• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Mutu Kitosan

Kitosan pada penelitian ini dibuat dari cangkang udang yang berasal dari pabrik pembekuan udang di daerah Muara Baru, Jakarta Utara. Pembuatan kitosan berdasarkan metode Suptijah et al.

(1992). Analisis mutu kitosan cangkang udang yang diperoleh pada penelitian ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, derajat deasetilasi dan viskositas disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Hasil analisis mutu kitosan

Parameter fisika kimia Nilai

Kadar abu (%) 0

Kadar air (%) 7

Kadar nitrogen (%) 4,93

Derajat deasetilasi (%) 95,3

Viskositas (Cps) 39,5

Kadar abu merupakan parameter yang penting untuk menentukan mutu kitosan. Kadar abu menunjukan banyaknya kandungan mineral yang masih tersisa dalam suatu bahan. Tingkat kemurnian kitosan semakin tinggi dengan semakin rendahnya kadar abu kitosan. Kadar abu dianggap sebagai ukuran keberhasilan proses demineralisasi. Efektifitas demineralisasi dapat dilihat dari penurunan kadar abu kitosan yang dihasilkan.

Kadar abu kitosan yang diperoleh pada penelitian adalah 0%. Nilai kadar abu kitosan yang rendah menunjukkan bahwa proses penghilangan mineral dari cangkang udang dengan larutan HCl 1 N atau demineralisasi berlangsung dengan sempurna. Reaksi kimia yang terjadi antara asam klorida (HCl) dengan kalsium CaCO3 dan Ca3(PO4)2 pada proses ini, akan menghasilkan kalsium klorida yang mengendap dan mudah dipisahkan dengan produk sedangkan asam karbonat dan asam fosfat larut dalam air.

Kadar abu kitosan diduga dipengaruhi oleh proses perendaman cangkang udang selama 20 jam, suhu demineralisasi yang tinggi, konsentrasi HCl yang cukup rendah sebesar 1,5 N, proses pengadukan yang konstan serta proses pencucian cangkang dengan menggunakan air mengalir, sehingga memungkinkan terbuangnya mineral yang mengendap dan terlarut dalam larutan.

Faktor lain yang mempengaruhi kadar abu adalah proses demineralisasi yang cukup lama, suhu, pencucian dan konsentrasi HCl, karena semakin pekat HCL yang digunakan semakin banyak garam mineral yang dapat dihilangkan (Chandrakrachang et al. 1998 diacu dalam Susanto et al.

2002). Hasil penelitian lain menyatakan bahwa proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai pengadukan yang konstan (Karmas 1982). Pengadukan yang konstan diharapkan dapat menciptakan panas yang homogen sehingga asam yang digunakan tersebut dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang digunakan.

Parameter mutu kitosan lainnya adalah kadar air. Kadar air kitosan yang diperoleh adalah 7%. Kadar air ini dipengaruhi oleh lamanya proses pengeringan kitosan, metode pengeringan, karakteristik kitosan, serta penyimpanan dan pengemasan. Kitosan yang dihasilkan pada penelitian dikeringkan dengan metode pengeringan tradisional menggunakan cahaya matahari selama 3 hari dan disimpan dengan kemasan plastik polyetilen pada suhu ruang.

Cara pengemasan dan penyimpanan yang baik akan menghasilkan kitosan dengan kadar air yang rendah (Suhardi 1993 diacu dalam Susanto et al. 2002). Pengemasan dan penyimpanan kitosan berkaitan erat dengan karakteristik kitosan. Menurut Knorr (1984), kitosan mampu mengikat air dan minyak karena mempunyai gugus polar dan non polar. Jumlah air yang dapat diikat kitosan sekitar 325-440 (w/w). Kadar protein dan kadar mineral yang dihilangkan pada proses demineralisasi dan deproteinasi akan meningkatkan daya ikat kitosan terhadap air, oleh karena itu setelah proses pengeringan kitosan harus disimpan dengan pengemasan yang baik (Hong et al. 1989 diacu dalam Sugihartini 2001).

