• Tidak ada hasil yang ditemukan

Neraca Massa Level I

Model neraca massa level I dengan basis input 3000 ton tebu per hari, dengan input massa tambahan air imbibisi, susu kapur, belerang, dan flokulan (Tabel 6). Simbol Nilai a1 0,55 a2 0,56 a3 0,50 a4 0,50 a5 0,97 a6 0,74 a7 0,28 a8 0,66 a9 0,56 a10 0,20 a11 0,20 a12 0,20 a13 0,30 a14 0,80 a15 0,35 a16 0,93 a17 0,30

Tabel 6 Neraca massa proses produksi gula level I

Bahan %a ton/hari Referensi

INPUT

Tebu 3000

Air 27,00 810 (Moerdokusumo 1993)

Susu kapur 0,15 4,5 (Sunantyo dan Harisutji 2005)

Flokulan 0,4 12,00 (Anggreini 2008)

Belerang (gas SO2) 0,05 1,35 (Sunantyo dan Harisutji 2005)

Total input 3828 OUTPUT Gula kristal 11,00 330 Ampas 30,00 900 Blotong 3,00 90 Gula tetes 3,00 90 Air diuapkan 75,00 2250 Total output 3660 Tidak teridentifikasi 5,6 168 Rendemen 11 Efisiensi sistem 95,6 a

persentase (%) terhadap tebu

Rendemen gula yang didapat adalah 11%, nilai tersebut sudah masuk dalam rentang rendemen terbaik yaitu 10-14%. Pabrik gula di Mauritius, Afrika Selatan memiliki rendemen gula 11% (Deepchand 2005), di Thailand dan Brazil sekitar 10,8% (Bantacut 2013), bahkan di Australia sudah mencapai 14,3% (Renoef et al.

2010). Berdasarkan perhitungan kesetimbangan massa level I, efisiensi sistem adalah 95,6%. Perhitungan model ini perlu dikembangkan untuk merinci aliran massa menurut proses faktual, karena hanya menghitung kesetimbangan massa secara garis besar dalam satu kompartemen dan tidak menggambarkan proses secara faktual.

Neraca Massa Level II

Perhitungan neraca massa pada level II memiliki basis yang sama seperti perhitungan pada level I (Tabel 6). Output model level II adalah rendemen gula sebesar 11,31% (Tabel 7). Nilai rendemen lebih baik dibandingkan model neraca massa level I karena model level II menjelaskan aliran massa perstasiun dan detail aliran input-output yang lebih rinci. Efisiensi sistem model neraca massa level II adalah 100%, mengartikan bahwa tidak ada bahan terbuang tidak teridentifikasi dalam proses produksi. Namun, model level II belum dapat menggambarkan aliran proses secara faktual, karena hanya terdiri dari kompartemen yang menggambarkan stasiun pokok dari proses produksi gula. Neraca massa proses produksi gula level II dapat dilihat pada Tabel 7.

16

Tabel 7 Output model neraca massa Level II

Bahan (%)a (ton) INPUTb 3828 OUTPUT Gula kristal 339,3 Hasil samping 3489 Total output 3828 Rendemen 11,31 Efisiensi sistem 100 a

persentase (%) terhadap tebu; bbasis mengacu pada Tabel 6

Neraca Massa Level III

Model neraca massa level III adalah pengembangan model level I dan II. Setiap kompartemen dikembangkan menjadi sub-sub kompartemen yang menggambarkan mesin di setiap stasiun, sehingga detail perubahan massa akan terlihat lebih jelas dan rinci. Neraca massa level III dapat dilihat pada Tabel 8.

Model Level III menghasilkan rendemen sebesar 11,82%, lebih besar dibandingkan level I, II, dan data faktual pabrik. Perbedaan rendemen disebabkan oleh aliran massa yang lebih detail dan kompleks, sehingga model lebih akurat dan konsisten. Perhitungan rinci ini mengurangi output yang tidak teridentifikasi dalam model bekerja, sehingga aliran massa memiliki efisiensi sistem 100%.

Tabel 8 Perbandingan neraca massa dengan data faktual pabrik gula

Bahan Faktual Level III Referensi

(%)a (ton) (%)a (ton)

INPUT

Tebu 3000 3000

Air 28,00 840,00 27,00 810 (Moerdokusumo 1993)

Susu kapur 2,79 83,74 0,15 4,5 (Sunantyo dan Harisutji 2005)

Flokulan 0,80 24,00 0,40 12,00 (Anggreini 2008)

Belerang (gas SO2) 0,04 1,20 0,045 1,35 (Sunantyo dan Harisutji 2005)

TOTAL 3948,94 3828 OUTPUT Gula kristal 8,25 247,63 11,78 354,71 Ampas 31,11 933,34 34,76 1043 Blotong 3,00 90,00 2,73 81,75 Gula tetes 4,57 137,11 2,07 62,10 Air diuapkan 80,16 2404,73 75,88 2286,46 Total output 3812,81 3828 Tidak teridentifikasi 4,74 136,13 0 0 Rendemen 8,25 11,82 Eisiensi sistem 97 100 a

persentase (%) terhadap tebu

Rendemen gula dapat diperbaiki jika kinerja mesin selama proses berjalan optimal. Jika dibandingkan data faktual pabrik, potensi perbaikan rendemen

adalah 3,53%. Rendemen tersebut termasuk dalam rentang rendemen terbaik 11-14% (Deepchand 2005; Renoef et al. 2010). Aliran massa level III dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hasil perhitungan model neraca massa level III

Keterangan: perhitungan (Lampiran 3); kompartemen 5, 6 dan 7 diabaikan karena tidak terdapat massa keluar sistem

Produksi Gula Mandiri Energi berbasis Ampas

Ampas tebu, blotong, molase, dan air teruapkan merupakan output proses produksi gula dengan jumlah yang cukup banyak. Biomassa ini (kecuali air)

18

mengandung energi sehingga dapat dijadikan sebagai sumber energi. Banyak contoh pabrik gula yang sudah mandiri energi dan air. Brazil, India, bahkan Afrika sudah berhasil mengembangkan pabrik gula menjadi sistem produksi tertutup, bahkan memiliki surplus energi listrik yang dapat disuplai ke lingkungan sekitar pabrik atau dijual kepada perusahaan pembangkit listrik.

Sistem cogeneration berbasis tebu di India dapat menghasilkan energi berkisar 1.500-5.000, dengan rata-rata energi yang dihasilkan adalah 3500 MWh (Purohit et al. 2007; Sharma et al. 1999; Kamate and Gangavati 2009). Sebaliknya, pabrik gula Indonesia hanya memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan penghasil energi. Blotong dimanfaatkan sebagai pupuk, bahkan beberapa pabrik gula hanya membuang blotong sebagai limbah.. Molase sampai saat ini hanya dijual sebagai bahan baku kepada pabrik pengolah, seperti pabrik kecap. Pemanfaatan molase sebagai bahan dasar pembuatan etanol masih kurang maksimal, karena jumlah pabrik etanol di Indonesia masih minim. Berdasarkan data FAO tahun 2008, kontribusi Indonesia dalam produksi bio-ethanol di dunia masih di bawah 1% (FAO 2008; Gerbens and Hoekstra 2009).

Pemanfaatan hasil samping sebagai sumber energi dapat membentuk sistem proses produksi tertutup (Gambar 5) yaitu model produksi mandiri energi dan air yang dapat memenuhi kebutuhan energi dan air tanpa input baru dari luar pabrik (Ensinas et al. 2007).

Gambar 5 Model cogeneration proses produksi menurut Ensinas et al. (2007) Keterangan: I=stasiun gilingan; II=stasiun pemurnian; III=stasiun penguapan; IV=stasiun

masakan dan putaran; V=stasiun fermentasi molase; VI=stasiun distilasi dan dehidrasi pembuatan etanol

Pembuatan model aliran massa mandiri energi dan air dapat dibangun dari hasil perhitungan aliran massa (Tabel 8). Potensi energi pada hasil samping tersebut dihitung berdasarkan nilai kalor (heating value) bahan dikalikan massa.

Perhitungan potensi hasil samping dapat dilihat pada Tabel 9. Persamaan perhitungan potensi hasil samping: Potensi Energi (kkal) = Massa x Nilai kalor. Tabel 9 Basis nilai kalor yang terkandung dalam hasil samping produksi gulaa

Hasil samping Massa (ton) Nilai kalor (kkal/kg) Potensi energi (kkal) Referensi

Ampas tebu 1.042,98 2.019 2.105.774.042,55 Hugot 1986

Blotong 81,75 3.319 271.330.368,51 Hugot 1986; Afriyanto 2011 Molase 62,10 2.700 167.668.083,47 Moerdokusumo 1993 Air 2.286,46 - - Jumlah 2.544.772.494,53 a

kapasitas 3000 ton tebu per hari

Pabrik gula membutuhkan listrik 60.000 kWh dan uap sebanyak 720.000 kg uap per ton tebu (Hariyanto 2011). Jumlah potensi energi yang diperoleh dari hasil samping proses produksi gula dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi panas dan listrik yang diperlukan selama proses produksi. Secara perhitungan teoritis, uap yang mampu dihasilkan dari potensi hasil samping adalah 3.038.851,81 kg per hari, sehingga pabrik gula mandiri energi uap. Potensi energi listrik yang dihasilkan dapat menutup kebutuhan pabrik, bahkan menghasilkan

surplus listrik sebesar 55.942,59 kWh per hari (Lampiran 4). Model proses produksi mandiri energi dan air dengan mengacu model cogeneration dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Model proses produksi mandiri energi dan air

Keterangan: I=stasiun gilingan; II=stasiun pemurnian; III=stasiun penguapan; IV=stasiun masakan; V=stasiun putaran; VI= stasiun pembangkit listrik dengan sistem cogeneration; VII=stasiun pengolahan air (kondensor); perhitungan lengkap pada Lampiran 4

20

Model proses produksi bersifat umum tidak merinci mekanisme proses yang dilakukan dalam pemanfaatan hasil samping. Secara teoritis pemodelan tersebut dapat menjelaskan bahwa produksi gula dapat mandiri energi dan air, serta optimal rendemen. Bahkan menghasilkan surplus energi yang dapat dijual baik melalui pemasok listrik maupun langsung ke wilayah sekitar pabrik. Kelebihan air dapat dijadikan persediaan air proses, pengairan kebun, atau diolah lebih lanjut menjadi air minum dalam kemasan.

Namun, pada dasarnya potensi energi yang dihasilkan oleh ampas sudah dapat menjadikan pabrik gula mandiri energi. Sebaliknya, jika hanya memanfaatkan blotong atau molase, pabrik gula belum dapat mandiri energi. Mengacu pada analisis potensi energi hasil samping (Tabel 9; Lampiran 4), kemampuan potensi energi masing-masing hasil samping dalam memenuhi kebutuhan energi pabrik dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Kemampuan hasil samping sebagai pemasok kebutuhan energi Hasil

samping

Massa (ton)

Potensi energi uap (kg/hari)a Kemampuan memenuhi kebutuhan pabrik (720.000 kg uap/hari) Ampas 1.042,98 2.514.619,79 √ Blotong 81,75 324.010,41 x Molase 62,10 200.221,62 x a

perhitungan mengacu pada Lampiran 4; perhitungan lengkap pada Lampiran 5; kapasitas 3000 ton tebu per hari

Potensi energi ampas dapat memenuhi kebutuhan uap pabrik secara mandiri. Potensi blotong dan molase tidak cukup memenuhi kebutuhan uap pabrik secara mandiri, sekalipun potensi blotong dan molase dijumlahkan. Sehingga untuk mengembangkan pabrik gula menjadi mandiri energi, potensi ampas, blotong dan molase harus digunakan bersama (Lampiran 4).

Potensi energi ampas dapat memenuhi kebutuhan uapdan listrik dari pabrik gula, bahkan memiliki surplus energi listrik sebesar 29.730,99kWh per hari. Jika produksi gula berlangsung selama 200 hari, maka kelebihan energi yang dapat dihasilkan per tahun adalah 5,9 GWh per tahun. Kelebihan tersebut dapat memenuhi kebutuhan listrik sektar 1400-2000 rumah sepanjang tahun, dengan asumsi konsumsi listrik per kapita per tahun 680 kWh dan per rumah terdiri dari 4-6 kapita (Lampiran 5). Jadi, potensi blotong dan molase dapat diolah menjadi pasokan energi pabrik atau dijual dalam bentuk listrik, gas maupun bahan mentah.

Produksi Gula Mandiri Energi berbasis Ampas, Blotong, Molase

Pemanfaatan blotong menggunakan modifikasi sistem bioconversion by anaerobic digestion yang menghasilkan gas CO2 dan metan (Hunter Services 1989; Legrand 1989; Smith 2008) dan molase dikonversi menjadi etanol (Putra et al. 2014), energi yang dapat dihasilkan dari 81,75 ton blotong adalah 62.405.984,76 kkal (Tabel 11) dan 62,10 ton molase dapat menghasilkan 13.799,84 liter etanol. Model proses produksi gula mandiri energi dan air dapat dilihat di Lampiran 7.

Proses bioconversion by anaerobic digestion dilakukan untuk pengolahan karena lebih ekonomis dan minimal polusi dibandingkan dengan proses pembakaran langsung, serta efisien dalam energi dibandingkan proses pengomposan biasa. Anaerobic digestion adalah proses biologi yang kompleks dengan menggunakan mikroorganisme untuk merombak bahan organik menjadi gas CO2 dan metan. Terdiri dari tiga tahap: hidrolisis enzimatis, fermentasi asam, dan metanogenesis (Smith 2008). Alternatif pembaruan efisiensi energi dari potensi blotong dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Alternatif pembaruan efisiensi potensi energi blotong

a

nilai kalor blotong 3319 kkal/kg; blotong 81,75 ton; bSubstitute Natural Gas; csemua biogas dikonversi menjadi listrik menggunakan turbin; perhitungan mengadopsi Smith (2008); kapasitas 3000 ton tebu per hari

Berdasarkan alternatif pada Tabel 11 antara anaerobic digestion dan pembakaran blotong langsung memiliki kelebihan dan kekurangan. Proses yang menghasilkan energi lebih besar adalah pembakaran langsung, tetapi proses tersebut menghasilkan polutan. Sebaliknya, proses anaerobic digestion

merupakan proses yang disarankan untuk dipilih, karena lebih ekonomis, mengurangi polutan, dan memiliki efisiensi energi yang baik. Kekurangannya adalah memerlukan instalasi baru untuk proses pengolahan blotong, peralatan, dan teknisi.

Potensi energi blotong dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik atau dijual dalam bentuk gas. Energi gas hasil proses anaerobic digestion

tanpa penghilangan CO2 (medium energy gas) dapat dijual ke industri lain dan energi gas dengan penghilangan CO2 (high energy gas) dapat dijual ke pabrik penyedia gas alami (Hunter 1989). Proses anaerobic digestion dengan pembakaran sisa zat padat yang dikonversi menjadi listrik, menghasilkan potensi energi blotong adalah 62.405.984,76 kkal per hari (Lampiran 6).

Selanjutnya, pengolahan molase menjadi etanol merupakan proses fermentasi. Etanol yang dihasilkan dari molase sekitar 20-25%. Proses terdiri dari pencampuran, pembibitan, fermentasi, distilasi dan dehidrasi. Pembuatan etanol memerlukan input molase, air, H2SO4, bakteri, dan urea. Potensi energi yang dihasilkan dari pengolahan etanol adalah 69.320.747,63 kkal. Kekurangan dari pengolahan ini adalah diperlukannya instalasi baru untuk pengolahan molase, alat,

Proses Produk energi Persentase dari kandungan energi blotonga (%) Kandungan energi blotong (kkal) Anaerobic digestion - Tanpa pembakaran

sisa zat padat

Biogas 35 94.965.628,98

- Dengan pembakaran

sisa zat padat

SNGb 47 127.525.273,20 Listrikc 23 62.405.984,76 Pembakaran blotong langsung Steam 65 176.364.739,53 Listrik 18 48.839.466,52

