• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penangkaran Jalak Bali di Desa Sumberklampok

Salah satu penurunan populasi jalak bali diakibatkan oleh kurangnya peran serta masyarakat sekitar dalam menjaga kelestarian lingkungan TNBB, dibuktikan dengan kebiasaan masyarakat sekitar kawasan TNBB yang sering masuk hutan untuk mengambil kayu, buah, daun, rumput, menggembalakan ternak, bahkan berburu jalak bali dan satwa lainnya (Alikodra 1987). Tindakan konservasi di dalam kawasan tidak dapat berjalan sendiri, karena pengelolaan jalak bali secara lestari akan sulit tercapai jika masyarakat yang ada di sekitar kawasan tidak dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan. Fakta membuktikan bahwa masyarakat di sekitar kawasan konservasi justru memberi pengaruh sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan suatu kawasan (Bayu 2000; Kusnanto 2000).

Upaya pendekatan kepada masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan dilakukan untuk meminimalisir konflik yang terjadi akibat perbedaan kepentingan. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat guna mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 49/Menhut-II/2008). TNBB memiliki 6 desa penyangga dan telah banyak program pemberdayaan masyarakat yang diberikan kepada masyarakat di desa penyangga. Program pemberdayaan masyarakat yang diberikan masih berupa bantuan seperti bibit tanaman, itik, lebah madu maupun burung perkutut, namun program pemberdayaan tersebut hanya memberikan bantuan saja tanpa adanya pendampingan lebih lanjut sehingga tidak jarang program berjalan kurang dari 3 bulan.

TNBB kemudian bekerjasama dengan ii network yang menerapkan pendekatan lain kepada masyarakat dengan meningkatkan hubungan kepercayaan antara TNBB sebagai pihak pengelola kawasan dengan masyarakat sekitar melalui program pemberdayaan masyarakat secara bottom-up, salah satunya penangkaran jalak bali di Desa Sumberklampok. Program pemberdayaan ini tidak memberikan bantuan namun memberikan akses dan pendampingan terhadap desa. Selain itu program yang diberikan berasal dari kemauan masyarakat bukan dari pihak TNBB sebagai pengelola sehingga program dapat berjalan lama karena masyarakat yang menginginkan program tersebut. Pihak TNBB tidak memberikan dana sedikitpun kepada masyarakat untuk melaksanakan kegiatan penangkaran. Seluruh dana yang digunakan dalam kegiatan penangkaran tersebut berasal dari swadaya masyarakat. Desa Sumberklampok merupakan desa enclave di Taman Nasional Bali Barat dengan luas wilayah sebesar 28.969,67 Ha (Peraturan Desa Sumberklampok No. 1/2011 tentang Rencana pembangunan jangka menengah Desa Sumberklampok tahun 2011-2016). Desa Sumberklampok secara administratif terletak di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Desa Sumberklampok terbagi menjadi 3 dusun yaitu Dusun Tegal Bunder, Dusun Sumberklampok dan Dusun Sumber Batok. Jumlah penduduk Desa Sumberklampok sebanyak 3.184 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 869. Sebagian besar masyarakat Desa Sumberklampok bekerja sebagai petani lahan kering dengan produksi utamanya jagung, cabe, kacang tanah dan ketela

pohon. Sebagian lagi menggantungkan hidupnya dari pekerjaan mencari kayu bakar untuk dijual. Desa Sumberklampok memiliki tingkat kemajemukan etnis dan sosial yang tinggi, terdiri dari penduduk asli Bali, Jawa, Madura dan Bugis

(Ismu 2008).

Kegiatan penangkaran jalak bali di Desa Sumberklampok dimulai sejak November 2010. Penangkaran tersebut bertujuan untuk (1) meningkatkan ekonomi masyarakat; (2) meningkatkan peran serta masyarakat dalam konservasi jalak bali secara eksitu; dan (3) mengembalikan citra Desa Sumberklampok melalui konservasi jalak bali. Saat ini terdapat 16 orang penangkar dan satu kelompok sosial yang bernama Yayasan Ainul Yaqin yang telah memiliki surat izin resmi menangkarkan jalak bali. Penangkar jalak bali di desa tersebut tergabung dalam kelompok penangkar yang bernama Manuk Jegeg. Manuk Jegeg memberikan akses bagi masyarakat Desa Sumberklampok untuk ikut berpatisipasi dalam pelestarian jalak bali melalui kegiatan penangkaran.

Sebanyak 14 orang penangkar telah memulai kegiatan penangkaran jalak bali sedangkan sisanya masih dalam tahap mempersiapkan sarana dan prasarana penangkaran serta menunggu adanya pinjaman indukan jalak bali. Sebagian besar penangkar (75%) memperoleh pinjaman indukan dari Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB) sejak Juni 2011 sedangkan sisanya menangkarkan jalak bali milik Yayasan Ainul Yaqin dengan sistem bagi hasil. Sebanyak 8 dari 14 penangkar telah berhasil memperoleh anakan jalak bali (Tabel 2).

Tabel 2 Data kegiatan penangkaran jalak bali Penangkar ke- Jumlah induk (pasang) Jumlah kelahiran burung (individu) Jumlah kematian burung (individu) 1 1 2 2 2 2 22 8 3 3 10 9 4 1 0 0 5 1 16 14 6 3 24 10 7 1 0 0 8 1 14 5 9 1 4 3 10 1 0 0 11 *) 0 0 0 12 3 15 7 13 *) 0 0 1 14 1 0 0 *)

= penangkar yang hanya memelihara anakan burung Peubah Sosial Masyarakat

Kegiatan pelestarian dapat dipengaruhi oleh karakteristik internal manusia yang melakukannya dan juga tingkat kebutuhannya. Karakteristik internal merupakan karaktersitik individu atau ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya (Sampson 1976 dalam

mengetahui perilaku masyarakat terhadap objek tertentu, karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui karena pada hakekatnya perilaku manusia digerakkan oleh faktor dari dalam diri individu itu sendiri. Hasil penelitian Suparta (2001) menunjukkan bahwa faktor internal individu seperti umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, penguasaan lahan, dan pengalaman seseorang berpengaruh terhadap tindakannya dalam berusaha. Hal ini sejalan dengan pernyataan Amba (1998) bahwa karakteristik seperti umur, pendidikan, dan lainnya dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauan seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan.

Umur (X1)

Umur merupakan suatu indikator mengenai suatu perubahan yang terjadi pada manusia (Sujarwo 2004), dimana umur menggambarkan pengalaman seseorang yang mengakibatkan adanya perbedaan tindakan berdasarkan umur yang dimiliki (Halim 1992). Berdasarkan hasil penelitian, sebaran umur penangkar jalak bali bervariasi antara 39 sampai 72 tahun. Sebanyak 85.71% penangkar termasuk kedalam kelas umur produktif (15-65 tahun) (Lembaga Demografi FE-UI 1980) dan termasuk dalam kelas umur dewasa (Santrock 1996). Lama Menempuh Pendidikan (X2)

Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin luas pengetahuannya (Sujarwo 2004). Pendidikan akan mempengaruhi cara bertindak dan berfikir seseorang (Amba 1998). Semakin tinggi pendidikan diharapkan semakin baik pula cara berfikir dan cara bertindak untuk terlibat dalam suatu kegiatan. Aprollita (2008) mengkategorikan pendidikan berdasarkan lama menempuh pendidikan yaitu ≤6 tahun (rendah), 7-11 tahun (sedang), dan 12-21 tahun (tinggi). Sebagian besar (57.14%) penangkar termasuk kedalam kategori pendidikan rendah.

Jumlah Tanggungan Keluarga (X3)

Besarnya keluarga sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang, semakin besar jumlah tanggungan keluarga menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengahasilan yang lebih tinggi untuk menutupi biaya kehidupannya. Sujarwo (2004) menyatakan bahwa semakin besar tanggungan keluarga maka dibutuhkan tingkat aktifitas yang lebih tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jumlah tanggungan keluarga para penangkar berada pada sebaran 1≤ x <5 orang. Sebagian besar penangkar (35.71 %) memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 3 orang.

