• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Gajah Jinak dalam Kegiatan Conservation Response Unit (CRU) di Tangkahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Gajah Jinak dalam Kegiatan Conservation Response Unit (CRU) di Tangkahan"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN GAJAH JINAK DALAM KEGIATAN

CONSERVATION RESPONSE UNIT (CRU)

DI TANGKAHAN

SKRIPSI

Oleh:

Thaufiq Abdillah Ritonga 071201046

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

Judul Skripsi : Pemanfaatan gajah jinak dalam kegiatan Conservation Response Unit (CRU) di Tangkahan

Nama : Thaufiq Abdillah Ritonga

NIM : 071201046

Program Studi : Kehutanan

Jurusan : Manajemen Hutan

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Pindi Patana, S.Hut, M.Sc Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D

Ketua Anggota

Mengetahui,

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan

(3)

ABSTRAK

THAUFIQ ABDILLAH RITONGA: Pemanfaatan Gajah Jinak dalam Kegiatan Conservation Response Unit (CRU) di Tangkahan, dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY

Informasi pengelolaan gajah jinak, bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan serta wawasan masyarakat dalam konservasi gajah belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menjawab semua permasalahan tersebut. Lokasi penelitian terletak di Desa namo Sialang dan Desa Sei Serdang yang dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan penyebaran kuesioner lalu dianalisis secara deskriptif kualitatif , deskriptif kuantitatif dan Analytical Hierarchy Process (AHP).

Hasil penelitian ini menunjukkan informasi rutinitas kegiatan pengelolaan gajah jinak, biaya pengelolaan dan pendapatan Conservation Response Unit (CRU), permasalahan yang dihadapi dalam mengelola gajah jinak, ekowisata sebagai bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan dengan nilai prioritas sebesar 0,312 dan wawasan masyarakat yang cukup baik dalam konservasi gajah sumatera.

(4)

ABSTRACT

THAUFIQ ABDILLAH RITONGA: The Utilization of Captive Elephant in Conservation Response Unit (CRU) Activity at Tangkahan, guided by PINDI PATANA and RAHMAWATY.

The management information of captive elephants, utilization form of captive elephant of most suitable and also society knowledge of elephant conservation certaintly have not known yet. Therefore, this research was conducted to answer all these problems. Research sites located in the Namo Sialang village and the Sei Serdang village where conducted in July-August 2011. Methods of data collection is done by distributing questionnaires and interviews and analyzed by descriptive qualitative, descriptive quantitative and Analytical Hierarchy Process (AHP).

The results of research show that information of management activities routine information of captive elephants, cost of management and income Conservation Response Unit (CRU) respectively, the problems faced in managing captive elephant, ecotourism as a form of utilization of captive elephant of the most suitable in Tangkahan with priority values is 0.312 and society knowledge is property into sumatera elephant conservation

.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rantauprapat pada tanggal 25 April 1988 dari pasangan Bapak Mangayat Jago Ritonga dan Ibu Siti Aminah Pane. Penulis merupakan putra ke dua dari empat bersaudara.

Penulis telah menyelesaikan pendidikan formal di SD Negeri 117876 Cikampak pada tahun 2000, SMP swasta Budaya Cikampak pada tahun 2003, SMA Negeri 1 Rantau Selatan pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis lulus di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebagai mahasiswa jurusan Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tahun 2011. Penulis juga pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU, Koordinator Regional Wilayah I Sylva Indonesia periode tahun 2010-2011 serta pengurus di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sekretariat Fakultas Pertanian USU periode tahun 2008-2009.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmad dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Pemanfaatan Gajah Jinak Dalam Kegiatan Conservation Response Unit (CRU) di Tangkahan”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada orangtua penulis yaitu : Ayahanda Mangayat Jago Ritonga dan Ibunda Siti Aminah Pane yang telah mendidik, membimbing, merawat dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang serta selalu memberikan motivasi dan doa-doa tulusnya demi kesuksesan penulis. Terimakasih juga diucapkan kepada kakanda Muli serta adinda Nora dan Indah, atas dukungan morilnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc dan Ibu Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D selaku komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, Ibu Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kehutanan, Pihak Manajemen Conservation Response Unit (CRU) Tangkahan, Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) serta

teman-teman seperjuangan yang telah banyak membantu penulis selama mengikuti perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.

Kiranya penelitian saya ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, dunia ilmu pengetahuan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

\

(7)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumtranus) ... 4

Sebaran Populasi Gajah Suamtera ... 6

Permasalahan Gajah Sumatera ... 8

Pengelolaan Gajah Jinak ... 8

Conservation Respon Unit (CRU) ... 10

Kawasan Ekowisata Tangakahan (KET). ... 13

Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 14

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Alat dan Bahan Penelitian ... 23

Metode Penelitian ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Gajah Jinak Yang Dilakukan Oleh CRU ... 30

Pengelolaan Harian Gajah Jinak Oleh CRU ... 30

Biaya Pengelolaan dan Pendapatan CRU ... 33

Biaya Pengelolaan CRU ... 33

Pendapatan CRU ... 34

Permasalahan Pengelolaan Gajah Jinak ... 35

Bentuk Pemanfaatan Gajah Jinak Yang paling Sesuai Di Tangkahan ... 37

(8)

Wawasan masyarakat Desa Namo Sialang

Dalam Konservasi Gajah Sumatera... 41

Wawasan masyarakat Desa Sei Serdang Dalam Konservasi Gajah Sumatera... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 45

Saran... ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta lokasi penelitian ... 22 2. Struktur hirarki prioritas pemanfaatan gajah jinak

(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Nilai skala AHP ... 18

2. Nilai indeks konsistensi random (RI). ... 20

3. Pengelolaan harian gajah jinak... 30

4. Biaya pengelolaan gajah jinak di Tangkahan ... 33

5. Pendapatan CRU ... 34

6. Rekapitulasi hasil akhir perhitungan kriteria ... 38

7. Rekapitulasi hasil akhir perhitungan alternatif ... 39

8. Wawasan konservasi gajah Desa Namo Sialang dalam skala Likert.... ... 41

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Daftar pertanyaan untuk pihak CRU ... 48

2. Kuesioner AHP ... 49

3. Kuesioner wawasan masyarakatdalam konservasi gajah ... 53

4. Tabel rutinitas pengelolaan harian gajah jinak di Tangkahan ... 60

5. Data responden ahli ... 61

6. Prioritas alternatif yang berasal dari expert choice ... 62

7. Tabel prioritas kriteria dan alternatif dari setiap responden ... 64

8. Kondisi sosial ekonomi masyarakat. ... 66

9. Wawasan konservasi gajah sumatera ... 70

(12)

ABSTRAK

THAUFIQ ABDILLAH RITONGA: Pemanfaatan Gajah Jinak dalam Kegiatan Conservation Response Unit (CRU) di Tangkahan, dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY

Informasi pengelolaan gajah jinak, bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan serta wawasan masyarakat dalam konservasi gajah belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menjawab semua permasalahan tersebut. Lokasi penelitian terletak di Desa namo Sialang dan Desa Sei Serdang yang dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan penyebaran kuesioner lalu dianalisis secara deskriptif kualitatif , deskriptif kuantitatif dan Analytical Hierarchy Process (AHP).

Hasil penelitian ini menunjukkan informasi rutinitas kegiatan pengelolaan gajah jinak, biaya pengelolaan dan pendapatan Conservation Response Unit (CRU), permasalahan yang dihadapi dalam mengelola gajah jinak, ekowisata sebagai bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan dengan nilai prioritas sebesar 0,312 dan wawasan masyarakat yang cukup baik dalam konservasi gajah sumatera.

(13)

ABSTRACT

THAUFIQ ABDILLAH RITONGA: The Utilization of Captive Elephant in Conservation Response Unit (CRU) Activity at Tangkahan, guided by PINDI PATANA and RAHMAWATY.

The management information of captive elephants, utilization form of captive elephant of most suitable and also society knowledge of elephant conservation certaintly have not known yet. Therefore, this research was conducted to answer all these problems. Research sites located in the Namo Sialang village and the Sei Serdang village where conducted in July-August 2011. Methods of data collection is done by distributing questionnaires and interviews and analyzed by descriptive qualitative, descriptive quantitative and Analytical Hierarchy Process (AHP).

