• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi serangga penyerbuk

Pada kegiatan magang ini, penulis mengamati keterkaitan agroekologi dengan produktivitas kelapa sawit dalam kaitannya dengan serangga penyerbuk.

Serangga penyerbuk (pollinator) yang diamati adalah Elaeidobius kamerunicus yang banyak dijumpai di lokasi magang.

Pengamatan dilakukan pada tanaman yang tidak terlalu tinggi yaitu tanaman tahun 2000 di divisi III Sungai Pinang Estate (SPE) dan divisi II Bukit Pinang Estate (BPE) yang memiliki perbedaan topografi. Jumlah sampel tanaman yang diamati adalah 50 tanaman di setiap lokasi. Bunga yang diamati adalah bunga jantan yang telah anthesis karena kumbang E. kamerunicus tidak ditemukan pada bunga jantan yang belum anthesis. Tinggi tanaman kelapa sawit dengan umur tanam tahun 2000 yaitu sekitar 2 m.

Secara umum areal SPE memiliki topografi yang relatif datar sedangkan areal BPE sebagian besar adalah tanah miring sampai sangat miring dengan perincian sebagai berikut : datar 304 ha (7 %), agak miring 581 ha (18 %), tanah miring 1 486 ha (47 %), dan sangat miring 889 ha (28 %) dari luas Hak Usaha Guna (HGU) dengan total 3 354 ha. Karakteristik dari agroekologi (lingkungan tempat tumbuh) di lokasi Sungai Pinang Esatate (SPE) dan Bukit Pinang Estate (BPE) dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Karakter Agroekologi di Sungai Pinang Estate (SPE) dan Bukit Pinang Estate (BPE).

Faktor

Agroekologi SPE BPE

Curah Hujan 2675 mm/tahun 2615.3 mm/tahun

Tinggi Tempat 90 m dpl 90 m dpl

Tekstur Tanah Liat berpasir Liat berpasir Toporafi

Relatif datar

Miring - sangat miring Sumber : Kantor Besar SPE dan BPE, 2009

Selain mengamati jumlah serangga yang datang ke tandan bunga jantan pada tanaman tahun 2000 di divisi III SPE juga diamati jumlah serangga yang datang ke bunga jantan pada tanaman tahun 2000 di divisi II BPE. Data mengenai jumlah serangga yang datang ke bunga jantan tanaman tahun tanam 2000 di divisi III SPE dan divisi II BPE dapat dilihat pada Tabel 11 dan grafik jumlah serangga di bunga jantan dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 11. Rata-rata Jumlah Serangga yang Datang ke Bunga Jantan di 2 Lokasi.

Jam

Dari grafik diatas dapat diketahui jumlah serangga yang datang ke tandan bunga jantan di divisi III SPE tidak berbeda dengan jumlah serangga yang datang pada bunga jantan di divisi II BPE. Populasi E. kamerunicus paling banyak

akan ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada hari pertama bunga anthesis, tetapi jumlahnya akan meningkat pada hari kedua dan akan mencapai maksimum pada hari ketiga bertepatan dengan waktu mekarnya semua bunga. Kemudian jumlah kumbang akan menurun dengan cepat pada hari keempat dan kelima. Pada hari keenam sudah sedikit kumbang ditemukan pada tandan bunga jantan.

Kumbang E. kamerunicus memakan benang sari bunga jantan yang sudah mekar. Kumbang E. kamerunicus jantan dapat membawa polen (serbuk sari) lebih banyak dibandingkan dengan kumbang betina. Hal ini disebabkan ukuran tubuh kumbang jantan yang lebih besar dibandingkan kumbang betina serta banyaknya bulu pada sayap kumbang jantan.

Serangga ini dapat memindahkan bunga tepung sari dengan kualitas yang sama baik pada tanaman muda maupun pada tanaman tinggi serta mencari dan mengenali bunga betina. E. kamerunicus dapat mengenali bunga jantan dan bunga betina dari bau yang disebabkan oleh senyawa volatil yang dikeluarkan bunga kelapa sawit yang sedang mekar. E. kamerunicus betina dan E. kamerunicus jantan serta koloni E. kamerunicus di bunga jantan dapat dilihat pada Gambar 9.