Penghasilan (X4)

Penghasilan penangkar per bulan berada pada sebaran Rp 1 200 000 ≤ x <

Rp 3 500 000. Seluruh penangkar memiliki penghasilan yang berada diatas upah minimum regional (UMR) berdasarkan peraturan Gubernur Bali No. 44 Tahun 2012 tentang Upah minimum Kabupaten Buleleng tahun 2013 yaitu sebesar Rp 1 200 000/bulan. Slamet (1985) dalam Amba (1998) menyatakan bahwa partisipasi ditentukan oleh kemampuan, kemauan, dan kesempatan. Kemampuan dan kesempatan erat kaitannya dengan pendapatan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Madrie (1986) dalam Amba (1998) bahwa besar pendapatan berkorelasi positif dengan kemampuan dan kesanggupan untuk berpartisipasi

dalam suatu kegiatan. Seluruh penangkar jalak bali memiliki penghasilan diatas UMR Bali, sehingga diharapkan dapat menunjang biaya kegiatan penangkaran. Pengetahuan Lokal (X5)

Desa Sumberklampok dahulu merupakan salah satu habitat alami jalak bali. Jalak bali yang hidup di Desa Sumberklampok tersebar hampir di seluruh wilayah Desa. Masyarakat kerap melihat burung ini berasosiasi dengan sapi bali di ladang milik masyarakat. Keberadaan jalak bali di Desa tersebut menyimpan cerita tersendiri dalam masyarakat. Jalak bali memiliki rasa daging yang pahit karena jalak bali kerap memanfaatkan pohon kayu pahit, sehingga para tetua desa kerap menggunakan cerita pahitnya daging jalak bali ini untuk melindungi jalak bali dari perburuan untuk dikonsumsi. Tahun 1970-an jalak bali masih banyak ditemukan di desa tersebut. Ketika memasuki tahun 1980-an dimana Taman Nasional Bali Barat mulai diresmikan sebagai kawasan Taman Nasional, jalak bali mulai dikenal sebagai burung endemik Bali yang memiliki nilai jual ekonomi tinggi. Tahun 1990-an keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok dinyatakan punah. Tingginya eksploitasi jalak bali mengakibatkan kepunahan jalak bali di desa tersebut. Sebanyak 57.14% penangkar jalak bali mengetahui kronologis lengkap keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok serta dapat menceritakan keberadaan jalak bali di desa tersebut.

Curahan Waktu (X6) dan Frekuensi Perawatan Burung (X7)

Alokasi waktu yang digunakan dalam kegiatan penangkaran bervariasi pada setiap penangkar antara 10 sampai 60 menit dalam satu kali kegiatan pemeliharaan dengan frekuensi perawatan burung perhari rata-rata 2 kali. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan mencakup pemberian pakan, air, vitamin (Gambar 3) serta pemeliharaan kandang. Sebagian besar penangkar (78.57%) melibatkan anggota keluarga dalam kegiatan pemeliharaan penangkaran. Jenis pakan yang diberikan oleh masing-masing penangkar cenderung sama yaitu buah, pur, jangkrik, ulat hongkong serta kroto. Pemberian vitamin dilakukan untuk melakukan pencegahan terhadap penyakit seperti cacing, meningkatkan nafsu makan serta untuk merangsang kegiatan reproduksi indukan. Pemeliharaan kandang yang dilakukan berupa pembersihan areal kandang dan sekitarnya serta penggantian bahan-bahan penyusun kandang yang sudah mulai tidak berfungsi dengan baik.

