Pengelolaan Gajah Jinak yang Dilakukan oleh CRU
Harapan agar pengelolaan gajah jinak yang ada di Tangkahan kelak dapat ditangani secara langsung oleh masyarakat di sekitar KET, menjadikan informasi pengelolaan tersebut perlu dikumpulkan agar dapat menjadi pedoman bagi masyarakat dalam mengelola gajah jinak yang ada di Tangkahan. Adapun informasi yang diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan pihak manajemen CRU di Tangkahan, adalah :
Pengelolaan harian gajah jinak
Pengelolaan gajah jinak di Tangkahan dilakukan mulai pagi hari sampai dengan sore hari semua sudah terjadwal dengan baik walau tidak tertulis secara formal. Pihak mahout (pawang gajah) sudah saling menyadari tugasnya masing-masing selaku pihak yang terlibat secara langsung kesehariannya dengan gajah jinak yang ada di Tangkahan. Kegiatan pengelolaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengelolaan harian gajah jinak
No Kegiatan Waktu
1 Memandikan gajah Pagi dan sore setiap harinya
2 Memberi makan gajah Pagi dan sore setiap harinya
3 Memasak pudding / suplemen Senin dan Kamis
4 Melatih gajah Setiap hari
5 Menggembalakan gajah Setiap hari
6 Trekking Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu dan Minggu
Adapun deskripsi kegiatannya adalah sebagai berikut :
a. Memandikan gajah, secara rutin dilakukan setiap harinya pada pagi dan sore
hari dengan durasi sekitar satu jam. Sebelum dimandikan gajah terlebih dahulu harus membuang feces untuk menjaga kesehatan gajah.
b. Memberi makan gajah, secara rutin kegiatan ini dilakukan setiap harinya
sebanyak dua kali yaitu pada pagi hari dan sore hari. Pakan yang diberikan adalah pelepah sawit yang dibeli dari masyarakat. Biasanya pelepah tersebut diambil terlebih dahulu oleh gajah dengan diperintah oleh mahout.
c. Memasak puding, dilakukan sebanyak dua kali dalam seminggu yaitu pada
hari Senin dan Kamis. Puding dimasak dengan campuran jagung (7,5 Kg), beras (7,5 Kg), gula merah (2 Kg), Milton (1 kg) dan dedak (12,5 Kg). Setelah pudding masak, pudding didinginkan dulu agar mudah untuk membaginya. Puding/suplemen yang dimasak hari senin dibagi sama rata dan diberikan ke setiap ekor gajah pada hari Selasa dan yang dimasak pada hari Kamis diberikan pada hari Jumat.
d. Melatih gajah, dilakukan dengan perintah-perintah sederhana, seperti : angkat
kaki, duduk, berbaring/tidur dan angkat belalai. Secara rutin kegiatan ini dilakukan setiap harinya dengan durasi waktu latihan biasanya berkisar satu jam. Latihan ini juga bermanfaat untuk mempermudah pemeriksaan kondisi kesehatan tubuh gajah.
e. Menggembalakan gajah, dilakukan pada waktu senggang bagi gajah yang
tidak disertakan dalam kegiatan trekking atau pada saat waktu istirahat yang secara rutin juga dilakukan setiap harinya dengan tujuan agar ada variasi dalam makanan gajah. Hal ini penting dilakukan untuk menambah nutrisi bagi gajah.
f. Trekking (menunggangi gajah menyelusuri pinggiran hutan di Tangkahan), dilakukan pada hari Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu dan Minggu. Trekking dilakukan pada pagi dan siang hari dengan ketentuan jauh perjalanan hanya berkisar satu jam dari lokasi CRU. Untuk pagi hari trekking dilakukan sebanyak dua kali jika permintaan tamu atau pengunjung banyak yaitu untuk perjalanan pergi dan pulang yang masing-masing lamanya perjalanan adalah satu jam. Untuk siang hari hanya berlaku satu kali yaitu untuk perjalanan pergi saja. Biasanya kegiatan trekking pada pagi hari dilakukan setelah kegiatan elephant washing (memandikan gajah). Para tourist diberi kenyamanan saat trekking, karena pada punggung gajah diberi pelana (tempat duduk) yang cukup aman. satu ekor gajah bisa dinaiki oleh dua orang tourist dan satu orang mahout.
