• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Kadar Dihidrotestosteron

Penentuan kadar dihidrotestosteron didasarkan pada metode IBL International (2006) dengan menganalisis serum darah tikus percobaan dengan menggunakan kit ELISA.

Sebanyak 50 µL dipipet dari masing-masing

blanko, standar, dan sampel serum darah tikus ke dalam sumur berlabel yang sesuai beberapa kali, kemudian 100 µL larutan konjugat dipipet ke dalam tiap-tiap sumur (dengan pipet multichannel). Campuran larutan diinkubasi di dalam plate shaker (sekitar 200 rpm) selama 1 jam dalam suhu ruang. Sumur-sumur dicuci sebanyak 3 kali dengan menggunakan 300 µL bufer pencuci yang telah diencerkan per sumur dan plat diletakkan secara perlahan-lahan pada kertas tisu untuk memastikan bahwa plat benar-benar kering. Setelah itu 150 µL substrat 3,3,5,5-tetrametilbenzidin (TMB) dipipet ke dalam tiap-tiap sumur dengan interval waktu yang tepat, kemudian diinkubasi di dalam plate shaker selama 10-15 menit pada suhu ruang (sampai kalibrator A memiliki warna biru tua untuk mendapatkan nilai OD yang diinginkan). Sebanyak 50 µL stopping solution dipipet ke dalam tiap-tiap sumur dengan interval waktu yang tepat, dan diamkan selama 20 menit. Setelah 20 menit, plat dibaca dengan menggunakan microwell plate reader dengan panjang gelombang 490 nm.

Analisis Data

Analisis data penelitian yang diperoleh mengacu pada Mattjik (2002). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Model persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij= µ + τi+ εij Keterangan:

yij= pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = pengaruh rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i, i=1,2,3,4,5,6,7 εij= pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i1 = kelompok kontrol i2 = kelompok perlakuan K1 i3 = kelompok perlakuan K2 i4 = kelompok perlakuan K3 i5 = kelompok perlakuan I1 i6 = kelompok perlakuan I2 i7 = kelompok perlakuan I3

Data bobot badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan, berat feses, dan kadar androgen diolah dengan analisis one-way analysis of varians (ANOVA) pada tingkat

kepercayaan 95% dan taraf α=0.05, dan uji

lanjut yang digunakan adalah uji Duncan. Pengolahan data statistika ini menggunakan perangkat lunak Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0. Korelasi antara data yang diperoleh dihitung menggunakan koefisien korelasi Pearson (r).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan Pemberian Pakan terhadap Bobot Badan Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus Sprague-Dawley

jantan berumur ±2 bulan. Tikus betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang berfluktuasi pada waktu beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda, dan dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu parameter yang diuji pada penelitian ini adalah androgen. Kadar androgen pada betina lebih rendah jika dibandingkan dengan jantan sehingga untuk memudahkan dalam mendapatkan kadar androgen digunakan tikus jantan (Dabbs et al. 1997).

Hewan percobaan yang sehat merupakan faktor penting dan merupakan syarat untuk memenuhi asumsi percobaan. Kondisi hewan yang sehat berguna untuk memperkecil galat percobaan. Bobot badan merupakan parameter yang mudah diukur dan diamati untuk memantau kondisi kesehatan tikus (Tara 2011). Bobot badan tikus rata-rata pada akhir adaptasi atau awal perlakuan (minggu ke-0) sebesar 142.61 gram dengan bobot badan berkisar antara 116-162 gram (Lampiran 7). Menurut lembaga riset Ace Animal (2006) dalam Meutia (2011), bobot badan tikus jenis

Sprague-Dawley pada usia 59-61 hari adalah 275-299 gram. Bobot tikus Sprague-Dawley

penelitian lebih rendah 50.31% yang dilaporkan Ace Animal (2006). Hal ini diduga disebabkan perbedaan kadar protein pada pakan, konsumsi pakan, ataupun faktor genetik tikus percobaan.

Setelah dilakukan adaptasi, hewan coba kemudian masuk masa perlakuan. Perlakuan yang diberikan adalah perlakuan pakan selama 1 bulan. Terlihat setelah perlakuan bobot badan tikus mengalami perubahan.

Peningkatan bobot badan terjadi pada K2, K3, dan I1. Kontrol, I2, dan 13 juga mengalami peningkatan bobot badan tetapi fluktuatif. Bobot badan kelompok tikus meningkat dari rata-rata 142.83±10.31 g menjadi 165.29±17.80 g dengan presentase kenaikan sebesar 15.72%. Berbeda dengan kelompok lainnya, kelompok K1 mengalami penurunan bobot badan dengan presentase penurunan sebesar 3.72%, menurun dari rata-rata bobot badan 141.25±14.75 g menjadi 136±20.51 g (Gambar 6). Penurunan bobot badan ini diduga disebabkan tikus mengalami sakit diare selama masa perlakuan. Fluktuasi bobot badan yang terjadi diduga karena nafsu makan yang berbeda-beda antar tikus dengan tikus yang lainnya.

Bobot badan kelompok tikus yang diberikan pakan perlakuan kecuali K1 lebih besar jika dibandingkan dengan bobot badan kelompok tikus yang diberi pakan kontrol (tanpa kandungan isoflavon) (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa isoflavon yang terkandung dalam pakan diduga berpengaruh meningkatkan bobot badan. Hasil uji korelasi Pearson juga menunjukkan terdapat korelasi antara kandungan isoflavon pada pakan dengan pertambahan bobot badan kelompok tikus perlakuan pakan kacang kedelai (K) (0.7<r<1) dan isolat kacang kedelai (I) (0.2<r<0.4) (Lampiran 6).

Peningkatan bobot badan yang terjadi pada kelompok tikus perlakuan penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Astuti (1999) yang melaporkan bahwa terjadi peningkatan bobot badan tikus jantan setelah pemberian kedelai dan Suharma (2011) yang menunjukkan bahwa pemberian isolat protein juga memberikan peningkatan bobot badan pada tikus jantan. Namun menurut Weber et al. (2001), konsumsi fitoestrogen justru menurunkan bobot badan tikus Sprague-Dawley jantan dengan meningkatkan aktivitas fisik dan menurunkan kadar leptin. Hal ini didukung juga oleh penelitian Oh et al. (2005) yang menyatakan bahwa konsumsi kedelai pada tikus jantan dapat meningkatkan kadar adiponektin dan berakibat menurunkan bobot badan. Hal ini terjadi karena adiponektin menurunkan resistensi insulin dan menurunkan kadar trigliserida otot dan hati (Yamauchi et al. 2001). Isoflavon juga mampu mendorong lipolisis dan menghambat adipogenesis baik pada kultur sel maupun in vivo sehingga berpotensi mengurangi lemak tubuh (Harmon dan Harp 2001). Hasil penelitian ini berbeda dengan pernyataan diatas. Hal ini diduga karena isoflavon dapat bersifat estrogenik atau antiestrogenik, termasuk pada bobot badan (Tolman et al. 2008).

Korelasi negatif terjadi antara isoflavon yang terkandung pada pakan kacang kedelai dengan pertambahan bobot badan tikus perlakuan pakan kacang kedelai (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan isoflavon kacang kedelai semakin menurunkan bobot badan. Hasil ini serupa dengan pengaruh testosteron terhadap bobot badan tikus jantan dan menandakan isoflavon kacang kedelai pada penelitian bersifat antiestrogenik terhadap bobot badan. Menurut Davis et al (2012), testosteron mengurangi bobot badan tikus jantan dengan bertindak antiadipogenik melalui aktivitas lipolisis. Hal ini terjadi karena kemampuan katekolamin meningkat untuk menstimulasi lipolisis pada sel-sel lemak akibat adanya peningkatan reseptor β-adrenergik, aktivitas adenilat siklase, aktivitas protein kinase A, atau hormon sensitif lipase (Oh et al. 2005).

