• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Saing Minyak Sawit Indonesia Dan Dampak Renewable Energy Directive (Red) Terhadap Ekspor Indonesia Di Pasar Uni Eropa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Daya Saing Minyak Sawit Indonesia Dan Dampak Renewable Energy Directive (Red) Terhadap Ekspor Indonesia Di Pasar Uni Eropa"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA SAING MINYAK SAWIT INDONESIA DAN DAMPAK

RENEWABLE ENERGY DIRECTIVE

(RED)

TERHADAP

EKSPOR INDONESIA DI PASAR UNI EROPA

GISA RACHMA KHAIRUNISA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Saing Minyak Sawit Indonesia dan Dampak Renewable Energy Directive (RED) terhadap Ekspor Indonesia di Pasar Uni Eropa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

Gisa Rachma Khairunisa

(4)

ABSTRAK

GISA RACHMA KHAIRUNISA. Daya Saing Minyak Sawit Indonesia dan Dampak Renewable Energy Directive (RED) terhadap Ekspor Indonesia di Pasar Uni Eropa. Dibimbing oleh TANTI NOVIANTI .

Minyak sawit merupakan komoditi ekspor unggulan Indonesia. Uni Eropa merupakan pengimpor minyak sawit Indonesia terbesar kedua setelah India. Pada tahun 2009 Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive yang dapat berdampak kepada ekspor minyak sawit Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis posisi daya saing minyak sawit Indonesia menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamics (EPD) di pasar Uni Eropa serta menganalisis dampak kebijakan Renewable Energy Directive terhadap nilai ekspor minyak sawit Indonesia dengan menggunakan gravity model. Hasil analisis RCA menunjukkan bahwa minyak sawit Indonesia memiliki keunggulan komparatif (nilai RCA>1). Analisis EPD minyak sawit Indonesia pada lima negara anggota Uni Eropa berada

pada posisi “Rising Star”. Hasil analisis gravity model menunjukkan GDP riil perkapita negara tujuan, populasi negara tujuan, harga ekspor minyak sawit, dan kebijakan Renewable Energy Directive signifikan memengaruhi nilai ekspor minyak sawit, sedangkan nilai tukar riil Indonesia dan jarak ekonomi tidak berpengaruh signifikan.

Kata kunci: minyak sawit, Renewable Energy Directive, RCA, EPD, gravity model

ABSTRACT

GISA RACHMA KHAIRUNISA. Indonesian Palm Oil Competitiveness and Impact of Renewable Energy Directive (RED) on Indonesian Exports in the European Union Market. Supervised by TANTI NOVIANTI.

Palm oil is Indonesia's main export commodity. The EU is Indonesia's second largest palm oil importer after India. In 2009 the EU issued Renewable Energy Directive that may have an impact on Indonesia's palm oil exports. The purpose of this study was to analyze the competitive position of Indonesian palm oil using the Revealed Comparative Advantage (RCA) and the Export Product Dynamics (EPD) in the EU market as well as analyze the impact of Renewable Energy Directive towards the export value of Indonesian palm oil using gravity models. RCA analysis results indicate that the Indonesian palm oil has a comparative advantage (RCA> 1). EPD analysis on Indonesian palm oil in five EU member states are in "Rising Star" position. The results of the analysis of gravity models show a real GDP per capita in the country of destination, the population of the country of destination, the export price of palm oil, and the Renewable Energy Directive policies significantly affect the value of exports of palm oil, while Indonesia and the real exchange rate had no significant effect within the economy.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DAYA SAING MINYAK SAWIT INDONESIA DAN DAMPAK

RENEWABLE ENERGY DIRECTIVE (RED)

TERHADAP

EKSPOR INDONESIA DI PASAR UNI EROPA

GISA RACHMA KHAIRUNISA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2016 ini ialah perdagangan internasional, dengan judul Daya Saing Minyak Sawit Indonesia dan Dampak Renewable Energy Directive (RED) terhadap Ekspor Indonesia di Pasar Uni Eropa.

Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada kedua orangtua penulis, yaitu Gogi Gondomono, SE (Bapak) dan Umi Salmah (Ibu), serta seluruh keluarga besar atas doa serta dukungan moril maupun materil yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr Tanti Novianti, SP, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, masukan, dan motivasi selama proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

2. Dr Alla Asmara, SPt, MSi dan Dr Muhammad Findi Alexandi, SE, ME selaku dosen penguji yang telah memberi kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi.

4. Teman-teman satu bimbingan Ni Putu Sara Sutengsu, Faisal Anugrah Widiatama, dan Asep Kusnaedi yang saling mendukung dan membantu dalam penyusunan skripsi.

5. Sahabat-sahabat penulis (Selly, Talitha, Indah, Ratri, Vicky, Casey, Nydia, Mayca, Aul, dan Gustam) serta teman-teman ESP 49 atas kebersamaan, semangat, bantuan dan motivasi selama menjalankan studi.

6. Keluarga Hipotesa khususnya RED periode 2013/2014 dan 2014/2015 (Inet, Ditta, Ben, Viddy, Deni, Prancis, Kintan, Fakhri, Irfan, dan Anditta) yang senantiasa bertukar pikiran dalam berbagai hal.

7. Kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. .

Bogor, April 2016

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 6

Penelitian Terdahulu 10

Relevansi dengan Penelitian Sebelumnya 12

Kerangka Pemikiran 12

Hipotesis Penelitian 14

METODE 15

Jenis dan Sumber Data 15

Metode Analisis Data 16

HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Gambaran Umum Komoditi Minyak Sawit 23

Analisis Daya Saing Minyak Sawit Indonesia 26

Analisis Faktor yang Memengaruhi Ekspor Minyak Sawit Indonesia 30 Dampak Renewable Energy Directive (RED) terhadap Ekspor Indonesia 34

SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 39

(10)

DAFTAR TABEL

1. Pendapatan domestik bruto atas harga konstan 2000 menurut lapangan

usaha tahun 2007 -2014 (milyar Rupiah) 1

2. Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian 16

3. Matriks Posisi Daya Saing 19

4. Kerangka identifikasi autokorelasi 22

5. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit di Indonesia

Tahun 2007-2014 24

6. Nilai RCA Minyak Sawit Indonesia di Pasar Uni Eropa (2005-2014) 28 7. Indeks RCA Minyak Sawit Indonesia (2005-2014) 28 8. Hasil Estimasi Ekspor Minyak Sawit Indonesia ke Uni Eropa 30

9. Hasil Estimasi Model Cross Section Effect 34

DAFTAR GAMBAR

1. Perkembangan Neraca Perdagangan Minyak Sawit Indonesia (2005

-2014) 2

2. Importir Terbesar Minyak Sawit Indonesia (ribu USD) 4

3. Kurva Perdagangan Internasional 7

4. Kerangka Pemikiran 14

5. Produsen minyak sawit terbesar dunia, rata-rata 2005-2014 23 6. Eksportir Terbesar di Pasar Uni Eropa (2005-2014) 25 7. Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia di Pasar Uni Eropa (2005-2014) 25 8. Perkembangan Indeks Nilai RCA Eksportir Terbesar ke Uni Eropa

Tahun 2005-2014 27

9. Perkembangan EPD Indonesia ke Uni Eropa Tahun 2007-2014 29

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Olahan RCA Eksportir Terbesar Minyak Sawit ke Uni Eropa 39 2. Hasil Olahan RCA Minyak Sawit Indonesia ke Uni Eropa 40 3. Hasil Olahan EPD Minyak Sawit Indonesia ke Uni Eropa 42

4. Hasil Estimasi FEM 44

5. Hasil Uji Hausman 44

6. Hasil Uji Chow 45

7. Korelasi antar variabel 45

8. Uji Normalitas 45

9. Uji Heteroskedastisitas 46

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar perekonomiannya disokong oleh sektor pertanian. Sektor pertanian pada tahun 2014 merupakan sektor yang memberikan sumbangan terbesar ketiga dengan nilai 350 722.2 milyar Rupiah setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran dengan pertumbuhan rata-rata dalam periode 2007-2014 sebesar 3.26 persen (BPS 2015). Di dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan memiliki peranan penting dalam meningkatkan PDB sektor pertanian yang pada akhirnya akan meningkatkan PDB total Indonesia seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Pendapatan domestik bruto Indonesiaatas harga konstan 2000 sektor pertanian tahun 2007-2014 (milyar Rupiah)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Berdasarkan data pada Tabel 1, PDB subsektor perkebunan menunjukan pertumbuhan sebesar 3.6 per tahun. Jika dilihat berdasarkan kontribusi subsektor perkebunan terhadap PDB total pada tahun 2007 subsektor perkebunan memberikan kontribusi sebesar 2.20 persen dan mengalami penurunan menjadi 1.97 persen pada tahun 2014. Hal yang sama juga terjadi pada kontribusi subsektor perkebunan terhadap PDB non migas yakni pada tahun 2007 kontribusi subsektor perkebunan terhadap non migas sebesar 2.37 persen dan mengalami penurunan menjadi 2.06 persen pada tahun 2014. Penurunan kontribusi subsektor perkebunan tersebut mengindikasikan bahwa subsektor perkebunan perlu diperhatikan agar menjadi subsektor yang tetap unggul dan dapat menjadi kekuatan bagi perekonomian nasional.

