• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Konsumsi Pakan Puyuh

Konsumsi pakan puyuh adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh puyuh. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu umur, palatabilitas pakan, energi pakan, aktivitas, kesehatan ternak, serta kualitas dan kuantitas dari pakan yang diberikan kepada puyuh. Apabila terdapat kekurangan dari salah satu zat nutrisi yang dibutuhkan oleh puyuh (protein, vitamin, mineral dan air), maka akan mengakibatkan gangguan pada kesehatan, produktivitas dan reproduksi pada puyuh. Hasil penelitian selama enam minggu diperoleh rataan konsumsi pakan puyuh keseluruhan adalah 19,27±1,24 g/ekor/hari dengan kisaran antara 18,67 sampai dengan 19,62 g/ekor/hari. Rataan konsumsi pakan puyuh selama penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Konsumsi Pakan Puyuh No. Perlak u a n Konsumsi Pa ka n (g/ ek or/ )ns 1. R0 19,12 ± 0,3 9 2. R1 19,36 ± 0,1 6 3. R2 19,47 ±

20 0,2 2 4. R3 19,21 ± 0,2 4 Rataan 19,27 ± 1,2 4

Ket : R0 = Limbah ikan tongkol hidrolisis dan pollard fermentasi 0%; R1 = Limbah ikan tongkol

hidrolisis dan pollard fermentasi 10%; R2 = Limbah ikan tongkol hidrolisis dan pollard fermentasi

20%; R3 = Limbah ikan tongkol hidrolisis dan pollard fermentasi 30%; ns = berbeda tidak nyata

(P>0,05)

Rata-rata konsumsi pakan yang diperoleh selama penelitian masing-masing perlakuan R0, R1, R2, R3 berturut-turut yaitu 19,12; 19,36; 19,47; 19,2 g/ekor/hari.

Rataan konsumsi pakan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Wirya (2009) yaitu puyuh umur lebih dari enam minggu jumlah pakan yang dikonsumsi sekitar 17-20 g/ekor/hari, sedangkan menurut Tiwari dan Panda (1978) bahwa pemberian pakan puyuh dibedakan berdasarkan umur yaitu puyuh berumur 4-7 minggu diberi pakan sebanyak 17,5 g/ekor/hari sedangkan puyuh berumur 7-14 minggu meningkat menjadi 22,1 g/ekor/hari dan tidak berubah setelah puyuh berumur 14 minggu (konstan).

Berdasarkan hasil analisis variansi (Lampiran 4.) menunjukkan pemanfaatan limbah ikan tongkol dihidrolisis enzim bromelin dan pollard fermentasi dalam pakan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan puyuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi pakan puyuh antar perlakuan tidak berbeda. Tidak adanya perbedaan tersebut, disebabkan oleh konsumsi energi, bobot badan, produksi telur dan palatabilitas puyuh yang relatif sama. Berdasarkan hasil perhitungan analisis konsumsi energi (Lampiran 11.)

menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah ikan tongkol dihidrolisis enzim bromelin dan pollard fermentasi dalam pakan berpengaruh tidak nyata (P>0,05), sehingga tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Menurut Mahfudz, dkk., (2010) bahwa besar kecilnya konsumsi pakan erat kaitannya dengan konsumsi energi. Puyuh akan mengkonsumsi pakan sampai kebutuhan energinya terpenuhi. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Suprijatna, dkk., (2005) disitasi oleh Suprapto, dkk., (2012) bahwa pada hakekatnya ternak unggas mengkonsumsi pakan guna memenuhi kebutuhan energi. Apabila kebutuhan energi terpenuhi, unggas akan menghentikan konsumsi pakannya. Sebaliknya, konsumsi pakan meningkat bila kebutuhan energi belum terpenuhi. Ditambahkan hasil penelitian Suprijatna, dkk., (2009) bahwa konsumsi energi yang tidak berbeda maka diperoleh konsumsi pakan yang tidak berbeda pula. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan konsumsi energi berkisar antara 60,76-62,14 kkal/ekor/hari. Menurut Widjastuti dan Kartasudjana (2006) konsumsi energi sebesar 50,55 kkal/ekor/hari telah cukup untuk memenuhi hidup pokok, pertumbuhan dan produksi telur.

