• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pengambilan sampel kepiting bakau dilakukan setiap 10 hari sekali selama 60 hari masa pemeliharaan. Adapun objek yang diteliti pada penelitian ini adalah pengaruh penggunaan pakan alami dengan feeding rate yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah pertumbuhan lebar karapas (cm), pertumbuhan bobot (gr), feed Convention ratio (FCR), kelangsungan hidup dan parameter kualitas air.

Adapun perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah P1 (penggunaan pakan ikan rucah), P2 (penggunaan pakan keong mas), P3 (penggunaan pakan usus ayam) dengan perlakuan feeding rate F1 (feeding rate 6%), F2 (feeding rate 8%) dan F3 (feeding rate 10%).

Peningkatan Bobot Kepiting Bakau

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 60 hari dengan perlakuan perbedaan pakan alami dengan feeding rate yang berbeda dapat dilihat pada (Lampiran 3) dan Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata peningkatan bobot kepiting bakau

Perlakuan Peningkatan bobot (gram)

P1F1 55,87

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 60 hari dengan perlakuan perbedaan pakan alami dengan feeding rate yang berbeda diagram peningkatan bobot rata-rata kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peningkatan bobot kepiting bakau

Hasil pada Gambar 4 menunjukkan bahwa perubahan peningkatan berat kepiting bakau yang telah dipelihara selama 60 hari berkisar 55,87 – 91,01gram.

peningkatan bobot tertinggi terdapat pada perlakuan P3F3 sebesar 91,01 gram.

Sedangkan peningkatan bobot terendah terdapat pada P1F1 sebesar 55,87 gram.

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh setiap perlakuan perbedaa pakan pakan alami dan feeding rate terhadap peningkatan bobot kepiting bakau dapat dilihat pada (Lampiran 4). Dengan hasil dari uji analisis variasi (ANOVA) yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan Tabel 3, hasil analisis variansi (ANOVA) perbedaan peningkatan bobot secara signifikan antar rata-rata perlakuan secara keseluruhan.

Berdasarkan perhitungan Anova perlakuan pemberian pakan alami dan feeding rate memiliki nilai signifikan 0,000 (P≤0,01) hal ini menunjukkan bahwa sumber variansi tersebut memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap

peningkatan bobot kepiting. Dan interaksi pakan alami dengan feeding rate memiliki nilai signifikan 0,000 (P≤0,01) dimana semua sumber variansi tersebut memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap peningkatan bobot kepiting bakau.

Tabel 3. Analisis variasi (ANOVA) terhadap bobot (gr) kepiting bakau

Sumber keragaman JK db KT Fhitung Sig.

**(Sangat berbeda nyata) (P≤0,01). * (Berbeda nyata) (P≤0,05). tn (tidak nyata) (P>0,05) Pemberian pakan alami dengan feeding rate yang berbeda terhadap bobot memiliki nilai signifikan (P ≤ 0,01) yang artinya sangat berbeda nyata sehingga dilanjutkan dengan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT). Analisis variansi (ANOVA) peningkatan bobot kepiting bakau dengan menggunakan SPSS yang dapat menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan bobot kepiting bakau. Dengan hasil dari uji rata –rata dan standart eror peningkatan bobot (gr) kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 4, hasil pengamatan peningkatan bobot yang dilakukan setiap 10 hari sekali pada masa pemeliharaan 60 hari, dapat diketahui bahwa perbedaan pakan alami dengan feeding rate berbeda memberikan perlakuan yang berbeda terhadap peningkatan bobot kepiting bakau. Setiap 10 hari sekali terdapat perbedaan nilai disetiap perlakuan dan juga terdapat perbedaan notasi huruf.

Perbedaan pakan alami dan feeding rate yang paling efektif dalam meningkatkan

peningkatan bobot kepiting bakau adalah pada perlakuan P3F3, dikarenakan mendapatkan nilai yang lebih besar dari pada perlakuan yang lainnya. Notasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda antar perlakuan. Sedangkan pada notasi huruf yang berbeda, menujukkan adanya perbedaan antar perlakuan yang signifikan terhadap pertumbuhan bobot kepiting bakau.

Tabel 4. Hasil rata – rata dan standart eror peningkatan bobot (gr) kepiting bakau Pakan Alami + Keterangan: kodefikasi a,b,c dan dmenunjukkan adanya perbedaan yang signifikan Pertambahan Lebar Karapas Kepiting Bakau

Berdasarkan hasil penelitian pertumbuhan lebar karapas kepiting bakau selama 60 hari masa pemeliharaan dapat dilihat pada (lampiran 7) dan Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata pertambahan lebar karapas kepiting bakau

Perlakuan Pertambahan lebar karapas (cm)

P1F1 1,20

P1F2 1,23

P1F3 1,20

P2F1 1,27

P2F2 1,27

P2F3 1,27

P3F1 1,27

P3F2 1,27

P3F3 1,27

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 60 hari dengan perlakuan perbedaan pakan alami dengan feeding rate yang berbeda memiliki diagram rata-rata pertambahan lebar karapas kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Rata-rata pertambahan lebar karapas kepiting bakau

Hasil pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pertambahan lebar karapas yang telah dipelihara selama 60 hari berkisar 1,20 – 1,27 cm. Pertambahan lebar tertinggi terdapat pada perlakuan P2F1, P2F2, P2F3, P3F1, P3F2, dan P3F3 sebesar 1,27 cm. Sedangkan pertambahan lebar terendah terdapat pada P1F1 dan P1F3. P1F1 sebesar 1,20 cm dan P1F3 sebesar 1,20 cm.

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh tiap variabel terhadap lebar karapas kepiting bakau, maka dilanjutkan dengan uji anova yang disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, hasil analisis variansi (ANOVA) pertambahan lebar karapas dapat dilihat pada (lampiran 8). Analisis variansi dari SPSS digunakan untuk melihat perbedaan secara signifikan antar rata-rata perlakuan secara keseluruhan. Pada perlakuan pakan alami nilai signifikan sebesar 0,05 (P≥0,05), hal ini menunjukkan adanya pengaruh berbeda nyata. Pada perlakuan feeding rate dan interaksi perlakuan pakan alami dengan feeding rate memiliki nilai signifikan 0,633 dan 0,974 (P≥0,05) hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata terhadap lebar karapas.

Tabel 6. Analisis variasi (ANOVA) terhadap lebar karapas (cm) kepiting bakau

Sumber keragaman JK db KT Fhitung Sig.

Pakan alami 0,023 2 0,011 3,647 0,050

Feeding rate 0,003 2 0,001 0,471 0,633

Pakan alami

*feeding rate 0,001 4 0,000 0,118 0,974

Error 0,050 16 0,003

Corrected Total 0,0874 26

tn (tidak nyata) (P>0,05)

Feed Convertion Ratio (FCR)

Berdasarkan hasil penelitian selama 60 hari masa pemeliharaan menghitung jumlah total pakan yang diberikan kepada kepiting bakau dibagi dengan bobot pada awal dan akhir. Nilai FCR pada setiap perlakuan dapat dilihat pada pada (lampiran 12) dan Tabel 7.

Tabel 7. Rata-rata FCR kepiting bakau

Perlakuan FCR kepiting bakau

P1F1 7,99

P1F2 9,14

P1F3 11,16

P2F1 7,47

P2F2 10,21

P2F3 11,29

P3F1 6,55

P3F2 8,14

P3F3 9,62

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 60 hari dengan perlakuan perbedaan pakan alami dengan feeding rate yang berbeda, diagram rasio konversi pakan pada setiap perlakuan pada masa pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Rasio konversi pakan pada setiap perlakuan

Berdasarkan Gambar 6, nilai FCR tertinggi berada pada interaksi P2F3 (Pakan alami keong mas dengan feeding rate 10%) sebesar 11,29. Kemudian diikuti pada perlakuan P1F3 (pakan alami ikan rucah dengan feeding rate 10%) sebesar 11,16. Sedangkan nilai FCR terendah terdapat pada perlakuan P3F1 sebesar 6,55. Feed convertion ratio (FCR) dalam budidaya diperlukan untuk

mengetahui jumlah kebutuhan pakan yang dibutuhkan kepiting untuk menghasilkan daging pada kepiting. Nilai konversi pakan yang baik berada pada nilai FCR yang rendah, semakin rendah nilai konversi pakan maka semakin efisien pakan yang diberikan.

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh setiap pakan alami dan feeding rate terhadap feed convertion ratio kepiting bakau , maka dilanjutkan dengan uji ANOVA yang hasilnya disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, hasil analisis variasi dari rasio pemberian pakan dengan nilai signifikasi 0,000 dan perlakuan pakan alami dan feeding rate dengan nilai signifikan (P≤0,01). Dimana sumber variansi tersebut memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap rasio konversi pakan atau FCR (feed convertion ratio) kepiting bakau.

Dan interaksi pakan alami dan feeding rate memiliki nilai signifikasi 0,000 pakan perlakuan pakan alami dan feedung rate memiliki signifikan (P≤0,01) dimana sumber variansi tersebut memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap rasio konversi pakan atau FCR (feed convertion ratio) kepiting bakau..

Tabel 8. Analisis variasi terhadap feed convertion ratio kepiting bakau selama masa pemeliharaan

Sumber keragaman JK db KT Fhitung Sig.

Pakan alami 12,697 2 6,348 324,014 0,000

Feeding rate 50,802 2 25,401 1296,457 0,000

Pakan alami

*feeding rate 2,139 4 0,535 27,298 0,000

Error 0,313 16 0,020

Total 66,004 26

**(Sangat berbeda nyata) (P≤0,01). * (Berbeda nyata) (P≤0,05). tn (tidak nyata) (P>0,05)

Tabel 9. Hasil rata – rata dan standart error FCR kepiting bakau selama 60 hari Keterangan:kodefikasi a,b,c dan dmenunjukkan adanya perbedaan yang signifikan

Selanjutnya dilakukan pengolah data lanjutan secara keseluruhan selama 60 hari dengan bantuan program SPSS untuk mendapatkan nilai mean dan standart error terhadap feed convertion ratio (FCR) Kepiting Bakau menunjukkan berbeda sangat nyata terhadap konversi pakan kepiting bakau dan disajikan pada Tabel 9.

Kelangsungan Hidup (Survival rate)

Data pengamatan terhadap tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau selama 60 hari masa pemeliharaan dapat dilihat pada (lampiran 15). Untuk

mengetahui tingkat kelangsungan hidup rata-rata kepiting bakau disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 10.

Gambar 7. Kelangsungan hidup kepiting bakau .

Tabel 10 . Tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau selama 60 hari pemeliharaan Perlakuan Jumlah

Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau pada setiap perlakuan memiliki tingkat

presentase sebesar 100%. Data kelangsungan hidup selama pemeliharaan diperoleh dengan menghitung jumlah awal kepiting yang hidup dengan jumlah akhir kepiting yang hidup selama 60 hari pemeliharaan.

Berdasarkan hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau selama pemeliharaan seperti pada (Lampiran 15) maka didapatkan nilai persentase tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13. Kelangsungan hidup kepiting bakau untuk seluruh perlakuan yang dipelihara adalah 100%.

Kualitas Air

Pada penelitian ini, pengukuran kualitas air dilakukan dengan stabil.

Pengukuran ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas air pada perlakuan. Parameter air yang diukur antara lain adalah Suhu, pH (Derajat Keasaman), Salinitas dan juga DO (mg/L). Data pengamatan kualitas air selama masa pemeliharaan 60 hari dapat dilihat pada (Lampiran 16). Parameter kualitas air disajikan pada Tabel 11.

Berdasarkan Tabel 11, dapat dilihat bahwa nilai kualitas air memiliki nilai yang baik. Hal ini dikarenakan pemeliharaan dilakukan perlakuan pada bagan air yang tergolong baik.

Tabel 11. Nilai kualitas air pada bagan perairan selama penelitian

Parameter Hasil penelitian (min-maks)

pH air 7,0 – 7,5

Oksigen terlarut (mg/l) 5- 5,4

Suhu Air (oC) 23-30

Salinitas (ppt) 18-29

Pembahasan

Peningkatan Bobot Kepiting Bakau

Pemberian pakan alami dan feeding rate yang berbeda sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting bakau. Peningkatan bobot tertinggi pada penelitian ini yaitu pada perlakuan P3F3 (Pakan alami usus ayam dengan feeding rate 10%) dengan nilai pertambahan bobot kepiting bakau sebesar 91,01 gram. Hal ini disebabkan kandungan nutrisi yang dikandung usus ayam lebih tinggi dan pemberian feeding rate yang diberikan dengan dosis yang tepat. Peningkatan bobot terendah terdapat pada perlakuan P1F1 sebesar 55,87 gram dengan berat akhir yaitu 156,67 gram, hal ini disebabkan karena pakan ikan rucah yang digunakan memiliki tekstur dan kondisi yang lebih mudah hancur ketika didalam air dibandingkan perlakuan yang lainnya serta feeding rate 6%. Hal ini sesuai dengan Yuda et al. (2014) yang menyatakan bahwa protein merupakan nutrien yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan mempertahankan kehidupan dari semua hewan.

Persentase pemberian pakan pada kepiting (feeding rate) merupakan salah satu aspek penting dalam keberhasilan budidaya. Perlakuan pakan dengan feeding rate 10% lebih efektif dibandingkan dengan perlakuan feeding rate 8% dan 6%.

Pemberian pakan sebesar 10% sudah cukup untuk pertumbuhan optimal kepiting bakau. Hal ini sesuai dengan Agus et al. (2015) yang menyatakan bahwa untuk mencapai pertumbuhan optimal kepiting bakau memerlukan pakan dalam jumlah 5-10% dari bobot biomassa per hari. Selain itu, pakan yang diberikan juga banyak yang dimakan sehingga menyebabkan pakan yang tersisa sedikit, sehingga energi yang diperoleh dari pakan dapat digunakan secara maksimal.

Perlakuan P1F1 (pakan ikan rucah dan feeding rate 6%) merupakan perlakuan yang mengalami peningkatan bobot terendah, hal ini dikarenakan transfer energi yang diperoleh dari ikan rucah belum mencukupi pemenuhan nutrisi harian kepiting bakau untuk pertumbuhan. Hal ini sesuai Adilla et al.

(2020) yang menyatakan bahwa jumlah pakan yang diberikan lebih rendah, tidak mencukupi kebutuhan kepiting bakau. Sehingga hanya mampu meningkatkan pertambahan berat yang relatif rendah karena pakan ikan rucah yang dimakan kepiting bakau tidak mencukupi kebutuhan kepiting.

Rata – rata pertumbuhan bobot kepiting bakau (Scylla sp) dari perlakuan P1F1 hingga P3F3 berkisar antara 55,87 – 91,01 gram. Suhu, PH air dan salinitas mempengaruhi nilai pertumbuhan bobot kepiting bakau (Scylla sp) karena mempengaruhi metabolisme dan nafsu makan dari kepiting bakau tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boeuf dan Payan (2001) suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas, nafsu makan, sintasan, pertumbuhan, dan moulting kepiting bakau. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa hubungan antara laju pertumbuhan kepiting dengan suhu media sangat proporsional.

Pertambahan Lebar Karapas Kepiting Bakau

Berdasarkan data pertumbuhan panjang lebar karapas kepiting bakau dapat dilihat adanya perbedaan pada perlakuan P1F1, P1F2, dan P1F3. Lebar karapas tertinggi pada perlakuan P2F2 dan P3F3 memiliki nilai pertumbuhan yang rata-rata seragam sebesar 1,27 cm hal ini dikarenakan faktor internal dari kepiting bakau. Hal ini sesuai dengan Effendi (1979) yang menyatakan bahwa pertumbuhan diartikan sebagai perubahan dalam berat, ukuran, maupun volume

seiring dengan perubahan waktu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kepiting itu sendiri seperti umur, dan sifat genetik yang meliputi keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit.

Faktor eksternal adalah faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat hidup kepiting yang meliputi sifat fisika dan kimia air, ruang gerak dan ketersediaan makanan dari segi kualitas dan kuantitas.

Didapati bahwa kepiting bakau yang telah diindentifikasi memiliki pertumbuhan lebar karapas yang tidak jauh berbeda antara perlakuan P2F1 hingga P3F3 dimana memiliki nilai seragam yakni 1,27 cm, akan tetapi terdapat perbedaan pada P1F1 hingga P1F3 dimana nilai pertumbuhan lebar karapas berkisar dari 1,2 hingga 1,23. Hal ini diduga dipengaruhi dari perbedaan protein yang terkandung pada pakan berbeda pada pakan alami. Hal ini sesuai dengan Amalia et al. (2018) yang menyatakan pakan yang baik memiliki komposisi zat gizi yang lengkap seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral.

Pemberian pakan yang nilai nutrisinya kurang baik dapat menurunkan kelangsungan hidup dan pertumbuhannya akan lambat (tumbuh kerdil), bahkan dapat menimbulkan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi (malnutrisi).

Banyaknya zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan berbeda-beda.

Pertumbuhan lebar karapas kepiting bakau hanya terjadi ketika kepiting bakau mengalami pergantian kulit (moulting) dimana hal ini dapat terjadi ketika kondisi bobot kepiting bakau sudah memasuki fase padat memenuhi cangkang

kepiting dan didukung kondisi lingkungan yang sesuai. Hal ini sesuai dengan Hastuti et al. (2016) yang menyatakan bahwa pertumbuhan karapas atau cangkang

pada kepiting merupakan proses diskontinu, dimana konsekuensi dari cangkang kepiting yang keras dan tidak elastis. Pada saat molting, pertumbuhan cangkang hanya terjadi secara periodik ketika cangkang yang keras dilepaskan. Sebaliknya, pertumbuhan jaringan tubuh terjadi secara kontinu.

Feed Convertion Ratio

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan selama 60 hari, perlakuan nilai FCR tertinggi berada pada interaksi P2F3 (pakan alami keong mas dengan feeding rate 10%) sebesar 11,29 hal ini diduga karena pakan yang diberikan berupa keong mas terdapat bagian yang sangat mudah hancur ketika dicapit oleh kepiting bakau, sehingga nilai pemanfaatan pakan pada perlakuan rendah.

Sedangkan nilai FCR terendah terdapat pada perlakuan P3F1 (pakan usus ayam dengan feeding rate 6%) sebesar 6,55 hal ini dikarenakan perbedaan kemampuan pakan untuk tetap bertahan dalam kondisi baik, pakan usus ayam dapat bertahan lama di dalam air mengikuti waktu kepiting bakau untuk selera mengkonsumsi pakan yang diberikan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan Fujaya et al. (2012) yang menyatakan kepiting bakau merupakan hewan yang aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal). Pada siang hari, kepiting biasanya akan bersembunyi pada lubang, di bawah batu ataupun di sela-sela akar pohon bakau.

Nilai konversi pakan ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Paralita et al. (2021) Konversi pakan tertinggi terjadi pada pakan ikan rucah yaitu 8,15 dan terendah pada pakan keong bakau yaitu 7,75. Hal ini terjadi karena kepiting bakau memiliki kemampuan yang tidak sama dalam memanfaatkan pakan.

Tingginya FCR pada kepiting bakau dikarenakan perbedaan dalam pemanfaatan pakan, rata-rata pertambahan bobot kepiting bakau sekitar 55,87 – 91,01 gram. Kepiting bakau akan mengalami pertumbuhan bobot secara drastis ketika mengalami pergantian kulit. Belum terjadinya proses moulting yang kedua diduga karena ditumbuhinya lumut pada wadah pemeliharaan sehingga menimbulkan stress dimana hal inilah yang menyebabkan pergantian kulit kedua belum terjadi sehingga FCR kepiting bakau tinggi. Hal ini sesuai Sagala et al.

(2013) yang menyatakan bahwa tumbuhnya lumut dalam wadah bahkan tumbuh di atas karapas kepiting, kondisi ini membuat stress dan mengurangi daya tahan tubuh kepiting dan kurangnya energi yang dihasilkan.

Kelangsungan Hidup (Survival Rate)

Berdasarkan hasil penelitian selama 60 hari survival rate kepitng bakau yang dipelihara pada setiap perlakuan sebesar 100%, hal ini termasuk kategori baik. Hal ini sesuai dengan Mulyani et al. (2014) yang menyatakan bahwa tingkat kelangsungan ≥ 50% tergolong baik, kelangsungan hidup 30-50% sedang dan kurang dari 30% tidak baik. Kelangsungan hidup ikan sangat bergantung pada daya adaptasi ikan terhadap makanan dan lingkungan, status kesehatan ikan, padat tebar, dan kualitas air yang cukup mendukung pertumbuhan.

Tingginya tingkat kelulusan hidup kepiting bakau yang dilakukan pada penelitian ini dikarenakan penggunaan keranjang yang dapat melindungi kepiting bakau ketika mengalami pergantian kulit kondisi kepiting dimana keadaan yang sangat lemah tidak berdaya memiliki perlindungan dari pemangsa. Hal ini sesuai dengan Akil (2020) yang menyatakan bahwa kepiting akan memangsa sejenisnya yang berukuran lebih kecil dengan cara merusak karapasnya menggunakan capit

yang ada pada tubuhnya dan mengambil bagian lunak dari kepiting tersebut.

Selain itu, pada saat kepiting sedang berganti kulit (moulting) disitulah kepiting yang lain berkesempatan untuk memangsanya karena pada saat itu kepiting berada pada kondisi yang lemah.

Berdasarkan hasil penelitian selama 60 hari parameter kualitas air tergolong kedalam kategori yang cocok untuk kehidupan kepiting bakau yaitu senilai 7,3. Hal ini sesuai dengan Alfin (2016) yang menyatakan pH merupakan salah satu gambaran tentang kemampuan suatu perairan dalam memproduksi garam mineral, yang mana bila pH tidak sesuai dengan kebutuhan organisme yang dipelihara, akan menghambat pertumbuhan. pH yang ideal berkisar antara 6–8.

Pertumbuhan akan terhambat jika nilai pH, suhu dan kualitas air lainnya tidak sesuai dengan kebutuhannya. .

Kualitas air

Berdasarkan data pengamatan parameter kualitas air pada Tabel 14, dapat dilihat parameter suhu, pH, salinitas dan oksigen terlarut. Suhu atau temperatur merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan bagi kepiting bakau.

Berdasarkan data pengukuran, suhu yang tercatat selama pemeliharaan yaitu berkisar 23°C sampai 30°C. Suhu merupakan faktor penting untuk kehidupan, jika suhu air terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan terganggunya metabolisme pada tubuh kepiting yang dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu untuk pertumbuhan kepiting bakau suhu yang diperlukan harus optimal.

Kisaran suhu selama penelitian pada setiap perlakuan adalah 23-30°C, dimana suhu tersebut masih dalam kisaran normal. Hasil ini telah sesuai dengan suhu yang optimal bagi pertumbuhan kepiting bakau. Hal ini sesuai dengan

Hastuti et al. (2016) menyatakan suhu yang optimum untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah berkisar antara 26-32ºC. Suhu yang kurang atau lebih dari kisaran optimum akan mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, hal tersebut disebabkan karena adanya penurunan reaksi metabolisme. Perubahan suhu yang terjadi secara mendadak juga akan menyebakan stress hingga kematian.

Berdasarkan data pengamatan parameter kualitas air berupa salinitas kisaran 18-29 ppt, dimana salinitas tersebut masih dalam rentang tolerir oleh kepiting bakau. Hal ini sesuai dengan Akil, (2020) menyatakan bahwa salinitas dapat mempengaruhi aktivitas fisiologi kepiting bakau. Salinitas yang masih dapat ditolerir oleh kepiting bakau adalah berkisar anatara 1-42 ppt. Salinitas juga merupakan salah satu faktor lingkungan yang memiliki pengaruh penting terhadap konsumsi pakan, laju metabolisme, sintasan.

Berdasarkan data pengamatan parameter kualitas air berupa pH sebesar 7,0 – 7,5 Alfin (2016) menyatakan bahwa pH merupakan salah satu gambaran tentang kemampuan suatu perairan dalam memproduksi garam mineral, yang mana bila pH tidak sesuai dengan kebutuhan organisme yang dipelihara, akan menghambat pertumbuhan ikan. pH yang ideal berkisar antara 6–8. Pertumbuhan akan terhambat jika nilai pH, suhu dan kualitas air lainnya tidak sesuai dengan kebutuhannya.

Nilai oksigen terlarut yang terukur selama pemeliharaan kepiting bakau berkisar antara 5,0 mg/L sampai 5,4 mg/L dimana nilai DO tersebut masih dalam rentang tolerir yang oleh kepiting bakau. Menurut Shelley dan Lovatelli (2011) standar kualitas air untuk memelihara kepiting bakau, dengan kisaran DO optimum > 5 ppm.

Dokumen terkait