Dalam jangka panjang, permintaan minyak sawit global sebagai komoditi unggulan subsektor perkebunan menunjukkan tren meningkat sebagai peningkatan populasi global dan semakin berkembangnya trend pemakaian bahan dasar

oleochemical pada industri makanan, industri shortening, dan farmasi (kosmetik). Hal ini menimbulkan peningkatan konsumsi produk berbasis kelapa sawit. Trend penggunaan komoditi berbasis minyak kelapa sawit di pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu mengalahkan industri berbasis komoditi vegetable oil lainnya seperti minyak gandum, minyak jagung, dan minyak kelapa.

Trend ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku kelapa sawit lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku lainnya karena dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak dengan biaya yang sedikit. Menurut Kemenperin (2010), sejak tahun 2004 konsumsi komoditi minyak sawit

(12)

2

telah menduduki posisi tertinggi dalam pasar vegetable oil dunia yaitu mencapai sekitar 30 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 8% per tahun, mengalahkan komoditi minyak kedelai sekitar 25 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,8% per tahun. Komoditi lainnya yang banyak digunakan adalah minyak bunga matahari yaitu sekitar 11,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 2,2% per tahun. Minyak sawit adalah salah satu dari minyak sayuran yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di dunia. Pada tahun 2014 produksi minyak sayuran terbesar adalah minyak sawit yaitu 53.67 juta ton atau 28.79 persen dari total produksi minyak sayuran. Selain itu, pada tahun 2014 pangsa pasar minyak sawit merupakan 55.9 persen dari perdagangan minyak dan lemak dunia (Palm Oil Research 2014).

Indonesia saat ini merupakan produsen terbesar minyak sawit di seluruh dunia (GAPKI 2013). Sebagai produsen terbesar minyak sawit, Indonesia melihat kebutuhan akan konsumsi dan pangsa pasar minyak sawit yang terus meningkat sebagai peluang untuk melakukan ekspor. Di pasar internasional, ekspor minyak sawit Indonesia selalu lebih besar dari impornya. Walaupun selama periode tahun 2005 hingga tahun 2014 ekspor minyak sawit Indonesia mengalami fluktuasi, nilainya selalu lebih besar dari impornya sehingga neraca perdagangan minyak sawit Indonesia selalu positif. Gambar 1 memperlihatkan nilai ekspor dan impor minyak sawit Indonesia di pasar internasional.

Sumber: Pusdatin, 2015

Gambar 1 Perkembangan Neraca Perdagangan Minyak Sawit Indonesia di Pasar Internasional (2005 -2014)

Pada Gambar 1 terlihat bahwa ekspor minyak sawit Indonesia jauh lebih besar dibandingkan impornya, ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan eksportir minyak sawit di dunia. Selama periode tahun 2005 hingga 2014 ekspor minyak sawit Indonesia mengalami fluktuasi dengan trend yang menurun, dengan nilai tertinggi pada tahun 2011 sebesar 8.77 milyar USD dan nilai terendah pada tahun 2005 sebesar 1.6 milyar USD. Sedangkan, nilai impor minyak sawit Indonesia periode tahun 2005 hingga 2014 berbeda jauh daripada ekspornya yang mana nilainya paling besar hanya 3.36 juta USD pada tahun 2010. Penurunan nilai ekspor minyak sawit Indonesia di pasar internasional ini terjadi pada tahun 2008-2009 serta 2011-2014. Penurunan yang terjadi pada tahun-tahun tersebut diduga disebabkan oleh adanya krisis global yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun

(13)

3 2008 serta krisis hutang yang dialami oleh Uni Eropa pada tahun 2011, adapun dugaan lainnya yang dinilai memengaruhi nilai ekspor minyak sawit Indonesia yaitu adanya hambatan-hambatan perdagangan dari negara importir.

Minyak sawit merupakan komoditi unggulan dari subsektor perkebunan yang kinerja ekspornya dipengaruhi daya saing dan perubahan pangsa pasar yang terjadi di pasar domestik maupun pasar internasional. Sebagai komoditi ekspor, minyak sawit menjadikan Indonesia sebagai pengekspor minyak sawit terbesar di dunia diikuti dengan Malaysia, Ekuador, Kolombia, dan Thailand dengan nilai ekspor yang mencapai 4.2 milyar USD atau 51.98 persen dari ekspor minyak sawit di pasar internasional pada tahun 2014 (UNComtrade 2016).

Perdagangan yang dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor mengalami hambatan baik tarif maupun non-tarif. World Trade Organization

(WTO) telah menetapkan tingkat tarif yang diberlakukan untuk komoditi di seluruh dunia, baik untuk negara maju maupun berkembang. Melalui perjanjian preferensi dalam perdagangan global, berbagai macam bentuk tarif telah semakin berkurang. Adanya batasan tarif ini membuat negara memberlakukan kebijakan non-tarif sebagai bentuk proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing (Dahar 2014). Kawasan Uni Eropa mengadaptasi kebijakan hambatan non-tarif tersebut ke dalam beberapa jenis kebijakan. Jenis-jenis kebijakan itu antara lain adalah dengan menggunakan lisensi dan kuota, prasyarat teknis, European Standards Organizations (ESO), akreditasi dan konfirmasi negara anggota, restriksi bahan kimia di bawah REACH, Sanitary and Phytosanitary (SPS) (Lord et al. 2010).

Uni Eropa sebagai tujuan ekspor minyak sawit Indonesia terbesar kedua setelah India, pada tanggal 23 April 2009 menetapkan Renewable Energy Directive (RED) yaitu kebijakan prasyarat teknis. Secara keseluruhan, RED mengharuskan Uni Eropa untuk memenuhi setidaknya 20 persen dari total kebutuhan energi merupakan energi yang dapat diperbaharui pada tahun 2020 yang pada akhirnya akan dicapai melalui pencapaian target nasional masing-masing negara. Semua negara Uni Eropa juga harus memastikan bahwa setidaknya 10 persen dari bahan bakar transportasi mereka terbuat dari sumber yang terbarukan pada tahun 2020. Renewable Energy Directive (RED) menetapkan kriteria keberlanjutan biofuel untuk semua biofuel yang diproduksi atau dikonsumsi di Uni Eropa untuk memastikan bahwa mereka diproduksi secara berkelanjutan dan ramah lingkungan (EC 2016).

Kriteria keberlanjutan biofuel pada RED artikel 17 ayat 2 menyatakan bahwa tabungan gas rumah kaca dari penggunaan biofuel harus di atas 35%, dan juga pada ayat 3 dan 5 berisi tiga kriteria penggunaan lahan yaitu:

1. Bukan tanah dengan keanekaragaman hayati, seperti hutan lindung, hutan yang tidak diganggu oleh aktivitas manusia, dan padang rumput dengan keaneka ragaman hayati tinggi.

2. Bukan tanah dengan saham karbon tinggi: lahan basah dan area penghijauan kontinu.

3. Sudah tidak dalam status lahan gambut kecuali budidaya dan pemanenan tidak melibatkan proses pengeringan lahan gambut.

(14)

4

sawit, kebijakan Renewable Energy Directive (RED) membatasi penggunaan biofuel berbasis kelapa sawit karena penghematan karbon dari biofuel berbasis CPO dianggap gagal memenuhi target yang ditetapkan oleh Uni Eropa sebesar 35 persen dan 27 persen kelapa sawit ditanam di hutan gambut. Pembatasan penggunaan biofuel berbasis CPO ini dapat menurunkan nilai ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa. Oleh karena itu untuk mengetahui dampak kebijakan Renewable Energy Directive (RED), analisis daya saing minyak sawit Indonesia dan dampak kebijakan Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa terhadap ekpor Indonesia di pasar Uni Eropa perlu dilakukan.

