• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB I"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Pemikiran

Kerusuhan dan konflik sosial di Poso yang terjadi pada kurun waktu 1998-2005 telah menjadi sebuah tragedi kemanusiaan yang mengakibatkan suasana anomi.1 Secara

sosiologis masyarakat terpecah ke dalam kelompok-kelompok suku dan agama yang bertikai atas nama identitasnya masing-masing. Secara kultural nilai budaya Sintuwu Maroso2 yang mempersatukan masyarakat Poso yang memiliki keragaman suku dan agama berubah menjadi fanatisme kelompok. Secara politis jabatan-jabatan publik menjadi perebutan kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan suku dan agama. Secara ekonomi masyarakat kehilangan harta benda karena aksi-aksi penjarahan dan pembakaran. Secara psikologis masyarakat masih diliputi oleh pengalaman-pengalaman traumatis akibat aksi-aksi kekerasan dan teror berdarah. Dengan demikian kerusuhan dan konflik Poso telah menyebabkan perubahan interaksi dan struktur sosial serta melahirkan ragam masalah di dalam masyarakat.

Dari tengah keadaan seperti itu Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) dalam Laporan pelayanannya

1 Anomi adalah keadaan masyarakat yang ditandai oleh kekacauan

norma-noma yang mengatur interaksi sosial. Nicholas Abercrombie (et.al), Kamus Sosiologi. Diterjemahkan oleh Desy Noviyani dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 24-25.

2 Sintuwu Maroso secara hurufiah berarti saling menghidupan. Budaya ini

(2)

di depan Sidang Sinode GKST ke-41 tanggal 12 – 18 Oktober 2004 di Tentena menyebutkan:

Konflik dan kerusuhan yang melanda hampir seluruh wilayah pelayanan GKST telah membuat seluruh tatanan dan semua sistem kehidupan bermasyarakat dan bergereja porak-poranda. Penderitaan, ketertindasan, dan keterpurukan yang dialami oleh warga GKST secara psikologis menyebabkan daya tahan warga jemaat menjadi lemah, frustrasi, dan putus asa. Tetapi di lain pihak penderitaan ini menguji ketabahan dan kesabaran gereja untuk tetap bertahan menghadapi badai dan berusaha tidak lelah melayani bagi persekutuan jemaat. Sebagai akibatnya terjadi pergeseran paradigma

berteologi bahkan kebingungan dan

kegamangan dalam berteologi di kalangan pemimpin dan warga jemaat dengan munculnya berbagai aliran, ajaran-ajaran teologi, cara-cara penyembahan yang dianggap baru dan berbeda dari kebiasaan dan tradisi yang berlaku di GKST.3

Apa yang disebutkan di atas adalah realitas keagamaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Poso, baik pada waktu konflik maupun sesudahnya. Di desa Meko Pamona Barat seorang anak berumur delapan tahun bernama Selvin Bungge mengejutkan seluruh masyarakat oleh ritual yang dipimpinnya yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Di desa Pamona Tentena, seorang anak bernama Moko menyadarkan masyarakat dengan khotbah-khotbahnya di dalam ibadah-ibadah kebangunan rohani yang dihadiri ribuan orang. Sementara di desa Kele’i Kecamatan Pamona

3 Laporan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Periode

(3)

Timur muncul sebuah gerakan keagamaan dari sekelompok warga GKST yang menamakan diri mereka Jemaat Eli Salom. Tentang fenomena keagamaan ini, Ketua Majelis Sinode GKST Pdt. Ishak Pole, M.Si mengatakan,

Kita harus mengakui bahwa fenomena spiritual ini adalah Missio Dei, pekerjaan Allah yang supra-rasional, mengatasi penalaran dan cara kita berpikir. Kita hanya bisa menerimanya dengan rendah hati sambil mengucap syukur, bahwa Allah berkenan mengaruniakan peristiwa ini terjadi dalam kehidupan masyarakat kita. Pesannya jelas agar iman dan pengharapan kita lebih diteguhkan. Tidak perlu diragukan lagi bahwa peristiwa ini hendak menegaskan kepada kita bahwa Allah masih mengendalikan keadaaan, di tengah-tengah krisis multi dimensi yang kita alami selama ini. Allah tetap peduli terhadap penderitaan umatNya. Kita semua perlu penyembuhan dan pemulihan.4

Gerakan Jemaat Eli Salom berkembang dari perilaku kolektif keagamaan warga gereja Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang telah disebutkan di atas. Perilaku kolektif keagamaan yang dimaksud di sini adalah fenomena mobilisasi warga gereja GKST dengan berbasis kepercayaan terhadap sejumlah pengalaman keagamaan. Salah satu pengalaman keagamaan yang menarik datang dari seorang anak remaja yang bernama Marlyana Pulanga di tahun 2008. Remaja tersebut melihat sejumlah garis-garis seperti huruf-huruf yang membentuk sejumlah kalimat yang muncul di tembok depan gereja Yerusalem Kele’i, di belakang mimbar utama. Penglihatan ini diikuti oleh mimpi sang remaja di malam hari. Dalam mimpi itu ia mendapat pengertian tentang apa yang dilihatnya di tembok depan Gereja. Dalam kesaksian

4 Lih. sambutan Pdt. Ishak Pole dalam Tertius Lantigimo, Fenomena Mujizat

(4)

tertulisnya, huruf-huruf dan kalimat-kalimat aneh di tembok gereja itu diartikannya sebagai berikut:

