ketersediaan modal fisik ...
27 Hasil penilaian (skor) terhadap kualitas modal manusia yang dimiliki
responden ...
28 Hasil penilaian (skor) terhadap kualitas modal sosial yang dimiliki
responden ...
29 Hasil penilaian (skor) terhadap kualitas kemampuan pelaku
pemberdayaan ...
30 Hasil penilaian (skor) terhadap kualitas proses pemberdayaan...
31 Hasil penilaian (skor) terhadap tingkat keberdayaan masyarakat...
34 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan proses pemberdayaan ………...
35 Nilai koefisien regresi berganda faktor-faktor yang berpengaruh
dengan proses pemberdayaan...………...
36 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan keberdayaan
masyarakat...………...
37 Nilai koefisien regresi berganda faktor-faktor yang berpengaruh
dengan proses pemberdayaan...…...……
38 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaan
warga masyarakat... ...
39 Nilai sumbangan efektif faktor-faktor yang menjadi unsur model efektif
pemberdayaan masyarakat ...
142
144
148
149
152
DAFTAR GAMBAR
Gambar Teks Halaman
1. Peningkatan partisipasi aktif masyarakat... ………….
2. Model kerangka berpikir ... ...
3. Model konseptual hipotesis pertama ...
4. Model konseptual hipotesis kedua ...
5. Model konseptual hipotesis ketiga ...
6. Perkembangan hubungan antara sub sistem kehutan (A) dan sub sistem
sosial (B) ...
7. Dampak pertambahan penduduk terhadap potensi hutan ...
8. Model konseptual hubungan antar variabel yang mempengaruhi modal
sosial ...
9. Model konseptual hubungan antar variabel yang mempengaruhi proses
pemberdayaan ...
10.Model konseptual hubungan antar variabel yang mempengaruhi
keberdayaan masyarakat ...
11.Model hubungan dan besarnya koefisien jalur antar variabel yang
mempengaruhi keberdayaan warga masyarakat ...
12.Model efektif pemberdayaan masyarakat di sekitar KHLJ... ...
23 45 46 46 47
128 128
141
146
150
1. Peta Kabupaten Muna dan Lokasi Penelitian... ……….
2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... ...
3. Hasil Uji Korelasi dan Regresi...
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada
Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara yang
memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, cenderung kondisinya
semakin menurun. Hutan juga merupakan salah satu sumber daya alam yang
berperan dalam menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan
kesuburan tanah. Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi
kehidupan manusia.
Indonesia dikenal memiliki hutan tro pis yang cukup luas dengan
keaneka-ragaman hayati yang sangat tinggi dan bahkan tertinggi kedua di dunia setelah
Brazillia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Planologi Kehutanan
RI tahun 2000 bahwa luas hutan Indonesia adalah 120,3 juta hektar atau 3,1% dari
luas hutan dunia (Suhendang, 2002). Seiring dengan berjalannya waktu dan
tingkat kebutuhan akan kayu semakin meningkat, mendorong masyarakat baik
secara individu maupun kelompok melakukan eksploitasi hasil hutan dengan tidak
memperhatikan kelestariannya. Eksploitasi hasil hutan tersebut biasanya
dilaku-kan secara ilegal seperti melakudilaku-kan pembaladilaku-kan liar, perambahan, pencurian yang
mengakibatkan kerusakan hutan di Indonesia tidak terkendali (laju kerusakan
hutan Indonesia 2,8 juta hektar per tahun). Akibatnya, kerusakan hutan atau
lingkungan tak terkendali tersebut mengakibatkan luas hutan semakin menurun,
lahan kritis semakin bertambah , dan sering terjadi bencana alam seperti banjir,
tanah longsor, dan lain sebagainya.
Kerusakan hutan di In donesia tidak hanya terjadi pada hutan alam tetapi
juga telah terjadi pada hutan lindung. Padahal, hutan lindung memiliki fungsi
yang spesifik terutama berkaitan dengan ketersediaan air. Air merupakan sumber
kehidupan yang sangat penting terhadap keberlanjutan kehidupan bagi semua
mahluk hidup. Hal ini seperti telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang menjelaskan bahwa hutan
lindung merupakan kawasan hutan karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan
guna pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan
kesu-buran tanah. Oleh karena itu, hutan lindung perlu perhatian yang serius dari semua
pihak agar kelestariannya tetap terjamin.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 12 Nopember 1988 No.903/
Menhut-II /1988, menjelaskan bahwa fungsi hutan lindung antara lain: (1) hutan
lindung dapat dimanfaatkan dan juga untuk kegiatan wisata alam dengan
per-syaratan tertentu, (2) memberikan izin kepada masyarakat untuk memungut rotan,
umbi-umbian dan hasil hutan non kayu lainnya, asalkan dijaga dan diawasi agar
tidak merusak dan membahayakan fungsi hutan, (3) budidaya rotan diizinkan
hanya terbatas pada jenis rotan yang tidak memerlukan pembukaan tanah
sedemikian rupa sehingga membahayakan fungsi lindungnya. Karena fungsinya
demikian penting terhadap kehidupan manusia dan kelestarian lingkungan, maka
keberadaan dan kelestarian hutan lindung harus dipertahankan secara optimal,
dijaga daya dukungnya, dan diurus dengan arif, lestari, bijaksana, profesio nal,
serta bertanggungjawab.