The results of research show that information of management activities routine information of captive elephants, cost of management and income Conservation Response Unit (CRU) respectively, the problems faced in managing captive elephant, ecotourism as a form of utilization of captive elephant of the most suitable in Tangkahan with priority values is 0.312 and society knowledge is property into sumatera elephant conservation

.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tangkahan adalah salah satu obyek wisata yang ada di Sumatera Utara dan merupakan pintu gerbang Taman Nasional Gunung Leuser. Kawasan Tangkahan memiliki panorama alam yang sangat indah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga menjadi tujuan wisata bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Tangkahan juga memiliki atraksi gajah yang keberadaannya diawali dengan program Conservation Response Unit (CRU) yang diinisiasi sebuah NGO (Non Government Organization) pada tahun 2004. Melalui CRU program konservasi gajah diharapkan dapat dilakukan secara eksitu dan insitu di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) (Balai Besar TNGL, 2009).

(15)

Informasi mengenai pengelolaan gajah jinak, seperti : aktivitas harian CRU dalam mengelola gajah, biaya dan pendapatan CRU dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi CRU, belum menjadi perhatian masyarakat sekitar Kawasan Ekowisata Tangkahan (KET). Padahal informasi mengenai pengelolaan gajah jinak yang dilakukan oleh CRU adalah penting untuk diketahui masyarakat sekitar KET, agar kedepannya masyarakat dapat secara mandiri mengelola KET termasuk pengelolaan gajah jinak yang ada disana.

Dari berbagai bentuk pemanfaatan gajah jinak yang telah dilakukan di Tangkahan, yaitu : pemanfaatan untuk ekowisata, patroli kawasan hutan, mitigasi konflik manusia dengan gajah dan penyuluhan konservasi sumber daya hutan. Perlu dilakukan perumusan bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan. Pendapat para stakeholder menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam menentukan bentuk pemanfaatan gajah jinak yang sebenarnya paling penting atau paling sesuai untuk dilaksanakan dan dikembangkan di Tangkahan.

(16)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui bentuk pengelolaan gajah jinak yang dilakukan oleh CRU.

2. Mengetahui bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

3. Mengetahui wawasan masyarakat dalam konservasi gajah.

Manfaat Penelitian

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)

Gajah adalah mamalia darat terbesar yang merupakan salah satu satwa peninggalan zaman purba yang masih bertahan hidup di dunia dengan penyebaran yang sangat terbatas. Spesies ini terdaftar dalam red list book IUCN (The World Conservation Union), dengan status terancam punah, sementara itu CITES

(Convention on International Trade of Endangered Fauna and Flora / Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan) telah mengkategorikan gajah Asia dalam kelompok Appendix I (Suara Satwa, 2008).

Secara umum gajah hanya terbagi menjadi 2 spesies utama yaitu gajah afrika (Loxodonta Africana) dan gajah asia (Elephas maximus). Gajah asia berbeda dari saudaranya gajah afrika, karena ukuran tubuh dan telinganya lebih kecil, punggungnya lebih bundar, dan memiliki 4 kuku jari di kaki. Yang sangat menarik adalah telinga gajah asia berbentuk mirip dengan pola dataran India, sedangkan telinga gajah afrika berbentuk benua Afrika. Secara umum gajah asia memiliki tiga sub-spesies, salah satunya adalah gajah sumatera (Elephas maximus

Sumatranus) yang hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatra Indonesia (Suara Satwa, 2008).

Gajah sumatera (Elephas maximus sumtranus) merupakan salah satu dari subspecies gajah asia. Dua subspecies yang lainnya yakni Elephas maximus maximus dan Elephas maximusindicus hidup di anak benua India, Asia Tenggara

(18)

Satwa ini merupakan spesies yang hidup dengan pola matriarchal yaitu hidup berkelompok dan dipimpin oleh betina dewasa dengan ikatan soisal yang kuat. Studi di India menunjukkan populasi gajah memiliki pergerakan musiman berkelompok dalam jumlah 50-200 individual (Sukumar, 1989).

Pada musim kemarau, gerombolan gajah yang terdiri dari 20-60 ekor biasanya bergerak melalui jalur jelajah alaminya untuk mencari pakan dari hutan-hutan dataran tinggi menuju hutan-hutan-hutan-hutan dataran rendah. Pergerakan sebaliknya dilakukan pada musim hujan (Wiratno, dkk. 2004)

Sistematika gajah sumatera menurut Temminck (1947) dalam Arief dan Tutut Sunarminto (2003) adalah sebagai berikut :

Kingdome : Animalia Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Mamalia Bangsa : Probosciadea Suku : Elephantidae Marga : Elephas

Jenis : Elephas maximus Linneaus, 1758

Anak Jenis : Elephas maximus sumatranus Temminck, 1947

(19)

banyak melakukan pergerakan dalam wilayah jelajah (home range) yang luas sehingga menggunakan lebih dari satu tipe habitat. Satwa ini dapat ditemukan di berbagai tipe habitat/ekosistem, mulai dari pantai sampai ketinggian 1.500 mdpl. Beberapa tipe habitat hutan yang biasa digunakan gajah sumatera adalah :

1. Hutan rawa; tipe hutan ini dapat berupa rawa padang rumput, hutan rawa primer atau hutan rawa sekunder yang didominasi oleh Gluta renghas, Campenosperma auriculata, C. macrophylla, Alstonia spp, dan Eugenia spp.

2. Hutan rawa gambut; beberapa jenis vegetasi pada tipe hutan ini antara lain Gonystilus bancanus, Dyera costulata, Licuala spinosa, Shorea spp., Alstonia

spp., dan Eugenia spp.

3. Hutan dataran rendah; merupakan tipe hutan yang berada pada ketinggian 0-750 mdpl dengan jenis-jenis vegetasi dominan adalah dari famili Dipterocarpaceae.

4. Hutan hujan pegunungan rendah; adalah tipe hutan yang berada pada ketinggian 750-1.500 mdpl. Jenis-jenis vegetasi yang dominan adalah Altingia excelsa, Dipterocarpus spp., Shorea spp., Quercus spp., dan Castanopsis spp.

Sebaran Populasi Gajah Sumatera

(20)

ilmiah yang baku. Para otoritas pengelola gajah di Indonesia, Departemen Kehutanan, hanya memperkirakan populasi gajah di alam dengan menggunakan metoda ekstrapolasi dari beberapa observasi langsung dan informasi dari para petugas lapangan yang bekerja di Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Dinas Kehutanan (Suara Satwa, 2008).

Dalam pertemuan Lokakarya Gajah dan Harimau pada bulan Agustus 2007, para pemerhati gajah di Indonesia menyadari bahwa informasi akurat untuk mengukur jumlah populasi gajah di Sumatera dan Kalimantan sangat sukar diperoleh. Oleh karenanya dilakukan estimasi sementara jumlah populasi gajah sumatera berkisar antara 2400-2800 individu dan jumlah populasi gajah kalimantan berkisar antara 60-100 individu (Dirjen PHKA, 2007).

(21)

Permasalahan Gajah Sumatera

Laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Pulau Sumatera, secara langsung telah memberikan pengaruh signifikan pada terjadinya pengurangan populasi gajah sumatera di alam. Dampak pengurangan terbesar pada keberadaan populasi gajah di alam selain karena adanya perburuan, juga disebabkan oleh semakin berkurangnya luasan habitat gajah. Pengurangan habitat gajah secara nyata ini karena berubahnya habitat gajah sumatera menjadi perkebunan monokultur skala besar (sawit, karet, kakao) yang telah menggusur habitat gajah sumatra. Selain itu hal ini juga telah membuat gajah terjebak dalam blok-blok kecil hutan yang tidak cukup untuk menyokong kehidupan gajah untuk jangka panjang, di sisi lain hal ini juga yang menjadi pemicu terjadinya konflik antara manusia dengan gajah. Untuk itu, perlu adanya penanganan khusus terutama untuk menghindarkan gajah dari kepunahan dan juga konflik dengan manusia (Suara Satwa, 2008).

Pengelolaan Gajah Jinak

Dirjen PHKA (2007) menyebutkan bahwa gajah jinak memiliki sejarah yang panjang dan merupakan suatu permasalahan yang penting bagi konservasi gajah di Indonesia. Gajah jinak di Indonesia mulai dikelola pada tahun 1980-an, pada saat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) melakukan penangkapan gajah liar untuk mengurangi konflik gajah dengan manusia.

