• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB II"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

27

Bab ini mengelaborasi dan mendiskusikan agama dalam perspektif sosiologis dan gerakan keagamaan sebagai tipe gerakan sosial. Ada tiga pemikiran klasik yang dijadikan rujukan tentang konsepsi agama, yaitu pemikiran Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Asumsi yang ada di balik pemilihan ketiga sosiolog klasik ini adalah karena pemikiran mereka menjadi dasar pemikiran bagi semua abstraksi tentang agama dalam sosiologi modern dan kontemporer. Segmen kedua dalam bab ini adalah konsepsi gerakan keagamaan sebagai salah satu tipe khas gerakan sosial. Elaborasi dan diskusi teori berpusat pada tiga konsep besar, yaitu tindakan sosial, perilaku kolektif, dan gerakan sosial berorientasi nilai.

1. Agama dalam Perspektif Sosiologis

Pada dasarnya sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial manusia, baik dalam kelompok-kelompok maupun di dalam komunitas-komunitas. Disiplin ini muncul seiring terjadinya perubahan sosial yang sangat signifikan di Eropa pada abad ke-18. Sosiologi hendak menjelaskan secara objektif dan deskriptif tindakan manusia dalam dunia sosial. Mengapa orang-orang bertindak dan beraksi dengan cara-cara tertentu menjadi persoalan utama dalam sosiologi. Demi menjelaskan tindakan-tindakan manusia dalam dunia sosial maka dibedakan tiga jenis eksplanasi sosiologis, yaitu eksplanasi kualitas personal, eksplanasi relasi-relasi sosial, dan eksplanasi sistem-sistem sosial.1

1 Inger Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion (Burlington USA:

(2)

Eksplanasi kualitas personal menyatakan bahwa sebuah peristiwa terjadi karena adanya kualitas-kualitas individual yang dipandang stabil.2 Eksplanasi ini sering juga

disebut eksplanasi dari dalam. Ketika seorang individu menunjukan perilaku keagamaan yang radikal maka eksplanasi dari dalam menyatakan bahwa individu tersebut memiliki personalitas keagamaan yang mendalam. Eksplanasi kualitas personal ini cenderung mengandung elemen pujian atau sebaliknya pengapkiran moral. Oleh sebab itu ekspalanasi jenis ini sering menunjuk pada karakteristik-karakteristik

kelompok-kelompok atau kategori-kategori secara

keseluruhan. Eksplanasi relasi-relasi sosial memperdalam

pertanyaan eksplanasi kualitas personal dengan

mempersoalkan mengapa individu memiliki personalitas keagamaan yang mendalam. Dalam menjawab pertanyaan ini, eksplanasi relasi sosial bersandar pada prinsip pemikiran bahwa sebuah fakta atau peristiwa sosial harus dipahami melalui relasi-relasi sosial di mana orang-orang terlibat. Kata relasi-relasi menandakan sebuah modicum permanen tertentu dalam pertalian-pertalian personal. Relasi-relasi sosial bisa terjadi secara langsung maupun secara tidak langsung melalui media massa. Eksplanasi struktural biasa disebut juga eksplanasi sistem. Bentuk eksplanasi seperti ini dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya ketika orang berbicara tentang pembangunan masyarakat sebagai kekuatan formatif yang mempengaruhi hidup orang-orang.3

Kendatipun terdapat nuansa ekplanasi tersebut di atas tetapi fokus utama dari sosiologi adalah mempelajari interaksi-interaksi sosial dan format-format sosial masyarakat.

(3)

Istilah format sosial mengandung pengertian yang luas yang mencakup struktur-struktur sosial dan patron-patron dinamika relasi-relasi sosial yang secara mutual mempengaruhi satu sama lain. Pada satu sisi individu-individu

memiliki kemampuan untuk merubah format-format

kemasyarakatan, khususnya ketika mereka bertindak dalam sebuah organisasi yang berorientasi tujuan dan terkordinasi. Pada sisi lain, individu-individu juga dilahirkan dalam sebuah masyarakat dan mereka dipengaruhi oleh masyarakat di mana mereka lahir dalam ragam cara. Peter Berger menyebut proses ini sebagai proses dialektika fundamental yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi individu-individu menciptakan masyarakat. Melalui objektivasi mayarakat menjadi suatu realitas sui generis. Dan melalui internalisasi masyarakat menciptakan individu-individu.4

Sosiologi mempelajari agama sebagai bagian dari struktur sosial dan yang mempengaruhi interaksi-interaksi sosial. Oleh sebab itu para sosiolog yang tertarik untuk mengkaji agama berkepentingan untuk melihat bagaimana agama mempengaruhi masyarakat dan sebaliknya bagaimana masyarakat mempengaruhi kehidupan keagamaan. Berikut beberapa pandangan sosiolog klasik tentang agama.

1.1.Karl Marx: Agama sebagai Proyeksi dan Ilusi

Di dalam karya-karya Marx memang tidak ditemukan pemikiran yang sistematis tentang agama, tetapi di dalam teori-teori sosialnya, khususnya teori alienasi manusia kita dapat melihat pandangannya tentang agama. Marx menunjukan bagaimana di dalam masyarakat kapitalis para

4 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of

(4)

pekerja diperlakukan sebagai komoditi atau objek. Ia menunjukan fakta ekonomi yang aktual, yaitu bahwa semakin buruh bekerja menghasilkan barang maka semakin miskin keadaannya, semakin banyak hasil pekerjaannya, maka sebagai sebuah komoditi, harga buruh menjadi sangat murah. Artinya peningkatan nilai barang ada dalam proporsi langsung dengan devaluasi nilai manusia. Ia menegaskan, “The object which labour produces… confronts it as something alien, as a power independent of the producer. The product of labour is labour which has been congealed in an object, which has become material: it is the objectification of labour.”5 Berangkat dari

asumsi tersebut Marx membangun lebih lengkap teori alienasinya. Ia mengatakan bahwa hasil pekerjaan buruh berada di luar dirinya sendiri secara tidak bergantung, sebagai sesuatu yang asing baginya dan menjadi sebuah kekuasaan yang menentang dirinya. Karl Marx berkata, “The life which he has conferred on the objects confronts him as something hostile and alien.”6

Pandangan ini dipengaruhi oleh konsep alienasi Ludwigh Feuerbach yang mendasarkan agama di dalam eksistensi duniawi manusia dan percaya bahwa di dalam agama, manusia mengekspresikan mimpinya tentang sebuah dunia yang berbeda dan lebih baik. Bukan Tuhan yang telah menciptakan manusia, seperti yang diajarkan agama, tetapi manusialah yang telah menciptakan Tuhan. Manusia telah mengobjektifkan keberadaanya sendiri pada Tuhan dan kemudian menyediakan kreasinya dengan sebuah kekuatan kreatif dari yang dipunyainya. Dengan cara ini, sang objek, konsep tentang Tuhan yang diciptakan oleh manusia, telah menjadi subjek, dan subjek yang sesungguhnya, manusia, telah

5 Karl Marx, “The Economic and Philosophic Manuscripts” dalam Robert C.

Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 71

(5)

membuat dirinya sendiri menjadi objek. Manusia telah menjadi asing atau teralienasi dari dirinya sendiri dan agama mengekspresikan alienasi manusia dari dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia sebagai subjek telah menciptakan sebuah objek yang, oleh sebuah pembalikan dialektis, menjadi subjek, sehingga manusia membuat dirinya sendiri sebagai sang objek. Akan tetapi berbeda dengan Feuerbach yang menghubungkan proses alienasi ini dengan agama, Karl Marx percaya bahwa alienasi ini adalah perkara basis eksistensi manusia di dalam dunia perburuhan.7

Aspek kedua dari alienasi adalah keterasingan buruh dari tindakan atau aksi produksinya sendiri. Ia menghadapi pekerjaannya sebagai orang asing. Hal ini terjadi karena di dalam melakukan pekerjaannya, buruh menyangkali dirinya sendiri dan tidak memiliki keberadaan esensialnya. Buruh bekerja bukan atas dasar kebebasan dan kesukarelaan, tetapi karena keterpaksaan dan tekanan. Marx mengatakan, “As a result, therefore, the worker no longer feels himself to be freely active in any but his animal functions – eating, drinking, procreating, or at most in his dwelling and in dressing-up, etc; and in his human functions he no longer feels himself to be anything but animal. What is animal becomes human and what is human becomes animal.”8

Selain memperhatikan kedua aspek tersebut, Marx juga menyoroti keberadaan buruh sebagai manusia yang memiliki kebebasan yang selayaknya memperlakukan dirinya sendiri secara aktual, universal, dan kreatif. Manusia berbeda dengan binatang karena manusia melihat tindakan dan pekerjaannya sebagai objek dari kehendak bebas, kreatifitas, dan kesadarannya. Manusia bergerak atas dasar aktivitas

7 Per Manson, “Karl Marx” dalam Heine Andersen & Lars Bo Kasperen (Ed.),

Classical and Modern Social Theory (Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 2000), 20.

