• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tepung Biji Durian

Tepung biji durian merupakan tepung yang berasal dari biji durian dengan melalui beberapa proses antara lain penyortiran, pencucian, pengupasan, pemblansingan, perendaman, pengirisan dan penepungan. Analisis karakteristik tepung biji durian penting dilakukan untuk mengetahui mutu dan kondisi bahan sebelum diproses lebih lanjut (Indrastuti et al. 2012). Pengujian yang dilakukan

11 meliputi uji fisik, uji kimia dan uji mikrobiologi. Karakteristik fisik tepung biji durian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik tepung biji durian

Peubah Tepung

biji durian

Tepung Tapioca Warna

Nilai L* (Tingkat gelap–terang kisaran 0–100) 80.27 94.09-99.38a Nilai a* (Intensitas warna merah (+) dan hijau (-)) 1.49 -Nilai b*(Intensitas wana kuning (+) dan biru (-)) 13.69 -Amilografi

Viskositas puncak (cp) 1715 5387.94b

Waktu puncak (Menit) 8 6.05b

Suhu gelatinisasi (oC) 54.90 69.56b Rendemen (%) 62 56.92-64.83a Kadar pati (%/100g) 88.68 82.41e Kadar amilosa (%/100 g) 22.35 20–27c Kadar amilopektin (%/100 g) 66.33 82.13d Kadar air (%bb) 10.32 11.10e Kadar abu (%bb) 1.16 2.28e Kadar protein (%bb) 1.08 0.94e Kadar lemak (%bb) 5.40 0.34e Kadar karbohidrat (%bb) 82.04 87.95e Serat kasar (%bb) 1.09 2.18e

Total mikroba (cfu/g) 1.20 x 105 -Total kapang khamir (cfu/g) 1.14 103

-a. Wijanaet al. (2009) b. Imanningsih (2012) c. Eliasson (2004) d. Helmi (2001) e. Charoenkulet al. (2011)

Warna

Pemilihan warna merupakan salah satu bahan pertimbangan bagi konsumen dalam mengkonsumsi produk tepung (Wijana et al. 2009). Pada umumnya jika dilihat secara visual tepung biji durian memiliki warna coklat muda dengan nilai L*, a*, b* berturut 80.27, 1.49, dan 13.69. Perubahan warna putih dari biji durian menjadi coklat muda setelah menjadi tepung disebabkan pada proses pembuatan tepung, biji durian terlebih dahulu dikeringkan dengan cara penjemuran. Proses penjemuran memungkinkan terjadinya reaksi kimia antara asam amino dan gula pereduksi sehingga menyebabkan perubahan warna menjadi kecoklatan.

Amilografi

Sifat amilografi bertujuan untuk mempelajari perubahan viskositas tepung dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan (Indrastuti et al. 2012). Uji yang dilakukan pada sifat amilografi meliputi beberapa parameter yang diamati yaitu viskositas puncak, waktu puncak dan suhu gelatinisasi.

Profil gelatinisasi tepung memiliki perbedaan antara satu sama lain. Tepung tapioka memiliki viskositas puncak yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung

12

biji durian dan memiliki waktu gelatinisasi yang lebih cepat. Sifat gelatinisasi dan pembengkakan dari suatu pati ditentukan oleh beberapa faktor seperti struktur amilopektin, komposisi pati dan ukuran granular pati. Hal ini sejalan dengan pendapat Imanningsih (2012) yang menyatakan beras ketan merupakan jenis tepung yang mengandung amilopektin tinggi yaitu 99.11% dari fraksi patinya dengan waktu glatinisasi 5.87 menit. Grafik amilografi tepung biji durian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Grafik amilografi tepung biji durian Rendemen

Karakteristik tepung biji durian berupa rendemen menghasilkan nilai sebesar 62%, nilai rendemen tepung biji durian berada dalam kisaran normal rendemen tepung tapioka pada umumnya. Wijana et al. (2009) menyatakan tepung tapioka memiliki rendemen berkisar 56.92-64.38% dan rendemen suatu produk dipengaruhi oleh kualitas bahan baku meliputi kadar pati dan kadar air bahan yang digunakan. Rendemen tepung juga diipengaruhi oleh serat yang terkandung di dalam bahan, jika bahan memiliki serat kasar yang tinggi dan sukar untuk dihalus maka tidak dapat lolos dalam pengayakan, hal ini akan mempengaruhi jumlah tepung yang dihasilkan.

Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, sifat pada pati tergantung panjang rantai karbonnya, serta lurus atau bercabang rantai molekulnya (Hee-Joung An 2005). Kadar pati tepung biji durian hasil penelitian ini menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda dengan pati tepung tapioka. Kadar pati tepung biji durian sebesar 88.68 %, sedangkan tepung tapioka menurut Charoenkul et al. (2011) memiliki kadar pati sekitar 82.41%. Nilai kadar pati di dalam tepung berbanding lurus dengan kadar air, semakin tinggi kadar pati maka kadar air semakin rendah dan sebaliknya (Wijanaet al.2009).

13 Tepung biji durian memiliki kandungan pati yang terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan α-(1.4) dari unit glukosa dan setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa, membentuk rantai lurus yang umumnya dikatakan sebagai linear pati (Hee-Joung An 2005). Tepung biji durian mengandung kadar amilosa sebesar 22.35%, kadar amilosa tepung biji durian tersebut masih berada dalam kisaran kadar amilosa tepung tapioka pada umumnya. Menurut Eliasson (2004) menyatakan kadar amilosa tepung tapioka berkisar 22-27%. Pati dengan kandungan amilosa yang tinggi, cenderung menghasikan produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Hee-Joung An 2005). Amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α-(1.4)-glikosidik dan ikatan α-(1.6)-glikosidik ditempat percabangannya, setiap cabang terdiri atas 25-30 unit D-glukosa (Hee-Joung An 2005). Kadar amilopektin tepung biji durian lebih rendah (66.33%) dibandingkan dengan tepung tapioka (82.13%). Hee-Joung An (2005) menyatakan semakin tinggi kandungan amilopektin di dalam tepung menyebabkan pati akan lebih bersifat basah, lengket, cenderung sedikit menyerap air dan pembentukan sifat viskoelastis pada produk pangan.

Kandungan Nutrisi

Kandungan nutrisi tepung biji durian menunjukkan konsentrasi yang tidak jauh berbeda dengan tepung tapioka yang dilaporkan Charoenkul et al. (2011). Lebih lanjut, kandungan proksimat tepung biji durian meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak sudah memenuhi standar SNI tepung tapioka sebagai bahan pangan. Kadar air tepung biji lebih rendah dari tepung tapioka yaitu 10.32%. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa kualitas tepung baik dan dapat memperlambat kerusakan pada tepung, tingginya kadar air dapat menarik jamur, bakteri, dan serangga yang dapat menyebabkan penurunan mutu. Umumnya tepung yang cepat rusak memiliki kadar air diatas 15% (Suprapti dan Lies 2005). Kadar air di dalam dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan, khususnya pada saat pengeringan dan kadar air bahan baku (Wijanaet al.2009).

Selain berpengaruh terhadap kadar air, proses pengolahan tepung juga dapat mempengaruhi kadar abu tepung. Kadar abu tepung biji durian dibandingkan tepung tapioka. Hal ini diduga pada proses pengolahan, mineral yang terkandung di dalam biji durian juga ikut terbuang bersama air rendaman. Kadar protein tepung biji durian yaitu 1.08%. Kadar protein tepung biji durian ini lebih tinggi dibandingkan kadar protein tepung tapioka. Tinggi rendahnya kadar protein suatu bahan salah satunya dipengaruhi oleh bahan bakunya.

Hasil analisis juga menunjukkan kadar lemak tepung biji durian lebih tinggi dari tepung tapioka. Tingginya kadar lemak tepung biji durian diduga karena kadar lemak yang ada pada biji durian juga tinggi. Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan pangan misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 2004). Tepung biji durian memiliki kandungan karbohidrat yang lebih rendah dari tepung tapioka. Kadar serat kasar yang dimiliki tepung biji durian juga rendah jika dibandingkan dengan tepung tapioka. Serat kasar di dalam tepung dapat mempengaruhi rendemen tepung yang dihasilkan. Menurut Piliang dan Djoyosoebagio (2002), kadar serat yang tinggi pada bahan makanan mempunyai nilai tambah dalam proses metabolisme selama masih dapat diterima oleh tubuh.

