• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ovarium dan Perolehan Oosit per Ovarium

Ovarium yang digunakan dalam penelitian ini adalah ovarium dari sapi betina Brahmancross.Ovarium yang digunakan sebanyak 121 ovarium yang berasal dari 64 ekor betina. Oosit yang diperoleh dari 121 ovarium tersebut sebanyak 1.042 oosit dengan rataan perolehan oosit per ovarium sebanyak 8,83 ± 2,36 oosit(Tabel 1). Sapi betina yang dipotong merupakan sapi betina yang sudah tidak produktif, tua dan sapi betina produktif yang terlanjur dipotong.Produksi embrio in vitro dengan menggunakan ovarium dari rumah potong hewan merupakan alternatif pemanfaatan ovarium dari sapi-sapi betina yang dipotong, dengan memanfaatkan ovarium tersebut diharapkan dapat diperoleh embrio yang dapat digunakan untuk program kelahiran ganda dengan bioteknologi Transfer Embrio (TE), sehingga populasi sapi dapat dipertahankan.

Table 1. Jumlah Ovarium, Jumlah Oosit yang Diperoleh dan Rataan Perolehan Oosit/Ovarium. Perlakuan Bangsa Betina Jumlah Ovarium Jumlah Betina yang Dipotong Jumlah Oosit Total Rataan Jumlah Oosit/ovarium Sapi Bali BX 54 29 547 10,40 ± 1,94 Sapi Simmental BX 67 35 495 7,27 ± 1,60 Jumlah 121 64 1.042 Rataan 8,83 ± 2,36

Tingkat Fertilisasi dan Pembelahan

Tingkat fertilisasi dari perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini dapat ketahui dari jumlah zigot yang membelah.Hasil pengamatan pembelahan yang dilakukan pada hari kedua, fase pembelahan > 2sel, pada sapi Bali diperoleh sebanyak 257 embrio dari 438 oosit yang difertilisasi (58,68%) dan pada sapi Simmental sebanyak 200 embrio dari 394 oosit yang difertilisasi (50,76%) (Tabel 2).Tingkat pembelahan pada hari kedua antara sapi Bali dan sapi Simmental menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa sapi Bali

32 mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam melakukan fertilisasi secara in vitro dibandingkan dengan sapi Simmental.Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan dari kedua pejantan. Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia yang memiliki tingkat adaptasi yang cukup baik terhadap lingkungannya, sedangkan sapi Simmental merupakan sapi eksotik yang didatangkan dari luar negeri yang iklimnya sub tropis, sehingga sapi Simmental tersebut harus beradaptasi dengan lingkungan tropis yang cenderung panas. Menurut Pane (1991) sapi Bali masih mampumempertahankan tingkat fertilitasnya dengan baik pada lingkungan yang kurang baik.

Tabel 2.Tingkat Pembelahan Zigot>2 sel pada Sapi Bali dan Simmental.

Perlakuan Ooosit difertilisasi n

Pembelahan 2 sel n (%±SB)

Semen Sapi Bali 438 257(58,68±8,51)a

Semen SapiSimmental 394 200(50,76±12,84)b

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Menurut Ward et al. (2001), pejantan mempengaruhi pembelahan awal dari embrio. Setelah sperma masuk ke dalam oosit, kromatin sperma akan mengalami renovasi yang luas dan mengakibatkan reorganisasi dari genom jantan menjadi pronuklei jantan. Pronuklei betina dan jantan akan mengalami sintesis DNA sebelum memasuki proses mitosis yang pertama, yang berpuncak pada pembelahan embrio yang pertama menjadi dua sel. Comizzoli et al. (2000) melaporkan bahwa fertilitas pejantan secara in vitro mempengaruhi waktu dan durasi replikasi DNA, sedang genotipe betina tidak ikut mengatur waktu terjadinya replikasi DNA.Hal tersebut membuktikan bahwa pejantan pada sapi mempengaruhi waktu dan durasi replikasi DNA selama siklus sel pertama, dan pada akhirnya mempengaruhi waktu pembelahan pertama.Tingkat pembelahan pada sapi Bali lebih baik dibandingkan dengan sapi Simmental.

Hal tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Barros et al. (2006) yang membandingkan tingkat pembelahan embrio dan pembentukan blastosis pada oosit yang difertilisasi menggunakan bangsa pejantan Nelore (B. t. indicus) dan crossbreed (indicus vs. taurus), dalam penelitian tersebut dilaporkan bahwa tingkat pembelahan

33 embrio dan pembentukan blastosis yang dihasilkan tidak berbeda nyata pada kedua bangsa pejantan yang digunakan.

Menurut Duque et al. (2003) dan Kuran et al. (2002) faktor epigenetik memberikan peranan yang penting dalam perkembangan awal embrio, seperti ion, substrat energi, asam amino, vitamin, faktor pertumbuhan, sitokin dan hormon. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat produksi embrio antara lain, kondisi individu oosit yang bervariasi, semen, media dan kultur yang digunakan setiap fase produksi embrio in vitro (Cevik et al., 2009), fertilitas pejantan (Ward et al., 2001), kualitas oosit, konsentrasi bahan kimia dan waktu aktivasi oosit (Korkmaz, 2012).

Tingkat Pembentukan Morula dan Blastosis

Pembentukan morula yang diperoleh pada sapi Bali sebanyak 144 embrio dari 257 embrio yang membelah (56,03%) dan pada sapi Simmental sebanyak 106 embrio dari 200 embrio yang membelah (53,00%) (Tabel 3).Tingkat pembentukan morula pada sapi Bali dan sapi Simmental berbeda nyata (P<0,05).Hal tersebut menunjukkan bahwa sapi Bali mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan sapi Simmental dalam perkembangan embrio sampai tahap pembentukan morula.

Tabel 3.Tingkat Pembentukan Morula dan Blastosis pada Sapi Bali dan Simmental.

Perlakuan Zigot yang membelah n Morulla n (%±SB) Blastosis n (%±SB)

Semen Sapi Bali 257 144(56,03±16,55)a 113(43,97±13,84)a

Semen Sapi Simmental 200 106 (53,00±11,81)b 80 (40,00±10,63)b

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Pembentukan blastosis total yang diperoleh pada sapi Bali sebanyak 113 embrio dari 257 embrio yang membelah (43,97%) dan pada sapi Simmental sebanyak 80 embrio dari 200 embrio yang membelah (40,00%) (Tabel 3). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pembentukan blastosis total pada sapi Bali dan sapi Simmental berbeda nyata (P<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa sapi Bali mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan sapi Simmental dalam perkembangan embrio sampai tahap pembentukan blastosis.

Pembentukan morula dan blastosis dipengaruhi oleh tingkat pembelahan pada hari kedua. Tingkat pembelahan pada bangsa sapi Bali lebih tinggi dibandingkan

34 dengan bangsa sapi Simmental, hal tersebut juga berpengaruh pada tingkat pembentukan morula dan blastosis.Lonergan et al.(1999) melaporkan bahwa terbukti adanya perbedaan tingkat pembentukan blastosis yang lebih tinggi dari embrio yang membelah lebih awal dibandingkan dengan embrio yang membelah lebih akhir. Meskipun perkembangan awal dari embrio dapat ditentukan oleh oosit, tetapi hal itu tidak begitu eksklusif.

Fase penting dalam perkembangan awal embrio mamalia adalah saat terjadi kompaksi sel, kejadian ini akan bervariasi menurut spesiesnya (Gordon, 1994). Seidel (1983) menduga waktu kompaksi dari embrio sapi terjadi pada fase 16 sel, tetapi kebanyakan peneliti sependapat bahwa waktu kompaksi dari embrio sapi terjadi pada fase 32 sel atau lebih (Prather dan First, 1988; Bondioli et al., 1990; Van Soom et al., 1992). Van Soom et al. (1992) menyatakan bahwa kompaksi sel biasanya terjadi antara hari kelima sampai keenam setelah fertilisasi.

Perubahan dari fase morula ke blastosis merupakan tahapan yang penting dalam perkembangan awal embrio, pada proses ini menghasilkan dua tipe sel, yaitu Inner cell mass (ICM) dan sel trophoblast. Sel trophoblast atau tropectoderm, akan berkembang menjadi jaringan plasenta dan bergabung dengan selaput extraembryonic, sedangkan ICM akan berkembang menjaditiga bentuk lapisan sel perkembangan embrio (endoderm, mesoderm dan ectoderm) (Gordon, 1994).

Tabel 4.Tingkat Pembentukan Blastosis pada hari ke-6, 7, 8, dan 9 pada Sapi Bali dan Sapi Simmental Perlakuan Zigot membelah n Pembentukan Blastosis Hari VI n (%±SB) Hari VII n (%±SB) Hari VIII n (%±SB) Hari IX n (%±SB) Sapi Bali 257 22 (8,56±3,80)a 49 (19,07±11,91)a 29 (11,28±3,53)a 13 (5,06±4,06)a Sapi Simmental 200 8 (4,00±4,78)b 40 (20,00±8,93)a 27 (13,50±8,87)a 5 (2,50±2,72)a Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Perkembangan pembentukan blastosis pada hari keenam pada sapi Bali dan sapi Simmental memberikan perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan pada hari ketujuh sampai kesembilan tidak berbeda nyata (P>0,05), walaupun hasil pembentukan blastosis pada sapi Bali selalu lebih besar dibanding sapi Simmental. Hal ini menunjukkan bahwa sapi Bali mempunyai kemampuan perkembangan pembentukan blastosis yang lebih cepat bila dibandingkan dengan sapi Simmental

35 (Tabel 4). Puncak pembentukan blastosis pada kedua bangsa terjadi pada hari ketujuh, baik pada embrio yang difertilisasi dengan sperma sapi Bali maupun sapi Simmental. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Ward et al. (2001) yang menyatakan puncak pembentukan blastosis rata-rata terjadi pada hari ketujuh setelah fertilisasi pada setiap pejantan yang digunakan.

Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa sapi Bali (Bos javanicus) memiliki kemampuan yang lebih baik dengan sapi Simmental (Bos taurus) dalam melakukan fertilisasi secara in vitro, pembelahan sel, pembentukan morula dan blastosis.Embrio hasil fertilisasi dengan semen pejantan sapi Bali memiliki kecepatan dan kemampuan perkembangan yang yang lebih baik pada hari keenam, sedangkan pada hari ketujuh sampai kesembilan tidak berbeda.

Krisher et al. (1999) menunjukkan bahwa medium kultur dapat mempengaruhi metabolisme embrio yang dihasilkan, tetapi tidak jelas berapa banyak hal tersebut dapat mempengaruhi metabolisme embrio. Selain itu, beberapa faktor dapat mempengaruhi tingkat produksi embrio komersial, seperti variasi kondisi individu oosit donor, semen, media dan kultur yang digunakan setiap fase dalam produksi embrio in vitro. Media kultur harus diganti pada interval tertentu untuk melindungi embrio dari toksisitas (Keskintepe dan Brackett, 1996; Steeves dan Gardner, 1999).

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan produksi embrio in vitro komersil pada sapi Bali secara massal, tentunya dengan mutu genetik yang harus tetap dijaga. Dengan adanya embrio sapi Bali ini akan memudahkan distribusi sapi Bali ke seluruh Indonesia, karena pengangkutan dan transportasi embrio lebih mudah bila dibandingkan dengan ternak hidup. Kelangsungan hidup dan populasi dari sapi Bali dapat dipertahankan dan ditingkatkan, denganmemproduksi embrio sapi Bali secara massal, baik dengan metode in vitro maupun in vivo.

Pengaruh Bangsa Pejantan yang Berbeda

Persentase pembelahan sel, pembentukan morula dan blastosis antar sapi Bali dan sapi Simmental berbeda nyata (P<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa pejantan mempengaruhi pembelahan sel, pembentukan morula dan blastosis. Lonergan et al. (1999) menyatakan bahwa pejantan mempengaruhi waktu pembelahan awal pada perkembangan oosit. Sumantri et al. (1997) menyatakan bahwa variasi

36 individu sapi dan bangsa pejantan dapat menyebabkan terjadinya perbedaan dalam perkembangan embrio. Ward et al. (2001) juga menyatakan bahwa pembelahan awal oosit sangat bervariasi antar pejantan yang digunakan dalam fertilisasi in vitro.

Hasil pembentukan blastosis total yang diperoleh lebih besar pada oosit yang difertilisasi dengan semen sapi Bali (43,97±13,84) dibandingkan dengan oosit yang difertilisasi dengan semen sapi Simmental (40,00±10,63). Hasil dari kedua perlakuan tersebut masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan penyataan Gordon (1994) yang menyatakan bahwa pada produksi embrio sapi secara in vitro, sekitar dua pertiga oosit gagal mencapai tahap blastosis. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan adanya pengaruh heterosis pada tingkat embrional, karena bangsa pejantan dari kedua pejantan yang digunakan berbeda dengan bangsa betina yang digunakan, yaitu Brahman Cross (BX), namun kemungkinan tersebut perlu diuji lebih lanjut. Pada perkawinan diatas disebut persilangan antar bangsa (crossbreeding). Menurut Noor (2008) persilangan antar bangsa akan meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot. Pada umumnya hetrozigositas akan meningkatkan daya hidup embrio yang tentunya akan meningkatkan jumlah anak per kelahiran. Peningkatan ini disebabkan oleh heterosis pada ternak hasil persilangan yang tetuanya adalah ternak murni. Peningkatan sifat ini dapat mencapai 5%-10% pada sapi hasil persilangan.

37

Dokumen terkait