g. Patroli kawasan hutan, biasanya dilakukan pada hari Senin atau Kamis, yang
dimulai pada pukul 11.00 – 17.00 WIB. Patroli dilakukan dengan perjalanan sekitar tiga jam ke dalam hutan namun kegiatan ini sudah jarang dilakukan mengingat kondisi kawasan masih sangat kondusif artinya tidak ada kegiatan-kegiatan pengrusakan hutan ataupun kegiatan-kegiatan illegal logging. Selain patroli dengan durasi tiga jam, sebenarnya CRU juga memiliki kegiatan patroli kawasan hutan yang dapat memakan waktu selama empat hari. Kegiatan ini dinamakan Elephant Jungle Patrol (EJP) dengan tujuan dari Tangkahan sampai dengan Bukit Lawang. EJP juga dijadikan salah satu paket wisata yang ditawarkan kepada para tourist, namun paket ini cukup mahal karena mencapai harga 850 Euro. Kegiatan EJP rencananya akan mulai digalakkan kembali
untuk periode setiap bulannya baik ada atau tidak adanya tourist yang ikut serta.
Mengenai rincian waktu dari rutinitas pengelolaan gajah jinak di Tangkahan lebih lengkapnya dijelaskan pada Lampiran 4.
Biaya pengelolaan dan pendapatan CRU
a. Biaya pengelolaan
Informasi mengenai biaya pengelolaan gajah jinak yag ditanyakan peneliti kepada pihak manajemen CRU adalah terkait dengan biaya pengeluaran pihak manajemen CRU. Biaya pengeluaran pengelolaan gajah jinak yang dibutuhkan setiap bulan dirincikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Biaya pengelolaan gajah jinak di Tangkahan. No. Kebutuhan
Makanan
Biaya Keterangan
1 Pelepah Sawit
Rp 13.000.000,00 Kebutuhan pelepah sebanyak 1300 pelepah dan dalam sebulan ada 10 kali pembelian dari masyarakat, harga per pelepah adalah Rp 1000,00
2 Tebu Rp 1.800.000,00 Kebutuhan Tebu sebanyak 3000 batang, dalam sebulan ada 3 kali pemberian, harga per batang adalah Rp 2.000,00 3 Pisang Rp 1.800.000,00 Kebutuhan per bulan 600 sisir dengan harga per sisir adalah
Rp 2.750,00 s/d Rp 3.000,00
4 Nenas Rp 2.080.000,00 Kebutuhan nenas dalam sebulan adalah ± 520 buah, dimana harga per buah nenas Rp 4.000,00
5 Puding / Suplemen
Rp 3.000.000,00 Dengan rincian kebutuhan beras 7,5 Kg, jagung 7,5 Kg, gula merah 2 Kg, milton 1 Kg, dedak 12,5 Kg. yang semua bahan tersebut diolah menjadi suplemen. pembuatan suplemen dilakukan sebanyak 8 kali dalam sebulan.
6 Obat-obatan Rp 3.000.000,00 Biaya berasal dari pihak Lembaga induk yaitu Vesswic. Total Rp 24.680.000,00
Biaya pengeluaran CRU untuk mengelola gajah jinak sampai saat ini berasal dari hasil pendapatan dari paket wisata yang ditawarkan kepada para wisatawan baik luar negeri maupun dalam negeri. Adapun mengenai pendapatan yang berasal dari paket wisata tersebut dijelaskan pada Tabel 5.
