• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Fermentasi BBJP Terhadap Kandungan Phorbolester dan Antinutrisi

Penelitian ini diawali dengan menguji metode fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP) yang sebelumnya dilakukan pengukusan. Hasil yang didapat adalah pengukusan selama 60 menit sebelum fermentasi efektif menurunkan kadar antinutrisi. Kadar antinutrisi BBJP yang tanpa diolah (kontrol) dan BBJP fermentasi yang dikukus selama 60 menit disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kadar Antinutrisi BBJP Tanpa Diolah dan BBJP Fermentasi yang Sebelumnya Dikukus selama 60 Menit

Antinutrisi Perlakuan Penurunan (%)

Tanpa Diolah Fermentasi

Phorbolester (µg/g) 24,33 15,28 37,20

Tanin (%) 0,13 0,007 94,62

Saponin (%) 1,04 0,39 62,50

Asam fitat (%) 9,19 8,45 8,05

Antitripsin (%) 6,17 1,85 70,02

Pengolahan BBJP dengan kombinasi pengukusan selama 60 menit dan fermentasi dapat menurunkan kadar antinutrisinya. Hal ini sesuai dengan Belewu dan Sam (2010) bahwa perlakuan kombinasi pemanasan dan fermentasi dapat menurunkan kadar antinutrisi BBJP. Pemanasan dengan cara dikukus selama 60 menit dimaksudkan untuk memastikan BBJP bersih dari mikroba atau kontaminan yang dapat mengganggu pertumbuhan kapang yang akan ditanam. Selain itu pemanasan dapat menurunkan kadar saponin dan antitripsin. Menurut Cheeke (1989) kadar saponin dapat diturunkan dengan proses pemanasan. Vasconcelos dan Oliveira (2004) menyatakan bahwa antitripsin tidak tahan terhadap panas. Antinutrisi phorbolester dalam BBJP terikat dengan lemak, sehingga adanya lipase yang dihasilkan oleh Rhizopus oligosporus dapat menurunkannya. Lipase berguna dalam menghidrolisis lemak. Rhizopus oligosporus juga menghasilkan protease dan fitase. Protease dapat meningkatkan kadar protein BBJP dan fitase dapat mereduksi senyawa fitat dalam BBJP, sehingga meningkatkan kadar mineral posfor dan mineral bervalensi dua.

Konsumsi Antinutrisi Ayam Kampung selama 7 Minggu Penelitian

Jumlah antinutrisi yang masuk kedalam tubuh ayam kampung penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Asupan Antinutrisi Ayam Kampung selama 7 Minggu Penelitian

Peubah Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Konsumsi Ransum (g/e)* 2529,62 ± 236,33 2666,29 ± 247,40 2360,51 ± 331,20 2589,27 ± 243,73 2380,51 ± 150,44 Kandungan BBJP dalam pakan (g) - 199,97 ± 18,56 177,04 ± 24,84 258,93 ± 24,37 297,56 ± 18,81 Phorbolester (ug/g) - 4865,31 ± 451,57 2705,15 ± 379,56 3956,40 ± 372,37 4546,78 ± 287,42 Tanin (g) - 0,26 ± 0,02 0,01 ± 0,00 0,02 ± 0,00 0,02 ± 0,00 Saponin (g) - 2,08 ± 0,19 0,69 ± 0,10 1,01 ± 0,10 1,16 ± 0,07 Asam fitat (g) - 18,38 ± 1,71 14,96 ± 2,10 21,88 ± 2,06 25,14 ± 1,59 Anti Tripsin (g) - 12,34 ± 1,15 3,28 ± 0,46 4,79 ± 0,45 5,50 ± 0,35

Keterangan : *Sumiati et al. (2010)

P0 : Ransum kontrol (tanpa bungkil biji jarak pagar) + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