Perumusan Masalah

Tanah yang subur, iklim yang menguntungkan dan tenaga kerja rendah dengan upah yang rendah telah membuat Indonesia menjadi produsen utama minyak sawit di seluruh dunia pada saat permintaan global terkait bahan makanan dan bioenergi terus meningkat. Komoditi minyak sawit pada tahun 2013 merupakan penyumbang utama terhadap PDB sebesar 4.5% dan hampir 7% dari total nilai ekspor. Angka ini akan meningkat pada 2011 mengingat harga minyak sawit yang tinggi di pasar global, target pemerintah dari kenaikan 16% di ekspor untuk 2014 dan tujuan yang lebih ambisius untuk 2020 yang akan menggandakan output (Global Business Guide Indonesia 2012).

Tujuan ekspor minyak sawit Indonesia paling besar ke pasar India, Uni Eropa, Singapore, Malaysia, dan Kenya. Pada tahun 2014, ekspor minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa mencapai 33.85 persen yang merupakan Negara tujuan ekspor terbesar kedua setelah India (49.96 persen) (UN COMTRADE 2016). Hal ini menunjukan bahwa Uni Eropa merupakan pasar yang potensial walaupun masih memiliki pangsa pasar di bawah India.

Sumber: UNCOMTRADE, 2016 (diolah)

Gambar 2 Importir Terbesar Minyak Sawit Indonesia Tahun 2014

Walaupun permintaan dunia untuk komoditi minyak sawit terus tumbuh, Indonesia menghadapi tantangan untuk membuat produksi minyak sawitnya menjadi berkelanjutan sesuai dengan standar internasional dan memperbaiki citranya berkaitan dengan semakin banyaknya kampanye hitam yang ditujukan kepada minyak sawit Indonesia. Hal ini terkait dari dampak negatif dari produksi minyak sawit (terlepas dari dampaknya terhadap kesehatan masyarakat karena

0 500 1.000 1.500 2.000 2.500

India Uni Eropa Singapore Malaysia Kenya

Ju

ta U

S

(15)

5 tingginya tingkat lemak jenuh) adalah bahwa bisnis minyak sawit merupakan pendorong utama deforestasi di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia. Indonesia adalah penghasil gas rumah kaca terbesar setelah China dan Amerika Serikat (Indonesia Investments 2015). Sehingga menimbulkan berbagai tuduhan tentang minyak sawit Indonesia di Eropa bahwa minyak sawit Indonesia tidak ramah lingkungan.

Sejalan dengan semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, saat ini isu-isu terkait dengan lingkungan dapat mempengaruhi perdagangan baik itu dalam negeri maupun internasional. Ekspor minyak sawit menghadapi hambatan terkait dengan isu-isu lingkungan. Uni Eropa sebagai importir minyak sawit terbesar kedua setelah India menetapkan Renewable Energy Directive (RED) sebagai bagian dari kebijakan biofuel ramah lingkungan di Uni Eropa.

Persyaratan tabugan emisi gas rumah kaca dalam RED merupakan bentuk diskriminasi terhadap produsen asing karena emisi transportasi juga dihitung (Erixon 2009). Pesaing biofuel Uni Eropa berasal dari Amerika atau Asia Tenggara yang memerlukan transportasi jarak jauh, jika emisi pada proses pengiriman menggunakaan kapal tanker yang sebagian besar berbahan bakar batu bara maka bahan baku biofuel yang berasal dari negara lain yang tidak dapat bersaing dengan bahan baku Uni Eropa.

Selain itu, kriteria penggunaan lahan tidak membatasi secara signifikan mempengaruhi produksi Uni Eropa sehingga secara de facto membuat biofuel impor dari negara pesaing (Malaysia, Indonesia, Afrika Selatan, Brazil, dan Amerika Serikat) kurang menguntungkan. Perlakuan kurang menguntungkan bagi negara asing dalam tabungan emisi gas rumah kaca dan kriteria penggunaan lahan ini dianggap bertentangan dengan peraturan GATT pasal 3 tentang

National Treatment yaitu produk yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri.

Berdasarkan uraian tersebut maka perumusan masalah yang dapat dikaji dan dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana daya saing minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa?

2. Apa saja faktor yang memengaruhi ekspor minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa?

3. Bagaimana dampak Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa terhadap ekspor minyak sawit Indonesia?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan masalah yang telah dirumuskan diharapkan dapat dicapai tujuan yang diinginkan, yaitu:

1. Menganalisis daya saing minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa. 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor minyak sawit

Indonesia di pasar Uni Eropa.

(16)

6

Manfaat Penelitian

1. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat membantu untuk meningkatkan daya saing komoditi minyak sawit di Indonesia.

2. Bagi para pelaku pasar, penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan.

3. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa dan komoditi minyak sawit Indonesia.

4. Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini dapat menjadi literatur mengenai studi komoditi minyak sawit Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada komoditi minyak sawit Indonesia kode HS 151110 (HS tahun 1996). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

time series dari tahun 2005-2014 dengan cross section tujuh negara anggota Uni Eropa yaitu Belanda, Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, dan Yunani. Metode analisis yang digunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) dan

Export Product Dynamics (EPD) serta Gravity Model.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antara individu dengan individu, individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto). Peningkatan ekspor bersih suatu Negara menjadi faktor utama untuk meningkatkan PDB suatu Negara (Oktaviani dan Novianti 2009).

(17)

7

Sumber : Salvatore, 1997

Gambar 3 Kurva Perdagangan Internasional Keterangan:

Pa Harga relatif minyak sawit di Indonesia tanpa perdagangan internasional 0Qa Jumlah minyak sawit yang diperdagangkan di Indonesia tanpa perdagangan internasioanal.

X Jumlah minyak sawit yang di ekspor oleh Indonesia

Pb Harga relatif minyak sawit di Uni Eropa tanpa perdagangan internasional 0Qb Jumlah minyak sawit yang diperdagangkan di Uni Eropa tanpa perdagangan internasional.

M Jumlah minyak sawit mentah yang diimpor oleh Uni Eropa

P* Harga keseimbangan atara kedua negara setelah perdagangan internasional OQ* Keseimbangan penawaran dan permintaan antara Indonesia dan Uni Eropa dimana jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).

Gambar 3 menunjukkan terjadinya keseimbangan harga relatif di pasar dunia karena adanya perdagangan internasional. Sumbu vertikal menunjukkan harga relatif minyak sawit mentah (P) sedangkan sumbu horizontal menggambarkan jumlah dan kuantitas minyak sawit mentah yang diminta maupun ditawarkan (Q). Sebelum terjadi perdagangan internasional, negara A memiliki harga minyak sawit lebih rendah (PA) dan negara B berada pada PB dimana harga minyak sawit lebih tinggi. Negara A mempunyai kelebihan produksi yaitu sebesar X yang berada diatas kurva keseimbangan, sedangkan pada negara B mempunyai kekurangan produksi yang artinya negara B tidak dapat memenuhi kebutuhan domestiknya sebesar M. Sehingga perdagangan internasional dapat terjadi antara negara A dan negara B dengan harga dan kuantitas berada pada tingkat P* dan Q* yang dapat memberikan keuntungan terhadap masing-masing negara.

Teori Daya Saing

(18)

8

Teori Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif adalah keunggulan relatif yang dimiliki oleh suatu negara dibandingkan dengan negara lain dalam memproduksi berbagai komoditi (Lipsey 1995). Jika masing-masing negara yang memiliki keunggulan komparatif dalam suatu komoditi mengkhususkan berproduksi dalam komoditi tersebut, maka produksi dunia akan mampu ditingkatkan sehingga akan memberikan peluang bagi setiap negara untuk melakukan perdagangan serta memperoleh manfaat dari perdagangan tersebut. Keunggulan komparatif itu sendiri timbul karena adanya negara-negara yang mempunyai biaya dan kesempatan yang berbeda dalam memproduksi barang atau komoditi tertentu.

Hukum keunggulan komparatif menurut David Ricardo dalam Salvatore (1997) ialah meskipun negara mempunyai kerugian absolut terhadap negara lain dalam memproduksi suatu komoditi, namun perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak masih dapat berlangsung. Hal ini dapat terjadi jika salah satu negara melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (komoditi yang memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor yang memiliki kerugian absolut lebih besar (yang memiliki kerugian komparatif).

Teori Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang harus dimiliki suatu negara agar mampu bersaing di pasar internasional. Menurut Porter (1990), konsep keunggulan kompetitif yaitu suatu bangsa atau negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional jika memiliki empat faktor utama yaitu kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and supporting industry) serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm strategy, structure and rivalry). Selain keempat faktor utama di atas, terdapat dua faktor yang memengaruhi interaksi antara ke empat faktor tersebut yaitu faktor kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah (government).