b. Pendapatan CRU
Informasi mengenai pendapapatan CRU yang diperoleh dari hasil pemanfaatan gajah untuk ekowisata didasarkan pada pendapatan rata-rata per bulan yang mereka dapatkan berdasarkan jumlah tamu (visitor) yang datang ke CRU untuk kegiatan trekking dan elephant washing. Adapun rincian pendapatan CRU berdasarkan jumlah tourist dan paket yang dipilih tourist tersebut rata-ratanya per bulan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pendapatan CRU No Jenis paket Harga paket (Rp) Jumlah wisatawan rata-rata per bulan Total pendapatan Bagi hasil
1 Trekking 250.000 untuk kategori dewasa sedangkan untuk anak-anak 50% dari harga paket
133 orang dewasa dan 9 orang anak – anak (tourist asing) (33.250.000 + 1.125.000) x 12 = 412.500.000 57 % untuk CRU dan 43 % untuk LPT. Sehingga pendapatan CRU dalam setahun rata-ratanya adalah 235.125.000 2 Elephant
washing
30.000 untuk tourist asing dewasa dan anak-anak sedangkan untuk
tourist lokal baik
dewasa atupun anak-anak adalah 15.000
40 orang tourist asing (anak-anak + dewasa) dan 31 orang tourist lokal (anak-anak + dewasa) (1.200.000 + 465.000) x 6 = 9.990.000 70 % untuk CRU dan 30 % untuk LPT. Sehingga dalam 6 bulan pendapatan CRU rata-ratanya adalah 6.993.000 Sumber: data kunjungan tourist CRU 2010.
Jumlah kunjungan tourist tertinggi yang meminta kegiatan trekking biasanya terjadi pada bulan Juli, karena pada bulan tersebut tepat pada musim
liburan Eropa. Pada Tahun 2011 harga paket untuk trekking menjadi Rp 300.000,00 . Sedangkan untuk perencanaan harga paket trekking pada tahun
2012 akan naik menjadi Rp 650.000,00.
Paket elephant washing mulai diberlakukan pada bulan Juni 2010, dimana sebelumnya elephant washing dan trekking menjadi satu paket. Namun, pada tahun 2012 harga paket elephant washing direncanakan akan naik menjadi
Rp 100.000,00 untuk tourist asing sedangkan untuk tourist lokal menjadi Rp 50.000,00.
Rencana kenaikan harga setiap paket wisata disebabkan oleh kebutuhan biaya yang sangat besar dalam mengelola gajah jinak, karena sampai saat ini pendapatan yang diperoleh CRU dari paket wisata belum begitu mencukupi kebutuhan untuk mengelola gajah, terlebih lagi untuk memperoleh keuntungan dari hasil paket wisata tersebut. Sampai saat ini, hasil pendapatan tersebut hanya diperuntukkan untuk biaya pengelolaan gajah jinak saja.
Permasalahan pengelolaan gajah jinak
Berdasarkan keterangan dari pihak manajemen CRU yang diwawancarai oleh peneliti, bahwa ada beberapa hal permasalahan yang saat ini sedang dihadapi oleh pihak manajemen CRU, yaitu :
a. Tidak adanya lahan atau lokasi pengelolaan gajah jinak, karena saat ini tanah yang ditempati oleh CRU sebagian besar adalah milik PTPN II. Tentu saja hal ini menghambat ruang pengelolaan gajah jinak. Seharusnya pemerintah sudah bisa memikirkan dan mencari solusi mengenai penyediaan lahan atau lokasi pengelolaan gajah jinak yang ada di Tangkahan. Karena mengingat status Tangkahan sangat penting bagi perkembangan pariwisata yang memanfaatkan gajah jinak di dalamnya, sehingga bisa saja Tangkahan menjadi model percontohan dalam pengelolaan gajah jinak yang dimiliki oleh Provinsi Sumatera Utara.
b. Tidak adanya fasilitas kandang yang layak, sehingga gajah hanya berada di kawasan yang hanya dinaungi oleh kelapa sawit dengan luas kurang dari 1 Ha. Tingkat kesejahteraan gajah jinak juga dipandang dari kelayakan tempat tinggalnya. Peningkatan kesejahteraan masyarakat memang penting, tapi kesejahteraan satwa gajah juga penting untuk dijadikan perhatian khusus bagi
para pihak yang terkait di dalama Kawasan Ekowisata Tangkahan. Oleh karena itu, fasilitas-fasilitas yang mendukung kesejahteraan satwa gajah sudah seharusnya bisa dilengkapi untuk menjamin kelayakan hidup gajah jinak yang ada di Tangkahan.
