• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pelaknsanaan desentralisasi fiskal terhadap pemerataan kemampuan keuangan dan kinerja pembangunan daerah (studi kasus kabupaten kota di provinsi Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pelaknsanaan desentralisasi fiskal terhadap pemerataan kemampuan keuangan dan kinerja pembangunan daerah (studi kasus kabupaten kota di provinsi Banten)"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN

DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

(Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten)

DUDI HERMAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Banten) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2007

(3)

DUDI HERMAWAN. Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Banten). Dibimbing oleh SETIA HADI dan NOER AZAM ACHSANI.

Salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah (mengoreksi horizontal imbalance), sehingga setiap daerah di Indonesia memiliki kemampuan keuangan yang relatif sama dalam membangun daerahnya. Koreksi horizontal imbalance tersebut dilakukan melalui pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU). Dengan mekanisme DAU, daerah yang miskin akan mendapat proporsi DAU yang lebih tinggi dari daerah yang kaya.

Dalam penelitian ini dianalisis dampak pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pemerataan kemampuan keuangan dan kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Pemerataan kemampuan keuangan antardaerah dianalisis dengan Indeks Williamson, sedangkan kinerja pembangunan daerah untuk bagian (1) perekonomian dianalisis dengan LQ, SSA, Entropy; (2) keuangan dianalisis dengan derajat desentralisasi dan kemandirian daerah; (3) kesejahteraan penduduk dianalisis dengan Indeks Williamson, laju pengangguran, Gini Rasio, dan Indeks Pembangunan Manusia; (4) pengaruh desentralisasi fiskal terhadap perkembangan perekonomian dan distribusi pendapatan dianalisis dengan ekonometrika – metode Panel Data.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pengalokasian DAU belum sepenuhnya menunjukkan peranan DAU sebagai mediasi pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Adapun peranan DAU di wilayah Banten selama tahun 2001-2005 adalah (a) meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah tercermin pada nilai Indeks Williamson dari 0,45 pada tahun 2000 (pra desentralisasi fiskal) menjadi berkisar 0,23-0,33 pada tahun 2001-2005 (masa desentralisasi fiskal), (b) berdasarkan hasil estimasi panel data, DAU belum mampu mendukung perkembangan perekonomian daerah dan memperburuk distribusi pendapatan.

Daerah Banten secara umum terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) Banten Utara terdiri atas Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon, (2) Banten Selatan terdiri atas Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Hasil analisis memperlihatkan bahwa kinerja pembangunan daerah Banten Utara lebih baik dari Banten Selatan.

(4)

TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN

DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

(Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten)

DUDI HERMAWAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Banten)

Nama : Dudi Hermawan

NIM : A253050034

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(6)

Menjadi laki-laki adalah masalah

kelahiran, tetapi menjadi pria sejati

adalah masalah pilihan

(Edwin Louis Cole)

Pria sejati adalah pria yang dari mulut istrinya keluar

kata-kata….

suamiku aku semakin mencintaimu, aku aman

berada di sampingmu,

dan dari mulut anak-anaknya

keluar kata-kata…..

ayahku adalah idolaku, aku bersyukur

(7)

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis dengan judul Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Banten), bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal dan implikasinya terhadap kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Rika Arlina, Rinaldo Dikaputra dan Geristo Dikaputra yang senantiasa memberikan kekuatan, penghiburan dan merupakan belahan jiwa bagi kehidupan penulis;

2. Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS yang dengan penuh perhatian dalam membimbing dan memberikan pencerahan kepada penulis;

3. Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukkan kepada penulis;

4. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr beserta segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB;

5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren BAPPENAS atas beasiswa yang telah diberikan kepada penulis;

6. Pimpinan dan staf Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Departemen Keuangan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di Institut Pertanian Bogor;

7. Rekan-rekan Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor tahun 2005;

8. Semua pihak yang telah berperan dalam penulisan tesis ini.

Penulis berharap tesis ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah di wilayah Provinsi Banten serta kalangan akademisi yang berminat dalam kajian keuangan negara/daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Bogor, Februari 2007

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 Oktober 1965 dari Bapak yang bernama Bustari dan Ibu Herlina. Penulis adalah putra keenam dari dari tujuh bersaudara.

Tahun 1990 penulis lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung, pada tahun yang sama penulis bekerja di PT Borsumij Wehry Indonesia Jakarta sampai dengan tahun 1993. Selanjutnya, mulai tahun 1993 sampai dengan saat ini penulis bekerja di Departemen Keuangan Jakarta. Selain itu, pada malam hari penulis menjadi dosen di Akademi Manajemen Kesatuan Bogor, dan STIE Kesatuan Bogor sejak tahun 2002.

Pada tahun 2004 penulis melanjutkan kuliah di Program Magister Manajemen Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2005 penulis menerima beasiswa dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas untuk melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2007.

(9)

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR ISTILAH ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 5

Kerangka Pemikiran ... 6

Tujuan Penelitian ... 8

Manfaat Penelitian ... 8

Batasan Penelitian ... 9

TINJAUAN PUSTAKA ... 10

Desentralisasi Fiskal ... 10

Transfer Pusat ... 11

Vertical Equalization Transfer ... 12

Horizontal Equalization Transfer ... 13

Correcting Spatial Externalities ... 15

Redirecting Priorities ... 16

Jenis-Jenis Transfer Pusat ... 16

Unconditional Transfer ... 17

Conditional Transfer ... 20

Sumber-sumber Penerimaan Daerah ... 26

METODOLOGI PENELITIAN... 32

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

Metode Pengumpulan Data ... 32

Metode Analisis ... 32

Evaluasi Formula DAU... 32

Indeks Williamson (WI) ... 33

Location Quotient (LQ) ... 34

Indeks Entropy ... 35

Shift-Share Analysis (SSA) ... 35

Gini Rasio ... 36

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)) ... 38

Model Ekonometrika-Metode Panel Data ... 39

(10)

Kondisi Geografis ... 43

Klimatologi ... 44

Topografi ... 45

Sumber Daya Alam... 45

Kependudukan ... 46

Produk Domestik Regional Bruto ... 49

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah... 51

HASIL DAN PEMBAHASAN... 55

Analisis Formula DAU ... 55

Formula DAU Tahun 2001 ... 57

Formula DAU Tahun 2002 ... 64

Formula DAU Tahun 2003-2005 ... 67

Analisis Pemerataan Kemampuan Keuangan Antardaerah di Provinsi Banten... 70

Analisis Kinerja Pembangunan Daerah ... 77

Kinerja Perekonomian Daerah ... 77

Kinerja Keuangan Daerah... 88

Ketenagakerjaan ... 92

Analisis Kesejahteraan Penduduk ... 94

Pendapatan Per Kapita ... 94

Gini Rasio ... 96

Indeks Pembangunan Manusia ... 99

Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan: Estimasi dengan Model Panel Data ... 105

Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap perkembangan perekonomian ... 107

Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan ... 110

Implikasi Strategi Pembangunan Provinsi Banten ... 113

SIMPULAN DAN SARAN ... 117

Simpulan ... 117

Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120

(11)