(22)

dengan konsep tersebut kemudian direvisi oleh pemerintah Indonesia karena dianggap tidak berkesinambungan dan dapat mempengaruhi kelestarian gajah di habitat aslinya. Pemerintah Indonesia kemudian mencoba mengembangkan pengelolaan gajah jinak dengan pendekatan baru yang inovatif dan berusaha untuk tidak menangkap gajah liar di alam sebagai salah satu upaya penanggulangan konflik (Dirjen PHKA, 2007).

Menurut Dirjen PHKA (2007), Pengelolaan gajah jinak di Indonesia sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Namun demikian pemerintah juga melakukan kerjasama dengan lembaga konservasi dari dalam dan luar negeri untuk memperbaiki manajemen yang sudah ada. Beberapa hal yang telah dilakukan pemerintah dengan mitranya dalam pengelolalaan gajah jinak di Indonesia, yaitu : 1. Mitigasi konflik gajah-manusia

Gajah jinak digunakan untuk menangani konflik gajah-manusia di daerah daerah yang sering mengalami konflik. Gajah jinak digunakan untuk menggiring gajah liar kembali ke habitatnya.

2. Registrasi

Kegiatan registrasi gajah jinak dengan menggunakan microchip. Hingga saat ini telah dilakukan proses registrasi telah dilakukan disebagian besar populasi gajah jinak di Sumatera. Diperkirakan sekitar 174 ekor (36%) dari seluruh gajah yang ada di PLG sudah diregistrasi.

3. Penelitian ekologi

(23)

4. Kegiatan konservasi

Gajah jinak telah digunakan untuk berbagai kegiatan konservasi termasuk patroli, perlindungan habitat, monitoring dan survey satwa liar lain.

5. Pendidikan konservasi

Gajah jinak merupakan alat penting yang digunakan untuk menyampaikan pesan konservasi.

6. Ekoturisme

Kegiatan ekoturisme adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan di hampir semua PKG dan diharapkan dapat membantu pengelolaan PKG secara mandiri.

CRU (Conservation Response Unit)

Konsep Conservation Response Unit (CRU) didasari oleh keinginan untuk menyelamatkan biodiversitas dengan menerapkan beberapa strategi konservasi. Pendekatan secara eksitu dan insitu tidak selamanya efektif, karena tidak ada satu pun metode yang dapat diterapkan secara optimal untuk berbagai kondisi dan dapat menyelesaikan semua permasalahan. Perbedaan sistem konservasi diharapkan dapat saling melengkapi satu dengan yang lainnya dan dapat menutupi kelemahan-kelemahan yang ada pada satu metode. Sehingga keberhasilan dari penggunaan sistem insitu dan eksitu tergantung pada kekuatan antar hubungan keduanya (FFI, 2007).

Pelaksanaan program CRU telah didukung oleh United States Fish and Wildlife Service (USFWS) sejak tahun 2002, dan juga termasuk ranger hutan,

(24)

untuk melakukan konservasi pada habitat gajah yang tersisa. Kapasitas sarana adalah kunci yang utama pada konsep CRU dan tim-tim yang telah dibentuk dilatih untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang cara mengatasi konflik yang terjadi antara manusia dengan gajah, mengawasi penggunaan sumber daya hutan, melakukan pengawasan terhadap penggunaan sumber daya hutan secara ilegal dan juga bertanggung jawab atas penyuluhan terhadap kesadaran masyarakat lokal tentang konservasi hutan. Penyuluhan yang dilakukan kepada masyarakat lokal diharapkan mampu memberikan kedekatan secara pribadi dengan camp gajah dan pembelajaran secara interaktif ini diatur sedemikian rupa agar terjadi kedekatan satu dengan yang lainnya (FFI, 2007)

Model yang telah dibuat CRU merupakan salah satu metode yang menghasilkan ikatan yang kuat antara konservasi gajah secara insitu dan eksitu. Model ini menggambarkan bagaimana perlakuan kepada gajah tangkapan dengan mahotnya dilapangan yang berdasarkan kepada konsep konservasi gajah liar dan habitatnya yang diharapkan akan dapat mengahasilkan pengaruh positif bagi masyarakat dan gajah. Dengan membuat hubungan ini, maka dapat menyakinkan bahwa gajah-gajah ini dilihat sebagai sumber daya yang penting. Dengan demikian masyarakat lokal, lembaga yang berkepentingan dan para stakeholder lainnya akan memberikan kontribusi mereka yang tentu saja diharapkan mampu memberikan perhatian yang khusus terhadap perlindungan gajah-gajah sumatera baik di habitat aslinya maupun pada penangkaran (FFI, 2007).

Pada wilayah Sumatera Utara, CRU dikembangkan di Tangkahan. Ruang lingkup kegiatan CRU antara lain :

(25)

2. Patroli hutan dan pengawasan juga penegakan hukum.

3. Pengembangan ekoturisme berbasiskan masyarakat dan menggali potensi lainnya sebagai pendapatan alternatif di Tangkahan.

4. Peningkatan hubungan antar masyarakat lokal dengan pengunjung. 5. Mitigasi konflik antara manusia dengan gajah.

Konsep yang dibawa CRU sebagai latar belakang filosopi pendirian organisasi ini telah mendapatkan berbagai apresiasi dari berbagai komunitas konservasi gajah baik secara nasional maupun internasional dan konsep tersebut juga diterapkan dibagian lain Sumatera (Bengkulu) yang bekerjasama dengan FFI, International Elephant Foundation (IEF) dan BKSDA sebagai bagian dari strategi konservasi

gajah sumatera (FFI, 2007).

FFI (2007) menyebutkan bahwa CRU banyak menghadapi berbagai hambatan dalam melakukan konservasi habitat gajah sumatera. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan adanya kerjasama yang dibangun antar pihak-pihak yang terkait. Disadari bahwa tanpa adanya kerjasama yang baik sangat sulit untuk melakukan manajemen tempat penangkaran dengan kondisi yang lebih baik. Dengan menguatkan hubungan kepada masyarakat yang berada disekitar TNGL, CRU memiliki beberapa target yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, antara lain adalah :

(26)

2. Mencegah berbagai aktivitas kriminal yang terjadi di wilayah taman nasional khususnya penebangan liar melalui patoli hutan dan penegakan hukum.

3. Mengembangkan ekoturisme berbasis kemasyarakatan dan memfasilitasi kegiatan konservasi gajah sebagai wujud pengembangan perencanaan ekoturisme untuk menjamin keberlangsungan kegiatan tersebut secara finansial.

4. Menggali potensi-potensi yang ada sebagai mata pencaharian alternatif yang dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal di Tangkahan.

5. Melakukan penyuluhan terhadap masyarakat dan pengunjung untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan akan nilai dari hutan dan tanggung jawab perlindungan pada kawasan hutan Tangkahan juga Seikundur-Besitang.

Kawasan Ekowisata Tangkahan (KET)

Kawasan Ekowisata Tangkahan terletak di zona penyangga Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Terletak di ketinggian130 meter sampai 800 meter di atas permukaan laut. Terletak di pertemuan dua sungai yaitu: Sungai Buluh dan Sungai Batang

Serangan, yang mengalir lebih ke hilir pertemuan Sungai Musam (Visitor Center KET, 2004).

(27)

telah mereka lakukan sehingga atas kesepakatan bersama masyarakat di Tangkahan kemudian memutuskan untuk menghentikan pembalakan kayu illegal dari Taman Nasional Gunung Leuser dan mengembangkan kawasan Tangkahan menjadi daerah ekowisata. Pada tahun 2001, masyarakat Tangkahan berkumpul dan menyepakati peraturan desa (perdes) yang melarang segala aktivitas yang mengeksploitasi hutan secara illegal dan mendirikan Lembaga Pariwisata Tangkahan (BBTNGL, 2009).

Pada bulan April 2002, LPT membuat nota kesepahaman (MoU) dengan pihak pengelola Taman Nasional Gunung Leuser untuk mengelola Tangkahan sebagai tujuan wisata seluas 17.500 Ha. LPT juga mendirikan Community Tour Operator (CTO) yang berfungsi memfasilitasi penyediaan akomodasi, interpreter

bagi pengunjung dan paket-paket wisata yang menarik. Kawasan wisata Tangkahan juga sudah dikenal dan banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara yang biasanya sering dibawa oleh pemandu lokal dari Bukit Lawang. Memiliki tipe ekosistem dataran rendah dan dataran tinggi dengan kondisi hutan yang masih terjaga kemurniannya (BBTNGL, 2009).

Penduduk di sekitar kawasan wisata Tangkahan sebagian besar hidup dari sektor pertanian dan perkebunan. Anak-anak mudanya banyak yang bekerja sebagai guide/pemandu di lokasi wisata ini. Mayoritas suku penduduknya adalah suku Karo dan sebagian lagi adalah suku Jawa serta Melayu (BBTNGL, 2009)

AHP (Analytical Hierarchy Process)

Analytical Hierarchy Process ( AHP ) adalah suatu metode unggul untuk

(28)

tertentu atau khusus. Kriteria dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif, dan bahkan kriteria kuantitatif ditangani dengan struktur kesukaan pengambil keputusan daripada berdasarkan angka. Dengan adanya hirarki, masalah kompleks atau tidak terstruktur dipecah dalam sub-sub masalah kemudian disusun menjadi suatu bentuk hierarki. AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah multi-kriteria yang berdasar pada perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki (Amborowati, 2008).

Prinsip Dasar Analytical Hierarchy Process menurut Saaty, (1993) dalam Tantyonimpuno, (2006 ), meliputi :

1. Problem Decomposition (Penyusunan Heirarki Masalah).

Dalam penyusunan hierarki ini perlu dilakukan perincian atau pemecahan dari persoalan yang utuh menjadi beberapa unsur/komponen yang kemudian dari komponen tersebut dibentuk suatu hierarki. Pemecahan unsur ini dilakukan sampai unsur tersebut sudah tidak dapat dipecah lagi sehingga didapat beberapa tingkat suatu persoalan. Penyusunan hierarki merupakan langkah penting dalam model analisis hierarki.

2. Comparative Judgement (Penilaian Perbandingan Berpasangan).

(29)

3. Synthesis of Priority (Penentuan Prioritas).

Sintesa adalah tahap untuk mendapatkan bobot bagi setiap elemen hirarki dan elemen alternatif. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat untuk mendapatkan global priority, maka sintesis harus dilakukan pada setiap local priority. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting.

4. Logical Consistensy (Konsistensi Logis).

Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Konsistensi data didapat dari rasio konsistensi (CR) yang merupakan hasil bagi antara indeks konsistensi (Ci) dan indeks random (Ri).

Menurut Saaty dalam Tantyonimpuno, (2006) AHP sendiri memiliki kelebihan dan keuntungan dalam penerapannya. Kelebihan AHP tersebut yaitu : 1. struktur yang berhirarki merupakan konsekuensi dari kriteria yang dipilih

sampai pada subkriteria paling dalam.

2. memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan. 3. memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas

pengambil keputusan.

Sedangkan keuntungan dari penggunaan metode AHP adalah sebagai berikut : 1. Kesatuan : AHP memberi satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes

(30)

2. Kompleksitas : AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. Sintesis : AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

4. Konsistensi : AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan prioritas.

5. Saling ketergantungan : AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

6. Tawar menawar : AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas alternatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

7. Pengukuran : AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal dan wujud suatu metode penetapan prioritas.

8. Pengulangan proses : AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

9. Penilaian dan konsensus : AHP tak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda. 10. Penyusunan hirarki : AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk

memilah-milah elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa pada setiap tingkat.

(31)

1. Mendefinisikan permasalahan dan menentukan tujuan. 2. Membuat hirarki.

Masalah disusun dalam suatu hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.

3. Melakukan perbandingan berpasangan.

Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.

Langkah berikutnya dalam proses ini melibatkan perhitungan vektor kolom. Hal ini diperoleh dengan mengalikan matriks tujuan dengan bobot relatif, misalnya bobot tujuan. Dalam bentuk persamaan

Vk=Mk*wi k

Keterangan :

Vk= vector kolom pengambil keputusan ke-k Mk= matrik obyektif pengambil keputusan ke-k

Wik= bobot relative dari obyek ke-I terhadap pengambil keputusan ke-k

Tabel 1. Nilai skala AHP Intensitas

Pentingnya

Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya. Dua elemen menyumbang sama besar pada sifat tersebut.

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya.

Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen lainnya.

5 Elemen yang satu sangat penting daripada elemen yang lainnya.

Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya.

7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen yang lain.

Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek.

9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lain.

Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang tertinggi yang mungkin menguatkan.

2, 4 ,6 ,8 Nilai-nilai diantara dua pertimbangan yang berdekatan.

Kompromi diperhatikan di antara dua pertimbangan.

kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.

(32)

Dengan vektor kolom dari bobot, nilai eigen maksimum atau pokok (yang disumbangkan oleh Ymaks) dihitung. Semakin dekat nilai eigen utama adalah ke n, yang lebih konsisten adalah penilaian subjektif itu berasal dengan mengambil

rata-rata dari jumlah rasio dari vektor kolom dan bobot relatif (Saaty, 1980 dalam Rahmawaty, 2011).

q

maks = ∑ vk/wik / q

k=1

Keterangan :

k = urutan matriks 1 sampai q yang setara dengan jumlah pembuat keputusan Pusat untuk AHP adalah ukuran dari konsistensi dalam penilaian manusia. Penyimpangan dari konsistensi dapat diwakili oleh indeks konsistensi (CI). Nilai ini adalah perbedaan antara nilai eigen maksimum atau pokok dan jumlah tujuan (N) dibagi dengan n-1. Bentuk persamaan sebagai berikut:

CI = maks – n / n-1

Keterangan :

CI = indeks konsistensi

maks = nilai eigen pokok

Untuk mendapatkan ide dari konsistensi penilaian, CI dibandingkan dengan indeks konsistensi acak (RI) dari nilai-nilai seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Sebuah rasio konsistensi sepuluh persen atau kurang dianggap dapat diterima. Persamaan rasio konsistensi (CR) sebagai berikut:

CR = CI/RI Keterangan :

(33)

RI = indeks random

Malczewski (1999) dalam Rahmawaty (2011) menyebutkan bahwa ketika CR kurang dari 0,1, ada tingkat wajar konsistensi dalam perbandingan berpasangan. Jika CR lebih dari atau sama 0,1, nilai-nilai dari rasio tersebut tidak konsisten. Dalam kasus terakhir, nilai asli dalam matriks perbandingan pasangan yang bijaksana harus direvisi.

Tabel 2. Nilai indeks konsistensi random (RI)

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56

Dalam proses yang terkait dengan derivasi dari prioritas alternatif, sehubungan dengan setiap tujuan pada tingkat 3 hirarki, bobot relatif dari alternatif yang didasarkan pada tujuan masing-masing dihitung dengan cara yang

sama. Peringkat akhir dari alternatif (menunjukkan dengan ωj) itu dihitung dengan

melakukan perkalian matriks bobot relatif dari alternatif per tujuan (dilambangkan

dengan ωij) dan bobot relatif dari tujuan (dilambangkan dengan ωi). Ini dihitung

dengan menggunakan persamaan:

ωj= Mij * ωi Keterangan :

ωj = bobot akhir dari alternatif j

Mij = matriks bobot relatif alternatif per obyektif

ωi = Pembobotan obyektif

di samping itu, Mij mengambil bentuk: Mij = ω11…..ω1p

(34)

Keterangan :

ω11 = bobot relative dari alternatif 1 (j ke p) terhadap obyektif 1 (I ke n)

Langkah terakhir adalah untuk agregat prioritas vektor dari setiap tingkat yang diperoleh pada langkah kedua, untuk menghasilkan bobot keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara perkalian urutan vektor bobot pada setiap tingkat hirarki. Bobot keseluruhan mewakili rating alternatif sehubungan dengan tujuan keseluruhan. Ri skor keseluruhan alternatif ke-i adalah

jumlah total dari peringkat tersebut pada setiap tingkat yang dihitung sebagai berikut :

RI = ∑kωkrik

Keterangan :

ωk = vektor prioritas berhubungan dengan elemen ke-k dari hirarki

rik = vektor prioritas berasal dari membandingkan alternatif pada setiap kriteria.

(35)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Ekowisata Tangkahan (KET), yaitu : di Desa Namo Sialang (dengan konsentrasi lokasi penelitian pada Dusun Kuala Buluh, Dusun Kuala Gemoh dan Dusun Titi Mangga), dan di Desa Sei Serdang (dengan konsentrasi lokasi pada Dusun Namo Unggas), Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli hingga Agustus 2011.