Untuk mewujudkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri memerlukan ketersediaan sumber daya dan keterampilan seperti informasi yang membentuk peluang apa saja yang dirasakan dan arahan kemana sumber daya dan keterampilan dialokasikan, tujuan pemilik, manajer, dan karyawan yang terlibat dalam atau yang melakukan kompetisi, dan yang jauh lebih penting, tekanan terhadap perusahaan untuk berinvestasi dan berinovasi.

Teori Permintaan Ekspor

Teori permintaan ekspor bertujuan untuk menentukan faktor yang mempengaruhi permintaan. Permintaan ekspor suatu negara merupakan selisih antara produksi atau penawaran domestik dikurangi dengan konsumsi atau permintaan domestik negara yang bersangkutan ditambah dengan stok tahun sebelumnya (Salvatore 1997).

Secara matematis rumusnya dapat ditulis sebagai berikut :

�= �− �+ �−

dimana :

(19)

9 Ct = jumlah konsumsi domestik tahun ke t

St-1 = stok tahun sebelumnya.

Jika jumlah stok tahun sebelumnya diasumsikan nol, karena produksi pada tiap tahun semuanya diekspor, maka dengan demikian fungsi ekspor dapat dirumuskan sebagai berikut :

� = �− �

Untuk komoditi ekspor, permintaan komoditi yang bersangkutan akan dialokasikan untuk memenuhi permintaan masyarakat dalam negeri (konsumsi domestik) atau luar negeri (ekspor), sedangkan yang tersisa akan menjadi persediaan yang akan dijual pada tahun berikutnya. Sebagai sebuah permintaan, maka ekspor suatu negara akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan negara tujuan ekspor terhadap komoditi yang dihasilkan, yaitu harga domestik negara tujuan ekspor (HDj), harga impor negara tujuan ekspor (HIj), pendapatan perkapita penduduk negara tujuan ekspor (YPj), dan selera penduduk negara tujuan ekspor (Sj). Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari negara tujuan ekspor, ekspor suatu negara sebagai sebuah permintaan juga dipengaruhi oleh faktor harga di pasar internasional (HX), dan nilai tukar (NT). Pengaruh jangka panjang dalam kegiatan ekspor diketahui dengan memasukkan peubah lag yaitu nilai ekspor tahun sebelumnya (Xt-1), dan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kondisi perekonomian negara terhadap kegiatan ekspor, perlu dimasukkan variabel dummy (D) berupa kondisi perekonomian. Secara keseluruhan fungsi ekspor suatu komoditi menjadi :

� = ( �, �− , �,, �, �, �, �, � �, �− , )

dimana :

Xt = nilai ekspor tahun ke t HDt = harga domestik tahun ke t HDt-1 = harga domestik tahun ke t-1

HDjt = harga domestik negara tujuan ekspor tahun ke t HIjt = harga impor negara tujuan ekspor tahun ke t

YPjt = pendapatan perkapita negara tujuan ekspor tahun ke t Sjt = selera negara tujuan ekspor tahun ke t

HXt = harga ekspor tahun ke t

NTt = nilai tukar mata uang negara pengekspor terhadap nilai tukar negara pengimpor tahun ke t

Xt-1 = volume ekspor tahun lalu, tahun ke t-1

D = variabel dummy kondisi perekonomian negara Hambatan Nontarif (Nontariffs Barrier)

Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, hambatan tarif mulai berkurang bahkan dihapuskan, pemerintah berbagai negara memiliki kecenderungan untuk melindungi industri-industri domestik dengan memberlakukan berbagai macam hambatan non-tarif (Salvatore 1997). Berdasarkan hasil perundingan GATT pada putaran Uruguay, terdapat beberapa kesepakatan mengenai jenis- jenis hambatan non tarif, antara lain:

1. Kuota Impor

(20)

10

sektor pertanian, sementara pada negara berkembang digunakan untuk melindungi sektor manufaktur.

2. Subsidi Ekspor

Subsidi ekspor diberikan oleh negara kepada perusahaan- perusahaan untuk meningkatkan ekspor. Bentuk subsidi berupa pinjaman ekspor sebenarnya telah disepakati untuk dilarang dalam perdagangan internasional. Peningkatan pemberian subsidi yang berlebihan dapat menimbulkan daya saing yang berlebihan pula sehingga dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan perdagangan internasional.

3. Pembatasan Ekspor Secara Sukarela

Tindakan pembatasan ekspor secara sukarela merupakan implikasi dari adanya pemaksaan untuk pengurangan ekspor yang dilakukan bersamaan dengan hambatan perdagangan yang lebih keras oleh suatu negara pengimpor. Tujuannya yakni untuk melindungi sektor tertentu yang menurun karena adanya produk impor.

4. Hambatan Birokrasi

Pemerintah suatu negara memberlakukan kontrol ketat terhadap standar kesehatan, keamanan, dan prosedur kepabeanan. Tindakan ini dinilai efisien untuk membatasi impor. Akan tetapi, pada praktiknya pemerintah ingin membatasi impor tanpa mengumumkannya secara formal sehingga seringkali menimbulkan hambatan dalam perdagangan internasional.

5. Kartel Internasional

Kartel merupakan bentuk sebuah organisasi produsen tertentu yang anggotanya terdiri dari beberapa negara. Tujuan pembentukan kartel yakni untuk membatasi output serta mengendalikan kegiatan ekspor sehingga dapat digunakan untuk memaksimalkan keuntungan bagi negara- negara tertentu. Praktik kartel menjadi merugikan bagi negara konsumen karena harus membeli produk yang terbayas dengan harga relatif mahal.

6. Tindakan Anti- Dumping

Tindakan anti-dumping merupakan langkah yang dilakukan pemerintah sebagai respon terhadap adanya pengaduan serta keluhan produsen domestik karena perusahaan asing tertentu menjual komoditinya dengan harga dibawah biaya produksi atau lebih murah dibandingkan harga pasar negara asalnya.

7. Standar Lingkungan

Isu standar lingkungan yang semakin gencar dibahas dan telah diberlakukan oleh negara- negara maju berdampak pada perdagangan negara- negara berkembang. Standar lingkungan yang diberlakukan oleh negara maju dikhawatirkan menjadi hambatan perdagangan terutama dalam segi kinerja ekspor bagi negara- negara berkembang. Bagi negara maju, standar lingkungan seringkali digunakan untuk tujuan tidak langsung yaitu untuk melindungi industri-industri dalam negerinya (Verbruggen et al. 1995).

Penelitian Terdahulu

(21)

11 adalah produksi CPO Indonesia dan GDP riil perkapita negara importir. Analisis ini menggunakan metode regresi data panel dengan menggunakan data time series

tahun 2000-2011 dan variabel yang digunakan adalah produksi CPO Indonesia, harga CPO Internasional, kurs nilai mata uang euro ke rupiah, GDP riil perkapita negara importir dan kebijakan Renewable Energy Directive 2009 (RED09).

Abimanyu (2014) melakukan penelitian mengenai Dampak Kebijakan

Ecolabel Uni Eropa terhadap Ekspor Furnitur Indonesia di Pasar Uni Eropa dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan

Export Products Dynamic (EPD) untuk menganalisis keunggulan komparatif dan

kompetitif serta metode regresi data panel untuk menganalisis dampak kebijakan

Ecolabel Uni Eropa. Data time series yang digunakan tahun 2006 – 2012. Hasil estimasi menyatakan GDP riil negara tujuan ekspor, nilai tukar Rupiah riil, kebijakan Ecolabel Uni Eropa Indeks Harga Konsumen Indonesia dan berpengaruh nyata terhadap nilai ekspor furniture kayu Indonesia sedangkan jarak ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ekspor furnitur kayu Indonesia.

Gonel et al. (2012) meneliti tentang pengaruh standar internasional pada arus ekspor Turki ke negara Uni Eropa. Penelitian ini menggunakan data sertifikasi ISO 9000 sebagai pendekatan untuk standar internasional dan mengadopsi model gravity dengan sampel dari negara-negara Uni Eropa 15 (EU15) pada tahun 1993-2011. Variabel yang digunakan GDP Turki dan negara tujuan, ISO Turki dan negara tujuan, infrastruktur Turki dan Negara Tujuan. Hasil dari penelitian ini GDP negara tujuan selalu berpengaruh signifikan dan positif, sedangkan GDP Turki tidak berpengaruh. Sebelum dan setelah dimasukannya variabel infrastruktur ISO Turki berpengaruh signifikan dan positif sedangkan ISO negara tujuan bukan merupakan hambatan perdagangan karena sebelum dimasukannya variabel infrastruktur tidak signifikan dan setelah dimasukannya infrastruktur menjadi berpengaruh signifikan tetapi koefisiennya sangat kecil. Penelitian ini menyarankan adopsi ISO 9000 di promosi ekspor Turki ke negara mitra dagang Eropa yang mungkin diindikasi dari signal kualitas produk yang tinggi.

