• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pemurnian Crude Palm Oil (CPO)

Sebelum digunakan untuk membuat nanoemulsi, CPO dari PT Salim Ivomas Pratama dimurnikan terlebih dahulu. Tujuan dilakukan proses pemurnian ini adalah untuk mendapatkan fraksi cair (olein) yang akan digunakan untuk tahap penelitian ini. Disamping itu tahap ini juga dilakukan karena CPO yang berasal dari PT Salim Ivomas Pratama masih terdapat banyak pengotor. Umumnya proses pemurnian CPO meliputi tahap degumming, deasidifikasi, bleaching, deodorisasi, dan fraksinasi (Kusnandar 2010). Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan tahap degumming, deasidifikasi, dan fraksinasi. Proses bleaching dan deodorisasi dihilangkan dari tahap pemurnian karena tahap ini dapat merusak dan menghilangkan komponen karotenoid pada CPO.

Proses degumming bertujuan untuk memisahkan getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air, dan resin, tanpa mengurangi asam lemak bebas dalam minyak (Ketaren 2005). Proses degumming dilakukan dengan menambahkan asam fosfat 85% sebanyak 0.15% dari bobot CPO yang digunakan dengan diaduk perlahan-lahan (56 rpm) selama 15 menit (Mas’ud

2007; Widarta 2008). Dari proses degumming diperoleh minyak sawit yang berwarna merah, lebih homogen, dan tidak ada lagi endapan.

Tahap selanjutnya adalah deasidifikasi yang bertujuan untuk memisahkan asam lemak bebas dari CPO serta untuk menghilangkan senyawa fosfatida yang tidak larut air, mineral mikro, dan senyawa-senyawa hasil oksidasi yang tidak dapat dihilangkan melalui proses degumming (Ketaren 2005; Kusnandar 2010). Proses deasidifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH yang dilakukan pada suhu 59±2°C selama 25 menit (Widarta 2008). Proses deasidifikasi dilakukan dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun. Sabun yang terbentuk akan membantu pemisahan kotoran dengan cara membentuk emulsi. Sabun dan emulsi dipisahkan dengan sentrifugasi menggunakan spinner. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan tinggi untuk pemisahan fase berat dan ringan berdasarkan densitas (Ketaren 2005). Berikutnya dilakukan pencucian dengan air hangat dan disentrifugasi kembali sehingga diperoleh cairan minyak yang berwarna merah.

Setelah proses deasidifikasi kemudian dilakukan proses fraksinasi yang bertujuan untuk memisahkan fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin). Asmaranala (2010) melakukan proses fraksinasi membran filter press. Kondisi proses fraksinasi yang digunakan yaitu mula-mula dilakukan pemanasan dalam tangki kristalisasi hingga suhu 75oC selama 15 menit dengan kecepatan agitasi 30 rpm. Kemudian suhu diturunkan hingga 35oC dan dipertahankan selama 3 jam dengan kecepatan agitasi 8 rpm. Selanjutnya pendinginan hingga suhu 15oC dan dipertahankan selama 6 jam dengan kecepatan agitasi 8 rpm. Terakhir tahap separasi dilakukan menggunakan membran filter press. Fraksi cair (olein) akan mengalir melalui pipa sedangkan fraksi padat (stearin) akan tertahan pada membran filter. Diagram alir tahap pemurnian dapat dilihat pada lampiran 1.

Karakterisasi sifat kimia bahan baku CPO dan produk olein hasil pemurnian bertujuan untuk melihat tingkat keberhasilan dari proses pemurnian yang

17 dilakukan. Adapun karakterisasi sifat kimia yang dilakukan meliputi kadar asam lemak bebas, kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar kabrohidrat, bilangan iod, bilangan peroksida, dan kadar -karoten. Hasil pemurnian bahan baku CPO dan olein dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa karakteristik fraksi olein yang akan digunakan pada penelitian ini telah memenuhi standar kualitas yang diharapkan yaitu memiliki kadar air dan pengotor maksimal 0.5%, kadar asam lemak bebas maksimal 5%, bilangan peroksida diantara 1-5 mg/g equivalen O2, bilangan iod diantara 50-55 gI2/100 g minyak.

Keberhasilan suatu proses pemurnian CPO dinilai berdasarkan penurunan kadar asam lemak bebas (ALB) pada bahan tersebut hingga di bawah 5%. Keberadaan asam lemak bebas dapat menjadi indikator awal penyebab kerusakan CPO akibat proses hidrolisis. Kenaikan asam lemak bebas dapat mempermudah oksidasi berantai yang membentuk senyawa peroksida, aldehida, dan keton yang menyebabkan bau tengik dan pencoklatan minyak sehingga komponen ini harus dihilangkan. Proses pemurnian yang dilakukan berhasil menurunkan kadar asam lemak bebas bahan baku CPO dan produk olein hasil pemurnian dari 4.7% menjadi 0.4%. Dengan demikian dapat dikatan proses pemurnian yang dilakukan efektif untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dalam CPO. Angka tersebut sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia tentang minyak kelapa sawit (SNI 01-2901-2006) yaitu memiliki kadar asam lemak bebas maksimum 5% (BSN 2006).

Hasil analisis proksimat menunjukkan karakteristik olein hasil dari proses pemurnian tidak mengandung abu dan karbohidrat meskipun masih terdapat komponen air dan protein namun dengan persentase yang relatif tetap dan sudah berada di bawah Standar Nasional Indonesia tentang minyak kelapa sawit (SNI 01-2901-2006) yaitu maksimum 0.5% (BSN 2006). Hal ini menunjukkan bahwa pengotor yang terdapat dalam CPO sebelum pemurnian dapat dipisahkan dengan baik.

Tabel 2 Karakteristik kimia bahan baku CPO dan produk olein hasil pemurnian Parameter CPO (sebelum proses pemurnian) Olein (setelah proses pemurnian) SNI 01-2901-2006

Kadar air (%) 0.27±0.07 0.25±0.03 Maks. 0.5

Kadar abu (%) 0.00±0.00 0.00±0.00 Maks. 0.5

Kadar protein (%) 0.33±0.00 0.15±0.00 Maks. 0.5

Kadar lemak (%) 99.71±0.11 99.84±0.09 -

Kadar karbohidrat (%) 0.00±0.00 0.00±0.00 Maks. 0.5 Kadar asam lemak

bebas (%) 4.70 0.4 Maks. 5.0 Bilangan peroksida (mg/g ekivalen O2) 1.1 1.5 1-5 Bilangan iod (gI2/100 g minyak) 52.8 51.7 50-55 Kadar -karoten (ppm) 705.44 671.29 -

18

Bilangan peroksida adalah salah satu indikator yang banyak digunakan untuk menentukan kualitas minyak. Keberadaan senyawa peroksida digunakan sebagai indikator terjadinya oksidasi pada minyak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya membentuk peroksida. Produk oksidasi primer minyak dan lemak adalah hidroperoksida dimana ketika senyawa tersebut mulai pecah akan menghasilkan senyawa off-flavour sehingga menurunkan kualitas dan stabilitas minyak (Scrimgeour 2005). Bilangan peroksida CPO sebelum proses pemurnian adalah 1.1 mg/g ekivalen O2 dan olein menjadi 1.5 mg/g ekivalen O2. Diduga peningkatan bilangan peroksida disebabkan karena adanya penyimpanan dan panas yang dihasilkan selama proses. Namun mengacu pada SNI minyak kelapa sawit (SNI 01-2901-2006) angka tersebut masih berada di dalam rentang batas yang disyaratkan yaitu 1-5 mg/g ekivalen O2 (BSN 2006).

Bilangan iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan asam lemak yang menyusun minyak, dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang digunakan untuk mengadisi ikatan rangkap yang terdapat dalam 100 gram minyak (Faridah et al. 2012). Semakin tinggi bilangan iod menunjukkan semakin banyak ikatan rangkap yang terdapat dalam minyak. Menurut Kusnandar (2010) semakin banyak jumlah ikatan rangkap menunjukkan minyak semakin mudah terdegradasi sehingga menurunkan stabilitasnya. Hasil analisis bilangan iod sebelum dan setelah proses pemurnian adalah 52.8 dan 51.71 (gI2/100 g minyak). Berdasarkan SNI 01-2901-2006 bilangan iod maksimum yang terdapat pada minyak sawit adalah 50-55 (gI2/100 g minyak), dengan demikian bilangan iod ini memenuhi standar (BSN 2006).