Afria (2012) menyatakan bahwa kebutuhan pakan puyuh sesuai dengan ukuran tubuhnya. Berdasarkan hasil perhitungan analisis variansi (Lampiran 2.) menunjukkan bahwa bobot badan awal puyuh berpengaruh tidak nyata (P>0,05). Hal tersebut menunjukan bahwa bobot badan puyuh yang digunakan pada penelitian ini seragam pada setiap perlakuan di awal penelitian, dengan rataan bobot badan 112,24±23,27 g/ekor berkisar antara 95,72-119,76 g/ekor sehingga menghasilkan konsumsi pakan tiap perlakuan yang relatif sama. Hal tersebut

22 didukung oleh hasil penelitian Hasnudi dan Tri Wahyuni (2005) bahwa salah satu faktor konsumsi pakan yang tidak berbeda (P>0,05) disebabkan bobot badan awal ternak yang digunakan pada penelitian homogen atau seragam. Selain itu, berdasarkan hasil perhitungan analisis variansi (Lampiran 15.) bahwa produksi telur puyuh berpengaruh tidak nyata (P>0,05). Hal tersebut menunjukan bahwa produksi telur yang dihasilkan oleh puyuh antar perlakuan juga relatif sama yang kaitannya erat dengan konsumsi pakan. Rataan produksi telur puyuh yaitu 20,86±10,84 dengan kisaran rataan produksi harian sebesar 6,19-38,57%. Dalam penelitian Widjastuti dan Kartasudjana, (2006) menerangakan bahwa konsumsi pakan pada unggas yang sedang produksi dapat mempengaruhi produksi telur, hasil produksi telur yang relatif sama antar perlakuan disebabkan karena pakan yang dikonsumsi juga relatif sama.

Menurut Setiawan (2006), puyuh dalam mengkonsumsi pakan juga dipengaruhi oleh tingkat palatabilitas yang berada di dalam pakan tersebut. Hasil rataan konsumsi pakan puyuh yang relatif sama pada penelitian ini menunjukkan bahwa warna, rasa dan aroma yang khas antar perlakuan R0, R1, R2 dan R3

memiliki tingkat palatabilitas pakan yang sama dan disukai oleh puyuh. Rasa yang disukai secara langsung dapat berpengaruh positif terhadap konsumsi pakan karena di dalam cavum oris unggas terdapat lidah (lingua) yang berfungsi sebagai indera perasa. Hal ini didukung oleh pendapat Amrullah (2003) yang berpendapat bahwa pada bagian lidah unggas terdapat pusat perasa untuk mengenali rasa pakan yang masuk ke dalam mulut disebut sebagai gustative or taste buds, sementara itu

indera penciuman (alfactory system) pada unggas kurang berkembang dengan baik. Penerimaan unggas terhadap pakan dipengaruhi oleh rasa, tekstur, dan bau.

Hasil rataan konsumsi pakan yang relatif sama ini terkait dengan nilai ekonomi, karena biaya pakan dalam usaha peternakan mencapai nilai presentase tertinggi dalam biaya produksi yaitu 70-80%. Konsumsi pakan dengan harga konsentrat yang lebih murah memungkinkan dimanfaatkan secara optimal, karena kenaikkan harga konsentrat tidak selalu diiringi dengan harga produk ternak (daging dan telur) yang dihasilkan. Posisi limbah ikan tongkol dihidrolisis dengan enzim bromelin dan pollard fermentasi sebagai bahan baku konsentrat dalam pakan dapat menggantikan peranan konsentrat pabrik dalam pakan ternak lokal, yang ditunjukan dengan semakin tinggi penggunaannya maka akan semakin sedikit biaya pakan yang dikeluarkan (Lampiran 7.). Saat ini harga konsentrat pabrik yaitu 7.200/kg, kemungkinan akan semakin mahal karena ketersediaannya yang diimpor dari negara luar.

4.2. Konsumsi Air Minum Puyuh

Air adalah zat makanan yang sangat penting untuk membantu fungsi tubuh yang normal, karena air akan memperlunak makanan pada proses pencernaan dan membantu pembuangan sisa bahan makanan yang tidak diperlukan tubuh. Konsumsi air minum puyuh adalah jumlah air yang dikonsumsi oleh puyuh. Hasil penelitian mengenai konsumsi air minum puyuh selama enam minggu diperoleh rataan konsumsi air minum puyuh keseluruhan adalah 45±26,06 ml/ekor/hari dengan kisaran antara 40 ml/ekor sampai dengan 50 ml/ekor/hari. Rataan konsumsi air minum puyuh selama penelitian disajikan pada Tabel 5.