P1 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar tanpa fermentasi

P2 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

P3 : Ransum mengadung 10% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

P4 : Ransum mengandung 12,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

Konsumsi antinutrisi yang berasal dari BBJP tergantung dari konsentrasi antinutrisi yang dikandung BBJP dan jumlah konsumsi ransum (Tabel 7). Ayam kampung yang diberi perlakuan P1 (ransum mengandung 7,5% BBJP tanpa diolah) mengkonsumsi antinutrisi tertinggi dibandingkan perlakuan ransum kontrol (P0), ransum mengandung 7,5% (P2), 10% (P3) dan 12,5% (P4) BBJP fermentasi (Tabel 7). Pemberian BBJP dalam ransum pada penelitian ini masih dalam batas toleransi bila dibandingkan Aregheore et al. (2003) yang menyatakan bahwa batas toleransi pemakaian Jatropha curcas pada mencit adalah 16% dari jumlah pakan yang diberikan, dengan kosentrasi phorbolester 0,13 mg/g atau 0,0208 g/ekor/hari. Pada ayam batas toleransi kadar tanin adalah 0,5% dalam pakan (Wahju, 1985), saponin 10 g/kg dalam pakan (Cheeke, 1989), asam fitat adalah 1,38% dalam pakan (Oberleas, 1973) dan anti tripsin adalah 42,6 TIU / 100 g (Widodo, 2010). Hal ini

menunjukkan bahwa asupan antinutrisi ayam kampung penelitian berada dalam jumlah yang aman, karena masih dibawah toleransi.

Persentase Bobot Organ Dalam Ayam Kampung

Rataan persentase bobot organ dalam ayam kampung umur 10 minggu disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Persentase Bobot Organ Dalam Ayam Kampung Umur 10 Minggu

Peubah Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 --- (%) --- Jantung 0,43 ± 0,05 B 0,50 ± 0,05 AB 0,37 ± 0,03 AB 0,51 ± 0,06 A 0,48 ± 0,06 AB Hati 2,08 ± 0,12 2,52 ± 0,32 2,21 ± 0,43 2,72 ± 0,57 2,29 ± 0,74 Limpa 0,38 ± 0,19 AB 0,38 ± 0,18 AB 0,21 ± 0,14 B 0,66 ± 0,27 A 0,34 ± 0,19 AB Kelenjar Timus 0,67 ± 0,13 ab 0,51 ± 0,11 b 0,76 ± 0,15 a 0,68 ± 0,26 ab 0,73 ± 0,20 ab Bursa Fabrisius 0,16 ± 0,11 0,10 ± 0,06 0,10 ± 0,07 0,11 ± 0,08 0,14 ± 0,13 Ginjal 0,53 ± 0,17 0,54 ± 0,13 0,67 ± 0,08 0,65 ± 0,10 0,55 ± 0,19 Rempela 2,59 ± 0,35 2,98 ± 0,44 3,00 ± 0,34 2,90 ± 0,31 2,71 ± 0,72 Pankreas 0,20 ± 0,02 0,27 ± 0,04 0,25 ± 0,04 0,23 ± 0,09 0,25 ± 0,05

Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyat (P<0,05)

P0 : Ransum kontrol (tanpa bungkil biji jarak pagar) + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

P1 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar tanpa fermentasi

P2 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

P3 : Ransum mengadung 10% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

P4 : Ransum mengandung 12,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

Persentase Bobot Jantung

Rataan persentase bobot jantung yang dihasilkan berkisar antara 0,37-0,51% dari bobot hidup. Hal ini sesuai dengan Putnam (1991), persentase bobot jantung ayam berkisar antara 0,42%-0,75% dari bobot hidup, kecuali pada P2 yang lebih rendah. Pemberian BBJP fermentasi 10% dalam ransum (P3) sangat nyata (P<0,01) meningkatkan bobot jantung dibandingkan ransum kontrol (P0) (Tabel 8). Pembengkakan jantung pada perlakuan P3 disebabkan oleh asupan antinutrisi kedalam tubuh lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0 (Tabel 7). Hal ini sesuai

dengan Ressang (1986) bahwa jika dalam darah mengandung racun dan antinutrisi maka akan memicu kontraksi yang berlebihan sehingga menimbulkan pembengkakan jantung.

Persentase bobot jantung perlakuan P3 tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan ransum mengandung 7,5% BBJP tanpa diolah (P1), ransum mengandung 7,5% (P2) dan 12,5% (P4) BBJP fermentasi (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa adanya antinutrisi yang berasal dari BBJP ransum perlakuan P1, P2, P3 dan P4 yang masuk kedalam tubuh mempengaruhi kerja organ jantung.

Persentase Bobot Hati

Rataan persentase bobot hati yang dihasilkan berkisar antara 2,08-2,72% dari bobot hidup. Kondisi ini sesuai dengan bobot hati yang dinyatakan Putnam (1991) yaitu berkisar antara 1,70-2,80% dari bobot hidup. Pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh terhadap bobot hati (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan efek negatif terhadap kerja organ hati.

Price dan Wilson (2006) mengemukakan bahwa hati memiliki fungsi detoksifikasi yang dilakukan oleh enzim-enzim hati, yaitu dengan mengubah zat-zat yang kemungkinan membahayakan, menjadi zat-zat yang secara fisiologis tidak aktif. Hati akan mengalami kerusakan apabila terdapat zat toksik yang berlebih dalam tubuh. Spector (1993) menyatakan bahwa kelainan hati biasanya ditandai dengan pembengkakan dan penebalan salah satu lobi pada hati, dan hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan bobot hati yang dihasilkan.

Persentase Bobot Limpa

Rataan persentase bobot limpa yang dihasilkan berkisar antara 0,21-0,66% dari bobot hidup. Kondisi ini lebih tinggi dibandingkan persentase bobot limpa menurut Putnam (1991) yaitu 0,18%-0,23% dari bobot hidup kecuali pada perlakuan P2. Pemberian 10% BBJP fermentasi (P3) sangat nyata (P<0,01) meningkatkan bobot limpa dibandingkan perlakuan pemberian 7,5% BBJP ferementasi (P2) (Tabel 8). Peningkatan bobot limpa pada perlakuan P3 berhubungan dengan aktivitas organ tersebut terhadap antinutrisi dan racun yang masuk kedalam tubuh. Bobot limpa yang meningkat mengindikasikan ternak tersebut lebih tahan terhadap antinutrisi dan

racun yang masuk kedalam tubuh. Hal ini dibuktikan oleh konsumsi antinutrisi phorbolester, tanin, asam fitat, dan anti tripsin pada perlakuan P3 lebih banyak dibandingkan P2. Limpa yang berfungsi dalam membentuk zat limfosit dan berhubungan dengan pembentukan antibodi akan mengalami perubahan ukuran jika terdapat toksik, zat antinutrisi maupun penyakit (Ressang, 1986).

Persentase bobot organ limpa perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan ransum kontrol (P0) (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian BBJP fermentasi pada level 10% tidak berpengaruh negatif terhadap kerja organ limpa.

Persentase bobot organ limpa perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan ransum mengandung 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) dan 12,5% BBJP fermentasi (P4) (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa organ limpa dapat berkembang walaupun adanya antinutrisi yang masuk kedalam tubuh.

Persentase Bobot Kelenjar Timus

Rataan persentase bobot kelenjar timus yang dihasilkan berkisar antara 0,51- 0,73% dari bobot hidup. Pemberian 7,5% BBJP fermentasi (P2) nyata (P<0,05) meningkatkan bobot persentase kelenjar timus dibandingkan perlakuan pemberian ransum mengandung 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) (Tabel 8). Peningkatan bobot kelenjar timus pada perlakuan P2 diduga karena perkembangan organ ini sebagai respon terhadap antinutrisi dan racun dengan konsentrasi rendah yang masuk kedalam tubuh. Peningkatan bobot kelenjar timus berhubungan dengan sistem imunitas sel ternak. Kelenjar timus pada perlakuan P1 tidak mengalami peningkatan bobot diduga karena antinutrisi phorbolester, tanin, saponin dan anti tripsin yang masuk kedalam tubuh lebih tinggi dibandingkan perlakuan P2, sehingga menghambat perkembangan organ kelenjar timus (Tabel 7).

Menurut Cooper et al. (1966) kelenjar timus bekerja untuk menghasilkan imunitas sel bagi ternak. Kelenjar timus sebagian besar berisi sel T dengan fungsi mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri atau virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositosis dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi (Abbas et al., 2000).

Persentase bobot kelenjar timus perlakuan P2 tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan ransum kontrol (P0) dan ransum mengandung 10% (P3) dan

12,5% (P4) BBJP fermentasi (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian BBJP fermentasi pada level 7,5% tidak berpengaruh negatif terhadap kerja organ limpa. Adanya antinutrisi yang masuk kedalam tubuh dapat merangsang perkembangan organ kelenjar timus.

Persentase Bobot Bursa Fabrisius

Rataan persentase bobot bursa fabrisius yang dihasilkan berkisar antara 0,10- 0,16% dari bobot hidup. Pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh terhadap bobot bursa fabrisius (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kerja bursa fabrisius. Rataan bobot bursa fabrisius yang dihasilkan berkisar 0,10-0,16% dari bobot hidup. Bursa fabrisius berfungsi sebagai tempat dasar pembentukan limposit-B dewasa dan diferensiasinya dalam imunitas tubuh. Limposit-B akan menghasilkan antibodi dan sel pengingat (sel memori) (Glick, 1988).