Hanya orang percayalah yang bisa memasuki kota Allah. Bertobat dan balik pada Allahmu. Ini perintah yang kusampaikan kepadamu. Mengapa masih banyak orang yang tidak percaya akan mujizat-mujizat yang telah terjadi di Tentena dan sekitarnya? Anak-anak-Ku kalian adalah orang-orang munafik. Tubuh yang Ku berikan padamu janganlah pernah menodainya dengan dosa-dosa kalian yang telah tercatat. Bersatulah kalian untuk melawan Iblis…. Bertobatlah dan bersatulah menjadi orang yang percaya

sepenuhnya kepada-Ku dan menyerahkan

hidupnya hanyalah kepada-Ku, sebab tidak ada Allah lain di dunia ini selain Aku…. Semua tulisan yang telah kutunjukan kepadamu adalah peringatan yang Ku tulis untuk semua orang, agar mereka bertobat. Edarkanlah tulisan-tulisan ini yang telah Ku perlihatkan kepadamu…. Ingatlah apa yang telah kuperlihatkan kepadamu melalui tulisan dan melalui mujizat-mujizat yang kuberikan kepada anak-anak pilihan-Ku. Sekali lagi ini perintah… Bertobatlah dan balik kepada Bapa!5

Pengalaman keagamaan sejenis itu terjadi berulang-ulang, sehingga ia mulai menceritakannya kepada orang lain, mulai dari lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan gereja dan masyarakat di desanya. Keluarga dan masyarakat percaya dengan apa yang dikatakan dan dituliskan oleh remaja tersebut. Oleh karena itu setiap malam mereka datang berkumpul di rumah sang remaja tersebut dan mendengarkan perkataan-perkataannya yang berdasarkan penglihatan dan mimpi-mimpinya itu. Perkumpulan pada setiap malam hari ini

(5)

kemudian berkembang menjadi sebuah perkumpulan ritual doa dan penyembuhan. Sang remaja tersebut mulai dipandang sebagai seorang nabi kecil karena dalam perkataan-perkataannya terkandung nilai-nilai keagamaan, ajaran-ajaran moral, dan nubuat-nubuat tentang hari depan. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkannya berpusat pada perdamaian dan rekonsiliasi persekutuan hidup berdasarkan kasih dengan Tuhan dan sesama manusia. Ajaran-ajaran moralnya berkisar pada sikap hidup sehari-hari yang suci, damai dan anti kekerasan.

(6)

2013, jumlah anggotanya terdiri dari 254 kepala keluarga dan 887 jiwa. Beberapa dari mereka adalah warga gereja dan warga masyarakat yang pernah terlibat dalam kerusuhan dan konflik Poso.6 Mereka menjalankan ibadah ritual dan sikap

hidup sehari-hari yang terdiferensiasi dari masyarakat di sekitarnya berdasarkan kepercayaan dan ajaran-ajaran yang disampaikan oleh sang nabi kecil yang bernama Marliana Pulanga, antara lain kewajiban melakukan ritual doa dan penyucian diri setiap malam di rumah ibadah mereka, mempercayai dan menjadikan penglihatan dan mimpi-mimpi sebagai sumber ajaran iman, dan melarang anggota-anggotanya untuk mengkonsumi jenis-jenis makanan dan minuman beralkohol.7

Kemunculan dan perkembangan awal Jemaat Eli Salom Kele’i mendapat tantangan dari pihak-pihak masyarakat tertentu. Kelompok penentang yang pertama datang dari beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama di desa Kele’i.8

Menurut Kades Kele’i, ketika mobilisasi perilaku kolektif ini mulai mengarah pada proses pelembagaannya, sering terjadi ketegangan dan konflik antara kelompok Jemaat Eli Salom dengan pihak-pihak yang menolak kepercayaan dan praktek hidup sosial keagamaan mereka. Dalam konflik itu kelompok Jemaat Eli Salom di satu pihak tetap menjalankan kepercayaan dan cara hidup mereka, namun di lain pihak mereka menghindari cara-cara kekerasan seperti yang pernah dilakukan oleh kelompok yang menentang kepercayaan dan keberadaan mereka. Konflik itu sempat mengganggu stabilitas kehidupan bermasyarakat secara umum di desa Kele’i,

6 Wawancara dengan Pdt. Bareta, Pendeta Jemaat Eli Salom Kele’I, 15 Juni

2013 di Kele’i.

7 Wawancara dengan Pdt. Pasambaka, Pendeta Jemaat GKST Yerusalem

Kele’I, 16 Juni 2013 di Kele’i.

(7)

sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Poso turun tangan menyelesaikan ketegangan yang ada di sana.9

Mayoritas penduduk setempat adalah warga Gereja Kristen Sulawesi Tengah yang berpusat di kota Tentena yang letaknya kurang lebih lima kilometer arah Barat desa Kele’i. Melihat semakin banyaknya orang yang bersimpati dan berpartisipasi dalam kelompok Eli Salom, maka pada tanggal 15 Desember 2010 Majelis Sinode GKST mengeluarkan Surat Keputusan No. 02/AKTA/2010 tentang Penolakan terhadap Ajaran tentang Mimpi, Penglihatan, Bisikan, dan Petunjuk. Dalam butir 3 & 4 dari akta tersebut Majelis Sinode GKST menegaskan:

Akhir-akhir ini warga gereja diperhadapkan dengan fenomena supranatural seperti MIMPI, PENGLIHATAN, BISIKAN, dan PETUNJUK, yang muncul kepada seseorang dan menarik perhatian bagi orang lain kemudian mereka membentuk satu kelompok terpisah... Fenomena seperti ini mempengaruhi banyak warga gereja sehingga ada kecenderungan untuk mengidolakan orang yang katanya punya “karunia” khusus seperti itu, dan mensejajarkannya dengan wibawa (otoritas) Alkitab…. Gereja Kristen Sulawesi Tengah menolak semua bentuk penyataan yang tidak bersumber dari Alkitab…. GKST menolak fenomena MIMPI, BISIKAN, PENGLIHATAN, PETUNJUK yang terjadi pada orang-orang tertentu jika itu disetarakan/disejajarkan dengan otoritas (wibawa) Alkitab.