14

Kualitas Mikrobiologi

Penentuan baik buruknya kualitas suatu produk pangan dapat ditinjau dari kualitas mikrobiologi. Kualitas mikrobiologi tepung biji durian sudah memenuhi standar SNI tepung tapioka. Nilai total mikroba tepung biji durian yaitu 1.20 x 105 cfu/g dan total kapang 1.14 x 103cfu/g. Menurut BSN (1994a), tepung tapioka memiliki nilai standar total miroba maksimal 1.0x106cfu/g dan kapang maksimal 1.0 x 104 cfu/g. Kualitas mikrobiologi produk pangan dipengaruhi oleh bahan baku dan proses pembuatannya (Hatta dan Murpiningrum 2012).

Kualitas Bakso

Kualitas bakso daging sapi dengan penambahan tepung biji durian 0%, 50% dan 100% dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik bakso daging sapi

Peubah

Perlakuan penambahan tepung biji durian Tanpa substitusi

tepung biji durian

Substitusi tepung biji durian 50% Substitusi tepung biji durian 100% Kualitas fisik DSA (%)* 5.18 ± 0.64 5.92 ± 0.64 5.92 ± 0.64 pH 6.34 ± 0.04 6.42 ± 0.02 6.37 ± 0.00 aW 0.888 ± 0.04 0.885 ± 0.03 0.887 ± 0.01 Tekstur

Kekerasan (gf) 4506.43 ± 930.90a 2908.83 ± 778.36ab 2002.50 ± 161.05b Elastisitas (gf) 81.79 ± 0.10 80.83 ± 0.86 80.51 ± 0.31 Daya kohesif (gf) 0.51 ± 0.04 0.52 ± 0.07 0.51 ± 0.05 Kandungan nutrisi

Kadar air (% bb) 74.61 ± 0.47 74.29 ± 0.43 73.70 ± 0.43 Kadar abu (% bb) 2.28 ± 0.06 2.34 ± 0.14 2.35 ± 0.24 Kadar protein (%bb) 11.22 ± 0.32b 11.32 ± 0.20b 12.10 ± 0.11a Kadar lemak (%bb) 1.59 ± 0.11 2.09 ± 0.37 2.27 ± 0.28 Karbohidrat (%bb) 10.28 ± 0.61 9.94 ± 0.30 9.57 ± 0.50 Kualitas mikrobiologi

Total mikroba

(log cfu/g) 3.57 ± 0.18 3.62 ± 0.41 3.67 ±0.03

Huruf yang sama pada baris rataan menunjukkan tidak berbeda secara statistik *DSA = Daya serap air

Daya Serap Air

Daya serap air merupakan parameter yang menunjukkan besarnya kemampuan bahan untuk menarik air sekelilingnya yang berikatan dengan partikel bahan atau tertahan pada pori partikel bahan (Trisyuliantiet al.2001). Nilai daya serap air pada ketiga perlakuan menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda. Fardiaz et al. (1992) menyatakan, protein merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap daya serap air suatu bahan meskipun komponen-komponen yang lain juga berpengaruh. Hal yang paling berpengaruh terhadap interaksi

15 protein-air meliputi bentuk protein dan faktor lingkungan seperti konsentrasi protein, suhu dan nilai pH.

pH

Nilai pH merupakan indikator penting dalam menentukan kualitas daging dengan memperhatikan kualitas teknologi dan pengaruh kualitas daging segar (Montolalu et al. 2013). Hasil pengukuran pH bakso menunjukkan rataan pH bakso dengan persentase penambahan tepung biji durian yang berbeda berkisar antara 6.34-6.42. Montolaluet al.(2013) juga menambahkan nilai pH dipengaruhi oleh bahan dasar yang digunakan serta pencampuran bahan-bahan membuat titik keseimbangan hidrogen yang baru pada bakso. BSN (1995b) menyatakan Nilai pH pangan berkisar antara 6-7, hal ini berarti bahwa nilai pH dalam penelitian ini masih memenuhi batasan nilai pH.

aw

Nilai aw dapat dijadikan sebagai parameter yang menunjukkan pada stabilitas dan keawetan pangan, laju reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba. Nilai aw pada penelitian ini sama halnya dengan nilai pH dan DSA, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ketiga perlakuan bakso. Nilai aw bakso pada penelitian ini berkisar 0.885-0.888. Menurut Kusnandar (2010), nilai aw dapat dijadikan sebagai parameter yang menunjukkan pada stabilitas dan keawetan pangan, laju reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba. Coultate (2002) menyatakan adanya perbedaan nilai aw untuk kebutuhan tumbuh mikroba seperti bakteri 0.91, kapang 0.88 dan jamur 0.80.

Tekstur

Tekstur merupakan sifat struktural, mekanik dan permukaan makanan terdeteksi melalui indra penglihatan, pendengaran, sentuhan dan kinestesis (Szczesniak 2006). Pada awalnya tekstur diukur berdasarkan persepsi sensorik, tetapi perkembangan saat ini tekstur telah dikonversi menjadi nilai pengukuran melalui alat uji tekstur yang dapat mendeteksi dan mengukur parameter tertentu (Sarifudin et al. 2015). Peubah tekstur pada bakso penelitian ini yang diukur termasuk kekerasan, elastisitas dan daya kohesif. Bakso dengan penggunaan 100% tepung tapioka memiliki tingkat kekerasan tertinggi. Nilai kekerasan dapat dipengaruhi oleh komposisi tepung dan daging yang digunakan (Hermianto dan Aulia 2001). Yu et al. (2009) juga menambahkan kekerasan di dalam produk juga dipengaruhi oleh kadar amilosa, karena kemampuannya membentuk ikatan hidrogen yang kuat antar amilosa ataupun antara amilosa dan amilopektin.

Nilai elastisitas yang dihasilkan bakso pada penelitian ini cukup tinggi meskipun tidak berpengaruh nyata yaitu berkisar 80.51-81.79 gf. Penggunaan daging yang lebih banyak dari pada tepung menyebabkan nilai elastisitas tinggi. Hermianto dan Aulia (2001) menyatakan nilai elastisitas diduga dipengaruhi oleh protein miofibril yang bersifat elastis. Daya kohesif bakso pada penelitian ini juga menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Mittal and Usborne (1986) menyatakan bahwa pada produk emulsi daging dan penambahan pati dapat mengubah kualitas produk, namun tidak mempengaruhi daya kohesif produk.

16

Kadar Air

Air merupakan unsur penting dalam bahan makanan, air dalam bahan makanan dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur, cita rasa makanan dan mempengaruhi daya tahan makanan dari serangan mikroba. Kadar air dalam penelitian menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata tetapi berada diatas SNI bakso daging sapi. BSN (1995b) menyatakan standar kadar air bakso daging sapi yaitu maksimal 70%. Kadar air di dalam bakso dipengaruhi oleh lama pemanasan dan bahan pengisi (Pramuditya dan Yuwono 2014). Menurut Putra et al. (2011), lama pemanasan menyebabkan peningkatan jumlah air yang terserap karena air dapat berdifusi ke dalam makanan dan berikatan dengan pati dan protein. Tingginya kadar amilosa yang terdapat pada tepung juga akan mempercepat peningkatan kadar air pada bakso karena amilosa dapat mengikat air dengan mudah (Pramuditya dan Yuwono 2014).

Kadar Abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu pangan. Rataan kadar abu juga menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dan telah memenuhi SNI. BSN (1995b) menyatakan kadar abu yang memenuhi standar yaitu maksimal 3%. Semakin banyak penambahan bumbu dalam formulasi pembuatan bakso dapat mempengaruhi kadar abu. Soeparno (2005) menyatakan penambahan bumbu dalam formulasi produk dapat mempengaruhi nilai kadar abu.