Trabelsi (2013) melakukan penelitian mengenai Agricultural trade face to Non-tariff barriers: A gravity model for the Euro-Med area. Penelitian ini mengunakan analisis data panel dengan model gravity.Data yang digunakan data

time series tahun 1996 dan 2008 dengan cross section negara-negara anggota Uni Eropa. Variabel-variabel yang digunakan adalah GDP negara pengekspor, GDP negara pengimpor, jarak ekonomi, BNT; perbedaan antara tariff trade restrictiveness index (TTRI) dan overall trade restriction index (OTRI), tariff trade restrictiveness index (TTRI), dan dummy (bahasa dan perbatasan). Hasil estimasi menyatakan hambatan non-tarif umumnya memiliki dampak negatif pada perdagangan produk pertanian. SEMC tidak signifikan dipengaruhi oleh langkah-langkah ini dalam ekspor mereka ke utara Euro-Med untuk tahun 2008. Sedangkan ekspor mereka di daerah selatan, dampak negatif dari hambatan non-tarif tampak lebih sensitif untuk ekspor Uni Eropa pada tahun 1996 daripada tahun 2008.

(22)

12

Belanda, Jerman, Spanyol, United Kingdom, Belgia, Estonia, Bulgaria. Variabel-variabel yang digunakan adalah jarak ekonomi, GDP per kapita negara Indonesia, GDP per kapita negara tujuan ekspor, nilai tukar Indonesia terhadap negara tujuan ekspor dan tarif. Hasil estimasi menyatakan bahwa GDP per kapita negara eksportir dan importir, jarak ekonomi antar negara eksportir dan importir, nilai tukar negara eksportir terhadap negara importir, dan tarif berpengaruh signifikan terhadap ekspor kakao Indonesia. Hasil perhitungan nilai hambatan non-tarif menunjukan bahwa hambatan non-tarif tertinggi adalah Bulgaria.

Relevansi dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya membahas faktor-faktor yang memengaruhi ekspor

Crude Palm Oil (CPO) Indonesia di Uni Eropa tahun 2000 – 2011 dengan metode regresi data panel. Penelitian ini membahas daya saing komoditi minyak sawit dan dampak Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa terhadap ekspornya di pasar Uni Eropa dengan menggunakan analisis Revealed Comparative Advantage

(RCA) dan Export Product Dynamics (EPD) untuk menganalisis daya saing komoditi minyak sawit serta metode gravity model untuk menganalisis dampak

Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa terhadap ekspor minyak sawit Indonesia. Tahun pengamatan dalam penelitian sebelumnya sejak tahun 2001 hingga 2011. Penelitian ini menggunakan delapan tahun pengamatan sejak tahun 2005 hingga 2014.

Variabel yang digunakan dalam penelitian terdahulu adalah produksi CPO Indonesia, harga CPO internasional, kurs nilai mata uang euro ke rupiah, GDP riil perkapita negara pengimpor, dan kebijakan Renewable Energy Directive 2009 (RED09) sehingga dapat dilihat bahwa penelitian terdahulu ini lebih melihat dari sisi penawaran ekspor CPO. Dalam penelitian ini menggunakan varibel GDP riil perkapita negara tujuan ekspor, populasi negara tujuan ekspor, nilai tukar Rupiah riil terhadap negara tujuan, harga ekspor minyak sawit Indonesia, jarak ekonomi, dan variabel dummy (Renewable Energy Directive) sehingga dalam penelitian ini lebih melihat dari sisi permintaan minyak sawit. Negara yang dianalisis penelitian sebelumnya hanya enam negara tujuan ekspor di kawasan Uni Eropa memasukan Rusia dan Ukraina yang bukan anggota Uni Eropa sedangkan penelitian ini menganalisis tujuh negara anggota Uni Eropa.

Kerangka Pemikiran

Komoditi minyak sawit mentah merupakan penyumbang devisa non-migas terbesar untuk Indonesia sehingga merupakan penyumbang utama terhadap PDB sebesar 4.5 persen dan hampir 7 persen dari total nilai ekspor untuk tahun 2014. Uni Eropa merupakan tujuan ekspor minyak sawit mentah Indonesia terbesar kedua setelah India. Pada tahun 2014, ekspor minyak sawit mentah Indonesia di pasar Uni Eropa mencapai 33.85 persen yang merupakan negara tujuan ekspor terbesar kedua setelah India (49.96 persen).

(23)

13 minyak sawit Indonesia. Ketidakstabilan ini pada akhirnya akan menurunkan nilai ekspor minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa.

Selain kebijakan Renewable Energy Directive (RED), ekspor minyak kelapa sawit tentunya dipengaruhi pula oleh faktor lainnya. Maka dari itu, faktor-faktor yang memengaruhi ekspor minyak sawit Indonesia lainnya perlu diidentifikasi dan juga kinerja perdagangannya di pasar Uni Eropa sebagai gambaran kondisi ekspornya supaya nilai ekspor minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa tidak menurun.

(24)

14

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi ekspor minyak sawit mentah Indonesia ini antara lain:

1. GDP riil perkapita negara tujuan ekspor mempunyai pengaruh positif terhadap nilai ekspor minyak sawit Indonesia karena semakin besar GDP riil perkapita akan meningkatkan daya beli masyarakat dan meningkatkan permintaan ekspor.

2. Populasi negara tujuan ekspor memiliki hubungan positif dengan ekspor minyak sawit, besarnya populasi menunjukan kapasitas suatu negara. Semakin besar populasi akan meningkatkan permintaan ekspor.

Gambar 4 Kerangka Pemikiran

Penurunan nilai ekspor minyak sawit Indonesia Ketidakstabilan volume dan nilai ekspor minyak sawit

mentah Minyak sawit merupakan

penyumbang devisa non-migas terbesar

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor minyak sawit

Indonesia Analisis kondisi

daya saing minyak sawit Indonesia

Uni Eropa adalah tujuan ekspor minyak sawit terbesar kedua

Analisis dampak Renewable Energy Directive terhadap

ekspor minyak sawit Indonesia

Gravity Model Revealed

Comparative Advantage

Export Product Dynamics

Rekomendasi pengendalian nilai ekspor minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa

(25)

15 3. Nilai tukar Rupiah riil terhadap negara tujuan ekspor memiliki hubungan positif dengan ekspor minyak sawit Indonesia. Terdepresiasinya mata uang domestik terhadap mata uang asing akan menyebabkan harga komoditi dalam negeri relatif lebih murah. Hal ini mendorong peningkatan ekspor karena negara tujuan hanya butuh sedikit uang untuk mengimpor.

4. Harga ekspor mempunyai pengaruh negatif terhadap nilai ekspor minyak sawit Indonesia. Kenaikan harga ekspor suatu negara akan menyebabkan konsumen luar negeri mengurangi jumlah permintaan terhadap barang tersebut, sehingga menyebabkan nilai ekspor dari suatu negara akan mengalami penurunan .

5. Jarak ekonomi mempunyai pengaruh negatif terhadap aliran perdangan ekspor komoditi minyak sawit Indonesia. Hal ini karena ketika jarak ekonomi dari Indonesia ke negara pengimpor makin jauh maka maka negara pengimpor akan lebih susah untuk melakukan impor ke Indonesia.

6. Dummy (Renewable Energy Directive) mempunyai pengaruh negatif

terhadap nilai ekspor komoditi minyak sawit Indonesia.

METODE

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data yang diamati merupakan data gabungan time series dan cross section atau panel data dengan data penampang lintangnya adalah salah satu pengimpor terbesar minyak sawit ke Indonesia yaitu tujuh negara anggota Uni Eropa dan data deret waktu tahunan dari tahun 2005 sampai tahun 2014. Adapun pemilihan komoditi yang diteliti yaitu minyak sawit karena komoditi ini memiliki nilai ekspor tertinggi di dunia pada tahun 2014.