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa bahan baku utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah fraksi cair (olein) dari CPO karena karotenoid lebih banyak terkandung pada fraksi cair (olein) (680-760 ppm) dibandingkan fraksi padat (stearin) (380-540 ppm) (Lai et al. 2012). Penurunan angka -karoten sebelum proses pemurnian 705.44 ppm menjadi 671.29 ppm dapat disebabkan oleh panas yang dihasilkan selama proses pemurnian, serta adanya paparan oksigen dan cahaya. Selanjutnya fraksi olein yang diperoleh dari proses pemurnian akan diolah lebih lanjut menjadi larutan stok nanoemulsi.

Proses Pembuatan Nanoemulsi

Pembuatan nanoemulsi menggunakan fraksi olein sebagai bahan baku utamanya dan Tween 80 sebagai emulsifier. Formula yang digunakan mengacu pada formula dasar Marpaung (2014) yaitu dengan perbandingan fase terdispersi (olein) dan fase pendispersi (air) adalah 1:9 (b/b) dengan konsentrasi Tween 80 sebesar 30% (b/b) basis minyak. Pertimbangan pemilihan rasio fase terdispersi dan pendispersi tersebut dilatarbelakangi oleh penelitian Tan dan Nakajima (2005). Berkurangnya volume fase terdispersi diharapkan akan menghasilkan ukuran partikel emulsi yang lebih kecil sehingga semakin mempermudah emulsifier untuk menyalut secara sempurna partikel emulsi yang terbentuk sehingga diperoleh tingkat kestabilan yang lebih tinggi dan mencegah terjadinya koalesen.

Tween 80 dipilih sebagai emulsifier pada pembuatan nanoemulsi karena berdasarkan penelitian Marpaung (2014) dapat menghasilkan ukuran partikel sebesar 168.83 nm sedangkan Tween 20 sebesar 184.21 nm sehingga diharapkan

19 penggunaan Tween 80 dapat menghasilkan nanoemulsi yang lebih stabil. Perbedaan hasil yang diperoleh disebabkan oleh perbedaan nilai HLB (hydrophilic-lipophylic balance) Tween 20 dan Tween 80 secara berurutan 16.7 dan 15.0. Pada umumnya emulsifier yang mempunyai nilai HLB antara 8-18 akan membentuk emulsi minyak dalam air (o/w) (Muchtadi 1990). Emulsifier dengan nilai HLB lebih rendah memiliki sifat lebih larut pada komponen minyak. McClements (2005) menyatakan penggunaan emulsifier yang lebih larut pada komponen minyak dapat memfasilitasi pembentukan ukuran partikel yang lebih kecil.

Beberapa hal yang mempengaruhi sifat fisiko kimia dari suatu nanoemulsi selain jenis dan konsentrasi emulsifier adalah kondisi proses homogenisasi (tekanan, jumlah passing, dan suhu homogenisasi) (Yuan et al. 2008). Proses homogenisasi pada tahap penelitian ini dilakukan sebanyak dua tahap. McClements (2005) menyatakan bahwa proses homogenisasi tahap pertama dilakukan untuk membentuk emulsi awal dari dua cairan yang tidak saling bercampur (air dan minyak) sedangkan proses homogenisasi tahap kedua bertujuan untuk mengecilkan ukuran partikel dari emulsi yang terbentuk.

Pembuatan nanoemulsi diawali dengan melarutkan terlebih dahulu Tween 80 dalam air, menggunakan hand mixer dengan kecepatan maksimum hingga terbentuk cairan bening. Pada proses homogenisasi tahap pertama fraksi olein ditambahkan secara perlahan-lahan pada larutan Tween 80 sambil diaduk menggunakan ultra-turrax homogenizer dengan kecepatan 8000 rpm selama 10 menit sampai terbentuk emulsi yang berwarna kuning dengan viskositas sedang. Selanjutnya proses homogenisasi tahap kedua dilakukan dengan menggunakan high pressure homogenizer pada tekanan 300 Bar dengan tiga tingkatan passing (5, 7, dan 10). Passing yang dimaksud adalah jumlah pengumpanan ulang atau resirkulasi emulsi ke dalam high pressure homogenizer. Peningkatan passing sengaja divariasikan untuk memilih dari ketiga tingkatan passing dengan energi paling minimal untuk mendapatkan larutan nanoemulsi dengan ukuran partikel terkecil. Hasil pengukuran ukuran partikel nanoemulsi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Ukuran partikel nanoemulsi dan PDI pada tekanan 300 Bar dengan 5, 7, dan 10 passing