Persentase Bobot Ginjal

Rataan persentase bobot ginjal yang dihasilkan berkisar antara 0,53-0,67% dari bobot hidup. Pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh terhadap bobot ginjal (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kerja ginjal. Rataan bobot ginjal yang dihasilkan berkisar 0,53-0,67% dari bobot hidup. Ginjal merupakan organ tubuh yang mempunyai daya saring dan daya serap kembali (Ressang, 1986). Apabila terdapat banyak zat toksik yang masuk ke dalam tubuh, maka ginjal akan bekerja semakin berat untuk menetralisir zat toksik tersebut.

Persentase Bobot Rempela

Rataan persentase bobot rempela yang dihasilkan berkisar 2,59-3,00% dari bobot hidup. Pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh terhadap bobot rempela (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kerja rempela. Amrullah (2004) menyatakan bahwa bobot rempela dipengaruhi oleh modifikasi

ukuran, pengaturan jenis ransum, dan fase pemberian pakan. Apabila ransum yang diberikan memiliki kandungan serat kasar yang tinggi, maka kerja rempela akan semakin berat dan dapat memperbesar ukuran dan bobot rempela. Kandungan serat kasar ransum penelitian berkisar antara 4,10 – 4,99%.

Persentase Bobot Pankreas

Rataan persentase bobot pankreas yang dihasilkan berkisar antara 0,20-0,27% dari bobot hidup. Pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh terhadap bobot pankreas (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak memberikan pengaruh negatif terhadap kerja pankreas. Antitripsin adalah faktor antinutrisi yang berhubungan dengan proses fisiologi dari pankreas untuk mengasilkan enzim proteolitik dan dapat menghambat pertumbuhan (White et al., 1989). Antitripsin mempunyai sifat menghambat kerja enzim tripsin dalam menghidrolisa protein yang diperlukan untuk tumbuh (Andajani dan Susanto, 1986).

Persentase Bobot dan Panjang Saluran Pencernaan

Rataan persentase bobot dan panjang saluran pencernaan ayam kampung umur 10 minggu disajikan pada Tabel 9.

Persentase Bobot dan Panjang Duodenum

Rataan persentase bobot duodenum yang dihasilkan antara 0,43-0,59% dari bobot hidup dan panjang realtifnya antara 2,88-3,57 cm/100 g dari bobot hidup. Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) sangat nyata (P<0,05) meningkatkan bobot dan panjang duodenum dibandingkan ransum kontrol (P0) (Tabel 9). Peningkatan bobot dan panjang duodenum perlakuan P1 ini diduga oleh kandungan serat kasar yang dikonsumsi oleh ternak lebih tinggi dibandingkan P0. Hal ini didukung oleh Sumiati et al. (2010) yang menyatakan bahwa konsumsi serat kasar kasar ayam kampung selama penelitian yang diberi ransum kontrol (P0) adalah 103,71 g/ekor dan yang diberi 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) adalah 131,18 g/ekor.

Persentase bobot dan panjang relatif duodenum perlakuan P1 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan ransum mengandung 7,5% (P2), 10% (P3) dan 12,5% (P4) BBJP fermentasi (Tabel 9). Hal ini menunjukan bahwa serat kasar tinggi

dalam ransum dapat meningkatkan bobot dan panjang relatif duodenum. Konsumsi serat kasar ayam kampung selama penelitian berturut turut adalah; P0 = 103,71 g/ekor; P1 = 131, 18 g/ekor; P2 = 106,22 g/ekor; P3 = 121,18 g/ekor dan P4 = 118,79 g/ekor (Sumiati et al., 2010).

Persentase bobot dan panjang relatif duodenum perlakuan P0 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2, P3 dan P4. Hal ini diduga karena adanya bantuan selulase pada perlakuan P2, P3 dan P4. Penambahan selulase dan hemiselulase dalam pakan unggas mampu meningkatkan berat badan, efisiensi penggunaan pakan, ketersediaan energi dan ketercernaan bahan kering (Campbell dan Bedford, 1992). Selulase merupakan suatu kompleks multi enzim yang bekerja bersama-sama menghidrolisis selulosa menjadi glukosa (Kim, 1995).