(36)

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah : Kamera digital, alat tulis, software expert choice, microsof excel dan perangkat komputer. Sedangkan bahan

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.

Metode Penelitian

Pelaksanaan penelitian dari mulai dilakukannya penenelitian di lapangan sampai dengan proses analisis data yang didapat sesuai dengan kebutuhan untuk menjawab tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Pengelolaan gajah jinak yang dilakukan oleh CRU.

Data yang dibutuhkan untuk mengetahui pengelolaan gajah jinak yang dilakukan oleh CRU adalah data primer. Data primer adalah data yang dikumpulkan dengan cara peninjauan langsung ke lapangan. Data primer didapatkan peneliti melalui proses observasi ke lapangan dan wawancara dengan pihak manajemen CRU. Data tersebut meliputi: informasi rutinitas pengelolaan harian gajah jinak yang dilakukan oleh CRU, Biaya pengelolaan dan pendapatan CRU dan informasi permasalahan pengelolaan gajah jinak yang dihadapi oleh CRU di Tangkahan.

(37)

argumentasi didasarkan pada data yang diperoleh melalui kegiatan teknik perolehan data.

2. Bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

Mengenai tujuan kedua dari penelitian ini, data yang dibutuhkan adalah primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner AHP kepada para responden ahli. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan cara mencari informasi melalui buku, peneitian ilmiah dan jurnal ilmiah.

Responden ahli dipilih secara purposive sampling, karena menurut Soekartawi (1995) dalam purposive sampling, pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan ciri atau sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya. Oleh karena itu pada penelitian ini responden ahli ditetapkan berjumlah sembilan orang yang terdiri dari : satu orang dari pihak Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT), satu orang dari pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), satu orang dari pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Langkat, dua orang dari tokoh adat desa / tokoh masyarakat, satu orang dari peneliti ahli gajah sumatera, satu orang dari pihak manajemen CRU Tangkahan dan dua orang dari pihak kepala desa.

Metode analisa AHP dan data yang diperoleh melalui kuesioner responden diproses dengan menggunakan program komputer Expert Choice 2000. Program Expert Choice 2000 dirancang untuk proses pengambilan keputusan dalam

(38)

1. Buka file baru dengan memilih menu file kemudian new. 2. Membuat File Name untuk menyimpan data yang dianalisis.

3. Isikan goal atau hasil yang anda inginkan yang menunjukkan inputan Evaluation and Choice model, kemudian klik OK.

4. Untuk memasukkan kriteria yang akan dicari bobotnya, maka pilih Edit, kemudian pilih Insert Child Of Current Node, kemudian akan muncul tampilan node.

5. Berikutnya masukkan kriteria-kriteria yang akan dinilai bobotnya dan akhiri dengan esc.

6. Masukkan alternatif-alternatif dengan cara klik ( + A ) dan klik OK.

7. Untuk melakukan pembobotan arahkan kursor ke goal/ tujuan, klik Assessment dan kemudian klik Pairwise Numerical Comparasion (lambang 3:1) beri bobot kepentingan dengan membandingkan tiap elemen yang ada di kriteria.

8. Hal yang sama dilakukan dalam pembobotan kepentingan alternatif-alternatif yang ada. Arahakan kursor ke tiap elemen criteria yang ada. Pada tiap elemen lakukan pembobotan alternatif dengan cara klik Assessment dan kemudian klik Pairwise Numerical Comparasion (lambang 3:1)

9. Hasil dari pembobotan harus dengan inconsistency dibawah 0.1. karena ini berarti penilaian yang dilakukan konsisten. Jika inconsistency lebih dari 0.1, maka harus dilakukan penyebaran kuisioner ulang.

10. Setelah hasil dimasukkan dan inconsistency dibawah 0.1 maka klik tanda 11. Untuk mengetahui tampilan lain dari hasil pembobotan maka klik tanda

(39)

alternatif, maka klik menu Synthesize lalu pilih With Respect to Goal. Maka akan ditampilkan hasilnya sekaligus dengan nilai Overall Inconsistency-nya

Kesejahteraan dan keamanan masyarakat

Analisis data menggunakan metode AHP dengan batas tingkat inkonsistensi dalam penelitian adalah 10 persen. Selanjutnya, hasil pembobotan per individu apabila konsisten, digabungkan dengan rumus rataan geometrik yang kemudian hasilnya disatukan dalam satu tabel.

RG = n√X1 . X2 ….. Xn

Keterangan :

RG = Rataan geomterik N = Jumlah responden

X1, X2 … Xn = Penilaian responden ke-1, ke-2 sampai dengan ke-n.

Sasaran

Kriteria

Alternatif

Pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan

(40)

Hasil rataan geometrik tersebut kemudian dicari prioritasnya lewat mekanisme perhitungan nilai setiap elemen pada tabel rataan geometrik dibagi dengan jumlah total rataan geometrik di setiap kolomnya.

3. Pengaruh pemanfaatan gajah jinak oleh CRU terhadap wawasan masyarakat dalam konservasi gajah.

Data yang dikumpulkan untuk menjawab tujuan ketiga penelitian ini adalah bersifat primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada masyarakatdesa. Data yang dikumpulkan yaitu : informasi mengenai identitas responden, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dan informasi wawasan masyarakat dalam konservasi gajah seperti : wawasan tentang status populasi gajah, jenis pakan gajah, habitat gajah, gajah sebagai satwa yang dilindungi pemerintah, manfaat gajah bagi manusia, konflik manusia dengan gajah dan kesiapan masyarakat dalam mengelola gajah jinak secara mandiri. Sedangkan data sekunder didapatkan melalui buku, penelitian ilmiah dan jurnal ilmiah.

Pengambilan sampel masyarakat pada Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang dilakukan secara acak/random. Arikunto (2002), untuk pengambilan sampel penelitian masyarakat adalah sebagai berikut :

a. Apabila jumlah penduduk ≤ 100 kepala keluarga, maka diambil seluruh responden.

(41)

Pada penelitian ini, sampel kepala keluarga diambil 15 % dari jumlah kepala keluarga dimasing-masing konsentrasi lokasi penelitian.

Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan diketahui jumlah total masyarakat di Desa Namo Sialang yang terdapat pada Dusun Kuala Buluh, Dusun Kuala Gemoh dan Dusun Titi Mangga adalah 243 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan jumlah masyarakat untuk Desa Sei Serdang yang terdapat pada Dusun Namo Unggas adalah 296 KK. Dengan pengambilan sampel 15 % maka jumlah KK di Desa namo Sialang yang menjadi responden adalah 36 KK dan jumlah KK di Desa Sei Serdang jumlah respondennya adalah 44 KK.

Data kuesioner yang diperoleh dari masyarakat dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Analisa deskriptif kuantitatif adalah analisa penjelasan untuk data-data yang bersifat kuantitatif dengan metode tabulasi dan skala Likert. Data yang diperoleh dari kuesioner adalah data ordinal yang mengukur tingkatan atau gradasi dari sangat positip sampai sangat negatif. Skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekolompok orang tentang fenomena sosial yaitu skala likert (Sugiyono, 2006). Untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban dapat diberi skor. Misalnya :

Skor 5 : Sangat setuju/sangat tahu/sangat positif Skor 4 : Setuju/tahu/positif

Skor 3 : Ragu-ragu/netral

Skor 2 : Tidak setuju/tidak tahu/ tidak pernah/negatif Skor 1 : Sangat tidak setuju/sangat tidak tahu/tidak pernah

(42)

2. Ragu-ragu/netral diberi skor 2

3. Tidak Setuju/tidak tahu/tidak pernah diberi skor 1

Kemudian dilakukan rekapitulasi data kuisioner dengan perhitungan sesuai dengan literatur Riduwan (2002), yaitu :

Jumlah skor tertinggi : ∑ Soal x ∑ Jawaban Tertinggi x ∑ Responden Jumlah skor terendah : ∑ Soal x ∑ Jawaban Terendah x ∑ Responden

Kemudian dilakukan klasifikasi dengan mencari interval kelas yang akan dibuat, dengan cara :

Interval (Ci) = Range / Jumlah kelas Keterangan :

Range adalah selisih jumlah skor tertinggi dan jumlah skor terendah.