Korelasi antara kandungan isoflavon pada pakan isolat kacang kedelai dengan pertambahan bobot badan kelompok tikus perlakuan pakan isolat kacang kedelai adalah korelasi positif (Lampiran 6). Semakin tinggi kandungan isoflavon pakan isolat kacang kedelai berarti semakin meningkatkan bobot badan. Hal ini serupa dengan pengaruh

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 1 2 3 4 B o b o t b ad an (gr am ) Minggu

ke-Gambar 6 Bobot badan selama perlakuan ( kontrol, K2, K3, I3, I1, I2, K1). Keterangan: K1=

kedelai 100%, K2= kedelai 50%, K3= kedelai 10%, I1= isolat 100%, I2= isolat 50%, dan I3 = isolat 10%

estrogen terhadap bobot badan tikus betina dan menandakan konsumsi isoflavon isolat kacang kedelai mengakibatkan efek estrogenik pada bobot badan tikus jantan. Menurut Hardjopranjoto (1995) dalam Suprihatin (2008), pada metabolisme tubuh, estrogen meningkatkan sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan sel-sel dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot badan, dan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk meningkatkan metabolisme karena adanya retensi nitrogen yang meningkat. Oh et al. (2005) juga menyatakan bahwa estrogen juga dapat bertindak proandrogenik, meningkatkan jumlah adiposit melalui proliferasi dan diferensiasi sehingga meningkatkan massa jaringan adiposa.

Hasil uji statistika menunjukkan bahwa perlakuan kelompok pakan berpengaruh signifikan terhadap bobot badan (p<0.05) (Tabel 4). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan peningkatan bobot badan K2, K3, I1, I2, I3 dan penurunan bobot badan K1 tidak berbeda signifikan dengan kelompok kontrol sedangkan peningkatan bobot badan K3 berbeda signifikan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pakan K3 merupakan pakan yang paling berpengaruh meningkatkan bobot badan. Faktor penyebabnya diduga karena tikus K3 memiliki konsumsi pakan dan efisiensi pakan yang tinggi (Tabel 4).

Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh konsumsi pakan, semakin tinggi konsumsi pakan semakin tinggi pula pertambahan bobot badan (Farida et al. 2008). Peningkatan bobot badan kelompok kontrol, K2, K3, dan I3 didukung oleh konsumsi pakan tikus yang juga mengalami peningkatan, walaupun fluktuatif (Gambar 7). Lain halnya pada K1, I1, dan I2, terjadi penurunan bobot badan pada K1 tetapi konsumsi pakan kelompok ini meningkat sedangkan terjadi peningkatan bobot badan pada I1 dan I2 tetapi konsumsi pakan kelompok ini menurun (Gambar 6 dan Gambar 7). Namun konsumsi pakan rata-rata kelompok yang diberikan pakan perlakuan lebih tinggi dibandingkan kelompok yang diberikan pakan kontrol (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa isoflavon yang terkandung pada pakan diduga berakibat pula pada pola konsumsi pakan tikus. Uji korelasi Pearson juga menunjukkan bahwa isoflavon yang terkandung pada pakan juga berkorelasi dengan konsumsi pakan kelompok tikus perlakuan kacang kedelai (K) (0.4<r<0.7) dan isolat kacang kedelai (I) (0.2<r<0.4) (Lampiran 6).

Weickert et al. (2006) menunjukkan bahwa estradiol atau senyawa mirip estradiol dapat berinteraksi dengan peptida YY (PYY), suatu hormon yang mempengaruhi rasa kenyang. Konsumsi isoflavon kedelai diketahui meningkatkan konsentrasi PYY dan berakibat menurunkan nafsu makan. Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan di atas. Hal ini diduga disebabkan sifat estrogenik atau antiestrogenik isoflavon terhadap konsumsi pakan (Dixit et al. 2011).

Selain PYY terdapat senyawa lain yang mempengaruhi nafsu makan yaitu ghrelin dan leptin. Ghrelin merupakan hormon yang disekresikan ke dalam darah dan berfungsi merangsang nafsu makan sedangkan leptin merangsang rasa kenyang (Hyde et al. 2010). Keberadaan testosteron dapat meningkatkan konsentrasi ghrelin dan menurunkan leptin, yang berarti testosteron bertindak meningkatkan nafsu makan (Klatz dan Goldman 2004). Hasil ini serupa dengan yang terjadi pada K1, K2, dan K3, dan I1. Kelompok ini mengalami peningkatan nafsu makan atau konsumsi pakan selama perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pakan K1, K2, dan K3, dan I1, bersifat antiestrogenik terhadap konsumsi pakan tikus. Penurunan bobot badan terjadi pada K1 namun konsumsi pakan pada kelompok ini tinggi. Hal ini diduga karena tikus mengalami sakit diare selama perlakuan. Menurut Harianto (2004), bahaya utama diare adalah