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi: nilai ekspor komoditi minyak sawit mentah Indonesia, GDP riil perkapita dengan tahun dasar 2005 masing-masing negara, populasi negara tujuan ekspor, nilai tukar riil rupiah terhadap negara tujuan, dan jarak antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor. Data tersebut diperoleh dari: Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, United Nation Commodity Trade (UN Comtrade),

United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), Bank Dunia (World Development Indicator), Centre d’Etudes Prospectives et d’Informations

(26)

16

Tabel 2 Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian

No Data yang Digunakan Sumber

1 Nilai dan volume ekspor komoditi minyak sawit Indonesia (USD)

UN Comtrade (comtrade.un.org) 2 Populasi negara tujuan ekspor komoditi

minyak sawit (jiwa)

World Development Indicator

(www.worldbank.org) 3 GDP riil perkapita negara tujuan ekspor

komoditas minyak sawit (USD)

World Develoment Indicator

(www.worldbank.org) 4 Nilai tukar riil efektif (Rp/LCU) UNCTAD

5 Harga ekspor minyak sawit UN Comtrade (comtrade.un.org) 6 Jarak geografis antara Indonesia dan negara

tujuan ekspor komoditas minyak sawit (Km)

CEPII

Definisi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian

Pada penerapan konsep data panel gravity model, variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

Nilai Ekspor

Perdagangan internasional mempunyai pengaruh terhadap perekonomian nasional. Hubungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran (expenditure approach) adalah : Y = C + I + G + (X-M). Dalam hal ini (X-M) adalah ekspor neto. Ekspor neto bernilai positif ketika nilai ekspor lebih besar dari nilai impor dan negatif ketika nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor (Mankiw 2006).

Gross Domestic Product (GDP) per kapita riil negara tujuan

Gross Domestic Product (GDP) per kapita merupakan pendapatan rata-rata

penduduk di suatu negara pada waktu tertentu yang dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam mengukur tingkat konsumsi atau kemampuan daya beli suatu negara atas barang dan jasa tertentu. Gross Domestic Product (GDP) per kapita riil diperoleh dari pendapatan nasional pada tahun tertentu dibagi dengan jumlah penduduk suatu negara pada tahun tertentu tersebut (Wardhana 2011). Kenaikan pendapatan akan menyebabkan jumlah komoditi yang diminta lebih banyak pada setiap harga tertentu. Pada penelitian ini, pendapatan yang digunakan adalah GDP per kapita riil negara tujuan per tahun. Ketika GDP per kapita riil negara tujuan ekspor meningkat maka uang yang siap dibelanjakan masyarakat pun meningkat. Peningkatan pendapatan menyebabkan masyarakat dapat meningkatkan konsumsinya.

Populasi

(27)

17 naiknya jumlah penduduk maka jumlah komoditi yang diminta pada setiap tingkat harga akan lebih banyak (Lipsey 1995).

Nilai tukar riil

Nilai tukar riil (real exchange rate) merupakan harga suatu mata uang dalam satuan mata uang asing atau jumlah mata uang suatu negara asing yangharus dibayarkan untuk mendapatkan satu unit uang domestik (Lipsey 1997).

Nilai tukar terbagi menjadi dua, yaitu nilai tukar riil dan nilai tukar nominal. Menurut Mankiw (2006), nilai tukar nominal (nominal exchange rate) merupakan harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang antara dua negara. Secara matematis, nilai tukar riil dapat dijelaskan sebagai berikut :

� � � = � � � × � �

Jika nilai tukar riil tinggi, barang-barang luar negeri relatif lebih murah dan barang-barang domestik relatif lebih mahal. Sebaliknya jika nilai tukar riil rendah, barang-barang luar negeri relatif lebih mahal dan barang-barang domestik relatif lebih murah.

Harga Ekspor

Harga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi ekspor. Jika harga komoditi meningkat maka akan menurunkan ekspor, dengan kata lain meningkatnya harga komoditi yang ditawarkan maka akan menurunkan permintaan ekspor akan komoditi tersebut (cateris paribus).

Kenaikan harga ekspor suatu negara akan menyebabkan konsumen luar negeri mengurangi jumlah permintaan terhadap barang tersebut, sehingga menyebabkan volume ekspor dari suatu negara akan mengalami penurunan (Lipsey 1997). Ketika terjadi penurunan harga ekspor, suatu negara akan berusaha untuk mempertahankan pendapatan ekspornya, sehingga akan meningkatkan volume ekspor. Hubungan antara harga ekspor terhadap nilai ekspor dijelaskan sebagai berikut :

� � = � �

Jarak Ekonomi

Jarak ekonomi digunakan untuk analisis aliran perdagangan bilateral dalam

Gravity Model. Semakin jauh jarak transaksi maka biaya transportasi akan semakin besar dan nilai ekspor makin rendah. Cara mendapatkannya yaitu dengan membandingkan antara perkalian jarak geografis kedua negara dan GDP negara tujuan dengan jumlah keseluruhan GDP dalam kurun waktu yang diteliti. Rumus umumnya (Li 2008) adalah:

(28)

18

Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan yaitu Revealed Comparative Advantage

(RCA), Export Product Dynamic (EPD) dan Gravity Model. RCA dan EPD digunakan untuk menjelaskan fenomena tentang kondisi daya saing minyak sawit di Indonesia dan negara-negara anggota Uni Eropa periode tahun 2001-2014, serta

Gravity Model untuk menjelaskan bagaimana dampak Renewable Energy

Directive (RED) terhadap ekspor minyak sawit Indonesia ke tujuh negara anggota Uni Eropa selama sepuluh tahun yaitu tahun 2005-2014. Data sekunder diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Eviews 6 yang kemudian hasil outputnya diinterpretasikan.

Revealed Comparative Advantage (RCA)

RCA pertama kali diperkenalkan oleh Bela Balassa. RCA mengukur kinerja ekspor suatu komoditi dari suatu negara dengan mengevaluasi peranan ekspor komoditi tertentu dalam ekspor total suatu negara dibandingkan dengan pangsa komoditi tersebut dalam perdagangan dunia. RCA merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual (Oktaviani dan Novianti 2009). Daya saing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan dalam pasar tersebut. Pengukuran daya saing dapat menggambarkan keunggulan bersaing suatu produk pada suatu negara dengan produk yang sama di negara lain pada pasar tertentu.

RCA memiliki kelemahan diantaranya tidak dapat membedakan antara peningkatan di dalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan yang sesuai, mengukur keunggulan komparatif dari kinerja ekspor dengan asumsi persaingan bebas dan produk homogen, dan mengesampingkan pentingnya permintaan domestik, pasar domestik, serta perkembangannya. Perhitungan RCA menurut Balassa (1965) dirumuskan sebagai berikut :

� = ⁄ �

dimana:

Xij = Nilai ekspor komoditi minyak sawit dari Indonesiake Uni Eropa (USD) Xt = Nilai ekspor total Indonesiake Uni Eropa (USD)

Wj = Nilai ekspor komoditi minyak sawit dunia ke Uni Eropa (USD) Wt = Nilai ekspor total dunia ke Uni Eropa (USD)

Export Product Dynamic (EPD)

(29)

19 pasar tertentu, dimana informasi kekuatan bisnis diukur berdasarkan pertumbuhan dari perolehan pasar (market share) sebuah negara pada tujuan pasar tertentu. Kombinasi dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis ini menghasilkan karakter posisi dari produk yang ingin dianalisis ke dalam empat kategori. Keempat kategori itu adalah “Rising Star”, “Falling Star”, “Lost Opppotunity”, dan

“Retreat”.

Tabel 3 Matriks Posisi Daya Saing

Share of Country’s Export in World

Trade

Share of Product in World Trade Rising (Dynamic)

Falling (Stagnant)

Rising (Competitive) Rising Star Falling Star

Falling (Non-Competitive) Lost Opportunity Retreat Sumber: Estherhuizen, 2006

Komoditi yang diestimasi posisi daya saingnya akan menempati salah satu dari empat kuadran (Tabel 3), tergantung dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis komoditi tersebut. Dengan dimasukkannya komoditi yang diuji ke dalam matriks EPD akan lebih mudah untuk melihat posisi dayasaing masing-masing komoditi.

Posisi pasar yang ideal adalah yang mempunyai pangsa pasar tertinggi pada ekspornya sebagai Rising Star, yang menunjukkan bahwa negara tersebut memperoleh tambahan pangsa pasar pada produk mereka yang bertumbuh cepat (fast-growing products). Lost Opportunity, terkait dengan penurunan pangsa pasar pada produk-produk yang dinamis, adalah yang posisi yang paling tidak diinginkan. Falling Star juga tidak disukai, meskipun masih lebih baik jika dibandingkan dengan Lost Opportunity, karena pangsa pasarnya tetap meningkat. Sementara itu, Retreat biasanya tidak diinginkan, tetapi pada kasus tertentu dapat diinginkan jika pergerakannya menjauhi produk-produk yang stagnan dan menuju produk-produk yang dinamik (Bappenas, 2009).