(6)

kehidupan yang sadar. Ini yang membedakan tindakan manusia dengan tindakan hewan. Akan tetapi dengan objektifikasi maka buruh teralienasi dari dimensi natural dan spiritual kemanusiaannya. Akhirnya, oleh ketiga aspek alienasi di atas, yakni alienasi dari hasil pekerjaannya, alienasi dari aksi pekerjaannya, dan alienasi dari spesiesnya sebagai manusia, maka lahirlah aspek alienasi keempat, yaitu alienasi sosial, yaitu keterasingan buruh dengan lingkungan sosialnya.9

Dengan demikian alienasi berhubungan dengan hilangnya kontrol terhadap perkembangan manusia oleh kondisi-kondisi material di dalam masyarakat. Pada gilirannya manusia kehilangan eksistensi dan identitasnya, lalu ia berpaling ke agama untuk memperoleh sebuah pemahaman tentang dunia dan mendapatkan pengharapan di tengah keterasingannya.10

Dalam hal inilah agama memberikan gambaran yang keliru tentang realitas. Oleh sebab itu bagi Marx agama adalah sebuah proyeksi dan ilusi.

Marx cenderung membedakan antara agama sebagai superstruktur dan agama sebagai ideologi. Dalam karyanya

German ideology, Marx menguraikan struktur dasar

masyarakat yang terdiri dari kekuatan-kekuatan produksi dan relasi-relasi produksi. Di atas struktur dasar inilah terbangun struktur politik, moralitas, perundang-undangan, hukum, dan agama.11 Di dalam masyarakat dengan struktur kelas-kelas

sosial, ide-ide yang memerintahadalah ide-ide dari kelas yang memerintah. Ide-ide ini menjadi alat manipulasi dan opresi terhadap kelas-kelas yang rendah dalam masyarakat. Ide-ide yang lazim, termasuk agama, memberi legitimasi terhadap kepentingan kelas dominan.12

9Ibid.,75-77.

(7)

Di dalam karyanya Contribution to the Critique of Hegel’s Philosphy of Right, Marx mengatakan bahwa manusia menciptakan agama dan bahwa agama memberi gambaran yang keliru tentang realitas.13 Untuk itu, perjuangan terhadap

agama secara tidak langsung adalah perjuangan melawan dunia yang dilukiskan oleh agama itu sendiri. Agama secara simultan adalah instrumen ketidakadilan yang dipaksakan dan pada saat yang sama adalah juga sikap protes terhadap ketidakadilan. Agama adalah reaksi populer terhadap opresi. Karena itu kritik terhadap agama adalah kritik bagi mereka yang membutuhkan agama.

Marx memiliki pengaruh besar terhadap

perkembangan sosiologi agama. Idenya adalah bahwa agama memenuhi kebutuhan-kebutuhan bagi mereka yang berada pada level terbawah dalam stratifikasi sosial, dan bahwa mereka berkompensasi dengan mencari tujuan-tujuan alternatif di dalam agama. Inilah yang disebut sebagi teori deprivasi.14 Teori ini memiliki pengaruh besar pada studi-studi

tentang agama kelas pekerja dan analisis tentang gerakan keagamaan. Teori Marx dapat dipakai dalam studi-studi tentang bagaimana kelompok-kelompok sosial menggunakan agama untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan mereka dan di dalam analisis-analisis agama yang digunakan sebagai kekuatan yang mendukung kelompok-kelompok tertentu.

1.2.Emile Durkheim: Agama sebagai Integrasi

Kontribusi teori Durkheim terletak pada perhatiannya terhadap basis normatif integrasi sosial, bahaya-bahaya individualisme dan anomi, serta signifikansi kolektivitas. Durkheim berada dalam tradisi sosiologis Perancis yang punya

(8)

perhatian khusus terhadap persoalan disintegrasi sosial dan unitas sosial. Pemahaman bahwa masyarakat membentuk sebuah unitas yang terintegrasi cukup menonjol di Jerman dan Perancis menjelang akhir abad kesembilan belas dan mencapai signifikansinya pada pemikiran Durkheim. Di dalam tradisi ini, masyarakat dipandang sebagai sebuah unitas yang terintegrasi yang dalam beberapa hal bersesuaian dengan suatu organisme hidup. Suatu organisme biologis ditentukan oleh suatu relasi material, sementara masyarakat dipersatukan oleh ikatan-ikatan ide-ide dan unitas sosial. Tradisi ini menunjuk dua tema kunci di dalam tulisan-tulisan Durkheim, yaitu moralitas dan solidaritas sosial.

Selain dari pada faktor-faktor struktural, faktor-faktor moral, seperti agama juga berkontribusi terhadap solidaritas sosial. Inilah yang membawa Durkheim ke ranah sosiologi agama. Dalam bukunya Suicide,15 Durkheim menunjukan

keterhubungan statistik antara angka bunuh diri dengan denominasi keagamaan di beberapa negara Eropa Barat. Negara-negara Protestan di Eropa Barat memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi ketimbang negara-negara Katolik oleh karena gereja-gereja Protestan kurang terintegrasi dibandingkan dengan gereja Katolik. Gereja-gereja Protestan kurang memberikan proteksi terhadap tipe-tipe bunuh diri yang disebabkan oleh suatu level integrasi yang rendah

15Durkheim memilih topik ‘suicide’ karena bagi Durkheim ‘suicide’ belum

(9)

(egoistic suicide) dibanding yang dilakukan oleh gereja Katolik terhadap umatnya.16

Untuk mempelajari agama secara lebih dekat, ia mengkaji agama yang paling primitif dan paling sederhana yang dapat dikenal, dengan perkiraan bahwa agama itu akan mewakili bentuk paling mendasar dari semua agama. The Elementary Forms of the religious Life didasarkan pada studi-studi yang sudah ada tentang kehidupan keagamaan penduduk pribumi Australia. Agama primitif memperlihatkan aspek kemanusiaan yang paling fundamental dan permanen dan dapat menjelaskan hakikat religius manusia.17 Di dasar semua

sistem kepercayaan dan pemujaan Durkheim meyakini adanya sejumlah representasi fundamental dan pola perilaku ritual yang punya makna objektif dan fungsi yang sama di mana dan kapanpun, lepas dari keragaman bentuknya masing-masing. Elemen inilah yang membentuk sesuatu yang abadi dan manusiawi dalam agama.18

Apa yang dimaksud dengan agama? Untuk menjawab pertanyaan ini Durkheim mencatat dua hal. Pertama adalah bahwa upaya mendefinisikan agama harus dimulai dengan membebaskan pikiran dari ide-ide prapemahaman. Artinya, agama-agama harus dipandang dalam kenyataan konkritnya. Kedua adalah bahwa ciri-ciri umum agama harus menjadi

pusat perhatian.19 Semua kepercayaan religius

memperlihatkan satu ciri yang umum, yaitu klasifikasi akan yang profan dengan yang sakral. Durkheim memasukan pada yang sakral itu misalnya kepercayaan, mitos, dogma, legenda. Apa yang menjadi karakteristik yang sakral itu sehingga bisa dibedakan dengan yang profan adalah bahwa yang sakral

16 Ibid., 123-125.

17 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (New York &

London: The Free Press, 1915), 13.

(10)

cenderung memiliki martabat dan kekuatan yang superior ketimbang yang profan dan memiliki sifat absolut.20

Kepercayaan religius pada hakekatnya adalah representasi-representasi yang mengekspresikan keadaan hal-hal yang sakral dan hubungannya dengan hal-hal-hal-hal yang sakral lainnya atau dengan hal-hal yang profan. Kesimpulannya adalah bahwa agama terbentuk ketika sejumlah hal yang sakral memiliki relasi pengawasan dan subordinasi satu dengan yang lainnya dan terbentuk semacam sistem koherensi yang tidak dimiliki oleh sistem lain, maka pada saat itu secara bersama kepercayaan dan ritus-ritus membentuk sebuah agama.21

Dalam hubungan dengan definisi tentang agama, Durkheim menyinggung konsep magis. Dalam beberapa hal magi mempunyai kesamaan dengan agama, misalnya magis juga berisi kepercayaan, ritus, dogma, dan mitos. Akan tetapi Durkheim juga mengingatkan bahwa sering kali agama bermusuhan dengan magis. Lalu bagaimana Durkheim membedakan secara tegas antara agama dengan magis? Jawabnya adalah bahwa agama memiliki kelompok sosial dan komunitas moral tertentu, sedangkan magis tidak, ia lebih bersifat individual. Dengan ini maka secara implisit Durkheim tidak menerima adanya agama personal yang bersifat individual. Durkheim mendefinisikan agama sebagai “a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden – beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church, all those who adhere to them.”22

(11)

1.3.Max Weber: Agama sebagai Legitimasi

Weber memperhatikan tindakan-tindakan keagamaan sebagai sebuah tipe khusus tindakan sosial. Untuk meraih

sebuah pemahaman tentang tindakan sosial, ia

memandangnya dari sudut pandang makna yang dimiliki oleh tindakan itu. Oleh karena itu tindakan keagamaan terorientasi ke tujuan-tujuan yang masuk akal. Ia menginterpretasi tindakan keagamaan dengan memahami motif-motif sang aktor dari sudut pandang subjektif.23

Dalam karyanya The Sociology of Religion Weber menggambarkan agama sebagai suatu sistem sosial yang berakar pada abstraksi dan rasionalisasi pemahaman-pemahaman keagamaan. Peta pemikirannya tentang agama dimulai dari persoalan bagaimana agama itu mengambil tempat di dalam struktur sosial. Dalam hal ini terdapat dua issu penting, yakni abstraksi dan rasionalisasi. Proses abstraksi terjadi di dalam instansi-instansi perilaku kegamaan yang paling primitif, yaitu ketika mulai terbentuk pemahaman bahwa di belakang aktivitas objek-objek natural, artifak-artifak, binatang-binatang, dan orang-orang terdapat sesuatu yang tidak dapat ditentukan, tidak dapat dilihat, bersifat non personal, tetapi memiliki pengaruh yang kuat terhadap kenyataan. Sesuatu ini dapat masuk ke dalam sebuah objek yang konkrit sehingga objek tersebut memiliki kualitas tertentu. Sesuatu itu disebutnya spirit dan kualitas tertentu itu disebutnya charisma.24 Jadi agama muncul sebagai hasil

abstraksi dan rasionalisasi manusia terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya.

Tema yang konsisten di dalam karya-karya Weber adalah untuk mendefinisikan dan menjelaskan ciri-ciri

23Furseth, An Introduction to the Sociology…, 36.

24 Max Weber, The Sociology of Religion, translated by Ephraim Fischoff

(12)

istimewa peradaban Barat. The Protestant Ethic dapat dianggap sebagai pengantar untuk tema ini. Di dalam karya ini Weber menentukan suatu interelasi ide-ide keagamaan dengan tingkah laku ekonomi. Tesisnya adalah bahwa ide-ide Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme.25

Kontras dengan Durkheim, yang memandang agama sebagai sebuah ekspresi kesadaran dari keseluruhan masyarakat, Weber berpikir bahwa ide-ide dapat memiliki fungsi-fungsi integratif bagi sebuah kelompok. Namun demikian, ia membuat pokok yang sama dengan Marx tentang hal itu ketika menegaskan bahwa ada sebuah keterhubungan antara konten dari suatu ideologi dengan posisi sosial dari kelompok yang mengusungnya. Tetapi keterhubungan ini tidak bersifat deterministik. Kontras dengan Marx, Weber berpikir bahwa satu ideologi tidak selalu terbatas terhadap anggota-anggota dari satu stratum sosial saja. Juga, semua anggota dari satu stratum sosial tidak akan menjadi anggota dari satu agama yang sama.

2. Gerakan Keagamaan sebagai Tipe Gerakan Sosial

Para sosiolog klasik tersebut di atas memandang agama sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat. Pemikiran mereka membawa pada pemahaman bahwa dinamika keagamaan adalah bagian dari fenomena sosial. Oleh sebab itu gerakan-gerakan keagamaan dapat dipandang sebagai tipe khusus gerakan-gerakan sosial.

Penelitian tentang gerakan-gerakan keagamaan tidak hanya signifikan secara normatif, tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah meneliti kebutuhan-kebutuhan sosialnya, gaya-gaya dan tingkat kesadaran sosialnya,

25 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated by

(13)

konsekwensi disrupsi sosial dan patron-patron responsif terhadapnya. Itu berarti gerakan-gerakan keagamaan harus dianggap sebagai sebuah pola aksi sosial yang terstimulasi oleh interpretasi-interpretasi keagamaan terhadap proses-proses perubahan sosial kontemporer.26 Teori-teori terkini

tentang gerakan-gerakan keagamaan didasarkan pada konsep-konsep tindakan sosial, perilaku kolektif dan gerakan sosial. Para sosiolog yang tertarik dengan gerakan-gerakan keagamaan memikirkan persoalan bagaimana gagasan-gagasan, individu-individu, kejadian-kejadian, dan organisasi-organisasi telah terhubung satu sama lain dalam sebuah proses tindakan kolektif. Isu-isu utama yang diperhatikan adalah hubungan antara perubahan-perubahan struktural dan transformasi dalam patron-patron konflik sosial, peran representasi kultural dalam konflik sosial, proses yang di dalamnya nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan gagasan-gagasan berkembang menjadi tindakan kolektif, dan konteks sosial, politik, kultural yang memfasilitasi keberhasilan gerakan-gerakan keagamaan baru.27

Dengan meluasnya issu yang diusung oleh gerakan-gerakan keagamaan, dari isu konflik antara kelas dalam masyarakat kapitalis hingga isu kesetaraan gender, hak-hak sipil bagi kelompok minoritas, kebebasan beragama, isue rasial, dan lingkungan hidup, maka dirasakan pendekatan terhadap gerakan-gerakan kegamaan tidak cukup hanya dengan mengandalkan model Marxist dan model struktural-fungsionalis.28 Model ini mengandaikan suatu hubungan

kausal yang linier di mana ketegangan-ketegangan struktural

26 Bryan Wilson, Magic and the Millenium: A Sociological Study of Religious

Movements (New York : Harper & Row Publisher, 1973), 1.

27 Bryan Wilson & Jamie Cresswell (Ed.), New Religious Movements:

Challenge and Response (London & New York: Routledge, 1999), 1-12.

28 Donatella Della Porta dan Mario Diani, Social Movements: An Introduction

(14)

akan dapat menghasilkan ketidaknyamanan psikologis yang pada gilirannya menghasilkan tindakan kolektif. Ragam ketegangan dalam kehidupan sosial memunculkan tingkat ambiquitas normatif dan sosial tentang bagaimana harusnya menanggapi keadaan dan kondisi sosial yang berubah.29 Dalam

hal ini gerakan-gerakan keagamaan dapat dilihat sebagai mekanisme pelarian diri dari orang-orang yang merasa terasing dan tidak berdaya menghadapi berbagai perubahan sosial dan yang melaluinya individu-individu merasa berdaya dan bersatu kembali. Singkatnya, gerakan-gerakan keagamaan tidak lain dari pada mekanisme-mekanisme untuk mengatasi ketidaknyamanan psikologis yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan struktural.

Pendekatan struktural-fungionalis ini kemudian dilengkapi oleh pendekatan teori mobilisasi sumber daya yang memandang gerakan-gerakan keagamaan sebagai tindakan rasional dan manifestasi tindakan kolektif yang terorganisasi. Dengan pendekatan ini sumber daya dan struktur-struktur mobilisasi, seperti organisasi-organisasi gerakan yang normal dipandang perlu untuk menciptakan ketidakpuasan kolektif.30

Gerakan-gerakan keagamaan sebagai tipe yang khas dari gerakan sosial kemudian dipandang sebagai suatu pernyataan yang terorganisasi dan terstruktur melalui mekanisme-mekanisme mobilisasi sumber daya strategis bagi tindakan kolektif yang berlanjut. Berdasarkan nuansa ini maka perspektif teoritis yang hendak menjadi sorotan di sini adalah bagaimana melihat komponen-komponen utama gerakan keagamaan sebagai salah satu tipe khas dari gerakan-gerakan sosial.

29Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam, diterjemahkan oleh Tim

Penterjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina, 2012), 43.

(15)

2.1.Tindakan Sosial sebagai Komponen Perilaku Kolektif

Menurut Talcott Parsons, secara logis sebuah tindakan melibatkan seorang agen atau aktor, sebuah tujuan ke mana tindakan itu diarahkan, sebuah situasi yang mencakup ketentuan dan sarana untuk tindakan, serta seperangkat norma yang mengarahkan tindakan tersebut.31 Pemikiran ini

mensyaratkan sebuah proses tindakan, pilihan-pilihan aktor yang berkenaan dengan tujuan dan cara pencapaian, subjektifitas, dan situasi. Konsepsi ini bersumber dari pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial. Menurut Weber tindakan sosial dapat berorientasi ke masa lalu, masa kini, dan masa depan. Suatu tindakan bersifat sosial apabila tindakan itu diarahkan kepada perilaku orang lain. Maka berdasarkan orientasinya Weber mencirikan empat tipe tindakan sosial. Pertama adalah tindakan sosial yang secara instrumental berorientasi rasional yang ditentukan oleh ekspektasi-ekspektasi yang digunakan sebagai kondisi-kondisi atau cara-cara untuk meraih tujuan akhir yang telah diperhitungkan sebelumnya oleh sang aktor. Kedua adalah tindakan sosial yang berorientasi nilai yang ditentukan oleh keyakinan yang sadar tehadap nilai etika, keindahan, dan agama. Ketiga adalah tindakan sosial yang berorientasi afektif emosional yang ditentukan oleh kondisi perasaan aktor. Keempat adalah tindakan sosial tradisional yang ditentukan oleh kebiasaan.32

Neil Smelser di dalam bangunan teorinya tentang perilaku kolektif mengembangkan konsep tindakan sosial dari Max Weber dan Talcott Parsons. Smelser sepaham bahwa teori tindakan sosial memandang perilaku organisme hidup sebagai

31 Talcott Parsons, The Structure of Social Action (Illinois: The Free Press,

1949), 44 – 47.