(a) (b) (c) (d) Gambar 3 Jenis pakan dan vitamin

Modal (X8) dan Biaya Operasional Penangkaran (X9)

Modal kegiatan penangkaran yang dikeluarkan yaitu untuk pembuatan sarana dan prasarana kegiatan penangkaran berupa kandang. Modal yang dikeluarkan penangkar bervariasi yaitu Rp 1 500 000 – Rp 15 000 000. Besarnya modal yang dikeluarkan berkaitan dengan ukuran kandang, bahan penyusun kandang, letak kandang dan sarana yang terdapat di dalam kandang. Jenis kandang (Gambar 4) yang dimiliki para penangkar terdiri atas kandang permanen yang biasanya digunakan sebagai kandang biak dan sangkar yang digunakan sebagai tempat pembesaran anakan.

A Z

Gambar 4 Jenis Kandang

(a) Kandang biak; (b) Kandang pembesaran

Rata-rata kandang biak yang dimiliki penangkar berukuran 1.5 x 1 x 2 m3 dengan fasilitas yang terdapat di dalam kandang biak antara lain gowok, tempat makan, tempat air serta tempat bertengger. Anakan jalak bali umumnya diletakkan pada sangkar dengan ukuran 40x40x60 cm3 dengan fasilitas antara lain tempat makan, air dan tempat bertengger. Sebagian besar penangkar (71.43%) memiliki kandang di luar rumah sedangkan sisanya memiliki kandang di dalam rumah.

Biaya operasional kegiatan penangkaran jalak bali di Desa Sumberklampok untuk satu ekor jalak bali bervariasi antara Rp 20 000 – Rp 100 000 per bulan. Biaya operasional kegiatan penangkaran digunakan untuk biaya pemenuhan pakan, vitamin dan pemeliharaan kandang. Biaya pemenuhan pakan satwa merupakan biaya terbesar dalam banyak kegiatan penangkaran satwa, biaya dapat

mencapai 60% bahkan lebih dari seluruh komponen biaya pemeliharaan (Mas’ud

2010).

Lama Menangkar (X10)

Lama menangkar burung jalak bali bervariasi antar penangkar yaitu 2 sampai 32 bulan. Sebagian besar penangkar (71.43%) memiliki lama menangkar sebanyak 32 bulan. Hal ini dikarenakan pada awal program penangkaran berlangsung hanya terdapat 11 orang penangkar dan satu Yayasan bernama Yayasan Ainul Yaqin yang telah memiliki izin resmi sebagai penangkar, namun saat ini terdapat penambahan jumlah penangkar sebanyak 5 orang dan 3 diantaranya telah memulai kegiatan penangkaran jalak bali. Penangkar baru tersebut memperoleh pinjaman indukan yang berasal dari penangkar lama yang sudah berhasil dengan sistem bagi hasil.

Pengetahuan Jalak Bali (X11)

Sebanyak 57.14% responden memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai bioekologi jalak bali dan teknik penangkaran yang dibedakan berdasarkan total skor responden. Desa Sumberklampok merupakan habitat alami jalak bali dan merupakan desa enclave TNBB, sehingga masyarakat sering terlibat dalam kegiatan pelestarian jalak bali oleh TNBB yang salah satunya dilakukan melalui kegiatan penyuluhan. Penangkar jalak bali memiliki wadah berupa organisasi penangkar Manuk Jegeg yang kerap dijadikan sebagai wadah untuk bertukar pengalaman terkait kegiatan penangkaran oleh masing-masing penangkar yang dapat meningkatkan pengetahuan para penangkar.

Hubungan Peubah Sosial Masyarakat dengan Keberhasilan Penangkaran Hubungan Peubah Sosial Masyarakat dengan Kelahiran Burung

Hasil analisis korelasi antara peubah sosial masyarakat dengan peubah kelahiran burung (Lampiran 1) menunjukkan bahwa peubah pengetahuan lokal, modal, lama menangkar dan pengetahuan jalak bali berkorelasi nyata dengan peubah kelahiran burung (Tabel 3). Pengetahuan lokal mengenai keberadaan jalak bali di Desa Sumberklampok memiliki korelasi dengan peubah kelahiran burung. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Umar (2009) bahwa perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh persepsi yang berasal dari pengalaman individu terhadap lingkungannya. Kondisi Desa Sumberklampok pada masa lalu melahirkan cerita-cerita mengenai keberadaan jalak bali pada masa lalu yang hingga kini masih berkembang. Cerita rakyat tersebut kemudian memotivasi masyarakat Desa Sumberklampok untuk mengembalikan desa mereka sebagai habitat alami jalak bali melalui kegiatan penangkaran jalak bali.