c. Tidak adanya lahan khusus untuk menggembalakan gajah, karena saat ini kegiatan penggembalaan hanya dilakukan di sekitar kebun sawit dan di sekitar sepadan sungai. Keberadaan lahan untuk menggembalakan gajah jinak juga penting karena untuk memvariasikan makanannya. Variasi pada pakan sangat penting, karena dapat menambah nutrisi alami yang dibutuhkan oleh gajah jinak. Kondisi ini tentu juga berkaitan dengan upaya pembebasan lahan untuk ruang gerak pengelolaan gajah jinak yang seharusnya bisa direalisasikan. d. Besarnya biaya pengelolaan gajah jinak, untuk satu ekor gajah bisa mencapai
Rp 150.000,00 per harinya. Kondisi ini memaksa para pihak yang berkaitan memikirkan sumber dana untuk memenuhi kebutuhan dalam pengelolaan gajah jinak tersebut, karena selama ini kontribusi dari pemerintah belum ada terkait dengan pengadaan dana untuk keperluan tersebut. Sehingga sampai saat ini dana tersebut secara swadaya dikelola oleh CRU dari sumber pendapatan dari paket-paket wisata yang ditawarkan ke para wisatawan.
e. Permintaan penambahan jumlah gajah jinak yang ada di Tangkahan. Namun, permintaan penambahan jumlah gajah tersebut belum direalisasikan karena terkendala dengan daya dukung lokasi pengelolaan gajah jinak serta biaya pengelolaan gajah jinak yang sangat besar. Sementara pendapatan belum sebanding dengan biaya pengeluaran untuk pengelolaan gajah jinak yang ada di Tangkahan.
Bentuk Pemanfaatan Gajah Jinak yang Paling Sesuai di Tangkahan
CRU sebagai lembaga yang paling berkepentingan dalam pengelolaan gajah jinak di Tangkahan dan juga merupakan mitra dari Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) telah melakukan beberapa kegiatan yang memanfaatkan gajah jinak. Kegiatan - kegiatan tersebut adalah : kegiatan ekowisata, patroli kawasan hutan, mitigasi konflik manusia dengan gajah dan penyuluhan konservasi sumber daya hutan.
Bentuk kegiatan yang telah dilakukan oleh CRU di Tangkahan, sesuai dengan bentuk kerja sama yang telah dijalin pemerintah dengan pihak lembaga konservasi baik dalam maupun luar negeri. Dirjen PHKA (2007) menyebutkan bahwa beberapa hal yang telah dilakukan pemerintah dengan mitranya dalam pengelolalaan gajah jinak di Indonesia yaitu : mitigasi konflik gajah-manusia, kegiatan registrasi gajah jinak dengan menggunakan microchip, penelitian ekologi, kegiatan konservasi, pendidikan konservasi dan Ekoturisme.
Bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai dilakukan oleh CRU di Tangkahan perlu diketahui agar gajah jinak yang ada di Tangkahan dapat lebih difokuskan pada salah satu bentuk pemanfaatan gajah jinak dengan tidak mengenyampingkan bentuk - bentuk pemanfaatan lainnya. Bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai tersebut dapat diketahui dengan metode analisis AHP yang telah dilakukan dan hasil akhirnya ditampilkan pada Tabel 6 dan7.