Kadar nitrogen ditentukan oleh proses deproteinasi atau penghilangan protein dengan menggunakan NaOH 3,5 N. Kadar nitrogen kitosan yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 4,93%. Kadar nitrogen yang rendah menunjukkan kandungan total nitrogen yang tersisa pada kitosan, baik itu nitrogen protein maupun nitrogen dari gugus lain. Efektifitas deproteinasi dapat dilihat dari penurunan kadar nitrogen pada kitosan yang dihasilkan. Keefektifan proses deproteinasi ini tergantung dari kekuatan larutan basa dan tingginya suhu proses.

Larutan alkali akan masuk ke celah-celah limbah cangkang udang untuk memutuskan ikatan antara kitin dan protein pada saat proses deproteinasi. Purwatiningsih (1992) menyatakan bahwa ion Na+ akan mengikat ujung rantai protein menjadi Na-proteinat yang selanjutnya dapat dipisahkan kembali dengan menurunkan pH larutan yang menyebabkan terjadinya pengendapan natrium. Penghilangan protein berfungsi untuk menekan proses enzimatik dan degradasi protein pada cangkang udang oleh bakteri sehingga diperoleh kitosan yang baik. Sisa protein berkaitan dengan terdapatnya gugus amino bebas yang dapat mengikat asam yang mengakibatkan mutu kitosan semakin menurun, oleh karena itu kitosan diharapkan mempunyai kadar nitrogen sekecil mungkin.

Parameter mutu kitosan berikutnya adalah derajat deasetilasi. Derajat deasetilasi menunjukkan persentase gugus asetil pada kitosan yang dapat dihilangkan dari kitin sehingga dihasilkan kitosan. Penggunaan derajat deasetilasi sebagai parameter mutu kitosan disebabkan oleh adanya gugus asetil pada kitosan yang dapat menurunkan efektifitas kitosan. Knorr (1982) menjelaskan bahwa derajat deasetilasi kitosan yang tinggi menunjukkan rendahnya gugus asetil yang terdapat pada kitosan, sehingga kitosan yang dihasilkan semakin murni. Konsentrasi gugus asetil yang besar dalam kitosan dapat menyebabkan lemahnya interaksi antar ion dan ikatan hidrogen yang akhirnya mempengaruhi efektifitas kitosan (Ornum 1992).

Derajat deasetilasi kitosan hasil penelitian ini adalah sebesar 95,3%. Tingginya nilai derajat deasetilasi diduga dipengaruhi oleh penggunaan suhu dan konsentrasi NaOH yang tinggi.

Suhu yang digunakan pada saat proses deasetilasi adalah 130 oC selama 1 jam dengan konsentrasi

NaOH 50%. Menurut Fauzan (2001), reaksi kimia yang berlangsung pada saat proses ini adalah antara NaOH dengan gugus N-asetil pada kitin (rantai C-2) yang akan menghasilkan Na-asetat dan substitusi gugus asetil dengan gugus amina (-NH2).

Proses pencucian akhir kitosan dengan menggunakan air panas dan akuades diduga juga dapat mempengaruhi nilai derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan. Air panas yang digunakan pada proses pencucian menyebabkan larutan NaOH terlepas dan tidak terserap kembali oleh cangkang yang sudah menjadi kitosan. Kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini telah memenuhi syarat untuk diaplikasikan pada bidang farmasi dan bioteknologi, karena nilai derajat deasetilasinya yang cukup tinggi.

Parameter berikutnya yang menentukan mutu kitosan adalah viskositas. Nilai viskositas yang tinggi menunjukkan mutu kitosan yang baik, akan tetapi pemilihan tinggi atau rendah nilai viskositas, tergantung pada tujuan penggunaan kitosan. Kitosan dengan viskositas rendah digunakan sebagai absorben logam berat, sedangkan kitosan dengan viskositas tinggi digunakan sebagai emulsifier dan stabilizer (Chandrakrachang et al. 1991 diacu dalam Sugihartini 2001).

Subasinghe (1999), menyatakan bahwa di beberapa negara Eropa kitosan dengan spesifikasi viskositas rendah (5-50 cps) telah banyak digunakan pada industri farmasi dan industri bioteknologi.