Tabel 3 Hubungan peubah sosial masyarakat dengan kelahiran burung Peubah yang berkorelasi Nilai probabilitas

(asymptotic significance)

Pengetahuan lokal ~ Kelahiran burung 0.022

Modal ~ Kelahiran burung 0.008

Lama menangkar ~ Kelahiran burung 0.001

Pengetahuan jalak bali ~ Kelahiran burung 0.003

Peubah modal juga berkorelasi dengan kelahiran burung. Modal yang dikeluarkan oleh penangkar merupakan modal mandiri tanpa adanya bantuan dari pihak manapun termasuk pihak TNBB yang memprakarsai kegiatan penangkaran ini. Penangkaran jalak bali sebagai upaya pengembangbiakan jenis di luar habitat alaminya, membutuhkan suasana habitat buatan yang mirip dengan habitat alaminya. Modal yang dikeluarkan saat memulai kegiatan penangkaran akan mempengaruhi kesesuaian kandang yang akan dibuat. Kesesuaian kandang tersebut penting untuk menunjang keberhasilan kegiatan penangkaran jalak bali mencakup jenis kandang, jumlah kandang, fungsi kandang, bahan bangunan kandang, ukuran kandang, sarana kandang, perawatan kandang serta suhu dan kelembaban kandang (Azis 2013).

Lama menangkar berkorelasi dengan kelahiran burung. Waktu menangkarkan yang semakin meningkat akan memberikan pengalaman kepada para penangkar dalam pengelolaan penangkaran sehingga dapat menunjang

keberhasilan penangkaran. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya nilai kelahiran pada tahun pertama saat program penangkaran berlangsung dan mulai meningkat pada tahun kedua. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Herawati (2013) yang menunjukkan bahwa persentase daya tetas telur dari tahun 2011 sampai tahun 2013 semakin meningkat dan tingkat perkembangbiakan yang meningkat pada tahun 2011 sampai tahun 2012.

Pengetahuan yang tinggi mengenai jalak bali akan membantu kegiatan penangkaran yang dilakukan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Schoorl (1982) dalam Amba (1998) bahwa masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan apabila mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang kegiatan tersebut. Desa Sumberklampok yang dahulu merupakan salah satu habitat alami jalak bali menjadikan masyarakat Sumberklampok memiliki pengetahuan yang cukup tinggi mengenai jalak bali, sesuai dengan pernyataan Amba (1998) bahwa pengalaman hidup seseorang dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.

Hubungan Peubah Sosial Masyarakat dengan Kematian Burung

Hasil analisis korelasi antara peubah sosial masyarakat dengan peubah kematian burung (Lampiran 2) menunjukkan bahwa peubah frekuensi perawatan burung dan biaya operasional penangkaran jalak bali berkorelasi nyata dengan peubah kematian burung (Tabel 4).

Tabel 4 Hubungan peubah sosial masyarakat dengan kematian burung Peubah yang berkorelasi Nilai probabilitas

(asymptotic significance) Frekuensi perawatan burung ~ Kematian

burung

0.000

Biaya operasional ~ Kematian burung 0.025

Frekuensi perawatan burung berkorelasi nyata dengan kematian burung. Perawatan burung yang dilakukan antara lain pemberian pakan, pembersihan kandang dan penggantian air. Frekuensi perawatan burung berkaitan dengan interaksi perawat dengan burung yang ditangkarkan. Daya adaptasi burung terhadap interaksi manusia sangat diperlukan. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya stres pada burung terutama saat burung dalam masa reproduksi karena sangat sensitif terhadap gangguan (Mas’ud 2010).

