• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintah Pusat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Keuangan, Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainnya dilakukan analisis untuk bisa menjawab satu per satu tujuan penelitian yang ingin dicapai. Berikut ini adalah uraian teoritis dan pembahasan hasil analisis yang berkaitan dengan tujuan penelitian.

Analisis Formula DAU

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 menghapuskan dua jenis transfer utama dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang selama ini dilakukan, yaitu Subsidi Daerah Otonom (SDO) atau Dana Rutin Daerah (DRD) dan transfer berbentuk Instruksi Presiden (Inpres) atau Dana Pembangunan Daerah (DPD). Kedua transfer ini diganti dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Jumlah DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN. Selanjutnya 10 persen dari dana tersebut dialokasikan kepada provinsi dan sisanya 90 persen diberikan kepada kabupaten/kota. Besarnya DAU yang diterima oleh masing-masing daerah ditetapkan dengan Keputusan/Peraturan Presiden. Selanjutnya Menteri Keuangan menyalurkan DAU tersebut kepada masing-masing daerah setiap bulan sebesar 1/12 dari plafon DAU yang diterima masing-masing daerah.

Tujuan pengalokasian DAU selain dalam kerangka otonomi pemerintahan di tingkat daerah juga dalam kerangka pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Meskipun kerap dinyatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) tetapi distribusi SDA itu sendiri di antara provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia tidak merata. Oleh karena itu sumber perimbangan dana keuangan pusat-daerah yang berasal dari SDA juga akan menimbulkan ketidakmerataan antarpusat-daerah. Dalam konteks ini, DAU dimaksudkan untuk dapat memperbaiki pemerataan perimbangan keuangan yang ditimbulkan oleh bagi hasil SDA tersebut.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengatur bahwa DAU dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan bobot daerah. Besarnya bobot daerah dirumuskan dengan menggunakan suatu formula yang didasarkan atas celah fiskal, yaitu selisih antara

kebutuhan dan potensi fiskal daerah. Kebutuhan fiskal daerah dicerminkan oleh variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan penduduk miskin. Sementara potensi fiskal dicerminkan oleh variabel potensi industri, SDA, SDM, dan PDRB (lihat Gambar di bawah).

KAPASITAS FISKAL • Potensi Industri • Potensi SDA • Potensi SDM • PDRB AMANAT UU 25/1999 KEBUTUHAN FISKAL • Jumlah Penduduk • Luas Wilayah • Keadaan Geografi • Penduduk Miskin

VARI ABEL KAPASI TAS FI SKAL

X1

X2

X3

X4 dst

VARI ABEL KEBUTUHAN FI SKAL • Y1 • Y2 • Y3 • Y4 dst FORMULA DAU PP D a na P e rim ba ngan

Gambar 10 Prosedur penyusunan formula DAU Sumber : Departemen Keuangan

Meskipun formula dan pengalokasian DAU kepada daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 seperti dapat dilihat pada Gambar di atas, tetapi dalam pelaksanaannya formula dan alokasi DAU belum sepenuhnya dilakukan secara obyektif, adil dan transparan. Formula dan alokasi DAU masih dominan dipengaruhi oleh faktor nonekonomi, yakni political adjustment yang datang dari Panitia Anggaran DPR RI dan dari pemerintah daerah yang memiliki potensi fiskal yang tinggi. Oleh sebab itu pada bagian ini akan dilakukan analisis formula DAU yang digunakan selama tahun anggaran 2001-2005.

Formula DAU Tahun 2001

Dalam proses penyusunan formula DAU 2001 yang disepakati antara pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR RI mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut (Sidik et al. 2002):

1. Norma Hukum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999

Salah satu kaidah utama yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah bahwa DAU akan dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan bobot daerah. Bobot daerah harus dirumuskan dengan menggunakan fomula yang didasarkan atas pertimbangan kebutuhan dan potensi penerimaan daerah.

2. Besarnya DAU minimal sama dengan besarnya DRD dan DPD

Pada tahun anggaran 2000 dan sebelumnya, seluruh pembiayaan untuk memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat diberikan secara langsung dan diarahkan oleh pemerintah pusat dalam bentuk Dana Rutin Daerah (DRD) atau istilah sebelumnya Subsidi Daerah Otonom (SDO), dan Dana Pembangunan Daerah (DPD) atau istilah sebelumnya Inpres. Oleh karena proses otonomi dimulai pada tahun 2001 maka sebagian besar pegawai pusat (pegawai Kanwil dan Kandep) akan menjadi pegawai daerah. Untuk itu bantuan DRD sepenuhnya akan didaerahkan pula dalam bentuk DAU. Oleh karena itu DAU minimal harus sama dengan DRD dan DPD yang diterima daerah tahun sebelumnya.

3. Formula didasarkan atas variabel yang datanya tersedia dan akurat

Formula DAU harus memiliki variabel yang datanya terdapat di setiap daerah dan instansi yang kredibilitas seperti Badan Pusat Statistik (BPS).

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka formula DAU 2001 dapat dituliskan sebagai berikut:

DAU = Faktor Penyeimbang (FP) + Faktor Lumpsum (FL) + Faktor Formula (FF)

Faktor penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk mencegah penurunan kapasitas fiskal daerah, pemerintah menjamin secara eksplisit bahwa setiap daerah tidak akan menerima DAU lebih rendah dari total DRD dan DPD. Mengingat tahun anggaran 2000 hanya berumur 9 bulan, maka dasar penghitungan yang dipakai adalah 4/3 kali

besarnya anggaran tahun 2000. Di samping fungsi di atas faktor penyeimbang juga diharapkan dapat mengatasi masalah pendanaan yang muncul akibat terjadinya transfer pegawai pusat ke daerah yang membawa konsekuensi pada belanja pegawai daerah. Transfer pegawai terjadi akibat dilikuidasinya beberapa Kanwil dan Kandep menjadi dinas daerah. Guna mengatasi beban tersebut pemerintah memperkirakan bahwa kenaikan 30% DRD dan 10% Inpres akan cukup memadai. Dasar penetapan angka tersebut adalah kenaikan DRD dan DPD tahun 1999/2000 dan 2000. Dengan demikian besarnya faktor penyeimbang adalah:

FP = 1,3 DRD + 1,1 DPD

Faktor Lumpsum pada intinya adalah suatu mekanisme untuk membagi habis total DAU yang sudah dianggarkan dalam APBN. Dalam praktiknya terjadi selisih hitung antara total DAU yang dianggarkan dengan total faktor penyeimbang dan faktor formula. Mengingat selisih tersebut hanya Rp361 juta, maka jumlah tersebut dibagi rata untuk kabupaten/kota yang saat itu berjumlah 337, sehingga setiap kabupaten/kota menerima sekitar Rp1,1 juta.

Variabel yang dipergunakan dalam Faktor Formula yang mencerminkan potensi penerimaan adalah sebagai berikut:

1. PDRB sektor SDA (primer)

Sektor-sektor yang termasuk dalam SDA ini adalah sektor yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 untuk dibagihasilkan ke daerah, yaitu Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Minyak dan Gas. Variabel ini dipergunakan untuk memperlihatkan perbedaan potensi daerah kaya dengan miskin SDA.

Indeks SDA Daerah = (PDRB sektor SDA Daerah / PDRB Daerah)

(PDB sektor SDA Nasional/PDB Nasional)

2. PDRB sektor industri dan jasa lainnya (nonprimer)

Variabel ini dipelukan untuk menunjukkan potensi penerimaan suatu daerah dari sumber-sumber yang berasal bukan dari bagi hasil SDA, seperti PAD maupun bagi hasil pajak PBB.

Indeks Industri Daerah = (PDRB sektor nonprimer Daerah / PDRB Daerah)

(PDB sektor nonprimer Nasional/PDB Nasional)

3. Besarnya angkatan kerja

Variabel ini untuk menunjukkan perbedaan potensi SDM yang dimiliki daerah. Daerah yang memiliki SDM yang besar secara relatif akan memiliki potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya dari bagi hasil PPh perorangan.

Indeks SDM Daerah = (Angkatan Kerja Daerah / Populasi Daerah) .

(Angkatan Kerja Indonesia/Populasi Indonesia)

Variabel yang dipergunakan Kebutuhan Daerah adalah sebagai berikut: 1. Jumlah Penduduk

Besarnya penduduk suatu daerah mencerminkan kebutuhan pelayanan yang diperlukan.

Indeks Penduduk = Populasi Daerah . Rata-rata Populasi Daerah secara nasional

2. Luas Wilayah

Daerah dengan penduduk yang tidak padat tetapi dengan memiliki cakupan wilayah yang luas membutuhkan pembiayaan yang besar.

Indeks Luas Daerah = Luas Daerah . Rata-rata Luas Daerah secara nasional

3. Indek Harga Bangunan

Indeks harga bangunan merupakan pencerminan dari kondisi geografis suatu daerah. Biaya konstruksi akan lebih mahal pada daerah pegunungan maupun daerah terpencil dibandingkan dengan daerah dataran atau perkotaan.

Indeks Harga Daerah = Indeks Konstruksi Daerah . Rata-rata Indeks Konstruksi Daerah

4. Jumlah Penduduk Miskin

Target pelayanan adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, makin banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan makin besar kebutuhan pembiayaan suatu daerah.

Indeks Kemiskinan = Jumlah Penduduk Miskin Daerah . Rata-rata Jumlah Penduduk Miskin nasional

Proses Penetapan variabel dan Formula DAU tahun 2001 dapat digambarkan sebagai berikut: KAPASITAS FISKAL • Potensi Industri • Potensi SDA • Potensi SDM • PDRB AMANAT UU 25/1999 KEBUTUHAN FISKAL • Jumlah Penduduk • Luas Wilayah • Keadaan Geografi • Penduduk Miskin

VARI ABEL KAPASI TAS FI SKAL

PDRB Nonprimer

PDRB Primer

Angkatan Kerja

VARI ABEL KEBUTUHAN FI SKAL

• Jumlah Penduduk • Luas Wilayah

• Indeks Harga Bangunan • Jumlah Penduduk Miskin

FORMULA DAU 2001 PP D a na Pe ri m b a n ga n

Gambar 11 Proses penetapan variabel dan formula DAU tahun 2001 Sumber : Departemen Keuangan

Selanjutnya, untuk menentukan bobot DAU suatu daerah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Melakukan perkiraan Kebutuhan Fiskal dengan menggunakan variabel-variabel:

Pengeluaran daerah rata-rata adalah total nasional belanja daerah ditambah dengan pengeluaran DIK yang akan didaerahkan untuk tahun 2001 dibagi dengan jumlah daerah (provinsi atau kabupaten/kota)

Pengeluaran Daerah Rata-rata = Total Belanja Daerah Nasional + Dana DIK yang didaerahkan Jumlah Daerah

2. Melakukan perkiraan Kapasitas Fiskal dengan menggunakan variabel-variabel:

Kebutuhan Fiskal =

Pengeluaran Daerah Rata-rata x

4 Miskin Indeks Harga Indeks luas Indeks Pdkk Indeks + + + Kapasitas Fiskal =

Penerimaan Daerah Rata-rata x Indeks Industri + Indeks SDA + Indeks SDM 3

Penerimaan daerah rata-rata adalah total PAD ditambah dengan Bagi Hasil Pajak dibagi dengan jumlah daerah (provinsi atau kabupaten/kota).

Penerimaan Daerah Rata-rata = PAD + Bagi Hasil Pajak

Jumlah Daerah

3. Menetapkan kebutuhan DAU daerah dengan cara menghitung selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal.

Kebutuhan DAU = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal

4. Menetapkan Bobot DAU Daerah dengan cara membandingkan kebutuhan DAU daerah yang bersangkutan terhadap total kebutuhan DAU.

Bobot DAU Daerah = DAU Kebutuhan Total Daerah DAU Kebutuhan

5. Setelah bobot DAU setiap daerah diketahui, maka dapat dihitung besarnya alokasi DAU untuk setiap suatu kabupaten/kota atau suatu provinsi. Besarnya alokasi DAU ke suatu kabupaten/kota dihitung dengan mengalikan bobot kabupaten/kota bersangkutan dengan besarnya total dana DAU yang tersedia untuk kabupaten/kota. Total dana DAU untuk kabupaten/kota secara nasional adalah 90% dikalikan DAU Nasional, sedangkan total dana untuk provinsi adalah 10% dikalikan DAU provinsi. Besar DAU Nasional adalah 25% dari penerimaan dalam negeri netto APBN.