Viskositas kitosan yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 39,5 cps. Kitosan yang dihasilkan termasuk kategori viskositas rendah. Rendahnya nilai viskositas kitosan ini, diduga dipengaruhi oleh karakteristik cangkang udang yang digunakan, lamanya perendaman dalam larutan asam klorida sebelum proses demineralisasi dan suhu proses yang digunakan. Cangkang udang yang digunakan pada penelitian ini agak tipis, selain itu sebelum proses demineralisasi cangkang direndam selama 20 jam dalam larutan HCl 1.5 N, sehingga nilai viskositas kitosan yang dihasilkan rendah.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai viskositas kitosan adalah perbandingan volume basa dengan kitin yang digunakan dalam proses deasetilasi, konsentrasi asam klorida dan lamanya waktu proses demineralisasi (Morjari et al.1975 diacu dalam Sugihartini 2001). Panas yang digunakan selama proses deasetilasi juga dapat menyebabkan suatu polimer mengalami depolimerisasi yang selanjutnya menyebabkan terjadinya pemecahan rantai molekul polimer sehingga berat molekul dan viskositas polimer menurun sejalan dengan meningkatnya suhu (Bastaman 1989).

Berdasarkan hasil analisis mutu kitosan didapatkan bahwa, kitosan yang dihasilkan dalam penelitian telah ini memenuhi standar mutu kitosan laboratorium PROTAN Jepang dari aspek analisis kadar air • 10%, kadar abu • 2%, kadar nitrogen • 5%, derajat deasetilasi • 70% dan nilai viskositas < 200 cps. Kitin dan kitosan yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Kitin dan kitosan dari cangkang udang 4.2. Imobilisasi Enzim

Teknologi imobilisasi dimaksudkan agar penggunaan enzim sebagai biokatalis dapat menjadi lebih efisien. Bahan pengimobil akan menempatkan enzim dalam suatu matriks sehingga diharapkan dapat memudahkan pemisahan enzim dari substrat dan produk, dan enzim dapat digunakan secara berulang.

Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih metode imobilisasi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sifat bahan, reaksi kimia yang terjadi, biaya, stabilitas kimia-fisika dari reaktan dan biokatalis serta hasil dan kemurnian produk yang diinginkan (Chibata 1978). Teknik imobilisasi enzim yang digunakan tergantung perbedaan sudut komplesitas dan efisiensi serta nilai ekonomis (Malcata et al.1990 diacu dalam Pereira 2003).

Imobilisasi enzim dalam penelitian ini dilakukan dengan metode pengikatan silang (cross-linking) pada matriks penyangga. Matriks penyangga yang digunakan adalah kitosan dan pereaksi bifungsional glutaraldehid. Imobilisasi enzim dengan pengikatan silang memiliki beberapa keuntungan yaitu ikatan kovalen yang terbentuk tidak mudah putus akibat adanya pengaruh pH, kekuatan ion atau substrat, stabilitas enzim imobil yang tinggi, proses pembuatan dan biaya proses yang tidak terlalu mahal, namun ada kemungkinan enzim menjadi tidak aktif sebagian atau seluruhnya akibat reaksi kimia yang terjadi selama pembentukan ikatan kovalen tersebut, atau akibat pengikatan yang terjadi pada pusat aktif enzim (Kennedy 1985 diacu dalam Smith 1990).

Enzim papain dan bromelin terimobil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Enzim papain dan bromelin terimobil

Enzim terimobilisasi umumnya mempunyai aktivitas yang lebih rendah dibanding dengan enzim bebasnya. Terdapat beberapa hambatan yang terjadi jika enzim berada dalam bentuk imobil. Hambatan yang menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas pada enzim imobil antara lain, pengaruh pembagian (partioning), pengaruh hambatan difusi dan pengaruh hambatan sterik (Klibanov 1983 diacu dalam Said, Muljono 1989). Enzim dalam bentuk imobil, sifat-sifat fisiko kimia fase barunya berbeda dengan fase lama, oleh karena itu semua komponen proses enzimatik seperti substrat, ion-ion hidrogen, produk, penghambat, aktifator, kofaktor dan lainnya dibagi antara fase enzim imobil dan fase cairan luar.

Hambatan difusi terbagi menjadi dua bagian yaitu difusi eksternal dan difusi internal.

