• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Perusahaan

UD Hijau Daun adalah salah satu industri yang bergerak dalam bidang ekspor tepung ikan ke Jepang. Tepung ikan yang diekspor berasal dari tulang Tuna, Tongkol, Cakalang maupun ikan runcah. UD Hijau Daun berada di daerah Gedangan, Sidoarjo Jawa Timur. Industri ini memproduksi tepung ikan, tepung kepiting dan pupuk dari kotoran kelelawar. Pemasok UD Hijau Daun terdiri atas industri pengalengan ikan dan tempat pelelangan ikan (TPI) yang tersebar di pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Hingga saat ini terdapat 6 pemasok yang memasok tulang ikan ke UD Hijau Daun. Saat ini negara tujuan ekspor tepung ikan hanya ke Jepang saja. Tepung ikan ini dijadikan pupuk dan pakan oleh Jepang.

Proses Produksi Tepung Ikan dan Penetapan Critical Control Poin (CCP)

Tepung ikan adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan. Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asam-asam amino esensial yang kompleks dan mineral (Ca dan P, vitamin B12). Tepung ikan yang baik mempunyai kandungan protein kasar 58-68%, air 5.5-8.5%, serta garam 0.5-3.0%. Kandungan protein atau asam amino tepung ikan dipengaruhi oleh bahan ikan yang digunakan serta proses pembuatannya. Pemanasan yang berlebihan akan menghasilkan tepung ikan yang berwarna

12

cokelat dan kadar protein atau asam aminonya cenderung menurun atau menjadi rusak (Marzuki 2008).

Berdasarkan keputusan tim HACCP di UD Hijau Daun maka ditetapkan titik kontrol kritis berada pada area penerimaan bahan baku, sortir dan pelabelan. Penerimaan bahan baku ditetapkan sebagai area titik kontrol kritis karena bahan baku yang tercampur dengan tulang non ikan dapat langsung dikembalikan ke pemasok. Area sortir ditetapkan sebagai titik kontrol kritis karena sortir dilakukan 100% sehingga diketahui kontaminasi tulang ikan. Area label ditetapkan sebagai titik kontrol kritis karena saat terjadi penolakan tepung ikan maka yang menjadi poin utama penarikan ialah melihat kode tepung ikan pada label di kemasan.

Penentuan Nilai Kritis dengan FMECA (Failure Modes and Effects Criticaly Analysis)

Metode FMECA dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu (1) Analisis awal, dikenal sebagai FMEA (Failure Modes and Effect Analysis), yaitu mengidentifikasi penyebab-penyebab terjadinya kegagalan. (2) CA (Criticality Analysis), untuk menilai resiko kegagalan, serta menentukan peluang kejadian dan tingkat kepelikan, berdasarkan pada masing-masing titik kegagalan yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya. Evaluasi terhadap titik kegagalan dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yang berbeda yaitu Criticality Number (CN) atau mengembangkan Risk Priority Number (RPN) (Bertolini et al.

2006; Braglia, 2000).

Metode FMECA dapat digunakan jika sejarah data dan data statistik tidak tersedia di perusahaan. Pengaplikasian metode ini memerlukan perhatian khusus ketika menggunakan pendapat seseorang sehingga perlu dicegah subjektifitas hasil analisis (Fiorenzo and Marizio 2001).

Metode FMECA memiliki dua jenis pendekatan utama yang dapat digunakan yaitu hardware approach dan functional approach (Eka 2009).

Penelitian ini menggunakan pendekatan Hardware approach. Hardware appraoch umumnya digunakan ketika komponen-komponen mesin dapat diidentifikasikan secara unik dengan menggunakan bagan (alur proses), gambaran secara umum, dan desain data mesin lainnya. Hardware approach juga disebut

bottom-up approach digunakan untuk mengidentifikasi kegagalan pada setiap tahapan proses berdasarkan klasifikasi tingkat kepelikan yang nantinya digunakan untuk menetapkan prioritas saat melakukan tindakan koreksi (Kenchakkanavar 2011). functional approach umumnya digunakan ketika komponen-komponen mesin tidak dapat diidentifikasikan secara unik atau ketika kompleksitas sistem membutuhkan analisis dari awal dan dilakukan mengarah ke bawah. functional approach digunakan untuk menganalisis akibat-akibat yang ditimbulkan hanya pada sistem-sistem utama yang ada (US Military Standard 1983).

