Tekanan biogas selama fermentasi cenderung mengalami perubahan yaitu
mengalami kenaikan dan penurunan. Dari grafik dibawah ini dapat dilihat
perubahan tekanan selama fermentasi.
Gambar 1. Grafik hubungan antara lama fermentasi terhadap tekanan biogas
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa produksi biogas tertinggi adalah pada hari
fermentasi ke 32 (Lampiran 3). Hal ini sesuai dengan pernyataan Hadi (1981)
yang menyatakan bahwa peningkatan penambahan waktu fermentasi dari 10 hari
hingga 30 hari meningkatkan produksi biogas sebesar 50%. Setelah hari
fermentasi ke 30 tekanan biogas cenderung mengalami penurunan, hal ini sesuai
dengan pernyataan Sembiring (2004) yang menyatakan bahwa pada hari ke 30
fermentasi terjadi penurunan gas bio serta menurut Lazuardy (2008) yang
menyatakan bahwa tekanan biogas mengalami perubahan yaitu mengalami
kenaikan dan penurunan, yang pada umumnya penurunan terjadi setelah biogas
mencapai produk gas maksimum yaitu setelah hari ke 29.
Tekanan biogas mulai terjadi pada hari ke-9 sebesar 19.6 N/m2 pada ulangan pertama, 20.58 N/m2 pada ulangan ke 2, 18.6 N/m2 pada ulangan ke 3. Hal ini berarti bahwa biogas telah dihasilkan pada hari ke 9 dan mencapai produk
gas maksimum pada hari ke-32. Rata-rata tekanan gas tertinggi selama fermentasi
35 hari adalah 0.007259 atm.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Harahap (2007) bahwa produksi biogas pada
umumnya telah ada setelah seminggu di fermentasi sampai hari kesepuluh.
Tekanan tertinggi pada 30 hari fermentasi sampai hari 35. Produksi biogas secara
umum mengalami penurunan pada sepuluh hari terakhir, hal ini disebabkan pada
saat itu sebagian besar campuran kotoran sapi dan jerami padi telah mengalami
penguraian sehingga bahan makanan untuk bakteri metan tidak mencukupi
kebutuhan bakteri untuk berkembang biak dan menghasilkan biogas.
Jika dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan Harahap (2007) yang
menggunakan air sebagai bahan pencampurnya didapatkan hasil tekanan biogas
pada hari ke 32 fermentasi sebesar 0.0067 atm, sedangkan pada penelitian dengan
menggunakan lumpur selokan sebagai pengganti air didapatkan tekanan gas
sebesar 0.0072 atm.
Hasil yang didapatkan dari pengamatan waktu menghasilkan gas pertama
pada tiap-tiap ulangan terjadi pada hari ke 9 (Lampiran 3). Produksi biogas pada
umumnya telah ada pada seminggu setelah fermentasi sampai hari kesepuluh. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Hadi (1981), bahwa produksi biogas terbentuk
sekitar 10 hari, hal ini disebabkan karena jumlah bahan makanan bakteri
methanogen tersedia dengan jumlah cukup pada hari ke 10, sehingga bakteri
sangat aktif memproduksi biogas dan menurut Lazuardy (2008) yang menyatakan
bahwa biogas telah dihasilkan pada hari ke 8 dan peningkatan penambahan waktu
fermentasi dari 10 hingga 30 hari meningkatkan produksi biogas sebesar 50 %
yang menghasilkan gas dengan kadar kalor yang cukup tinggi yang sedikitnya
mengandung 45 % gas metan.
Pada penelitian ini biogas telah dihasilkan pada hari ke 9 dan selama
fermentasi 35 hari, mencapai produk gas maksimum pada hari ke 32, yang artinya
lama hari untuk mencapai produk gas maksimum adalah 24 hari.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Harahap (2007) yang
menyatakan bahwa tekanan gas telah mulai dihasilkan pada hari ke sembilan,
maka ekuivalen dengan hasil penelitian ini, dimana waktu menghasilkan gas
pertama adalah pada hari ke 9, sesuai dengan Sigit (2007), yang menyatakan
bahwa biogas lumpur selokan tidak jauh berbeda dengan biogas dari kotoran sapi
atau limbah pertanian, dimana gas sudah dihasilkan setelah proses fermentasi
selama 1 sampai 2 minggu.