Kadar Protein

Protein merupakan senyawa organik kompleks yang mengandung asam amino yang terikat satu sama lain melalui ikatan peptida. Kandungan protein dalam pangan bervariasi baik dalam jumlah maupun jenisnya. Kadar protein tertinggi dimiliki bakso dengan penggunaan tepung biji durian 100%. Peningkatan persentase kadar protein diduga disebabkan kandungan protein tepung biji durian yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tapioka, sehingga semakin besar persentase subtitusi tepung biji durian maka kadar protein bakso akan meningkat. Kadar protein bakso juga dipengaruhi oleh kadar air, semakin banyak air dapat menurunkan persentase protein bakso (Pramuditya dan Yuwono 2014). Hal tersebut dibuktikan dengan bakso perlakuan pengunaan tepung biji durian 100% memiliki kadar protein tertinggi dan kadar air paling rendah.

Kadar Lemak

Kandungan lemak di dalam pangan berfungsi memperbaiki bentuk, tekstur, menambah nilai gizi dan kalori serta memberikan cita rasa gurih dalam bahan pangan. Kadar lemak bakso tepung biji durian 100% lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan tepung tapioka 100% meskipun tidak berbeda nyata. Peningkatan kadar lemak pada penggunaan tepung biji durian diguga karena kandungan lemak pada tepung biji durian juga lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tapioka. Kadar lemak tepung biji durian sebesar 5.40% sedangkan tepung tapioka sebesar 0.34%.

17 Karbohidrat

Karbohidrat memiliki sifat fungsional yang juga berperan penting dalam berbagai proses pengolahan bahan pangan. Karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi, pembentuk struktur, bahan pengisi, pemanis, pengental, penstabil, pembentuk gel, pembentuk lapisan film dan pengganti lemak dalam berbagai formulasi prooduk pangan (Kusnandar 2010). Berdasarkan sidik ragam, kadar karbohidrat bakso dengan penggunaan tepung biji durian 0%, 50% dan 100% juga tidak berbeda nyata. Bakso dengan penggunaan tepung tapioka 100% memiliki kadar karbohidrat tertinggi. Hal tersebut diduga karena kandungan karbohidrat yang dimiliki tepung tapioka lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung biji durian.

Total Mikroba

Mutu mikrobiologis pada suatu bahan pangan ditentukan oleh jumlah total mikroba yang terdapat dalam bahan pangan tersebut. Mutu mikrobiologis pada bahan pangan ini akan menentukan daya simpan dari produksi tersebut di tinjau dari kerusakan oleh bakteri dan keamanan pangan dari mikroorganisme ditentukan oleh jumlah total mikroba (Chrismanuel et al. 2012). Total mikroba ketiga perlakuan pada penelitian ini tidak menunjukkan angka yang berbeda nyata berkisar 3.57-3.67 log cfu/g. Rendahnya angka total mikroba dalam penelitian ini diduga karena adanya proses pemanasan dalam pembuatan bakso, sehingga bakteri yang tidak tahan panas akan mati.

Keseluruhan perlakuan bakso pada penelitian ini telah memenuhi SNI bakso daging sapi baik kualitas kimia maupun mikrobiologi. BSN (1995b) menyatakan kadar air, abu, protein dan lemak bakso daging sapi berturut-turut adalah maksimal 70%, maksimal 3.0%, minimal 9.0% dan maksimal 2.0%, dan total mikroba pada bakso yaitu maksimal 1.0 x 105cfu/g.

Sifat Organoleptik Bakso

Hasil analisis uji organoleptik (uji hedonik) bakso daging sapi dengan memanfaatkan tepung biji durian sebagai subtitusi tepung tapioka terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil organoleptik bakso daging sapi

Peubah

Perlakuan penambahan tepung biji durian Tanpa substitusi

tepung biji durian

Substitusi tepung biji durian 50% Substitusi tepung biji durian 100% Warna 3.50 ± 0.86 3.60 ± 0.67 3.40 ± 0.72 Rasa 3.40 ± 0.85 3.46 ± 0.81 3.30 ± 0.72 Aroma 3.40 ± 0.93 3.43 ± 0.62 3.26 ± 0.69 Kekenyalan 3.50 ± 0.90 3.46 ± 0.62 3.43 ± 0.67 Rataan 3.45 ± 0.50 3.48 ± 0.07 3.34 ± 0.80

18 Warna

Warna merupakan alat sensori pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Warna bakso yang disukai oleh panelis adalah bakso dari pengunaan campuran tepung tapioka dan tepung biji durian 50% : 50%, meskipun ketiga perlakuan tidak menunjukkan angka yang berbeda nyata. Warna bakso diantaranya dipengaruhi oleh kandungan mioglobin daging, semakin tinggi mioglobin daging maka warna semakin merah. Proses pemanasan dapat merubah warna daging yang awalnya merah menjadi abu-abu, dengan penambahan jumlah tepung tapioka akan mempengaruhi intensitas warna abu-abu mengarah ketingkat lebih lebih muda atau pucat sehingga tidak disukai panelis (Usmiati dan Komariah 2007). Penggunaan 100% tepung biji durian menghasilkan warna lebih gelap atau abu-abu tua. Menurut Hermianto dan Andayani (2002), warna bakso yang disukai oleh panelis adalah abu-abu muda atau sedikit tua.

Rasa

Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Dalam menilai rasa lebih banyak menggunakan alat indra perasa. Menurut Hermianto dan Andayani (2002) melaporkan ada tiga macam rasa bakso yang menentukan penerimaan konsumen yaitu tingkat kegurihan, tingkat asin oleh garam dan rasa daging. Uji rasa pada penelitian ini tidak menunjukkan angka yang berbeda nyata. Faktor yang sering mempengaruhi rasa bakso adalah kandungan lemak daging dan bumbu-bumbu yang digunakan (Usmiati dan Komariah 2007). Persentase daging dan bumbu yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan kadar yang sama pada semua perlakuan.

Aroma

Aroma disebut juga pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium aromanya dari jarak jauh. Uji aroma bakso memperlihatkan skor yang diberikan oleh panelis juga tidak berbeda nyata. Hal tersebut diduga adanya persentase bumbu yang sama pada masing-masing adonan bakso. Menurut Zaika et al. (1978) bahwa aroma dipengaruhi oleh jumlah bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan, semakin banyak bumbu yang ditambahkan maka aroma semakin tajam.

Tekstur

Tekstur juga merupakan salah satu faktor yang diperhitungkan konsumen dalam menilai kesukaan dan penerimaan daging serta produknya. Sejalan dengan uji warna, rasa dan aroma, uji tekstur pada penelitian ini juga tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Bakso dengan perlakuan penggunaan 100% tepung tapioka lebih disukai panelis. Hal ini diduga karena tepung tapioka memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tapioka sehingga menghasilkan bakso lebih kenyal.

Secara umum perlakuan ketiga bakso menunjukkan data yang tidak berpengaruh nyata pada semua variabel pengamatan (warna, rasa, aroma dan tekstur). Data rataan uji organoleptik berada diatas 3, dengan asumsi semua bakso pada seluruh perlakuan telah dapat diterima oleh masyarakat, karena standar untuk uji organoleptik yang diterima masyarakat adalah≥ 3.

19 Kualitas Bakso Selama Penyimpanan

Suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan laju pertumbuhan dan jumlah mikroorganisme pada daging dan produk olahannya. Pengamatan kualitas bakso selama penyimpanan dilakukan terhadap bakso perlakuan terbaik (subtitusi tepung biji durian 50%) pada penelitian pendahuluan selama 12 jam pada suhu ruang dan 12 hari pada suhu dingin. Pengujian kualitas bakso selama penyimpanan suhu ruang dilakukan pengamatan pada jam ke 0, 4, 8 dan 12, sedangkan pada suhu dingin dilakukan pada hari ke 0, 3, 6, 9 dan 12 dengan parameter pengamatan meliputi DSA, pH, awdan total mikroba. Hasil pengamatan kualitas bakso selama penyimpanan bakso daging sapi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kualitas bakso selama penyimpanan

Peubah DSA (%) pH aw Total mikroba (Log cfu/g) Suhu ruang Jam ke 0 5.55 ± 1.11 6.07 ± 0.07c 0.882 ± 0.001 3.75 ± 0.16c Jam ke 4 5.18 ± 0.64 5.98 ± 0.06c 0.883 ± 0.001 4.34 ± 0.32b Jam ke 8 5.18 ± 1.28 6.57 ± 0.10b 0.884 ± 0.005 4.77 ± 0.02b Jam ke 12 4.81 ± 0.64 6.92 ± 0.03a 0.885 ± 0.001 6.33 ± 0.03a Suhu dingin Hari ke 0 5.55 ± 1.11 6.07 ± 0.07r 0.882 ± 0.001p 3.75 ± 0.16s Hari ke 3 7.40 ± 1.60 6.72 ± 0.10q 0.867 ± 0.01q 3.92 ± 0.05s Hari ke 6 7.03 ± 0.64 6.87 ± 0.02p 0.863 ± 0.01qr 4.41 ± 0.02r Hari ke 9 6.29 ± 0.64 6.84 ± 0.01p 0.861 ± 0.01s 4.58 ± 0.02q Hari ke 12 5.92 ± 0.64 6.81 ± 0.03p 0.847 ± 0.03t 4.84 ± 0.01p

Huruf yang sama pada kolom rataan menunjukkan tidak berbeda secara statistik

Perlakuan penyimpanan suhu ruang 0, 4, 8, 12 jam dan penyimpanan suhu dingin 0, 3, 6, 9 dan 12 hari pada nilai DSA tidak memberikan pengaruh yang nyata. Perlakuan pada kondisi suhu ruang memiliki nilai DSA cenderung menurun selama penyimpanan. Hal ini diduga adanya kandungan protein yang sudah rusak sehingga tidak dapat menyerap air dengan baik. Disisi lain perlakuan penyimpanan pada kondisi suhu dingin memiliki nilai DSA cenderung meningkat hingga hari ke 6 dan kembali menurun sampai akhir penyimpanan.

Pengukuran nilai aw terhadap penyimpanan bakso perlu dilakukan karena aktivitas air dapat mempengaruhi reaksi-reaksi yang ada dalam suatu produk makanan (Candra et al. 2014). Nilai aw bakso penyimpanan suhu ruang tidak menunjukkan pengaruh yang nyata dan cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan nilai aw ini diduga pada suhu ruang terjadi penurunan kemampuan protein untuk mengikat air, sehingga air akan keluar, dengan demikan nilai aw akan meningkat (Afrianto et al. 2014). Perlakuan pada kondisi suhu dingin nilai awmenunjukkan berpengaruh nyata dan mengalami penurunan.Penurunan nilai aw selama penyimpanan suhu dingin disebabkan bakso mengalami proses desorpsi (dehidrasi).

20

Secara umum nilai pH bakso perlakuan terbaik mengalami kenaikan selama penyimpanan suhu ruang dan suhu dingin. Perlakuan pada suhu ruang, hasil analisa menunjukkan bahwa nilai pH pada awal penyimpanan adalah 6.07. Nilai pH tersebut turun sampai jam ke 4 kemudian naik kembali sampai akhir penyimpanan menjadi 6.92. Perlakuan pada suhu dingin, hasil analisa menunjukkan nilai pH terus mengalami kenaikan hingga hari ke 12 menjadi 6.81. Menurut Muratore et al. (2007) bahwa penurunan nilai pH disebabkan oleh adanya metabolisme bakteri asam laktat. Hal ini sejalan dengan pendapat Afrianto et al. (2014) menyatakan pada awal penyimpanan enzim akan memanfaatkan glikogen untuk mempertahankan kesegaran dan energi yang diperoleh dari perombakan glikogen menjadi asam laktat yang dapat menurunkan pH. Pada penyimpanan lebih lanjut, cadangan glikogen akan habis. Enzim mulai merombak protein menjadi amonia, trimetilamin dan komponen volatil lainnya yang bersifat basa (Goulas and Kontominas 2005). Akumulasi senyawa-senyawa tersebut perlahan akan meningkatkan nilai pH sehingga menjadi netral.

Hasil Pengamatan nilai total mikroba bakso pada perlakuan suhu ruang jam ke 12 sebesar 6.33 log cfu/g. BSN (1995b) menyatakan nilai total mikroba pada untuk produk bakso daging maksimal 1.0x105cfu/g sama dengan 5.00 log cfu/g. Produk bakso pada perlakuan penyimpanan suhu ruang jam ke 12 sudah ditolak dan hanya bisa diterima hingga jam ke 8 secara mikrobiologis, sedangkan pada perlakuan suhu dingin bakso masih mampu bertahan hingga hari ke 12 dengan

Dokumen terkait