Tabel 6. Rekapitulasi hasil akhir perhitungan kriteria
Kriteria Rataan Geometrik
(RG)
Prioritas Ranking Kesejahteraan dan keamanan
masyarakat
0,311 0,338 1
Keamanan kawasan hutan 0,178 0,193 4
Ilmu pengetahuan dan pendidikan masyarakat
0,194 0,211 3
Kelestarian satwa gajah dan flora fauna lainnya
0,238 0,258 2
Total 0,921 1
Pada Tabel 6. dapat dilihat bahwa para responden menilai kriteria kesejahteraan dan keamanan masyarakat menjadi prioritas terpenting (0,338) dan menempati (ranking 1) dalam hubungannya dengan sasaran atau goal pada struktur hirarki (Gambar 2). Kemudian diikuti kriteria kelestarian satwa gajah dan flora fauna lainnya (0,258) menempati (ranking 2), kriteria ilmu pengetahuan dan pendidikan masyarakat (0,211) menempati (ranking 3), kriteria keamanan kawasan hutan (0,193) menempati (ranking 4).
Terpilihnya kriteria kesejahteraan dan keamanan masyarakat sebagai yang paling prioritas karena seluruh responden beranggapan bahwa kepentingan dari bentuk pemanfaatan gajah jinak yang ada di Tangkahan sudah seharusnya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan dan keamanan masyarakat.
Kesejahteraan dan keamanan masyarakat menjadi kunci terpenting untuk keberhasilan dari pencapaian dari kriteria lainnya karena sesuai dengan apa yang telah dikatakan Waruwu (1984) dalam Dody Indra (2011) bahwa bila keadaan sosial ekonomi masyarakat baik, maka hutan pun akan aman dan kelestariannya pun dapat terjamin. Sebaliknya bila terdapat kemiskinan, kelaparan atau kekurangan pangan maka hutan akan menjadi sasaran. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kondisi kesejahteraan dan keamanan masyarakat dapat menjamin tercapainya kelestarian satwa gajah dan flora fauna lainnya, ilmu
pengetahuan dan pendidikan masyarakat serta keamanan kawasan hutan sekitar Kawasan Ekowisata Tangkahan.
Selanjutnya berdasarkan hasil perhitungan expert choice (Lampiran 6) dengan cara yang sama seperti perhitungan kriteria, maka hasil akhir dari perhitungan tingkat kepentingan alternatif dalam hubungannya denga kriteria pada struktur hirarki (Gambar 2) menurut para responden dijelaskan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rekapitulasi hasil akhir perhitungan alternatif
Alternatif Rataan Geometrik (RG) Prioritas Ranking
Ekowisata 0,302 0,312 1
Patroli kawasan hutan 0,245 0,253 2
Mitigasi KMG 0,183 0,189 4
Penyuluhan konservasi SDH 0,238 0,246 3
Total 0,968 1
Pada Tabel 7. dapat dilihat sesuai bobot nilai yang terdapat pada tabel bahwa ekowisata menjadi prioritas terpenting (0,312) pilihan para responden dan menempati (ranking 1). Sedangkan alternatif patrol kawasan hutan menempati (ranking 2) dengan bobot prioritas (0,253) yang kemudian diikuti alternatif penyuluhan konservasi sumber daya hutan (0,246) menempati (ranking 3) serta mitigasi konflik manusia dengan gajah (0,189) menempati (ranking 4).
Terpilihnya alternatif ekowisata menjadi yang terpenting untuk diprioritaskan pelaksanaannya di Tangkahan karena mereka beranggapan bahwa ekowisata dapat memberikan kontribusi bagi upaya peningkatan kesejahteraan dan keamanan masyarakat setempat. FFI (2007) menyebutkan bahwa salah satu dari ruang lingkup kegiatan CRU adalah mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat dan mengeksplorasi potensi untuk livehoods alternatif lain di Tangkahan.
Onrizal (2009) juga menyebutkan bahwa penggunaan gajah sumatera untuk perlindungan hutan dan kegiatan ekowisata, menurut masyarakat di Tangkahan, telah menekan pembalakan liar pada hutan di Tangkahan dan sekitarnya serta pada kesempatan yang sama juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat lokal karena mereka terlibat secara langsung dalam pengelolaan kawasan ekowisata yang dikoordinir melalui LPT. Karena, dengan adanya bentuk pemanfaatan gajah jinak dalam kegiatan ekowisata, menjadikan Tangkahan memeliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung (tourist). Oleh karena itu, pengembangan pemanfaatan gajah jinak untuk kepentingan ekowisata di Tangkahan perlu untuk dikembangkan agar tercapainya harapan-harapan masyarakat terkait dengan kepentingannya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan ekowisata Tangkahan dengan tidak mengeksploitasi secara berlebihan keberadaan gajah jinak disana, artinya gajah jinak harus tetap diperhatikan kesejahteraannya.