Difusi eksternal disebabkan adanya transpor substrat dari larutan ke permukaan biokatalis melalui lapisan batas ikatan dengan air. Difusi internal disebabkan substrat harus berdifusi masuk ke bagian dalam manik enzim imobil. Hambatan sterik hanya terjadi jika molekul substrat mempunyai berat molekul yang tinggi. Adanya hambatan-hambatan tersebut akan mempengaruhi aktivitas enzim, yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan reaksi enzim (Klibanov 1983 diacu dalam Said, Muljono 1989).

Penurunan aktivitas tersebut juga terjadi pada proses imobilisasi yang dilakukan pada penelitian ini dengan metode pengikatan silang (cross-linking) berdasarkan metode Stanley et al.

(1975).

Enzim yang terikat oleh matriks penyangga (support) kemungkinan besar aktivitasnya dapat menurun (Chibata 1978), hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti :

a) molekul enzim terimobilisasi berada dalam konfigurasi yang menghalangi substrat masuk ke sisi aktif enzim;

b) grup reaktif pada sisi aktif enzim mungkin dilibatkan dalam pengikatan dengan penyangga;

c) molekul enzim selama pengikatan berada dalam konfigurasi inaktif;

d) kondisi reaksi pengikatan mungkin mengakibatkan denaturasi dan inaktivasi enzim.

4.3. Aktivitas Enzim

Aktivitas atau keaktifan suatu enzim dapat ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif.

Menurut metode kualitatif, keaktifan enzim diukur dengan reaksi kimia yaitu dengan menggunakan substrat yang dapat dikatalis oleh enzim tersebut, dan secara kuantitatif aktivitas enzim ditentukan dengan mengukur laju reaksi tersebut. Berdasarkan cara pengukuran tersebut maka jumlah enzim lebih banyak dinyatakan dalam bentuk keaktifan enzim dan dinyatakan dalam satuan atau unit enzim (Winarno 1995).

Keaktifan enzim dalam penelitian ini ditentukan secara kuantitatif yaitu, dengan mengukur aktivitas enzim dan aktivitas spesifik enzim. Aktivitas enzim yang terukur dinyatakan dalam satuan unit (U) atau International Unit (IU). Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang menyebabkan pengubahan 1,0 mikromol (µmol = 10-6 mol) substrat per menit pada 25 oC pada keadaan pengukuran optimal (Lehninger 1993).

4.3.1. Enzim papain

Enzim papain merupakan suatu sulfhidril protease dari getah pepaya (Muchtadi et al.

1992). Enzim ini mempunyai spesifikasi yang luas dan telah banyak digunakan pada berbagai industri. Enzim papain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengempuk daging komersial.

Penentuan aktivitas enzim papain terimobil dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan enzim imobil semi basah. Enzim imobil dalam kondisi semi basah dimaksudkan untuk mempermudah penggunaannya dan mudah mengembalikan bahan penyangga kitosan pada bentuk semula, selain itu enzim papain semi basah lebih mudah dipertahankan stabilitasnya selama penyimpanan terhadap pengaruh suhu dan mikroorganisme yang dapat menurunkan aktivitas enzim yang terikat pada matriks. Data hasil imobilisasi yang diperoleh disajikan pada Gambar 10 sebagai rata-rata, sedangkan data mentah hasil pengukuran aktivitas enzim papain terdapat pada Lampiran 4.

Gambar 10. Histogram hubungan perlakuan kitosan terhadap aktivitas enzim papain imobil

Imobilisasi enzim dilakukan dua kali ulangan dengan perlakuan matriks kitosan 0-1 gram.

Aktivitas enzim papain yang terukur sangat bervariasi. Enzim papain tanpa perlakuan (0 g kitosan) mempunyai aktivitas rata-rata sebesar 0,0108 U/ml/menit. Enzim papain yang mendapatkan perlakuan kitosan, rata-rata mempunyai aktivitas yang lebih tinggi daripada enzim bebasnya, yaitu berkisar antara 0,0113-0,0190 U/ml/menit. Aktivitas Enzim papain imobil terkecil diperoleh pada perlakuan 0,6 g kitosan yaitu sebesar 0,0113 U/ml/menit, sedangkan aktivitas enzim papain imobil tertinggi yaitu sebesar 0,0190 U/ml/menit diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan. Aktivitas enzim imobil sebesar 0,0190 U/ml/menit termasuk sangat rendah bila dibandingkan dengan aktivitas enzim papain murni yang diproduksi oleh Sigma Chemical Co.USA. Hasan (2000) menyatakan aktivitas enzim papain murni yang diproduksi oleh Sigma Chemical Co.USA yaitu sebesar 32887 ± 0,89 U/ml/menit atau 1068,87 U/g untuk getah pepaya semangka paris hasil dari pemurnian.