0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 1 2 3 4 K o n su m si p ak an (gr am ) Minggu

ke-Gambar 7 Konsumsi pakan kelompok tikus ( kontrol, K2, K3, I3, I1, I2, K1. Keterangan:K1= kedelai 100 %, K2= kedelai 50%, K3= kedelai 10%, I1= isolat 100 % I2= isolat 50%, dan I3= isolat 10 %

kematian yang disebabkan karena tubuh banyak kehilangan air dan garam terlarut yang disebut dehidrasi. Dehidrasi yang terjadi pada penderita diare karena usus bekerja tidak sempurna sehingga sebagian besar air dan zat-zat yang terlarut didalamnya dibuang bersama feses sampai akhirnya tubuh kekurangan cairan. Derajat dehidrasi diukur menurut persentase terjadinya penurunan bobot badan selama diare.

Terlihat pada Gambar 8 dan Tabel 4 berat feses K1 tinggi dan meningkat sedangkan kelompok lain berat fesesnya menurun. Selain itu selama penelitian feses kelompok ini juga terlihat lembek, berwarna hijau tua, dan lebih berbau padahal normalnya feses tikus seharusnya berwarna hitam dan padat. Meningkatnya frekuensi feses disertai adanya perubahan bentuk, dan konsistensi feses (Harianto 2004), feses menjadi lembek atau cair menandakan bahwa K1 terkena diare (Adnyana et al. 2004). Kondisi ini terjadi diduga karena zat nutrisi yang terkandung dalam pakan kacang kedelai terutama serat (Mardiah et al. 2006).

Kedelai merupakan bahan makanan yang tinggi serat (Mardiah et al. 2006). Serat kedelai diketahui dapat mempercepat waktu transit makanan (waktu yang diperlukan sejak dimakan sampai dikeluarkan berupa feses) sehingga meningkatkan volume feses. Serat yang terlalu banyak juga merupakan salah satu faktor penyebab diare (Hartiningrum 2010). Serat mempunyai daya serap air yang tinggi. Adanya serat makanan dalam feses menyebabkan feses dapat menyerap air yang banyak sehingga volumenya menjadi besar dan teksturnya menjadi lunak (Mardiah et al. 2006).

Kelompok I1 dan I2 mengalami peningkatkan bobot badan tetapi tidak disertai dengan konsumsi pakan yang mengalami peningkatan melainkan konsumsi pakan kelompok ini menurun (Gambar 6 dan Gambar 7). Hal ini sejalan dengan pengaruh estrogen terhadap bobot badan dan konsumsi pakan. Estrogen dapat menyebabkan peningkatan bobot badan dan bertindak menurunkan nafsu makan. Hal ini dikarenakan adanya leptin, suatu protein yang disekresi oleh sel lemak putih, yang dengan adanya estrogen kadarnya akan meningkat dan berpengaruh mengurangi nafsu (Nirwana et al. 1998).

Kandungan isoflavon pada pakan kacang kedelai maupun isolat kacang kedelai berkorelasi positif dengan konsumsi pakan kelompok tikus perlakuan (Lampiran 6).

Tabel 4 menunjukkan pakan K1 dan K2 juga I1 dan I2 lebih banyak meningkatkan konsumsi pakan tikus dibandingkan K3 atau I3. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa perlakuan kelompok pakan berpengaruh signifikan terhadap konsumsi pakan (p<0.05) (Tabel 4). Uji lanjut Duncan menunjukkan konsumsi pakan I1 dan I3 tidak berbeda signifikan dengan kontrol sedangkan konsumsi pakan K1, K2, K3, dan I2 berbeda signifikan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pakan K1, K2, K3, dan I2 merupakan pakan yang paling berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Pakan K1, K2, dan K3 berpengaruh meningkatkan konsumsi pakan tikus sedangkan pakan I2 menurunkan. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi konsumsi pakan di antaranya keadaan lingkungan, kondisi tikus, serta kondisi pakan (bau, rasa, tekstur dan temperatur) (Rasmada 2008).