Secara matematis, yang dimaksud dengan pangsa ekspor suatu negara (negara i) dan pangsa pasar produk (produk n) dalam sebuah perdagangan dunia adalah sebagai berikut:

Sumbu X:

Pertumbuhan kekuatan bisnis atau disebut pangsa pasar ekspor i.

(30)

20

Xw = Nilai ekspor total dari dunia ke negara tertentu T = Jumlah tahun

t = tahun ke-t Gravity Model

Gravity model adalah model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi yang dapat memengaruhi Shepherd (2013) menyatakan bahwa gravity model merupakan salah satu kunci bagi para peneliti yang tertarik pada efek-efek dari kebijakan yang berhubungan dengan perdagangan. Model ini memberikan hasil yang tepat mengenai perkiraan pada dampak perdagangan terhadap perbedaan kebijakan yang ditetapkan.

Gravity model kini lebih sering memasukkan variabel-variabel seperti halnya hambatan non-tarif yang menentukkan adanya batas atau hambatan perdagangan. Pengaturan dalam kebijakan telah memperlihatkan adanya pengaruh pada perdagangan yang dimodelkan pada kerangka gravity, sama halnya dengan kondisi politik maupun karakteristik institusional suatu negara. Secara matematis model ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

= � + � + � + � + �

Dimana :

Xij = Ekspor komoditas yang diperdagangkan dari negara i ke negara j (USD)

Yj = Gross Domestic Product (GDP) negara j (USD)

Popj = Populasi negara j (Jiwa)

Dij = Jarak dari negara i ke negara j (Km)

Faktor-faktor yang dapat memengaruhi ekspor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa dianalisis dengan menggunakan gravity model dengan variabel independen berupa GDP riil negara tujuan, populasi negara tujuan, nilai tukar Rupiah riil, harga ekspor minyak sawit Indonesia, dan jarak ekonomi. Untuk

Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa sendiri dijadikan sebagai dummy

dalam model. Sedangkan variabel dependennya ialah nilai ekspor minyak sawit Indonesia ke tujuh negara Uni Eropa yaitu Belanda, Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, dan Yunani. Sehingga estimasi model penelitian ini sebagai berikut:

= � + � + � + � + �

+ � + � + �

Dimana :

Xit = Nilai ekspor minyak sawit Indonesia ke negara j (US$) GDPjt = GDP riil negra tujuan pada tahun ke-t (US$)

Popjt = Populasi penduduk negara tujuan pada tahun t (jiwa)

RERjt = Nilai tukar riil mata uang rupiah terhadap negara tujuan (Rp/LCU) PXjt = Harga ekspor minyak sawit Indonesia di negara tujuan (US$/kg) DISTjt = Jarak Ekonomi antar negara Indonesia dan negara tujuan (kilometer) REDt = dummy Renewable Energy Directive Uni Eropa

�it = error term

β0 = intercept

(31)

21 Definisi Operasional

1. Negara j adalah negara tujuan ekspor komoditi minyak sawit Indonesia yaitu negara-negara anggota Uni Eropa.

2. Ekspor (X) adalah total nilai ekspor komoditas minyak sawit mentah Indonesia ke negara-negara anggota Uni Eropa.

3. GDP riil perkapita merupakan jumlah pendapatan rata- rata dari penduduk suatu negara pada periode tertentu.

4. Populasi (POP) yaitu total jumlah penduduk di negara-negara anggota Uni Eropa dalam satu tahun.

5. Exchange Rate (ER) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor terhadap negara pengimpor.

6. Harga ekspor (PX) merupakan hasil bagi antara total nilai ekspor dengan volume ekspor minyak sawit Indonesia ke negara tujuan ekspor dan dinyatakan dalam satuan US$ per kilogram.

7. Jarak ekonomi (DIST) adalah jarak antara negara Indonesia dengan negara asal ekspor dihitung berdasarkan jarak antar ibukota Indonesia dengan negara tujuan ekspor dan dinyatakan dalam kilometer.

8. Renewable Energy Directive (RED) adalah variabel dummy, ketika sebelum adanya Renewable Energy Directive (RED) dilambangkan dengan 0, sedangkan 1 untuk tahun setelah adanya Renewable Energy Directive (RED). Pengujian Kesesuaian Model

Pada analisis model dengan menggunakan data panel, dikenal tiga macam pendekatan yang terdiri dari Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Squared), Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model), dan Pendekatan Efek Acak (Random Effect). Pemilihan model terbaik yang digunakan untuk pengolahan data panel menggunakan beberapa pengujian. Pengujian yang dilakukan antara lain:

Uji Chow

Uji Chow (Chow test) atau uji F-statistics merupakan pengujian statistik untuk memilih apakah model yang digunakan pooled least square (PLS) atau

fixed effect. Hipotesis dalam pengujian ini adalah sebagai berikut: H0: Pooled Least Square (PLS)

H1: Fixed Effect Model (LSDV)

Jika nilai F-statistics hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhdap H0, artinya model yang dipilih dalam penelitian ini adalah fixed effect model.

Uji Hausmann

Uji Hausmann merupakan pengujian statistics sebagai dasar pemilihan menggunakan fixed effect model atau random effect model. Hipotesis dalam pengujian ini adalah sebagai berikut:

H0: Random effect model

H1: Fixed effect model

(32)

22

Pengujian Asumsi Model

Dalam analisis regresi, terdapat tiga asumsi yang harus diuji yaitu heteroskedastisitas, multikolineritas, dan autokorelasi. Selain itu terdapat juga uji normalitas untuk mengetahui apakah error term menyebar normal atau tidak. Perlu dijabarkan secara khusus mengenai kriteria pemenuhan asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) untuk menghasilkan model regresi yang baik.

Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas yaitu adanya ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi. Ada beberapa metode pengujian yang bisa digunakan diantaranya adalah Uji Park, Uji Glesjer, melihat pola grafik regresi, dan uji koefisien korelasi Spearman.

Autokorelasi

Autokorelasi merupakan adanya korelasi serial antara sisaan (εt). Juanda

(2009) menjelaskan akibat adanya autokorelasi dalam model yang diestimasi yaitu penduga parameter masih tetap tidak bias dan konsisten tetapi penduga ini memiliki standar error yang bias ke bawah, atau lebih kecil dari nilai yang sebenarnya sehingga nilai statistik uji-t tinggi (over estimate). Cara dalam mengatasi penyimpangan ini adalah dengan menggunakan metode Generalize Least Square dalam estimasi model (Gujarati, 2004). Ada atau tidaknya autokorelasi dapat dilihat dengan melakukan uji Durbin-Watson (DW). Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan pengujian dengan membandingkan DW statistik dengan DW tabel dengan ketentuan sebagai berikut :

Tabel 4 Kerangka identifikasi autokorelasi

Nilai DW Hasil

4 – dL < DW < 4 Tolak H0 : korelasi serial negative 4 – dL < DW < 4 – dU Hasil tidak dapat ditentukan

2 < DW < 4 – dU Terima H0 : tidak ada korelasi serial dU < DW < 2 Terima H0 : tidak ada korelasi serial dL < DW < dU Hasil tidak dapat ditentukan

0 < DW < dL Tolak H0 : korelasi serial positif Sumber: Juanda, 2009

Multikolinearitas

(33)

23 Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term menyebar normal atau tidak. Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 : error term menyebar normal H1 : error term tidak menyebar normal

Uji normalitas diaplikasikan dengan melakukan tes Jarque Bera, jika nilai probabilitas yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka terima H0 yang berarti error term dalam model sudah menyebar normal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Komoditi Minyak Sawit

Minyak sawit sebagian besar diproduksi di Asia, Afrika dan Amerika Selatan karena pohon-pohon kelapa sawit membutuhkan suhu hangat, sinar matahari dan banyak hujan untuk memaksimalkan produksi. Produksi minyak sawit global didominasi oleh Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini bersama-sama mencapai sekitar 85 sampai 90 persen dari total produksi minyak sawit global. Indonesia saat ini merupakan produsen dan eksportir terbesar minyak sawit di seluruh dunia (GAPKI 2013).