Setelah diketahui intervalnya maka kemudian dapat dibuat menjadi 5 kelas sesuai dengan skala Likert, kemudian dilakukan rekapitulasi data sehingga hasil dapat digolongkan pada daerah mana jawaban berada pada skala dan presentase kelompok responden.

0 20% 40% 60% 80% 100% Sangat lemah Lemah Cukup Kuat Sangat kuat

Gambar 3. Interval dalam skala Likert

Keterangan :

Angka 0% - 20% = Sangat Lemah

Angka 21% - 40% = Lemah Angka 41% - 60% = Cukup

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan Gajah Jinak yang Dilakukan oleh CRU

Harapan agar pengelolaan gajah jinak yang ada di Tangkahan kelak dapat ditangani secara langsung oleh masyarakat di sekitar KET, menjadikan informasi pengelolaan tersebut perlu dikumpulkan agar dapat menjadi pedoman bagi masyarakat dalam mengelola gajah jinak yang ada di Tangkahan. Adapun informasi yang diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan pihak manajemen CRU di Tangkahan, adalah :

Pengelolaan harian gajah jinak

Pengelolaan gajah jinak di Tangkahan dilakukan mulai pagi hari sampai dengan sore hari semua sudah terjadwal dengan baik walau tidak tertulis secara formal. Pihak mahout (pawang gajah) sudah saling menyadari tugasnya masing-masing selaku pihak yang terlibat secara langsung kesehariannya dengan gajah jinak yang ada di Tangkahan. Kegiatan pengelolaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengelolaan harian gajah jinak

No Kegiatan Waktu

1 Memandikan gajah Pagi dan sore setiap harinya

2 Memberi makan gajah Pagi dan sore setiap harinya

3 Memasak pudding / suplemen Senin dan Kamis

4 Melatih gajah Setiap hari

5 Menggembalakan gajah Setiap hari

6 Trekking Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu dan Minggu

(44)

Adapun deskripsi kegiatannya adalah sebagai berikut :

a. Memandikan gajah, secara rutin dilakukan setiap harinya pada pagi dan sore

hari dengan durasi sekitar satu jam. Sebelum dimandikan gajah terlebih dahulu harus membuang feces untuk menjaga kesehatan gajah.

b. Memberi makan gajah, secara rutin kegiatan ini dilakukan setiap harinya

sebanyak dua kali yaitu pada pagi hari dan sore hari. Pakan yang diberikan adalah pelepah sawit yang dibeli dari masyarakat. Biasanya pelepah tersebut diambil terlebih dahulu oleh gajah dengan diperintah oleh mahout.

c. Memasak puding, dilakukan sebanyak dua kali dalam seminggu yaitu pada

hari Senin dan Kamis. Puding dimasak dengan campuran jagung (7,5 Kg), beras (7,5 Kg), gula merah (2 Kg), Milton (1 kg) dan dedak (12,5 Kg). Setelah pudding masak, pudding didinginkan dulu agar mudah untuk membaginya. Puding/suplemen yang dimasak hari senin dibagi sama rata dan diberikan ke setiap ekor gajah pada hari Selasa dan yang dimasak pada hari Kamis diberikan pada hari Jumat.

d. Melatih gajah, dilakukan dengan perintah-perintah sederhana, seperti : angkat

kaki, duduk, berbaring/tidur dan angkat belalai. Secara rutin kegiatan ini dilakukan setiap harinya dengan durasi waktu latihan biasanya berkisar satu jam. Latihan ini juga bermanfaat untuk mempermudah pemeriksaan kondisi kesehatan tubuh gajah.

e. Menggembalakan gajah, dilakukan pada waktu senggang bagi gajah yang

(45)

f. Trekking (menunggangi gajah menyelusuri pinggiran hutan di Tangkahan), dilakukan pada hari Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu dan Minggu. Trekking dilakukan pada pagi dan siang hari dengan ketentuan jauh perjalanan hanya berkisar satu jam dari lokasi CRU. Untuk pagi hari trekking dilakukan sebanyak dua kali jika permintaan tamu atau pengunjung banyak yaitu untuk perjalanan pergi dan pulang yang masing-masing lamanya perjalanan adalah satu jam. Untuk siang hari hanya berlaku satu kali yaitu untuk perjalanan pergi saja. Biasanya kegiatan trekking pada pagi hari dilakukan setelah kegiatan elephant washing (memandikan gajah). Para tourist diberi kenyamanan saat

trekking, karena pada punggung gajah diberi pelana (tempat duduk) yang

cukup aman. satu ekor gajah bisa dinaiki oleh dua orang tourist dan satu orang mahout.

g. Patroli kawasan hutan, biasanya dilakukan pada hari Senin atau Kamis, yang

(46)

untuk periode setiap bulannya baik ada atau tidak adanya tourist yang ikut serta.

Mengenai rincian waktu dari rutinitas pengelolaan gajah jinak di Tangkahan lebih lengkapnya dijelaskan pada Lampiran 4.

Biaya pengelolaan dan pendapatan CRU

a. Biaya pengelolaan

Informasi mengenai biaya pengelolaan gajah jinak yag ditanyakan peneliti kepada pihak manajemen CRU adalah terkait dengan biaya pengeluaran pihak manajemen CRU. Biaya pengeluaran pengelolaan gajah jinak yang dibutuhkan setiap bulan dirincikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Biaya pengelolaan gajah jinak di Tangkahan. No. Kebutuhan

Makanan

Biaya Keterangan

1 Pelepah Sawit

Rp 13.000.000,00 Kebutuhan pelepah sebanyak 1300 pelepah dan dalam sebulan ada 10 kali pembelian dari masyarakat, harga per pelepah adalah Rp 1000,00

2 Tebu Rp 1.800.000,00 Kebutuhan Tebu sebanyak 3000 batang, dalam sebulan ada 3 kali pemberian, harga per batang adalah Rp 2.000,00 3 Pisang Rp 1.800.000,00 Kebutuhan per bulan 600 sisir dengan harga per sisir adalah

Rp 2.750,00 s/d Rp 3.000,00

4 Nenas Rp 2.080.000,00 Kebutuhan nenas dalam sebulan adalah ± 520 buah, dimana harga per buah nenas Rp 4.000,00

5 Puding / Suplemen

Rp 3.000.000,00 Dengan rincian kebutuhan beras 7,5 Kg, jagung 7,5 Kg, gula merah 2 Kg, milton 1 Kg, dedak 12,5 Kg. yang semua bahan tersebut diolah menjadi suplemen. pembuatan suplemen dilakukan sebanyak 8 kali dalam sebulan.

6 Obat-obatan Rp 3.000.000,00 Biaya berasal dari pihak Lembaga induk yaitu Vesswic. Total Rp 24.680.000,00

(47)

b. Pendapatan CRU

Informasi mengenai pendapapatan CRU yang diperoleh dari hasil pemanfaatan gajah untuk ekowisata didasarkan pada pendapatan rata-rata per bulan yang mereka dapatkan berdasarkan jumlah tamu (visitor) yang datang ke CRU untuk kegiatan trekking dan elephant washing. Adapun rincian pendapatan CRU berdasarkan jumlah tourist dan paket yang dipilih tourist tersebut rata-ratanya per bulan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pendapatan CRU No Jenis

1 Trekking 250.000 untuk kategori dewasa sedangkan Sumber: data kunjungan tourist CRU 2010.

Jumlah kunjungan tourist tertinggi yang meminta kegiatan trekking biasanya terjadi pada bulan Juli, karena pada bulan tersebut tepat pada musim

liburan Eropa. Pada Tahun 2011 harga paket untuk trekking menjadi Rp 300.000,00 . Sedangkan untuk perencanaan harga paket trekking pada tahun

2012 akan naik menjadi Rp 650.000,00.

Paket elephant washing mulai diberlakukan pada bulan Juni 2010, dimana sebelumnya elephant washing dan trekking menjadi satu paket. Namun, pada tahun 2012 harga paket elephant washing direncanakan akan naik menjadi

(48)

Rencana kenaikan harga setiap paket wisata disebabkan oleh kebutuhan biaya yang sangat besar dalam mengelola gajah jinak, karena sampai saat ini pendapatan yang diperoleh CRU dari paket wisata belum begitu mencukupi kebutuhan untuk mengelola gajah, terlebih lagi untuk memperoleh keuntungan dari hasil paket wisata tersebut. Sampai saat ini, hasil pendapatan tersebut hanya diperuntukkan untuk biaya pengelolaan gajah jinak saja.