Dari hasil penelitian dapat dilihat pada hari ke 32 saat membuang gas, gas
dibakar dengan menggunakan lighter gas. Nyala api yang dihasilkan tidak berbau
dan tidak terdapat perbedaan warna dari tiap-tiap ulangan. Hal ini berarti bahwa
gas yang dihasilkan oleh tiap-tiap ulangan mengandung metan. Menurut Harahap
(1978) bahwa gas metan (CH4) adalah komponen penting dan utama dari biogas karena memiliki kadar kalor yang cukup tinggi, dan jika gas yang dihasilkan dari
proses fermentasi anaerob ini dapat terbakar, berarti sedikitnya mengadung 45 %
gas metan. Warna nyala api yang di hasilkan oleh biogas pada penelitian ini
bewarna biru kemerahan (Lampiran 5), hampir sama dengan nyala api yang
dihasilkan Harahap (2007) yang bahan baku menggunakan air sebagai
pencampurnya, tanpa tambahan lumpur selokan, hal ini sesuai dengan Indartono
(2005) yang menyatakan bahwa perbedaan daya nyala api yang dihasilkan biogas
dapat dilihat dari warna nyala api yang dihasilkan apabila daya nyala api kecil
maka warna api yang dihasilkan biru dan semakin besar daya nyala api maka
warna api yang dihasilkan biru kemerahan.
Lama nyala api
Hasil pengamatan yang didapatkan pada ketiga ulangan didapatkan lama
nyala api pada ulangan pertama yaitu sebesar 27 detik, lama nyala api pada pada
ulangan kedua yaitu sebesar 30 detik dan lama nyala api pada ulangan ketiga yaitu
sebesar 24 detik jadi rata-rata lama nyala api yang didapat dari hasil penelitian
adalah 27 detik sesuai dengan pernyataan Harahap (2007) biogas dengan bahan
campuran kotoran sapi, jerami padi dan air memiliki nyala api yang cepat habis
Lama nyala api rata-rata sebesar 27 detik menunjukkan terdapatnya
kandungan gas metan (CH4) yang cukup banyak diatas 45 %, sesuai dengan pernyataan Harahap (1978) biogas berbahan baku jerami padi dan kotoran sapi
memiliki komposisi gas bio dengan kandungan gas metan (CH4) yang cukup tinggi sehingga mudah terbakar sebaliknya memiliki kandungan gas
karbondioksida (CO2) yang cukup rendah.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapatkan Harahap
(2007) dengan kapasitas bahan yang sama dan lama nyala api yang dihasilkan
selama 344 detik, penelitian ini masih kurang cukup baik untuk diaplikasikan
pada kompor biogas karena hanya memiliki lama nyala api sebesar 27 detik,
sesuai dengan pernyataan Lazuardy (2008) yang menyatakan bahwa lama nyala
api yang dapat digunakan dalam sekali pemakaian kompor gas adalah 732 detik
atau 12 menit 12 detik.
Ratio C/N
Dari hasil uji laboratorium didapatkan ratio C/N awal adalah pada ulangan
1 sebesar 16.87, ulangan ke 2 yaitu sebesar 18.51 dan ulangan ke 3 sebesar 20.32,
rata-rata C/N awal adalah 18.56 dan ratio C/N akhir pada penelitian ini adalah
pada ulangan 1 sebesar 6.56, pada ulangan ke 2 sebesar 7.54 dan pada ulangan ke
3 sebesar 12.89, rata-rata C/N akhir adalah 8.99. Pada tiap ulangan terjadi
penurunan ratio C/N, sesuai dengan pernyataan Wulandari (2006), unsur karbon
(C) sebagai energi dan nitogen (N) akan digunakan bakteri sebagai bahan untuk
membentuk struktur sel tubuhnya. Itulah sebabnya mengapa ratio C/N semakin
menurun dan menurut Forth (1991) ratio Carbon-Nitrogen (C/N) merupakan cara
organik merupakan petunjuk kemungkinan kekurangan nitrogen dan persaingan di
antara mikroba-mikroba dan tanaman tingkat tinggi dalam penggunaan nitrogen
yang tersedia dalam tanah, pernyataan ini mempertegas hasil penelitian yang
menunjukkan C/N awal rata-rata sebesar 18.56 mengalami penurunan pada C/N
akhir rata-rata yaitu sebesar 8.99, yang menunjukkan terjadi pengurangan
kandungan Nitrogen relatif pada bahan biogas yang penyebab tejadinya adalah
persaingan diantara mikroba-mikroba untuk mendapatkan nitrogen.
Jika melihat hasil penelitian Harahap (2007) yang menyatakan hasil ratio
C/N akhir bahan dari biogas berbahan baku kotoran sapi, jerami padi dan air
adalah sebesar 10.54, maka penelitian dengan menggantikan air dengan lumpur