Namun, permintaan pihak LPT kepada pihak CRU agar dapat menambah jumlah gajah jinak untuk kepentingan ekowisata sampai saat ini belum bisa direalisasikan. Permasalahannya terletak pada biaya pengelolaan gajah jinak yang cukup besar. Sementara, pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan paket wisata masih lebih kecil dari biaya pengeluaran CRU untuk mengelola gajah jinak. Oleh karena itu, diperlukannya pertimbangan khusus mengenai permintaan tersebut, terlebih lagi daya dukung lokasi pengelolaan yang sampai saat ini belum termasuk ke dalam kategori baik.
Wawasan Masyarakat Dalam Konservasi Gajah
Tangkahan sebagai daerah wisata yang sangat diminati oleh para wisatawan luar negeri maupun dalam negeri menjadikannya menjadi salah satu daerah pariwisata andalan yang dimilki oleh Provinsi Sumatera Utara. Tangkahan terkenal dengan ikon pariwisatanya yaitu keberadaan gajah sumatera yang telah jinak dan terlatih yang dimanfaatkan oleh CRU untuk kegiatan ekowisata di Tangkhan.
Status Tangkahan sebagai daerah wisata dengan ikon gajah sumatera yang dimilkinya, sudah seharusnya didukung oleh masyarakat sekitar Kawasan Ekowisata Tangkahan terkait dengan pengetahuan atau wawasan mereka dalam konservasi gajah sumatera terlebih lagi kegiatan-kegiatan penyuluhan konservasi yang pernah dilakukan oleh pihak manajemen CRU. Karena, ironis apabila suatu daerah pariwisata dengan ikon gajah yang dimilkinya tersebut tidak didukung dengan pengetahuan masyarakat dalam konservasi gajah sumatera. Oleh karena itu, penting untuk diketahui sejauh wawasan masyarakat dalam konservasi gajah. Selanjutnya akan dijelaskan hasil dari kuesioner yang telah diisi oleh masyarakat Desa namo Sialang dan masyarakat Desa Sei Serdang (Lampiran 8).
1. Wawasan masyarakat Desa Namo Sialang dalam konservasi gajah sumatera Tabel 8. wawasan konservasi gajah Desa Namo Sialang dalam skala Likert
Kriteria Skala Likert A B C D E F G
108-152 ( sangat lemah ) - - - - - - -
152-196 ( lemah ) 195 - - - - - 183
196-240 ( cukup ) - - - - - - -
240-284 ( kuat ) - - - - - - - 284-328 ( sangat kuat ) - 310 304 313 312 292 -
Keterangan (Tabel 8) :
A adalah aspek pertanyaan tentang status populasi gajah B adalah aspek pertanyaan tentang jenis pakan gajah C adalah aspek pertanyaan tentang habitat gajah
D adalah aspek pertanyaan tentang gajah sebagai satwa yang dilindungi E adalah aspek pertanyaan tentang manfaat satwa gajah bagi manusia F adalah aspek pertanyaan tentang konflik manusia dengan gajah
G adalah aspek pertanyaan tentang kesiapan masyarakat dalam mengelola gajah jinak secara mandiri.