Permasalahan pengelolaan gajah jinak

Berdasarkan keterangan dari pihak manajemen CRU yang diwawancarai oleh peneliti, bahwa ada beberapa hal permasalahan yang saat ini sedang dihadapi oleh pihak manajemen CRU, yaitu :

a. Tidak adanya lahan atau lokasi pengelolaan gajah jinak, karena saat ini tanah yang ditempati oleh CRU sebagian besar adalah milik PTPN II. Tentu saja hal ini menghambat ruang pengelolaan gajah jinak. Seharusnya pemerintah sudah bisa memikirkan dan mencari solusi mengenai penyediaan lahan atau lokasi pengelolaan gajah jinak yang ada di Tangkahan. Karena mengingat status Tangkahan sangat penting bagi perkembangan pariwisata yang memanfaatkan gajah jinak di dalamnya, sehingga bisa saja Tangkahan menjadi model percontohan dalam pengelolaan gajah jinak yang dimiliki oleh Provinsi Sumatera Utara.

(49)

para pihak yang terkait di dalama Kawasan Ekowisata Tangkahan. Oleh karena itu, fasilitas-fasilitas yang mendukung kesejahteraan satwa gajah sudah seharusnya bisa dilengkapi untuk menjamin kelayakan hidup gajah jinak yang ada di Tangkahan.

c. Tidak adanya lahan khusus untuk menggembalakan gajah, karena saat ini kegiatan penggembalaan hanya dilakukan di sekitar kebun sawit dan di sekitar sepadan sungai. Keberadaan lahan untuk menggembalakan gajah jinak juga penting karena untuk memvariasikan makanannya. Variasi pada pakan sangat penting, karena dapat menambah nutrisi alami yang dibutuhkan oleh gajah jinak. Kondisi ini tentu juga berkaitan dengan upaya pembebasan lahan untuk ruang gerak pengelolaan gajah jinak yang seharusnya bisa direalisasikan. d. Besarnya biaya pengelolaan gajah jinak, untuk satu ekor gajah bisa mencapai

Rp 150.000,00 per harinya. Kondisi ini memaksa para pihak yang berkaitan memikirkan sumber dana untuk memenuhi kebutuhan dalam pengelolaan gajah jinak tersebut, karena selama ini kontribusi dari pemerintah belum ada terkait dengan pengadaan dana untuk keperluan tersebut. Sehingga sampai saat ini dana tersebut secara swadaya dikelola oleh CRU dari sumber pendapatan dari paket-paket wisata yang ditawarkan ke para wisatawan.

(50)

Bentuk Pemanfaatan Gajah Jinak yang Paling Sesuai di Tangkahan

CRU sebagai lembaga yang paling berkepentingan dalam pengelolaan gajah jinak di Tangkahan dan juga merupakan mitra dari Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) telah melakukan beberapa kegiatan yang memanfaatkan gajah jinak. Kegiatan - kegiatan tersebut adalah : kegiatan ekowisata, patroli kawasan hutan, mitigasi konflik manusia dengan gajah dan penyuluhan konservasi sumber daya hutan.

Bentuk kegiatan yang telah dilakukan oleh CRU di Tangkahan, sesuai dengan bentuk kerja sama yang telah dijalin pemerintah dengan pihak lembaga konservasi baik dalam maupun luar negeri. Dirjen PHKA (2007) menyebutkan bahwa beberapa hal yang telah dilakukan pemerintah dengan mitranya dalam pengelolalaan gajah jinak di Indonesia yaitu : mitigasi konflik gajah-manusia, kegiatan registrasi gajah jinak dengan menggunakan microchip, penelitian ekologi, kegiatan konservasi, pendidikan konservasi dan Ekoturisme.

(51)

Tabel 6. Rekapitulasi hasil akhir perhitungan kriteria

Kriteria Rataan Geometrik

(RG)

Ilmu pengetahuan dan pendidikan masyarakat

0,194 0,211 3

Kelestarian satwa gajah dan flora fauna lainnya

0,238 0,258 2

Total 0,921 1

Pada Tabel 6. dapat dilihat bahwa para responden menilai kriteria kesejahteraan dan keamanan masyarakat menjadi prioritas terpenting (0,338) dan menempati (ranking 1) dalam hubungannya dengan sasaran atau goal pada struktur hirarki (Gambar 2). Kemudian diikuti kriteria kelestarian satwa gajah dan flora fauna lainnya (0,258) menempati (ranking 2), kriteria ilmu pengetahuan dan pendidikan masyarakat (0,211) menempati (ranking 3), kriteria keamanan kawasan hutan (0,193) menempati (ranking 4).

Terpilihnya kriteria kesejahteraan dan keamanan masyarakat sebagai yang paling prioritas karena seluruh responden beranggapan bahwa kepentingan dari bentuk pemanfaatan gajah jinak yang ada di Tangkahan sudah seharusnya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan dan keamanan masyarakat.

(52)

pengetahuan dan pendidikan masyarakat serta keamanan kawasan hutan sekitar Kawasan Ekowisata Tangkahan.

Selanjutnya berdasarkan hasil perhitungan expert choice (Lampiran 6) dengan cara yang sama seperti perhitungan kriteria, maka hasil akhir dari perhitungan tingkat kepentingan alternatif dalam hubungannya denga kriteria pada struktur hirarki (Gambar 2) menurut para responden dijelaskan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rekapitulasi hasil akhir perhitungan alternatif

Alternatif Rataan Geometrik (RG) Prioritas Ranking

Ekowisata 0,302 0,312 1

Patroli kawasan hutan 0,245 0,253 2

Mitigasi KMG 0,183 0,189 4

Penyuluhan konservasi SDH 0,238 0,246 3

Total 0,968 1

Pada Tabel 7. dapat dilihat sesuai bobot nilai yang terdapat pada tabel bahwa ekowisata menjadi prioritas terpenting (0,312) pilihan para responden dan menempati (ranking 1). Sedangkan alternatif patrol kawasan hutan menempati (ranking 2) dengan bobot prioritas (0,253) yang kemudian diikuti alternatif penyuluhan konservasi sumber daya hutan (0,246) menempati (ranking 3) serta mitigasi konflik manusia dengan gajah (0,189) menempati (ranking 4).

(53)

Onrizal (2009) juga menyebutkan bahwa penggunaan gajah sumatera untuk perlindungan hutan dan kegiatan ekowisata, menurut masyarakat di Tangkahan, telah menekan pembalakan liar pada hutan di Tangkahan dan sekitarnya serta pada kesempatan yang sama juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat lokal karena mereka terlibat secara langsung dalam pengelolaan kawasan ekowisata yang dikoordinir melalui LPT. Karena, dengan adanya bentuk pemanfaatan gajah jinak dalam kegiatan ekowisata, menjadikan Tangkahan memeliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung (tourist). Oleh karena itu, pengembangan pemanfaatan gajah jinak untuk kepentingan ekowisata di Tangkahan perlu untuk dikembangkan agar tercapainya harapan-harapan masyarakat terkait dengan kepentingannya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan ekowisata Tangkahan dengan tidak mengeksploitasi secara berlebihan keberadaan gajah jinak disana, artinya gajah jinak harus tetap diperhatikan kesejahteraannya.

(54)

Wawasan Masyarakat Dalam Konservasi Gajah

Tangkahan sebagai daerah wisata yang sangat diminati oleh para wisatawan luar negeri maupun dalam negeri menjadikannya menjadi salah satu daerah pariwisata andalan yang dimilki oleh Provinsi Sumatera Utara. Tangkahan terkenal dengan ikon pariwisatanya yaitu keberadaan gajah sumatera yang telah jinak dan terlatih yang dimanfaatkan oleh CRU untuk kegiatan ekowisata di Tangkhan.

Status Tangkahan sebagai daerah wisata dengan ikon gajah sumatera yang dimilkinya, sudah seharusnya didukung oleh masyarakat sekitar Kawasan Ekowisata Tangkahan terkait dengan pengetahuan atau wawasan mereka dalam konservasi gajah sumatera terlebih lagi kegiatan-kegiatan penyuluhan konservasi yang pernah dilakukan oleh pihak manajemen CRU. Karena, ironis apabila suatu daerah pariwisata dengan ikon gajah yang dimilkinya tersebut tidak didukung dengan pengetahuan masyarakat dalam konservasi gajah sumatera. Oleh karena itu, penting untuk diketahui sejauh wawasan masyarakat dalam konservasi gajah. Selanjutnya akan dijelaskan hasil dari kuesioner yang telah diisi oleh masyarakat Desa namo Sialang dan masyarakat Desa Sei Serdang (Lampiran 8).