Tabel 9. Rataan Persentase Bobot dan Panjang Saluran Pencernaan Ayam Kampung Umur 10 Minggu

Peubah Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Duodenum Bobot (%) Panjang (cm/100 g) 0,43 ± 0,07 B 2,88 ± 0,32 B 0,59 ± 0,11 A 3,57 ± 0,36 A 0,54 ± 0,16 AB 3,10 ± 0,44 AB 0,53 ± 0,08 AB 3,36 ± 0,41 AB 0,46 ± 0,06 AB 3,07 ± 0,38 AB Jejunum Bobot (%) Panjang (cm/100 g) 0,79 ± 0,12 b 6,07 ± 0,76 b 0,94 ± 0,13 ab 7,25 ± 0,88 a 0,88 ± 0,15 ab 6,15 ± 0,98 b 0,97 ± 0,15 a 7,36 ± 0,58 a 0,78 ± 0,11 b 6,56 ± 0,72 ab Ileum Bobot (%) Panjang (cm/100 g) 0,53 ± 0,10 B 5,67 ± 0,73 b 0,75 ± 0,15 A 7,26 ± 0,85 a 0,69 ± 0,14 AB 6,40 ± 1,27 ab 0,66 ± 0,12 AB 6,98 ± 0,90 a 0,58 ± 0,06 AB 6,26 ± 0,86 ab Sekum Bobot (%) Panjang (cm/100 g) 0,33 ± 0,07 1,40 ± 0,22 B 0,42 ± 0,06 1,92 ± 0,24 A 0,37 ± 0,14 1,72 ± 0,38 AB 0,42 ± 0,02 1,80 ± 0,14 AB 0,36 ± 0,07 1,64 ± 0,28 AB Kolon Bobot (%) Panjang (cm/100 g) 0,13 ± 0,02 0,93 ± 0,09 b 0,17 ± 0,05 1,25 ± 0,22 a 0,16 ± 0,04 1,02 ± 0,27 ab 0,14 ± 0,01 1,13 ± 0,11 ab 0,14 ± 0,04 1,13 ± 0,24 ab Keterangan : Superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

berbeda sangat nyata (P<0,01).

Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyat (P<0,05)

P0 : Ransum kontrol (tanpa bungkil biji jarak pagar) + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

P1 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar tanpa fermentasi

P2 : Ransum mengandung 7,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

P3 : Ransum mengadung 10% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

P4 : Ransum mengandung 12,5% bungkil biji jarak pagar terfermentasi + selulase 400 ppm dan fitase200 ppm

Persentase Bobot dan Panjang Jejunum

Rataan persentase bobot jejunum yang dihasilkan antara 0,78-0,97% dari bobot hidup dan panjang realtifnya antara 6,07-7,36 cm/100 g dari bobot hidup. Pemberian 10% BBJP fermentasi (P3) nyata (P<0,05) meningkatkan persentase bobot jejenum dibandingkan perlakuan ransum kontrol (P0) dan ransum mengandung 12,5% BBJP fermentasi (P4) (Tabel 9). Hal ini diduga karena tingginya level karbohidrat (BETN) dalam ransum pada perlakuan P3. Kadar BETN perlakuan P3 lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0 dan P4 (Tabel 5).

Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) dan 10% BBJP fermentasi (P3) nyata (P<0,05) meningkatkan panjang jejunum dibandingkan ransum kontrol (P0) dan perlakuan ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi (P2) (Tabel 9). Peningkatan panjang jejunum sejalan dengan peningkatan penyerapan zat makanan kedalam darah oleh usus. Menurut Alonso et al. (2000) dan Bardocz et al. (1995), peningkatan berat relatif jejunum dan kemampuan perenggangan usus dapat disebabkan oleh tingginya level karbohidrat kompleks termasuk pati yang resisten, oligosakarida, dan polisakarida non pati dan oleh persentase lektin dalam ransum. Kadar Beta-N dalam ransum perlakuan P1 yaitu 49,98 % dan P3 yaitu 52,80% lebih tinggi dibandingkan P0 yaitu 49,23% (Tabel 5).