Analisis statistik data terhadap hipotesis rancangan percobaan diperoleh kesimpulan tolak H0. Kesimpulan ini diperoleh dari perbandingan besarnya nilai Fhitung terhadap nilai Ftabel. Nilai Fhitung yang diperoleh pada selang kepercayaan 95% adalah sebesar 9,643 dan nilai Ftabel yang diperoleh adalah 2,854 sehingga, terlihat bahwa Fhitung > Ftabel yang berarti terima hipotesis H1.

Hipotesis H1 artinya, ada satu perlakuan kitosan atau lebih yang memberikan pengaruh terhadap aktivitas enzim imobil.

Berdasarkan kesimpulan di atas maka data dianalisis lebih lanjut dengan uji lanjut untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh nyata terhadap aktivitas enzim. Uji lanjut terhadap aktivitas enzim setelah diberi perlakuan kitosan menjelaskan bahwa, hanya ada satu perlakuan kitosan yang memberikan hasil berbeda nyata dengan semua konsentrasi perlakuan kitosan (0-0,9 g kitosan) yaitu perlakuan 1 g kitosan.

Nilai aktivitas enzim imobil yang berbeda nyata pada perlakuan 1 g kitosan diduga karena terjadinya konformasi yang tepat pada pembentukan ikatan intramolekul dan intermolekul antara enzim dengan matriks kitosan dan pereaksi glutaraldehid yang ditambahkan. Miao dan Swee (2000) menyatakan bahwa enzim dan kitosan tidak dapat berikatan secara langsung, oleh karena itu diperlukan glutaraldehid sebagai jembatan penghubung. Gugus amino dari kitosan akan berikatan dengan gugus aldehid dari glutaraldehid, demikian juga gugus amino dari enzim akan berikatan dengan gugus aldehid sehingga membentuk suatu jalinan gusus amino-pereaksi-molekul enzim. Mekanisme pembentukan ikatan silang (cross-linking) dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Mekanisme pembentukan ikatan silang (Wang et al. 2005)

Proses pembentukan ikatan silang (cross-linking) yang tepat memungkinkan aktivitas enzim imobil yang dihasilkan cukup tinggi. Reaksi pengikatan yang tepat ini dapat terjadi antara gugus –NH2 dari kitosan secara dominan terhadap gugus fungsional –CHO dari glutaraldehid.

Juang et al. (2002) menjelaskan bahwa selama proses cross-linking gugus –CHO dari glutaraldehid dapat berikatan dengan –NH2 dari kitosan pada dua perbandingan molar yaitu 2:1 dan 1:1. Pengikatan silang pada rasio 1:1 menyebabkan adanya satu gugus –NH2 bebas dari kitosan yang dapat digunakan pada proses penyerapan sehingga dapat meningkatkan aktivitas enzim. Rasio 1:1 molar artinya satu molekul –CHO dari glutaraldehid hanya berikatan silang dengan satu molekul –NH2 dari kitosan.

Menurut Hsien dan Rorrer (1995) gugus aktif pereaksi bifungsional glutaraldehid (–CHO) bereaksi secara simultan dengan dua sisi aktif dari kitosan (–NH2) selama proses pengikatan silang. Jumlah grup amino dari kitosan di alam kira-kira 6,2 × 10-4 mol dan jumlah maksimum dari glutaraldehid yang bereaksi dengan kitosan hanya 4,10 × 10-4 mol. Fakta inilah yang

R – NH2

menyebabkan terjadinya mekanisme pengikatan silang antara satu molekul gugus –CHO glutaraldehid dengan satu molekul gugus amino kitosan. Hsien dan Rorrer (1995) menambahkan bahwa fenomena crosslinking ini juga dapat terjadi karena adanya polimerasi glutaraladehid yang dipengaruhi pH.