Agar tata lingkungan hidup terjamin kelestariannya, maka pengurusan
hutan lindung yang berkelanjutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran
serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat berdasarkan pada
norma hukum lokal dan nasional agar pendayagunaannya dilakukan seoptimal
mungkin bagi kesejahteraan umat manusia. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 464/KptsII/1995 bahwa pengelolaan kawasan lindung meru
-pakan urusan yang telah dis erahkan kepada Pemda Tingkat II. Penyerahan dan
pelimpahan wewenang pengelolaan hutan, terutama kawasan lindung diharapkan
akan lebih efektif dan efisien serta akan lebih terasa manfaatnya bagi kehidupan
masyarakat. Namun, pelimpahan wewenang pengelolaan hutan tersebut tidak
menunjukkan perubahan positif yang signifikan, tetapi kerusakan kawasan hutan
lindung justru terus terjadi. Akhir-akhir ini, pembalakan liar dan perambahan
kawasan lindung menjadi perbin cangan yang menarik dikalangan masyarakat.
Kerusakan hutan yang terus terjadi telah mengakibatkan malapetaka dan bencana
yang menelan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit, seperti musibah kebakaran
3
dan lain sebagainya. Hal ini tertentu merupakan tantangan bagi semua pihak untuk
mencari akar permasalahan dan solusi pemecahannya.
Pembalakan liar, pembukaan lahan pertanian dan perkebunan, pembukaan
pemukiman baru , transmigrasi, dan pemberlakuan izin HPH dan lain sebagainya,
disinyalir merupakan penyebab rusaknya kawasan hutan di Indonesia. Selain itu,
pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang semakin tinggi serta diiringi oleh
desakan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, lapangan kerja kurang
tersedia memaksa kawasan hutan, termasuk kawasan hutan lindung dijadikan
sebagai alternatif sasaran bagi masyarakat, baik masyarakat sekitar kawasan
maupun masyarakat yang jauh dari kawasan untuk memperoleh penghasilan yang
dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Kawasan hutan lindung Jompi adalah satu kawasan hutan lindung yang
ada di Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Kawasan hutan lindung
Jompi di kenal memiliki komoditi kayu jati yang bernilai ekonomi tinggi dan nilai
budaya masyarakat Muna (simbol Kota Muna). Pada tahun 1970 -an sepanjang
jalan dari kota Raha menuju Bau -Bau dan Tampo pemandangan hutan kayu jati
memiliki daya tarik tersendiri. Daun jati yang hijau dan jejeran pohon yang tertata
baik menambah kenyamanan pengguna jalan yang menuju ke Bau -Bau maupun
ke Tampo. Namun, kenyamanan itu secara berangsur-angsur hilang seiring
dengan berlangsungnya kegiatan pembalakan, pencurian dan perambahan yang
dilakukan oleh oknum masyarakat baik secara individu maupun kelompok.
Kegiatan pembalakan dan perambahan secara ilegal secara terang -terangan
dilaku-kan sejak tahun 1997, termasuk di dalam kawasan hutan lindung Jompi.
Sebagai ilu strasi, luasan hutan di Kabupaten Muna, berdasarkan Surat
Kepmenhut No.454/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 seluas 235.759 ha atau
51,3 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Muna. Dari luas kawasan hutan
tersebut, ± 46.363 ha atau 19,5 persen merupakan kawasan hutan lindung dan ±
1.927 ha atau 4, 2 persen diantaranya adalah kawasan hutan lindung Jompi. Dari
luas Kawasan hutan lindung Jompi tersebut, ± 1.233 ha atau 64 persen adalah
hutan jati alam dan ± 694 ha atau 36 persen adalah hutan campuran. Kawasan
atau 56,1 persen (seluruhnya hutan jati) telah rusak. (Dinas Kehutanan Kabupaten
Muna, 2005).
Fakta kerusakan hutan jati, terutama di kawasan hutan lindung Jompi telah
mempengaruhi penurunan debit air sungai Jompi secara drastis yaitu dari 300
liter per detik pada tahun 1980-an turun menjadi 28 liter per detik pada tahun
2005 (PDAM Kabupaten Muna 2005). Sumber mata air jompi adalah satu-satunya
sumber mata air saat ini yang mensuplai kebutuhan air bersih penduduk Kota
Muna. Hal ini mengindikasikan bahwa jika kawasan hutan lindung Jompi tidak
diselamatkan atau dihijaukan kembali maka penduduk Kota Muna akan
mengha-dapi permasalahan ketersediaan air bersih yang cukup serius dimasa yang akan
datang. Di sisi lain, pengelolaan sumberdaya alam (kayu jati) di kawasan hutan
lindung Jompi tidak menyebabkan kehidupan masyarakat di sekitarnya semakin
baik, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Berdasarkan data dari BPMD
Kabupa-ten Muna tahun 2006 menyebutkan bahwa sebagian besar atau 78 persen
kelura-han/desa di sekitar kawasan hutan lindung Jompi tergolong miskin. Masyarakat di
sekitar kawasan hutan lindung Jompi tidak memiliki daya, kekuatan atau
kemampuan untuk bersaing dengan masyarakat yang memiliki kemampuan eko
-nomi tinggi dalam mengakses sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka yaitu
antara lain kayu jati. Akibatnya, hasil eksploitasi kayu jati hanya dirasakan oleh
segelintir masyarakat yang memiliki daya, kekuatan atau kemampuan ekonomi
maupun negosiasi yang memadai terhadap pihak -pihak tertentu yang memiliki
wewenang dan kekuasaan.
Gambaran ketidakberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung
Jompi di Kabupaten Muna dapat diteliti melalui berbagai sudut pandang, di
antaranya dari sisi ketersediaan modal/aset kaitannya dengan keberdayaan
masya-rakat. Penelitian ini antara lain akan mengungkapkan kondisi umum modal/aset
yang dimiliki masyarakat sekitar kawasan hutan lindung dan pengaruhnya
terhadap proses pemberdayaan dan keberdayaan masyarakat. Fakta-fakta empirik
yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif guna mendesain modal
5
Masalah Penelitian
Hutan lindung sebagai salah satu sumber daya alam yang berperan
menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan
tanah merupakan urat nadi kehidupan manusia yang saat ini cenderung menurun
keberadaannya. Perambahan dan pembalakan liar (illegal logging) terjadi di
mana-mana dan menyebabkan kerusakan hutan yang tidak terkendali. Akibatnya
bencana alam seperti banjir, tanah longsor sudah menjadi langganan pada musim
hujan tiba yang tidak jarang menelan korban ratusan jiwa masyarakat yang tidak
berdosa. Ironisnya, banyak pihak termasuk pemerintah selalu menyalahkan dan
bahkan menuduh masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai penyebab utama
kerusakan hutan. Tuduhan ini sangat tidak beralasan, apalagi jika dilihat secara
dekat kondisi kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan, seperti kehidupan
masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi yang sebagian besar (78%)
dalam kondisi miskin dan tidak berdaya. Kondisi inilah perlu di pahami dan
dijadikan salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan perencanaan
penyusunan program, agar setiap kebijakan dan program tentang pengaturan
pengelolaan hutan yang diambil tetap memperhatikan kondisi sosial budaya dan
ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan lindung.
Paradigma perencanaan pengelolaan hutan dan pemberdayaan masyarakat
yang sentralistik yaitu program dirancang dari atas tanpa melibatkan masyarakat
harus diubah kearah peningkatan partisipasi masyarakat lokal secara optimal.
Anggapan sebagian elit bahwa untuk mencapai efisiensi pembangunan,
masyarakat tidak mempunyai kemampuan menganalisis kondisi dan merumuskan
permasalahan, serta solusi pemecahannya, harus diubah bahwa setiap individu
memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan masyarakatlah yang paling
mengetahui dan mengenal potensi dan permasala-han yang mereka hadapi.
Perencanaan sentralistik dan anggapan bahwa masyara-kat tidak mampu
menganalisis dan merumuskan permasalahan nya, d isinyalir merupakan salah satu
penyebab kegagalan program pengelolaan hutan dan pemberdayaan masyarakat
Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah mereka yang lemah dan
tidak memiliki daya, kekuatan atau kemampuan mengakses sumberdaya produktif
atau masyarakat terpinggirkan dalam pembangunan. Tujuan akhir dari proses
pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar
dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang
dimilikinya. Daya, kekuatan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat secara
memadai akan mendorong masyarakat untuk dapat mengakses sumber -sumber
daya produktif, mandiri dalam pengambilan keputusan dan percaya diri dalam
bertindak.
Secara sosial masyarakat sekitar kawasan hutan lindung (masyarakat
dibagian hulu DAS Jompi) sampai saat ini tetap teridentifikasi sebagai masyarakat
marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki daya, kekuatan, dan kemampuan
yang dapat diandalan serta tidak memiliki modal yang memadai untuk bersaing
dengan masyarakat kapitalis atau masyarakat pengusaha yang secara sosial dan
politik memiliki daya, kekuatan dan kemampuan yang memadai.
Secara ekonomis kondisi kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan
lindung Jompi tergolong miskin. Secara politik mereka tetap tertindas oleh
struktur dan sistem politik pemerintah (negara) yang belum berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan dasar/kepentingan masyarakat. Ketidakberdayaan
masyarakat secara sosial, ekonomi dan politik menjadi salah satu ganjalan bagi
masyarakat untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan sesama
saudaranya yang secara sosial dan ekonomi telah berhasil. Oleh karena itu, upaya
pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu alternatif untuk mengangkat
harkat dan martabat masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi secara
berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat adalah proses memperoleh dan memberikan
“daya, keku atan atau kemampuan ” kepada warga masyarakat agar mampu
mengenali potensi yang dimiliki, menentukan kebutuhan dan memilih alternatif
pemecahan masalah yang dihadapinya secara mandiri. Namun hal itu tidak mudah
untuk dicapai, tetapi membutuhkan kajian dan penelitian ilmiah yang
7
karena itu, dalam penelitian ini akan mengkaji beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan
warga masyarakat dan merumuskan model pemberdayaan yang sesuai dengan
kondisi lokasi.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut;
(1)Bagaimana kondisi modal sosial (social capital), modal manusia (human
capital) masyarakat dan modal fisik (physical capita l) sekitar kawasan hutan
lindung Jompi?