Biaya operasional berkorelasi dengan kematian burung. Biaya operasional kegiatan penangkaran yang dikeluarkan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pakan dan vitamin untuk burung serta biaya pemeliharaan kandang. Kebutuhan kegiatan penangkaran yang menunjang keberhasilan penangkaran membutuhkan biaya operasional yang tinggi.

Model Keberhasilan Penangkaran

Keberhasilan suatu penangkaran dapat dilihat dari jumlah kelahiran dan kematian burung yang ditangkarkan. Hal in sejalan dengan Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar bahwa keberhasilan suatu penangkaran dapat dilihat dari tingkat daya tetas telur, tingkat perkembangbiakan induk jalak bali serta tingkat angka kematian piyik.

Model Kelahiran Burung

Berdasarkan hasil uji chi square diketahui bahwa peubah sosial masyarakat yang berkorelasi dengan peubah kelahiran burung yaitu pengetahuan lokal (X5), modal (X8), lama memelihara (X10) dan pengetahuan jalak bali (X11). Hasil analisis regresi linier berganda dengan menggunakan metode stepwise (Tabel 5), mendapatkan bahwa peubah sosial masyarakat yang paling berpengaruh terhadap kelahiran burung yaitu pengetahuan responden mengenai ekologi dan teknik penangkaran jalak bali. Persamaan regresi yang dihasilkan adalah : Y1 = -0.097 +0.024 X11.

Tabel 5 Hasil analisis regresi linier berganda pada model kelahiran burung

Peubah (X) B Beta t sig.

Collinearity Statistics tolerance VIF (Constant) -0.097 -0.241 0.022 Pengetahuan jalak bali (X11) 0.024 0.714 5.936 0.000 1.000 1.000 Uji t pada persamaan regresi tersebut menghasilkan nilai t hitung sebesar 5.396 dan signifikansi sebesar 0.000 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier yang positif antara peubah pengetahuan jalak bali (X11) dengan peubah kelahiran burung (Y1). Berbeda halnya dengan peubah sosial masyarakat lainnya yaitu pengetahuan lokal, modal dan lama menangkar yang memiliki nilai signifikansi > 0.05 yang berarti tidak terdapat hubungan linier antara peubah-peubah tersebut dengan peubah-peubah kelahiran burung (Y1). Hasil Uji f pada persamaan regresi menghasilkan nilai f hitung sebesar 29.115 dan nilai signifikansi sebesar 0.000 yang menunjukkan bahwa peubah kelahiran burung (Y1) memiliki hubungan linier minimal dengan satu peubah sosial masyarakat.

Hubungan yang positif antara peubah kelahiran burung dengan peubah pengetahuan mengindikasikan bahwa pengetahuan penangkar yang semakin meningkat akan meningkatkan keberhasilan penangkarannya. Pengetahuan mempengaruhi seseorang dalam bersikap. Sujarwo (2008) menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap suatu obyek, besar kemungkinan mempunyai niat untuk bertindak positif juga terhadap obyek tersebut, dan timbulnya sikap positif tersebut didasari oleh adanya pemikiran dan pengetahuan terhadap obyek tersebut. Harihanto (2001) juga menyatakan bahwa tindakan individu sangat dipengaruhi oleh sikap maupun pengetahuannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek sangat dipengaruhi oleh pengalaman atau pengetahuannya. Pengetahuan yang tinggi mengenai jalak bali dapat menunjang penangkar dalam melakukan kegiatan penangkaran jalak bali, sehingga akan mendukung keberhasilan penangkaran yang dilakukan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Siswiyanti (2006) bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang maka akan semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam suatu kegiatan karena semakin tinggi pengetahuan akan manfaat yang diterimanya.