Keputusan Majelis Sinode GKST ini secara tidak langsung menolak keberadaan Jemaat Eli Salom Kele’i. Sementara Jemaat Eli Salom sendiri tetap pada kepercayaan

9 Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan Pamona Timur, Bapak Penyami,

(8)

dan praktek hidup keagamaan mereka. Lebih dari itu,

pengalaman-pengalaman mistik keagamaan seperti

penglihatan dan mimpi sudah menyebar ke sebagian anggota kelompok Eli Salom. Oleh sebab itu dalam setiap pertemuan ritual doa mereka, terdapat kesempatan kepada siapa saja untuk menyampaikan pengalaman-pengalaman keagamaan tersebut.

Walaupun kepercayaannya terhadap penglihatan dan mimpi mendapat penolakan dari Majelis Sinode GKST, namun Jemaat Eli Salom Kele’i tetap mengakui keberadaannya sebagai bagian dari jemaat-jemaat GKST. Dalam keadaan seperti ini akhirnya pada tanggal 25 Oktober 2011, Majelis Sinode GKST meresmikan Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai salah satu jemaat GKST dengan kepercayaan, ajaran, dan praktek hidup yang tersendiri.10

Keadaan anomi sejak kerusuhan dan konflik Poso pecah tidak saja ditandai oleh keruntuhan norma-norma yang mengatur interaksi sosial tetapi juga ditandai oleh fenomena kebangkitan agama dan gerakan-gerakan mistisisme di dalam masyarakat. Kebangkitan keagamaan dapat dilihat dari semangat dan perilaku keagamaan warga masyarakat yang meningkat melalui partisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan ritual dan penggunaan simbol-simbol keagamaan baik secara individual maupun kelompok. Sementara itu gerakan-gerakan mistisisme nampak melalui kemunculan pribadi-pribadi kharismatik dan komunitas-komunitas keagamaan yang

menekankan pengalaman-pengalaman keagamaan yang

bersifat batiniah, langsung, dan tanpa dimediasi oleh sistem ajaran dan sistem ritual agama yang terorganisir. Keadaan ini memunculkan pertanyaan apakah mungkin keadaan anomi

10 Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, Pendeta Jemaat Eli Salom, 15 Juni 2013

(9)

tersebut telah memicu kebangkitan agama dan gerakan mistisisme di Poso? Bagaimana menghubungkan keruntuhan nilai-nilai dan norma-norma dalam interaksi sosial masyarakat Poso dengan ragam gerakan keagamaan yang muncul di dalam kehidupan masyarakat? Bagaimana hubungan kausalitas antara kondisi sosial di Poso dengan perilaku keagamaan masyarakat? Apa peran kepercayaan-kepercayaan keagamaan dalam aksi-aksi kolektif atau mobilisasi massa? Apakah agama sebagai sistem kepercayaan fundamental dan sumber nilai serta norma sosial secara keseluruhan telah menjadi kekuatan dissosiatif dan destruktif bagi kehidupan masyarakat Poso yang terdiri dari ragam suku dan agama? Ataukah agama dalam pengertian tersebut sebenarnya ikut memainkan peran yang strategis dalam proses rehabilitasi dan rekonsiliasi sosial pasca konflik? Pertanyaan-pertanyaaan ini kemudian bermuara pada satu pokok persoalan, yaitu bagaimana memberikan deskripsi dan analisis sosiologis terhadap fenomena munculnya gerakan-gerakan keagamaan pasca konflik Poso, yang salah satu di antaranya adalah gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i?

(10)

ini mendorong paham individualisme dalam masyarakat dan akan mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan sosial. Akan tetapi agama dapat menjadi alat kohesi sosial sehingga walaupun terjadi pembagian kerja yang semakin terstruktur, masyarakat tetap terintegrasi secara moral.11 Ada juga yang

melihat agama sebagai penyedia kepercayaan fundamental untuk tindakan sosial dan perilaku kolektif yang berorientasi nilai. Agama memberi isi terhadap komponen perilaku kolektif untuk upaya – upaya redefinisi dan restorasi tindakan sosial dalam sebuah masyarakat yang mengalami ketegangan-ketegangan struktural.12 Secara kultural agama dapat menjadi

sumber makna dalam memberi isi terhadap identitas kolektif. Keterjalinan masyarakat melalui arus informasi dan telekomunikasi telah mengakibatkan munculnya identitas-identitas dominan. Keadaan ini menstimulasi komunitas-komunitas lokal untuk menggunakan agama sebagai basis resistensi identitas kolektif mereka.13

Dengan perspektif fungsional tersebut maka persoalan yang menarik untuk dianalisis adalah bagaimana menjelaskan secara sosiologis kemunculan Jemaat Eli Salom Kele’i. Dalam hal apa fenomena keagamaan tersebut dapat dideskripsikan dan dianalisis sebagai sebuah gerakan sosial? Kondisi-kondisi sosial kultural apa yang menyebabkan kemunculan dan perkembangannya? Apa yang menjadi motif dan tujuan dari

11 Pandangan-pandangan ini berakar pada pemikiran Karl Marx tentang

agama sebagai suprastruktur sosial dan pemikiran Emile Durkheim tentang agama sebagai integrasi sosial. Lih. Inger Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion

(Burlington USA: Ashgate Publishing Limited, 2006), 1 – 22.

12Menurut Neil Smelser pada umumnya gerakan-gerakan sosial berorientasi

nilai adalah gerakan-gerakan keagamaan. Tujuannya yang utama adalah untuk mengartikulasikan kembali tindakan sosial. Untuk lebih jelasnya lih. Neil Smelser,

Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press, 1962), 313 – 380.

13 Menurut Manuel Castells bahwa dalam masyarakat modern ada tiga jenis

(11)

perilaku-perilaku kolektif mereka? Apa yang menjadi kepercayaan fundamental yang terekspresi dalam nilai-nilai dan norma-norma sebegai elemen dasar tindakan sosial mereka?

Studi dan kajian terhadap gerakan-gerakan keagamaan seperti munculnya aliran dan kelompok-kelompok keagamaan baru di dalam masyarakat memang bukan sesuatu yang baru di dalam khasanah studi agama pada umumnya dan kajian tentang gerakan-gerakan sosial keagamaan baru pada khususnya. Namun demikian tidak dapat disangkali bahwa sebagian besar eksplanasi dan penelitian di sekitar fenomena gerakan-gerakan keagamaan yang muncul di Indonesia pada umumnya, dan di Poso pada khususnya masih terisolasi dari perkembangan konsep-konsep dan teori gerakan sosial. Penelitian tentang fenomena Mujizat Kesembuhan Ilahi di Meko yang dilakukan oleh Tertius Lantigimo masih terbatas pada kajian teologis Alkitabiah.14 Sebuah studi tentang Gejala

Mistisisme dalam Jemaat Pengungsi GKST di Tentena masih terbatas pada kajian teologis psikologis.15 Penelitian yang

dilakukan oleh Herlianto tentang Gerakan Nama Suci hanya menjelaskan pengaruh tradisi-tradisi Yudaisme terhadap keberadaan gerakan tersebut dan mendeskripsikan pokok-pokok ajarannya.16 Demikian juga dengan buku Gerakan

Kharismatik yang ditulis oleh Denny Teguh Sutandio hanya berisikan tinjauan reflektif dan kritis Alkitabiah.17 Pada tahun

2010 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI melakukan penelitian tentang Aliran-Aliran dalam Agama Kristen di Indonesia. Penelitian ini dilakukan di empat

14 Lih. Lantigimo, Fenomena Mujizat Kesembuhan Ilahi…, 1-10.

15 Lih. Tony Tampake, Deskripsi dan Analisis Gejala Mistisisme dalam Jemaat

Pengungsi GKST di Tentena (Salatiga: Tesis Magister Sosiologi Agama UKSW, 2006).

16Lih. Herlianto, Gerakan Nama Suci (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009). 17Lih. Denny Teguh Sutandio, Gerakan Kharismatik, Tinjauan Reflektif dan

(12)

wilayah, yaitu NTT, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah, dan Jogyakarta. Penelitian berhasil mendeskripsikan sejarah munculnya aliran-aliran baru dalam agama Kristen di Indonesia. Namun demikian analisis sosial kultural untuk mendapatkan sebab-sebab struktural dan kultural belum dieksplorasi lebih jauh.18 Dari hasil penelitian tersebut

nampak bahwa penelitian masih bersifat normatif teologis dengan sedikit latar belakang historis. Penelitian-penelitian ini perlu diberi apresiasi karena telah menyediakan deskripsi historis dan ekpslanasi-eksplanasi normatif tentang fenomena kebangkitan ragam gerakan keagamaan baru dan kebangkitan agama-agama mistikal di Indonesia. Namun demikian analisis lebih jauh tentang bagaimana aktor-aktor kolektif menanggapi berbagai ketidakpuasan, menggunakan berbagai sumber daya kelembagaan dan organisasi untuk mendapatkan dukungan

dan membuat kerangka-kerangka mobilisasi yang

menggunakan simbol-simbol belum dilakukan. Akibatnya dinamika, proses dan organisasi aktivisme agama belum dapat dipahami sebagai elemen-elemen tindakan sosial dan konstruksi identitas.19

Secara sosiologis gerakan keagamaan adalah bagian dari gerakan sosial.20 Itu berarti perilaku-perilaku kolektif

keagamaan dapat dikelompokkan dan dianalisis di bawah kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku

18 Lih. Kementerian Agama Balai Litbang dan Pengembangan Agama

Semarang, Laporan Hasil Penelitian Aliran-Aliran dalam Agama Kristen di NTT, Kalbar, dan DIY (Semarang: Kemenag Balitbang Semarang, 2011).

19 Keadaan ini menjadi gejala umum studi-studi agama di Indonesia yang

masih terisolasi dari perkembangan teoritis dan konseptual gerakan-gerakan sosial. Lih. Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Pendekatan, Teori, dan Studi Kasus.

Diterjemahkan oleh Tim Peneliti Paramadina (Yogyakarta: Paramadina, 2012).

20 Jean Francois Mayer, dalam Jacques Waardenburg (Ed.), New Approaches

(13)

sosial.21 Dalam kaitan dengan hal ini para ahli mendefinisikan

gerakan sosial sebagai suatu mekanisme tindakan kolektif yang terorganisir secara longgar untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat mereka.22

Berdasarkan dua komponen utama perilaku kolektif, yaitu nilai dan norma, Neil Smelser membagi dua tingkatan utama gerakan sosial, yaitu gerakan sosial yang berorientasi nilai dan gerakan sosial yang berorientasi norma. Nilai-nilai, yang akan memberikan panduan terhadap perilaku sosial yang disengaja, adalah komponen yang paling umum dari tindakan sosial dan yang dapat ditemukan dalam sebuah sistem nilai dengan terma-terma umum yang menyatakan tujuan akhir atau kondisi akhir yang diharapkan. Sedangkan norma-norma adalah aturan-aturan regulatif yang mengatur pencapaian tujuan-tujuan perilaku sosial. Norma-norma adalah aturan yang mewakili penegasan penerapan nilai-nilai umum dan dapat ditemukan di dalam struktur institusional yang resmi. Sebuah gerakan sosial, entah itu berorientasi nilai atau norma, muncul melalui sebuah mekanisme tertentu dengan sejumlah faktor penentu, yaitu adanya kondusifitas struktural (structural conduciveness), ketegangan struktural (structural strain), perkembangan dan penyebaran sebuah kepercayaan umum, faktor-faktor pencetus, mobilisasi partisipan untuk tindakan sosial, dan kontrol sosial.23Apabila faktor-faktor ini

digunakan secara analitis dalam fenomena Jemaat Elis Salom Kele’i maka dapat diasumsikan bahwa situasi-situasi empirik di mana ragam tipe perilaku kolektif keagamaan mereka mucul dapat diuraikan dan dipahami.

21 Lorne L. Dawson (Ed.), Cults and New Religious Movements (Malden MA:

Blackwell Publishing Ltd. 2003), 5.

22 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, diterjemahkan oleh

Alimandan (Jakarta: Prenada, 2007), 325.

(14)

Kalau pendekatan struktural fungsional seperti ini dipakai, maka analisis terhadap perilaku kolektif keagamaan jemaat Eli Salom Kele’i dapat dibangun di atas dua konstruksi. Yang pertama adalah konstruksi komponen-komponen tindakan sosial, yaitu bahwa tindakan sosial selalu diarahkan pada pencapaian tujuan atau harapan, terjadi di dalam situasi sosial, bersifat normatif dan regulatif, dan melibatkan upaya dan motivasi. Yang kedua adalah konstruksi proses di mana faktor-faktor penentu, yaitu kondusifitas struktural, ketegangan struktural, perkembangan dan penyebaran sebuah kepercayaan umum, faktor-faktor pencetus, mobilisasi partisipan untuk tindakan sosial, dan kontrol sosial, muncul di dalam model-model eksplanasi sosiologis. Dalam pendekatan struktural fungsional ini proposisi yang akan diuji adalah bahwa ketika orang-orang berada di bawah situasi atau kondisi ketegangan struktural maka mereka akan memobilisir diri secara kolektif untuk menyusun kembali tindakan sosial dan identitas kolektif mereka berdasarkan kepercayaan-kepercayaan fundamental keagamaan. Berdasarkan asumsi teoritis ini maka pertanyaannya adalah apakah ada situasi dan kondisi ketegangan struktural di dalam masyarakat sehingga sejumlah orang di desa Kele’i memobilisir diri secara kolektif? Kalau ada maka bagaimana mereka memobilisir diri untuk meredefinisi tindakan sosial dan merekonstruksi identitas mereka? Kepercayaan fundamental dan elemen-elemen budaya apa yang tersedia untuk menyusun kembali tatanan sosial mereka? Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka akan tersedia eksplanasi sosiologis yang bersifat struktural fungsional dan kultural tentang salah satu fenomena kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan di Poso.

(15)

Redefinisi Tindakan Sosial dan Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso, Studi Sosiologis terhadap Jemaat Eli Salom Kele’i di Poso.

2. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada tiga variable independen, yaitu mekanisme kemunculan dan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan. Dalam hal ini isu pokoknya adalah bagaimana menyediakan suatu deskripsi tentang fenomena yang diteliti dan menganalisis konteks sosial politik dan kultural keagamaan yang mempengaruhi fenomena tersebut. Variabel kedua adalah rasionalitas gerakan sosial keagamaan dengan isu pokoknya adalah mengapa dan untuk apa orang-orang berpartisipasi dalam gerakan tersebut. Variabel ketiga adalah peranan kepercayaan-kepercayaan fundamental dan elemen-elemen budaya sebagai ekspresi-ekspresi simbolik mereka.

3. Masalah Penelitian

Bertolak dari latar belakang pemikiran dan fokus penelitian tersebut di atas maka masalahnya adalah mengapa Jemaat Eli Salom Kele’i muncul dan berkembang sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan? Faktor-faktor sosial apa mencetus kemunculan dan perkembangannya? Mengapa ada sejumlah orang yang ikut berpartisipasi di dalamnya dan apa tujuan mereka? Kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai apa yang dipakai olehnya untuk melakukan perubahan dalam kehidupan sosial keagamaan?

4. Tujuan Penulisan

(16)

analisis tentang latar belakang dan faktor-faktor sosial yang menjadi penyebab munculnya Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan, tindakan-tindakan, motif-motif, dan tujuan-tujuan rasional sejumlah orang yang ikut di dalamnya, serta kepercayaan dan nilai-nilai yang muncul di dalam perilaku-perilaku kolektifnya.

5. Urgensi Penelitian

1) Teoritis

Penelitian ini sangat diperlukan untuk menguji bagaimana teori gerakan sosial memberi pengaruh teoritis pada studi gerakan keagamaan dan bagaimana studi tentang gerakan keagamaan menawarkan lahan uji baru bagi teori gerakan sosial. Urgensi teoritis ini mengemuka ketika disadari bahwa sampai saat ini penelitian dan publikasi tentang maraknya fenomena kemunculan dan perkembangan kelompok-kelompok keagamaan di Indonesia masih terisolasi dari teori-teori dan konsep-konsep gerakan sosial. Sejauh ini kebanyakan deskripsi yang tersedia

untuk fenomena kemunculan kelompok-kelompok

keagamaan yang terpisah dari kelompok arus utama masih bersifat normatif dan individual berdasarkan konsep-konsep teologis dan teori-teori psikologis.

2) Praktis

(17)

rekayasa sosial di tengah proses demokratisasi. Di dalam konteks masyarakat Poso, penelitian ini menjadi penting bagi Gereja Kristen Sulawesi Tengah dan Pemerintah Daerah setempat untuk menjaga momentum rekonsiliasi dan rehabilitasi sosial serta mencegah terjadinya kembali konflik-konflik sosial yang bernuansa agama.

6. Metode Penelitian

1) Pendekatan Sosiologi terhadap Agama.