(a) (b)

(c)

Gambar 9. E. kamerunicus betina (a), E. kamerunicus jantan (b) dan Koloni E. kamerunicus di bunga jantan.

Selain melakukan pengamatan terhadap jumlah serangga yang datang ke bunga jantan tanaman tahun 2000 di divisi III SPE dan divisi II BPE, penulis juga melakukan penghitungan pada bobot biji di setiap lokasi. Metode penghitungan bobot biji yaitu dengan menghitung bobot per 100 biji untuk tiap ulangan. Sampel yang digunakan sebanyak 5 tanaman dengan ulangan sebanyak 3 kali. Data bobot biji buah tandan tanaman tahun tanam 2000 di divisi III SPE dan divisi II BPE dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Data Bobot Biji Buah Tandan Tanaman Tahun Tanam 2000 di Divisi III SPE dan Divisi II BPE. bobot biji di divisi II BPE. Hal ini juga dapat dilihat dari data berat janjang rata-rata (BJR) menunjukkan berat tandan buah di divisi III SPE lebih besar

dibandingkan berat tandan di divisi II BPE. Pemupukan yang kurang optimal dapat menyebabkan pembentukan buah oleh tanaman tidak dapat berlangsung dengan baik. Seperti telah disebutkan di atas, areal Bukit Pinang Esatate (BPE) yang sebagian besar memiliki topografi miring sangat menyulitkan karyawan untuk melakukan kegiatan pemupukan dengan maksimal. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman menjadi sedikit sehingga buah yang dihasilkan tidak optimal.

Tanaman kelapa sawit yang ditanam di divisi III SPE umumnya memiliki tahun tanam yang sama dengan tanaman yang ditanam di divisi II BPE. Produksi kelapa sawit divisi III SPE lebih besar dibandingkan dengan produksi divisi II BPE. Data mengenai produksi dan produktivitas kelapa sawit di divisi III SPE dan divisi II BPE dapat dilihat di Tabel 13 dan Tabel 14.

Tabel 13. Data produksi kelapa sawit di divisi III Sungai Pinang Estate (SPE).

Blok Tahun Tanam

Luas (Ha)

Produksi (ton)

2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008

Divisi III

1991 529 12362.76 12909.37 10138.19 13207.32 1993 77 1245.48 1329.83 1466.66 1432.03 1998 283 3704.85 3810.64 3626.22 4148.39

2000 8 77.08 70.47 73.54 95.82

Total 897 17390.17 18120.31 15304.61 18883.56

Produksi/HA 19.39 20.20 17.06 21.05

Sumber : Kantor Besar SPE, 2009

Tabel 14.Data produksi kelapa sawit di divisi II Bukit Pinang Estate (BPE).

2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008

Divisi II

Data mengenai rekapitulasi produksi bulanan divisi III SPE dan riwayat berat janjang rata-rata (BJR) divisi II BPE tahun 2008/2009 dapat dilihat pada Tabel 15 dan Tabel 16.

Tabel 15. Data Rekapitulasi Produksi Bulanan Divisi III Sungai Pinang Estate (SPE).

Blok Tahun

Tabel 16. Data Riwayat Berat Janjang Rata-rata (BJR) divisi II Bukit Pinang Estate

Actual Semester I 2008 Actual Semester II

2009 s/d

Berdasarkan data produksi di atas, divisi III SPE memiliki produktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan divisi II BPE. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor diantaranya areal BPE yang sebagian besar memiliki topografi miring sehingga agak menyulitkan ketika karyawan melakukan pemupukan. Oleh karena itu dosis pupuk yang diterima oleh tanaman tidak optimal dan berpengaruh terhadap produktivitas kelapa sawit. Tanaman pada areal yang relatif datar akan menerima pupuk lebih banyak dibandingkan tanaman pada areal yang miring. Karyawan memilih menjatuhkan pupuk dari atas daripada harus turun atau naik untuk memupuk seluruh tanaman. Selain itu, hal yang menyebabkan produktivitas di divisi II BPE lebih rendah yaitu ketika dilakukan kegiatan pemanenan. Karena arealnya yang miring, pemanen tidak optimal dalam memanen buah yang telah masak. Jika mereka memanen buah pada areal yang miring, dikhawatirkan tidak akan mendapatkan basis atau hanca panen.

Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan keadaan topografi tidak berpengaruh terhadap efektivitas serangga penyerbuk, tetapi hal tersebut mempengaruhi terhadap produktivitas kelapa sawit. Tingkat keberhasilan proses penyerbukan yang dibantu oleh serangga E. kamerunicus dipengaruhi juga oleh faktor lain yaitu pemupukan. Pemupukan yang optimal dan sesuai dengan rekomendasi dan keberhasilan penyerbukan oleh serangga E. kamerunicus yang tinggi maka buah yang dihasilkan akan lebih besar dan padat sehingga meningkatkan produksi kelapa sawit.

Kegiatan Panen

Kegiatan panen merupakan salah satu pekerjaan yang penting dalam perkebunan kelapa sawit khususnya di Kebun Sungai Pinang Estate. Kendala utama dalam pengelolaan kegiatan panen di kebun Sungai Pinang adalah kurangnya tenaga kerja, lemahnya pengawasan oleh supervisor dan kurang tepatnya penetapan premi. Data produksi bulanan di Sungai Pinang Estate dari bulan Januari sampai bulan Mei 2009 dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Data Produksi Bulanan di Sungai Pinang Estate pada Periode Januari- Mei 2009.

Bulan Taksasi Realisasi Persentase selisih

(kg) (%)

Januari 2 405 457 1 660 590 -30.9

Februari 1 978 385 1 685 900 -14.7

Maret 1 625 183 1 078 780 -33.6

April 1 805 247 1 389 890 -23

Mei 1775 237 1 767 060 -46

Sumber : Kantor Besar Sungai Pinang Estate (Mei, 2009)

Sistem panen yang berlaku di divisi II Sungai Pinang Estate adalah sistem Block Harvesting System by Division of Labour-2 (BHS by DOL-2). BHS By DOL-2 adalah sistem organisasi panen dimana kegiatan panennya setiap hari kerja terkonsentrasi pada satu seksi panen tetap dan berdasarkan interval yang telah ditentukan. Sistem ini menjelaskan bahwa proses potong buah sepenuhnya dikerjakan oleh seorang pemanen (cutter) sedangkan proses pengutipan brondolan dikerjakan sepenuhnya oleh pengutip brondolan (picker). Sedangkan sistem organisasi panen yang berlaku adalah sistem panen ancak giring tetap. Selama penulis mengikuti kegiatan magang dan khususnya melakukan pengamatan pemanenan, terjadi pergantian organisasi panen. Sistem pengancakan panen yang sebelumnya dilakukan dengan cara tiga kemandoran masuk ancak bersama-sama dan pindah blok secara bersama-sama. Namun, terjadi pembaharuan oleh asisten

yang merubah sistem bagi ancak per mandoran, dimana untuk setiap hari pane yang sama, masing-masing kemandoran mendapat ancak 1 blok penuh dan masing-masing kemandoran mendapat tugas mengerjakan 2 blok/harinya.

Keefektifan dalam pengawasan panen sangat berkaitan dengan penentuan premi pengawasan panen. Ketetapan premi dalam pengawasan panen dihitung dari total premi seluruh tenaga kerja panen yang hadir setiap harinya setelah dikurangi denda dari kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kerja panen. Pada dasarnya penentuan denda dan pemberlakuan denda dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi dan meminimalisasikan jumlah buah mentah yang terpanen.

Namun dengan adanya denda justru mengakibatkan pendapatan atau premi yang didapatkan pengawas akan ikut berkurang. Kondisi ini mengakibatkan pengawas sulit untuk menjatuhkan denda kepada tenaga kerja panen yang melakukan kesalahan. Selain itu banyak terjadi kecurangan-kecurangan lain yang terjadi di tingkat supervisi/mandor. Kondisi ini akan berakibat pada ketidakefektifan pengawasan sehingga tenaga kerja panen tidak mengikuti ketentuan yang diberlakukan kebun. Dampak dari kondisi ini adalah rendahnya kualitas buah yang dihasilkan.

Dokumen terkait