Halaman

1. Proporsi bagi hasil sumber daya alam sebelum dan setelah UU 25/1999 .. 13

2. Jumlah DAU dan Dana Penyeimbang tahun 2001-2005 ... 19

3. Jumlah Dana Alokasi Khusus tahun 2003-2005 ... 22

4. Sumber-sumber penerimaan daerah sebelum desentralisasi fiskal ... 27

5. Sumber-sumber penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal ... 30

6. Bentuk Panel Data ... 40

7. Matriks masalah, tujuan dan metode analisis ... 41

8. Demografi Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005... 47

9. Penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut kegiatan seminggu di Provinsi Banten tahun 2002 dan 2005 ... 48

10. PDRB atas harga konstan 2000 menurut lapangan usaha di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 50

11. Realisasi APBD wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 54

12. Perbandingan perhitungan DAU tahun 2001-2005 ... 68

13. DAU kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 71

14. Pendapatan APBD dan DAU per kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2000 dan tahun 2001-2005 ... 74

15. Indeks Williamson atas Kapasitas Fiskal di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005... 75

16. Proporsi rata-rata lapangan usaha di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 79

17. Pertumbuhan rata-rata PDRB atas harga konstan 2000 di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 82

18. LQ kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 83

19. SSA kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 85

20. Sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 87

21. Proporsi pos pendapatan terhadap total pendapatan APBD di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 ... 90

22. Proporsi PAD dan PDS terhadap belanja daerah di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 ... 91

23. Tingkat pengangguran di Wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2005 ... 93

24. Pendapatan per kapita di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 95

25. Indeks Williamson PDRB per kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 96

26. Gini rasio dan kemiskinan relatif di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 98

27. Indeks Pembangunan Manusia di Wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2004 ... 99 28. Ringkasan output hasil estimasi perkembangan perekonomian per daerah

dengan fix effect-cross section specific coefficient-cross section weighting 107 29. Ringkasan output hasil estimasi distribusi pendapatan per daerah

(12)

Halaman

1. Diagram alir latar belakang penelitian... 4

2. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian... 7

3. Koreksi spillovers melalui transfer ... 15

4. Efek unconditional grants terhadap pembiayaan daerah ... 18

5. Efek open-ended matching grants terhadap pembiayaan daerah ... 21

6. Efek closed-ended matching grants terhadap pembiayaan daerah ... 24

7. Efek non-matching grants terhadap pembiayaan daerah ... 25

8. Diagram alir kerangka analisis penelitian... 42

9. Peta administrasi Provinsi Banten ... 44

10. Prosedur penyusunan formula DAU... 56

11. Proses penetapan variabel dan formula DAU tahun 2001 ... 60

12. Proses penetapan bobot DAU tahun 2001 ... 63

13. Proses penetapan variabel dan formula DAU tahun 2002 ... 67

14. Perkembangan DAU di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 72

15. Perkembangan Indeks Williamson di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 76

16. Empat lapangan usaha tertinggi di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 78

17. Lokasi lapangan usaha yang paling dominan di Wilayah Provinsi Banten ... 80

18. Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 81

19. Perkembangan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 84

20. Proporsi pos pendapatan terhadap total pendapatan APBD di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 ... 89

21. Proporsi pos pendapatan terhadap total belanja di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 ... 91

22. Rasio rata-rata belanja pegawai terhadap total belanja di wilayah Provinsi Banten tahun 2001- 2005... 92

23. Tingkat pengangguran di wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2005 ... 93

24. Pendapatan per kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2001- 2005... 94

25. Perkembangan Gini Rasio di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005.. 97

26. Angka harapan hidup di wilayah Provinsi Banten tahun 2004... 100

27. Angka melek huruf di wilayah Provinsi Banten tahun 2004 ... 101

28. Rata-rata lama sekolah di wilayah Provinsi Banten tahun 2004... 102

29. Daya beli masyarakat di wilayah Provinsi Banten tahun 2004 ... 103

30. Peringkat IPM di wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2004 ... 104

(13)

Halaman

1. Hasil perhitungan Indeks Williamson-Pendapatan ... 122 2. Hasil perhitungan Indeks Williamson-DAU ... 123 3. Hasil perhitungan Indeks Williamson-PDRB ... 124 4. Hasil perhitungan Panel Data: Pengaruh DAU, Bagi Hasil, PAD

terhadap perkembangan perekonomian ... 125 5. Hasil perhitungan Panel Data: Pengaruh DAU, Bagi Hasil, PAD

terhadap distribusi pendapatan masyarakat ... 126 6. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Lebak atas dasar

harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 127 7. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Pandeglang atas dasar

harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 128 8. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang atas dasar

harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 129 9. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tangerang atas dasar

harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 130 10. Produk Domestik Regional Bruto Kota Cilegon atas dasar

harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 131 11. Produk Domestik Regional Bruto Kota Tangerang atas dasar

harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 132 12. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota

se-Provinsi Banten tahun 2001 ... 133 13. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota

se-Provinsi Banten tahun 2002 ... 134 14. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota

se-Provinsi Banten tahun 2003 ... 135 15. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota

se-Provinsi Banten tahun 2004 ... 136 16. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota

(14)

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

3. Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.

4. Celah fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan kapasitas fiskal Daerah.

5. Daerah adalah daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

6. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

7. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

8. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

9. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

10.Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

11.Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

12. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah.

13.Penerimaan Daerah Sendiri (PDS) adalah penjumlahan dari PAD dan Dana Bagi Hasil.

(15)

Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula dari melemahnya nilai kurs Rupiah tersebut telah berkembang menjadi krisis multidimensi, sebagai akibat dari adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan tidak stabilnya situasi sosial politik dan keamanan, baik pada tingkat regional maupun pada tingkat nasional. Krisis ekonomi tersebut kemudian memicu gerakan massa pada Mei 1998 dan kemudian mampu menggulingkan rezim Orde Baru yang pada dasarnya merupakan puncak penolakan rakyat atas pelaksanaan sistem pemerintahan yang sentralistik.

Hadi (2001) mengemukakan bahwa kebijakan pembangunan yang sentralistik dan menekankan kepada pencapaian petumbuhan ekonomi serta penciptaan kondisi politik dan keamanan yang sangat terkendali secara spasial ternyata telah menambah tingkat ketimpangan antar wilayah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik tersebut didukung oleh undang-undang yang mengatur tentang hubungan pemerintahan dan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejak periode kemerdekaan sampai dengan masa orde baru telah diterbitkan 6 Undang-undang yang mengatur hubungan pemerintahan antara pusat dan daerah, yaitu (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969, dan (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Sedangkan undang-undang yang mengatur hubungan keuangan baru diterbitkan 1 undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956.

(16)

minyak bumi dan gas alam, kehutanan, perkebunan dan perikanan. Akibatnya timbul masalah ketimpangan vertikal (vertikal imbalance) antara pusat dan daerah penghasil sumber daya alam. Selain itu karena belum terukurnya mekanisme pengalokasian transfer kepada daerah menyebabkan timbulnya ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara satu daerah dengan daerah lain, terutama antara daerah-daerah yang berada di Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia.

Permasalahan ketimpangan di atas dinilai sebagai pangkal dari timbulnya krisis multidimensi dan isu disintegrasi bangsa. Dalam upaya meredam masalah ketimpangan tersebut, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan dua undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah. Lahirnya dua paket produk undang-undang yang mengatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2001 dipandang sebagai proses awal bangkitnya semangat desentralisasi pada sistem pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut, terdapat empat hal yang mengalami perubahan cukup fundamental, yaitu (1) konsep desentralisasi lebih mengemuka dibandingkan dengan konsep dekonsentrasi, (2) masalah pertanggungjawaban pelaksanaan pemerintahan daerah lebih bersifat horizontal dibandingkan vertikal, (3) pengaturan yang lebih jelas mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah, dan (4) kewenangan pengelolaan keuangan diberikan secara utuh kepada daerah.

(17)

kewenangan ini, maka kantor pusat yang ada di daerah (Kanwil dan Kandep) sebagian besar diserahkan kepada daerah termasuk pegawai dan assetnya.

Materi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengatur mengenai desentralisasi fiskal, yaitu penyerahan sumber keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah disertai dengan hak pengelolaannya. Desentralisasi fiskal pada dasarnya bertujuan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, sehingga pengaturan materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, transfer dana kepada daerah berbentuk Dana Perimbangan yang terdiri atas (a) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber alam (Dana Bagi Hasil), (b) Dana Alokasi Khusus (DAK), dan (c) Dana Alokasi Umum (DAU). Dana Bagi Hasil dan DAU merupakan bantuan yang bersifat blok (block grant), artinya penggunaan dari kedua sumber dana itu ditentukan sendiri oleh daerah berdasarkan prioritas daerah dan tidak ada intervensi dari pemerintah pusat. Sementara kewenangan pemerintahan daerah untuk memungut pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari bidang pajak dan retribusi telah diatur di dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.

Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab serta memperkecil perbedaan pembangunan antardaerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang. Dengan demikian melalui pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan akan terjadi pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Dengan bekal kemampuan keuangan yang relatif sama tersebut diharapkan setiap daerah dapat membangun daerahnya dengan tingkat perkembangan yang relatif sama pula.

(18)

Secara ringkas latar belakang penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Krisis Ekonomi Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah

Kemiskinan Ancaman Disintegrasi

Tuntutan Reformasi Sistem Pemerintahan dan Fiskal (Tahun 1997)

Lahirnya Kebijakan Otonomi Daerah UU 22/1999 dan UU 25/1999

Desentralisasi Fiskal UU 25/1999

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Dana Perimbangan 1. Dana Bagi Hasil 2. DAU

3. DAK Kebijakan Pembangunan Sentralistik

(Rezim Orde Baru)

1. Pemerataan Kemampuan Keuangan Antardaerah 2. Pemerataan Kinerja Pembangunan Daerah

Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten

?

Sistem Pemda:

1.Provinsi

2.Kab./Kota

Otonomi Daerah dititikberatkan pada Kab/Kota (UU 22/1999)

(19)

Perumusan Masalah

Pelaksanaan otonomi daerah yang diikuti oleh desentralisasi fiskal, yaitu dengan diberikannya diskresi kepada daerah dalam mengelola sumber-sumber penerimaan daerah bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (mengoreksi vertikal imbalance) serta ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (mengoreksi horizontal imbalance). Koreksi vertikal imbalance dilakukan melalui pengalokasian Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, dan koreksi horizontal imbalance dilakukan melalui pengalokasian DAU. Artinya bagi daerah-daerah yang memiliki potensi pajak seperti DKI Jakarta, dan daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam seperti Kalimantan Timur, dan Riau akan memperoleh penerimaan dari Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, sehingga proporsi perolehan dari DAU akan relatif kecil. Sebaliknya bagi daerah-daerah yang tidak memiliki potensi pajak dan potensi SDA akan mendapatkan proporsi DAU yang relatif lebih besar daripada daerah yang memiliki potensi pajak dan potensi SDA.

Provinsi Banten merupakan provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Provinsi Banten terdiri atas (1) Kabupaten Serang, (2) Kabupaten Pandeglang, (3) Kabupaten Lebak, (4) Kabupaten Tangerang, (5) Kota Tangerang, dan (6) Kota Cilegon. Masing-masing kabupaten/kota memiliki sumber daya, dan aktivitas ekonomi yang berbeda-beda sehingga mendapatkan DAU, DAK, Dana Bagi Hasil yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pemerataan kemampuan keuangan, dan kinerja pembangunan daerah antar kabupaten/kota di Provinsi Banten.

Berdasarkan latar belakang seperti diuraikan di atas pelaksanaan desentralisasi fiskal menghadapi beberapa persoalan penting yang antara lain dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

(20)

2. Seberapa jauh dampak pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui pengalokasian DAU akan meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan kabupaten/kota di Provinsi Banten?

3. Bagaimana kinerja pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Banten setelah desentralisasi fiskal dilaksanakan?

Kerangka Pemikiran

Salah satu tujuan pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal adalah untuk meratakan kemampuan keuangan antardaerah sehingga setiap daerah di Indonesia memiliki kemampuan yang relatif sama dalam membangun dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dilakukan dengan cara mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (mengoreksi vertikal imbalance) serta mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (mengoreksi horizontal imbalance). Koreksi vertikal imbalance dilakukan melalui pengalokasian Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, dan koreksi horizontal imbalance dilakukan melalui pengalokasian DAU. Pada kondisi yang sama, daerah yang memiliki potensi Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam yang tinggi akan mendapat proporsi DAU yang lebih kecil dari daerah yang tidak memiliki potensi pajak dan potensi SDA. Selanjutnya guna mendukung berjalannya fungsi suatu daerah otonom, melalui kebijakan desentralisasi fiskal setiap daerah diberikan keleluasaan untuk mengelola sumber-sumber penerimaannya sesuai dengan prioritas daerah.

(21)

Pemerintah Kab/Kota Di Provinsi

Banten

Pemerintah

Pusat

APBD

Desentralisasi

1.Kewenangan (UU 22/1999) 2.Fiskal (UU 25/1999)

Desentralisasi Dekonsentrasi Tugas Pembantuan

PAD

Dana Perimbangan Pinjaman

APBN

APBN

Bagi Hasil DAU DAK Pajak Daerah Retribusi Daerah

BUMD Lain-lain PAD

Pemerataan Kemampuan Keuangan Antar Kab/Kota Di Provinsi Banten

Kinerja Pembangunan Daerah Kab/Kota Di Provinsi Banten Metode Analisis

?

?

Eksisting Kemampuan Keuangan Antar Kab/Kota di Provinsi Banten

Pencapaian Sasaran Desentralisasi Fiskal 1. Pemerataan Pertumbuhan Perekonomian 2. Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat

?

(22)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Evaluasi atas formula yang dipergunakan dalam pengalokasian DAU.

2. Analisis pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pemerataan kemampuan keuangan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.

3. Analisis kinerja pembangunan daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di wilayah Provinsi Banten.

(23)

Batasan Penelitian

Agar penelitian ini berfokus kepada tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka ditetapkan batasan-batasan penelitian sebagai berikut:

1. Analisis dilakukan pada pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 sampai 2005. 2. Pada saat penelitian ini dilakukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 telah

direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Berdasarkan Ketentuan Peralihan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, pelaksanaan perubahan aturan Bagi Hasil Pajak Sumber Daya Alam berlaku efektif mulai tahun 2009 (Pasal 106) dan perubahan mengenai aturan Dana Alokasi Umum berlaku efektif mulai tahun 2008 (Pasal 107). Dengan demikian bahasan kebijakan desentralisasi fiskal pada penelitian ini hanya mengacu kepada aturan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan aturan-aturan pelaksanaannya.

3. Obyek penelitian adalah seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Banten yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang.

4. Dengan pertimbangan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari fungsi pemerintahan, maka pemerataan kemampuan keuangan dicerminkan dari meratanya DAU per kapita dan Pendapatan APBD per kapita, sementara

pemerataan kinerja pembangunan daerah dicerminkan dari meratanya

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Desentralisasi Fiskal

Dalam sistem pemerintahan yang sentralistik berbagai kebijakan ditentukan secara nasional oleh pusat. Anggaran belanja pemerintah daerah sangat bergantung pada alokasi yang diberikan oleh pemerintah pusat termasuk dalam pemanfaatannya. Keleluasaan dan kewenangan daerah dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan dan pembangunan sangat terbatas. Secara umum alasan yang mendukung sentralisasi adalah pemerintah pusat dapat mengalokasikan anggaran yang ada untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat dimanfaatkan secara nasional (Hamid 2006). Berbeda dengan sistem sentralistik, pada sistem desentralisasi peran pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pengelolaan anggaran sangat besar. Desentralisasi fiskal adalah penyerahan kewenangan dan tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan desentralisasi fiskal akan diwujudkan dalam penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pembelanjaan, memungut pajak (taxing power), dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat.

(25)

Beberapa argumen yang mendukung desentralisasi adalah (1) pemerintah daerah sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya, (2) keputusan pemerintah daerah sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, (3) persaingan antardaerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan inovasinya.

Suatu analogi argumen lainnya yang dikenal sebagai The Tiebout Model yang terkenal dengan ungkapan Love it or leave it. Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah daerah. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerah dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah daerah dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal maka hanya ada dua pilihan bagi masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah daerah melalui DPRD (BPPK, Depkeu 2004).

Transfer Pusat

Dalam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sejalan dengan desentralisasi tersebut aspek pembiayaannya juga ikut terdesentralisasi. Implikasinya daerah dituntut untuk dapat membiayai sendiri dana pembangunannya, tetapi banyak daerah di berbagai negara belum mampu membiayai seluruh pengeluaran daerah. Implikasi dari kondisi tersebut transfer dana dari pemerintah pusat (intergovermental transfer) merupakan sumber penerimaan yang amat dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara, terutama negara berkembang seperti Indonesia.

(26)

horizontal (horizontal equalization), mengatasi persoalan efek pelayanan publik (Correcting spatial externalities) mengarahkan prioritas (redirecting priorities), melakukan eksperimen dengan ide-ide baru, stabilisasi dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum (SPM) di setiap daerah.

Vertical Equalization Transfer

Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber penerimaan negara atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi ini akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dengan demikian tujuan dari vertical equalization transfer ini adalah untuk mengoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap tingkat pemerintahan.

(27)

Tabel 1 Proporsi bagi hasil sumber daya alam sebelum dan setelah UU 25/1999

(Dalam %)

Sebelum UU 25/1999 Setelah UU 25/1999

No. Jenis

Penerimaan Pusat Dati I Dati II Pusat Prov. Kab/Kota

penghasil

Kab/Kota

lainnya

1 PBB 10 16,2 64,8 - 16,2 64,8(+) +

2 BPHTB 20 16 64 - 16 64(+) +

3 IHPH 55 30 15 20 16 64 -

4 PSDH 55 30 15 20 16 32 32

5 Land Rent 20 16 64 20 16 64 -

6 Royalti 20 16 64 20 16 32 32

7 Perikanan 100 - - 20 - - 80

8 Minyak 100 - - 85 3 6 6

9 Gas Alam 100 - - 70 6 12 12

10 Reboisasi 100 - - 60 - 40 -

11 PPh 100 - - 80 8 12 -

Sumber : Departemen Keuangan 2004

Keterangan : (+) alokasi dari 20% bagian Pusat

Horizontal Equalization Transfer

Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan dan kemampuan untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horizontal, artinya dengan tarif pajak yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama di antara daerah. Simanjuntak (2002) mengemukakan bahwa kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi, tergantung kondisi daerah bersangkutan memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah. Kondisi ini berimplikasi kepada besarnya basis pajak atau kapasitas fiskal di daerah-daerah bersangkutan.

(28)

anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Adapula daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas dengan sarana transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar, namun memiliki infrastruktur yang lengkap. Ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal need) dari suatu daerah. Membandingkan kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal tersebut di atas maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal (fiskal gap) dari masing-masing daerah yang seyogyanya ditutup oleh transfer dari pemerintah pusat. Dengan kata lain tujuan horizontal equalization transfer adalah untuk menutup celah fiskal yang dimiliki setiap daerah.

Penerapan horizontal equalization transfer di Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah dengan Dana Alokasi Umum (DAU). Secara faktual peran DAU dapat dijadikan counter atas pembagian dana bagian daerah yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin) yang cenderung menimbulkan ketimpangan antardaerah, karena daerah yang mempunyai potensi pajak dan SDA hanya terbatas pada daerah-daerah tertentu. Sebagai horizontal equalization DAU dirancang dengan sebuah formula yang digunakan untuk menghitung potensi kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal daerah. Sehingga melalui suatu formula dapat dihitung celah fiskal yang akan ditutup dengan transfer DAU dari pemerintah pusat. Adapun formula yang dipergunakan untuk perhitungan DAU tahun 2001 adalah sebagai berikut:

1. DAU akan dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan bobot daerah. Bobot daerah harus dirumuskan dengan menggunakan suatu formula yang didasarkan atas pertimbangan kebutuhan dan potensi penerimaan.

(29)

untuk membagi habis total DAU yang sudah dianggarkan dalam APBN, yaitu 25 persen dari penerimaan bersih domestik.

3. Formula DAU terdiri dari dua variabel, yaitu potensi penerimaan dan kebutuhan fiskal. Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan potensi penerimaan adalah (a) PDRB sektor sumber daya alam (primer), (b) PDRB sektor industri dan jasa lainnya (nonprimer), dan (c) besarnya angkatan kerja (SDM). Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan kebutuhan daerah adalah (a) jumlah penduduk, (b) luas wilayah, (c) indeks harga bangunan, (d) jumlah penduduk miskin.

Correcting Spatial Externalities

Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki efek eksternalitas ke wilayah lain artinya pemanfaatannya tidak bisa dibatasi hanya untuk masyarakat tertentu, misalnya perguruan tinggi, pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antardaerah, rumah sakit daerah. Apabila tanpa ada balas jasa pendapatan yang menguntungkan, umumnya daerah kurang tertarik untuk berinvestasi di bidang pelayanan publik tersebut. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu memberikan transfer ataupun menyerahkan sumber keuangan agar pelayanan publik demikian dapat dipenuhi daerah.

P

MC

PI

PB

PA DT

DA DB

0 QB QT Q

Gambar 3 Koreksi spillovers melalui transfer

(30)

Berdasarkan Gambar 3 di atas jika permintaan dari penduduk setempat yang diperhitungkan, maka jumlah permintaan barang publik relatif kecil sebesar DA dan

harganya (biayanya) relatif murah sebesar PA sehingga pemerintah daerah mampu

menyediakan barang publik tersebut. Tetapi untuk permintaan atas barang publik (misalkan rumah sakit) yang permintaannya merupakan agregat dari beberapa daerah, yaitu sebesar DB dengan biaya sebesar PB, maka total permintaan menjadi DT dengan

biaya PI. Kondisi ini menyebabkan daerah yang bersangkutan akan sulit untuk dapat

menyediakan rumah sakit tersebut karena biayanya terlalu mahal. Agar pelayanan rumah sakit tetap tersedia maka pemerintah pusat memberikan transfer sebesar selisih antara PI

dan PB. Dengan adanya transfer ini maka daerah yang bersangkutan dapat menyediakan

rumah sakit tersebut karena biayanya berada dalam jangkauan anggaran daerah.

Redirecting Priorities

Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam penyediaan pelayanan publik kepada masyarakatnya dan prioritas tersebut dapat berbeda, misalnya pemerintah pusat berkeinginan untuk mengutamakan pembangunan di sektor pendidikan secara murah dan terjangkau. Ini terkait dengan pemenuhan harapan para konstituen pemilih ketika pemilihan umum berlangsung, namun keinginan tersebut tidak sinkron dengan pola kebijakan pemerintah daerah yang menginginkan pembangunan di sektor kesehatan yang mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat setempat. Agar keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan secara paralel, seyogyanya pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah. Transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat dengan keinginan yang diharapkan oleh masing-masing level pemerintahan.

Jenis-Jenis Transfer Pusat

(31)

Transfer Tanpa Syarat (Unconditional Transfer)

Pada umumnya transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antardaerah sehingga setiap daerah dapat melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat horisontal. Ciri utama dari transfer ini adalah pemerintah daerah memiliki diskresi penuh dalam memanfaatkan dana transfer sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan atau prioritas daerah. Transfer tanpa syarat biasanya dibagikan berdasarkan suatu formula tertentu.

Penjelasan efek dari transfer tanpa syarat terhadap pembiayan daerah dapat dilihat pada Gambar 4. Dengan menggunakan asumsi terdapat dua jenis barang publik, yaitu barang publik B yang akan dibantu dengan transfer yang digambarkan dengan garis horisontal dan barang publik A yang tidak dibantu dengan transfer yang digambarkan dengan garis vertikal. Garis AB adalah garis anggaran (budget line) daerah setempat yang memperlihatkan kombinasi konsumsi barang A dan barang B. Kurva IC1 dan IC2 adalah

indifference curve yaitu kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi barang A dan barang B yang memberikan kepuasan yang sama bagi daerah.

Pada kondisi sebelum ada transfer posisi permintaan barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini merupakan posisi tertinggi pada anggaran yang tersedia. Karena tidak ada batasan pada cara pembelanjaan fasilitas publik manapun maka yang bertambah akibat adanya transfer adalah jumlah anggaran. Hal ini digambarkan dengan adanya pergeseran (shifting) garis anggaran yang sejajar dari AB menjadi FG. Jumlah barang yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak yaitu menjadi OK untuk barang B dan menjadi OH untuk barang A. Dengan demikian tingkat kepuasan masyarakat pun menjadi lebih besar yaitu dari IC1 menjadi

IC2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1. Kondisi inilah yang menyebabkan penerima

(32)

Barang A F

A

H E1

E

C IC2

IC1

0 D K B G Barang B Gambar 4 Efek unconditional grants terhadap pembiayaan daerah

Sumber : BPPK, Departemen Keuangan

DAU merupakan bentuk yang masuk dalam kategori transfer tanpa syarat. DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 ketentuan mengenai aturan alokasi DAU adalah sebagai berikut:

1. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.

2. DAU untuk daerah provinsi dan untuk kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10 persen dan 90 persen dari total DAU nasional.

3. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara provinsi dan kabupaten/kota, persentase DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota disesuaikan dengan perubahan tersebut.

4. DAU untuk provinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh provinsi yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi provinsi yang bersangkutan.

(33)

6. DAU untuk suatu kabupaten/kota tertentu ditetapakan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi kabupaten/kota yang bersangkutan.

7. Porsi kabupaten/kota merupakan proporsi bobot kabupaten/kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

8. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan kebutuhan wilayah otonomi daerah dan potensi ekonomi daerah.

9. Penghitungan DAU berdasarkan rumus di atas dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

[image:33.612.86.527.400.665.2]

Jumlah DAU dan Dana Penyeimbang (DP) yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sejak tahun 2001 sampai dengan 2005 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah DAU dan dana penyeimbang (DP) tahun 2001-2005

(dalam Rp Miliar)

Tahun DAU DP DAU + DP Jumlah Daerah

2001

2002

2003

2004

2005

Sumber : Departemen Keuangan diolah 60.516,70

Keppres 181/2000 69.114,10 Keppres 131/2001

76.979,00 Keppres 1/2003

82.130,94 Keppres 109/2003

88.765,60 Keppres 3/2004

3.092,3

KMK 382 & 451/2001

2.054,77 KMK 685/2001

2.262,40 KMK23/2003

1.008,43 KMK 578/2003

5.467,29 KMK 626/2004

63.609,00

71.168,87

79.241,40

83.139,37

94.232,89

30 Provinsi 330 Kab/Kota

30 Provinsi 348 Kab/Kota

30 Provinsi 370 Kab/Kota

32 Provinsi 410 Kab/Kota

(34)

Transfer Dengan Syarat (Conditional Transfer)

Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh pemerintah pusat namun kurang dianggap penting oleh pemerintah daerah. Transfer ini dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu transfer pengimbang (matching grants) dan transfer bukan pengimbang (nonmatching grants). Matching grants adalah transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan atas jenis urusan tertentu. Di sini pemerintah daerah telah mengalokasikan sejumlah dana pendapatan daerahnya untuk penyelenggaraan urusan tersebut, hanya dana tersebut belum cukup untuk menjamin penyelenggaraan urusan tersebut dengan baik. Transfer dari pemerintah pusat dalam hal ini berfungsi untuk membantu mengatasi kekurangan dana tersebut. Matching grants dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu transfer pengimbang tidak terbatas (open-ended matching grants) dan transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants). Open-ended matching grants adalah transfer yang ditujukan untuk menutup seluruh kekurangan dana. Misalnya sebuah proyek pembangunan universitas membutuhkan dana Rp100 miliar, daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar 10 persen dari total kebutuhan dana atau Rp10 miliar, maka kekurangan sebesar Rp90 miliar ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat.

Penjelasan efek dari Open-ended matching grants dapat dilihat pada Gambar 5. Sama dengan kasus sebelumnya, diasumsikan terdapat dua jenis barang publik, yaitu barang publik B yang akan dibantu dengan transfer dan barang publik A yang tidak dibantu dengan transfer. Garis AB adalah garis anggaran (budget line) daerah setempat yang memperlihatkan kombinasi konsumsi barang A dan barang B. Kurva IC1 dan IC2

adalah indifference curve, yaitu kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi barang A dan barang B yang memberikan kepuasan yang sama bagi daerah.

(35)

demikian kurva garis anggaran akan mengalami pergeseran dari AB menjadi AM, yaitu hanya menggeser kuantitas barang B dari OD menjadi OP sehingga tingkat kepuasan barang B meningkat dan barang A tetap. Hal itu sebagaimana digambarkan pergeseran IC1 menjadi IC2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1.

Barang A A

H E1

IC2

C E

IC1

0 D B P M Barang B Gambar 5 Efek open-ended matching grants terhadap pembiayaan daerah

Sumber : BPPK, Departemen Keuangan

(36)
[image:36.612.97.506.111.283.2]

Tabel 3 Jumlah Dana Alokasi Khusus Tahun 2003-2005

Rp Miliar

Bidang 2003 2004 2005

Pendidikan 625,0 652,6 1.221,0

Kesehatan 375,0 456,18 620,0

Infrastruktur 1.181,0 1.196,5 1.533,0

Prasarana Pemerintahan 88,0 228,0 148,0

Kelautan dan Perikanan - 305,47 322,0

Pertanian - - 170,0

Total 2.269,0 2.838,5 4.014,0

Sumber : Departemen Keuangan diolah

Transfer pengimbang terbatas (closed-ended macthing grants) merupakan transfer yang terdapat batasan jumlah dana maksimum yang dapat digunakan. Transfer ini sangat disukai oleh pemberi bantuan (pemerintah pusat) karena walaupun dana yang diberikan sesuai dengan besar proyek namun setelah besarnya biaya proyek melampaui jumlah tertentu pemberi bantuan dapat mencukupkan bantuannya. Misalnya proyek pembangunan universitas membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar dan pemerintah daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar Rp10 miliar sehingga pemerintah pusat menanggung Rp90 miliar. Tetapi dalam perjalanan, estimasi biaya ternyata meningkat menjadi Rp110 miliar atau mengalami kekurangan Rp10 miliar lagi. Mengingat pemerintah pusat tidak lagi mengucurkan dana maka proyek tersebut harus disesuaikan dengan jumlah anggaran semula yaitu Rp100 miliar.

Penjelasan efek dari closed-ended matching grants dapat dilihat pada Gambar 6. Sama dengan kasus sebelumnya, diasumsikan terdapat dua jenis barang publik, yaitu barang publik B yang akan dibantu dengan transfer dan barang publik A yang tidak dibantu dengan transfer. Garis AB adalah garis anggaran (budget line) daerah setempat yang memperlihatkan kombinasi konsumsi barang A dan barang B. Kurva IC1 dan IC2

(37)

Pada kondisi sebelum ada transfer posisi permintaan barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini merupakan posisi tertinggi pada anggaran yang tersedia. Dalam rencana awal, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berniat meningkatkan kuantitas barang B sedangkan barang A tetap. Untuk tujuan ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepakat memberikan kontribusinya masing-masing pemerintah pusat 90 persen dan pemerintah daerah 10 persen. Dengan demikian kurva garis anggaran akan mengalami pergeseran dari AB menjadi AM, yaitu hanya menggeser kuantitas barang B dari OD menjadi OP sehingga tingkat kepuasan barang B meningkat dan barang A tetap. Hal itu sebagaimana digambarkan pergeseran IC1 menjadi IC2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1.

(38)

Barang A A

H E1

C E IC2

IC1

0 D B P T M Barang B

Gambar 6 Efek closed-ended matching grants terhadap pembiayaan daerah

Sumber : BPPK, Departemen Keuangan

Sementara itu, transfer bukan pengimbang (non-matching grants) adalah transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah sendiri akan mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis transfer ini oleh pemerintah pusat untuk menjadi sarana menginternalisasikan limpahan manfaat (eksternalitas) terutama kepada daerah yang menghasilkan limpahan manfaat tersebut. Jadi meskipun pemerintah daerah yang bersangkutan telah mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan itu, namun karena pelaksanaannya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain, transfer diberikan oleh pemerintah pusat untuk mendorong pemerintah daerah agar tetap bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pelaksanaan fungsi tersebut.

(39)

memperlihatkan kombinasi konsumsi barang A dan barang B. Kurva IC1 dan IC2 adalah

(indifference curve) yaitu kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi barang A dan barang B yang memberikan kepuasan yang sama bagi daerah.

Pada kondisi sebelum ada transfer posisi permintaan barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini merupakan posisi tertinggi pada anggaran yang tersedia. Dengan adanya transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk kepeluan khusus tanpa diperlukannya dana pendamping, maka budget line dari barang publik B mengalami pergeseran namun tidak mengubah batas maksimum fasilitas publik A.

Barang A F

A F

H E1

E IC2

C

IC1

0 D K B G Barang B Gambar 7 Efek non-macthing grants terhadap pembiayaan daerah

(40)

Sumber-sumber Penerimaan Daerah

Sebelum desentralisasi fiskal dilaksanakan, sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan empat jenis transfer, yaitu (1) Subsidi Daerah Otonom (SDO), (2) Bantuan Inpres, (3) Pinjaman Daerah, dan (4) Daftar Isian Proyek (DIP). SDO bertujuan untuk mendukung anggaran rutin daerah, hampir 95 persen dari total SDO digunakan untuk membiayai gaji pegawai pemerintah (PNS) di daerah. Sebagian kecil lainnya digunakan untuk subsidi bagi pengeluaran rutin di bidang pendidikan dasar (SBPP-SDN), ganjaran bagi pegawai pedesaan (TPAPD), subsidi untuk penyelenggaraan rumah sakit di daerah (SBBO-RSUD), dan subsidi untuk pembiayaan pelatihan pegawai pemerintah daerah. SDO dikategorikan sebagai transfer pusat yang bersifat khusus (specific grant) karena daerah tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan penggunaan SDO, dan kegunaan dari transfer ini sudah ditetapkan pemerintah, yaitu membiayai belanja pegawai di daerah. Sifat SDO sebagai alokasi yang bersifat khusus makin nyata lagi mengingat struktur gaji dan alokasi jumlah pegawai yang ditempatkan di daerah ditentukan sepenuhnya oleh pusat. Dalam rangka memperjelas anggaran yang dikelola pusat dan daerah, pada tahun anggaran 1999/2000 istilah SDO direklasifikasi menjadi Dana Rutin Daerah (DRD).

(41)
[image:41.612.76.523.178.735.2]

pemerintahan (intergovernmental grants), sedangkan DIP diklasifikasikan sebagai inkind allocation karena walaupun dananya mengalir ke daerah tetapi tidak termasuk ke dalam anggaran daerah (lihat Tabel 4).

Tabel 4 Sumber-sumber penerimaan daerah sebelum desentralisasi fiskal

No. Kelompok Penerimaan Dasar Hukum Rincian Penerimaan

I Pendapatan Asli Daerah

1. Pajak Daerah

2. Retribusi Daerah

3. BUMD

4. Lain-lain PAD

UU 18/1997 1. Pajak Daerah Tk II

a.Hotel dan Restoran (10%)

b.Hiburan (35%)

c.Reklame (25%)

d.Penerangan Jalan (10%0

e.Pengambilan Bahan

Golongan C (20%) f. Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (20%).

2. Pajak Daerah Tk I

a.Kendaraan Bermotor (5%)

b.Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor (10%)

c.Bahan Bakar Kendaraan

Bermotor (5%) 1. Jasa Umum

a.Pelayanan Kesehatan

b.Pelayanan Persampahan

c.Pelayanan KTP

2. Jasa Usaha

a.Penyewaan Aset Daerah

b.Penyediaan Tempat

Penginapan

c.Usaha Bengkel Kendaraan

d.Tempat Pencucian Mobil

e.Penjualan Bibit

3. Perizinan Tertentu

a.Izin Mendirikan Bangunan

b.Izin Peruntukan

Penggunaan Tanah Penerimaan Dari BUMD:

a.Perolehan Laba Usaha

b.Penjualan Aset BUMD

c.Deviden

d.Penjualan Saham

PAD Lainnya

a.Penjualan Aset Daerah

(42)

Lanjutan Tabel 4

II 1. Subsidi Daerah Otonom

(SDO), mulai Tahun Anggaran 1999/2000 digunakan istilah Dana Rutin Daerah (DRD)

2. Bantuan Inpres, mulai

Tahun Anggaran 1999/ 2000 digunakan istilah Dana Pembangunan Daerah (DPD)

UU 5/1974 UU 32/1956 Instruksi Presiden

Sekitar 95 persen dari SDO untuk belanja pegawai, sebagian kecil lainnya untuk:

a. Subsidi bagi pengeluaran rutin di

bidang pendidikan (SBPP-SDN)

b. Ganjaran bagi pegawai pedesaan

(TPAPD)

c. Subsidi untuk penyelenggaraan

rumah sakit di daerah (SBBO-RSUD)

d. Subsidi untuk pembiayaan

pelatihan pegawai pemerintah

Bantuan Inpres bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan daerah, baik yang bersifat umum maupun khusus yang diberikan atas Instruksi Presiden.

a. Inpres Dati I

b. Inpres Dati II

c. Inpres Desa

III Pinjaman Daerah UU 5/1974 a. Pinjaman Dalam Negeri

•Rekening Dana Investasi

(RDI)

•Penyertaan Modal Pemerintah

(PMP)

•Inpres untuk pembangunan

pasar

•Iuran Pembangunan Daerah

(Ipeda)

•Perbankan dan swasta

•Rekening Pembangunan

Daerah (RPD)

b. Pinjaman Luar Negeri

IV Dana Sektoral Pusat (DIP),

Dana ini diklasifikasikan

sebagai in-kind allocation

karena walaupun dananya mengalir ke daerah namun tidak termasuk ke dalam APBD

UU APBN Daftar Isian Proyek (DIP)

a. Dana Dekonsentrasi

b. Dana Tugas Pembantuan

(43)

Selanjutnya pada masa desentralisasi fiskal dilaksanakan, sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (2) Dana Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah, (4) Dana Darurat, dan (5) Daftar Isian Proyek (DIP). Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, Dana Perimbangan yang terdiri atas (a) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber alam (Dana Bagi Hasil), (b) Dana Alokasi Khusus (DAK), dan (c) Dana Alokasi Umum (DAU). Sumber dana yang berasal dari PAD, Dana Bagi Hasil, dan DAU merupakan sumber dana yang bersifat block grant artinya penggunaan ketiga jenis dana tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan daerah berdasarkan prioritas daerah.

Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dianggap kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru, walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada daerah tetapi harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sehingga sulit untuk dilakukan. Selain itu pengaturan agar peraturan daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah harus mendapat pengesahan dari Pusat juga telah mengurangi otonomi daerah seiring dengan dikeluarkannya UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999, maka UU nomor 18/1997 diubah menjadi UU Nomor 34 Tahun 2000 (Departemen Keuangan 2004).

(44)
[image:44.612.74.516.92.720.2]

Tabel 5 Sumber-sumber penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal

No. Kelompok Penerimaan Dasar Hukum Rincian Penerimaan

I Pendapatan Asli Daerah

1.Pajak Daerah

2. Retribusi Daerah

5. BUMD

6. Lain-lain PAD

UU 18/1997 Jo. UU 34/2000

1. Pajak Daerah Kab/Kota:

a. Hotel (10%) b. Restoran (10%) c.Hiburan (35%) d.Reklame (25%)

e.Penerangan Jalan (10%0

f.Pengambilan Bahan

Golongan C (20%)

g.Parkir (20%)

2. Pajak Daerah Provinsi:

a. Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (5%)

b.Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (10%)

c.Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (5%)

d.Pengambilan dan

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (20%).

1. Jasa Umum

a.Pelayanan Kesehatan b.Pelayanan Persampahan c.Pelayanan KTP

2. Jasa Usaha

a.Penyewaan Aset Daerah b.Penyediaan Tempat Penginapan

c.Usaha Bengkel Kendaraan d.Tempat Pencucian Mobil e.Penjualan Bibit

3. Perizinan Tertentu

a.Izin Mendirikan Bangunan b.Izin Peruntukan

Penggunaan Tanah

Penerimaan Dari BUMD:

a. Perolehan Laba Usaha

b. Penjualan Aset BUMD

c. Deviden

d. Penjualan Saham

PAD Lainnya

a. Penjualan Aset Daerah

(45)

Lanjutan Tabel 5

II Dana Perimbangan

1. Bagi Hasil

2. Dana Alokasi Umum

3. Dana Alokasi Khusus

UU 25/1999 Bagian daerah dari:

a. PBB 90%

b. BPHTB 80%

c. Kehutanan 80%

d. Perikanan 80%

e. Pertambangan Umum 80%

f. Minyak bumi 15%

g. Gas Alam 30%

h. Dari Bagian Pusat

• PBB Bagian Kab/Kota 10%

• BPHTB Bagian Kab/Kota 20%

Alokasi untuk Daerah minimal 25% dari Penerimaan Dalam Negeri a. Kab/Kota 90% b. Provinsi 10%

Alokasi untuk Daerah melihat kondisi APBN

a. Kebutuhan Khusus

b. Dana Reboisasi 40%

III

IV

Pinjaman Daerah

Dana Darurat

UU 25/1999

UU 25/1999

a. Sumber Pinjaman Dalam Negeri

• Pemerintah Pusat

• Lembaga Keuangan Bank

• Lembaga Keuangan Bukan

Bank

• Masyarakat

b. Sumber Pinjaman Luar Negeri

melalui Pemerintah Pusat

• Bilateral

• Multilateral

Dana yang disalurkan dari APBN untuk penanggulangan bencana nasional

V Dana Sektoral Pusat (DIP),

Dana ini diklasifikasikan

sebagai in-kind allocation

karena walaupun dananya mengalir ke daerah namun tidak termasuk ke dalam APBD

UU APBN Daftar Isian Proyek (DIP)

a.Dana Dekonsentrasi b.Dana Tugas Pembantuan

(46)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengambil lokasi di seluruh kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Banten, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang. Provinsi Banten merupakan provinsi yang dibentuk bersamaan dengan berlakunya kebijakan desentralisasi fiskal, sehingga awal kebijakan di bidang keuangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah telah berpijak kepada ketentuan Undang-Undang 25/1999. Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2006 sampai dengan September 2006.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yang bersumber dari Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik (BPS), Pemerintah Daerah Provinsi Banten dan instansi-instansi lain yang terkait. Jenis data yang digunakan berupa data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kependudukan, ketenagakerjaan, pendapatan penduduk, data luas wilayah, dan peta administrasi. Secara umum data-data yang disajikan berupa data time series tahunan dengan rentang waktu dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005, kecuali data IPM hanya tahun 2002 dan tahun 2004. Unit pengukuran dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten.