Pengamatan efisiensi pakan bertujuan untuk mengetahui kemampuan hewan coba untuk secara efisien memanfaatkan pakan. Efisiensi pakan merupakan perbandingan antara pertambahan bobot badan dengan jumlah konsumsi pakan dalam jangka waktu tertentu (Farida et al. 2008). K3 memiliki efisiensi pakan tertinggi sebesar 12, disusul dengan I2, K2, I1, I3, dan kontrol. K1 memiliki efisiensi pakan yang rendah bahkan bernilai minus (Tabel 4). Ketidakefisienan pakan K1 disebabkan karena tikus mengalami sakit diare selama masa perlakuan.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 0 1 2 3 4 B e r at fe se s (gr am ) Minggu

ke-Gambar 8 Berat feses selama perlakuan ( kontrol, K2, K3, I3,

I1, I2, K1. Keterangan: K1= kedelai 100%, K2= kedelai 50%, K3= kedelai 10%, I1= isolat 100%, I2= isolat 50%, dan I3= isolat 10%

Menurut Usman dan Susilowati (2006), pakan yang berkualitas akan digunakan seefisien mungkin oleh hewan untuk produksi atau pertumbuhan maksimal sehingga konversi pakannya rendah. Efisiensi pakan selanjutnya dikatakan merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai tingkat efisiensi penggunaan pakan, dengan semakin tinggi efisiensi pakan berarti penggunaan pakan lebih efisien. Efisiensi pakan tinggi berarti kualitas pakan lebih baik karena hewan coba dengan mengkonsumsi pakan sedikit dapat meningkatkan pertambahan bobot badan tinggi.

Kualitas pakan dapat diukur dari ketersediaan zat-zat nutrisi seperti protein, lemak, dan karbohidrat dalam pakan karena zat-zat ini dapat mempengaruhi terbentuknya jaringan-jaringan tubuh dan menyebabkan pertumbuhan bobot badan (Linder 1992 dalam Astuti 1999). Pakan perlakuan kacang kedelai dan isolat kacang kedelai memiliki kadar protein yang tinggi jika dibandingkan dengan pakan kontrol (Tabel 3) dan dapat dilihat pada Tabel 4, efisiensi pakan keduanya juga tinggi. Konsumsi pakan tikus perlakuan kacang kedelai dan isolat kacang kedelai juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel 4). Kandungan protein juga konsumsi pakan yang tinggi ini diduga menyebabkan kelebihan protein yang dikonversi menjadi lemak, disimpan dalam jaringan adiposa, dan dapat mempengaruhi pertambahan bobot badan (Astuti 1999).

Efisiensi pakan kelompok yang diberi pakan perlakuan kecuali pakan K1 lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang diberi pakan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa isoflavon yang terkandung pada pakan diduga juga mempengaruhi efisiensi pakan. Uji korelasi Pearson juga menunjukkan terdapat korelasi antara kandungan isoflavon pada pakan dengan efisiensi pakan kelompok

perlakuan kacang kedelai (K) (0.7<r<1) dan isolat kacang kedelai (I) (0.2<r<0.4) (Lampiran 6).

Efisiensi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti spesies hewan, jenis kelamin, dan usia. Menurut Payne et al. (2001) dalam Qian dan Sun (2009), konsumsi isoflavon pada tikus betina meningkatkan bobot badan sedangkan pada tikus jantan menurunkan bobot badan dan efisiensi pakan. Pernyataan ini tidak sejalan dengan hasil penelitian. Hal ini diduga dikarenakan efek estrogenik atau antiestrogenik isoflavon terhadap efisiensi pakan (Jo dan Choi 2008).

Korelasi negatif terjadi antara kandungan isoflavon pada pakan kacang kedelai dengan efisiensi pakan tikus perlakuan pakan kacang kedelai (Lampiran 6). Tikus jantan diketahui mempunyai testosteron yang jauh lebih tinggi dibandingkan betina (Ostner et al. 2003). Isoflavon pada pakan kacang kedelai diduga bersifat antiestrogenik terhadap efisiensi pakan sehingga menurunkan efisiensi pakan dan juga bobot badan tikus jantan. Namun antara isoflavon yang terkandung pada isolat kacang kedelai dengan efisiensi pakan kelompok perlakuan isolat kacang kedelai terjadi korelasi positif. Estrogen lebih tinggi pada betina dibandingkan jantan (Shabsigh et al. 2005) dan isoflavon isolat kacang kedelai diduga bersifat estrogenik pada efisiensi pakan tikus sehingga meningkatkan efisiensi pakan dan bobot badan tikus jantan penelitian (Payne et al. 2001 dalam Qian dan Sun 2009).

Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan kelompok pakan berpengaruh signifikan terhadap efisiensi pakan (p<0.05) (Tabel 4). Berdasarkan uji lanjut Duncan efisiensi pakan K2, I1, I2, dan I3 dan ketidakefisienan pakan K1 tidak berbeda signifikan dengan kontrol sedangkan efisiensi pakan K3 berbeda signifikan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan pakan yang paling Tabel 4 Bobot badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan berat feses

Kelompok Pertambahan bobot badan (g/hari)

Konsumsi pakan

(g/hari) Efisiensi pakan Feses (g/hari) Kontrol 0.25 ±0.38ab 7.82 ±0.47a 0.03 ±0.05ab 1.28 ±0.27a K1 -0.18 ±0.56a 10.03 ±1.69bc -0.02 ±0.06a 1.98 ±0.23b K2 0.93 ±0.17bc 10.44 ±0.35c 0.09 ±0.01bc 1.96 ±0.26b K3 1.18 ±0.50c 9.68 ±0.49bc 0.12 ±0.05c 1.34 ±0.12a I1 0.66 ±0.17bc 9.03 ±1.08abc 0.07 ±0.02bc 1.20 ±0.04a I2 0.98 ±0.73bc 9.96 ±0.38bc 0.10 ±0.07bc 1.20 ±0.17a I3 0.50 ±0.46abc 8.67 ±0.83ab 0.06 ±0.05bc 1.26 ±0.16a Keterangan: Data disampaikan dalam rata-rata±standar deviasi. Huruf yang berbeda di kolom yang sama bermakna

berbeda signifikan (p<0.05). Persentase efisiensi pakan= pertambahan bobot badan/konsumsi pakan. K= kedelai 100%, K2= kedelai 50%, K3 = kedelai 10%, I1 = isolat 100%, I2 = isolat 50%, dan I3= isolat 10%

berpengaruh terhadap efisiensi pakan adalah pakan K3. Ini terjadi diduga akibat konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan K3 yang juga berbeda signifikan dengan kontrol karena nilai efisiensi pakan secara kuantitatif dipengaruhi oleh banyaknya konsumsi pakan dan nilai pertambahan bobot badan (Usman dan Susilowati 2006).

Pengaruh Perlakuan Pemberian Pakan terhadap Kadar Testosteron dan

Dihidrotestosteron Hewan Coba

Fitoestrogen memiliki dua gugus hidroksil (OH) yang berjarak 11.0 – 11.5 amstrong pada intinya, sama persis dengan estrogen. Selain itu cincin fenolat fitoestrogen juga memiliki kemiripan dengan struktur cincin fenolat estrogen pada mamalia. Gugus OH dengan jarak 11 amstrong dan cincin fenolat inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik sehingga mampu berikatan dengan reseptor estrogen. Fitoestrogen juga merupakan kompetitor aktif untuk reseptor estrogen, terutama reseptor estrogen β. Mekanisme kompetisi fitoestrogen terhadap estrogen endogen adalah dengan menghambat aktivitas enzim DNA isomerase II sehingga ekspresi protein dalam sel terhambat. Mekanisme tersebut juga terjadi dalam penghambatan fitoestrogen terhadap siklus sel (Sitasiwi 2009).

Empat senyawa fenolik yang dihasilkan oleh tanaman yang dianggap fitoestrogen yaitu isoflavon, stilben, lignan dan coumestan (Cornwell et al. 2004). Dua isoflavon yang berlimpah pada kedelai adalah genistein dan daidzein (Fanti 1999). Genistein dan daidzein pada tumbuhan terutama terdapat dalam bentuk glikosida yang bersifat tidak aktif yaitu genistin dan daidzin. Namun, ketika residu gula terputus melalui dekonjugasi oleh bakteri dalam usus, genistin dan daidzin akan berubah menjadi bentuk aglikon yang aktif yaitu genistein dan daidzein (Pan et al. 2008). Genistein menyumbang sekitar 50% dari total isoflavon kedelai sedangkan daidzein sekitar 40% (Rimbach et al. 2008).

Testosteron adalah bentuk androgen dominan pada jantan. Tempat produksi utama testosteron pada jantan adalah sel Leydig testis (Fargo et al. 2009). Sejumlah kecil testosteron juga diproduksi di kelenjar adrenal dan perifer (Murray et al. 2003).

Isoflavon berkompetisi dengan estrogen endogen untuk mengikat reseptor estrogen. Konsumsi isoflavon yang tinggi dapat menyebabkan afinitas isoflavon yang rendah

jika dibandingkan dengan 17β-estradiol untuk mengikat reseptor estrogen, dengan isoflavon kedelai memiliki sekitar 1/1000 dan 1/3 dari

afinitas 17β-estradiol masing-masing untuk

ERα dan ERβ, menjadi dapat mengikat reseptor estrogen, dan mengakibatkan estrogen endogen meningkat (Rimbach et al. 2008). Normalnya ketika estrogen endogen meningkat, estrogen akan menghambat hipotalamus dan hipofisis anterior melalui reaksi umpan balik negatif. Estrogen menghambat secara langsung sekresi GnRH pada hipotalamus, akibatnya pengeluaran LH yang dipicu oleh GnRH menjadi tertekan, tetapi efek primernya terhadap hipofisis anterior yakni menurunkan kepekaan sel penghasil gonadotropin (Nasution 2011). Sintesis testosteron di sel Leydig menurun, kadar testosteron berkurang, dan aromatisasi testosteron terhambat sehingga produksi estrogen endogen menurun (Hoffman et al. 2009).

Ketika isoflavon berikatan dengan reseptor estrogen, isoflavon diduga memicu inhibisi umpan balik negatif estrogen terhadap GnRH. Isoflavon berikatan dengan reseptor, mencegah estrogen dari membatasi pelepasan GnRH. Hipotalamus kemudian melepaskan GnRH dan mensekresinya ke hipotalamus-hipofisis. Setelah mencapai hipofisis anterior, GnRH merangsang pelepasan LH maupun FSH. LH diambil oleh sel-sel Leydig yang berikatan pada reseptor spesifik membran, dan menyebabkan sekresi testosteron (Wahyuni 2012). Hal ini diduga efek antiestrogenik isoflavon. Senyawa antiestrogenik bertindak sebagai estrogen antagonis yang dapat berikatan dengan reseptor estrogen namun menghambat respon estrogen sedangkan senyawa estrogenik adalah senyawa yang kemampuannya untuk bertindak sebagai estrogen agonis yang dapat berikatan dengan RE dan menstimulasi respon estrogen. Isoflavon bersifat antiestrogenik ketika kadar estrogen tinggi, sebaliknya isoflavon dapat juga bersifat estrogenik ketika kadar estrogen rendah (Robertson 2000).

Efek antiestrogenik ini terjadi diduga untuk menjaga homeostasis tubuh antara testosteron dan estrogen. Normalnya kisaran optimal untuk rasio testosteron dengan estrogen adalah sekitar 3-4 per 1 untuk jantan, dan 1 sampai 2 untuk betina (Shabsigh et al. 2005). Isoflavon, salah satunya biochanin A juga merupakan inhibitor aromatase, enzim kunci yang berperan dalam pembentukan estradiol dari testosteron dan androstenedion, yang bertugas bila kadar estrogen meningkat

sementara testosteron menurun pada jantan. Selain itu genistein dan biochanin A juga inhibitor 17-β-hidroksisteroid dehidrogenase, enzim yang mengubah androgen menjadi estrogen (Gaynor et al. 2003).

Gambar 9 menunjukkan adanya penurunan rata-rata kadar hormon testosteron pada kelompok yang diberi isoflavon (kelompok perlakuan) dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi isoflavon (kelompok kontrol) pada tikus jantan. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat korelasi antara kandungan isoflavon pada pakan dengan kadar testosteron kelompok tikus perlakuan pakan kacang kedelai (K) (0.7<r<1) dan isolat kacang kedelai (I) (0.4<r<0.7) (Lampiran 10). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni et al. (2012) yang menyatakan bahwa pemberian isoflavon

Dokumen terkait