(2)Bagaimana tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses pemberdayaan
sekitar kawasan hutan lindung Jompi dan faktor-faktor apa saja yang
mem-pengaruhinya?
(3)Bagaimana tingkat keberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung
Jompi dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya?
(4)Model pemberdayaan masyarakat seperti apa yang efektif atau sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi yang
berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
(1)Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial masyarakat
sekitar kawasan hutan lindung.
(2)Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemberdayaan
masya-rakat sekitar kawasan hutan lindung .
(3)Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberdayaan
masya-rakat sekitar kawasan hutan lindung .
(4)Merumuskan model pemberdayaan masyarakat yang efektif di sekitar
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi semua stakeholders baik
dalam tataran akademis (keilmuan) maupun praktis. Kegunaan penelitian yang
dimaksud adalah:
A. Kegunaan dalam tataran akademis/keilmuan:
(1) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman modal fisik
(physical capital), modal manusia (human capital) dan modal sosial
(social capital) serta pengaruhnya terhadap proses pemberdayaan dan
keberdayaan masyarakat.
(2) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman proses
pemberdaya-an masyarakat sekitar kawaspemberdaya-an hutpemberdaya-an lindung ypemberdaya-ang dapat menigkatkpemberdaya-an
keberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.
(3) Memberikan informasi bagi penelitian yang serupa agar dapat melakukan
penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang modal fisik
(physical capital), modal manusia (human capital) dan modal sosial
(social capital), pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kapasitas
masyarakat sekitar kawasan hutan lindung.
B. Kegunaan dalam tataran praktis.
(1) Sebagai tambahan informasi kepada para pengambil kebijakan dalam
merumuskan dan mendesain model pemberdayaan masyarakat yang efektif
khususnya bagi masyarakat sekitar kawas an hutan lindung Jompi.
(2) Sebagai tambahan informasi bagi semua stakeholders dalam merancang
dan melakukan evaluasi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat
secara berkelanjutan .
(3) Sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya tentang pengaruh
modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital) dan modal
9
Definisi Istilah
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara,
dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung
Jompi. Untuk menjawab permasalahan penelitian ini maka perlu dilakukan
pengukuran terhadap faktor/variabel yang menjadi peubah dalam penelitian ini,
yaitu modal fisik, modal manusia dan modal sosial, kemampuan pelaku
pember-dayaan, proses pemberdayaan dan tingkat keberdayaan warga masyarakat.
Berkaitan dengan keperluan pengukuran faktor-faktor/variabel-variabel
yang digunakan, maka perlu ada kesamaan pengertian terhadap istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut adalah:
(1) Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh
atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan
masyarakat lemah agar mereka dapat mengidentifikasi, menganalisis,
mene-tapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus
memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumber -daya dan
potensi yang dimiliki secara mandiri.
(2) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
(3) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
(4) Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah.
(5) Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang telah ditentukan oleh
pemerintah untuk dilindungi dari segala macam aktivitas manusia yang
mengakibatkan kerusakan hutan atau kehilangan fungsi hutan, seperti
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi
(6) Modal fisik (physical capital) adalah suatu infrastruktur pokok yang dapat
menunjang dan memperlancar usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat
dalam rangka memenuhi kebutuhannya, seperti sarana dan prasarana
produksi, sarana dan prasarana pendidikan, sarana dan prasarana kesehatan,
sarana ekonomi, sarana transportasi, dan sarana komunikasi.
(7) Modal Manusia (human capital) adalah suatu aset yang berhubungan dengan
intelektualitas dan kondisi seseorang, seperti tingkat pendidikan, tingkat
kesehatan , kemampuan melakukan hubungan/interaksi antar sesama.
(8) Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang dalam
usaha mendewasakan diri melalui upaya pengajaran dan pelatihan .
(9) Kesehatan adalah suatu keadaan yang bebas dari sakit atau sehat jasmani dan
rohani.
(10) Hubungan antar sesama adalah interaksi yang dibangun antar sesama dalam
rangka saling tukar pengalaman, peng etahuan dan informasi dalam rangka
peningkatan kapasitas diri.
(11) Modal Sosial (social capital) adalah aturan atau norma/nilai-nilai yang telah
disepakati bersama dan biasanya terbentuk melalui jaringan sosial dan
kese-pakatan dalam suatu organisasi sosial atau dalam komunitas.