24 Tabel 5. Rataan Konsumsi Air Minum Puyuh

No. Perlak u a n Konsumsi Air Min um (g/e kor/) ns 1. R0 50 ± 18,51 2. R1 42 ± 4,27 3. R2 40 ± 6,19 4. R3 49 ± 9,32 Rataan 45 ± 26,06

Ket : ns = berbeda tidak nyata (P>0,05)

Rata-rata konsumsi air minum puyuh yang diperoleh selama penelitian masing-masing perlakuan R0, R1, R2, dan R3 berturut-turut yaitu 50; 42; 40; dan 49

ml/ekor/hari. Rataan konsumsi air minum puyuh tersebut sesuai dengan pernyataan Wahju (2004) bahwa pada umumnya unggas minum air dua kali lebih banyak dari bobot pakan yang dikonsumsinya. Unggas tanpa air minum akan lebih menderita dan bahkan lebih cepat mati dibandingkan dengan unggas tanpa pakan, hal ini disebabkan karena 60-70% dalam tubuh unggas mengandung air. Pada penelitian ini tampak bahwa kebutuhan air minum puyuh rata-rata lebih tinggi dibandingakan dengan konsumsi pakan, yaitu 2,25 kali lebih banyak.

Berdasarkan hasil analisis variansi (Lampiran 6.) menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah ikan tongkol dihidrolisis enzi bromelin dan pollard fermentasi berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi air minum puyuh. Konsumsi air minum puyuh yang relatif sama antar perlakuan tersebut menunjukkan bahwa limbah ikan tongkol dan pollard fermentasi yang diberikan

yang diberikan menghasilkan konsumsi air minum puyuh yang tidak berbeda dan aman untuk digunakan. Tidak adanya perbedaan pada konsumsi air minum puyuh antar perlakuan karena dipengaruhi oleh konsumsi pakan yang tidak berbeda dan lingkungan.

Hasil perhitungan analisis variansi menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah ikan tongkol dan pollard fermentasi berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi protein (Lampiran 9.) dan konsumsi serat kasar (Lampiran 13.), sehingga tidak berpengaruh terhadap konsumsi air minum puyuh. Rata-rata konsumsi protein dan konsumsi serat kasar selama penelitian pada masing-masing perlakuan R0, R1, R2, dan R3 berturut-turut yaitu 4,02 g/ekor/hari dan 1,32

g/ekor/hari; 4,14 g/ekor/hari dan 1,33 g/ekor/hari; 4,27 g/ekor/hari dan 1,34 g/ekor/hari; 4,16 g/ekor/hari dan 1,30 g/ekor/hari. Hal tersebut didukung oleh pernyatan Abun (2006) bahwa konsumsi protein erat kaitannya dengan konsumsi air minum, apabila konsumsi protein berlebih maka akan menghasilkan konsumsi air minum yang berlebih pula, karena dengan konsumsi protein yang berlebih akan menghasilkan panas tubuh yang meningkat. Sedangkan serat kasar memiliki sifat menurunkan daya cerna, hidrophilik (menyerap air) dan juga laksatif dapat merangsang laju pergerakan digesta menjadi lancar (Amrullah, 2003). Dengan konsumsi serat kasar dari pakan perlakuan limbah ikan tongkol dan pollard fermentasi yang relatif sama maka didapatkan pula konsumsi air minum yang relatif sama. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Kiha, dkk., (2012) yaitu berhubungan dengan kemampuan serat dalam menyerap air dalam saluran pencernaan. Khumaini (2012) menambahkan dengan konsumsi air minum yang

26 berlebih maka konsumsi pakan akan berkurang dan akan berdampak pada pertambahan bobot badan unggas.

Konsumsi air pada unggas memiliki standar tertentu dan unggas tidak akan mengkonsumsi air secara berlebihan bila tidak dalam keadaan stres. Selain itu lingkungan juga menentukan tingkat konsumsi air minum yaitu suhu didalam kandang yang tinggi menyebabkan konsumsi air menjadi meningkat. Semakin tinggi suhu di dalam kandang maka suhu tubuh puyuh akan meningkat. Peningkatan suhu tubuh inilah yang mengakibatkan proses evaporasi semakin meningkat dengan tujuan panas dalam tubuh akan keluar melalui penguapan (Pilliang dan Djojosoebagio, 2006). Keadaan lingkungan tempat penelitian mempunyai temperatur serta kelembaban yang bervariasi. Rataan temperatur harian selama penelitian yaitu 30,25°C berkisar antara 29-33°C, sedangkan rataan kelembaban harian kandang penelitian yaitu 78% berkisar antara 68-95. Tingkat kelembaban tersebut masih dalam ambang normal. Menurut Soeharsono (1977) bahwa kelembaban antara 67-94,67% tidak memberikan pengaruh terhadap performans puyuh, sedangkan kelembaban yang tinggi dapat menurunkan konsumsi air minum puyuh.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait