• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Mikroalga

Kultivasi mikroalga dilakukan pada skala laboratorium menggunakan media Blue Green (BG) 11. Pola pertumbuhan mikroalga diketahui dengan melakukan pengukuran optical density (OD). Pertumbuhan organisme uniseluler

dapat diartikan sebagai pertambahan jumlah sel. Thanjo et al. (2002) menambahkan bahwa mikroalga merupakan organisme autotrof yang mampu membentuk senyawa organik melalui proses fotosintesis. Keberadaan cahaya menentukan bentuk kurva pertumbuhan bagi mikroalga yang melakukan fotosintesis. Pertumbuhan mikroalga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai OD 0,5. Mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113 mencapai OD 0,5 pada hari ke 43, Chlamydomonas sp. ICBB 9114 hari ke 54 dan Synechococcus

sp. ICBB 9111 pada hari ke 67.

Gambar 4 Pertumbuhan mikroalga pada media BG 11 (a) Synechococcus sp. ICBB 9111; (b) Chlamydomonas sp. ICBB 9113; (c) Chlamydomonas

sp. ICBB 9114.

Pertumbuhan yang lambat pada kultivasi menggunakan media BG 11 diduga disebabkan oleh penetrasi cahaya yang bersumber dari lampu 2000 lux. Hal ini menyebabkan proses fotosintesis tidak optimal. Intensitas cahaya yang dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroalga berbeda-beda. Mikroalga Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. menghasilkan komponen makromolekul yang tinggi pada intensitas cahaya > 3000 lux, sedangkan mikroalga Spirulina sp. dapat tumbuh dengan maksimal pada intensitas cahaya > 5400 lux dengan bantuan lampu TL (tube lamp) (Cheirslip dan Torpee 2012; Vonshak 1985) (Gambar 4).

y = 0,0191x + 0,0623 R² = 0,8578 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 5 10 15 20 25 OD

Pengamatan (hari ke-)

(a) y = 0,0222x + 0,0829 R² = 0,8418 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0 5 10 15 20 OD

Pengamatan (hari ke-)

(c) y = 0,035x + 0,026 R² = 0,908 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 5 10 15 20 OD

Pengamatan (hari ke-)

(b)

Mikroalga selanjutnya dikultivasi menggunakan media teknis dan dilakukan pada skala lapang. Media teknis yang digunakan untuk pertumbuhan mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111, mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113 pada media N2P2, sedangkan mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 dikultivasi pada media N3P3.

Gambar 5 Pertumbuhan mikroalga pada media teknis (a) Synechococcus sp. ICBB 9111 (N2P1); (b) Chlamydomonas sp. ICBB 9113 (N2P2); (c)

Chlamydomonas sp. ICBB 9114 (N3P3).

Kecepatan pertumbuhan mikroalga menggunakan media teknis pada setiap mikroalga berbeda-beda. Mikroalga Chlamydomonas sp ICBB 9113 dan

Chlamydomonas sp ICBB 9114 mencapai OD 0,5 selama 15 dan 19 hari, sedangkan pertumbuhan mikroalga Synechococcus sp ICBB 9111 mencapai OD 0,5 pada hari ke 27. Li et al. (2011) menjelaskan bahwa pertumbuhan dan akumulasi biomassa mikroalga meningkat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pH, CO2 dan intensitas cahaya selama pertumbuhan. Pertumbuhan mikroalga yang cepat pada skala lapang diduga disebabkan oleh intensitas cahaya matahari dan suhu. Intensitas cahaya matahari dan suhu amat dipengaruhi oleh keadaan iklim selama kultivasi. Suhu kultivasi ketiga mikroalga pada skala lapang berkisar 29-39oC. Reynolds (1990) menyatakan nilai maksimum kecepatan proses fotosintesis terjadi pada kisaran suhu 25-40oC. Berbagai proses dalam sel sangat tergantung pada suhu. Kecepatan suatu proses akan terus bertambah dengan peningkatan suhu. Suhu secara langsung mempengaruhi efisiensi fotosintesis dan faktor yang menentukan pertumbuhan, namun temperatur tinggi yang melebihi temperatur maksimum akan menyebabkan proses metabolisme sel terganggu. Faktor lain yang berperan dalam pertumbuhan mikroalga adalah pH. Nilai pH pada saat kultivasi berkisar 7-8. Blinks (1963) menjelaskan bahwa beberapa mikroalga contohnya Centroceras sp., Botryocladia sp., dan Gastrocloniumi sp.

dapat tumbuh optimal pada pH 8. Proses fotosintesis mengambil karbondioksida terlarut dalam air yang mengakibatkan penurunan kandungan CO2 terlarut dalam air. Penurunan ini akan meningkatkan nilai pH berkaitan dengan keseimbangan

CO2 terlarut, bikarbonat (HCO3-) dan ion karbonat (CO2-) dalam air (Golman dan Horne 1983).

Karakterisasi Biomassa Mikroalga

Kutivasi mikroalga pada skala lapang menggunakan sistem statis

(batch system), sistem kultivasi ini paling umum digunakan. Pada sistem statis, kultur dikembangkan selama periode tertentu, kemudian dilakukan pemanenan pada kultur secara keseluruhan. Snell (1991) menyatakan bahwa sistem statis ini bersifat ekstensif dan membutuhkan ruang yang luas dalam pengerjaannya. Sistem ini mempunyai kelebihan yaitu mudah untuk dilakukan. Pemanenan mikroalga dilakukan pada saat OD 0,5 dengan menambahkan 0,3 g/L Al2(SO4)3 pada kultur. Penggunaan tawas pada metode pemanenan alga bertujuan untuk membentuk flok mikroalga agar lebih mudah dilakukan pemisahan antara medium kultur dan biomassa. Tenney et al. (1969) menjelaskan bahwa pemanenan dengan cara flokulasi dapat dilakukan pada mikroalga dengan ukuran 5-5 μm

(Lampiran 2).

Yield biomassa kering mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111, mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 masing-masing sebesar 0,21 g/L; 0,26 g/L; dan 0,45 g/L. Yield

biomassa mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 lebih tinggi dibandingkan mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111, dan mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan unsur NaNO3 media teknis yang digunakan selama kultivasi (Lampiran 1). Makarevičienė et al. (2011) menyatakan bahwa perbedaan unsur NaNO3 0,75 g/L dan 1,5 g/L sebagai sumber nitrogen pada media kultivasi dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroalga dan biomassa yang dihasilkan. Hasil karakterisasi biomassa kering mikroalga dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil karakterisasi biomassa mikroalga

Komponen Komposisi biomassa mikroalga (%)

Synechococcus sp. ICBB 9111 Chlamydomonas sp. ICBB 9113 Chlamydomonas sp. ICBB 9114 *Chlamydomonas reinhardtii Karbohidrat total 13,13 ± 0,09 17,71 ± 0,01 15,73 ± 0,00 59,7 + 0,5 Pati 11,82 ± 0,08 15,94 ± 0,01 14,16 ± 0,00 43,6 + 1,4 Glukosa 3,41 ± 0,01 4,69 ± 0,04 7,93 ± 0,00 44,7 + 0,8 Selulosa 1,32 ± 0,00 3,95 ± 0,00 2,00 ± 0,00 - Kadar air 10,72 ± 0,31 10,00 ± 0,00 8,50 ± 0,00 - Kadar abu 43,39 ± 0,15 30,50 ± 0,00 36,50 ± 0,00 - Kadar lemak 3,74 ± 0,37 1,25 ± 0,36 2,46 ± 0,04 - *Choi et al. (2010)

Karbohidrat merupakan produk utama dari proses fotosintesis dan metabolisme fiksasi karbon (Calvin cycle) (Ho et al. 2011). Karbohidrat terakumulasi didalam plastida sebagai cadangan makanan misalnya pati. Komposisi karbohidrat pada setiap mikroalga berbeda untuk setiap spesiesnya. Hal tersebut menjadi bagian terpenting dalam memilih mikroalga dengan produktivitas karbohidrat tertinggi serta komposisi gula yang sesuai untuk produksi etanol atau produksi kimia lainnya. Karbohidrat total ketiga jenis

mikroalga berkisar antara 13,13-17,71%. Karbohidrat tertinggi pada mikroalga

Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan karbohidrat terendah mikroalga

Synechococcus sp. ICBB 9111. Akumulasi karbohidrat umumnya terjadi ketika sel-sel mikroalga hidup dalam kondisi stres (keterbatasan nutrisi), namun jika diberikan nutrisi yang terbatas akan berdampak pada pertumbuhan jumlah sel mikroalga. Kandungan karbohidrat dapat ditingkatkan dengan beberapa cara, yaitu radiasi, pengurangan nitrogen, variasi suhu dan pH, serta penambahan CO2. Ho et al. (2012) menyatakan bahwa meningkatnya produktivitas karbohidrat mikroalga Scenedesmus obliquus jika dikultivasi pada kondisi tinggi CO2 berkisar 140,4-1420,6 mg/L dan intensitas cahaya 420 µmol foton m-2 s-1 atau 21000 lux.

Hasil pengujian karbohidrat total yang dilakukan dengan metode Luff schrool selanjutnya dikonversi untuk mengetahui kandungan pati pada setiap mikroalga. Chlamydomonas sp. ICBB 9113 memiliki kandungan pati tertinggi yaitu 15,94% dan Synechococcus sp. ICBB 9111 dengan kandungan pati 11,82%. Chen dan Zhang (2012) menjelaskan bahwa pati dihasilkan oleh tumbuhan hijau yang digunakan sebagai sumber energi dan disintesis dalam bentuk granula dan selalu bercampur antara amilosa dan amilopektin. Fotosintesis mikroalga

Chlamydomonas sp pada fase log memiliki aktivitas mengumpulkan granular

α- ,4 dan α-1,6 glikosidik yang memilki bentuk, lokasi seluler, dan tempat penyimpanan yang berbeda (Libessart et al.1995). Pati terdiri dari dua fraksi, yaitu fraksi amilosa dan amilopektin. Fraksi amilosa sifatnya larut dalam air panas dan fraksi amilopektin bersifat tidak larut. Amilosa mempunyai struktur lurus

dengan ikatan α-1.4 glikosidik, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan

ikatan α-1.6 glikosidik sebanyak 4–5% dari berat total. Metting (1996) menambahkan mikroalga pada divisi Cyanophyta, Synechococcus sp memiliki dinding sel yang tersususun atas lipolisakarida dan peptidoglikan dan divisi Chlorophyta, Chlamydomonas sp. memiliki dinding sel yang tersusun dari selulosa dan hemiselulosa dengan cadangan makanan pati.

Mikroalga yang mengandung glukosa dengan basis karbohidrat merupakan bahan baku yang sesuai untuk produksi etanol. Kandungan glukosa ketiga mikroalga berkisar antara 3,41-7,93%. Glukosa tertinggi terdapat pada mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 dan yang terendah pada

Synechococcus sp. ICBB 9111. Chu et al. (1982) menyatakan bahwa komponen monosakarida pada mikroalga meliputi glukosa. Glukosa merupakan polimer utama yang dibutuhkan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan etanol (Wang et al. 2011).

Komponen polisakarida selain pati yang terdapat pada ketiga mikroalga adalah selulosa. Winarno (1998) menyatakan bahwa selulosa memiliki rantai polimer yang linear dengan berat molekul yang tinggi. Ikatan β-1,4 glikosida yang kuat dari selulosa dapat berbentuk kristal mikrofibril, kemudian bersama-sama membentuk serat selulosa yang bersifat tidak larut. Hasil karakterisasi komponen selulosa ketiga jenis mikroalga berkisar 1,32-4,87%. Kandungan selulosa tertinggi pada mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan kandungan selulosa terendah pada mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111. Somerville (2006) menyatakan bahwa mikrofibril selulosa menjadi komponen inti dinding sel yang mengelilingi setiap sel. Monomer pembentuk selulosa adalah glukosa dan berbeda dengan hemiselulosa yang tersusun dari beberapa monomer Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa selulosa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku proses etanol namun struktur kristalin pada selulosa dapat menghambat proses hidrolisis sehingga perlu dilakukan pretreatment untuk mendekontruksi, hal ini menyebabkan konsumsi energi dan penggunaan bahan kimia yang lebih besar.

Kadar air ketiga jenis mikroalga berkisar antara 8,5-10,72%.

Synechococcus sp. ICBB 9111 mempunyai kadar air tertinggi dan

Chlamydomonas sp. ICBB 9114 memiliki kadar air terendah. Kadar air mempengaruhi proses penyimpanan. Menurut Hodge dan Osman (1976) gugus hidrofilik pada molekul pati menyebabkan penyerapan air sesuai dengan kelembaban udara disekitarnya. Secara alami pati mengandung air sekitar 12-14%. Kadar air yang relatif tinggi akan mempercepat kemunduran kualitas bahan. Kadar air pada bahan berpati dibutuhkan karena struktur amorf pati yang memilki sifat hidrofilik akan memudahkan proses gelatinisasi sehingga fraksi amilosa dan amilopektin akan lebih mudah pecah sebelum terjadi mekanisme pemotongan oleh enzim. Menurut Van der Veen et al. (2005) produk berpati dengan kadar air 10-15% dapat meningkatkan isomaltosa pada tahap likuifikasi.

Kadar lemak ketiga jenis mikroalga berkisar antara 0,75-3,74%.

Chlamydomonas sp. ICBB 9113 memiliki kadar lemak terendah, sedangkan

Synechococcus sp. ICBB 9111 memiliki kadar lemak tertinggi. Kadar lemak pada mikroalga dipengaruhi oleh pH, suhu yang ekstrim serta kondisi lingkungan mikroalga hidup. Keberadaan kadar lemak yang tinggi dalam proses hidrolisis dapat mengganggu proses gelatinisasi sebab lemak mampu membuat kompleks yang menyebabkan amilosa tidak dapat keluar dari granula pati (Sunarti 2007). Keberadaan lemak yang tinggi dapat mengganggu proses gelatinisasi karena akan diserap oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik disekeliling granula.

Pada tahap kultivasi skala lapang media yang digunakan merupakan media teknis yang banyak mengandung mineral. Mineral merupakan senyawa anorganik yang tidak ikut terbakar. Hasil dari pembakaran bahan organik akan menyisakan senyawa anorganik yang sering disebut abu (Winarno 2008). Kadar abu ketiga jenis mikroalga berkisar 30,50 – 43,39 %. Kadar abu terendah Chlamydomonas

sp. ICBB 9113 sedangkan yang tertinggi Synechococcus sp. ICBB 9111. Kadar abu menunjukkan kandungan senyawa logam seperti Cu, Fe, Zn dan Mg. Kadar abu yang tinggi pada mikroalga dapat menghambat proses hidrolisis karena senyawa logam misalnya Cu, Fe, Zn, dan Mg diketahui dapat menjadi inhibitor

enzim (Jahan et al. 2012). Hasil penelitian Linden et al. (2003) menerangkan bahwa mineral Zn dan Ca dapat menghambat aktifitas enzim α-amilase yang di hasilkan mikroorganisme Pyrococcus woesei, dan Sudha (2012) menyatakan

logam Fe, Cu, Zn dan Mn dapat menghambat aktivitas enzim α-amilase dari

Bacillus amyloliquefaciens pada konsentrasi 2, 5, dan 7 g/L.

Karakterisasi Enzim Komersial α-amilase dan Amiloglukosidase

Karakterisasi enzim komersial dilakukan sebelum tahap likuifikasi dan sakarifikasi. Tahap likuifikasi menggunakan α-amilase sedangkan proses sakarifikasi menggunakan amiloglukosidase. Karakterisasi enzim dilakukan untuk mengetahui suhu dan pH optimum, sebelum dilakukan proses hidrolisis pada mikroalga. Enzim sebagai katalis memiliki beberapa kelebihan dibandingkan katalis asam. Beberapa kelebihan enzim yaitu tingkat konversi yang tinggi, rendah polutan, dan reaksinya bersifat spesifik. Enzim α-amilase dapat berasal dari hewan, tumbuhan maupun mikoorganisme. Hasil karakterisasi enzim α-amilase (Tabel 2) dan amiloglukosidase (Tabel 3).

Kondisi pH dan suhu yang berbeda di setiap pengujian menunjukkan hasil aktivitas enzim yang berbeda. Hasil karakterisasi enzim α-amilase optimum pada pH 7 dan suhu 90oC dengan aktivitas enzim sebesar 63,69 U/mL. Enzim α

-amilase komersial yang mempuyai aktivitas pada suhu tinggi diduga berasal dari mikroorganisme contoh Bacillus licheniformis. Menurut Bozic et al. (2011) enzim

α-amilase yang berasal dari B. licheniformis umumnya memiliki aktivitas optimum pada pH 6,5 dan suhu 90oC. Menurut Naz 2 2 α-amilase yang berasal dari Bacillus licheniformis memiliki pH kisaran optimum pada 5-7.

Tabel 2 Hasil karakterisasi enzim α-amilase

Jenis Enzim Suhu inkubasi (oC) pH 5,5 6 6,5 7 Glukosa (mg/mL) AE (U/mL) Glukosa (mg/mL) AE (U/mL) Glukosa (mg/mL) AE (U/mL) Glukosa (mg/mL) AE (U/mL) α -amilase 60 0,45 44,51 0,46 46,22 0,50 50,01 0,54 54,16 70 0,51 51,35 0,50 50,38 0,59 59,17 0,61 61,49 80 0,56 56,36 0,50 49,77 0,61 61,49 0,67 67,48 90 0,59 58,93 0,59 58,80 0,65 64,55 0,64 63,69

Keterangan = AE (Aktivitas enzim)

Tabel 3 Hasil karakterisasi enzim amiloglukosidase

Jenis enzim Suhu inkubasi (oC) pH 4,5 5 5,5 Glukosa (mg/mL) AE (U/mL) Glukosa (mg/mL) AE (U/ml) Glukosa (mg/mL) AE (U/mL) Amiloglu kosidase 40 0,49 48,79 0,50 50,30 0,52 52,94 50 0,80 80,30 0,88 88,49 0,78 78,47 60 1,28 128,07 1,39 138,94 1,49 148,59

Keterangan = AE (Aktivitas enzim)

Hasil karakterisasi enzim amiloglukosidase terbaik diperoleh pada pH 5,5

dan suhu 60oC dengan aktivitas enzim 148,59 U/mL. Hasil penelitian Choi et al. (2010) enzim amiloglukosidase memiliki aktivitas enzim terbaik pada

pH 5,5 dengan suhu 55oC. Akyuni (2004) menyatakan bahwa enzim amiloglukosidase optimum pada pH 4,5 dengan suhu 60oC. Naz (2002) menyatakan bahwa enzim amiloglukosidase umumnya diperoleh dari mikroorganisme misalnya kapang atau khamir. Enzim komersial ini biasanya berasal dari Aspergillus niger.

Proses Hidrolisis Mikroalga

Proses hidrolisis diawali menggunakan enzim α-amilase dengan pH dan suhu optimum pada larutan mikroalga. Tahap ini umumnya dikenal dengan tahap likuifikasi. Thomas dan Atwell (1999) menyatakan likuifikasi merupakan proses pencairan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi dapat diperoleh dengan melakukan pemanasan pati di dalam air sehingga granula pati mulai mengembang selanjutnya kekentalannya meningkat. Adanya proses gelatinisasi menyebabkan ikatan antar molekul pati lebih lemah sehingga kerja enzim dapat lebih mudah.

Pemanasan substrat mikroalga bertujuan untuk menciptakan kondisi bahan yang sesuai agar enzim dapat dengan mudah menghidrolisis substrat pati (mikroalga). Pemanasan merupakan faktor utama yang mempengaruhi sifat penerimaan enzim terhadap kondisi substrat, panas dihantarkan oleh air yang merupakan molekul polar. Proses pemanasan umumnya akan menyebabkan bahan berpati menjadi larutan (slurry). Konsentrasi substrat yang digunakan pada proses hidrolisis dapat mempengaruhi gula sederhana yang dihasilkan. Konsentrasi substrat yang lebih tinggi menunjukkan kandungan karbohidrat dengan gula yang dapat dihidrolisis oleh enzim, tetapi jika muatan substrat melebihi 10% (b/b) dari

berat kering maka hidrolisis tidak menjadi efisien karena meningkatnya viskositas subsrat (Rosgaard et al. 2007).