Menurut Yanti (2004), tahapan untuk membangun FMECA sebagai berikut:

 Membangun batasan penelitian.

13

 Melihat struktur proses

 Identifikasi kegagalan potensial pada masing-masing proses.

 Mempelajari penyebab kegagalan dari pengaruhnya.

 Pengurutan kegagalan proses menggunakan risk priority number (RPN)

 Mengklasifikasikan variabel proses

 Menentukan kendali proses sebagai metode untuk mendeteksi bentuk kegagalan atau penyebab.

 Identifikasi dan mengukur tindakan korektif.

 Analisis, dokumentasi dan memperbaiki FMECA.

Penentuan pendekatan FMEA harus ditetapkan di awal. Penentuan pendekatan penting untuk memudahkan peneliti melakukan analisis tahapan proses produksi. Pendekatan FMEA pada penelitian ini memiliki kelebihan menganalisis keterandalan sistem produksi baik keterandalan keseluruhan sistem atau per tahapan proses (Braglia 2000). Selain itu, penggunaan metode FMECA pada penelitian ini dikarenakan sejarah data dan data statistik tidak tersedia di perusahaan. Tahapan awal analisis FMECA dikenal sebagai FMEA yaitu mengidentifikasi kemungkinan penyebab terjadinya kegagalan (Bertolini et al. 2006; Braglia 2000). Analisis FMEA dibagi menjadi dua tahapan analisis yaitu analisis titik kegagalan sistem kemampuan telusur dan analisis efek titik-titik kegagalan sistem kemampuan telusur. Analisis efek terdiri dari dua macam yaitu analisis efek lokal dan analisis efek global.

Analisis Ragam atau Titik Kegagalan

Tahap pertama dari penelitian ini adalah analisis kegagalan yang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu penentuan fungsi ID, penentuan tahapan proses dan penentuan titik kegagalan serta penyebab terjadinya. Agar lebih sederhana maka pada penelitian ini tahapan penentuan proses dilakukan bersamaan dengan penentuan fungsi ID. Tahapan proses di UD Hijau daun telah ditetapkan oleh tim HACCP, berdasarkan urutan tahapan proses maka ditentukan fungsi ID satu persatu.

Setiap kegagalan sistem kemampuan telusur diberikode unik, misalkan pada tahapan pertama diberi fungsi ID = 1 dan seterusnya. Kode ini digunakan untuk menganalisis secara spesifik kemungkinan kegagalan yang dapat terjadi pada tahapan proses. Fungsi ID dimulai saat penerimaan bahan baku hingga saat

stuffing. Lebih jelasnya berikut dirinci tahapan proses berserta fungsi ID di UD Hijau Daun.

1. Pemilihan pemasok

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 1. Tahapan ini merupakan proses menentukan atau memilih pemasok yang layak untuk dijadikan rekan berdasarkan kelayakan sumberbahan baku yang di ambil, kelayakan proses di tempat pemasok dan kelayakan peralatan serta karakter pemasok dalam memproses bahan baku yang di jual ke produsen. Pemilihan pemasok terdiri dari beberapa kegiatan yaitu (1) memeriksa secara langsung sumber bahan baku yang diambil oleh pemasok. (2) audit pemasok yaitu mengirim karyawan untuk memeriksa tempat proses dalam keadaan baik dan aman dari unggas dan mamalia, tingkat kekeringan bahan baku, kemasan sebagai tempat bahan baku

14

sebelum dikirim dan memastikan kemasan bersih dan baik, tempat penyimpanan sebelum dikirim aman dari mamalia dan unggas, transportasi bersih dan aman dari kemungkina tercemar unggas dan mamalia, karyawan ahli mengawal transportasi yang mengangkut bahan baku sampai di tempat tujuan. (3) membuat perjanjian dengan pemasok terkait tulang ikan yang dikirim meliputi kualitas tulang ikan, jumlah pengiriman, transportasi dan jadwal pengiriman.