Alokasi DAU suatu kabupaten/kota = 90% x DAU Nasional x bobot DAU Alokasi DAU suatu provinsi = 10% x DAU Nasional x bobot DAU

Langkah-langkah penetapan bobot DAU daerah secara ringkas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

BOBOT DAU DAERAH

Fiskal Celah Total Fiskal Celah KAPASITAS FISKAL ⎥⎦

Gambar 12 Proses penetapan alokasi DAU tahun 2001 Sumber : Departemen Keuangan diolah

Dengan ditetapkannya kebijakan yang mengharuskan alokasi DAU yang diterima daerah minimal sama dengan penerimaan daerah tahun sebelumnya (holding harmless), konsekuensinya harus ada penyesuaian terhadap proporsi faktor penyeimbang dan faktor formula. Akibat dari kebijakan tersebut, sekitar 80% alokasi DAU ditentukan oleh faktor penyeimbang dan 20% oleh faktor formula. Hal ini berimplikasi langsung terhadap distribusi DAU menjadi tidak proporsional. Faktor pemerataan yang dicerminkan melalui faktor formula, proporsinya justru jauh lebih kecil dibandingkan dengan faktor penyeimbang (faktor politis). Berarti tujuan dari kebijakan alokasi DAU, yaitu

+ + + 3 SDA SDM Industri x n BHP PAD

CELAH FISKAL DAERAH Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal

⎥⎦ ⎢⎣ + + + + + 4 Miskin Harga Luas Pdkk x n DIK n Pembanguna Rutin KEBUTUHAN FISKAL

BOBOT DAU DAERAH

Fiskal Celah Total i Daerah Fiskal Celah DAU PROVINSI

10% x DAU Nasional x Bobot DAU

DAU KABUPATEN/KOTA

meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, secara umum belum sepenuhnya dilakukan pada tahun 2001.

Formula DAU Tahun 2002

DAU tahun 2001 dengan model perhitungan seperti yang telah diuraikan di atas dialokasikan kepada daerah melalui Keppres Nomor 181 Tahun 2000. Pemerintah menyadari bahwa formula DAU 2001 masih terdapat beberapa kelemahan, guna menindaklanjutinya pemerintah bekerjasama dengan 4 universitas, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Andalas, dan Universitas Hasanuddin melakukan studi mengenai formula DAU 2002. Hasil kajian 4 universitas tersebut menjadi bahan rekomendasi Pemerintah dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) kepada DPR RI.

Rekomendasi formula DAU 2002 hasil kajian keempat universitas tersebut untuk variabel Kapasitas Fiskal adalah:

1. Pendapatan Asli Daerah

Mengingat pajak dan retribusi daerah sangat terkait dengan kegiatan sektor jasa, maka variabel ini merupakan penjumlahan nilai tambah bruto dari sektor yang berkaitan dengan jasa : sektor listrik, gas, air minum, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor perhubungan dan komunikasi, sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya, serta sektor jasa-jasa lainnya. PAD (perkiraan) = βo + β1 PDRB Sektor Jasa 2. PBB dan BPHTB

Meskipun kedua jenis pajak ini merupakan pajak pusat tetapi karena pembagiannya lebih dari 90% kembali ke daerah, maka kedua jenis pajak ini dimasukkan sebagai kapasitas fiskal daerah.

3. Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi

PPh Orang pribadi dibagihasilkan kepada daerah sebesar 20%. Suatu daerah yang memiliki jumlah SDM yang besar akan memiliki potensi penerimaan yang lebih baik. 4. Bagi Hasil SDA

Mengingat pertimbangan adanya ketidakpastian jumlah bagi hasil SDA yang akan diterima daerah serta untuk memberikan insentif daerah sebagai biaya perbaikan

lingkungan dan biaya sosial sebagai dampak eksploitasi SDA, maka bagi hasil SDA yang diperhitungkan dalam formula DAU hanya sebesar 75%.

Sementara rekomendasi untuk variabel Kebutuhan Fiskal 2002 secara keseluruhan relatif sama dengan Kebutuhan Fiskal 2001, yaitu (1) Jumlah penduduk, (2) Luas Wilayah, (3) Indeks Harga Bangunan (4) Penduduk Miskin. Variabel kebutuhan fiskal dikelompokkan dalam variabel kependudukan dan variabel kewilayahan dengan masing-masing bobot yang sama sebesar 50%, dengan rincian:

• Indeks Kependudukan diberi bobot 0,4

• Indeks Kemiskinan diberi bobot 0,1

• Indeks Luas Wilayah diberi bobot 0,4

• Indeks Harga Bangunan diberi bobot 0,1

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangan kemampuan daerah dalam pembiayaan beban pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya, aloksi DAU 2002 di samping menggunakan formula yang didasarkan celah fiskal, juga memperhitungkan Alokasi Minimal yang didasarkan atas besarnya kebutuhan belanja pegawai daerah dan lumpsum. Proporsi gaji PNS merupakan transfer dari sejumlah proporsi DAU yang dialokasikan secara proporsional dari kebutuhan gaji pegawai masing-masing daerah kebutuhan gaji daerah secara nasional. Lumpsum merupakan sejumlah proporsi DAU yang dibagikan secara merata kepada seluruh daerah

Dengan demikian formula DAU 2002 hasil kajian 4 universitas dan disetujui oleh Pemerintah, DPOD, dan DPR adalah sebagai berikut:

DAUi = AMi + (BDi x DAUn)

Bobot DAU daerah bersangkutan dihitung sebagai porsi celah fiskal daerah bersangkutan terhadap total celah fiskal yang ada:

Penjelasan variabel adalah sebagai berikut:

DAUi = DAU yang akan dialokasikan ke provinsi atau kabupaten/kota i

DAUn = DAU yang akan dialokasikan ke seluruh provinsi atau kabupaten/kota setelah dikurangi Alokasi Minimal

BDi = Bobot Daerah provinsi atau kabupaten/kota

Bobot DAU dibentuk dari perhitungan celah fiskal yang didasarkan atas selisih antara kebutuhan fiskal daerah dan kapasitas fiskal daerah.

Celah Fiskal i = Kebutuhan Fiskal i – Kapasitas Fiskal i

Variabel Kebutuhan Fiskal (KbF) dan Kapasitas Fiskal (KpF) dicerminkan oleh: Kebutuhan Fiskal i = TPR (0,4 IP i + 0,1 IW i + 0,1 IKR i + 0,4 IHB i) Penjelasan variabel adalah sebagai berikut:

TPR : Total Pengeluaran Rata-rata dalam APBD; IP : Indeks Jumlah Penduduk;

IW : Indeks Luas Wilayah;

IKR : Indeks Kemiskinan Relatif (poverty gap); IHB : Indeks Harga Bangunan;

Kapasitas Fiskal i = PAD i + PBB i + BPHTB i + PPh i + SDA i Penjelasan variabel adalah sebagai berikut:

PAD : Pendapatan Asli Daerah Estimasi PBB : Pajak Bumi dan Bangunan

BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan PPh : Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Pasal 21 SDA : Sumber Daya Alam

Proses Penetapan variabel dan Formula DAU tahun 2002 dapat digambarkan sebagai berikut: KAPASITAS FISKAL • Potensi Industri • Potensi SDA • Potensi SDM • PDRB AMANAT UU 25/1999 KEBUTUHAN FISKAL • Jumlah Penduduk • Luas Wilayah • Keadaan Geografi • Penduduk Miskin

VARI ABEL KAPASI TAS FI SKAL

PDRB Industri dan Jasa

Bagi Hasil SDA, PBB,

BPHTB

PPh Orang pribadi

VARI ABEL KEBUTUHAN FI SKAL

• Jumlah Penduduk • Luas Wilayah

• Indeks Harga Bangunan • Indeks Kemisikinan Relatif FORMULA DAU 2002 PP D a n a Per im b a n g a n

Gambar 13 Proses penetapan variabel dan formula DAU tahun 2002 Sumber : Departemen Keuangan

Besarnya komposisi antara Alokasi Minimal dan formula Celah Fiskal adalah :

• Untuk Provinsi : 50% Alokasi Minimal (30% berdasarkan kebutuhan gaji, 20% Lumpsum) dan 50% Celah Fiskal.