1. Wawasan masyarakat Desa Namo Sialang dalam konservasi gajah sumatera Tabel 8. wawasan konservasi gajah Desa Namo Sialang dalam skala Likert

Kriteria Skala Likert A B C D E F G

108-152 ( sangat lemah ) - - - -

152-196 ( lemah ) 195 - - - 183

196-240 ( cukup ) - - - -

240-284 ( kuat ) - - - -

(55)

Keterangan (Tabel 8) :

A adalah aspek pertanyaan tentang status populasi gajah B adalah aspek pertanyaan tentang jenis pakan gajah C adalah aspek pertanyaan tentang habitat gajah

D adalah aspek pertanyaan tentang gajah sebagai satwa yang dilindungi E adalah aspek pertanyaan tentang manfaat satwa gajah bagi manusia F adalah aspek pertanyaan tentang konflik manusia dengan gajah

G adalah aspek pertanyaan tentang kesiapan masyarakat dalam mengelola gajah jinak secara mandiri.

(56)

melatih gajah serta mereka juga mengetahui bahwa untuk mengelola gajah jinak dibutuhkan dana yang sangat besar. Sehingga, mereka belum siap secara moril maupun materil untuk mengelola gajah jinak yang ada di Tangkahan secara mandiri.

2. Wawasan masyarakat Desa Sei Serdang dalam konservasi gajah sumatera. Tabel 9. wawasan konservasi gajah Desa Sei Serdang dalam skala Likert

Kriteria Skala Likert A B C D E F G

132-185 ( sangat lemah ) - - - -

185-238 ( lemah ) 231 187 - - - - 231

238-291 ( cukup ) - - - -

291-344 ( kuat ) - - 340 - - 325 -

344-397 ( sangat kuat ) - - - 364 350 - - Keterangan :

A adalah aspek pertanyaan tentang status populasi gajah B adalah aspek pertanyaan tentang jenis pakan gajah C adalah aspek pertanyaan tentang habitat gajah

D adalah aspek pertanyaan tentang gajah sebagai satwa yang dilindungi E adalah aspek pertanyaan tentang manfaat satwa gajah bagi manusia F adalah aspek pertanyaan tentang konflik manusia dengan gajah

G adalah aspek pertanyaan tentang kesiapan masyarakat dalam mengelola gajah jinak secara mandiri.

(57)

pengetahuan atau wawasan masyarakat. Namun, masyarakat Desa Sei Serdang memiliki wawasan konservasi gajah yang sangat baik hanya pada aspek gajah sebagai satwa yang dilindungi dan aspek gajah sebagai satwa yang bermanfaat bagi masyarakat. Wawasan ini mereka peroleh berdasarkan apa yang pernah mereka dengar dan lihat sendiri dari lapangan maupun media yang menyertakan informasi pengetahuan tersebut.

(58)

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Informasi pengelolaan gajah jinak yang dilakukan oleh CRU, meliputi: rutinitas harian pengelolaan gajah jinak, biaya pengeluaran dan pendapatan CRU dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh CRU dalam mengelola gajah jinak.

2. Bentuk pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di Tangkahan berdasarkan hasil penilaian para responden yang dirumuskan dengan menggunakan metode AHP adalah ekowisata.

3. Wawasan masyarakat dalam konservasi gajah sumatera masih perlu ditingkatkan lagi, karena dari semua aspek pertanyaan tentang gajah sumatera masih belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat. Mereka juga belum siap jika diberi tanggungjawab dalam mengelola gajah secara mandiri.

Saran

Informasi pengelolaan gajah jinak seharusnya bisa tersampaikan kepada

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Amborowati dan Armadyah. 2008. Sistem Penunjang Keputusan Pemilihan Perumahan Dengan Metode AHP Menggunakan Expert Choice. STMIK AMIKOM. Yogyakarta.

Arief, H dan Tutut Sunarminto. 2003. Studi Ekologi dan Pengelolaan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis). Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Arikunto, S. 1966. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta.

Jakarta.

BBTNGL. 2009. Ayo Berwisata di Taman Nasional Gunung Leuser. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. Medan

Dirjen PHKA. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007-2017. Direktorat jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta

Faried, A. 1996. Metode Penelitian Sosial dalam Bidang Ilmu Administrasi dan Pemerintah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

FFI-SECP. 2007. Conservation of Sumatran Elephant and Their Habitat Through Conservation Respon Unit In The Buffer Zone of Gunung Leuser National Park. Medan

Hamid, A. 2001. Mengenal Lebih Dekat Gajah Sumatera di Ekosistem Leuser. Buletin Leuser. Vol. 4 no. 11. Aceh

Onrizal. 2009. Diambang Kepunahan : Sejuta Asa Menyelamatkan Kekayaan Dunia di Sumatera Utara. Ekspedisi Geografi Indonesia 2009. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Cibinong

Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Cetakan ke-3. Penerbit Alfabeta. Bandung

Rahmawaty, Villanueva, T.R, and M.G. Carandang. 2011. Participatory Land Use Allocation. LAP Lambert. Saarbrucken, Germany.

Simangunsong, A. K. 2008. Studi Pengembangan Hutan Kota di Kota Medan. Studi Kasus di Tiga Taman Kota. Departemen Kehutanan USU. Medan

(60)

Suara Satwa. 2008. Gajah Sumatera dan Permasalahannya. Volume XII No.1 / Januari - Maret 2008. http : // www . profauna . org / suarasatwa / id / 2008 / 01 / gajah_sumatera_dan_permasalahannya. html#populasi.

Diakses tanggal 8 Januari 2011.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Penerbit. CV. Alfabeta, Bandung.

Sukumar, R. 1989. The Asian Elephant: Ecology and Management. Cambridge University Press. Cambridge. UK

SRI.2010. Gajah Sumatera: Mamalia Besar Sumatera yang Diambang Kepunahan 2011.

Tantyonimpuno, R.S dan A.D. Retnoningtias. 2006. Penerapan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Pada Proses Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Pondasi. Jurnal Teknik Sipil 3.

Indra, D. 2011. Persepsi dan Sikap Masyarakat Desa Penyangga Terhadap Pra Penetapan dan Pengelolaan Sistem Zonasi Di Taman Nasional Batang Gadis. Studi di Desa Batahan, Sibanggor Julu dan Sopotinjak Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Program Studi Kehutanan. Fakultas Pertanian USU. Medan.

Wiratno, dkk. 2004. Berkaca di Cermin Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundation. Departemen Kehutanan. Forest Press. PILI-NGO Movement. Jakarta

Gambar

Tabel 1. Nilai skala AHP Intensitas Definisi
Gambar 2. Struktur hirarki prioritas pemanfaatan gajah jinak yang paling sesuai di  Tangkahan
Gambar 3. Interval dalam skala Likert
Tabel 3.  Tabel 3. Pengelolaan harian gajah jinak No Kegiatan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai sebuah profesi, motivator menjadi sebuah pekerjaan dimana motivator sebagai sandaran dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.Adapun praktik yang dilakukan pada

Pada tabel 4.5 dapat diketahui bahwa statistik deskriptif responden dalam memberikan penilaian variabel dukungan organisasi, variabel dukungan organisasi menunjukkan jumlah

Di rumah sakit dr cipto semarang visum et repertum dibuat oleh dokter yang pertama kali menangani korban atau dokter yang pada saat itu jaga.. Apabila kasus

Apabila ditinjau dari segi pelarut yang digunakan, nilai rataan kelarutan zat ekstrakif pada kayu tulip afrika (Spatodea campanulata) yang menggunakan metode NaOH 1 % ternyata

Kegiatan budaya di Desa Kemiren tidak hanya terkait dengan kelompok masyarakat dan kegiatan mata pencaharian, namun juga terdapat beberapa kegiatan terkait dengan

Untuk bahasa pemrograman yang penulis gunakan yaitu bahasa pemrograman Java dan MySQL, lalu metode pendekatan sistem yang penulis gunakan yaitu pendekatan

Hal ini disebabkan terjadinya proses buffer terhadap pH tanah akibat dihasilkannya asam asetat pada perombakan BO jerami padi, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa asam