2. Penerimaan Bahan Baku

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 2. Penerimaan bahan baku yaitu proses memeriksa bahan baku dan memastikan apakah bahan baku yang diterima sesuai dengan kesepakatan baik jenis, jumlah dan kualitasnya. Tahap ini juga diharapkan dapat mengidentifikasi kontaminasi bahan baku sehingga bisa segera ditentukan langkah pencegahannya.

3. Pengecekan

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 3. Pengecekan pada tahapan ini dilakukan secara manual. Pengecekan bahan baku terdiri dari beberapa tahapan yaitu (1) melakukan pemeriksaan dengan mengambil sampel sebanyak 20% dari total pengiriman bahan baku dan diperiksa apakah sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dengan pemasok. (2) memeriksa jenis bahan baku, kalau tidak sesuai dengan yang dipesan dilakukan negosiasi atau dikembalikan. (3) memeriksa apakah ada bahan yang tercampur dengan tulang non ikan, jika terdeteksi ada langsung dikembalikan. (4) memeriksa apakah ada benda asing seperti logam, batu kertas, plastik. Bila ada dicantumkan dalam formulir hasil pemeriksaan. (5) memeriksa kadar air, bila kadar air tidak sesuai dengan kesepakatan dilakukan negosiasi ulang dengan pemasok mengenai harga dan pembayaran, kemudian dilakukan pengeringan sampai standar yang ditentukan. (6) melakukan penimbangan, untuk mengetahui tonase barang yang dikirim pemasok.

4. Penjemuran

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 4. Penjemuran merupakan proses yang dilakukan apabila tulang ikan yang dikirim pemasok tidak memenuhi standar kadar air dari UD Hijau Daun. Penjemuran dilakukan secara manual dengan memanfaatkan sinar matahari dan lokasi penjemuran jauh dari pemukiman penduduk sehingga mengurangi kemungkinan kontaminasi mamalia dan aves. 5. Pensortiran bahan baku

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 5. Pensortiran bahan baku yaitu proses memilah antara tulang ikan dengan kontaminasi lain dengan tujuan memastikan benda selain ikan dari bahan baku seperti sampah plastik, karet, tali, kertas dan logam. Tulang ikan yang telah melewati tahapan ini dimasukkan ke dalam karung bersih yang sudah disiapkan dan benda asing disisihkan dan dimasukkan ke dalam sarung khusus sampah dan langsung dibuang hari itu juga.

6. Penyimpanan Bahan Baku

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 6. Penyimpanan bahan baku merupakan tahapan idle saat tulang ikan telah melewati tahap sortir dan menunggu proses selanjutnya.

15 7. Pencampuran

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 7. Pencampuran merupakan tahapan mencampur tulang ikan Tuna dengan Tongkol atau jenis lain untuk memenuhi kadar protein yang ditentukan pembeli

8. Penggilingan

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 8. Penggilingan merupakan proses menyamakan ukuran bahan yang sudah dicampur agar menghasilkan produk jadi dengan ukuran yang sesuai dengan spesifikasi produk yang sudah ditentukan. Terdapat beberapa poin penting saat penggilingan yaitu pengecekan kebersihan mesin giling dan lubang saringan serta pemasangan magnet untuk menghindari logam.

9. Pengemasan

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 9. Pengemasan dilakukan untuk menghindari kontaminasi tepung ikan yang telah selesai diproduksi dan diketahui identitasnya dengan melihat kemasan.