Jumlah Passing Ukuran Partikel d 50 (nm) Poly Dispersion Index (PDI)

5 190.97 ± 0.55 0.394 ± 0.045

7 217.47 ± 15.12 0.389 ± 0.009

10 220.67 ± 21.58 0.447 ± 0.055

Hasil pengukuran ukuran partikel nanoemulsi dengan particle size analyzer dinyatakan sebagai variabel d50 dan PDI. Nilai variabel d50 menunjukkan 50% volume emulsi yang terukur memiliki diameter ukuran partikel sebesar 190.97 hingga 220.67 nm. Nilai Poly Dispersion Index (PDI) menunjukkan nilai sebaran normal distribusi ukuran partikel atau dengan kata lain nilai PDI menggambarkan keseragaman ukuran partikel yang terukur dari suatu emulsi. Distribusi ukuran partikel yang ideal berkisar antara 0.09-0.40 (Mao et al. 2009). Nilai PDI yang

20

lebih besar dari 0.40 menunjukkan bahwa sampel memiliki distribusi ukuran partikel yang semakin luas sehingga menunjukkan semakin rendahnya keseragaman partikel yang terukur.

Gambar 4 Pengaruh jumlah passing terhadap ukuran partikel (d50)

Pada tiga tingkatan passing (5, 7, dan 10) nilai d50 secara berurutan yaitu 190.97, 217.47, dan 220.67 nm. Dari angka tersebut teramati ukuran partikel terkecil diperoleh pada homogenisasi tekanan 300 Bar dengan pengumpanan balik (passing) sebanyak 5 kali. Tan dan Nakajima (2005) menyatakan banyaknya passing dan faktor homogenisasi dapat mempengaruhi dispersi ukuran partikel nanoemulsi. Pada tekanan 1400 Bar rata-rata ukuran partikel akan menurun dengan meningkatnya jumlah passing. Kondisi ini bertolak belakang pada kasus homogenisasi yang diproses pada tekanan 300 Bar. Pada Tabel 3 diketahui bahwa semakin banyak jumlah passing tidak berdampak positif terhadap pengecilan ukuran partikel d50. Diduga hal tersebut disebabkan oleh panas yang ditimbulkan oleh gaya gesek dan tekanan tinggi selama proses homogenisasi berlangsung. Semakin banyak jumlah passing yang dilakukan akan semakin tinggi suhu yang dihasilkan. Adanya suhu yang berlebih dapat menurunkan efektivitas dari emulsifier (dalam kasus ini Tween 80) yang dapat menyebabkan koalesen dan agregasi pada nanoemulsi. McClements (2005) menyatakan bahwa emulsifier non ionik untuk tipe emulsi oil in water (o/w) memiliki sifat geometri molekuler yang rentan pada suhu tinggi. Pada saat terjadi peningkatan suhu, bagian hidrofilik dari molekul emulsifier ini akan menjadi semakin dehidrasi sehingga menyebabkan partikel emulsi rentan terhadap koalesen dan membuat ukuran partikel emulsi menjadi lebih besar.

Pada Tabel 3 terlihat bahwa nilai PDI yang terukur berkisar antara 0.394 hingga 0.447. Nilai PDI yang cukup besar ini dapat disebabkan karena jenis homogenizer yang digunakan untuk membuat nanoemulsi. Menurut McClements (2005) high pressure homogenizer merupakan jenis homogenizer yang menghasilkan nilai PDI yang cenderung lebih besar. Pada kasus ini nilai PDI mengalami sedikit penurunan pada jumlah passing 5 ke 7 namun mengalami peningkatan yang cukup tajam pada passing ke 10 (Gambar 5).

21

Gambar 5 Hubungan jumlah passing terhadap nilai Poly Dispersion Index (PDI) Menurut Qian et al. (2011) semakin banyak jumlah passing yang dilakukan pada homogenisasi dapat meningkatkan keseragaman ukuran partikel sehingga distribusi partikel akan semakin baik. Terjadinya peningkatan nilai PDI yang cukup tajam pada passing ke 10 diduga karena adanya suhu berlebih yang menyebabkan kerusakan pada struktur Tween 80 sehingga menurunkan efektivitasnya sebagai emulsifier. Hal ini menyebabkan terjadinya penggabungan partikel emulsi (koalesen) sehingga ukuran partikel menjadi lebih besar. Hal serupa terjadi pada penelitian Yuan et al. (2008) dimana penambahan jumlah passing diatas 4 kali pada tekanan 1000 Bar tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap distribusi ukuran partikel.

Gambar 6 Nanoemulsi yang diproses dengan HPH TWP 600 (GEA Niro Soavi, Italia) pada tekanan 300 Bar dengan 5 passing

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan jumlah passing diatas 5 kali tidak memberikan keuntungan dari sisi pengurangan ukuran partikel namun sebaliknya terjadi peningkatan ukuran partikel. Oleh sebab itu untuk tahap berikutnya pembuatan nanoemulsi minyak sawit yang diproses homogenisasi pada tekanan 300 Bar hanya menggunakan jumlah pengumpanan balik sebanyak 5 passing.

22

Proses Optimasi Formula Minuman Nanoemulsi dengan Mixture Design

Rancangan Formula dan Respon

Design Expert 7.0 merupakan piranti lunak (software) yang menyediakan rancangan percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi terhadap rancangan produk dan proses. Pada penelitian ini, piranti lunak Design Expert 7.0 digunakan sebagai alat utama untuk mendapatkan kombinasi optimal dari proporsi relatif masing-masing komponen formula (nanoemulsi, air, dan high fructose syrup). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixture design dengan model D-optimal design. D-optimal design dapat digunakan untuk dua hingga dua puluh empat komponen pada suatu formula, dimana masing-masing komponen dapat memiliki kisaran yang berbeda-beda dengan batas minimum dan maksimum yang telah ditetapkan. Rancangan ini digunakan di dalam penelitian untuk melihat pengaruh kombinasi komponen formula untuk memperoleh respon tertentu sehingga dapat diperoleh suatu formula yang optimal.

Batasan minimum dan maksimum dari masing-masing komponen formula dimasukkandalam tahap perancangan formula dalam program Design Expert 7.0 untuk mencari rancangan formula dari ketiga komponen yang dicampurkan. Total formula yang akan diukur variabel responnya satu per satu adalah sebanyak 16 formula. Rancangan formula yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4. Sebagai contoh pada formula 1 program Design Expert 7.0 akan memberikan kombinasi formula berupa nanoemulsi 10%, air 59%, dan HFS 30% untuk selanjutnya dari proporsi tersebut akan dibuat minuman secara real dan akan dianalisis secara laboratorium.

Tabel 4 Rancangan formula minuman nanoemulsi berdasarkan program Design Expert 7.0 Formula Run Komponen 1 A:Nano emulsi (%) Komponen 2 B:Air (%) Komponen 3 C:HFS (%) 1 4 10 59 30 2 1 2 67 30 3 3 10 71 18 4 6 1 88 10 5 9 8 81 10 6 8 5 73 20 7 10 10 65 24 8 2 1 81 17 9 14 8 76 15 10 13 1 72 26 11 7 4 83 12 12 5 2 67 30 13 11 5 73 20 14 16 10 59 30 15 12 1 88 10 16 15 8 81 10

23 Setelah dilakukan rancangan formula, kemudian dilakukan penentuan respon. Respon yang digunakan dalam penelitian ini adalah kestabilan emulsi, ukuran partikel, kadar -karoten, kecerahan warna (L), dan °Hue. Pemilihan respon tersebut didasarkan pada parameter mutu yang digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya terkait kualitas minuman emulsi. Respon-respon tersebut dipilih agar dapat diperoleh formula minuman dengan kualitas yang optimum.

Hasil pengukuran dan perhitungan masing-masing respon dari setiap formula minuman dimasukkan sebagai input data. Selanjutnya akan dilakukan tahap analisa secara statistik dari respon yang terukur. Pada bagian fit summary akan ditampilkan beberapa model polinomial. Model dengan p-value<0.05 adalah model yang dianggap signifikan sehingga menjadi model yang dipilih untuk tahap optimasi selanjutnya.

Tahap berikutnya adalah melakukan analisis ragam (ANOVA) untuk melihat signifikansi dari model yang telah dipilih. Model yang baik adalah model yang signifikan terhadap respon, memberikan lack of fit yang tidak signifikan, memiliki nilai adjusted R-squared dan predicted R-squared yang saling mendukung, serta memberikan nilai adequate presicion lebih dari 4. Nilai lack of fit yang tidak signifikan menunjukkan adanya keseuaian data respon dengan model. Sedangkan nilai adequate presicion menunjukkan besarnya sinyal terhadap noise ratio, sehingga nilai adequate presicion yang lebih besar dari 4 mengindikasikan sinyal yang memadai sehingga model yang direkomendasikan dapat menjadi pedoman. Model yang baik akan memberikan prediksi yang baik bagi rata-rata keluaran yang dihasilkan. Secara statistika kelima model yang dihasilkan sudah baik. Hasil analisis ragam (ANOVA) dapat dilihat pada Tabel 5. Tahap optimasi selanjutnya adalah membandingkan hasil pengukuran laboratorium dengan nilai prediksi. Pada bagian diagnostics dapat dilihat grafik kenormalan residual (normal plot residual) yang dihasilkan. Titik-titik data yang semakin mendekati garis kenormalan menunjukkan titik-titik data yang menyebar normal yang berarti hasil pengujian secara laboratorium mendekati hasil yang diprediksikan. Pada grafik kenormalan residual terdapat nilai internally studentized residual pada sumbu x, yaitu besarnya standar deviasi yang memisahkan nilai respon berdasarkan uji laboratorium dengan yang diprediksikan dan nilai normal % probability pada sumbu y yang menunjukkan persentase kemungkinan data hasil respon menyebar normal (Cornell 1999). Selanjutnya, akan diberikan grafik tiga dimensi (3-D) yang menunjukkan prediksi tren dari data yang dihasilkan.

24

Tabel 5 Hasil analisis ragam (ANOVA) tiap respon

Respon Kestabilan Emulsi Respon Ukuran Partikel d 50 Respon Kadar -karoten Respon Kecerahan Warna (L) Respon o Hue

Model Linier Linier Linier Linier

Special Cubic p-value (Prob>F) 0.0005 (significant) 0.0148 (significant) 0.0001 (significant) <0.0001 (significant) <0.0001 (significant) Lack of Fit 0.6501 (not significant) 0.9550 (not significant) 0.0663 (not significant) 0.6561 (not significant) 0.0535 (not significant) p-value (Prob>F) Adj R-Squared 0.6438 0.3965 0.7148 0.7733 0.9716 Pred R-Squared 0.5006 0.1034 0.6344 0.6885 0.9419 Adeq Precision 10.561 5.30 9.570 13.176 24.966

Optimasi Ukuran Partikel

Ukuran partikel emulsi merupakan salah satu faktor penting dalam pembuatan minuman nanoemulsi karena berkorelasi terhadap stabilitas emulsi. Ukuran partikel yang semakin kecil dapat menjadi penanda bahwa produk emulsi yang dihasilkan semakin stabil. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi ukuran partikel suatu emulsi antara lain tipe alat homogenisasi, kondisi pengoperasian alat homogenisasi (besar energi, jumlah passing, suhu, dan waktu), komposisi sampel (jenis lemak atau minyak yang ditambahkan dan konsentrasinya dalam produk), dan karakteristik bahan yang dicampurkan (Qian dan McClements 2011).

Ukuran partikel emulsi diukur dengan alat Particle Size Analyzer dengan metode Dynamic Light Scatter. Ukuran partikel diamati dengan melihat ukuran partikel rata-rata dan distribusi ukuran partikelnya. Ukuran partikel nanoemulsi diujikan secara laboratorium berdasarkan 16 formula yang dihasilkan oleh program Design Expert 7.0 yang dapat dilihat pada lampiran 2.

Hasil pengukuran ukuran partikel dinyatakan sebagai variabel d 50. Nilai variabel d50 menunjukkan sebesar 50% volume emulsi memiliki diameter ukuran partikel sebesar 43.60 hingga 190.70 nm. Nilai ukuran partikel terbesar yaitu 194.70 nm berasal dari formula 14 dengan konsentrasi nanoemulsi 10%, air 59%, dan HFS 30%. Sedangkan nilai ukuran partikel terkecil yaitu 43.60 nm berasal dari formula 5 dengan konsentrasi nanoemulsi 8%, air 81%, dan HFS 10%. Silva et al. (2012) menyatakan bahwa suatu sistem emulsi dapat dikategorikan sebagai nanoemulsi apabila struktur ukuran partikelnya berkisar antara 10-100 nm.

Ukuran partikel yang dihasilkan dipengaruhi oleh ketiga komponen yang digunakan pada range yang telah ditentukan. Ukuran partikel akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah konsentrasi nanoemulsi dan HFS, namun berbanding terbalik dengan jumlah air. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan tren dari grafik tiga dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 7.

Peningkatan jumlah nanoemulsi pada range 1-10% berbanding lurus dengan peningkatan ukuran partikel. Hal ini diduga adanya proses pasteurisasi yang melibatkan panas akan menurunkan kestabilan emulsi yang dihasilkan sehingga

25 berdampak pada perbesaran ukuran partikel emulsi. McClements (2004) mengatakan bahwa suhu berlebih selama proses dapat menurunkan efektivitas dari emulsifier dan menyebabkan terjadinya penggabungan droplet (koalesen) dan agregasi pada emulsi yang mengakibatkan ukuran partikel menjadi lebih besar. Peningkatan jumlah HFS pada range 10-30% juga akan meningkatkan ukuran partikel yang diduga sebagai akibat terbentuknya kristal-kristal gula dalam minuman.

Ukuran partikel berbanding terbalik dengan jumlah air yang ditambahkan. Peningkatan jumlah air pada range 59-88% akan menurunkan ukuran partikel yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian Tan dan Nakajima (2005) yang menyatakan bahwa ukuran partikel yang lebih kecil akan didapatkan dengan meningkatkan volume fase pendispersi. Menurut McClements (2005) hal ini disebabkan semakin rendahnya viskositas emulsi yang dihasilkan membuat semakin mudah proses untuk menghancurkan droplet. Disamping itu, semakin kecil ukuran partikel akan mempermudah emulsifier yang ada untuk melapisi dan melindungi semua partikel sehingga mencegah terjadinya penggabungan droplet emulsi atau disebut koalesen (McClements 2005).

Gambar 7 Grafik tiga dimensi (3-D) hasil uji ukuran partikel (d50)

Berdasarkan grafik tiga dimensi hasil uji respon ukuran partikel yang ditunjukkan pada Gambar 7, warna-warna yang berbeda pada grafik menunjukkan nilai respon ukuran partikel. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antar komponen formula. Ukuran partikel terendah ditunjukkan oleh area yang rendah dengan daerah berwarna biru sedangkan ukuran partikel tertinggi ditunjukkan oleh area yang tinggi dengan daerah yang berwarna hijau.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, model polinomial dari ukuran partikel yang direkomendasikan oleh program Design Expert 7.0 adalah linier. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada Tabel 5 menunjukkan bahwa model yang

direkomendasikan (linier) signifikan dengan nilai p ”prob>F” lebih kecil dari 0.05

(0.0148). Nilai lack of fit menunjukkan tidak signifikan dengan nilai p “prob>F”

lebih besar dari 0.05 (0.9550). Lack of fit yang tidak signifikan adalah syarat untuk model yang baik. Nilai lack of fit yang tidak signifikan tersebut menunjukkan adanya keseuaian data respon ukuran partikel dengan model.

Nilai predicted R-squared diperoleh nilai positif yaitu sebesar 0.1034 dengan nilai adjusted R-squared sebesar 0.3965. Nilai predicted R-squared yang

26

dihasilkan mendukung nilai adjusted R-squared yang dihasilkan. Nilai tersebut masih dapat diterima karena jarak antara kedua nilai tidak terlalu jauh dari 0.2. Nilai adequate precision untuk respon ukuran partikel adalah 5.30 yang

Dokumen terkait