Hasil uji lanjut yang tidak menunjukkan adanya pengaruh berbeda nyata dari berbagai perlakuan kitosan terhadap aktivitas enzim yang dihasilkan dapat disebabkan oleh berbagai faktor.

Reaksi glutaraldehid atau matriks kitosan dengan gugus sulfhidril pada sisi aktif enzim merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas enzim. Faktor berikutnya yang dapat menurunkan daya katalitik enzim adalah perubahan konformasi protein enzim.

Perubahan konformasi terjadi karena modifikasi asam amino baik pada sisi aktif maupun non aktif enzim selama proses imobilisasi. Perubahan konformasi ini terjadi karena reaksi asam amino yang bersangkutan dengan senyawa pengikat atau matrik penyangga yang ditambahkan, selain itu perubahan konformasi ini juga dapat disebabkan oleh perubahan gaya-gaya yang menentukan keseluruhan struktur enzim seperti gaya elektrostatik, gaya vander walls dan interaksi hidrofobik. Perubahan ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan selama proses imobilisasi dan penambahan molekul polimer penyangga atau senyawa kimia lain yang menginduksi perubahan tersebut (Suhartono 1989).

Aktvitas enzim yang tidak berbeda nyata pada berbagai perlakuan kitosan ini diduga juga karena kondisi operasional yang menimbulkan denaturasi protein. Penurunan aktivitas selama proses operasi dipengaruhi oleh kecepatan aliran substrat atau pelarut kimia yang digunakan selain oleh perubahan pH, suhu, kekuatan ion dan kondisi fisik lainnya (Suhartono 1989).

Imobilisasi enzim dengan menggunakan metode cross-linking umumnya akan menyebabkan enzim mengalami pengikatan silang setelah absorpsi pada zat penyangga atau matriks yang sesuai (Smith 1990). Adsorpsi awal enzim terhadap matriks kitosan diduga membentuk suatu ikatan ionik antara enzim dengan gugus amin dari kitosan dan dilanjutkan pengikatan silang dengan bantuan pereaksi glutaraldehid mengakibatkan pembentukan ikatan kovalen antara enzim dengan matriks yang mempunyai gugus fungsi aldehid. Pembentukan jaringan ini memungkinkan inhibitor tidak dapat menginaktivasi enzim, selain itu juga memungkinkan gugus aktif dari enzim papain bebas untuk bereaksi dengan substrat sehingga akan mampu meningkatkan daya katalitiknya (Goldstein, Mannecke 1976).

Glutaradehid telah digunakan secara intensif dalam imobilisasi enzim. Wirawan (1987) menyatakan, pereaksi glutaraldehid banyak dipakai dalam penelitian imobilisasi enzim karena relatif murah dan metodenya juga mudah. Glutaraldehid telah digunakan juga sebagai pereaksi pengimobilisasian papain pada berbagai matriks. Konsentrasi glutaraldehid yang digunakan pada penelitian ini adalah 1% dengan konsentrasi dalam campuran 0,1% total volume. Konsentrasi yang sama juga telah digunakan untuk mengimobilisasi enzim papain pada matriks kitin kepiting (Finley et al. 1997 diacu dalam Heryani 1998) dan Wirawan (1987) untuk mengimobilisasi papain

pada kitin cangkang udang, sedangkan Mayangsari (1995) menyatakan bahwa penggunaan glutaraldehid 0,1% adalah baik untuk menentukan protease imobil selanjutnya.

4.3.2. Enzim bromelin

Enzim bromelin merupakan salah satu enzim protease yang diperoleh dari tanaman keluarga Bromeliaceae. Penelitian ini menggunakan pengempuk daging komersial sebagai sumber enzim bromelin.

Imobilisasi enzim dilakukan dua kali ulangan dengan perlakuan matriks kitosan 0-1 gram.