10.Penimbangan

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 10. Penimbangan yaitu kegiatan menyamakan timbangan per karung dengan timbangan sesuai dengan yang ditentukan oleh pembeli. Setelah selesai penimbangan tepung ikan di simpan dalam gudang

11.Pelabelan

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 11. Pelabelan merupakan kegiatan memberi tanda untuk setiap produk sesuai dengan ketentuan agar kemasan memiliki identitas.

12.Penyimpanan finish good

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 12. Penyimpanan finish good

merupakan menyimpan bahan jadi di tempat yang aman. Ruang penyimpanan memiliki beberapa kriteria yaitu tempat penyimpanan tidak digunakan untuk menyimpan bahan lain selain ikan, tempat penyimpanan bersih dan kering dan berventilasi yang cukup, dilengkapi dengan palet kayu, dilakukan penyemprotan serangga setiap dua minggu sekali.

13.Pengecekan (sampling dan test DNA)

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 13. Tahapan ini dilakukan oleh pihak ketiga yaitu Balai Karantina Surabaya yang bertujuan untuk memastikan tepung ikan yang siap dikirim tidak terkontaminasi DNA mamalia dan aves melalui test DNA. Sample yang diambil mewakili seluruh batch yang dikirim. 14.Pengangkutan

Tahapan ini diberikan nomor fungsi ID 14. Tahapan ini yaitu memasukkan produk ke dalam kontainer dengan cara yang aman. Saat dilakukan pengangkutan akan di saksikan oleh pihak ketiga yaitu perwakilan dari balai karantina kemudian dilakukan pengisian form checklist pengangkutan.

Setiap tahapan proses yang dijadikan fungsi ID dianggap berpotensi menjadi titik kegagalan. Agar lebih jelas maka fungsi ID disajikan dalam Gambar 2 berikut.

16

Gambar 2 Tahapan penentuan fungsi ID dalam produksi tepung ikan

Pengangkutan

Pengecekan (Sampling dan test DNA) Penyimpanan Finish Good

Pelabelan Penimbangan Pengemasan

Penggilingan Pencampuran Penyimpanan bahan baku

Selesai Label

Sample/batch

Tepung ikan bebas kontaminasi

Pensortiran bahan baku Bahan pengotor Tepung ikan kering

Tepung ikan Mulai

Pemilihan Pemasok Penerimaan Bahan Baku Alternatif

Pemasok

Penjemuran

Pengecekan Sample tepung ikan Air

17 Critical Analysis (CA)

Setelah dilakukan tahap pertama, maka peneliti merangkum kemungkinan kegagalan-kegagalan yang dapat terjadi serta kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi di dalam perusahaan dalam bentuk kuesioner. Kegagalan tersebut dapat disebut sebagi titik kritis. Pakar melakukan evaluasi titik kritis dan menentukan nilai titik kritis. Evaluasi titik kritis dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu

Criticality Number (CN) dan pengembangan Risk Priority Number (RPN) (Bertollini et al. 2006). Penelitian ini melakukan titik kritis dengan pendekatan pengembangan RPN. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan acuan RPN pada SAE J1739.RPN adalah metode yang dikembangkan dengan menganalisis tingkat kepelikan.

Penelitian ini menggunakan pakar untuk mengisi kuesioner. Pakar adalah orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju dalam menjawab kuesioner (Marimin 2004). Peneliti menentukan tiga pakar untuk pengisian kuesioner yaitu pemilik UD Hijau Daun, Balai karantina Surabaya dan dosen dari Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Pemilihan pakar ini berdasarkan pada pengetahuan tentang objek penelitian dan pengenalan pakar terhadap metode penelitian. Menurut Marimin (2004), Penetapan pakar atau ahli terkait didasarkan atas pertimbangan dan kriteria: (1) keberadaan responden, keterjangkauan dan kesediaan untuk diwawancarai, (2) reputasi, kedudukan, dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar, dan (3) pengalaman pribadi yang menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memberikaan saran yang benar dan membantu memecahkan masalah. Seorang pakar dalam menyelesaikan suatu persoalan mempunyai tiga karakteristik, yaitu: efektif, efisien dan sadar keterbatasan. Metode utama yang digunakan dalam menyerap pengetahuan dari seorang ahli adalah melalui wawancara secara langsung dan mendalam

Untuk memudahkan pakar menilai titik kritis maka penyusunan pertanyaan harus semudah mungkin untuk dipahami. Setiap pertanyaan yang diajukan berisi pertanyaan-pertanyaan yang sudah diamati penelitian di perusahaan mengenai kemungkinan-kemungkinan kegagalan. Tipe dan bentuk pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka artinya jawaban yang diberikan bersifat bebas sehingga pada saat wawancara pakar dapat memberikan masukan. Pakar kemudian menentukan nilai

severity, occurance dan detection. Nilai kepelikan dapat dilihat pada Tabel 2, nilai peluang dapat dilihat pada Tabel 3 dan nilai detection dapat dilihat pada Tabel 4. Ketiga faktor tersebut dikalikan dan masing-masing faktor memiliki ranking yang berkisar antara 1 hingga 10.

Setelah pakar menentukan nilai severity, occurance dan detection, maka peneliti menentukan nilai RPN dengan cara mengalikan severity, occurance dan

detection. Sebagai contoh, pada Lampiran 1 untuk Failure ID 1 pakar menentukan nilai severity 10, nilai occurance 1 dan nilai detection 1. Maka didapat nilai RPN 10. Lebih jelasnya penilaian pakar dan hasil RPN dapat dilihat pada Lampiran 2.

Ketiga pakar yang dipilih telah menentukan penilaiannya dan didapat nilai RPN yang berbeda. RPN dari pakar 1 (balai karantina) sebesar 4319,25. RPN dari pakar 2 (dosen) sebesar 5726. RPN dari pakar 3 (industri) sebesar 568. Nilai RPN berfungsi untuk menentukan tingkat resiko kemampuan telusur yang ada di industri tersebut. Nilai RPN yang lebih tinggi diasumsikan memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai RPN yang lebih rendah (Bowles 2004;

18

Kwai-Sang et al. 2009). Hal ini berarti di beberapa poin balai karantina menilai kemampuan telusur UD Hijau Daun lebih berpotensi gagal dibanding dengan penilaian oleh pemilik UD Hijau Daun. Perbedaan pendapat ini dikarenakan sudut pandang menilai objek berbeda dan perbedaan latar belakang.

Setelah diketahui nilai RPN maka dilanjutkan dengan penentuan posisi di matriks kritikal. Penentuan posisi dilakukan dengan cara mengubah nilai severity

dan occurance. Nilai severity diklasifikasikan menjadi tingkat kepelikan berdarkan Tabel 1. Demikian juga nilai occurance diklasifikasikan menjadi peluang terjadinya berdasarkan Tabel 1. Sebagai contoh pada Lampiran 1, failure

1.10 nilai severity adalah 10. Nilai 10 ini berdasarkan Tabel 2 masuk pada level

catastrophic. Level catastrophic di Tabel 1 masuk pada tingkat kepelikan I. Nilai

occurance yang diisi oleh pakar adalah 1. Nilai ini bila dilihat pada Tabel 3 memiliki arti peluang terjadinya extremely rare. Extremely rare bila dilihat pada Tabel 1 berarti peluang terjadinya pada level E, sehingga posisi failure 1.10 pada matrik kritikal adalah IE atau berada di area putih (accaptable with revision).