Masyarakat di Desa Namo Sialang khususnya yang bermukim di Dusun Kuala Buluh, Kuala Gemoh dan Titi Mangga secara keseluruhan memiliki wawasan konservasi gajah sumatera yang sangat baik terutama pada aspek jenis pakan gajah, habitat gajah, gajah sebagai satwa yang dilindungi, manfaat gajah bagi manusia dan konflik manusia dengan gajah. Hal ini diperlihatkan dengan posisi wawasan masyarakat pada kriteria skala Likert yang terletak pada kategori sangat kuat. Masyarakat Desa Namo Sialang adalah yang paling dekat dengan Kawasan Ekowisata Tangkahan dari segi letak lokasi desa dan juga keterlibatan masyarakatnya secara langsung dalam mengelola kawasan ekowisata tersebut. Oleh karena itu, sudah sewajarnya mereka memilki wawasan yang baik dalam konservasi gajah sumatera. Sementara itu, untuk wawasan masyarakat tentang status populasi gajah dan kesiapan masyarakat dalam mengelola gajah jinak secara madiri berada pada kategori lemah. Hal ini disebabkan mereka menilai bahwa untuk mengelola gajah jinak yang ada di Tangkahan sangat rumit karena mereka tidak memiliki pengalaman dan pendidikan khusus untuk mengelola dan
melatih gajah serta mereka juga mengetahui bahwa untuk mengelola gajah jinak dibutuhkan dana yang sangat besar. Sehingga, mereka belum siap secara moril maupun materil untuk mengelola gajah jinak yang ada di Tangkahan secara mandiri.
2. Wawasan masyarakat Desa Sei Serdang dalam konservasi gajah sumatera. Tabel 9. wawasan konservasi gajah Desa Sei Serdang dalam skala Likert
Kriteria Skala Likert A B C D E F G
132-185 ( sangat lemah ) - - - - - - - 185-238 ( lemah ) 231 187 - - - - 231 238-291 ( cukup ) - - - - - - - 291-344 ( kuat ) - - 340 - - 325 - 344-397 ( sangat kuat ) - - - 364 350 - - Keterangan :
A adalah aspek pertanyaan tentang status populasi gajah B adalah aspek pertanyaan tentang jenis pakan gajah C adalah aspek pertanyaan tentang habitat gajah
D adalah aspek pertanyaan tentang gajah sebagai satwa yang dilindungi E adalah aspek pertanyaan tentang manfaat satwa gajah bagi manusia F adalah aspek pertanyaan tentang konflik manusia dengan gajah
G adalah aspek pertanyaan tentang kesiapan masyarakat dalam mengelola gajah jinak secara mandiri.
Wawasan konservasi gajah sumatera yang dimiliki oleh masyarakat Desa Sei Serdang khususnya yang berada pada Dusun Namo Unggas adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan wawasan masyarakat Desa Namo Sialang. Hal ini disebabkan hanya sedikit jumlah warga desa mereka yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan Kawasan Ekowisata Tangkahan, sehingga mereka mengaku bahwa kekurangan informasi menjadi penghambat utama dalam
pengetahuan atau wawasan masyarakat. Namun, masyarakat Desa Sei Serdang memiliki wawasan konservasi gajah yang sangat baik hanya pada aspek gajah sebagai satwa yang dilindungi dan aspek gajah sebagai satwa yang bermanfaat bagi masyarakat. Wawasan ini mereka peroleh berdasarkan apa yang pernah mereka dengar dan lihat sendiri dari lapangan maupun media yang menyertakan informasi pengetahuan tersebut.
Masyarakat Desa Namo Sialang dan Masyarakat Desa Sei Serdang memiliki kesamaan kategori wawasan pada aspek status populasi dan aspek kesiapan mengelola gajah jinak secara mandiri, yang terletak pada kategori lemah. Hampir seluruh masyarakat yang ada di dua desa tersebut belum siap jika diberikan tanggung jawab dalam mengelola gajah jinak yang ada di Tangkahan. Alasan mereka belum siap dikarenakan permasalahan-permasalahan seperti: pengelolaan gajah jinak mereka anggap sangat rumit, pengetahuan dan pengalaman mereka tidak ada serta mengenai biaya pengelolaan gajah jinak yang sangat besar. Namun, sampai saat ini mereka masih sangat mendukung jika pengelolaan gajah jinak tetap dikelola oleh pihak manajemen CRU. Karena mereka menggap bahwa mereka belum layak untuk diberikan tanggungjawab dalam mengelola gajah jinak yang ada di Tangkahan.