• Untuk Kabupaten/Kota : 60% Alokasi Minimal (50% berdasarkan kebutuhan gaji, 10% Lumpsum) dan 40% Celah Fiskal.

Formula DAU Tahun 2003-2005

Pada dasarnya variabel Kebutuhan Fiskal, variabel Kapasitas Fiskal dan variabel Alokasi Minimal yang dipergunakan untuk formula DAU tahun anggaran 2003 sampai 2005 tidak mengalami perbedaan dari formula DAU 2002. Perubahan terjadi hanya pada besarnya komposisi antar Alokasi Minimal dan Celah Fiskal. Pada formula DAU 2003 -2005 komposisi Alokasi Minimal semakin berkurang dan komposisi Celah Fiskal semakin bertambah. Perbandingan komposisi antara Alokasi Minimal dan Celah Fiskal yang dipergunakan dalam perhitungan DAU selama tahun anggaran 2001-2005 dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 12 Perbandingan perhitungan DAU tahun 2001-2005 Perhitungan DAU Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 Nasional Komponen DAU AM + CF M + CF AM + CF AM + CF AM + CF Alokasi Minimal (AM) DRD + DPD TA 2000 Lumpsum + α Gaji Lumpsum + α Gaji Lumpsum + α Gaji Lumpsum + α Gaji Provinsi Alokasi Minimal

20%Lumpsum 10%Lumpsum 5%Lumpsum 5%Lumpsum

(Faktor Politis) 80% 30% α Gaji 30% α Gaji 30% α Gaji 30% α Gaji Komposisi Celah Fiskal (Faktor Pemerataan) 20% 50% 60% 65% 65% Komposisi Kab/Kota Alokasi Minimal

10%Lumpsum 5%Lumpsum 5%Lumpsum 5%Lumpsum

80% 50% α Gaji 45% α Gaji 40% α Gaji 40% α Gaji (Faktor Politis) Komposisi Celah Fiskal (Faktor Pemerataan) 20% 40% 50% 55% 55%

Sumber : Departemen Keuangan

AM = Alokasi Minimal CF = Celah Fiskal

Beberapa evaluasi atas pelaksanaan mekanisme DAU selama tahun anggaran 2001-2005 dapat diberikan sebagai berikut:

1. Pengalokasian DAU belum sepenuhnya menunjukkan peranan DAU sebagai mediasi pemerataan kemampuan keuangan antardaerah (equalization grants), terutama untuk menetralisir dampak yang ditimbulkan oleh jenis transfer yang lain seperti bagi hasil SDA dan bagi hasil pajak pendapatan perseorangan. Hal ini terlihat dari komposisi peranan Alokasi Minimal (faktor politis) dalam formula DAU yang relatif masih tinggi, tahun anggaran 2001 komposisi Alokasi Minimal sebesar 80% dan tahun anggaran 2005 menjadi 35% (provinsi) dan 45% (kabupaten/kota). Komposisi ini tentu akan menguntungkan daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tinggi. Seharusnya daerah tersebut mendapatkan DAU yang kecil atau tidak mendapatkan sama sekali, tetapi dengan komposisi tersebut mereka mendapatkan minimal sebesar Alokasi Minimal ditambah Lumpsum.

2. Alokasi Minimal dalam formula DAU 2002-2005 merupakan komposisi formula DAU yang diperhitungkan untuk membiayai gaji pegawai negeri sipil. Pertimbangan pemerintah dan DPR RI tetap mempertahankan Alokasi Minimal karena gaji pegawai negeri wajib dibayar oleh negara dan ketersediaan sumber dananya harus dijamin oleh negara pula. Masalah belanja pegawai dinilai sangat krusial sebab bila terjadi sesuatu efeknya dapat mempengaruhi kondisi politis negara.

3. Dalam upaya mengoptimalkan peranan DAU sebagai mediasi pemerataan kemampuan keuangan antardaerah (equalization grants), pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang merevisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Berdasarkan amanat Pasal 32 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif (kebutuhan fiskal < kapasitas fiskal) dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar (minimal), yaitu gaji PNS yang harus dibayar daerah, maka daerah tersebut tidak menerima DAU. Selanjutnya dalam Pasal 108 diatur bahwa ketentuan tersebut akan berlaku efektif mulai tahun anggaran 2008.

Analisis Pemerataan Kemampuan Keuangan Antardaerah di Provinsi Banten

Dalam upaya mencapai tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, pemerintah bersama DPR RI senantiasa mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang dipakai sebagai acuan formula DAU, yaitu agar formula DAU yang dipergunakan menghasilkan suatu indeks koefisien variasi penerimaan per kapita yang sekecil mungkin. Secara teknis indeks koefisien variasi penerimaan per kapita dapat dihitung dengan Williamson Index (Sidik et al. 2002). Guna mendukung sasaran pemerintah tersebut, pada bagian ini akan dianalisis mengenai peranan DAU sebagai transfer pemerataan kemampuan keuangan antardaerah di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2001-2005.

Berdasarkan hasil pembahasan antara pemerintah dengan DPR RI, jumlah alokasi DAU nasional yang dianggarkan dalam APBN, DAU untuk seluruh provinsi, DAU untuk seluruh kabupaten/kota, dan DAU yang diterima kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2001-2005 adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 13. Pada tahun anggaran 2001, tahun pertama diberlakukannya mekanisme DAU, jumlah DAU yang dialokasikan dari APBN sebesar Rp60,516 triliun dengan rincian 10 persen untuk provinsi yang berjumlah 30 provinsi, yaitu sebesar Rp6,0516 triliun dan 90 persen untuk kabupaten/kota yang berjumlah 330 kabupaten/kota, sebesar Rp54,465 triliun. Sedangkan pada tahun anggaran 2005 jumlah DAU yang dialokasikan dari APBN meningkat menjadi sebesar Rp88,765 triliun dengan rincian untuk provinsi (32 provinsi) sebesar Rp8,8765 triliun dan untuk kabupaten/kota (434 kabupaten/kota) sebesar Rp79,889 triliun. Dari data di atas terlihat bahwa semenjak diberlakukannya mekanisme DAU jumlah daerah provinsi dan terutama kabupaten/kota cenderung terus meningkat.

Tabel 13 DAU Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005

Dana Alokasi Umum (Rp Miliar)

No. Wilayah 2001 2002 2003 2004 2005 A Nasional 60.516,70 (Keppres 181/2000) 69.114,10 (Keppres 131/2001) 76.979,00 (Keppres 1/2003) 82.130,60 (Keppres 109/2003) 88.765,60 (Perpres 3/2004) B 6.051,67 (30 Prov) Total Provinsi (10 %) 6.911,41 (30 Prov) 7.697,90 (30 Prov) 8,213,06 (32 Prov) 8.876,56 (32 Prov) C 54.465,03 (330 K/K) Total Kab/Kota (90 %) 62.202,69 (348 K/K) 69.281,1 (370 K/K) 73.917,54 (410 K/K) 79.889,04 (434 K/K) Wilayah Banten Total 1.123,75 1.250,53 1.491,15 1.593,48 1.729,80 1 Kab. Lebak 198,31 205,52 247,27 264,40 288,40 2 Kab. Pandeglang 225,23 235,52 268,90 284,43 300,72 3 Kab. Serang 244,31 260,52 327,76 346,94 372,52 4 Kab. Tangerang 259,48 306,60 367,01 401,15 448,77 5 Kota Cilegon 49,89 84,26 94,11 95,54 105,29 6 Kota Tangerang 146,53 158,11 186,10 201,02 214,10

Sumber : Departemen Keuangan

Alokasi DAU untuk kabupaten/kota di Provinsi Banten pada tahun anggaran 2001 sebesar Rp1,123 triliun dan meningkat menjadi Rp1,729 triliun pada tahun 2005. Secara nominal Kabupaten Tangerang memperoleh DAU yang terbesar dari seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten, sedangkan Kota Cilegon memperoleh DAU yang

terkecil. Pada tahun 2001 Kabupaten Tangerang menerima DAU sebesar Rp259,485 miliar dan meningkat menjadi Rp448,770 miliar pada tahun 2005. Kota Cilegon menerima DAU sebesar Rp49,891 miliar dan meningkat menjadi Rp105,298 miliar pada tahun 2005. 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

Kab. Lebak Kab. Pandeglang

Kab. Serang Kab. Tangerang Kota Cilegon Kota

Dokumen terkait