Desa Sumberklampok merupakan salah satu habitat alami jalak bali dan merupakan desa enclave TNBB sehingga masyarakat sering terlibat dalam kegiatan pelestarian jalak bali oleh TNBB yang salah satunya dilakukan melalui kegiatan penyuluhan. Keterlibatan masyarakat tersebut akan meningkatkan pengetahuan mereka mengenai jalak bali. Sujarwo (2008) menyatakan bahwa

pengetahuan didapatkan melalui proses belajar, pengalaman atau media elektronika yang kemudian disimpan dalam memori individu. Pengetahuan

mengenai jalak bali juga didapatkan melalui kelompok penangkar “Manuk Jegeg”

melalui kegiatan berbagi pengetahuan mengenai teknik penangkaran maupun tentang ekologi jalak bali.

Hasil uji t dan uji f memberikan cukup bukti bahwa terdapat hubungan yang linier antara peubah kelahiran burung dengan peubah pengetahuan jalak bali. Model regresi yang dihasilkan tidak melanggar asumsi klasik regresi linier berganda, sehingga model yang dihasilkan dapat digunakan dalam menduga kelahiran burung. Namun demikian, persamaan regresi yang dihasilkan dinilai belum cukup valid untuk digunakan sebagai model penduga peubah kelahiran burung terhadap pengetahuan jalak bali. Hal ini disebabkan nilai adjusted R

square yang dihasilkan model sebesar 49.20%, yang artinya hanya 49.20% peubah kelahiran burung yang dapat dijelaskan oleh peubah pengetahuan jalak bali, sedangkan 50.80% dijelaskan oleh peubah lain yang tidak masuk dalam lingkup penelitian ini.

Hasil pengujian terhadap model disajikan sebagai berikut: 1. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas didasarkan pada nilai VIF yang terdapat pada model yang telah diregresikan. Nilai VIF yang kurang dari sepuluh (VIF < 10) menunjukkan tidak terjadi masalah multikolinearitas. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat masalah multikolinearitas karena semua variabel VIF kurang dari sepuluh (VIF < 10) (Lampiran 3).

2. Uji Heteroskedastisitas

Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED, dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual yang telah di-studentized (Ghozali 2006). Hasil menunjukkan bahwa grafik

scatterplot tidak membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), tidak ada pola yang jelas dan titik-titik menyebar maka dapat disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas (Lampiran 3).

3. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi didasarkan pada uji Durbin-Watson (DW). Nilai DW antara 1.55 dan 2.46 menunjukkan tidak ada autokorelasi (Firdaus, 2004). Hasil pengolahan data mendapatkan nilai DW sebesar 2.372. Dapat disimpulkan tidak terjadi masalah autokorelasi dalam model regresi. Nilai DW dalam model ditunjukkan dalam Lampiran 3.

4. Uji Normalitas

Uji normalitas berdasarkan pada uji Kolmogorov-Smirnov dengan taraf nyata alpha sebesar 5 persen. Pada lampiran 3 dapat dilihat nilai Asymp. Sig. (2-tailed) lebih besar dari alpha 0.05 (lima persen), maka asumsi residual menyebar normal terpenuhi (Lampiran 3).

Kelahiran burung juga dipengaruhi faktor ekologi seperti umur indukan dan lokasi penangkaran. Umur indukan jalak bali yang dimiliki para penangkar bervariasi antara 4-8 tahun. Sebanyak 35.71% penangkar memiliki indukan yang tidak diketahui umurnya, dan 14.29% penangkar memiliki indukan berumur 8 tahun, dimana menurut Herawati (2013) umur tersebut dapat dikatakan sudah tidak sesuai (dianggap sudah tua) untuk kegiatan penangkaran. Hal ini dibuktikan

dengan adanya penurunan produktivitas burung saat umur indukan memasuki tahun ke-delapan. Mas’ud (2010) menyatakan bahwa prioritas umur burung untuk ditangkarkan yaitu sekitar 3-8 tahun karena memiliki tingkat produktivitas yang tinggi, namun demikian induk dengan usia muda lebih baik karena kemungkinan stres dengan sifat liarnya relatif kecil.

Letak kandang penangkar yang berdekatan dengan sumber kebisingan juga

Dokumen terkait