(12) Pelaku pemberdayaan (stakeholder s) adalah orang-orang yang memiliki
kepedulian dan komitmen untuk menolong/memberdayakan warga
masyara-kat lemah yang tidak memiliki daya dan kesempatan untuk mengoptimalkan
potensi dirinya dan mengakses sumberdaya secara optimal.
(13) Proses pemberdayaan adalah suatu rangkaian tindakan atau perbuatan yang
dapat menciptakan masyarakat yang memiliki daya, kekuatan atau kemam
-puan dalam mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kondisi dan potensi
serta masalah -masalah yang perlu diatasi dan sekaligus memilih alternatif
pemecahnya secara mandiri.
(14) Kemampuan kognitif adalah kemampuan berpikir untuk mengenali sesuatu
berdasarkan wawasan dan pengetahuan faktual yang empiris dalam rangka
11
(15) Kemampuan afektif adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan
perasaan dan emosi pada saat menghadapi suatu kondisi tertentu.
(16) Kemampuan psikomotorik adalah kemampuan seseorang yang berhubungan
dengan aktivitas fisik yang berkaitan dengan proses mental dan psikologi.
(17) Jaringan sosial adalah suatu hubungan yang tersusun dalam suatu interaksi
yang melibatkan orang, kelompok, masyarakat, informasi dan beragam
pelayanan sosial di dalamnya.
(18) Kepercayaan antar sesama adalah suatu keyakinan yang dimiliki seseorang
untuk mempersepsikan seseorang atau suatu keadaan berdasarkan perasaan
dan kondisi yang dialami.
(19) Ketaatan adalah sikap yang menunjukan kepatuhan, kesetiaan dan loyalitas
terhadap kondisi yang telah ditetapkan atau disepakati.
(20) Kepedulian terhadap sesama adalah suatu sikap yang menuju kkan perhatian,
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pemberdayaan
Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”,
adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran
masyarakat kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Memahami konsep empowerment
secara tepat harus memahami latar belakang kontekstual yang melahirkannya.
Konsep empowerment mulai nampak sekitar dekade 70-an dan terus berkembang
hingga 1990-an. (Pranarka & Vidhyandika,1996)
Pranarka dan Vidhyandika (Hikmat, 2004) menjelaskan bahwa konsep
pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah dengan aliran
yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran
post-modernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang
berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang
diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Pemahaman konsep pemberdayaan oleh
masing-masing individu secara selektif dan kritis dirasa penting, karena konsep
ini mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan
kebudayaan barat. Prijono Dan Pranarka (1996) membagi dua fase penting untuk
memahami akar konsep pemberdayaan, yakni: pertama, lahirnya Eropa modern
sebagai akibat dari dan reaksi terhadap alam pemikiran, tata masyarakat dan tata
budaya Abad Pertengahan Eropa yang ditandai dengan gerakan pemikiran baru
yang dikenal sebagai Aufklarung atau Enlightenment, dan kedua, lahirnya
aliran-aliran pemikiran eksistensialisme, phenomenologi, personalisme yang lebih dekat
dengan gelombang Neo -Marxisme, Freudianisme, strukturalisme dan sebagainya.
Perlu upaya mengakulturasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai
dengan alam pikiran dan kebudayaan Indonesia. Perkembangan alam pikiran
masyarakat dan kebudayaan Barat diawali dengan proses penghilangan harkat dan
martabat manusia (dehumanisasi). Proses penghilangan harkat dan martabat
manusia ini salah satunya banyak dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan
teknologi yang nantinya dipakai sebagai basis dasar dari kekuasaan (power).
13
Power adalah kemampuan untuk mendapatkan atau mewujudkan tujuan. Bachrach
dan Baratz (1970) membuktikan bahwa power adalah konsep rasional (rational
concept). Dalam pandangan mereka, power dilakukan yang dilakukan A hanya
dilakukan dalam hubungan individu atau kelompok B untuk memenuhi
kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan yang diberikan oleh B yang rela melakukan
pilihan atas sanksi yang ada atau akan kehilangan sesuatu yang lebih tinggi
(kekuasaan atau uang). Ironisnya, kekuasaan itu kemud ian membuat bangunan
-bangunan yang cenderung manipulatif, termasuk sistem pengetahuan, politik,
hukum, ideologi dan religi. Akibat dari proses ini, manusia yang berkuasa
menghadapi manusia yang dikuasai. Dari sinilah muncul keinginan untuk
membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan menghasilkan sistem
alternatif yang menemukan proses pemberdayaan. Sistem alternatif memerlukan
proses “empowerwent of the powerless.” Namun empowerment hanya akan
mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi dari
kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan bukan
sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi dan koaktualisasi
eksistensi manusia (Prijono Dan Pranarka, 1996).
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan
mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang
kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun
demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan
perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi
kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang
pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan
yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.
Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses
pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas
dan kebebasan bertindak. Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan
mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi
”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi
dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya.
Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat menekankan
kemandirian masyarakat itu sebagai suatu sistem yang mampu mengorganisir
dirinya. Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya
ber-tujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk
mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan
diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan. Paul (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti
pem-bagian kekuasaan yang adil sehuingga meningkatkan kesadaran politis kekuasaan
kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan
hasil-hasil pembangunan. Rappaport (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan
diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu
terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak -haknya. MacArdle (1989)
mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh
orang-orang secara konsekuen melaksanakan keputusan itu. Orang-orang-orang yang telah
mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan
merupa-kan “keharusan” untuk lebih diberdayamerupa-kan melalui usaha mereka sendiri dan
akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai
tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian
kekauatan (power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan
kekuatan, seperti yang dikemukakan Simon (1990) dalam tulisannya tentang
Rethinking Empowerment. Simon menjelaskan bahwa pemberdayaan suatu
akti-vitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya
oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (
self-determination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim,
hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat
dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang
berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik. Dengan demikian pemberdayaan
bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan
15
dan makna-makna lain yang tidak sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau
kekuatan sesuai potensi yang dimiliki masyarakat.
Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis
pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau
kemam-puan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai
proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses
pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada
pihak yang kurang atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian
pember-dayaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada
hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau
memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat
lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, men etapkan kebutuhan dan
potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya
dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri.
Pemberdayaan sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang
dilakukan secara sistematis dan mencerminkan pentahapan kegiatan atau upaya
mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya, berkekuatan, dan
berkemampuan menuju keberdayaan. Makna "memperoleh" daya, kekuatan atau
kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau
meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan.
Kata "memperoleh" mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk
berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus
menyadari akan perlunya memperoleh daya atau kemampuan. Makna kata
"pemberian" menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif
untuk mengalihkan daya, kemampuan atau kekuatan adalah pihak -pihak lain yang
memiliki kekuatan dan kemampuan, mis alnya pemerintah atau agen -agen
Proses Pemberdayaan
Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pember
-dayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pember-dayaan yang
mene-kankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan,
kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.
Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari
makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan
sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi
individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa
yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”.
Kartasasmita (1995) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat
dilakukan melalui tiga proses yaitu: Pertama: Menciptakan suasana atau iklim
yang memungkin kan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya
adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya
tidak ada sumberdaya manusia atau masyar akat tanpa daya. Dalam konteks in i,
pemberdayaan adalah membangun daya, kekuatan atau kemampuan , dengan
mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi
yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi
atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empo-wering), sehingga diperlukan
langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan
juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah
yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya dalam
menghadapi yang kuat.
Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan
masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkamampuan. Kaitannya
dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri
warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya,
mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu
memi-17
liki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling
menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab atas tindakannya.
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,
berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu
berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko,
mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan
situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat
seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan
meng-optimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.
Adi (2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan su atu
masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam imp
-lementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam
pelaksanaannya. Tak jarang ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang
melakukan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul.
Watson (Adi, 2003) menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam
pembangun-an masyarakat, baik ypembangun-ang berasal dari kepribadipembangun-an individu maupun berasal dari
sistem sosial:
a. Berasal dari Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit),
seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention), ketergan
-tungan (Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat
sese-orang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (
self-Distrust)
b. Berasal dari Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to
Norms), yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas
tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural
Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sakral
(The Sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (Rejection of
Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan masyarakat
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab
utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah
masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan
yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan,
kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan
prinsip -prinsip pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama
dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk meraihnya adalah dengan
membuka kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat dalam tahapan program
pembangunan. Setiap komponen masyarakat selalu memiliki kemampuan atau
yang disebut potensi. Keutuhan potensi ini akan dapat dilihat apabila di antara
mereka mengintegrasikan diri dan bekerja sama untuk dapat berdaya dan mandiri.
Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan
bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk
membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut
meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan ap a yang mereka
lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta
melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan
masalah-masalah yang dihadapi den gan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.
Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomo
-torik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.
Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang
dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi
atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku
masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap
nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan
yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai
19
kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung
masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan.
Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif,
afektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya
kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam
masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan
-keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan
perilaku sadar akan kebutuhannya.
Kemandirian masyarakat dapat dicapai tentu memerlukan sebuah proses
belajar. Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap
akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses
pengambilan keputusan secara mandiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu
& Matson (Suprijatna, 2000) yang mengusulkan konsep The Good Community
and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas yang baik dan empat
komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency itu
adalah; (1) setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan
hubungan pribadi atau kelompok; (2) komunitas memiliki kebebasan atau
otonomi, yaitu memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepen
-tingannya sendiri secara mandiri dan bertanggung jawab; (3) memiliki vialibilitas
yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri; (4) distribusi kekuasaan secara
adil dan merata sehingga setiap orang mempunyai berkesempatan dan bebas
memiliki serta menyatakan kehendaknya; (5) kesempatan setiap anggota
masyara-kat untuk berpartsipasi aktif untuk kepentingan bersama; (6) komunitas memberi
makna kepada anggota; (7) adanya heterogenitas /beda pendapat; (8) pelayanan
masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin kepada yang berkepen
-tingan; dan (9) adanya konflik dan manajemen konflik.
Melengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi
yang harus dimiliki masyarakat yaitu, sebagai berikut: (1) mampu mengidentifikasi
masalah dan kebutuhan komunitas, (2) mampu mencapai kesempatan tentang sasaran
yang hendak dicapai dalam skala prioritas, (3) mampu menemukan dan menyepakati
dalam bertindak mencapai tujuan. Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan
kompetensi pendukung untuk mengantarkan masyarakat agar mampu memikirkan,
mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial.
Pembentukan masyarakat yang memiliki kemampuan yang memadai
untuk memikirkan dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan
tentunya tid ak selamanya harus dibimbing, diarahkan dan difasilitasi. Berkaitan
dengan hal ini, Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa pemberdayaan tidak
bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri,
dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak
jatuh lagi. Berdasarkan pendapat Sumodiningrat berarti pemberdayaan melalui
suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri.
Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung
secara bertahap, yaitu: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju
perilaku sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan
peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan
berpikir atau pengetahuan, kecakapan -keterampilan agar dapat mengambil peran
di dalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual,
kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan
inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian (Sulistiyani, 2004).
Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku
merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan. Pada tahap ini pelaku
pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi
ber-langsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa yang diintervensi dalam
masyarakat sesungguhnya lebih pada kemampuan afektifnya untuk mencapai
kesadaran konatif yang diharapkan agar masyarakat semakin terbuka dan merasa
membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kondisinya.
Pada tahap kedua yaitu proses transformasi pengetahuan, pengalaman
dan keterampilan dapat berlangsung baik, demokratis, efektif dan efisien, jika
tahap pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang
pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang memiliki relevansi dengan apa
pening-21
katan kapasitas. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan
dan penguasaan keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini
masyarakat hanya dapat berpartisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar
menjadi pengikut/obyek pembangunan saja, belum menjadi subyek pembangunan.
Tahap ketiga adalah merupakan tahap pengayaan atau peningkatan
intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan, supaya mereka dapat
membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian tersebut ditandai oleh
ke-mampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan
melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarak at telah
mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan
pembangunan. Dalam konsep pembangunan masyarakat pada kondisi seperti ini
seringkali didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama.
Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja. Serangkaian tahapan yang ditempuh
melalui pemberdayaan tersebut dapat diamati pada Tabel 1.
Tabel 1 Tahapan pemberdayaan knowledge, attitudes, practice dengan
pendekatan aspek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif
Tahapan Afektif Taha pan Kognitif
Tahapan
Psikomotorik Tahapan Konatif yang lebih tinggi
Memperkaya
Kemampuan Pelaku Pemberdayaan
Tujuan pemberdayaan adalah membentuk individu dan masyarakat
menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak
dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat adalah
merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat dan ditandai kemampuan
memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi
mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya,
kekuatan atau kemampuan yang dimiliki. Daya, kekuatan atau kemampuan yang
dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta
sumber daya lainnya yang bersifat fisik-material. Pencapaian tujuan tersebut tentu
tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi membutuhkan upaya dan kerja
keras yang serius dari semua pihak yang dalam penelitian ini disebut sebagai
pelaku pemberdayaan. Pelaku pemberdayaan harus dapat berperan sebagai
motivator, mediator dan fasilitator yang baik.
Pada era reformasi dan desentralisasi saat ini tuntutan terhadap pelaku
pemberdayaan yang memiliki kemampuan yang memadai semakin menguat.
Pelaku pemberdayaan tid ak hanya dituntut untuk memperkaya pengetahuannya,
melainkan mereka dituntut meningkatkan ketrampilannya dalam mendesain
program pemberdayaan. Lantas muncul pertanyaan, kemampuan seperti apa
yang harus dimiliki oleh pelaku pemberdayaan?. Tjokrowinoto (2001)
me-nawarkan lima bentuk kemampuan yang dianggapnya sangat relevan dengan
kualitas pelaku pemberdayaan, yakni: (1) kemampuan untuk melihat
pe-luang-peluang yang ada, (2) kemampuan untuk mengambil keputusan dan
langkah -langkah yang dianggap prioritas dengan mengacu pada visi, misi
dan tujuan yang ingin dicapai, (3) kemampuan mengidentifikasikan sub
-jek-subjek yang mempunyai potensi memberikan input dan sumber bagi
proses pembangunan , (4) kemampuan menjual inovasi dan memperluas
wilayah penerimaan program-program yang diperuntukkan bagi kaum
miskin; dan (5) kemampuan memainkan peranan sebagai fasilitator atau
mening-katkan kemam puan masyarakat untuk tumbuh berkembang
23
Keterpaduan kelima kemampuan pelaku pemberdayaan tersebut patut
dijadikan rujukan atau pedoman oleh seluruh unsur stakeholders, terutama
yang mempunyai tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan pembangunan
dan penanggulangan kemiskinan. Namun dukungan kelima kemampuan ini pun
tidak akan berarti kalau tidak disertai dengan sikap perilaku adil dan komitmen
yang kuat. Jamasy (2004) menambahkan bahwa ada tujuh syarat kemampuan
umum yang harus dimiliki pelaku pemberdayaan dan kesemuanya harus
terefleksi dalam kegiatan aksi program, yakni kemampuan untuk: (1)
memper-tahankan keadilan, (2) mempermemper-tahankan kejujuran, (3) melakukan problem
solving, (4) mempertahankan misi, (5) memfasilitasi, (6) menjual inovasi,
dan (7) fasilitasi yang bertumpu pada kekuatan masyarakat sendiri.