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Evaluasi Formula DAU

(47)

DAU akan dilakukan kajian secara deskriptif mengenai kebijakan yang menjadi dasar perumusan formula serta variabel-variabel dipergunakan dalam penghitungan DAU tahun 2001 sampai 2005.

Indeks Williamson (WI)

Indeks Williamson merupakan formulasi yang dipergunakan untuk menghitung ketimpangan (disparitas) sumber-sumber penerimaan APBD antardaerah dalam suatu wilayah. Nilai WI antara 0 sampai dengan 1, bila nilai WI sama dengan 0 maka di wilayah tersebut tidak terdapat ketimpangan penerimaan antardaerah, atau dengan kata lain pemerataan pendapatan antardaerah di wilayah tersebut sangat baik. Sebaliknya bila nilai WI sama dengan 1 maka di wilayah yang bersangkutan terdapat ketimpangan penerimaan antardaerah yang sangat tinggi, atau pemerataan pendapatan antardaerah di wilayah tersebut sangat buruk. Penulis mengelompokkan rentang nilai Indeks Williamson yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Distribusi penerimaan antar daerah merata sangat baik jika nilai WI antar 0 – 0,25 2.Distribusi penerimaan antar daerah merata moderat jika nilai WI antar 0,26 – 0,50 3.Distribusi penerimaan antar daerah timpang jika nilai WI antara 0,51 – 0,75 4. Distribusi penerimaan antar daerah sangattimpang jika nilai WI antara 0,76 – 1,0

Formulasi Indeks Williamson adalah sebagai berikut:

WI =

(

)

y

p

fi

y

yi

i

x

= n

1

2

atau WI =

p fi x y

y yi

n

i

2

1

= ⎥⎦

⎤ ⎢

⎣ ⎡ −

Keterangan:

WI = Indeks Williamson

(48)

y = Penerimaan Daerah Perkapita pada kumulatif Kabupaten/Kota di Provinsi Banten fi = Jumlah penduduk pada Kabupaten/Kota di Provinsi Banten

p = Jumlah penduduk pada kumulatif Kabupaten/Kota di Provinsi Banten

Location Quotient (LQ)

Secara umum, metode analisis ini digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis suatu aktivitas. Location Quotient (LQ) merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah (Rustiadi & Panuju 2005). Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktivitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktivitas total terhadap wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Persamaan dari LQ ini adalah :

/X.. X.

/X X LQ

j i. ij

ij =

Keterangan:

Xij : derajat aktivitas (PDRB) ke-j di kabupaten/kota ke-i Xi. : total aktivitas (PDRB) di kabupaten/kota ke-i

X.j : total aktivitas (PDRB) ke-j di semua kabupaten/kota X.. : derajat aktivitas (PDRB) total kabupaten/kota

(49)

Indeks Entropy

Metode ini digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah, misalnya aktivitas suatu sektor. Dengan demikian, dapat diketahui sektor/aktivitas apa yang berkembang pada suatu wilayah. Prinsip pengertian indeks entropy ini adalah semakin beragam aktivitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropy wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Persamaan umum entropy ini adalah sebagai berikut:

∑∑

= =

− = n

i n

j ij P S

1 1

LogPij

Pij adalah proporsi kegiatan i (misal sektor, komoditas) di wilayah j. Analisis ini digunakan untuk mengetahui perkembangan sektor-sektor perekonomian kabupaten/kota ke-i di Provinsi Banten. Jika S semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin meningkat, dimana nilai S akan selalu ≥ 0.

Shift-Share Analysis (SSA)

Shift-share analysis merupakan salah satu teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis shift-share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas (Saefulhakim 2004). Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total.

Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu : 1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (Komponen share). Komponen ini menyatakan

pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.

(50)

pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah.

3. Komponen Pergeseran Diferensial (Komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.

Persamaan dari Shift Share Analysis (SSA) adalah sebagai berikut

⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − + ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − + ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − =

X

X

X

X

X..

X..

X

X

X..

X..

SSA

i(t0) i(t1) ij(t0) ij(t1) (t0) (t1) i(t0) i(t1) (t0) (t1) 1

a b c

Keterangan : a = komponen agregrat pertumbuhan wilayah b = komponen pergeseran sektoral

c = komponenpergeseran diferensial

X.. = nilai total sektor-sektor ekonomi (PDRB) dalam total kab/kota

X.i = nilai total sektor-sektor ekonomi (PDRB) tertentu dalam total kab/kota Xij = nilai sektor-sektor ekonomi (PDRB) tertentu dalam unit kab/kota

tertentu

t(1) = titik tahun akhir (tahun 2005) t(0) = titik tahun awal (tahun 2001)

Gini Rasio

(51)

Gambaran grafis dari penghitungan Gini Rasio (Todaro, 2000) adalah sebagai berikut:

100 (B)

y

(%) y= x f (x) (kumulatif

pendapatan)

(O) 0 100 (A)

x

Gambar

Tabel 2  Jumlah DAU dan dana penyeimbang (DP) tahun 2001-2005
Tabel 3  Jumlah Dana Alokasi Khusus Tahun 2003-2005
Tabel 4  Sumber-sumber penerimaan daerah sebelum desentralisasi fiskal
Tabel 5  Sumber-sumber penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga Laporan Tugas Akhir dengan judul Evaluasi Perekaman Data dan

Sejak lahirnya agama Islam, lahirlah pendidikan dan pengajaran Islam, pendidikan dan pengajaran Islam itu akan terus tumbuh dan berkembang, Islam sebagai sebuah

Data persentase penurunan konsentrasi methylene blue pada kondisi gelap (tanpa sinar UV) dan setelah penyinaran dengan TiO 2 -zeolit, TiO 2 , zeolit, dan tanpa katalis pada Tabel

Brahmacari yang dinyatakan lulus pada Pratama Widya Pasraman, Adi Widya Pasraman, Madyama Widya Pasraman, dan Utama Widya Pasraman berhak melanjutkan ke jenjang

Peningkatan-peningkatan yang terjadi pada masing-masing siklus bukan tanpa alasan, mengingat model pembelajaran two stay – two stray adalah model pembelajaran kooperatif yang

NIM Nama Lengkap Praktikan Romb... NIM Nama Lengkap

Tabel 1.3 di atas menunjukkan bahwa tanggapan petani terhadap faktor kepemilikan lahan dalam mendorong mereka untuk bekerja sebagai petani sawah yakni sebanyak 50% (22

Sehingga dalam menyalurkan pembiayaan, bank syariah idealnya tidak hanya menilai dari aspek keuntungan ekonomi semata, tetapi juga ikut memperhatikan etika dengan