Persentase Bobot dan Panjang Ileum

Rataan persentase bobot ileum yang dihasilkan antara 0,53-0,75% dari bobot hidup dan panjang realtifnya antara 5,67-7,26 cm/100 g dari bobot hidup. Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) sangat nyata (P<0,01) meningkatkan bobot persentase ileum dan nyata (P<0,05) meningkatkan panjang ileum dibandingkan perlakuan ransum kontrol (P0) (Tabel 9). Peningkatan bobot dan panjang ileum dipengaruhi oleh asupan serat kasar. Perlakuan P1 mengkonsumsi serat kasar lebih banyak dibandingkan perlakuan P0. Menurut Lundin et al. (1993) serat dapat meningkatkan densitas volume epitel dan vilus di daerah jejunum, ileum, dan usus halus.

Perlakuan ransum mengandung 7,5% (P2), 10% (P3) dan 12,5% (P4) BBJP fermentasi tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan P0 (Tabel 9). Hal ini diduga karena adanya penambahan selulase pada pakan sehingga dapat membantu proses pencernaan serat kasar. Menurut Sutardi (l997) pertumbuhan usus dan sekum dapat dirangsang oleh serat. Penambahan selulase pada perlakuan P2, P3, dan P4 yang

dalam ransumnya mengandung serat kasar yang tinggi dapat membantu dalam pencernaan serat kasar.

Persentase Bobot dan Panjang Sekum

Rataan persentase bobot sekum yang dihasilkan antara 0,33-0,42% dari bobot hidup dan panjang realtifnya antara 1,40-1,92 cm/100 g dari bobot hidup. Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) sangat nyata (P<0,01) meningkatkan panjang sekum dibandingkan ransum kontrol (P0) (Tabel 9). Peningkatan panjang relatif sekum pada perlakuan P1 sangat berhubungan dengan serat kasar yang dikonsumsi dan pengaruh pemberian selulase pada ransum. Perlakuan P1 mengkonsumsi serat kasar 131,18 g/e, lebih tinggi dibandingkan perlakuan P0 yaitu sebanyak 103,71 g/ekor. Menurut Pond et al. (1995) sebagian serat dapat dicerna dalam sekum yang disebabkan adanya bakteri fermentasi tetapi jumlahnya sangat rendah dibandingkan pada sebagian spesies mamalia.

Panjang relatif sekum perlakuan ransum mengandung 7,5% (P2), 10% (P3), dan 12,5% (P4) BBJP fermentasi tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan P0 dan P1 (Tabel 9). Hal ini diduga karena adanya penambahan selulase pada perlakuan P2, P3 dan P4. Selulase merupakan enzim pemecah selulosa menjadi glukosa (Kim, 1995).

Persentase Bobot dan Panjang Kolon

Rataan persentase bobot kolon yang dihasilkan antara 0,13-0,17% dari bobot hidup dan panjang realtifnya antara 0,93-1,25 cm/100 g dari bobot hidup. Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah (P1) nyata (P<0,05) meningkatkan panjang kolon dibandingkan ransum kontrol (P0) (Tabel 9). Peningkatan panjang kolon berhubungan dengan fungsi kolon di unggas. Kolon berfungsi menyalurkan sisa makanan dari usus halus ke kloaka dan tempat terjadinya penyerapan air dan beberapa mineral. Kolon juga dapat berfungsi sebagai tempat fermentasi serat kasar pada unggas terutama hemiselulosa selain di sekum. Perlakuan ransum mengandung 7,5% (P2), 10% (P3) dan 12,5% (P4) BBJP fermentasi tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan P0 dan P1. Hal ini diduga karena penambahan selulase dalam ransum P2, P3 dan P4.

Pembahasan Umum

Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah cenderung menghasilkan panjang usus halus, sekum, dan kolon yang lebih panjang dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa selulase yang ditambahkan pada perlakuan P0, P2, P3 dan P4 bekerja memecah serat kasar (selulosa) menjadi glukosa.

Asupan antinutrisi dengan konsentrasi rendah (perlakuan P2) dapat meningkatkan kerja organ kelenjar timus. Hal ini diharapkan daya imun ayam meningkat, karena sel T yang dihasilkan oleh kelenjar timus berfungsi untuk mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri atau virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositosis dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi.

Pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah dan BBJP fermentasi sampai level 12,5% tidak menimbulkan efek negatif pada organ dalam dan saluran pencernaan, tetapi menurut Sumiati et al. (2010) pemberian 7,5% BBJP tanpa diolah pada ternak ayam kampung berpengaruh sangat nyata menurunkan pertumbuhan dan performanya, sehingga pemberian BBJP tanpa fermentasi tidak disarankan.

Dokumen terkait