Enzim α-amilase menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik secara acak (Montesinos dan Navarro 2000). Kerja enzim ini bersifat endo enzim yaitu memotong ikatan α ,4 glikosidik pada amilosa dan amilopektin dari dalam dan memotong secara acak. Enzim α-amilase bekerja pada pati yang telah tergelatinisasi. Produk yang dihasilkan oleh pemotongan enzim α-amilase adalah glukosa, maltosa atau ikatan gula lain yang memiliki rantai lebih panjang (Bastian 2011). Hasil hidrolisis mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111,

Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlamydomonas sp. ICBB 9114 menggunakan enzim α-amilase dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil hidrolisis empat jenis mikroalga menggunakan konsentrasi enzim

α-amilase yang berbeda

Jenis mikroalga Konsentrasi enzim (% v/v) Gula pereduksi (mg/mL) Synechococcus sp. ICBB 9111 0,005 3,54 0,010 3,89 0,020 4,07 0,040 4,50 0,060 4,59 0,10 4,54 Chlamydomonas sp. ICBB 9113 0,005 3,97 0,010 4,22 0,020 4,17 0,040 4,39 0,060 4,54 0,10 4,73 Chlamydomonas sp. ICBB 9114 0,005 3,49 0,010 4,20 0,020 4,56 0,040 5,62 0,060 5,33 0,10 5,96

Hidrolisis dilakukan secara bertingkat disebabkan oleh perbedaan suhu dan pH aktivitas enzim α-amilase dan amiloglukosidase. Suhu dan pH yang

digunakan pada hidrolisis menggunakan enzim α-amilase adalah 90oC dan pH 7, sedangkan enzim amiloglukosidase pada suhu 60oC dan pH 5,5. Perbedaan suhu dan pH mempengaruhi aktivitas atau kinerja enzim dalam proses likuifikasi dan sakarifikasi mikroalga, hal ini menyebabkan kedua enzim tidak dapat digunakan secara simultan. Choi et al. (2010) menjelaskan bahwa hidrolisis enzimatik mikroalga Chlamydomonas reinhardtii secara terpisah membuat struktur karbohidrat mikroalga lebih mudah diakses oleh enzim. Selain itu Montesinos dan Navarro (2000) menambahkan bahwa struktur pati lebih mudah dihidrolisis oleh

enzim α-amilase. Sedangkan Chouvel et al. (1983) proses likuifikasi dengan

enzim α-amilase dapat meningkatkan nilai dekstrosa equivalent (DE) dari 19,5 ke 48, selanjutnya akan lebih optimal pada proses sakarifikasi jika ditambahkan enzim amiloglukosidase karena enzim ini akan bekerja dengan cepat jika pada nilai DE diatas 20.

1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 0.005 0.010 0.020 0.040 0.060 0.10 T o tal g u la p er ed u k si (m g /m L ) Konsentrasi enzim (% v/v) a ab ab bc c d 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 0.005 0.010 0.020 0.040 0.060 0.10 T o tal g u la p er ed u k si (m g /m L ) Konsentrasi enzim (% v/v) a b b c c c

Total gula pereduksi yang dihasilkan berbeda untuk setiap mikroalga. Total gula pereduksi tertinggi yang dihasilkan mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111 4.59 mg/mL pada konsentrasi enzim 0.060%. Hasil analisis ragam terhadap total gula pereduksi menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Konsentrasi enzim 0.040% merupakan konsentrasi terbaik (p<0.05) pada hidrolisis mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111 (Gambar 6).

Gambar 6 Kadar total gula pereduksi hasil hidrolisis Synechococcus sp. ICBB 9111.

Gambar 7 Kadar total gula pereduksi hasil hidrolisis Chlamydomonas sp. ICBB 9113.

Efektifitas proses hidrolisis dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, suhu, dan waktu hidrolisis. Selama proses hidrolisis nilai dekstrosa equivalent (DE) mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111 berkisar 0,27-0,35, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dengan nilai DE 0,22-0,27 dan mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 nilai DE 0,22-0,38 dengan waktu hidrolisis selama 30 menit. Nilai DE merupakan jumlah gula pereduksi sebagai persen dari dekstrosa murni yang dihitung dalam basis kering. Waktu hidrolisis berkisar satu sampai dua jam umumnya nilai DE berkisar antara 0,5-1,5, nilai DE akan terus meningkat seiring waktu hidrolisis dan aktivitas enzim α-amilase (Ridwansyah 2006).

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 0.005 0.010 0.020 0.040 0.060 0.100 T o tal g u la p er ed u k si (m g Konsentrasi enzim (% v/v) a b b

Gambar 8 Kadar total gula pereduksi hasil hidrolisis Chlamydomonas sp. ICBB 9114.

Mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113 memiliki total gula pereduksi yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111 dan Chlamydomonas sp. ICBB 9114. Total gula pereduksi tertinggi terdapat pada isolat mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113 adalah 4,73 mg/mL dengan konsentrasi enzim 0,10%. Hasil analisis ragam terhadap total gula pereduksi menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (p<0,05). Konsentrasi enzim 0,040% merupakan konsentrasi terbaik pada hidrolisis mikroalga

Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dengan total gula pereduksi sebesar 4,39 mg/mL (Gambar 7), sedangkan pada mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 total gula pereduksi yang dihasilkan berkisar antara 3,49-5,96 mg/mL. Total gula pereduksi

tertinggi dihasilkan oleh hidrolisis enzim α-amilase dengan konsentrasi 0,10%. Hasil analisis ragam terhadap total gula pereduksi menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (p<0,05). Konsentrasi terbaik pada hidrolisis mikroalga

Chlamydomonas sp. ICBB 9114 adalah 0,040% dengan total gula pereduksi 5,62 mg/mL (Gambar 8).

Total gula pereduksi yang dihasilkan selama proses hidrolisis menggunakan enzim α-amilase lebih rendah jika dibandingkan dengan proses hidrolisis mengunakan asam sulfat (H2SO4). Mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111, Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan Chlamydomonas sp. ICBB 9114 yang dihidrolisis menggunakan asam sulfat dengan konsentrasi 0,4 M menghasilkan total gula pereduksi 6,95 mg/mL, 7,53 mg/mL dan 6 mg/mL (desk study). Total gula pereduksi yang rendah disebabkan oleh kinerja enzim α-amilase hanya mampu memutus ikatan α-1,4 glikosidik (Biotol 1991). Hidrolisis menggunakan asam sulfat memungkinkan untuk memutus seluruh ikatan α-1,4 dan α-1,6 glikosidik dan fraksi non pati contoh selulosa.

Proses hidrolisis akan berjalan dengan baik jika dilakukan pada kondisi

suhu, pH, konsentrasi substrat dan dosis enzim yang stabil (Harun dan Danquah 2011). Nilai pH pada ketiga mikroalga mengalami

perubahan setelah proses hidrolisis menggunakan enzim α-amilase. Nilai pH mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111 setelah proses hidrolisis mengalami penurunan berkisar 5,94-6,13, mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dengan nilai pH berkisar 6,28-6,40, sedangkan mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 nilai pH setelah hidrolisis yaitu 8,32-8,71. Perubahan nilai pH yang bervariasai dapat menyebabkan rendahnya konversi pati khususnya fraksi amilosa pada ketiga

mikroalga selama hidrolisis menggunakan enzim α-amilase. Enzim α-amilase memiliki aktivitas optimum pada pH 7. Bastian (2011) menjelaskan bahwa

aktivitas enzim α-amilase masih cukup stabil pada pH 6-10 dan aktivitasnya akan menurun pada pH dibawah 5. Rendahnya gula pereduksi yang dihasilkan

menunjukkan mekanisme pemotongan pati yang belum sempurna karena hanya

fraksi amilosa yang dikonversi menjadi gula sederhana oleh enzim α-amilase. Proses hidrolisis dilanjutkan dengan penambahan enzim amiloglukosidase (AMG), tahap ini umumnya dikenal dengan proses sakarifikasi. Sakarifikasi merupakan proses lanjutan setelah likuifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan pembentukan gula-gula sederhana dari hasil likuifikasi. Enzim amiloglukosidase dapat memotong fraksi amilopektin. Amilopektin merupakan struktur komposisi terbesar pada pati setelah amilosa. Secara struktural, amilopektin terbentuk dari rantai glukosa yang terikat dengan ikatan α-1,4 glikosidik, sama dengan amilosa. Namun pada amilopektin terbentuk cabang-cabang dengan ikatan α-1,6 glikosidik (Myers et al. 2000).

Konsentrasi enzim amiloglukosidase yang akan digunakan pada proses sakarifikasi terlebih dahulu diuji pada tiga konsentrasi yang berbeda yaitu 0,10%, 0,20% dan 0,40% pada pH 5,5 dengan suhu 60oC selama 55 menit. Hasil analisis ragam terhadap total gula pereduksi menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (p<0,05). Penggunaan enzim amiloglukosidase pada konsentrasi 0,40% menghasilkan total gula pereduksi tertinggi yaitu 43,78 mg/mL, diikuti konsentrasi 0,20% sebesar 37,02 mg/mL dan 0,10% dengan total gula pereduksi sebesar 35,53 mg/mL (desk study).

Tabel 5 Hasil hidrolisis empat jenis mikroalga menggunakan kombinasi enzim

α-amilase dan amiloglukosidase

Jenis mikroalga Konsentrasi enzim (% v/v) Gula pereduksi (mg/mL) Synechococcus sp. ICBB 9111 0,005 + 0,40 31,74 0,010 + 0,40 31,00 0,020 + 0,40 31,10 0,040 + 0,40 35,67 0,060 + 0,40 37,41 0,10 + 0,40 35,64 Chlamydomonas sp. ICBB 9113 0,005 + 0,40 32,03 0,010 + 0,40 37,23 0,020 + 0,40 34,72 0,040 + 0,40 37,73 0,060 + 0,40 40,06 0,10 + 0,40 39,14 Chlamydomonas sp. ICBB 9114 0,005 + 0,40 40,17 0,010 + 0,40 38,12 0,020 + 0,40 41,83 0,040 + 0,40 43,11 0,060 + 0,40 45,27 0,10 + 0,40 41,37

Penambahan enzim α-amilase dan amiloglukosidase tidak dilakukan secara bersamaan selama proses hidrolisis. Enzim α-amilase terlebih dahulu digunakan dengan konsentrasi yang berbeda pada pH 7 dengan suhu 90oC selama 30 menit, dilanjutkan dengan proses hidrolisis menggunakan enzim amiloglukosidase pad kondisi pH 5,5 dengan suhu 60oC selama 55 menit.

Kombinasi hidrolisis enzim α-amilase dan amiloglukosidase pada mikroalga

Synechococcus sp. ICBB 9111, mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9113 dan mikroalga Chlamydomonas sp. ICBB 9114 mampu meningkatkan rendemen gula

0 5 10 15 20 25 30 35 40 0.005 0.010 0.020 0.040 0.060 0.10 T o tal g u la p er ed u k si (m g /m L ) Konsentrasi enzim (% v/v) a a a b b b

sederhana yang dihasilkan. Choi et al. (2010) menjelaskan bahwa kombinasi

enzim α-amilase dan amiloglukosidase pada hidrolisis mikroalga

Chlamydomonas reinhardtii dapat meningkatkan rendemen gula pereduksi dari 25,21 mg/mL menjadi 57 mg/mL. Konsentrasi enzim amiloglukosidase terbaik

selanjutnya digunakan pada proses hidrolisis dengan kombinasi enzim α-amilase.

Hasil hirolisis dengan kombinasi enzim α-amilase dan amiloglukosidase dapat dilihat pada Tabel 5.

Hidrolisis mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9111 menghasilkan total gula pereduksi tertinggi pada penggunaan enzim dengan konsentrasi 0,060% (37,41 mg/mL). Hasil analisis ragam pada total gula pereduksi menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (p<0,05). Perlakuan konsentrasi terbaik pada hidrolisis mikroalga Synechococcus sp. ICBB 9 yaitu , 4 enzim α -amilase yang dikombinasikan dengan enzim amiloglukosidase 0,4% menghasilkan total gula pereduksi 35,64 mg/mL.

Gambar 9 Kadar total gula pereduksi hasil hidrolisis dengan kombinasi enzim

α-amilase dan amiloglukosidase mikroalga Synechococcus sp. ICBB

Dokumen terkait