• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN

HUTAN LINDUNG JOMPI KABUPATEN MUNA,

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

DASMIN SIDU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, November 2006

(3)

ABSTRAK

DASMIN SIDU. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN, PANG S. ASNGARI dan SUMARDJO.

Hutan sebagai aset pembangunan nasional sangat penting dan bermanfaat bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Oleh karena itu, hutan harus dikelola, dikembangkan dan dimanfaatkan secara baik dan lestari demi kesejahteraan masyarakat. Kawasan hutan lindung Jompi adalah salah satu kawasan hutan lindung di Kabupaten Muna yang memiliki sumber mata air yang saat ini telah mengalami kerusakan yang serius dengan kondisi kelurahan/desa di sekitarnya 78 persen tidak berdaya/miskin. Tujuan penelitian adalah : (1) menganalisis

faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial masyarakat sekitar kawasan hutan

lindung, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung, (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung, dan (4) merumuskan model pember-dayaan masyarakat yang efektif d i sekitar kawasan hutan lindung sesuai dengan kondisi lokal. Penelitian ini dilakukan di sekitar kawasan hutan lindung Jompi Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober 2005 sampai Mei 2006 dengan

teknik survei, wawancara, dan Focus Group Discussion (FGD). Populasi

penelitian adalah masyarakat tani yang bermukim di bagian hulu DAS Jompi yang berjumlah 981 rumah tangga. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik

culster sampling dengan jumlah sampel 226 rumah tangga tani. Analisis yang

digunakan adalah analisis korelasi, regresi berganda dan analisis jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) modal sosial masyarakat sekitar kawasan hutan lindung sudah melemah (rata-rata skor 52), terutama dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya ketersediaan modal fisik dan rendahnya kualitas

modal manusia, (2) proses pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan

lindung masih rendah (rata-rata skor 36), terutama dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku pemberdayaan, kurang tersedianya modal fisik, dan melemahnya modal sosial, (3) T ingkat keberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung adalah masih rendah (rata-rata skor 42), terutama dipengaruhi secara nyata oleh rendahnya proses pemberdayaan dan kurang tersedianya modal fisik, dan (4) perpaduan faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi keberdayaan masyarakat seperti faktor proses pemberdayaan,

modal fisik, kemampuan pelaku pemberdayaan, modal sosialdan modal manusia

merupakan model pemberdayaan masyarakat yang efektif di sekitar kawasan hutan lindung.

(4)

of Jompi, Muna Regency, Southeast Sulawesi Province. Under the Supervision of BASITA GINTING SUGIHEN, PANG S. ASNAGARI and SUMARDJO.

Forest as an asset of national development is very important and has a great advantage for human life and livelihood. For this reason, forest ought to be managed, developed and exploited continuously for the people’s welfare. The protection forest of Jompi is one of such forests in the Muna Regency, having water resource which at present suffers from severe damage and 78% of the condition around the villages is powerless or poor. The objectives of this research were (1) to analyze the factors influencing the social capital of the community surrounding the protection forest of Jompi, (2) to analyze the factors influencing the process of community empowerment around the forest, (3) analyze the power level of the community around the forest, and (4) to formulate an effective empowerment model for the community around the forest suitable to its local condition. The study was conducted around the area of protection forest of Jompi, Muna Regency, Southeast Sulawesi Province. The data were collected from October 2005 to May 2006 by using a survey, interview, in-depth interview, and focus group discussion. The research population were 981 households taken from the farmer community living at the downstream of Jompi water-shed area. The cluster sampling technique was used to obtain a sample of 226 farmer households. The data was analyzed by means of correlation, Multiple Regression, and Path Analysis. The analysis results showed that (1) the social capital of the people around the protection forest of Jompi was already declining (the average score of 52), which was significantly influenced by a low availability of physical capital and low quality of human resource/capital, (2) the community empowerment activity around the forest was still limited (the average score of 36), which was affected significantly by the limited skill of those who carried out the empowerment, insufficient physical capital, and declining social capital (the average score of 52), (3) the power level of the community around the protection forest was still low (the average score of 42), which was significantly affected by limited activity of empowerment and inadequate physical capital, (4) a combination of those factors affecting the power level of the community significantly, such as empowering process, physical capital, the ability of those conducting empowerment, social and human capitals, is an effective model of empowerment for the community around the protection forest of Jompi.

(5)

 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(6)

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

DASMIN SIDU

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Nama Mahasiswa : Dasmin Sidu

N I M : P 061030031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA. Ketua

Prof. Dr. H. Pang S. Asngari Dr. Ir. Sumardjo, M.S

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Penyuluhan Pembangunan

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Sekitar

Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara” ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Basita Ginting Sugihen,

MA selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. H. Pang S. Asngari dan Dr. Ir.

Sumardjo, M.S. selaku anggota komisi pembimbing. yang telah banyak men

-curahkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan kepada penulis. Di

samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar

Notodiputro, M.S. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta

stafnya dan Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan

Pembangunan (PPN) beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan

admi-nistrasi secara baik. Demikian juga penulis ucapkan banyak terima kasih kepada

rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bagor terutama mahasiswa

pada program studi PPN yang telah memberi masukkan dan saran yang sangat

bermanfaat dalam penulisan disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna, oleh karena

itu masukkan dan saran dari berbagai pihak demi penyempurnaan tulisan ini

sangat penulis harapkan. Semoga semua usaha menuju kesempurnaan selalu

dituntun dan diridhoi oleh Allah SWT.

Bogor, November 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Lipu-Muna, Sulawesi Tenggara pada tanggal 6 Mei 1972

sebagai anak kelima dari pasangan La Sidu dan Wa Hinu. Pendidikan sarjana

ditempuh di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas

Pertanian UGM lulus tahun 1997. Pada tahun 2000 penulis diterima di Program

Studi Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana UGM Yogyakarta dan lulus pada

tahun 2002. Pada bulan September tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan

melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan

Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor dengan beasiswa BPPS dari

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas

Haluoleo (UNHALU) Kendari sejak tahun 1999, sebagai tim pengajar untuk mata

kuliah Dasardasar Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Penyuluhan dan Ko

-munikasi Pertanian, Evaluasi dan Administrasi Penyuluhan. Metode Penyuluhan

dan Komunikasi Pertanian. Pembuatan Materi Penyuluhan dan Komunikasi

Per-tanian, Statistik untuk Ilmu Sosial dan Dasar-dasar Manajemen. Penulis pernah

menjadi Staf Peneliti pada Pusat Studi Lingkungan (PSL) UNHALU, staf peneliti

pada Pusat Pengembangan Ilmu-Ilmu Pertanian (PPIP) UNHALU dan staf

pengajar tetap di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian pada Sekolah Tinggi Ilmu

Pertanian Wuna di Raha untuk mata kuliah Penyuluhan dan Komunikasi

Pertanian, Metode Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian dan Dasar -dasar

Manajemen.

Selama mengikuti program S3, penulis menjadi Anggota Tim Verfikasi

Nasional Penerima Biaya Kompensasi BBM untuk tingkat SMP se-Indonesia

tahun 2004, Anggota Tim Nasional Penyusunan Data Base Sosial Ekonomi,

budaya dan Kelembagaan lokasi Calon Penerima Bantuan Program P2KP

se-Indonesia tahun 2004, Anggota Tim Kajian Rencana Tindak Reformasi Birokrasi

di Indonesia tahun 2005 dan Anggota Tim Evaluasi Nasional Program P2KP

(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN ………...………....…………..

Latar Belakang ………...……….………….………….. Masalah Penelitian ………..……….. Tujuan Penelitian ………..………..………….. Kegunaan Penelitian ………..……….………….. Definisi Istilah ………..

TINJAUAN PUSTAKA ………..……..….……….. Konsep Pemberdayaan ... Proses Pemberdayaan ……...……….……….……….. Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat…..………...

Kemampuan Pelaku Pemberdayaan (Stakeholders) ………….….. ……...

Memahami Modal Manusia (Human Capital) ……….

Modal Sosial (Social Capital) ……….…….……….…….

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS…..………..………….. Kerangka Berpikir ………..……….……… Hipotesis Penelitian……….….……….……..…………..

METODE PENELITIAN ………...…………... Populasi dan Sampel ... Populasi ... Sampel ... Desain Penelitian………...………...…………... Data dan Instrumen ... Data ... Instrumen... ...

Validitas Instrumen ... Reliabilitas Instrumen ... Teknik Pengumpulan Data ... Analisis Data ... Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... Letak Geo grafis dan Luas W ilayah ... Iklim dan Topografi... ...

Jenis Tanah dan Hidrologi ... Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... Angkatan Kerja ... Pengembangan Pendidikan ... Keadaan Umum Desa Sampel ... Letak Administrasi dan Luas Wilayah ... Jumlah dan Kepadatan Penduduk ... Tingkat Pendidikan ... Mata Pencaharian ... Angkatan Kerja ... Tata Guna Lahan ... Pola Usaha Tani ... Sarana dan Prasarana Perekonomian ... Karakteristik Responden ...

Umur ... Tingkat Pendidikan... Luas Lahan Garapan ... Status Kepemilikan Lahan ... Kondisi Modal Fisik Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi... ... Kondisi Modal manusia Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi... ... Kondisi Modal Sosial Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi... ... Persepsi Respond en terhadap Kemampuan Pelaku Pemberdayaan……... Persepsi Responden terhadap Proses Pemberdayaan……... Tingkat keberdayaan Masyarakat ...……... Sejarah Pembangunan Hutan Jati di Kabupaten Muna ...

Masa Kerajaan Sugi Laende (Awal Abad 15)... Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (1901-1942)... Masa Pemerintahan Jepang (1942-1945) ... Masa Kemerdekaan (1945 -1999)... Masa Otonomi Daerah (2001-sekarang) ... Kondisi Hutan Jati Muna Saat ini ... ...

Hutan Jati Alam ... Hutan Jati Tanaman... Interaksi Masyarakat dengan Hutan ... Pembangunan Hutan di Kawasan Hutan Lindung Jompi ...

Tujuan Pembangunan Hutan ... Pola Pembangunan Hutan di dalam dan Sekitar KHLJ...

(12)

Model Efektif Pemberdayaan Masyarakat ... Bentuk-Bentuk Pemberdayaan Masyarakat ... ...

SIMPULAN DAN SARAN ... Simpulan ... Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ………..…....

151 156

164 164 165

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

1. Tahapan pemberdayaan knowledge, atitudes, practice dengan

pendekatan apek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif ...

2. Ciri-ciri masyarakat berdaya dilihat dari aspek pengetahuan,

sikap dan trampilan...

3. Ciri-ciri pelaku pemberdayaan yang memberdayakan dilihat dari aspek

perilaku, pengetahuan, sikap dan ketrampilan ...

4. Ciri masyarakat yang memiliki modal manusia (human capital) …..…

5 Tingkatan modal sosial (social capital) masyarakat ………..……...….

6 Kisaran nilai cronbach’s alpha hasil uji reliabilitas...

7 Indikator dan parameter modal fisik (phyisical capital)…….…..……..

8 Indikator dan parameter modal manusia (Human capita)……...……

9 Indikator dan parameter modal sosial (Social capital)………..…..…….

10 Indikator dan parameter kemampuan pelaku pemberdayaan ….…..…….

11 Indikator dan parameter proses pemberdayaan...…….…..…….

12 Indikator dan parameter tingkat keberdayaan masyarakat..….…...…..

13 Luas wilayah dan kepadatan penduduk di kecamatan sekitar KHLJ...

14 Jumlah RT dan tingkat kepadatan RT di kecamatan sekitar KHLJ...

15 Komposisi penduduk berdasarkan golo ngan umur sekitar KHLJ...

16 Jumlah sekolah, guru dan murid di kecamatan sekitar KHLJ...

17 Persebaran dan tingkat kepadatan penduduk di sekitar KHLJ...

18 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di desa sampel...

19 Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian di desa sampel...

20 Komposisi penduduk berdasarkan umur di desa sampel...

21 Pola penggunaan lahan penduduk di desa sampel... ...

22 Populasi ternak penduduk di desa sampel ... ...

23 Sebaran responden berdasarkan umur...

24 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal ...

25 Sebaran responden berdasarkan luas lahan garapan...

26 Hasil penilaian (skor) responden terhadap ketersediaan modal fisik ...

27 Hasil penilaian (skor) terhadap kualitas modal manusia yang dimiliki

responden ...

28 Hasil penilaian (skor) terhadap kualitas modal sosial yang dimiliki

responden ...

29 Hasil penilaian (skor) terhadap kualitas kemampuan pelaku

pemberdayaan ...

30 Hasil penilaian (skor) terhadap kualitas proses pemberdayaan...

31 Hasil penilaian (skor) terhadap tingkat keberdayaan masyarakat...

(14)

34 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan proses pemberdayaan ………...

35 Nilai koefisien regresi berganda faktor-faktor yang berpengaruh

dengan proses pemberdayaan...………...

36 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan keberdayaan

masyarakat...………...

37 Nilai koefisien regresi berganda faktor-faktor yang berpengaruh

dengan proses pemberdayaan...…...……

38 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi keberdayaan

warga masyarakat... ...

39 Nilai sumbangan efektif faktor-faktor yang menjadi unsur model efektif

pemberdayaan masyarakat ...

142

144

148

149

152

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1. Peningkatan partisipasi aktif masyarakat... ………….

2. Model kerangka berpikir ... ...

3. Model konseptual hipotesis pertama ...

4. Model konseptual hipotesis kedua ...

5. Model konseptual hipotesis ketiga ...

6. Perkembangan hubungan antara sub sistem kehutan (A) dan sub sistem

sosial (B) ...

7. Dampak pertambahan penduduk terhadap potensi hutan ...

8. Model konseptual hubungan antar variabel yang mempengaruhi modal

sosial ...

9. Model konseptual hubungan antar variabel yang mempengaruhi proses

pemberdayaan ...

10.Model konseptual hubungan antar variabel yang mempengaruhi

keberdayaan masyarakat ...

11.Model hubungan dan besarnya koefisien jalur antar variabel yang

mempengaruhi keberdayaan warga masyarakat ...

12.Model efektif pemberdayaan masyarakat di sekitar KHLJ... ...

23 45 46 46 47

128 128

141

146

150

(16)

1. Peta Kabupaten Muna dan Lokasi Penelitian... ……….

2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... ...

3. Hasil Uji Korelasi dan Regresi...

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada

Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara yang

memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, cenderung kondisinya

semakin menurun. Hutan juga merupakan salah satu sumber daya alam yang

berperan dalam menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan

kesuburan tanah. Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi

kehidupan manusia.

Indonesia dikenal memiliki hutan tro pis yang cukup luas dengan

keaneka-ragaman hayati yang sangat tinggi dan bahkan tertinggi kedua di dunia setelah

Brazillia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Planologi Kehutanan

RI tahun 2000 bahwa luas hutan Indonesia adalah 120,3 juta hektar atau 3,1% dari

luas hutan dunia (Suhendang, 2002). Seiring dengan berjalannya waktu dan

tingkat kebutuhan akan kayu semakin meningkat, mendorong masyarakat baik

secara individu maupun kelompok melakukan eksploitasi hasil hutan dengan tidak

memperhatikan kelestariannya. Eksploitasi hasil hutan tersebut biasanya

dilaku-kan secara ilegal seperti melakudilaku-kan pembaladilaku-kan liar, perambahan, pencurian yang

mengakibatkan kerusakan hutan di Indonesia tidak terkendali (laju kerusakan

hutan Indonesia 2,8 juta hektar per tahun). Akibatnya, kerusakan hutan atau

lingkungan tak terkendali tersebut mengakibatkan luas hutan semakin menurun,

lahan kritis semakin bertambah , dan sering terjadi bencana alam seperti banjir,

tanah longsor, dan lain sebagainya.

Kerusakan hutan di In donesia tidak hanya terjadi pada hutan alam tetapi

juga telah terjadi pada hutan lindung. Padahal, hutan lindung memiliki fungsi

yang spesifik terutama berkaitan dengan ketersediaan air. Air merupakan sumber

kehidupan yang sangat penting terhadap keberlanjutan kehidupan bagi semua

mahluk hidup. Hal ini seperti telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang menjelaskan bahwa hutan

lindung merupakan kawasan hutan karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan

(18)

guna pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan

kesu-buran tanah. Oleh karena itu, hutan lindung perlu perhatian yang serius dari semua

pihak agar kelestariannya tetap terjamin.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 12 Nopember 1988 No.903/

Menhut-II /1988, menjelaskan bahwa fungsi hutan lindung antara lain: (1) hutan

lindung dapat dimanfaatkan dan juga untuk kegiatan wisata alam dengan

per-syaratan tertentu, (2) memberikan izin kepada masyarakat untuk memungut rotan,

umbi-umbian dan hasil hutan non kayu lainnya, asalkan dijaga dan diawasi agar

tidak merusak dan membahayakan fungsi hutan, (3) budidaya rotan diizinkan

hanya terbatas pada jenis rotan yang tidak memerlukan pembukaan tanah

sedemikian rupa sehingga membahayakan fungsi lindungnya. Karena fungsinya

demikian penting terhadap kehidupan manusia dan kelestarian lingkungan, maka

keberadaan dan kelestarian hutan lindung harus dipertahankan secara optimal,

dijaga daya dukungnya, dan diurus dengan arif, lestari, bijaksana, profesio nal,

serta bertanggungjawab.

Agar tata lingkungan hidup terjamin kelestariannya, maka pengurusan

hutan lindung yang berkelanjutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran

serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat berdasarkan pada

norma hukum lokal dan nasional agar pendayagunaannya dilakukan seoptimal

mungkin bagi kesejahteraan umat manusia. Berdasarkan Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor 464/KptsII/1995 bahwa pengelolaan kawasan lindung meru

-pakan urusan yang telah dis erahkan kepada Pemda Tingkat II. Penyerahan dan

pelimpahan wewenang pengelolaan hutan, terutama kawasan lindung diharapkan

akan lebih efektif dan efisien serta akan lebih terasa manfaatnya bagi kehidupan

masyarakat. Namun, pelimpahan wewenang pengelolaan hutan tersebut tidak

menunjukkan perubahan positif yang signifikan, tetapi kerusakan kawasan hutan

lindung justru terus terjadi. Akhir-akhir ini, pembalakan liar dan perambahan

kawasan lindung menjadi perbin cangan yang menarik dikalangan masyarakat.

Kerusakan hutan yang terus terjadi telah mengakibatkan malapetaka dan bencana

yang menelan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit, seperti musibah kebakaran

(19)

3

dan lain sebagainya. Hal ini tertentu merupakan tantangan bagi semua pihak untuk

mencari akar permasalahan dan solusi pemecahannya.

Pembalakan liar, pembukaan lahan pertanian dan perkebunan, pembukaan

pemukiman baru , transmigrasi, dan pemberlakuan izin HPH dan lain sebagainya,

disinyalir merupakan penyebab rusaknya kawasan hutan di Indonesia. Selain itu,

pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang semakin tinggi serta diiringi oleh

desakan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, lapangan kerja kurang

tersedia memaksa kawasan hutan, termasuk kawasan hutan lindung dijadikan

sebagai alternatif sasaran bagi masyarakat, baik masyarakat sekitar kawasan

maupun masyarakat yang jauh dari kawasan untuk memperoleh penghasilan yang

dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Kawasan hutan lindung Jompi adalah satu kawasan hutan lindung yang

ada di Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Kawasan hutan lindung

Jompi di kenal memiliki komoditi kayu jati yang bernilai ekonomi tinggi dan nilai

budaya masyarakat Muna (simbol Kota Muna). Pada tahun 1970 -an sepanjang

jalan dari kota Raha menuju Bau -Bau dan Tampo pemandangan hutan kayu jati

memiliki daya tarik tersendiri. Daun jati yang hijau dan jejeran pohon yang tertata

baik menambah kenyamanan pengguna jalan yang menuju ke Bau -Bau maupun

ke Tampo. Namun, kenyamanan itu secara berangsur-angsur hilang seiring

dengan berlangsungnya kegiatan pembalakan, pencurian dan perambahan yang

dilakukan oleh oknum masyarakat baik secara individu maupun kelompok.

Kegiatan pembalakan dan perambahan secara ilegal secara terang -terangan

dilaku-kan sejak tahun 1997, termasuk di dalam kawasan hutan lindung Jompi.

Sebagai ilu strasi, luasan hutan di Kabupaten Muna, berdasarkan Surat

Kepmenhut No.454/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 seluas 235.759 ha atau

51,3 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Muna. Dari luas kawasan hutan

tersebut, ± 46.363 ha atau 19,5 persen merupakan kawasan hutan lindung dan ±

1.927 ha atau 4, 2 persen diantaranya adalah kawasan hutan lindung Jompi. Dari

luas Kawasan hutan lindung Jompi tersebut, ± 1.233 ha atau 64 persen adalah

hutan jati alam dan ± 694 ha atau 36 persen adalah hutan campuran. Kawasan

(20)

atau 56,1 persen (seluruhnya hutan jati) telah rusak. (Dinas Kehutanan Kabupaten

Muna, 2005).

Fakta kerusakan hutan jati, terutama di kawasan hutan lindung Jompi telah

mempengaruhi penurunan debit air sungai Jompi secara drastis yaitu dari 300

liter per detik pada tahun 1980-an turun menjadi 28 liter per detik pada tahun

2005 (PDAM Kabupaten Muna 2005). Sumber mata air jompi adalah satu-satunya

sumber mata air saat ini yang mensuplai kebutuhan air bersih penduduk Kota

Muna. Hal ini mengindikasikan bahwa jika kawasan hutan lindung Jompi tidak

diselamatkan atau dihijaukan kembali maka penduduk Kota Muna akan

mengha-dapi permasalahan ketersediaan air bersih yang cukup serius dimasa yang akan

datang. Di sisi lain, pengelolaan sumberdaya alam (kayu jati) di kawasan hutan

lindung Jompi tidak menyebabkan kehidupan masyarakat di sekitarnya semakin

baik, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Berdasarkan data dari BPMD

Kabupa-ten Muna tahun 2006 menyebutkan bahwa sebagian besar atau 78 persen

kelura-han/desa di sekitar kawasan hutan lindung Jompi tergolong miskin. Masyarakat di

sekitar kawasan hutan lindung Jompi tidak memiliki daya, kekuatan atau

kemampuan untuk bersaing dengan masyarakat yang memiliki kemampuan eko

-nomi tinggi dalam mengakses sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka yaitu

antara lain kayu jati. Akibatnya, hasil eksploitasi kayu jati hanya dirasakan oleh

segelintir masyarakat yang memiliki daya, kekuatan atau kemampuan ekonomi

maupun negosiasi yang memadai terhadap pihak -pihak tertentu yang memiliki

wewenang dan kekuasaan.

Gambaran ketidakberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung

Jompi di Kabupaten Muna dapat diteliti melalui berbagai sudut pandang, di

antaranya dari sisi ketersediaan modal/aset kaitannya dengan keberdayaan

masya-rakat. Penelitian ini antara lain akan mengungkapkan kondisi umum modal/aset

yang dimiliki masyarakat sekitar kawasan hutan lindung dan pengaruhnya

terhadap proses pemberdayaan dan keberdayaan masyarakat. Fakta-fakta empirik

yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif guna mendesain modal

(21)

5

Masalah Penelitian

Hutan lindung sebagai salah satu sumber daya alam yang berperan

menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan

tanah merupakan urat nadi kehidupan manusia yang saat ini cenderung menurun

keberadaannya. Perambahan dan pembalakan liar (illegal logging) terjadi di

mana-mana dan menyebabkan kerusakan hutan yang tidak terkendali. Akibatnya

bencana alam seperti banjir, tanah longsor sudah menjadi langganan pada musim

hujan tiba yang tidak jarang menelan korban ratusan jiwa masyarakat yang tidak

berdosa. Ironisnya, banyak pihak termasuk pemerintah selalu menyalahkan dan

bahkan menuduh masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai penyebab utama

kerusakan hutan. Tuduhan ini sangat tidak beralasan, apalagi jika dilihat secara

dekat kondisi kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan, seperti kehidupan

masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi yang sebagian besar (78%)

dalam kondisi miskin dan tidak berdaya. Kondisi inilah perlu di pahami dan

dijadikan salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan perencanaan

penyusunan program, agar setiap kebijakan dan program tentang pengaturan

pengelolaan hutan yang diambil tetap memperhatikan kondisi sosial budaya dan

ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan lindung.

Paradigma perencanaan pengelolaan hutan dan pemberdayaan masyarakat

yang sentralistik yaitu program dirancang dari atas tanpa melibatkan masyarakat

harus diubah kearah peningkatan partisipasi masyarakat lokal secara optimal.

Anggapan sebagian elit bahwa untuk mencapai efisiensi pembangunan,

masyarakat tidak mempunyai kemampuan menganalisis kondisi dan merumuskan

permasalahan, serta solusi pemecahannya, harus diubah bahwa setiap individu

memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan masyarakatlah yang paling

mengetahui dan mengenal potensi dan permasala-han yang mereka hadapi.

Perencanaan sentralistik dan anggapan bahwa masyara-kat tidak mampu

menganalisis dan merumuskan permasalahan nya, d isinyalir merupakan salah satu

penyebab kegagalan program pengelolaan hutan dan pemberdayaan masyarakat

(22)

Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah mereka yang lemah dan

tidak memiliki daya, kekuatan atau kemampuan mengakses sumberdaya produktif

atau masyarakat terpinggirkan dalam pembangunan. Tujuan akhir dari proses

pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar

dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang

dimilikinya. Daya, kekuatan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat secara

memadai akan mendorong masyarakat untuk dapat mengakses sumber -sumber

daya produktif, mandiri dalam pengambilan keputusan dan percaya diri dalam

bertindak.

Secara sosial masyarakat sekitar kawasan hutan lindung (masyarakat

dibagian hulu DAS Jompi) sampai saat ini tetap teridentifikasi sebagai masyarakat

marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki daya, kekuatan, dan kemampuan

yang dapat diandalan serta tidak memiliki modal yang memadai untuk bersaing

dengan masyarakat kapitalis atau masyarakat pengusaha yang secara sosial dan

politik memiliki daya, kekuatan dan kemampuan yang memadai.

Secara ekonomis kondisi kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan

lindung Jompi tergolong miskin. Secara politik mereka tetap tertindas oleh

struktur dan sistem politik pemerintah (negara) yang belum berorientasi pada

pemenuhan kebutuhan dasar/kepentingan masyarakat. Ketidakberdayaan

masyarakat secara sosial, ekonomi dan politik menjadi salah satu ganjalan bagi

masyarakat untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan sesama

saudaranya yang secara sosial dan ekonomi telah berhasil. Oleh karena itu, upaya

pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu alternatif untuk mengangkat

harkat dan martabat masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi secara

berkelanjutan.

Pemberdayaan masyarakat adalah proses memperoleh dan memberikan

“daya, keku atan atau kemampuan ” kepada warga masyarakat agar mampu

mengenali potensi yang dimiliki, menentukan kebutuhan dan memilih alternatif

pemecahan masalah yang dihadapinya secara mandiri. Namun hal itu tidak mudah

untuk dicapai, tetapi membutuhkan kajian dan penelitian ilmiah yang

(23)

7

karena itu, dalam penelitian ini akan mengkaji beberapa permasalahan yang

berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan

warga masyarakat dan merumuskan model pemberdayaan yang sesuai dengan

kondisi lokasi.

Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut;

(1)Bagaimana kondisi modal sosial (social capital), modal manusia (human

capital) masyarakat dan modal fisik (physical capita l) sekitar kawasan hutan

lindung Jompi?

(2)Bagaimana tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses pemberdayaan

sekitar kawasan hutan lindung Jompi dan faktor-faktor apa saja yang

mem-pengaruhinya?

(3)Bagaimana tingkat keberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung

Jompi dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya?

(4)Model pemberdayaan masyarakat seperti apa yang efektif atau sesuai dengan

kondisi sosial budaya masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi yang

berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

(1)Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi modal sosial masyarakat

sekitar kawasan hutan lindung.

(2)Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemberdayaan

masya-rakat sekitar kawasan hutan lindung .

(3)Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberdayaan

masya-rakat sekitar kawasan hutan lindung .

(4)Merumuskan model pemberdayaan masyarakat yang efektif di sekitar

(24)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi semua stakeholders baik

dalam tataran akademis (keilmuan) maupun praktis. Kegunaan penelitian yang

dimaksud adalah:

A. Kegunaan dalam tataran akademis/keilmuan:

(1) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman modal fisik

(physical capital), modal manusia (human capital) dan modal sosial

(social capital) serta pengaruhnya terhadap proses pemberdayaan dan

keberdayaan masyarakat.

(2) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman proses

pemberdaya-an masyarakat sekitar kawaspemberdaya-an hutpemberdaya-an lindung ypemberdaya-ang dapat menigkatkpemberdaya-an

keberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.

(3) Memberikan informasi bagi penelitian yang serupa agar dapat melakukan

penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang modal fisik

(physical capital), modal manusia (human capital) dan modal sosial

(social capital), pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kapasitas

masyarakat sekitar kawasan hutan lindung.

B. Kegunaan dalam tataran praktis.

(1) Sebagai tambahan informasi kepada para pengambil kebijakan dalam

merumuskan dan mendesain model pemberdayaan masyarakat yang efektif

khususnya bagi masyarakat sekitar kawas an hutan lindung Jompi.

(2) Sebagai tambahan informasi bagi semua stakeholders dalam merancang

dan melakukan evaluasi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat

secara berkelanjutan .

(3) Sebagai tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya tentang pengaruh

modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital) dan modal

(25)

9

Definisi Istilah

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara,

dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung

Jompi. Untuk menjawab permasalahan penelitian ini maka perlu dilakukan

pengukuran terhadap faktor/variabel yang menjadi peubah dalam penelitian ini,

yaitu modal fisik, modal manusia dan modal sosial, kemampuan pelaku

pember-dayaan, proses pemberdayaan dan tingkat keberdayaan warga masyarakat.

Berkaitan dengan keperluan pengukuran faktor-faktor/variabel-variabel

yang digunakan, maka perlu ada kesamaan pengertian terhadap istilah-istilah yang

digunakan dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut adalah:

(1) Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh

atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan

masyarakat lemah agar mereka dapat mengidentifikasi, menganalisis,

mene-tapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus

memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumber -daya dan

potensi yang dimiliki secara mandiri.

(2) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

(3) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan

oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

(4) Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan

memelihara kesuburan tanah.

(5) Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang telah ditentukan oleh

pemerintah untuk dilindungi dari segala macam aktivitas manusia yang

mengakibatkan kerusakan hutan atau kehilangan fungsi hutan, seperti

mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi

(26)

(6) Modal fisik (physical capital) adalah suatu infrastruktur pokok yang dapat

menunjang dan memperlancar usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat

dalam rangka memenuhi kebutuhannya, seperti sarana dan prasarana

produksi, sarana dan prasarana pendidikan, sarana dan prasarana kesehatan,

sarana ekonomi, sarana transportasi, dan sarana komunikasi.

(7) Modal Manusia (human capital) adalah suatu aset yang berhubungan dengan

intelektualitas dan kondisi seseorang, seperti tingkat pendidikan, tingkat

kesehatan , kemampuan melakukan hubungan/interaksi antar sesama.

(8) Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang dalam

usaha mendewasakan diri melalui upaya pengajaran dan pelatihan .

(9) Kesehatan adalah suatu keadaan yang bebas dari sakit atau sehat jasmani dan

rohani.

(10) Hubungan antar sesama adalah interaksi yang dibangun antar sesama dalam

rangka saling tukar pengalaman, peng etahuan dan informasi dalam rangka

peningkatan kapasitas diri.

(11) Modal Sosial (social capital) adalah aturan atau norma/nilai-nilai yang telah

disepakati bersama dan biasanya terbentuk melalui jaringan sosial dan

kese-pakatan dalam suatu organisasi sosial atau dalam komunitas.

(12) Pelaku pemberdayaan (stakeholder s) adalah orang-orang yang memiliki

kepedulian dan komitmen untuk menolong/memberdayakan warga

masyara-kat lemah yang tidak memiliki daya dan kesempatan untuk mengoptimalkan

potensi dirinya dan mengakses sumberdaya secara optimal.

(13) Proses pemberdayaan adalah suatu rangkaian tindakan atau perbuatan yang

dapat menciptakan masyarakat yang memiliki daya, kekuatan atau kemam

-puan dalam mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kondisi dan potensi

serta masalah -masalah yang perlu diatasi dan sekaligus memilih alternatif

pemecahnya secara mandiri.

(14) Kemampuan kognitif adalah kemampuan berpikir untuk mengenali sesuatu

berdasarkan wawasan dan pengetahuan faktual yang empiris dalam rangka

(27)

11

(15) Kemampuan afektif adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan

perasaan dan emosi pada saat menghadapi suatu kondisi tertentu.

(16) Kemampuan psikomotorik adalah kemampuan seseorang yang berhubungan

dengan aktivitas fisik yang berkaitan dengan proses mental dan psikologi.

(17) Jaringan sosial adalah suatu hubungan yang tersusun dalam suatu interaksi

yang melibatkan orang, kelompok, masyarakat, informasi dan beragam

pelayanan sosial di dalamnya.

(18) Kepercayaan antar sesama adalah suatu keyakinan yang dimiliki seseorang

untuk mempersepsikan seseorang atau suatu keadaan berdasarkan perasaan

dan kondisi yang dialami.

(19) Ketaatan adalah sikap yang menunjukan kepatuhan, kesetiaan dan loyalitas

terhadap kondisi yang telah ditetapkan atau disepakati.

(20) Kepedulian terhadap sesama adalah suatu sikap yang menuju kkan perhatian,

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Pemberdayaan

Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”,

adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran

masyarakat kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Memahami konsep empowerment

secara tepat harus memahami latar belakang kontekstual yang melahirkannya.

Konsep empowerment mulai nampak sekitar dekade 70-an dan terus berkembang

hingga 1990-an. (Pranarka & Vidhyandika,1996)

Pranarka dan Vidhyandika (Hikmat, 2004) menjelaskan bahwa konsep

pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah dengan aliran

yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran

post-modernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang

berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang

diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Pemahaman konsep pemberdayaan oleh

masing-masing individu secara selektif dan kritis dirasa penting, karena konsep

ini mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan

kebudayaan barat. Prijono Dan Pranarka (1996) membagi dua fase penting untuk

memahami akar konsep pemberdayaan, yakni: pertama, lahirnya Eropa modern

sebagai akibat dari dan reaksi terhadap alam pemikiran, tata masyarakat dan tata

budaya Abad Pertengahan Eropa yang ditandai dengan gerakan pemikiran baru

yang dikenal sebagai Aufklarung atau Enlightenment, dan kedua, lahirnya

aliran-aliran pemikiran eksistensialisme, phenomenologi, personalisme yang lebih dekat

dengan gelombang Neo -Marxisme, Freudianisme, strukturalisme dan sebagainya.

Perlu upaya mengakulturasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai

dengan alam pikiran dan kebudayaan Indonesia. Perkembangan alam pikiran

masyarakat dan kebudayaan Barat diawali dengan proses penghilangan harkat dan

martabat manusia (dehumanisasi). Proses penghilangan harkat dan martabat

manusia ini salah satunya banyak dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan

teknologi yang nantinya dipakai sebagai basis dasar dari kekuasaan (power).

(29)

13

Power adalah kemampuan untuk mendapatkan atau mewujudkan tujuan. Bachrach

dan Baratz (1970) membuktikan bahwa power adalah konsep rasional (rational

concept). Dalam pandangan mereka, power dilakukan yang dilakukan A hanya

dilakukan dalam hubungan individu atau kelompok B untuk memenuhi

kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan yang diberikan oleh B yang rela melakukan

pilihan atas sanksi yang ada atau akan kehilangan sesuatu yang lebih tinggi

(kekuasaan atau uang). Ironisnya, kekuasaan itu kemud ian membuat bangunan

-bangunan yang cenderung manipulatif, termasuk sistem pengetahuan, politik,

hukum, ideologi dan religi. Akibat dari proses ini, manusia yang berkuasa

menghadapi manusia yang dikuasai. Dari sinilah muncul keinginan untuk

membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan menghasilkan sistem

alternatif yang menemukan proses pemberdayaan. Sistem alternatif memerlukan

proses “empowerwent of the powerless.” Namun empowerment hanya akan

mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi dari

kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan bukan

sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi dan koaktualisasi

eksistensi manusia (Prijono Dan Pranarka, 1996).

Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan

mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang

kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun

demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan

perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi

kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang

pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan

yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.

Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses

pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas

dan kebebasan bertindak. Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan

mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi

”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi

(30)

dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya.

Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat menekankan

kemandirian masyarakat itu sebagai suatu sistem yang mampu mengorganisir

dirinya. Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya

ber-tujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk

mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan

diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam

melakukan tindakan. Paul (1987) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti

pem-bagian kekuasaan yang adil sehuingga meningkatkan kesadaran politis kekuasaan

kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan

hasil-hasil pembangunan. Rappaport (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan

diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu

terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak -haknya. MacArdle (1989)

mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh

orang-orang secara konsekuen melaksanakan keputusan itu. Orang-orang-orang yang telah

mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan

merupa-kan “keharusan” untuk lebih diberdayamerupa-kan melalui usaha mereka sendiri dan

akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai

tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal.

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian

kekauatan (power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan

kekuatan, seperti yang dikemukakan Simon (1990) dalam tulisannya tentang

Rethinking Empowerment. Simon menjelaskan bahwa pemberdayaan suatu

akti-vitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya

oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (

self-determination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim,

hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat

dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang

berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik. Dengan demikian pemberdayaan

bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan

(31)

15

dan makna-makna lain yang tidak sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau

kekuatan sesuai potensi yang dimiliki masyarakat.

Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis

pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau

kemam-puan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai

proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses

pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada

pihak yang kurang atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian

pember-dayaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada

hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau

memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat

lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, men etapkan kebutuhan dan

potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya

dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri.

Pemberdayaan sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang

dilakukan secara sistematis dan mencerminkan pentahapan kegiatan atau upaya

mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya, berkekuatan, dan

berkemampuan menuju keberdayaan. Makna "memperoleh" daya, kekuatan atau

kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau

meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan.

Kata "memperoleh" mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk

berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus

menyadari akan perlunya memperoleh daya atau kemampuan. Makna kata

"pemberian" menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif

untuk mengalihkan daya, kemampuan atau kekuatan adalah pihak -pihak lain yang

memiliki kekuatan dan kemampuan, mis alnya pemerintah atau agen -agen

(32)

Proses Pemberdayaan

Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pember

-dayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pember-dayaan yang

mene-kankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan,

kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.

Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari

makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan

sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi

individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa

yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”.

Kartasasmita (1995) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat

dilakukan melalui tiga proses yaitu: Pertama: Menciptakan suasana atau iklim

yang memungkin kan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya

adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya

tidak ada sumberdaya manusia atau masyar akat tanpa daya. Dalam konteks in i,

pemberdayaan adalah membangun daya, kekuatan atau kemampuan , dengan

mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi

yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi

atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empo-wering), sehingga diperlukan

langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan

juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah

yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya dalam

menghadapi yang kuat.

Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan

masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkamampuan. Kaitannya

dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri

warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya,

mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu

(33)

memi-17

liki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling

menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab atas tindakannya.

Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan

masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,

berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu

berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko,

mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan

situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat

seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan

meng-optimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

Adi (2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan su atu

masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam imp

-lementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam

pelaksanaannya. Tak jarang ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang

melakukan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul.

Watson (Adi, 2003) menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam

pembangun-an masyarakat, baik ypembangun-ang berasal dari kepribadipembangun-an individu maupun berasal dari

sistem sosial:

a. Berasal dari Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit),

seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention), ketergan

-tungan (Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat

sese-orang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (

self-Distrust)

b. Berasal dari Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to

Norms), yang”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas

tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural

Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sakral

(The Sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (Rejection of

(34)

Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan masyarakat

Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab

utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah

masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan

yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan,

kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan

prinsip -prinsip pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama

dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk meraihnya adalah dengan

membuka kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat dalam tahapan program

pembangunan. Setiap komponen masyarakat selalu memiliki kemampuan atau

yang disebut potensi. Keutuhan potensi ini akan dapat dilihat apabila di antara

mereka mengintegrasikan diri dan bekerja sama untuk dapat berdaya dan mandiri.

Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan

bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk

membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut

meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan ap a yang mereka

lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh

masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta

melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan

masalah-masalah yang dihadapi den gan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.

Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomo

-torik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.

Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang

dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi

atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku

masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap

nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan

yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai

(35)

19

kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung

masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan.

Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif,

afektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya

kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam

masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan

-keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan

perilaku sadar akan kebutuhannya.

Kemandirian masyarakat dapat dicapai tentu memerlukan sebuah proses

belajar. Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap

akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses

pengambilan keputusan secara mandiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu

& Matson (Suprijatna, 2000) yang mengusulkan konsep The Good Community

and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas yang baik dan empat

komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency itu

adalah; (1) setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan

hubungan pribadi atau kelompok; (2) komunitas memiliki kebebasan atau

otonomi, yaitu memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepen

-tingannya sendiri secara mandiri dan bertanggung jawab; (3) memiliki vialibilitas

yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri; (4) distribusi kekuasaan secara

adil dan merata sehingga setiap orang mempunyai berkesempatan dan bebas

memiliki serta menyatakan kehendaknya; (5) kesempatan setiap anggota

masyara-kat untuk berpartsipasi aktif untuk kepentingan bersama; (6) komunitas memberi

makna kepada anggota; (7) adanya heterogenitas /beda pendapat; (8) pelayanan

masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin kepada yang berkepen

-tingan; dan (9) adanya konflik dan manajemen konflik.

Melengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi

yang harus dimiliki masyarakat yaitu, sebagai berikut: (1) mampu mengidentifikasi

masalah dan kebutuhan komunitas, (2) mampu mencapai kesempatan tentang sasaran

yang hendak dicapai dalam skala prioritas, (3) mampu menemukan dan menyepakati

(36)

dalam bertindak mencapai tujuan. Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan

kompetensi pendukung untuk mengantarkan masyarakat agar mampu memikirkan,

mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial.

Pembentukan masyarakat yang memiliki kemampuan yang memadai

untuk memikirkan dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan

tentunya tid ak selamanya harus dibimbing, diarahkan dan difasilitasi. Berkaitan

dengan hal ini, Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa pemberdayaan tidak

bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri,

dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak

jatuh lagi. Berdasarkan pendapat Sumodiningrat berarti pemberdayaan melalui

suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri.

Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung

secara bertahap, yaitu: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju

perilaku sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan

peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan

berpikir atau pengetahuan, kecakapan -keterampilan agar dapat mengambil peran

di dalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual,

kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan

inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian (Sulistiyani, 2004).

Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku

merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan. Pada tahap ini pelaku

pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi

ber-langsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa yang diintervensi dalam

masyarakat sesungguhnya lebih pada kemampuan afektifnya untuk mencapai

kesadaran konatif yang diharapkan agar masyarakat semakin terbuka dan merasa

membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kondisinya.

Pada tahap kedua yaitu proses transformasi pengetahuan, pengalaman

dan keterampilan dapat berlangsung baik, demokratis, efektif dan efisien, jika

tahap pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang

pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang memiliki relevansi dengan apa

(37)

pening-21

katan kapasitas. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan

dan penguasaan keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini

masyarakat hanya dapat berpartisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar

menjadi pengikut/obyek pembangunan saja, belum menjadi subyek pembangunan.

Tahap ketiga adalah merupakan tahap pengayaan atau peningkatan

intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan, supaya mereka dapat

membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian tersebut ditandai oleh

ke-mampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan

melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarak at telah

mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan

pembangunan. Dalam konsep pembangunan masyarakat pada kondisi seperti ini

seringkali didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama.

Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja. Serangkaian tahapan yang ditempuh

melalui pemberdayaan tersebut dapat diamati pada Tabel 1.

Tabel 1 Tahapan pemberdayaan knowledge, attitudes, practice dengan

pendekatan aspek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif

Tahapan Afektif Taha pan Kognitif

Tahapan

Psikomotorik Tahapan Konatif yang lebih tinggi

Memperkaya

(38)

Kemampuan Pelaku Pemberdayaan

Tujuan pemberdayaan adalah membentuk individu dan masyarakat

menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak

dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat adalah

merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat dan ditandai kemampuan

memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi

mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya,

kekuatan atau kemampuan yang dimiliki. Daya, kekuatan atau kemampuan yang

dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta

sumber daya lainnya yang bersifat fisik-material. Pencapaian tujuan tersebut tentu

tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi membutuhkan upaya dan kerja

keras yang serius dari semua pihak yang dalam penelitian ini disebut sebagai

pelaku pemberdayaan. Pelaku pemberdayaan harus dapat berperan sebagai

motivator, mediator dan fasilitator yang baik.

Pada era reformasi dan desentralisasi saat ini tuntutan terhadap pelaku

pemberdayaan yang memiliki kemampuan yang memadai semakin menguat.

Pelaku pemberdayaan tid ak hanya dituntut untuk memperkaya pengetahuannya,

melainkan mereka dituntut meningkatkan ketrampilannya dalam mendesain

program pemberdayaan. Lantas muncul pertanyaan, kemampuan seperti apa

yang harus dimiliki oleh pelaku pemberdayaan?. Tjokrowinoto (2001)

me-nawarkan lima bentuk kemampuan yang dianggapnya sangat relevan dengan

kualitas pelaku pemberdayaan, yakni: (1) kemampuan untuk melihat

pe-luang-peluang yang ada, (2) kemampuan untuk mengambil keputusan dan

langkah -langkah yang dianggap prioritas dengan mengacu pada visi, misi

dan tujuan yang ingin dicapai, (3) kemampuan mengidentifikasikan sub

-jek-subjek yang mempunyai potensi memberikan input dan sumber bagi

proses pembangunan , (4) kemampuan menjual inovasi dan memperluas

wilayah penerimaan program-program yang diperuntukkan bagi kaum

miskin; dan (5) kemampuan memainkan peranan sebagai fasilitator atau

mening-katkan kemam puan masyarakat untuk tumbuh berkembang

(39)

23

Keterpaduan kelima kemampuan pelaku pemberdayaan tersebut patut

dijadikan rujukan atau pedoman oleh seluruh unsur stakeholders, terutama

yang mempunyai tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan pembangunan

dan penanggulangan kemiskinan. Namun dukungan kelima kemampuan ini pun

tidak akan berarti kalau tidak disertai dengan sikap perilaku adil dan komitmen

yang kuat. Jamasy (2004) menambahkan bahwa ada tujuh syarat kemampuan

umum yang harus dimiliki pelaku pemberdayaan dan kesemuanya harus

terefleksi dalam kegiatan aksi program, yakni kemampuan untuk: (1)

memper-tahankan keadilan, (2) mempermemper-tahankan kejujuran, (3) melakukan problem

solving, (4) mempertahankan misi, (5) memfasilitasi, (6) menjual inovasi,

dan (7) fasilitasi yang bertumpu pada kekuatan masyarakat sendiri.

Keberhasilan pelaku pemberdayaan dalam memfasilitasi proses

pemberdayaan juga dapat diwujudkan melalui peningkatan partisipasi aktif

masyarakat. Fasilita tor harus trampil mengintegrasikan tiga hal penting yakni:

optimalisasi fasilitasi, waktu yang disediakan, dan optimalisasi partisipasi

masyarakat. Masyarakat pada saat menjelang batas waktu harus diberi

kesem-patan agar siap melanjutkan program pembangunan secara mandiri. Sebaliknya,

fasilitator harus mulai mengurangi campur tangan secara perlahan. Tanamkan

kepercayaan pada masyarakat yang selanjutnya akan mengelola program. Secara

rinci perban-d ingan persentase keterlibatan fasilitator dan masyarakat dalam

proses pember-dayaan masyarakat divisualisasikan pada Gambar 1.

20%

10%

Sumber : Jamasy (2004) Masyarakat (kelompok sasaran)

Jangka waktu yang direncanakan

Masyarakat (kelompok sasaran) F a s i l i a t o r

80%

50% 50% 90%

(40)

Berkaitan dengan jangka waktu keterlibatan fasilitator (pelaku

pember-dayaan) dalam mengawal proses pemberdayaan terhadap warga masyarakat,

Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa, pemberdayaan tidak bersifat

selama-nya, melainkan sampai target masyarakat mampu mandiri, dan kemudian dilepas

untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. Meskipun

demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan

pemeli-haraan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak

mengalami kemunduran.

Sebagai tenaga ahli, fasilitator sudah pasti dituntut untuk selalu trampil

melakukan fasilitasi; aktif mencipta kan media konsultasi; aktif menjadi mediator;

aktif memberikan animasi dan advokasi; dan trampil memfasilitasi proses

problem solving (pemecahan masalah). Persoalan yang diungkapkan masyarakat

saat problem solving tidak secara otomatis harus dijawab oleh fasilitator tetapi

bagaimana fasilitator mendistribusikan dan mengembalikan persoalan dan

pertanyaan tersebut kepada semua pihak (peserta atau masyarakat). Upayakan

bahwa pendapat masyarakatlah yang mengam bil alih keputusan. Hal yang penting

juga untuk diperhatikan pelaku pemberdayaan sebagai fasilitator harus dapat

mengenali tugasnya secara baik.

Berkaitan dengan tugas pelaku pemberdayaan sebagai fasilitator oleh

Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994) memberikan kerangka acuan mengenai

tugas sebagai berikut; (1) mendefenisikan siapa yang akan dilibatkan dalam

pelak-sanaan kegiatan, (2) mendefenisikan tujuan keterlibatan, (3) mendorong

komuni-kasi dan relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan, (4)

mem-fasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem: menemukan kesamaan

dan perbedaan, (5) memfasilitasi pendidikan membangun pengetahuan dan

ke-terampilan, (6) memberikan contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah

bersa-ma mendorong kegiatan kolektif, (7) mengidentifikasi bersa-masalah-bersa-masalah prioritas

yang akan dipecahkan bersama dan memfasilitasi penetapan tujuan, (8) meran

-cang solusi-solusi alternative, (9) mendorong pelaksanaan tugas, dan (10)

(41)

25

Memahami Modal Manusia (Human Capital) dan Modal Sosial (Social Capital)

Modal Manusia (Human Capital)

Pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul "investment in

human capital" di hadapan The American Economic Association dan sekaligus

sebagai peletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato

tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui

pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi

juga merupakan suatu investasi. Azua dan Azua (Huseini, 1999) menjelaskan

bahwa modal manusia merupakan refleksi dari pendidikan, pengalaman, intuisi

dan keahlian dan Nasseri (2002) berpendapat bahwa modal manusia adalah

akumulasi dari bakat dan pengetahuan individu yang diperoleh melalui

pendidikan, pelatihan, pengalaman dan kognisi.

Deninson (Nurulpaik, 2005) mengemukakan bahwa pembangunan sektor

pendidikan dengan manusia sebagai fokusnya telah memberikan kontribusi

langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan

ketrampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara

pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai

nilai ekonomi dari pendidikan. Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola

pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga

internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana

dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM.

Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga

diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan menjadi

"leading sector" atau salah satu sektor utama. Seperti yang dikemukakan oleh

Todaro dan Smith (2003) bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan

pembangunan yang mendasar yang keduanya merupakan bentuk dari modal

manusia (human capital) yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas

manusia yang lebih luas yang berada pada inti makna pembangunan. Kesehatan

merupakan inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk

Gambar

Tabel 1 Tahapan pemberdayaan knowledge, attitudes, practice dengan   pendekatan aspek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif
Tabel 2  Ciri-ciri masyarakat berdaya dilihat dari aspek pengetahuan,                                       sikap dan ketrampilan
Tabel 3   Ciri-ciri pelaku pemberdayaan yang memberdayakan dilihat dari aspek                   perilaku; pengetahuan, sikap dan ketrampilan
Tabel 4 Ciri masyarakat yang memiliki  modal manusia (human capital)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Program latihan beban yang baik harus dilakukan hati-hati, progresif, bersifat individual, beban disesuaikan, berkelanjutan, menghindari bagian tubuh yang lemah,

Deteksi adanya kontaminasi aflatoksin dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain thin layer chromatography (TLC), high performance liquid chromatography (HPLC),

Patogen lain seperti Mycoplasma hominis, Haemophilus influenza, Streptococcus pyogenes, Bacteroides, yang berasal dari apendisitis atau diverkulitis

Menjelaskan reference dan makna kata kontekstual yang terdapat dalam teks reading comprehension. Memberi latihan soal

 Diberitahukan kepada seluruh anggota warga jemaat GPIB jemaat Petra, bahwa : Untuk semua jenis pelayanan di gerejawajib menggunakan dan membawa KKG yang baru (terutama

Berdasarkan dari “Penguna Line di Indonesia Duduki Peringkat 2 Terbanyak di Dunia” (2014, Para 1 dan 2), pada tanggal 12 September 2014 lalu, telah terjadi peningkatan pengguna

1) Interest rate risk, yaitu risiko yang disebabkan oleh perubahan tingkat bunga tabungan dan tingkat bunga pinjaman. Jika tingkat bunga semakin tinggi maka akan terjadi

Berdasarkan hasil uji hipotesis terlihat bahwa variabel independen yang berpengaruh paling besar terhadap kebijakan hutang berturut-turut adalah: ROA dengan koefisien beta