Kebangkitan semangat keagamaan dan kemunculan ragam gerakan keagamaan pada beberapa dasawarsa terakhir ini telah merevitalisasi studi agama dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam sosiologi. Para sosiolog yang tertarik di bidang ini mendapat kesempatan untuk mengamati kemunculan kelompok-kelompok keagamaan baru, interaksi kelompok-kelompok itu dengan lingkungan sosio kulturalnya, dan pasang surut kelompok-kelompok itu.24

Wawasan-wawasan yang terkumpul dari berbagai pengamatan dan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari analisis yang hati-hati serta studi-studi yang teliti telah dipakai untuk mengkaji kembali gerakan-gerakan keagamaan baru yang muncul di tengah masyarakat.

Studi sosiologis tentang gerakan-gerakan keagamaan baru berbeda dengan pendekatan teologis yang bersifat normatif dan pendekatan psikologis yang bersifat individual. Sosiologi mempelajari gerakan-gerakan keagamaan secara deskriptif sebagai salah satu tipe khas gerakan sosial yang tidak hanya mempengaruhi individu-individu tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.25 Para sosiolog memusatkan

24 Dawson (Ed.), Cults and New Religious Movements…, 11-12.

25 Lih. David G. B. Bromley (Ed.),Teaching New Religious Movements (New

(18)

perhatian pada eksistensi entitas gerakan-gerakan keagamaan sebagai suprastruktur masyarakat dan subkultur marginal atau unit-unit yang berada dalam posisi konflik dengan masyarakat luas.26 Mereka mengkaji bagaimana cara ragam

lembaga dan organisasi keagamaan baru terbentuk dan terpelihara. Mereka mengeksplorasi dinamika-dinamika internal yang membuat gerakan-gerakan keagaman baru menjadi unit-unit sosial yang aktif, mempelajari struktur-struktur ekonomi politiknya, tipe kepemimpinan karismatik yang menyediakan legitimasi ilahi bagi kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek keagamaannya dan tipe-tipe serta level-level komitmen yang dituntut bagi para pengikutnya.27 Lebih lanjut, para sosiolog mengamati

korelasi-korelasi sosial yang cocok dengan keanggotaan dan faktor-faktor kultural yang mempengaruhi perkembangan gerakan-gerakan keagamaan.28

Namun demikian sosiologi gerakan-gerakan

keagamaan belum menjadi sebuah usaha yang tanpa hambatan. Para sosiolog kontemporer menyadari bahwa upaya mereka untuk mendeskripsikan ragam gerakan keagamaan berada dalam perdebatan dengan pandangan yang menganggap bahwa keterlibatan dalam sebuah gerakan keagamaan adalah penyimpangan pemahaman dan perilaku keagamaan serta ekspresi atau akibat langsung dari sebuah

New Approaches to the Study of Religion Vol 1 (Berlin & New York: Walter de Gruyter GmbH & Co, 2004), 13-14.

26 Pendekatan Karl Marx misalnya yang melihat bahwa struktur dasar

masyarakat terdiri dari dua komponen utama yaitu kekuatan-kekuatan produksi dan relasi-relasi produksi. Di atas dua komponen inilah struktur yang lain terbangun, salah satu di antaranya adalah agama. Oleh sebab itu secara historis agama adalah suprastruktur masyarakat. Emile Durkheim juga melihat agama sebagai elemen dasar dari masyarakat. Agama secara fungsional mempunyai fungsi integrasi sosial. Lih. Inger Fursteh, An Intoduction to the Sociology of Religion (Burlington USA: Ashgate Publishing Limited, 2006), 29 – 38.

27 Bryan Wilson, New Religious Movements: Challenges and Response

(London & New York: Routledge, 1999), 1-2.

(19)

patologi.29 Dengan pendekatan normatif dan psikologis seperti

yang banyak dilakukan oleh para pemimpin agama dan pemerintah, maka tidak terelakan lagi bahwa gerakan-gerakan keagamaan dilihat sebagai gerakan bidat atau penodaan agama yang harus ditentang dan orang-orang yang mengikutinya dianggap mengalami gangguan jiwa.

Metode sosiologis kadang kala menjadi satu rintangan bagi penerimaan publik terhadap fenomena gerakan-gerakan keagamaan baru. Para sosiolog mempelajari agama-agama secara objektif dan imparsial mungkin.30 Mereka

menempatkan semua agama pada level yang sama. Mereka tidak berkepentingan untuk menentukan mana agama yang benar dan mana yang salah atau membela suatu tradisi keagamaan dan menyerang agama yang lain. Dalam sosiologi agama tidak ada penilaian moral tentang perilaku keagamaan. Tujuan sosiologi agama adalah mengeksplorasi pertanyaan bagaimana dan mengapa nilai-nilai, norma-norma, dan gaya hidup baru muncul, bagaimana konsepsi-konsepsi keagamaan baru menjadi populer, dan bagaimana komunitas-komunitas eksperimental terbentuk.31 Para sosiolog berasumsi bahwa

gerakan-gerakan keagamaan adalah ekspresi-ekspresi keagamaan yang asli. Perspektif inilah yang masih sulit diterima oleh pemimpin-pemimpin agama-agama tradisional yang menganggap gerakan-gerakan keagamaan baru sebagai sistem kepercayaan dan sistem kultus yang menyimpang dan menodai agama-agama yang mapan. Padahal dinamika, proses, dan mobilisasi gerakan-gerakan keagamaan baru merupakan elemen-elemen perseteruan yang penting yang melampaui kekhususan kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek

29 John Saliba, Understanding New Religious Movements (New York: Altmira

Press, 2003), 127.

30 Eileen Barker, dalam Dawson (Ed.), Cults and New Religious Movements…,

14-15.

(20)

keagamaan. Dalam pendekatan sosiologis, gerakan-gerakan keagamaan baru merupakan geliat dalam sebuah sistem sosial. Geliat ini adalah suatu reaksi terhadap perubahan sosial dan ketegangan dalam struktur sosial masyarakat kontemporer.