Aktivitas enzim bromelin yang terukur sangat bervariasi. Enzim bromelin tanpa perlakuan (kontrol) mempunyai aktivitas rata-rata sebesar 0,0112 U/ml/menit, sedangkan enzim bromelin dengan perlakuan kitosan, mempunyai aktivitas yang lebih kecil daripada enzim tanpa perlakuan, yaitu berkisar antara 0,0011-0,0108 U/ml/menit. Aktivitas Enzim bromelin imobil terkecil diperoleh pada perlakuan 0,1 g kitosan yaitu sebesar 0,0011 U/ml/menit, sedangkan aktivitas enzim bromelin imobil tertinggi yaitu sebesar 0,0108 U/ml/menit diperoleh pada perlakuan 1 g kitosan. Histogram data hasil imobilisasi yang diperoleh disajikan pada Gambar 12 sebagai rata-rata, sedangkan data mentah hasil pengukuran aktivitas enzim bromelin terdapat pada Lampiran 4.

Gambar 12. Histogram hubungan perlakuan kitosan dengan aktivitas enzim bromelin imobil.

Hasil analisis statistik terhadap hipotesis rancangan percobaan memberikan kesimpulan terima H0. Kesimpulan ini diperoleh dari perbandingan besarnya nilai Fhitung terhadap nilai Ftabel.

Nilai Fhitung yang diperoleh pada selang kepercayaan 95% yaitu, sebesar 1,896 dan nilai Ftabel yang diperoleh adalah 2,854 sehingga terlihat bahwa Fhitung < Ftabel. Kesimpulan yang diperoleh adalah terima H0, artinya tidak ada perlakuan kitosan yang memberikan pengaruh terhadap aktivitas enzim imobil.

Perlakuan kitosan berbagai konsentrasi yang tidak memberikan pengaruh terhadap aktivitas enzim bromelin imobil diduga disebabkan oleh perubahan konformasi protein enzim akibat proses imobilisasi. Perubahan konformasi molekul enzim terjadi karena modifikasi asam amino pada sisi aktif maupun sisi non aktif enzim. Perubahan konformasi ini terjadi karena reaksi asam amino yang bersangkutan dengan senyawa pengikat atau matrik penyangga yang ditambahkan selain itu perubahan konformasi ini juga disebabkan oleh perubahan gaya-gaya yang menentukan keseluruhan struktur enzim seperti gaya elektrostatik, gaya vander walls dan interaksi hidrofobik karena pengaruh lingkungan selama proses imobilisasi atau penambahan molekul polimer penyangga dan senyawa kimia lain yang menginduksi perubahan ini (Suhartono 1989).

Rendahnya nilai aktivitas enzim bromelin imobil yang diperoleh terutama pada perlakuan 0,1 g dan 0,7 g kitosan dimana besarnya aktivitas enzim yang diperoleh masing-masing 0,0011 U/ml/menit dan 0,0018 U/ml/menit disebabkan oleh terjadinya reaksi antara enzim dengan glutaraldehid yang menyebabkan terdegradasinya enzim. Glutaraldehid mempunyai potensi untuk menghambat aktivitas protease yaitu bereaksi dengan gugus sulfhidril pada sisi aktif enzim (Goldstein, Manecke 1976). Aktivitas enzim imobil yang rendah dapat juga disebabkan oleh banyaknya sisi aktif enzim yang ikut terlibat dalam pembentukan ikatan silang pada proses imobilisasi, selain itu adanya tahanan pada matriks enzim imobil juga dapat menghambat

Rendahnya nilai aktivitas enzim bromelin imobil yang diperoleh terutama pada perlakuan 0,1 g dan 0,7 g kitosan dimana besarnya aktivitas enzim yang diperoleh masing-masing 0,0011 U/ml/menit dan 0,0018 U/ml/menit disebabkan oleh terjadinya reaksi antara enzim dengan glutaraldehid yang menyebabkan terdegradasinya enzim. Glutaraldehid mempunyai potensi untuk menghambat aktivitas protease yaitu bereaksi dengan gugus sulfhidril pada sisi aktif enzim (Goldstein, Manecke 1976). Aktivitas enzim imobil yang rendah dapat juga disebabkan oleh banyaknya sisi aktif enzim yang ikut terlibat dalam pembentukan ikatan silang pada proses imobilisasi, selain itu adanya tahanan pada matriks enzim imobil juga dapat menghambat

Dokumen terkait