32 Max Weber, Economy and Society (Berkeley: Univ. of California Press,

(16)

tindakan yang berorientasi pada pencapaian harapan dan tujuan dengan cara mengeluarkan tenaga yang secara normatif diregulasi. Ia juga menyebut empat hal yang berkaitan dengan tindakan sosial, yaitu bahwa tindakan sosial selalu diarahkan pada pencapaian tujuan atau harapan, terjadi di dalam situasi sosial, bersifat normatif – regulatif, dan melibatkan upaya dan motivasi.33 Akan tetapi menurut Smelser konsepsi Weber dan

Parson didasarkan pada sudut pandang aktor, sehingga pada level abstraksi, individu-individu diperlakukan sebagai suatu sistem utama dan penting. Menurutnya, konseptualisasi dengan perspektif ini tidak dapat dipakai untuk memahami perilaku kolektif. Oleh sebab itu ia menerapkan konsepsi tindakan sosial terhadap sistem tindakan sosial yang melibatkan dua aktor atau lebih. Smelser menggiring analisis tindakan sosial pada level interaksi antara aktor dalam sebuah sistem sosial.34 Ia kemudian memperhatikan peran-peran dan

organisasi-organisasi sosial lalu menyatakan bahwa kalau tindakan sosial hendak dikaji secara sosiologis, maka level sistem sosial merupakan sebuah keniscayaan.

Berdasarkan perspektif ini, Smelser menyebut empat komponen utama tindakan sosial. Komponen pertama adalah nilai-nilai (values) yang akan memberikan panduan terhadap perilaku sosial yang disengaja. Nilai-nilai ini adalah komponen yang paling umum dari tindakan sosial dan dapat ditemukan dalam sebuah sistem nilai dengan terma-terma umum yang menyatakan tujuan akhir atau kondisi akhir yang diharapkan. Komponen kedua adalah aturan-aturan regulatif (norms) yang mengatur pencapaian tujuan-tujuan perilaku sosial. Norma-norma adalah aturan yang mewakili penegasan penerapan nilai-nilai umum. Ia dapat ditemukan di dalam struktur

33 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press,

1962), 23.

(17)

institusional yang resmi. Norma-norma bersifat lebih spesifik ketimbang nilai-nilai, karena norma menentukan prinsip-prinsip regulatif yang perlu jika akan mewujudkan nilai-nilai yang ada. Norma-norma adalah cara di mana pola nilai budaya dari sebuah sistem sosial diintegrasikan ke dalam aksi atau tindakan yang konkrit dari unit-unitnya dalam interaksi mereka satu sama lain. Komponen ketiga adalah mobilisasi individu untuk meraih nilai-nilai sebagai tujuan tindakan sosial berdasarkan norma-norma atau aturan-aturan regulatif. Komponen ini berkaitan dengan persoalan siapa yang akan menjadi agen di dalam mencapai atau mewujudkan tujuan akhir atau nilai-hilai yang diharapkan, bagaimana tindakan dari agen-agen ini akan disusun ke dalam peran-peran yang terstruktur dan terorganisir, dan bagaimana mereka dihargai atas partisipasinya di dalam peran dan organisasinya. Para sosiolog menyebut peran ini sebagai peran organisasi sosial atau struktur sosial. Komponen yang keempat adalah ketersediaan fasilitas situasional yang dipakai oleh aktor sebagai cara untuk ketiga hal di atas, yang mencakup pengetahuan akan lingkungan, kemampuan memperkirakan akibat dari tindakan, dan alat-alat serta ketrampilan. Komponen ini melibatkan cara-cara dan halangan-halangan yang memfasilitasi atau menghalangi pencapaian tujuan-tujuan konkrit di dalam konteks peran dan konteks organisasi. Komponen ini merujuk pada pengetahuan aktor akan kesempatan dan keterbatasan yang ada di lingkungannya dan dalam beberapa hal pengetahuan aktor akan kemampuannya sendiri untuk mempengaruhi lingkungannya.35

Berdasarkan perspektif konseptual tersebut, maka pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam setiap analisis terhadap instansi tindakan sosial dalam gerakan keagamaan

(18)

adalah apa yang menjadi nilai-nilai yang melegitimasi tindakan sosial tersebut pada level yang paling umum, oleh jenis norma-norma apa tindakan sosial itu terkordinasikan, di dalam cara apa tindakan sosial itu tersusun ke dalam peran-peran dan organisasi-organisasi, dan jenis fasilitas situasional apa yang tersedia bagi ketiga komponen sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian ditempatkan dalam kerangka berpikir “when strain is exerted on one or more of these components, and when established ways of relieving the strain are not available, various kinds of collective outbursts and movements tend to arise.”36 Hubungan antara

komponen-komponen tindakan sosial harus dipahami secara hirarkis. Artinya, perubahan nilai akan membawa perubahan pada norma, organisasi, dan fasilitas. Perubahan norma akan mengakibatkan perubahan pada definisi organisasi dan fasilitas. Perubahan organisasi akan mengakibatkan perubahan pada definisi fasilitas.37 Itu berarti perubahan

bersifat top down, bukan bottom up. Artinya, apabila ketegangan muncul maka komponen-komponen tindakan sosial akan menjadi out of order dan memerlukan perbaikan. Pertanyaannya adalah bagaimana ketegangan itu diatasi dan bagaimana tindakan sosial diperbaiki. Sehubungan dengan persoalan ini maka prinsip umum untuk menyusun kembali tindakan sosial adalah bila ketegangan muncul maka perhatian harus digeser ke level tindakan sosial yang lebih tinggi untuk mencari sumber daya dalam mengatasi suatu ketegangan. Dengan kata lain, ketika ketegangan muncul, yang terjadi pada tindakan sosial adalah bahwa upaya-upaya dibuat untuk bergerak ke komponen pada level yang lebih tinggi, menyusunnya kembali, kemudian menggabungkan kembali

(19)

prinsip-prinsip yang baru tersebut ke level tindakan sosial yang lebih konkrit dan operatif. Inilah prinsip dekonstruksi dan rekonstruksi tindakan sosial.38

Komponen-komponen tindakan sosial menyediakan kerangka teoritis yang umum untuk memahami isu-isu elusif dari perilaku kolektif, misalnya apa jenis ketegangan struktural yang memunculkan adanya perbedaan tipe perilaku kolektif, di jalur mana respon perilaku kolektif terhadap ketegangan struktural ini mengalir, apa tipe-tipe utama perilaku kolektif dan bagaimana mereka terhubung satu sama lain, serta bagaimana kontrol sosial mempengaruhi perkembangan perilaku kolektif.39 Dengan demikian dalam

pandangan Smelser gerakan sosial dapat muncul apabila ada ketegangan-ketegangan struktural di dalam masyarakat yang berkaitan dengan nilai atau norma dan ketegangan-ketegangan tersebut tidak dapat diatasi oleh struktur sosial yang ada. Dalam hal inilah pada umumnya gerakan-gerakan sosial berorientasi pada perubahan sosial.

2.2.Perilaku Kolektif sebagai Komponen Gerakan Sosial

Sosiologi pada umumnya menghubungkan perilaku kolektif atau tindakan kolektif dengan respon-respon massif yang terwujud di dalam ragam gerakan sosial untuk sebuah perubahan sosial. Menurut Nicholas Abercrombie konsep perilaku kolektif pertama kali muncul dalam teori kerumunan dari G. Le Bon di tahun 1895. Pemikirannya yang utama adalah bahwa ketika terjadi gejolak sosial maka masyarakat akan terancam oleh aturan kerumunan. Pada saat itu mentalitas individual akan dikuasai oleh mentalitas kolektif sehingga

(20)

secara radikal perilaku individual akan ditransformasi menjadi perilaku kolektif.40

Konsepsi awal perilaku kolektif sebagai tindakan rasional tersebut kemudian dikembangkan dengan lengkap oleh Neil Smelser. Ia mendefinisikan perilaku kolektif sebagai suatu mobilisasi sosial yang berbasiskan kepercayaan dalam rangka mengartikan kembali tindakan sosial.41 Itu berarti

perilaku kolektif bersangkutan dengan redefinisi kolektif terhadap suatu keadaan yang tidak terstruktur. Ia berbeda dengan perilaku konfensional sebab perilaku konfensional merupakan hasil dari harapan-harapan yang sudah mapan.42

Berdasarkan definisi ini Smelser menyebutkan bahwa perilaku kolektif dipandu oleh ragam jenis kepercayaan, pengkajian terhadap situasi, harapan-harapan, dan keinginan-keinginan. Kepercayaan-kepercayaan yang dimaksudkan oleh Smelser mencakup kepercayaan akan eksistensi kekuatan-kekuatan luar biasa (extraordinary forces).

Teori perilaku kolektif Smelser dibangun di atas dua konstruksi, yaitu konstruksi komponen-komponen tindakan sosial dan konstruksi proses pertambahan nilai. Yang pertama adalah bahasa yang dipakai Smelser untuk menggambarkan dan mengelompokan tindakan sosial, sedangkan yang kedua adalah cara untuk mengatur faktor-faktor penentu di dalam model-model eskplanasi.

Smelser mengatakan bahwa menurut logika

pendekatan pertambahan nilai, peristiwa atau situasi apapun demi menjadi sebuah faktor penentu dari suatu episode kolektif, maka ia harus terjadi di dalam batas-batas yang dibuat oleh faktor-faktor penentu yang lain. Dalam bentuknya

40 Nicholas Abercrombie (et.al.), Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2010), 92.

(21)

yang paling sederhana pendekatan ini melibatkan klaim bahwa terdapat keseragaman rangkaian empiris tertentu di dalam perkembangan sebuah episode perilaku kolektif. Di dalam proses pertambahan nilai ini ia membedakan antara

occurrence atau existence dari suatu peristiwa atau situasi dengan activation dari peristiwa atau situasi itu sebagai satu faktor penentu. Logika pertambahan nilai menyatakan secara tidak langsung suatu rangkaian aktivasi temporal dari faktor-faktor yang menentukan. Akan tetapi semua faktor-faktor penentu ini mungkin telah ada selama suatu periode yang tidak tentu sebelum terjadinya aktivasi. Logika inilah yang menentukan penjelasan dari sebuah episode perilaku kolektif. Singkatnya, logika pertambahan nilai menempatkan sebuah rangkaian tertentu bagi aktivasi faktor-faktor penentu, tetapi tidak menempatkan sebuah rangkaian tertentu bagi pembentukan secara empirik peristiwa-peristiwa atau situasi-situasi. Menurut Smelser, peristiwa atau situasi empiris tertentu mungkin menjadi penting sebagi faktor penentu perilaku kolektif. Krisis finansial yang hebat misalnya akan menciptakan deprivasi ekonomi yang meluas dan ketegangan struktural sehingga dapat mencetuskan satu letupan sosial. Perpecahan keagamaan yang berlangsung lama, akan membuat frustrasi setiap kelompok. Di bawah kondisi-kondisi ketegangan struktural seperti ini, faktor-faktor penentu laten dapat diaktifkan untuk memberi kontribusi bagi sebuah ledakan kolektif.43

Pemikiran Smelser yang relevan di sini adalah bahwa perilaku kolektif dapat dikelompokkan dan dianalisis di bawah kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku sosial, dan bahwa bentuk-bentuk perilaku kolektif merupakan sebuah serial yang bertingkat mulai dari yang sederhana

(22)

sampai yang kompleks. Bentuk-bentuk yang lebih kompleks akan mencakup lebih banyak komponen ketimbang bentuk-bentuk yang lebih sederhana.

Orang-orang yang berada di bawah situasi atau kondisi ketegangan dapat memobilisir sumber daya mereka untuk menyusun kembali tata sosial atas nama sebuah keyakinan umum.44 Artinya, gerakan-gerakan sosial menjadi jalan

rasional yang diambil oleh sekelompok orang yang menginginkan terjadinya perubahan sosial. Memang proposisi ini sangat umum dan tidak cukup menolong untuk menafsirkan data-data aktual ragam perilaku kolektif dalam gerakan-gerakan sosial. Maka untuk membuatnya lebih spesifik perlu diidentifikasi sejumlah keyakinan umum yang berbeda dan kemudian dipertanyakan di bawah kondisi apa orang akan mengembangkan keyakinan itu dan bertindak di atasnya. Misalnya gerakan keagaman berorientasi nilai, di bawah kondisi kondusifitas apa orang-orang akan mengembangkan nilai-nilai agama dan bertindak di atasnya? Pertanyaan inilah yang membuat proposisi utama Smelser dapat diimplikasikan secara metodologis untuk memahami tipe-tipe, level-level, dan kualitas-kualitas perilaku kolektif di dalam masyarakat.

Perilaku kolektif memiliki empat komponen utama, yaitu nilai-nilai (values) sebagai sumber daya umum bagi legitimasi tindakan sosial, norma-norma (norms) sebagai patokan regulatif (regulatory standard) dalam berinteraksi, pengerahan (mobilization) motivasi individu untuk tindakan yang terorganisir di dalam peran-peran dan kolektifitas-kolektifitas, fasilitas-fasilitas situasional (situational facilities) seperti informasi atau pengetahuan, ketrampilan, peralatan, dan hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan yang

(23)

konkret.45 Berdasarkan keempat komponen ini dapat

dibedakan empat tipologi perilaku kolektif dan gerakan sosial. Tipologi pertama adalah gerakan berorientasi nilai (the value-oriented movement) sebagai tindakan kolektif yang dimobilisir atas nama sebuah keyakinan yang digeneralisasi (generalized belief) dalam rangka menyusun kembali kembali nilai-nilai dalam tindakan sosial. Kedua adalah gerakan berorientasi norma (the norm-oriented movement) sebagai tindakan kolektif yang dikerahkan untuk menyusun kembali norma-norma dalam tindakan sosial. Ketiga adalah ledakan tindakan permusuhan (the hostile outburst) sebagai tindakan kolektif yang dikerahkan untuk meminta tanggung jawab para aktor sosial atas keadaan yang tidak diinginkan. Yang keempat adalah panik (the craze and panic) sebagai bentuk-bentuk perilaku kolektif yang didasarkan pada redefinisi fasilitas situasional bersama.46 Gerakan keagamaan adalah fenomena

perilaku kolektif berorientasi nilai yang berupaya untuk merestorasi, memproteksi, memodifikasi, atau menciptakan nilai-nilai demi sebuah keyakinan yang digeneralisir. Keyakinan seperti itu melibatkan semua komponen tindakan sosial dan mengharapkan rekonstitusi nilai-nilai, redefinisi norma-norma, reorganisasi motivasi-motivasi individual, dan redefinisi fasilitas-fasilitas situasional.47

Perilaku kolektif merupakan sebuah mobilisasi tindakan sosial yang terinstitusionalisasi demi memodifikasi ketegangan-ketegangan struktural berdasarkan suatu

generalized constitution dari sebuah komponen tindakan sosial. Secara historis perilaku kolektif sering diasosiasikan dengan proses reorganisasi struktural komponen-komponen tindakan sosial. Episode perilaku kolektif sering merupakan

(24)

tahap awal dari perubahan sosial yang terjadi ketika kondisi-kondisi ketegangan telah muncul, sementara sumber daya sosial belum dimobilisir untuk pemecahan atau penanganan yang efektif terhadap sumber-sumber ketegangan tersebut.

Di dalam konteks transformasi kebudayaan sebagai akibat proses globalisasi, Alberto Melluci mengembangkan juga konsep dan teori perilaku kolektif yang disebutnya sebagai tindakan kolektif (collective action).48 Berbeda dengan

Smelser yang membangun teori perilaku kolektif di atas dua konstruksi dasar yaitu konstruksi tindakan sosial dan konstruksi pertambahan nilai, Melluci lebih memperhatikan konstruksi identitas kolektif di tengah transformasi budaya yang sangat luar biasa dalam masyarakat kontemporer. Perkembangan yang impresif di bidang teknologi komunikasi telah menciptakan sebuah sistem media sedunia. Salah satu akibatnya adalah terjadinya konfrontasi resiprokal yang massif pada kebudayaan-kebudayaan manusia. Di sinilah dimensi-dimensi kebudayaan tindakan manusia menjadi sumber daya inti untuk produksi dan konsumsi.

Melluci melihat studi gerakan-gerakan sosial selalu terbagi oleh warisan dualistik analisis struktural, yaitu analisis pra kondisi untuk tindakan kolektif dan analisis motivasi-motivasi individual. Akan tetapi eksplanasi-eksplanasinya tidak pernah dapat mengatasi kesenjangan antara perilaku dan makna, antara kondisi-kondisi objektif dengan motif-motif subjektif dan orientasi-orientasi. Eksplanasi-eksplanasi dari analisis struktural tidak pernah dapat menjawab persoalan tentang bagaimana aktor-aktor sosial membentuk sebuah kolektivitas dan mengakui bahwa diri mereka sendiri adalah bagian dari kolektivitas itu; bagaimana mereka merawat diri

48 Alberto Melluci, Challenging Codes, Collective Action in the Information

(25)

mereka sendiri dari waktu ke waktu; bagaimana tindakan bersama dapat dimengerti oleh para partisipan di dalam sebuah gerakan sosial; atau bagaimana makna tindakan kolektif datang dari prakondisi-prakondisi struktural atau dari puncak motif-motif individual.49

Kecenderungan baru gerakan sosial dalam masyarakat dewasa ini adalah terjadinya pergeseran fokus dari issu kelas dan ras ke issu-issu kebudayaan. Konflik-konflik sosial dan aksi-aksi protes yang muncul di dalam masyarakat tidak terekspresi melalui aksi politik saja, melainkan juga dalam bentuk tantangan-tantangan kultural terhadap bahasa-bahasa dominan, terhadap kode-kode yang mengatur informasi dan membentuk praktek sosial. Dimensi-dimensi krusial kehidupan sehari-hari, seperti waktu, ruang, relasi interpersonal, identitas individu dan kelompok, terseret di dalam konflik-konflik masyarakat. Sementara itu aktor-aktor baru telah mengklaim otonomi mereka dalam memahami kehidupan mereka.50 Di sinilah issu identitas dan tindakan

kolektif muncul dalam bentuk gerakan-gerakan sosial dan kebudayaan.

Melluci menggambarkan masyarakat-masyarakat

kontemporer sebagai sistem-sistem yang sangat

terdiferensiasi, yang menginvestasi penciptaan pusat-pusat tindakan swatantra individual dan pada saat yang sama menuntut integrasi yang lebih dekat dan perluasan kontrol atas motif-motif tindakan manusia. Dalam pandangannya, gerakan-gerakan sosial mencoba menentang campur tangan otoritas mapan di dalam kehidupan sosial. Baginya, gerakan-gerakan sosial memberi kesempatan kepada orang-orang

49Alberto Melluci, “The Process of Collective Identity” dalam Hank Johnston

and Bert Klandermans (Ed.), Social Movements and Culture (Minnesota: The Univ. Minnesota Press, 1995), 42.

(26)

untuk memperoleh kembali hak-hak individual dalam mendefinisikan identitas mereka dan menentukan kehidupan pribadi sehingga manipulasi sistem yang omnipresent dan komprehensif dapat dihindari.51 Oleh karena itu

gerakan-gerakan sosial kontemporer tidak membatasi diri mereka hanya untuk memperoleh hal-hal yang material, tetapi menantang pemahaman-pemahaman politik yang difusif di dalam masyarakat. Aktor-aktor tidak mengharapkan intervensi otoritas mapan untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan, tetapi bertahan terhadap ekspansi intervensi

ideologis di dalam kehidupan sehari-hari dan

mempertahankan otonomi personal.

Melluci memahami tindakan kolektif sebagai hasil dari sesuatu yang memiliki tujuan, sumber daya, dan keterbatasan; sebagai sebuah orientasi yang memiliki maksud tertentu dan yang dikonstruksi oleh cara-cara relasi-relasi sosial di dalam sebuah sistem oportunitas dan ketidakleluasaan. Itulah sebabnya tindakan kolektif tidak dapat dipandang hanya sebagai efek prakondisi-prakondisi struktural ataupun ekspresi nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Individu-individu yang bertindak secara kolektif mengkonstruksi tindakan mereka berdasarkan investasi-investasi yang terorganisir, atau dalam terma-terma kognitif, mereka menentukan the field of possibilities dan ketidakleluasaan yang mereka rasakan, sementara pada saat yang sama mereka mengaktifkan relasi-relasi mereka sehingga memberi arti terhadap keberadaan bersama mereka dan untuk tujuan-tujuan yang mereka kejar.52

Dalam hal inilah menurut Melluci, unitas sebuah gerakan sosial atau gerakan keagamaan harus dipandang

51 Porta, Social Movements…,9.

(27)

sebagai sebuah hasil ketimbang sebuah titik berangkat, sebuah fakta yang perlu dijelaskan ketimbang sebuah evidence. Peristiwa-peristiwa di mana sejumlah individu bertindak secara kolektif mengkombinasikan perbedaan orientasi-orientasi yang melibatkan aktor-aktor dari banyak bagian dan melibatkan sebuah sistem opportunitas serta kendala yang membentuk relasi-relasi mereka. Aktor-aktor memproduksi tindakan kolektif karena mereka dapat mendefinisikan diri mereka sendiri dan hubungan-hubungan mereka dengan suatu lingkungan. Definisi yang dikonstruksi oleh aktor-aktor ini tidak bersifat linear tetapi diproduksi oleh interaksi, negosiasi, dan oposisi dari orientasi-orientasi yang berbeda.

Individu-individu atau sub-sub kelompok

berkontribusi pada formasi kekitaan dengan memberikan tiga aturan orientasi umum, yakni hal-hal yang berhubungan dengan akhir tindakan, hal-hal yang berhubungan dengan cara-cara, upaya, atau sarana, posibilitas dan batasan-batasan tindakan, dan hal-hal yang berhubungan dengan relasi-relasi dengan lingkungan atau bidang di mana tindakan terjadi. Melluci menyebut identitas kolektif ini sebagai proses konstruksi sistem tindakan.53 Dengan demikian identitas

kolektif adalah sebuah definisi interaktif dan bersama yang dibuat oleh beberapa individu atau kelompok dan dengan memperhatikan orientasi-orientasi tindakan dan bidang oportunitas dan ketegangan di mana suatu tindakan terjadi.

Sehubungan dengan itu Melluci menekankan beberapa hal. Pertama, identitas kolektif sebagai sebuah proses sangat terkait dengan definisi-definisi kognitif mengenai tujuan-tujuan, cara-cara, dan bidang tindakan. Elemen-elemen tindakan kolektif yang berbeda ini didefinisikan dalam sebuah bahasa yang dimiliki bersama oleh sebagian atau keseluruhan

(28)
(29)

dan rasa memiliki, yang dengannya aktor-aktor dapat menghubungkan efek-efek tindakan-tindakan mereka terhadap mereka sendiri. Ketiga, identitas kolektif

memerlukan kemampuan aktor untuk melihat atau

mempersepsikan durasi yang memampukan aktor-aktor untuk membuat relasi antara masa lalu dan masa datang serta untuk mengikat tindakan pada efek-efeknya.54

Tindakan kolektif adalah sebuah proses belajar menuju formasi dan pemeliharaan aktor-aktor empiris yang disatukan. Inilah esensi gerakan sosial dalam pemahaman Melluci. Saat melewati berbagai tingkat, aktor-aktor kolektif mengembangkan sebuah kapasitas untuk memecahkan masalah-masalah yang datang dari lingkungannya dan secara meningkat menjadi aksi yang indipenden dan otonom. Oleh karena itu menurut Melluci proses tindakan kolektif adalah juga kemampuan untuk menghasilkan definisi baru dengan mengintegrasikan masa lalu dan memunculkan elemen-elemen dari masa sekarang ke dalam satu unitas dan kontinuitas aktor kolektif.55

Kerangka teori Melluci dengan konsepsi identitas dan tindakan kolektif dalam konteks transformasi budaya menjadi penting untuk melengkapi konstruksi teori Smelser dengan pendekatan struktur sosialnya. Kolaborasi ini relevan seiring terjadinya pergeseran ke arah persoalan-persoalan baru tentang bagaimana orang memahami dunia mereka, bagaimana orang menghubungkan diri dengan teks-teks, praktek-praktek, dan artefak-artefak sehingga produk-produk kultural memiliki makna yang relevan dan aktual.

Arah pemikiran ini memunculkan pengakuan bahwa pendekatan-pendekatan terhadap studi gerakan-gerakan

(30)

keagamaan telah memodifikasi posisi metodologisnya. Pusat perhatian tidak saja diberikan pada ketegangan-ketegangan struktural yang ada di dalam masyarakat, tetapi pada saat yang sama diberikan juga pada aktor-aktor. Karakteristik inovatif dari gerakan-gerakan sosial tidak saja terletak pada redefinisi diri dalam hubungan dengan sistem produksi tetapi juga pada redefinisi diri dalam hubungan dengan identitas kultural.

2.3.Gerakan Keagamaan sebagai Gerakan Sosial Berorientasi Nilai

Dengan pendekatan struktural fungsionalis yang berakar pada tradisi Marxist, seperti yang dilakukan oleh Smelser dan pendekatan budaya seperti yang dilakukan oleh Melluci, gerakan-gerakan sosial dapat dilihat sekaligus sebagai

side-effects dari ketegangan-ketegangan struktural dan transformasi sosial yang sangat cepat. Di dalam sebuah sistem yang dibuat dari subsistem-subsistem yang seimbang, perilaku kolektif sebagai komponen utama gerakan sosial menyatakan ketegangan-ketegangan yang tidak dapat diabsorsi oleh mekanisme keseimbangan relasi dan struktur sosial dalam jangka waktu singkat. Di saat terjadinya transformasi-transformasi yang berskala besar dan cepat, kemunculan gerakan-gerakan sosial memiliki makna ganda. Pada satu sisi gerakan-gerakan sosial merefleksikan ketidakmampuan lembaga-lembaga dan mekanisme kontrol sosial untuk mereproduksi kohesi sosial. Di pihak lain gerakan-gerakan sosial menjadi upaya masyarakat untuk menanggapi situasi-situasi krisis dengan jalan mengembangkan kepercayaan bersama sebagai dasar-dasar solidaritas.56 Oleh karena itu

gerakan sosial dapat didefinisikan sebagai sebagai

(31)

tindakan kolektif yang rasional, bertujuan, dan terorganisasi. Tindakan kolektif yang menjadi komponen dasar suatu gerakan sosial datang dari sebuah kalkulasi untung rugi yang dipengaruhi oleh adanya sumber-sumber daya, khususnya oleh organisasi dan oleh interaksi-interaksi yang strategis. Dalam suatu situasi historis di mana perasaan-perasaan gelisah, perbedaan opini, konflik kepentingan, dan ideologi yang bertentangan selalu hadir, munculnya tindakan kolektif tidak dapat dijelaskan secara sederhana sebagai yang disebabkan oleh elemen-elemen psikologis. Kita juga harus mempelajari kondisi-kondisi sosial dan kebudayaan yang memampukan perasaan tidak senang tertransformasi ke dalam mobilisasi.

Menurut Sztompka tindakan atau perilaku kolektif sebagai komponen utama di dalam konsep atau definisi gerakan sosial bertujuan untuk terjadinya perubahan di dalam masyarakat.57 Berdasarkan hal tersebut gerakan sosial dapat

diartikan sebagai tindakan kolektif yang diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat mereka.58 Definisi ini sejalan

dengan konsepsi-konsepsi tindakan sosial dan perilaku kolektif dalam konteks struktur sosial dan transformasi kebudayaan. Itu berarti gerakan-gerakan sosial menekankan ciri-ciri yang sama, yaitu selalu melibatkan perilaku kolektif dan adanya keterkaitan dengan perubahan sosial.

Untuk dapat menghasilkan perubahan sosial, gerakan sosial perlu mendapat dukungan dari faktor-faktor lain. Gerakan sosial tidak muncul dalam kevakuman, tetapi muncul di dalam waktu historis tertentu, terkait dengan proses sosial dan berupaya memengaruhi jalannya sejarah. Berkaitan

57 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, diterjemahkan oleh

Alimandan (Jakarta: Prenada, 1993), 323.

(32)

dengan tempat terjadinya perubahan sosial yang diakibatkan oleh gerakan sosial, Sztompka mengatakan bahwa sebagian besar perubahan yang dihasilkan oleh gerakan sosial adalah adalah perubahan internal dan eksternal. Perubahan internal menyangkut proses asal usul gerakan sosial, mobilisasi tindakan, dan pengembangan struktur gerakan. Sedangkan perubahan eksternal menyangkut pengaruh gerakan terhadap struktur sosial dan kultural masyarakatnya.59

Gerakan-gerakan sosial akan sangat menonjol di saat dan di dalam masyarakat yang mengalami perubahan sosial dan transformasi budaya yang cepat. Berdasarkan pemahaman ini Sztompka menyebut gerakan sosial sebagai bagian sentral dari modernitas. Modernisasi dengan urbanisasi dan industrialisasinya telah mengakibatkan kepadatan penduduk di sebuah kawasan sempit dan menimbulkan kepadatan moral penduduk yang besar. Modernitas mengakibatkan atomisasi dan isolasi individu dalam relasi-relasi yang bersifat impersonal. Orang-orang

yang mengalami keterasingan, kesepian dan

penjungkirbalikan nilai kemudian mendambakan komunitas, solidaritas, dan kebersamaan. Hal ini ditemukan dalam keanggotaan pada sebuah gerakan sosial. Modernitas melahirkan ketimpangan sosial dan menimbulkan pengalaman eksploitasi, penindasan, dan ketidakadilan, yang semuanya menjadi bibit-bibit permusuhan dan konflik antar kelompok. Modernitas dengan transformasi demokratisnya membuka peluang bagi tindakan kolektif massa rakyat.60 Jadi, perubahan

struktur sosial dan kultural yang diakibatkan oleh modernisasi menjadi faktor-faktor pendukung bagi munculnya ragam gerakan sosial di dalam masyarakat modern. Pemikiran ini

(33)

merangkul konsepsi Smelser tentang perilaku kolektif yang terkondisikan oleh ketegangan-ketegangan struktural yang ada dalam masyarakat dan konsepsi Melluci tentang transformasi budaya yang mengakibatkan resistensi identitas kultural.

Dalam konsepsi Smelser tentang perilaku kolektif terdapat dua tipe gerakan sosial, yaitu gerakan gerakan berorientasi norma dan gerakan berorientasi nilai. Pembedaan ini didasarkan pada komponen-komponen dasar tindakan sosial dan perilaku kolektif. Gerakan berorientasi Norma (the Norm-oriented Movement) bertujuan untuk merestorasi, memproteksi, memodifikasi, atau menciptakan norma-norma sosial. Ia menuntut sebuah peraturan, hukum, agen regulasi yang disusun untuk mengawasi perilaku individu-individu yang tidak efektif, tidak memadai, dan tidak bertanggung jawab.61 Sementara gerakan berorientasi nilai (the Value-oriented Movement) mengharapkan terjadinya modifikasi konseptual tentang alam, tempat manusia di dalamnya, relasi manusia dengan sesamanya, dan relasi manusia dengan lingkungan alamnya. Tidak jarang ia terasosiasi dengan pembentukan kultus yang memisahkan diri dari induk organisasi keagamaan atau politik. Oleh sebab itu pada umumnya gerakan-gerakan keagamaan baru masuk dalam tipe gerakan ini. Berdasarkan sifat-sifat itu maka karakter utama dari gerakan berorientasi nilai adalah mobilisasi tindakan demi mewujudkan sebuah regenerasi diri dan masyarakat yang menduduki sebuah tempat di dalam struktur kepercayaan internal. 62 Kedua tipe ini berangkat dari

komponen tindakan sosial dan perilaku kolektif yang berbeda, tetapi keduanya melibatkan kepercayaan yang memiliki

(34)

hubungan erat satu sama lain dan dapat dilihat sebagai upaya untuk menyusun kembali komponen-komponen tindakan sosial.

Gerakan berorientasi nilai adalah sebuah upaya kolektif untuk merestorasi, memproteksi, memodifikasi, atau menciptakan nilai-nilai demi sebuah kepercayaan umum.63

Kepercayaan seperti itu perlu melibatkan semua komponen tindakan, yaitu rekonstitusi nilai-nilai, redefinisi norma, reorganisasi motivasi individu, dan redefinisi fasilitas situasional.

Kepercayaan-kepercayaan berorientasi nilai dapat terbentuk oleh item-item kultural pribumi, atau item-item yang diimport dari luar budaya, atau yang paling sering adalah terbentuk oleh sinkretisme. Kepercayaan-kepercayaan seperti itu melibatkan restorasi nilai-nilai masa lampau, pelestarian nilai-nilai terkini, penciptaan nilai-nilai baru untuk masa depan, atau percampuran dari hal-hal yang disebutkan tadi.64

Gerakan berorientasi nilai keagamaan menekankan beberapa klasifikasi, seperti gerakan keagamaan pesimistik, gerakan keagamaan perfeksionis, gerakan keagamaan legalistik, gerakan keagamaan egosentrik, dan gerakan keagamaan esoterik.

Berdasarkan kontruksi pertambahan nilai, mekanisme munculnya gerakan-gerakan keagamaan akan dimulai ketika agama menjadi kepentingan dominan. Ini adalah pernyataan yang sederhana tetapi kuat tegas tentang dimensi utama kondusifitas struktural, yaitu suatu jenjang di mana sebuah sistem nilai terdeferensiasi dari komponen-komponen tindakan yang lain. Ketika nilai tidak terdeferensiasi dari norma, maka melanggar norma berarti melibatkan

(35)

penyimpangan terhadap nilai umum. Oleh hal ini ketidakpuasan-ketidakpuasan yang spesifik dengan aransemen-aransemen sosial apapun pada akhirnya akan menjadi protes keagamaan, atau secara lebih umum, protes terhadap nilai-nilai.65 Di dalam sebuah seting teokratis

misalnya, keberatan terhadap gaya-gaya artistik dan arsitektur menjadi persoalan moral dan teologis, ketimbang persoalan cita rasa semata. Di bawah kondisi seperti itu kritisisme estetik tidak terdiferensiasi dari penghinaan moral. Oleh sebab itu harus ada sebuah diferensiasi antara agama dan ideology, antara nilai-nilai ultimate dan cara-cara yang diusulkan di mana nilai-nilai itu dapat diaktifkan. Di dalam masyarakat tradisional tidak ada diskriminasi seperti ini. Perbedaan opini tentang kebijakan sosial dipandang sebagai perbedaan dalam komitmen keagamaan. Inovator-inovator sosial dipandang sebagai heresy keagamaan. Akan tetapi dalam masyarakat modern ada sebuah diferensiasi antara level agama dan level ideology sosial yang melahirkan fleksibilitas yang lebih luas bagi kedua level itu. Oleh karena itu ketika suatu pandangan dunia bersifat keagamaan, maka protes terhadap dunia selalu menjadi terdefinisi di dalam terma-terma keagamaan.

Jika sebuah situasi sosial didefinisikan seluruhnya di dalam terma-terma orientasi nilai, maka setiap protes niscaya adalah orientasi nilai. Namun demikian jenis kondusifitas ini tidak pernah ada dalam bentuk yang murni. Kondisi-kondisi kondusivitas lain menentukan juga mengapa sebuah gerakan berorientasi nilai muncul, dan bukan tipe ledakan sosial yang lain. Di antara yang paling penting dari kondisi-kondisi ini adalah ketersediaan cara untuk mengekspresikan protes atau permusuhan di antara sebuah populasi yang menderita oleh karena suatu ketegangan. Banyak gerakan keagamaan muncul

(36)

dari kelas-kelas sosial yang rendah yang telah dicegah masuk ke dalam proses sosialisasi.

Gerakan-gerakan sosial berorientasi nilai akan muncul ketika cara-cara alternatif untuk menyusun kembali situasi sosial dilihat dan dirasakan tidak tersedia. Ketidaktersediaan ini memiliki tiga aspek utama. Pertama, suatu kelompok yang merasa diperlakukan kurang adil (aggrieved) tidak memiliki fasilitas untuk dapat menyusun kembali suatu situasi sosial. Kelompok seperti itu menduduki kesejahteraan, kekuasaan, dan harga diri yang rendah, atau ketiadaan akses terhadap alat-alat komunikasi. Kedua, suatu kelompok yang merasa diperlakukan kurang adil dilarang atau dicegah untuk mengekspresikan rasa dan sikap ketidakpuasan mereka terhadap orang-orang atau kelompok yang dianggap bertanggung jawab terhadap suatu gangguan keadaan. Ketiga, kelompok yang merasa diperlakukan kurang adil tidak dapat memodifikasi struktur normatif dan tidak dapat mempengaruhi mereka yang memiliki kuasa untuk melakukan hal itu.66

Persoalan selanjutnya yang menjadi perhatian adalah adanya sekumpulan kepercayaan berorientasi nilai yang di dalamnya semua fokus ketegangan dapat ditafsirkan dan adanya seorang pemimpin yang muncul untuk menjadi simbol kumpulan kepercayaan itu. Jika kepercayaan berorientasi nilai tidak mengkristal, maka respon terhadap ketegangan tidak akan bersifat kolektif, sebab kelompok yang merasa dirugikan tidak memiliki sebuah definisi umum bersama akan suatu situasi. Ketiadaan suatu keyakinan umum hanya akan melahirkan aksi protes yang segmentis, bukan sebuah gerakan berorientasi nilai yang terkordinasi dan kolektif.67

(37)

Setelah melihat konsepsi gerakan sosial dari perspektif struktur sosial, perlu dilihat juga konsepsi gerakan sosial dalam perspektif analisis kultural yang secara implisit terdapat dalam karya Manuel Castells, The Power of Identity.

Castells berangkat dari konsep tentang identitas dan lebih fokus pada identitas kolektif ketimbang identitas individual. Berdasarkan konsep itu Castells melihat gerakan-gerakan keagamaan sebagai komune-komune yang berbasis pada apa yang disebutnya resistance identity yang bereaksi terhadap proses perubahan sosial dari masyarakat industri ke masyarakat jejaring (network society).68 Castells membuat

analisis korelatif tentang Globalisasi, informasionalisasi, dan gerakan-gerakan sosial dengan mengedepankan tiga catatan metodologis yang dianggapnya penting. Pertama, gerakan-gerakan sosial harus dipahami di dalam terma-terma mereka sendiri, sebab praktek-praktek mereka adalah definisi diri mereka juga. Dalam hal ini menurutnya adalah penting untuk membuat hubungan antara gerakan-gerakan, sebagaimana yang terdefinisikan oleh praktek mereka sendiri, nilai-nilai mereka, wacana-wacana mereka, dan proses-proses sosial yang dengannya mereka terasosiasi, contohnya globalisasi, informasionaliasi, krisis demokrasi representatif, dan dominasi politik simbolik dalam ruang media. Dalam analisisnya, Castells mencoba membuat tiga operasi, yaitu pertama, karakterisasi dari setiap gerakan yang berkenaan dengan dinamika spesifiknya sendiri dan interaksinya dengan proses-proses yang lebih luas yang menimbulkan eksistensinya. Kedua, gerakan-gerakan sosial secara sosial dapat bersifat konservatif atau revolusioner, atau keduanya, atau tidak keduanya. Dari perspektif analitikal, tidak ada

68 Manuel Castells, The Power of Identity (Malden MA: Blackwell Publishing,

(38)

gerakan-gerakan sosial yang buruk dan baik, semuanya merupakan symptom masyarakat kontemporer dan semuanya berdampak pada struktur sosial dengan intensitas dan hasil yang bervarian yang harus ditetapkan melalui penelitian. Gerakan-gerakan sosial itu dapat dipandang sebagai tanda-tanda adanya konflik-konflik sosial baru dan munculnya embrio-embrio resitensi sosial. Ketiga, gerakan-gerakan sosial keagamaan dalam masyarakat kontemporer seharusnya dikategorikan berkenaan dengan tipologi klasik dari Allan Touraine yang mendefinsikan gerakan sosial dengan tiga prinsip, yaitu identitas gerakan, musuh gerakan, visi gerakan atau model sosial gerakan atau societal goal dalam istilah Castells sendiri. Menurutnya identitas menunjuk pada definisi diri suatu gerakan tentang siapa dia dan atas nama siapa ia berbicara. Musuh gerakan menunjuk pada musuh-musuh utama gerakan, sebagaimana secara tegas diidentifikasi oleh gerakan itu sendiri. Visi gerakan menunjuk pada jenis tatanan sosial atau organisasi sosial yang ingin diraihnya lewat tindakan kolektifnya di dalam horison sejarah.69

Mengkaji gerakan-gerakan sosial berarti berarti memusatkan perhatian terutama pada persoalan bagaimana ide-ide, individu-individu, event-event, dan organisasi-organisasi terhubung satu sama lain di dalam proses-proses tindakan kolektif.70 Persoalan utama dalam kajian itu adalah

bagaimana ide-ide, individu-individu, kejadian-kejadian, dan organisasi-organisasi terhubung satu sama lain di dalam proses-proses aksi kolektif yang lebih besar. Oleh sebab itu ada empat rumpun persoalan yang harus dijelaskan. Pertama, persoalan-persoalan yang berkenaan dengan hubungan antara perubahan struktural dengan transformasi-transformasi di

69Ibid.,74.

(39)

dalam patron-patron konflik sosial. Pertanyaan-pertanyaannya adalah dapatkah kita melihat gerakan-gerakan sosial sebagai ekspresi-ekspresi konflik? Apakah telah ada perubahan-perubahan di dalam konflik-konflik utama yang ditangani oleh gerakan-gerakan sosial? Pertanyaan ini sejalan dengan pendekatan fungsional struktural Smelser. Kedua, persoalan-persoalan yang terkait dengan peran representasi-representasi kultural di dalam konflik sosial. Pertanyaan-pertanyaannya adalah bagaimana problem-problem sosial teridentifikasi sebagai objek-objek potensial dari aksi kolektif? Bagaimana aktor-aktor sosial tertentu dapat mengembangkan perasaan komunalitas dan mengidentifikasikan diri dengan kolektivitas subjektif yang sama? Bagaimana peristiwa-peristiwa protes yang spesifik dapat dirasakan sebagai bagian dari suatu konflik yang sama? Dari manakah budaya-budaya dan nilai-nilai gerakan sosial berasal? Pertanyaan-pertanyaan ini sejalan dengan pendekatan identitas kolektif Alberto Melluci. Ketiga, persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses yang olehnya nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan ide-ide beralih menjadi aksi kolektif.

Pertanyaan-pertanyaannya adalah bagaimana mungkin untuk

(40)

mempengaruhi kesempatan-kesempatan keberhasilan gerakan-gerakan sosial dan format-format yang diambilnya.71

Akibat dari proses-proses konfergensi dalam masyarakat global ini, identitas-identitas lokal terkuras habis. Apa yang kelihatan sekarang adalah munculnya resistensi identitas yang kuat, yang mempertahankan diri dan kehidupannya di dalam komune-komune kultural yang sering dianggap sebagai daerah yang paling aman dan yang menolak untuk dibilas bersih oleh arus-arus global dan individualisme radikal. Orang-orang membangun komune-komune mereka di sekitar nilai-nilai tradisional tentang Tuhan, bangsa, dan keluarga, serta mencari tempat yang aman di balik lambang-lambang etnis dan defensif teritorial.72 Dalam hal munculnya

ragam gerakan sosial keagamaan di dalam masyarakat kontemporer, apa yang menjadi isu kunci adalah bubarnya

legitimizing identity, menguatnya resistance identity dan dimulainya project identity. Apabila proses ini bergerak secara melingkar atau spiral, maka projek identity itu sendiri akan menjadi legitimizing identity yang baru di dalam masyarakat sipil yang baru. Dalam hal ini Castells tidak menjadi preskriptif atau profetis, tetapi ia mencoba mengelaborasi hasil-hasil sementara dari observasinya tentang gerakan-gerakan sosial dan proses-proses politik. Itu berarti, project identities tidak muncul dari identitas-identitas sebelumnya dari masyarakat sipil di era industry, tetapi hasil perkembangan resistance identity. Pertanyaannya kemudian, bagaimana projects identity

dapat muncul dari resistence identity? Dalam beberapa kasus sebuah gerakan sosial yang dibangun di sekitar identitas resistensial keagamaan dan kultural tidak berarti bahwa ia akan selalu berkembang ke arah bangunan project identity.

71Ibid.,6.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun Peraturan Daerah yang bernuansa Syariat Islam di antaranya adalah Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat (diundangkan tertanggal

Selain itu terjadi penurunan fungsi dari cholinesterase suatu enzim yang berfungsi untuk memecah agen anestesikum sehingga zat anestesikum yang tidak dapat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada faktor belajar dari segi eksternal telah diidentifikasi pada mata pelajaran teknologi mekanik dan yang paling terhambat

Pokja Pekerjaan Konstruksi pokja pada SKPD04 akan melaksanakan Pelelangan Umum Ulang dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara elektronik sebagai berikut :4.

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

[r]

[r]

Hasil tersebut menunjukkan adanya perubahan tekanan darah sistole dan diastole pada para responden setelah diberikan kombinasi mendengarkan musik gamelan laras pelog dan