Alih-alih memusatkan perhatian pada individu-individu dan keadaan mental serta psikologis mereka, para sosiolog mengalihkan perhatian pada masyarakat dan budaya. Demikian halnya dalam studi-studi sosiologis tentang gerakan-gerakan keagamaan baru yang mengeksplorasi persoalan-persoalan bagaimana gerakan-gerakaan keagamaan bisa muncul dan berkembang serta bagaimana gerakan-gerakan itu pada akhirnya terlembagakan. Sosiologi memakai metode-metode yang telah teruji untuk mengkaji gerakan-gerakan keagamaan sebagai system sosial dan budaya. Analisis historis, analisis budaya, observasi partisipatif, survei, analisis statistik, dan analisis konten adalah alat-alat yang umum dipakai untuk mempelajari fenomena agama secara umum dan gerakan-gerakan keagamaan secara khusus.32

Istilah gerakan-gerakan keagamaan baru adalah istilah yang ditemukan oleh para sosiolog untuk menggantikan istilah gerakan sempalan atau sekte untuk menunjuk pada kelompok-kelompok keagamaan baru yang kecil yang dipimpin oleh seorang pemimpin karismatik. Dengan istilah tersebut maka kelompok-kelompok agama baru dapat dipelajari seperti gerakan-gerakan sosial lain yang telah muncul di dalam masyarakat kontemporer. Penggunaan istilah yang netral ini menandakan bahwa para sosiolog menghindari sikap menghakimi baik secara teologis maupun ideologis terhadap keberadaan gerakan-gerakan keagamaan baru. Hal ini mengindikasikan juga adanya sebuah cara yang berbeda dalam

32 John Saliba, dalam Bromley (Ed.,), Teaching New religious Movements…,

(21)

mempelajari dan memahami gerakan-gerakan keagamaan. Sebuah cara yang membawa pada pemahaman tentang perubahan dan diversitas keagamaan serta relasi agama dengan kondisi-kondisi sosial atau kultural di mana agama tumbuh dengan subur.

Berdasarkan perspektif tersebut di atas maka studi-studi sosiologis terhadap gerakan-gerakan keagamaan adalah bagian yang khas dari studi-studi gerakan-gerakan sosial yang didasarkan pada konsepsi-konsepsi sosiologis tentang tindakan sosial dan perilaku kolektif.

2) Jenis Penelitian

Mempertimbangkan subjek penelitian dan rumusan masalah maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif interpretif. Itu berarti bahwa fakta-fakta sosial dipelajari di dalam konteks alaminya dalam rangka menafsirkan dan memahami fenomena yang ada dari sisi makna yang dilekatkan manusia kepadanya.33 Dalam

penelitian ini unit pengamatan adalah gejala-gejala sosial keagamaan atau kenyataan sosial (social fact) yang ada di sekitar fenomena munculnya jemaat Eli Salom Kele’i pada tingkat kelompok. Hal tersebut tidak hanya dilihat sebagai kenyataan fisik dan kenyataan biologis semata, tetapi sebagai makhluk sosial (social being). Artinya, keberadaan mereka sebagai manusia dipahami dalam hubungan dengan keseluruhan struktur sosial yang ada, seperti misalnya relasi-relasi dan interaksi sosial di masyarakatnya, ajaran-ajaran iman, nilai-nilai dan norma-norma sosial, serta institusi-institusi sosial keagamaan yang ada di sekitarnya.

33 Norman K. Denzin & Yvona S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research.

(22)

komponen ini berkelindan satu sama lain dan membentuk sebuah fenomena atau kenyataan sosial.34

Mempertimbangkan tujuan penelitian, jenis data dan analisisnya yang bersifat induktif, maka format yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Oleh sebab itu kesimpulan dibangun dengan cara mengabstraksikan data-data empiris yang dikumpulkan.35 Tujuan akhir dari penelitian

ini adalah untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan gejala-gejala sosial keagamaan melalui beberapa variabel independen yang relevan dengan masalah penelitian di atas.

Dengan demikian maksud penelitian ini adalah

mengeksplorasi dan mengklarifikasi aspek-aspek sosiologis dari Gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i.

Untuk melaksanakan penelitian seperti ini tentu saja dipilih tipe pendekatan yang dapat digunakan. Dalam hal ini, dari tiga tipe pendekatan yang dikenal di dalam penelitian sosial, penelitian ini memakai strategi penelitian studi kasus instrumental (instrumental case study) yang bertujuan untuk meneliti suatu kasus tertentu agar tersaji sebuah perspektif tentang isu atau perbaikan suatu teori.36

Walaupun penelitian ini bersifat deskriptif untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi fenomena munculnya sebuah gerakan sosial keagamaan, tetapi penelitian ini tidak sampai mempersoalkan korelasi atau jalinan hubungan antara variabel-variabel yang ada. Oleh sebab itu penelitian ini tidak melakukan pengujian hipotesis. Apa yang tersedia oleh hasil penelitian ini adalah deskripsi dan analisis mengenai fenomena sosial.

34 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja

Grafindo Perkasa, 2003), 12 – 14.

35 Prasetya Irawan, Penelitian Kulitatif &Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial

(Jakarta: Dep. Ilmu Administrasi Fisipol Univ. Ind, 2006, 53.

(23)

3) Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis dan format penelitian yang dipergunakan, maka metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara (interview), pengamatan (observation), dan dokumenter (secondary sources). Untuk metode wawancara dipakai instrument pengumpul data yang disebut pedoman wawancara bagi beberapa informan kunci (key informan). Untuk metode observasi dilakukan pengamatan dan penginderaan langsung terhadap individu, benda, kondisi, situasi, proses, dan perilaku unit pengamatan. Sedangkan untuk metode dokumenter dilakukan melalui format pencatatan dokumen dengan sumber data berupa data statistik gereja, dokumen ajaran gereja, tata gereja, peraturan gereja, bahan-bahan pengajaran, dll.

4) Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jemaat Eli Salom, desa Kele’i kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Jemaat ini terdiri dari 254 kepala keluarga, 887 jiwa, dan 634 anggota baptis. Desa Kele’i terletak kurang lebih 60 kilometer dari ibukota kabupaten Poso dan 35 kilometer dari ibu kota kecamatan Pamona Timur. Desa ini terletak di poros jalan trans Sulawesi sehingga dapat dijangkau dengan semua jenis kendaraan beroda. Penduduk desa Kele’i berjumlah 1643 jiwa dengan 451 kepala keluarga. Mayoritas penduduk beragama Kristen dan menjadi anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Secara kultural desa ini masuk di dalam wilayah adat suku Pamona dengan sub suku Ondae.

5) Sumber Data

(24)

verbal akan diperoleh melalui wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh jemaat, tokoh-tokoh masyarakat, anggota jemaat, anggota masyarakat, pemerintah setempat, dan informan lain yang dipandang relevan. Tindakan atau perilaku akan diamati melalui kegiatan-kegiatan ritual dan praktek hidup sehari-hari di tengah masyarakat. Sedangkan sumber-sumber pelengkap

seperti dokumen-dokumen akan diperoleh melalui

pengarsipan jemaat, pemerintah setempat, dan lembaga-lembaga yang terkait, serta tulisan-tulisan tentang fenomena yang diteliti.

7. Struktur Penulisan

Untuk menyajikan sebuah deskripsi dan analisis yang sistematis tentang landasan konseptual, perspektif teoritis, data, analisis, dan hasil temuan maka disertasi ini disusun secara logis dalam sistematika sbb:

1) Bab I Pendahulan.

Bab ini berisikan uraian dan argumentasi empirik dan metodologis tentang topik yang dipilih, fokus penelitian, masalah penelitian, tujuan penulisan, urgensi, dan metode penelitian.

2) Bab II Sosiologi Gerakan Keagamaan.

(25)

gerakan sosial. Elaborasi dan diskusi teori berpusat pada tiga konsep besar, yaitu tindakan sosial, perilaku kolektif, dan gerakan sosial berorientasi nilai.

3) Bab III Mistisisme sebagai Tipe Perkembangan Sosiologis Gereja.

Mempertimbangkan aspek pengalaman keagamaan yang diteliti maka bab ini berisikan uraian teoritis tentang mistisisme. Uraian ini dimulai dengan pengertian mistisisme, kemudian dilanjutkan dengan pengalaman mistik, tradisi mistik Kristen, mistisisme tindakan sosial, dan ditutup dengan elaborasi dimensi-dimensi sosial mistisisme.

4) Bab IV Masyarakat Poso dalam Lintas Sejarah.

Bagian ini membuka sisi empirik dari disertasi ini dengan uraian historis masyarakat Poso. Bagian ini hendak memberikan perspektif historis tentang konteks sosial, politik, budaya, dan keagamaan dari fenomena yang diteliti. Uraian dimulai dengan letak geografis, keadaan penduduk, latar belakang sosial budaya dan sejarah Gereja Kristen Sulawesi Tengah serta sejarah perjumpaannya dengan Islam. Akhir dari bab ini adalah kondisi objektif GKST yang dianggap menjadi akar historis bagi kemunculan Jemaat Eli Salom Kele’i.

5) Bab V Gerakan Keagamaan di Tengah Krisis Sosial.

(26)

perhatian diarahkan pada sejarah munculnya gerakan keagamaan di Kele’I dan kepercayaan fundamental serta nilai-nilai yang menjadi komponen dasar tindakan sosial mereka.

6) Bab VI Redefinisi Tindakan Sosial & Rekonstruksi Identitas.

Bab ini adalah analisis terhadap fakta-fakta historis yang ada dengan memakai konsepsi-konsepsi teoritik dalam bab kedua dan bab ketiga dengan memperhitungkan konteks historis yang telah dipaparkan dalam bab keempat sehingga ketiga variable tersebut muncul dalam bentuk eksplanasi sistematis eksplanasi ini sekaligus merupakan jawaban terhadap tiga pertanyaan yang telah dirumuskan dalam bagian pendahuluan.

7) Bab VII Kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Tulisan ini mengungkapkan tinjauan kritis terhadap proses perancangan kurikulum pembinaan kategorial pemuda dalam Gereja Batak Karo Protestan (GBKP ).. Pemuda

Apakah ada kendala yang dihadapi dalam menerapkan Credit Union (CU) di

Dari beberapa konsep dan teori tentang mistisisme yang dipandang dari sudut teologis dan sosiologis serta oleh tinjauan historis tentang perkembangan tradisi

Untuk melihat perbandingan laporan keuangan antara anggaran yang telah dibuat dengan realisasinya secara detail maka user jemaat dapat memilih tombol PDF yang tersedia

PERAN MAJELIS DALAM MENGATASI KETIDAKAKTIFAN PEMUDA GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP) SEMARANG.. Riauland Arisdantha Sembiring

dasar terletak pada elemen-elemen natural (sosial) dari masyarakat tentang “ yang sakral ” , Durkheim pertama sekali, mengemukakan bahwa seluruh keyakinan keagamaan yang

Melihat keadaan jemaat GBKP Sukamakmur yang dimana komunikasi dan interaksi yang dimediasi oleh sesuatu hal yang berbasis teknologi, dapat dihubungkan dengan Teori

Sebab, liturgi, waktu ibadah, pengurus yang pasif, konflik sosial, dan kehadiran kelompok sosial merupakan faktor-faktor penyebab pemuda GBKP Runggun Jalan Katepul tidak