22

dan teknisi. Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia lebih memilih menjual langsung ke pabrik pengolah molase, seperti pabrik kecap atau pabrik bioetanol. Jadi, potensi keseluruhan dari hasil samping produksi gula dengan alternatif proses pengolahan dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Potensi hasil samping model tertutupa Hasil samping Massa (ton) Potensi energi

(kkal) Ampas 1.042,98 2.105.774.042,55 Blotong 81,75 62.405.984,76 Molase 62,10 69.320.747,63 Total 2.237.500.774,94 a

kapasitas 3000 ton tebu per hari

Tabel 12 menunjukkan bahwa dengan kebutuhan steam 720.000 kg dan 60.000 kWh per hari, pabrik gula mampu mandiri energi.Kelebihanenergi setelah memenuhi kebutuhan uap, listrik pabrik dan listrik pengolahan hasil samping adalah 37.081,09 kWh per hari, dengan pengarahan seluruh potensi energi hasil samping sebagai pasokan energi pembangkit turbin.

Kelebihan listrik tersebut sebagai pasokan kebutuhan listrik pabrik off season dan dapat dijual untuk kebutuhan listrik 1500-3000 rumah dengan asumsi konsumsi per kapita adalah 680 kWh per tahun (Lampiran 6).

Produksi Gula Mandiri Air

Air merupakan salah satu input bahan penting dalam produksi gula. Pabrik gula Mauritius untuk memproduksi satu ton gula membutuhkan 553 m3 (Ramjeawon 2008; Chauhan et al. 2011). Selain itu, pabrik gula membutuhkan 440-580 m3 untuk mengolah 5000 ton tebu (Esmeris 2012). Kebutuhan air tersebut dapat dikurangi dengan cara pengolahan kembali air buangan selama proses produksi. Salah satu contoh pabrik gula dengan kelebihan (surplus) air adalah pabrik gula Amatikulu Afrika Selatan, dengan surplus sebanyak 95,8 m3 air per jam (Esmeris 2012). Sistem produksi gula mandiri air dapat diwujudkan dengan pengolahan kembali uap buangan dari stasiun penguapan, masakan, gilingan. Contoh model managemen air non limbah di pabrik gula dapat dilihat pada Gambar 7.

Perancangan model proses produksi mandiri air (basis kebutuhan air sebanyak 810 m3 per hari) untuk air imbibisi, pelarut kapur, pembuatan flokulan kapasitas pabrik 3000 ton tebu per hari mengadopsi model produksi gula mandiri air pada Gambar 7. Jika dihitung secara teoritis, jumlah air yang diuapkan dapat dimanfaatkan kembali untuk memenuhi kebutuhan air selama proses produksi (Tabel 13).

Gambar 7 Perbandingan model standar dan sistem manajemen air non limbah (Esmeris 2012)

Tabel 13 Volume air teruapkan dari proses produksi GKP Stasiun Air (ton) Volume air

(m3) Persentase terhadap tebu Evaporator 1 687,25 2.286,46 76% Evaporator 2 547,96 Evaporator 3 478,83 Evaporator 4 408,98 Vaccum pan A 114,79 Vaccum pan C 27,55 Vaccum pan D 21,38 a

basis kapasitas 3000 ton tebu per hari

Berdasarkan data pada Tabel 13, terdapat kelebihan air sebesar 1.476,46 m3 air per hari. Apabila kelebihan tersebut disalurkan sebagai bahan pengolahan blotong dan molase, yang membutuhkan air sebanyak 800-1000 m3 per hari, maka kelebihan yang belum termanfaatkan adalah sekitar 450-700 m3 per hari. Pemanfaatan air teruapkan memerlukan proses pendinginan dan penyaringan, guna menjadikan air menjadi bahan baku air yang bersih dan tidak memiliki reaksi terhadap proses produksi gula. Kelebihan air tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai air pencuci alat produksi, misalnya untuk proses krengseng pada vaccum pan saat sedang berhenti kristalisasi atau diolah menjadi bahan baku air bersih maupun air dalam kemasan.

24

Dokumen terkait