Keberhasilan pelaku pemberdayaan dalam memfasilitasi proses
pemberdayaan juga dapat diwujudkan melalui peningkatan partisipasi aktif
masyarakat. Fasilita tor harus trampil mengintegrasikan tiga hal penting yakni:
optimalisasi fasilitasi, waktu yang disediakan, dan optimalisasi partisipasi
masyarakat. Masyarakat pada saat menjelang batas waktu harus diberi
kesem-patan agar siap melanjutkan program pembangunan secara mandiri. Sebaliknya,
fasilitator harus mulai mengurangi campur tangan secara perlahan. Tanamkan
kepercayaan pada masyarakat yang selanjutnya akan mengelola program. Secara
rinci perban-d ingan persentase keterlibatan fasilitator dan masyarakat dalam
proses pember-dayaan masyarakat divisualisasikan pada Gambar 1.
20%
10%
Sumber : Jamasy (2004) Masyarakat (kelompok sasaran)
Jangka waktu yang direncanakan
Masyarakat (kelompok sasaran) F a s i l i a t o r
80%
50% 50% 90%
Berkaitan dengan jangka waktu keterlibatan fasilitator (pelaku
pember-dayaan) dalam mengawal proses pemberdayaan terhadap warga masyarakat,
Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa, pemberdayaan tidak bersifat
selama-nya, melainkan sampai target masyarakat mampu mandiri, dan kemudian dilepas
untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. Meskipun
demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan
pemeli-haraan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak
mengalami kemunduran.
Sebagai tenaga ahli, fasilitator sudah pasti dituntut untuk selalu trampil
melakukan fasilitasi; aktif mencipta kan media konsultasi; aktif menjadi mediator;
aktif memberikan animasi dan advokasi; dan trampil memfasilitasi proses
problem solving (pemecahan masalah). Persoalan yang diungkapkan masyarakat
saat problem solving tidak secara otomatis harus dijawab oleh fasilitator tetapi
bagaimana fasilitator mendistribusikan dan mengembalikan persoalan dan
pertanyaan tersebut kepada semua pihak (peserta atau masyarakat). Upayakan
bahwa pendapat masyarakatlah yang mengam bil alih keputusan. Hal yang penting
juga untuk diperhatikan pelaku pemberdayaan sebagai fasilitator harus dapat
mengenali tugasnya secara baik.
Berkaitan dengan tugas pelaku pemberdayaan sebagai fasilitator oleh
Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994) memberikan kerangka acuan mengenai
tugas sebagai berikut; (1) mendefenisikan siapa yang akan dilibatkan dalam
pelak-sanaan kegiatan, (2) mendefenisikan tujuan keterlibatan, (3) mendorong
komuni-kasi dan relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan, (4)
mem-fasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem: menemukan kesamaan
dan perbedaan, (5) memfasilitasi pendidikan membangun pengetahuan dan
ke-terampilan, (6) memberikan contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah
bersa-ma mendorong kegiatan kolektif, (7) mengidentifikasi bersa-masalah-bersa-masalah prioritas
yang akan dipecahkan bersama dan memfasilitasi penetapan tujuan, (8) meran
-cang solusi-solusi alternative, (9) mendorong pelaksanaan tugas, dan (10)
25
Memahami Modal Manusia (Human Capital) dan Modal Sosial (Social Capital)
Modal Manusia (Human Capital)
Pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul "investment in
human capital" di hadapan The American Economic Association dan sekaligus
sebagai peletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato
tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui
pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi
juga merupakan suatu investasi. Azua dan Azua (Huseini, 1999) menjelaskan
bahwa modal manusia merupakan refleksi dari pendidikan, pengalaman, intuisi
dan keahlian dan Nasseri (2002) berpendapat bahwa modal manusia adalah
akumulasi dari bakat dan pengetahuan individu yang diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan, pengalaman dan kognisi.
Deninson (Nurulpaik, 2005) mengemukakan bahwa pembangunan sektor
pendidikan dengan manusia sebagai fokusnya telah memberikan kontribusi
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan
ketrampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara
pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai
nilai ekonomi dari pendidikan. Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola
pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga
internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana
dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM.
Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga
diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan menjadi
"leading sector" atau salah satu sektor utama. Seperti yang dikemukakan oleh
Todaro dan Smith (2003) bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan
pembangunan yang mendasar yang keduanya merupakan bentuk dari modal
manusia (human capital) yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas
manusia yang lebih luas yang berada pada inti makna pembangunan. Kesehatan
merupakan inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk