• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Komoditi Minyak Sawit

Minyak sawit sebagian besar diproduksi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena pohon-pohon kelapa sawit membutuhkan suhu hangat, sinar matahari dan banyak hujan untuk memaksimalkan produksi. Produksi minyak sawit global didominasi oleh Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini bersama-sama mencapai sekitar 85 sampai 90 persen dari total produksi minyak sawit global. Indonesia saat ini merupakan produsen dan eksportir terbesar minyak sawit di seluruh dunia (GAPKI 2013).

Sumber: FAO 2016 (diolah)

Gambar 5 Produsen minyak sawit terbesar dunia, rata-rata 2005-2014

Menurut Kemenperin (2007), kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Berkembangnya sub‐sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR‐Bun dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta.

46% 39% 3% 2% 2% 1% 7% Indonesia Malaysia Thailand Nigeria Colombia Papua New Guinea Lainnya

24

Indonesia memiliki sentra penghasil minyak sawit di hampir semua wilayah Indonesia. Perkebunan kelapa sawit rata-rata berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Penghasil minyak sawit Indonesia terbesar berada di Provinsi Riau yang memiliki luas lahan yang ditanami kelapa sawit seluas 2.296.849 hektar dan memproduksi minyak sawit sebesar 7.037.636 ton (Ditjenbun 2015).

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikelola dalam tiga bentuk pengusahaan yakni Perkebunan Rakyat, Perkebunan Negara dan Perkebunan Swasta. Dari seluruh luas areal dan produksi perkebunan kelapa sawit Indonesia, 51.6 persennya dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta, 41.5 persennya dimiliki oleh Perkebunan Besar Negara dan sisanya dimiliki oleh Perkebunan Rakyat sebesar 6.9 persen.

Tabel 5 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit di Indonesia Tahun 2007-2014

Sumber: Ditjenbun 2015

Keterangan: * Angka Sementara

PR: Perkebunan Rakyat, PBN: Perkebunan Besar Negara, PBS: Perkebunan Besar Swasta

Minyak sawit merupakan komoditi perkebunan paling penting, dalam hal persentase luas lahan yang ditanami minyak sawit relatif terhadap total luas untuk semua tanaman perkebunan. Pada tahun 2005 produksi minyak sawit Indonesia hanya sebesar 11.86 juta ton, sedangkan tahun 2014 menjadi 29.34 juta ton atau tumbuh rata-rata sebesar 10.14 persen dalam kurun waktu sepuluh tahun. Peningkatan produksi minyak sawit selama kurun waktu tersebut terutama terjadi pada PBS sebesar 11.9 persen dan PR sebesar 9.25 persen, sedangkan produksi dari PBN relatif lambat sebesar 5.4 persen. Hal ini dapat disebabkan oleh kelapa sawit sebagai salah satu penghasil devisa negara dan industri kelapa sawit juga bersifat padat karya (labour intensive) sehingga banyak menyerap tenaga kerja.

PR PBN PBS PR PBN PBS 2005 2 356 895 529 854 2 567 068 5 453 817 4 500 769 1 449 254 5 911 592 11 861 615 2006 2 549 572 687 428 3 357 914 6 594 914 5 783 088 2 313 729 9 254 031 17 350 848 2007 2 752 172 606 248 3 408 416 6 766 836 6 358 389 2 117 035 9 189 301 17 664 725 2008 2 881 898 602 963 3 878 986 7 363 847 6 923 042 1 938 134 8 678 612 17 539 788 2009 3 061 413 630 512 4 181 369 7 873 294 7 517 716 2 005 880 9 800 697 19 324 293 2010 3 387 257 631 520 4 366 617 8 385 394 8 458 709 1 890 503 11 608 907 21 958 120 2011 3 752 480 678 378 4 561 966 8 992 824 8 797 924 2 045 562 12 253 055 23 096 541 2012 4 137 620 683 227 4 751 868 9 572 715 9 197 728 2 133 007 14 684 783 26 015 518 2013 4 356 087 727 767 5 381 166 10 465 020 10 010 728 2 144 651 15 626 625 27 782 004 2014*) 4 551 854 748 272 5 656 105 10 956 231 10 683 286 2 156 294 16 504 899 29 344 479

25

Sumber: UNCOMTRADE 2016

Gambar 6 Eksportir Minyak Sawit Terbesar di Pasar Uni Eropa (2005-2014) Berdasarkan informasi pada Gambar 6, dapat dianalisis bahwa ekspor minyak sawit di pasar Uni Eropa didominasi oleh Indonesia dan Malaysia. Nilai ekspor minyak sawit dari negara eksportir cenderung mengalami peningkatan. Nilai ekspor minyak sawit yang dihasilkan Indonesia mengalami rata-rata peningkatan sebesar 18.04 persen per tahun dari tahun 2005 hingga tahun 2014. Peningkatan rata-rata nilai ekspor tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap devisa negara yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan negara.

Sumber: UNComtrade 2016 (diolah)

Gambar 7 Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia di Pasar Uni Eropa (2005–2014) Perkembangan ekspor minyak sawit Indonesia ke tujuh negara Uni Eropa yaitu Belanda, Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, dan Yunani rata-rata mengalami fluktuasi dengan trend nilai ekspor minyak sawit Indonesia yang meningkat. Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa negara Belanda merupakan negara tujuan ekspor dengan nilai ekspor yang paling tinggi diantara negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Selanjutnya secara berurutan diikuti oleh

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 2005200620072008200920102011201220132014 J uta USD Tahun Indonesia Malaysia Belanda Kolombia Ekuador 0 200 400 600 800 1000 1200 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 J uta USD Tahun Belanda Denmark Inggris Italia Jerman Spanyol Yunani

26

negara Italia, Spanyol, Jerman, Inggris, Denmark, dan Yunani. Fluktuasi nilai ekspor ke tujuh negara di Uni Eropa disebabkan oleh beberapa faktor yang terjadi pada tahun yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi ekspor minyak sawit Indonesia adalah GDP negara tujuan, populasi negara tujuan, nilai tukar rupiah, dan jarak ekonomi. Selain itu, diteapkannnya kebijakan Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa oleh otoritas Uni Eropa pada April 2009 diduga dapat mempengaruhi nilai ekspor minyak sawit Indonesia. Dampak dari

Renewable Energy Directive (RED) dan faktor-faktor tersebut menjadi bahan analisis dalam penelitian ini.

Regulasi Pemerintah yang Mendukung Minyak Sawit Indonesia

Kementerian Pertanian pada Maret 2011 menetapkan sebuah skema sertifikasi baru yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca, serta memberikan perhatian terhadap masalah lingkungan. Sertifikasi merupakan tuntutan perdagangan internasional yang dilaksanakan sesuai ketentuan International Standard Organization (ISO) sedangkan kriteria dalam pelaksanaan sertifikasi ISPO sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian 07 tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.

ISPO memiliki kriteria yang mengharuskan perusahaan menghemat emisi gas rumah kaca dengan cara metan trapping, pengaturan tata air pada lahan gambut, dan pengelolaan pemupukan yang tepat. Perusahaan minyak sawit juga harus melestarikan keanekaragaman hayati pada areal yang dikelola dan tidak boleh membuka perkebunan minyak sawit di kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi. Kriteria-kriteria tersebut dapat membuktikan kepada pasar internasional bahwa minyak sawit Indonesia yang memiliki sertifikat ISPO diproduksi secara berkelanjutan.

ISPO dilihat sebagai saingan dari Roundtable of Sustainable Palm Oil

(RSPO). Industri minyak sawit Indonesia yang kuat melihat kebijakan RSPO lambat, bias terhadap negara konsumen, dan mahal. ISPO dirancang untuk membuat produksi minyak sawit berkelanjutan sesuai dengan hukum dan regulasi. Berbanding terbalik dengan RSPO yang bersifat sukarela, ISPO bersifat wajib.

Analisis Daya Saing Minyak Sawit Indonesia

Ekspor minyak sawit Indonesia di Uni Eropa mempunyai nilai ekspor yang tinggi, sehingga perlu diketahui potensi daya saing minyak sawit Indonesia di Uni Eropa dengan menggunakan RCA dan EPD. David Ricardo menyatakan dalam teori keunggulan komparatif bahwa perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antar negara. Keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya, sehingga efisiensi dalam produksi dapat tercapai dan keuntungan perdagangan yang di dapat lebih maksimal.

27

Sumber: UNComtrade 2016 (diolah)

Gambar 8 Perkembangan Indeks Nilai RCA Eksportir Terbesar ke Uni Eropa Tahun 2005-2014

Jika dibandingkan dengan negara-negara pesaingnya, nilai RCA Indonesia untuk komoditi minyak sawit ini lebih unggul. Sebagian besar negara pesaing Indonesia yaitu Malaysia, Ekuador, Kolombia memiliki rata-rata nilai RCA yang lebih besar dari 1 artinya ketiga negara pesaing ini memiliki keunggulan komparatif pada komoditi minyak sawit di pasar Uni Eropa. Sedangkan Belanda memiliki nilai RCA di bawah 1 kecuali tahun 2007 dan 2013, yang berarti Belanda tidak memiliki keunggulan komparatif pada komoditi minyak sawit di pasar Uni Eropa. Selama periode tahun 2005 hingga 2014 nilai RCA Malaysia cenderung stabil dibandingkan dengan negara pesaing lainnya. RCA Indonesia cenderung berfluktuasi dengan trend menurun, dimana penurunan tersebut terjadi pada tahun 2009 sampai 2011. Mengacu kepada hal ini lah diharapkan di kemudian hari Indonesia mampu meningkatkan daya saing ekspornya, agar dapat bersaing di pasar Uni Eropa.

Daya saing kinerja ekspor suatu negara atas komoditi tertentu paling sering diukur menggunakan metode RCA (Revealed Comparative Advantage). RCA juga mampu menggambarkan keunggulan komparatif suatu negara terhadap negara lain, atas perdagangan suatu jenis komoditi. Perhitungan RCA dilakukan pada rentang tahun 2005 hingga 2014 di tujuh negara anggota Uni Eropa yang merupakan tujuan ekspor minyak sawit yaitu Belanda, Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Yunani. Jika nilai RCA lebih dari satu berarti minyak sawit Indonesia mempunyai keunggulan komparatif atau berdaya saing kuat. Sebaliknya jika nilai RCA lebih kecil dari satu berarti minyak sawit Indonesia berdaya saing lemah. 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Nila i R CA Tahun Indonesia Malaysia Belanda Ekuador Kolombia

28

Tabel 6 Nilai RCA Minyak Sawit Indonesia di Pasar Uni Eropa (2005-2014)

Sumber: UNComtrade 2016 (diolah)

Berdasarkan hasil perhitungan indeks RCA, selama periode 2005 sampai 2014 minyak sawit Indonesia memiliki keunggulan komparatif/berdaya saing kuat di tujuh negara tujuan ekspor. Nilai indeks RCA minyak sawit Indonesia yang tertinggi berada di pasar Yunani, sedangkan yang terendah berada di pasar Belanda. Meskipun Indonesia memiliki nilai ekspor minyak sawit yang tinggi ke Belanda namun nilai RCA yang dihasilkan tergolong rendah dibandingkan negara tujuan lainnya dikarenakan perbandingan nilai ekspor Indonesia terhadap nilai ekspor dunia ke negara tersebut rendah sehingga nilai RCA yang dihasilkan kecil. Tabel 7 Indeks RCA Minyak Sawit Indonesia (2005-2014)

Negara Indeks RCA

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Belanda 0.994 0.876 1.170 1.104 0.979 0.466 1.413 1.223 0.852 Denmark 0.965 0.973 0.384 4.376 1.017 1.040 0.985 0.538 1.636 Inggris 1.133 1.211 0.139 1.663 3.007 1.771 0.227 2.047 2.433 Italia 1.064 1.300 0.733 0.927 0.726 0.677 1.398 1.049 0.928 Jerman 0.980 1.245 0.827 1.010 0.958 0.779 0.770 1.463 0.667 Spanyol 1.141 0.682 2.500 0.643 0.894 0.758 0.767 2.185 0.684 Yunani 0.986 0.620 1.225 1.050 0.933 0.951 0.477 0.823 1.309 Rata-rata 1.038 0.987 0.997 1.539 1.216 0.920 0.862 1.333 1.215

Sumber: UNComtrade 2016 (diolah)

Pada hasil analisis indeks RCA minyak sawit Indonesia (Tabel 7), bahwa minyak sawit Indonesia di Uni Eropa pada tahun 2007-2008 dan tahun 2011-2012 mempunyai nilai rata-rata < 1, ini mengindikasikan bahwa pada tahun tersebut tidak terjadi perbaikan kinerja ekspor minyak sawit Indonesia. Hal ini dapat disebabkan oleh munculnya kebijakan Renewable Energy Disertive (RED) di Uni Eropa. Namun pada tahun 2005, 2009-2010 dan 2013-2014 indeks RCA minyak sawit Indonesia mempunyai nilai rata-rata > 1, yang mengindikasikan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa terjadi perbaikan kinerja ekspor. Dengan terjadinya kenaikan nilai rata-rata indeks RCA dari tahun 2007-2008 dengan nilai kurang dari 1 sampai 2009 dan 2010 meningkat lebih dari 1, maka hal ini membuktikan terjadinya perbaikan kinerja ekspor minyak sawit Indonesia dari tahun sebelumnya di Uni Eropa. Begitu juga terjadinya kenaikan nilai

rata-2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Belanda 67.8 67.4 59.05 69.10 76.26 74.70 34.78 49.14 60.12 51.23 60.95 Denmark 194 187 182.08 69.97 306.17 311.47 323.84 318.93 171.64 280.72 234.60 Inggris 70.9 80.4 97.35 13.54 22.51 67.70 119.90 27.16 55.61 135.30 69.04 Italia 243 259 336.69 246.86 228.90 166.07 112.50 157.22 164.86 152.97 206.85 Jerman 229 225 279.60 231.14 233.35 223.60 174.15 134.01 196.00 130.67 205.61 Spanyol 97.5 111 75.89 189.76 121.93 108.97 82.62 63.37 138.48 94.68 108.45 Yunani 483 476 295.11 361.56 379.49 354.17 336.87 160.71 132.23 173.08 315.14

29 rata indeks RCA dari tahun 2011-2012 dengan nilai kurang dari 1 sampai 2013 dan 2014 meningkat lebih dari 1, dapat disimpulkan bahwa terjadi perbaikan kinerja ekspor minyak sawit Indonesia.

Sumber: UNComtrade 2016

Gambar 9 Perkembangan EPD Indonesia ke Uni Eropa Tahun 2007-2014

Pada Gambar 9, hasil estimasi EPD minyak sawit Indonesia ke tujuh negara Uni Eropa ialah satu negara menempati posisi Retreat, satu negara menempati posisi Falling Star dan lima negara lainnya menempati posisi Rising Star. Negara yang menempati posisi Retreat yaitu negara Belanda. Hasil ini mengindikasikan bahwa terjadi penurunan pangsa pasar ekspor minyak sawit Indonesia di negara tersebut dan diikuti dengan penurunan permintaan terhadap produk minyak sawit Indonesia sehingga pertumbuhan pasar dan produk komoditi minyak sawit Indonesia tidak dinamis lagi.

Hasil estimasi EPD minyak sawit Indonesia yang menempati posisi Falling Star adalah Denmark. Hasil ini mengindikasikan bahwa minyak sawit Indonesia di Denmark mengalami pertumbuhan pangsa pasar ekspor tetapi permintaan ekspor minyak sawit di Denmark mengalami penurunan. Sedangkan di empat negara Uni Eropa lainnya yaitu Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, dan Yunani minyak sawit Indonesia yang menempati posisi Rising Star. Hal ini mengindikasikan bahwa komoditi minyak sawit berada pada pasar yang ideal, yaitu meningkatnya pertumbuhan pangsa ekspor pada kelima negara tersebut diikuti dengan peningkatan pangsa pasar komoditi minyak sawit Indonesia. Posisi ini perlu dipertahankan agar komoditi minyak sawit Indonesia dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan ekspor bagi Indonesia.

Hasil estimasi EPD menyatakan bahwa minyak sawit Indonesia yang rata-rata berada pada posisi Rising Star, walaupun di negara Belanda berada pada posisi Retreat dan di negara Denmark berada pada posisi Falling Star. Kondisi

Retreat dan Falling Star ini mengindikasikan penurunan permintaan minyak sawit Indonesia di Uni Eropa. Hal ini membuktikan bahwa kualitas dari minyak sawit Indonesia masih belum mampu bersaing sehingga tidak terjadi permintaan minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa. Penurunan permintaan minyak sawit Indonesia yang terjadi ini diduga disebabkan oleh terjadinya krisis global baik

-0,1 0 0,1 0,2 0,3 0,4 -0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8 P er tum bu ha n P er m inta a n P ro du k (%)

Pertumbuhan Pangsa Ekspor (%)

Kuadran EPD

Belanda Denmark Italia Jerman Spanyol Yunani Inggris

30

yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008, maupun yang terjadi di kawasan Uni Eropa pada tahun 2011, kebijakan Renewable Energy Directive yang di terbitkan oleh otoritas Uni Eropa terhadap produk minyak sawit yang dinilai sebagai salah satu bentuk kebijakan hambatan non-tarif, dan juga faktor-faktor lainnya yang dinilai mampu memengaruhi ekspor minyak sawit Indonesia

Analisis Faktor yang Memengaruhi Ekspor Minyak Sawit Indonesia Nilai ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara Uni Eropa dijelaskan menggunakan Gravity Model. Variabel independen yang digunakan adalah GDP riil perkapita negara tujuan (GDPRjt), nilai tukar Rupiah riil (RERijt), populasi negara tujuan (POPjt), harga ekspor minyak sawit Indonesia (PXjt), jarak ekonomi negara tujuan (DISTit), dan dummy kebijakan Renewable Energy Directive (REDt). Sedangkan variabel dependennya adalah nilai ekspor (Xit) minyak sawit Indonesia. Data yang dianalisis adalah data panel yang merupakan gabungan antara data time series dan cross section.

Pemilihan kesesuaian model dilakukan dengan melakukan uji Chow dan uji

Hausman. Hasil uji Hausman (Lampiran 5) menunjukkan nilai probabilitas dari

Hausman sebesar 0.0000 (lebih kecil dari taraf nyata lima persen) sedangkan hasil uji Chow (Lampiran 6) menunjukkan bahwa nilai probabilitas dari uji Chow

sebesar 0.0000 (lebih kecil dari taraf nyata lima persen) maka tolak H0. Artinya, model Fixed Effect adalah model yang digunakan. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Fixed Effect dengan metode Generalized least square

(GLS) dengan pembobot Cross-section SUR.

Tabel 8 Hasil Estimasi Ekspor Minyak Sawit Indonesia ke Uni Eropa

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNGDP 4.989026 2.205711 2.26187 0.0275* LNRER 0.224478 0.36155 0.62088 0.5372 LNPOP 20.64832 4.649386 4.44109 0.0000* LNPX 0.576681 0.226861 2.542 0.0138* LNDIST -1.559325 1.776268 -0.87787 0.3837 RED 0.531834 0.157691 3.37263 0.0013* C -379.6052 85.13825 -4.45869 0.0000* Weighted Statistics

R-squared 0.941722 Sum squared resid 68.1001 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 2.06061

Unweighted Statistics

R-squared 0.761899 Mean dependent var 17.7018 Sum squared resid 61.90965 Durbin-Watson stat 2.16469 Keterangan: signifikan pada taraf nyata 5% (*)

Nilai R-squared pada model penelitian ini yaitu 0.941722 maka dapat dikatakan bahwa 94.17 persen keragaman pada variabel dependen yaitu nilai ekspor minyak sawit Indonesia di Uni Eropa dapat dijelaskan oleh variabel

31 independen yang terdapat di dalam model penelitian, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Uji statistik dalam penelitian ini dilakukan melalui uji F yang bertujuan untuk melihat pengaruh variabel independen secara keseluruhan terhadap variabel dependennya. Berdasarkan tabel terlihat bahwa probabilitas (fstatistic) atau sering disebut p-value adalah sebesar 0.000000 yang lebih kecil dari taraf nyata lima persen. Nilai ini menandakan bahwa paling tidak terdapat satu variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor minyak sawit Indonesia.

Setelah fixed effect terpilih sebagai model terbaik maka selanjutnya dilakukan uji asumsi klasik untuk mendapatkan model persamaan yang terbebas dari masalah dalam analisis regresi seperti multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Uji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai probabilitas dan matriks korelasi antar variabel (Lampiran 7). Pada model menunjukkan bahwa nilai korelasi parsial antar variabel independen lebih kecil dari 0.8 (Spearmen’s

Rho Correlation), atau variabel independen tidak melebihi nilai R-squared, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas.

Dari hasil estimasi pada model nilai ekspor minyak sawit Indonesia terlihat bahwa Residual Sum Square pada Weight Statistic (RSSW) lebih besar dari

Residual Sum Square pada Unweighted Statistic (RSSU), yaitu 68.10 > 61.90. Hal ini menunjukkan bahwa model penelitian ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas.

Dalam uji autokorelasi menggunakan uji Durbin-Watson, dengan jumlah observasi 70, jumlah variabel independen sebanyak 6, dan taraf nyata sebesar lima persen maka diperoleh nilai Durbin-Watson tabel dengan DL sebesar 1.433 dan DU sebesar 1.802. Dengan mengetahui Durbin-Watson stat sebesar 2.06061 berada dalam selang 2 < DW < 4-DU maka model dinyatakan tidak terdapat permasalahan autokolerasi.

Pada data panel, normal atau tidaknya error terms dapat dilihat dari nilai probabilitas histogram-normality test. Jika nilai probabilitasnya > α, maka error terms menyebar normal. Berdasarkan hasil uji normalitas, diketahui bahwa nilai probabilitasnya Jarque-Bera sebesar 2.166597. Dari pengujian model didapatkan bahwa nilai Jarque-Bera lebih besar dari pada α (2.166597 > 0.05). Dengan demikian, model nilai ekspor minyak sawit Indonesia ini sudah memiliki error terms yang menyebar normal (Lampiran 8).

Uji t-statistik akan diuji setelah uji F dilakukan, dari hasil estimasi yang ditunjukkan ada empat variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya pada taraf nyata lima persen. Variabel-variabel tersebut adalah GDP per kapita negara tujuan, populasi negara tujuan, harga ekspor minyak sawit Indonesia, dan dummy Renewable Energy Directive. Sedangkan variabel lainnya nilai tukar riil Indonesia terhadap negara tujuan dan jarak ekonomi tidak signifikan memengaruhi nilai ekspor minyak sawit pada taraf nyata lima persen. Hasil estimasi model data panel menggunakan fixed effect dengan serangkaian uji maka diperoleh nilai terbaik sebagai berikut:

LnXit = -379.6052 + 4.989026LnGDPjt + 20.64832LnPOPjt + 0.576681LnPXjt + 0.531834REDt + εit

32

GDP Riil per Kapita Negara Tujuan

GDP riil per kapita negara tujuan signifikan dengan nilai probabilitas sebesar 0.0000 terhadap nilai ekspor minyak sawit Indonesia dan mempunyai hubungan positif sesuai dengan hipotesis. Peningkatan GDP per kapita negara tujuan ekspor sebesar satu persen maka ekspor minyak sawit Indonesia ke negara tujuan akan meningkat sebesar 4.989026 persen dengan asumsi cateris paribus. Tingkat pendapatan negara tujuan ekspor ini memiliki korelasi positif terhadap perdagangan antar-negara Thangavelu (2010). Semakin besar GDP perkapita suatu negara menunjukkan bahwa tingkat pendapatan negara tersebut semakin besar, sehingga permintaan terhadap minyak sawit semakin meningkat. Hal tersebut memiliki korelasi postif terhadap ekspor di negara eksportir.

Nilai Tukar Riil

Nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua negara. Nilai tukar riil juga menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Dari hasil estimasi diketahui bahwa tanda koefisien pada variabel tersebut bernilai positif dan sesuai dengan hipotesis yaitu 0.224478. Apabila nilai tukar riil Rupiah naik (depresiasi) sebesar satu persen maka maka nilai ekspor minyak sawit Indonesia pun akan ikut meningkat sebesar 0.224478 persen, begitu pula sebaliknya (ceteris paribus). Hasil estimasi ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Mankiw (2006) bahwa kurs riil terkait dengan ekspor neto. Bila nilai tukar riil lebih rendah, maka barang-barang domestik relatif lebih murah dibanding barang-barang luar negeri, dan ekspor neto lebih besar.

Pada perhitungan didapatkan nilai probabilitas ditunjukan sebesar 0.224478 yang menunjukan bahwa nilai tukar riil Rupiah tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai ekspor minyak sawit. Komoditi minyak sawit merupakan barang yang bersifat inelastis sehingga apabila terjadi peningkatan atau penurunan harga maka konsumen tetap akan mengkonsumsi minyak sawit Indonesia.

Populasi Negara Tujuan Ekspor

Berdasarkan hasil estimasi, populasi negara tujuan ekspor signifikan dengan probabilitas 0.0000 dan nilai koefisien populasi negara pengimpor bernilai positif sebesar 20.64832. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian yaitu semakin besar jumlah populasi tujuh negara importir tersebut akan menyebabkan nilai ekspor minyak sawit Indonesiasemakin meningkat. Artinya jika populasi negara importir meningkat sebesar satu persen, maka nilai ekspor minyak sawit Indonesia akan meningkat sebesar 20.64832 persen (cateris paribus).

Besarnya populasi pada suatu negara menunjukkan potensi pasar yang besar bagi negara pengekspor. Populasi menjadi suatu indikasi untuk meningkatkan jumlah ekspor, sehingga dapat berpengaruh positif. Negara-negara dengan populasi yang besar dapat menjadi sebagai suatu potensi pasar bagi Indonesia untuk dapat lebih dikembangkan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zarzoso dan Lehmann (2003) yang menyatakan bahwa koefisien positif pada variabel populasi negara pengimpor menunjukkan ukuran suatu negara berhubungan langsung dengan perdagangan, yang berarti bigger countries

memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menyerap impor daripada smaller countries.

33 Harga Ekspor

Harga ekspor minyak sawit Indonesia berpengaruh nyata terhadap nilai ekspor minyak sawit ke Uni Eropa. Tetapi, variabel harga ekspor ini tidak sesuai dengan hipotesis karena memiliki nilai koefisien bertanda positif sebesar 0.576681, artinya setiap terjadi kenaikan harga ekspor sebesar satu persen maka akan mengakibatkan peningkatan nilai ekspor minyak sawit Indonesia sebesar 0.576681 (cateris paribus).

Peningkatan harga ekspor menggambarkan mutu dan kualitas minyak sawit, semakin tinggi harga ekspor minyak sawit semakin baik sehingga nilai ekspor juga semakin tinggi di pasar Uni Eropa. Hal ini sesuai dengan penelitian Haditaqy (2015) bahwa harga ekspor diperoleh dari nilai ekspor dibagi dengan volume ekspor sehingga antara nilai ekspor dengan harga ekspor memiliki hubungan yang positif. Apabila harga ekspor mengalami peningkatan maka nilai ekspornya juga akan meningkat.

Renewable Energy Directive (RED)

Hasil estimasi pada variabel dummy Renewable Energy Directive (RED) memiliki probabilitas sebesar 0.0013, yang artinya dengan taraf nyata 5 persen variabel dummy Renewable Energy Directive (RED) berpengaruh nyata terhadap nilai ekspor minyak sawit Indonesia. Walaupun demikian, variabel dummy

Dokumen terkait