Pengisian nilai severity dan occurace yang berbeda mengakibatkan posisi

failure ID ketiga pakar di matrik kritikal juga berbeda. Perbedaan paling nyata di matrik kritikal pada area unacceptable. Pakar yang mewakili instansi Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya menentukan area kritis unacceptable pada 1.10 (tidak ada pencatatan surat perjanjian jual beli bahan baku), 1.20 (tidak dilakukan pencatatan hasil audit pemasok), 2.10 (Tidak dilakukan dokumentasi kode pemasok, tanggal datang dan karyawan penerima bahan baku oleh karyawan), 2.50 (tidak ada certificate of analysis (CoA) dari pemasok), 3.10 (Tidak ada dokumentasi hasil pengecekan oleh kualiti kontrol), 3.20 (Tidak ada label kualiti kontrol pada kemasan yang telah di lakukan pemeriksaan), 4.10 (Tidak ada dokumentasi hasil jemur), 4.30 (Tidak ada pelabelan keterangan pada kemasan yang telah dilakukan penjemuran), 6.10 (Tidak ada label FIFO pada kemasan bahan baku), 6.20 (salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO), 6.30 (tidak ada dokumentasi monitoring selama penyimpanan), 7.10 (tidak ada dokumentasi karyawan yang melakukan pencampuran dan tanggal dilakukan pencampuran), 8.10 (tidak ada dokumentasi karyawan yang melakukan pencampuran dan tanggal dilakukan pencampuran), 8.20 (tidak dilakukan dokumentasi karyawan yang melakukan proses pengilingn dan tanggal dilakukan proses penggilingan), 9.10 (tidak ada pelabelan kode produksi, kode karyawan, kode mesin pada kemasan), 9.20 (tidak dilakukan penandaan FIFO pada kemasan), 11.10 (tidak diberikan label), 12.10 (tidak dilakukan pencatatan monitoring selama penyimpanan finish goods), 12.20 (tidak ada kontrol ruangan penyimpanan), 13.10 (tidak dilakukan dokumentasi hasil samping dan test DNA), 14.20 (tidak melampirkan CoA finish goods), 14.30 (tidak melampirkan surat jalan) dan 14.40 (ketidakcocokan antara label kemasan dengan isi kemasan).

Pakar yang mewakili Universitas menilai RPN 5726 dengan area kritis

unacceptable pada 3.10 (tidak ada dokumentasi hasil pengecekan oleh kualiti kontrol), 4.10 (tidak ada dokumentasi hasil jemur), 4.20 (tidak dilakukan pencatatan hasil penimbangan setelah bahan baku dijemur), 4.30 (tidak ada pelabelan keterangan pada kemasan yang telah dilakukan penjemuran), 5.20 (tidak dilakukan dokumentasi tanggal sortir dan karyawan yang melakukan sortir), 5.30(tidak ada label penandaan telah disortir), 6.10 (tidak ada label FIFO pada

19 kemasan bahan baku), 6.20 (salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO), 6.30 (tidak ada dokumentasi monitoring selama penyimpanan), 9.20 (tidak dilakukan penandaan FIFO pada kemasan), 12.20 (tidak dilakukan pencatatan monitoring selama penyimpanan finish goods), 13.10 (tidak dilakukan dokumentasi hasil samping dan test DNA).

Pakar yang mewakili industri menilai RPN 568 dengan area kritis

unacceptable pada 6.20 (salah pengambilan bahan baku sehingga bahan baku tidak FIFO), 2.40 (tidak ada no lot atau kode produksi pada kemasan dari

pemasok), 2.50 (tidak ada certificate of analysis dari pemasok), area kritis

undesirable pada 2.30 (tidak ada surat jalan) dan 6.10 (tidak ada label FIFO pada kemasan bahan baku). Berdasarkan ketiga pakar tersebut terdapat kesamaan dalam area unacceptable yaitu point 6.20.

Sama halnya dengan perbedaan nilai RPN, perbedaan posisi di matriks kritikal juga dikarenan beda sudut pandang terhadap objek dan latar belakang pakar. Namun sebagai contoh, diambil matriks kritikal mewakili industri. Lampiran 2 dapat dilihat critical level yang di posisikan pada matiks kritikal. Lebih lengkapnya matriks kritikal dapat dilihat di Gambar 3.