Sumber: FAO 2016 (diolah)

Gambar 5 Produsen minyak sawit terbesar dunia, rata-rata 2005-2014

Menurut Kemenperin (2007), kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Berkembangnya sub‐sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR‐Bun dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta.

46%

39% 3% 2%

2% 1%

7%

(34)

24

Indonesia memiliki sentra penghasil minyak sawit di hampir semua wilayah Indonesia. Perkebunan kelapa sawit rata-rata berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Penghasil minyak sawit Indonesia terbesar berada di Provinsi Riau yang memiliki luas lahan yang ditanami kelapa sawit seluas 2.296.849 hektar dan memproduksi minyak sawit sebesar 7.037.636 ton (Ditjenbun 2015).

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikelola dalam tiga bentuk pengusahaan yakni Perkebunan Rakyat, Perkebunan Negara dan Perkebunan Swasta. Dari seluruh luas areal dan produksi perkebunan kelapa sawit Indonesia, 51.6 persennya dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta, 41.5 persennya dimiliki oleh Perkebunan Besar Negara dan sisanya dimiliki oleh Perkebunan Rakyat sebesar 6.9 persen.

Tabel 5 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit di Indonesia Tahun 2007-2014

Sumber: Ditjenbun 2015

Keterangan: * Angka Sementara

PR: Perkebunan Rakyat, PBN: Perkebunan Besar Negara, PBS: Perkebunan Besar Swasta

Minyak sawit merupakan komoditi perkebunan paling penting, dalam hal persentase luas lahan yang ditanami minyak sawit relatif terhadap total luas untuk semua tanaman perkebunan. Pada tahun 2005 produksi minyak sawit Indonesia hanya sebesar 11.86 juta ton, sedangkan tahun 2014 menjadi 29.34 juta ton atau tumbuh rata-rata sebesar 10.14 persen dalam kurun waktu sepuluh tahun. Peningkatan produksi minyak sawit selama kurun waktu tersebut terutama terjadi pada PBS sebesar 11.9 persen dan PR sebesar 9.25 persen, sedangkan produksi dari PBN relatif lambat sebesar 5.4 persen. Hal ini dapat disebabkan oleh kelapa sawit sebagai salah satu penghasil devisa negara dan industri kelapa sawit juga bersifat padat karya (labour intensive) sehingga banyak menyerap tenaga kerja.

PR PBN PBS PR PBN PBS

2005 2 356 895 529 854 2 567 068 5 453 817 4 500 769 1 449 254 5 911 592 11 861 615 2006 2 549 572 687 428 3 357 914 6 594 914 5 783 088 2 313 729 9 254 031 17 350 848 2007 2 752 172 606 248 3 408 416 6 766 836 6 358 389 2 117 035 9 189 301 17 664 725 2008 2 881 898 602 963 3 878 986 7 363 847 6 923 042 1 938 134 8 678 612 17 539 788 2009 3 061 413 630 512 4 181 369 7 873 294 7 517 716 2 005 880 9 800 697 19 324 293 2010 3 387 257 631 520 4 366 617 8 385 394 8 458 709 1 890 503 11 608 907 21 958 120 2011 3 752 480 678 378 4 561 966 8 992 824 8 797 924 2 045 562 12 253 055 23 096 541 2012 4 137 620 683 227 4 751 868 9 572 715 9 197 728 2 133 007 14 684 783 26 015 518 2013 4 356 087 727 767 5 381 166 10 465 020 10 010 728 2 144 651 15 626 625 27 782 004 2014*) 4 551 854 748 272 5 656 105 10 956 231 10 683 286 2 156 294 16 504 899 29 344 479

(35)

25

Sumber: UNCOMTRADE 2016

Gambar 6 Eksportir Minyak Sawit Terbesar di Pasar Uni Eropa (2005-2014) Berdasarkan informasi pada Gambar 6, dapat dianalisis bahwa ekspor minyak sawit di pasar Uni Eropa didominasi oleh Indonesia dan Malaysia. Nilai ekspor minyak sawit dari negara eksportir cenderung mengalami peningkatan. Nilai ekspor minyak sawit yang dihasilkan Indonesia mengalami rata-rata peningkatan sebesar 18.04 persen per tahun dari tahun 2005 hingga tahun 2014. Peningkatan rata-rata nilai ekspor tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap devisa negara yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan negara.

Sumber: UNComtrade 2016 (diolah)

Gambar 7 Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia di Pasar Uni Eropa (2005–2014) Perkembangan ekspor minyak sawit Indonesia ke tujuh negara Uni Eropa yaitu Belanda, Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, dan Yunani rata-rata mengalami fluktuasi dengan trend nilai ekspor minyak sawit Indonesia yang meningkat. Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa negara Belanda merupakan negara tujuan ekspor dengan nilai ekspor yang paling tinggi diantara negara-negara anggota Uni Eropa lainnya. Selanjutnya secara berurutan diikuti oleh

0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(36)

26

negara Italia, Spanyol, Jerman, Inggris, Denmark, dan Yunani. Fluktuasi nilai ekspor ke tujuh negara di Uni Eropa disebabkan oleh beberapa faktor yang terjadi pada tahun yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi ekspor minyak sawit Indonesia adalah GDP negara tujuan, populasi negara tujuan, nilai tukar rupiah, dan jarak ekonomi. Selain itu, diteapkannnya kebijakan Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa oleh otoritas Uni Eropa pada April 2009 diduga dapat mempengaruhi nilai ekspor minyak sawit Indonesia. Dampak dari

Renewable Energy Directive (RED) dan faktor-faktor tersebut menjadi bahan analisis dalam penelitian ini.

Regulasi Pemerintah yang Mendukung Minyak Sawit Indonesia

Kementerian Pertanian pada Maret 2011 menetapkan sebuah skema sertifikasi baru yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca, serta memberikan perhatian terhadap masalah lingkungan. Sertifikasi merupakan tuntutan perdagangan internasional yang dilaksanakan sesuai ketentuan International Standard Organization (ISO) sedangkan kriteria dalam pelaksanaan sertifikasi ISPO sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian 07 tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.

ISPO memiliki kriteria yang mengharuskan perusahaan menghemat emisi gas rumah kaca dengan cara metan trapping, pengaturan tata air pada lahan gambut, dan pengelolaan pemupukan yang tepat. Perusahaan minyak sawit juga harus melestarikan keanekaragaman hayati pada areal yang dikelola dan tidak boleh membuka perkebunan minyak sawit di kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi. Kriteria-kriteria tersebut dapat membuktikan kepada pasar internasional bahwa minyak sawit Indonesia yang memiliki sertifikat ISPO diproduksi secara berkelanjutan.

ISPO dilihat sebagai saingan dari Roundtable of Sustainable Palm Oil

(RSPO). Industri minyak sawit Indonesia yang kuat melihat kebijakan RSPO lambat, bias terhadap negara konsumen, dan mahal. ISPO dirancang untuk membuat produksi minyak sawit berkelanjutan sesuai dengan hukum dan regulasi. Berbanding terbalik dengan RSPO yang bersifat sukarela, ISPO bersifat wajib.

Analisis Daya Saing Minyak Sawit Indonesia

Gambar

Tabel 1 Pendapatan domestik bruto Indonesiaatas harga konstan 2000 sektor   pertanian  tahun 2007-2014 (milyar Rupiah)
Gambar 1 Perkembangan Neraca Perdagangan Minyak Sawit Indonesia di Pasar Internasional (2005 -2014)
Gambar 2 Importir Terbesar Minyak Sawit Indonesia Tahun 2014
Gambar 3 Kurva Perdagangan Internasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Trafo Arus ( Current Transformer-CT ) yaitu peralatan yang digunakan untuk melakukan pengukuran besaran arus pada intalasi tenaga listrik di sisi primer (TET, TT dan TM)

Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ciri-ciri kemandirian anak usia dini adalah seorang anak yang memiliki rasa tanggung jawab dan kepercayaan

Yang ingin didapatkan dari motif informasi misalnya, mendapatkan informasi atau wawasan tentang kebudayaan Indonesia, motif identitas personal yang menggunakan isi media

Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari menyebarkan kuisioner kepada konsumen yang telah melihat tayangan iklan Yamaha Jupiter MX

[r]

Hasil dari penelitian ini adalah terdapat empat faktor yang secara signifikan mempengaruhi keputusan konsumen membeli kosmetika perawatan wajah, yaitu faktor

Hubungan Antara Self Efficacy dengan Quality Of Life Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Kebonsari Surabaya.. Yogyakarta:

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan mengenai Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam film &#34;Alangkah Lucunya (Negeri Ini)&#34; , maka dapat penulis simpulkan