20

Analisis Efek Titik-Titik Kegagalan Sistem Kemampuan Telusur

Area kritis yang berpotensi merusak kemampuan telusur kemudian dilakukan analisa efek. Analisis efek dibagi menjadi efek lokal dan global. Analisis efek berfungsi mengetahui sejauh mana area kritis dapat merusak kemampuan telusur. Efek lokal mempunyai makna area kritis merusak kemampuan telusur dalam jangka pendek saat tepung ikan masih berada di pabrik. Efek global berarti area kritis merusak kemampuan telusur jangka panjang setelah tepung ikan sampai di pembeli. Sebagai contoh, pada Lampiran 4 failure ID 1.10 untuk tahapan proses pemilihan suplier, kemungkinan kegagalan ialah tidak ada pencatatan surat perjanjian jual beli bahan baku. Analisa efek lokal yaitu kesulitan komplain apabila ada ketidaksesuaian dengan perjanjian, sedangkan efek global yaitu tidak ada informasi mengenai perjanjian awal. Lebih rinci efek lokal dan global dari area kritis dapat dilihat pada Lampiran 4.

Keuntungan penggunaan metode FMECA adalah metode ini merupakan alat yang mudah dimengerti dan digunakan. Metode ini mudah dioperasikan serta efektif untuk mengidentifikasi dan menilai bagaimana potensi terjadinya kegagalan dapat mempengaruhi kinerja proses atau produk (Braglia 2000). Keuntungan penggunaan metode FMECA adalah hemat biaya dan hemat waktu (US Military Standard 1983).

Upaya perbaikan efek lokal dan global dilakukan setelah tahap analisa. Perbaikan lokal dan global telah diajukan seperti pada Lampiran 4. Sebagai upaya perbaikan menyeluruh maka dibuat model kemampuan telusur dengan penekanan di area kritis. Model kemampuan telusur UD Hijau Daun dilakukan dengan bantuan BPMN. Area kritis yang telah diperbaiki dimodelkan agar kemampuan telusur memiliki struktur aliran data yang lebih terperinci.

Model Bisnis Proses Kemampuan Telusur

Menurut Mahendrawathi (2014), BPMN (Business Process Modelling Notation) adalah standar baru untuk memodelkan proses bisnis. BPMN terdiri dari 1 diagram: Business Process Diagram (BPD). BPMN dirancang agar mudah digunakan dan dipahami dan memiliki kemampuan untuk memodelkan proses bisnis yang kompleks. BPMN terkait dengan mengelola perubahan untuk meningkatkan proses bisnis.

Model bisnis proses kemampuan telusur diawali saat suplier mengirimkan

sample ke UD Hijau Daun dan berakhir saat stuffing. Model bisnis ini memiliki lima stakeholder yaitu, pemasok tuna, pemasok, kontrol mutu, produksi dan pemasok tongkol. Kontrol mutu tongkol dapat digantikan oleh pemasok lain apabila suatu saat pemasok tersebut tidak dapat memenuhi permintaan UD Hijau Daun. Aliran pesan terdapat saat pemasok mengirim sample untuk diperiksa oleh kontrol mutu, pesan kedua saat sampel telah sesuai standar kemudian dikirim pesan ke pemasok untuk melakukan pembelian. Pesan ketiga saat telah dilakukan pengiriman maka dikirim pesan kembali ke kontrol mutu untuk mengecek penerimaan.

21 Pengambilan keputusan saat QC memeriksa sampel, pengecekan kadar air setelah penjemuran, pengecekan kadar N dan P, yang terakhir saat pengecekan kadar protein. Form yang dibutuhkan d yaitu form incoming, form sortir, form

pencampuran, form penggilingan dan form pengemasan. Lebih jelasnya Model bisnis kemampuan telusur dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Model bisnis kemampuan telusur fragmen supplier-produksi tahap

Dokumen terkait