• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB VI"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

225

DAN REKONSTRUKSI IDENTITAS

Di dalam bagian awal disertasi ini telah disebutkan bahwa fokus penelitian berada pada tiga variable, yaitu mekanisme kemunculan dan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan, rasionalitas tindakan sosial para aktor kolektif, dan kepercayaan serta nilai-nilai fundamental yang menjadi elemen dasar perilaku kolektifnya. Ketiga variable ini telah menjadi deskripsi yang lengkap dalam bab sebelumnya. Apa yang perlu disajikan dalam bab ini adalah analisis terhadap kondisi objektif tersebut berdasarkan landasan konseptual dan kerangka teoritis dalam bab kedua dan bab ketiga serta dengan memperhitungkan konteks historis yang telah dipaparkan dalam bab keempat. Dengan cara demikian maka diharapkan ketiga variable yang menjadi fokus penelitian dan ketiga permasalahan penelitian akan terklarifikasi dalam bentuk eksplanasi sistematis dan konklusif.

1. Agama Sebagai Tipe Khusus Tindakan Sosial

(2)

berpaling ke agama untuk memperoleh sebuah pengakuan akan martabat mereka sebagai manusia dan mendapatkan pengharapan di tengah keterasingannya. Dalam hal inilah agama memberikan gambaran yang keliru tentang realitas. Oleh sebab itu bagi Marx agama adalah sebuah proyeksi dan ilusi.1

Berdasarkan pemikiran Marx tersebut maka

pertanyaannya adalah apakah semangat dan ragam

pengalaman keagamaan orang-orang Kele’i adalah ilusi semata. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan terlebih dahulu apakah orang-orang di Kele’i mengalami alienasi dan kehilangan kontrol terhadap kehidupan mereka sendiri? Sejarah konflik di Poso yang telah dimulai sejak zaman pendudukan Jepang, masa pergolakan politik, hingga konflik sosial beberapa tahun yang lalu menunjukan bahwa orang-orang Poso asli pada umumnya dan orang-orang Kele’i pada khususnya selalu berada dalam posisi defensif menghadapi ekspansi kekuatan-kekuatan sosial, kultural, dan politik yang datang dari luar. Interaksi antara orang-orang asli Poso dengan kelompok pendatang berkembang secara tidak seimbang karena kondisi-kondisi material dan struktur sosial yang dikuasai oleh kelompok pendatang. Keadaan ini oleh George Junus Aditjondro disebut sebagai keterpurukan komunitas-komunitas pribumi, khususnya orang Pamona, orang Lore, dan orang Mori yang merupakan penduduk asli pedalaman Sulawesi Tengah dan yang pada umumnya merupakan anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah.2

1 Inger Furseth. An Introduction to the Sociology of Religion (Burlington USA:

Ashgate Publishing Limited, 2006), 29-32.

2 Lih. Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso (Yogyakarta: PBHI,

(3)

Selama periode orde baru, komunitas-komunitas pribumi Tanah Poso mengalami proses pemiskinandan marjinalisasi secara beruntun, karena berbagai faktor. Pertama, melunturnya ketaatan pada hak ulayat mereka

menyebabkan banyak tanah

komunitas-komunitas pribumi bergeser pemilikannya ke tangan pendatang. Kedua, perubahan orientasi dari petani ke pegawai-pegawai negeri maupun pegawai gereja mendorong para orang tua pribumi menjual tanah-tanah mereka… demi membiayai pendidikan anak-anak mereka… Ketiga, pembangunan ruas jalan Trans-Sulawesi memperderas arus migrasi dari Sulawesi Selatan ke Tanah Poso, yang pada gilirannya mempercepat pengalihan tanah penduduk asli ke para pendatang dari Sulawesi Selatan.3

Apakah keadaan ini menyebabkan alienasi pada orang-orang Poso? Menurut Marx alienasi memiliki empat aspek, yaitu alienasi dari hasil karyanya sendiri, alienasi dari aksi pekerjaannya, alienasi dari spesiesnya, dan alienasi dari lingkungan sosialnya. Keempat aspek alienasi ini dikondisikan oleh adanya relasi antara kerja dengan kapital sebagai engsel yang memungkinkan seluruh sistem masyarakat dapat

berputar.4 Konstruksi fundamental masyarakat ini

menempatkan sekelompok orang pada strata sosial yang tertekan karena termarginalisasi olehkelompok lain yang mendominasi dan menguasai struktur sosial. Lebih dari pada itu mereka tereksploitasi oleh kekuatan material sehingga eksistensi dan fungsi mereka sebagi manusia terdevaluasi.

Konstruksi sosial ini berbeda dengan kondisi sosial di Poso pada umumnya dan di Kele’i pada khususnya.

3 Ibid., xxi-xxii.

4 Frederik Engels. Tentang Kapital Marx. Diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen

(4)

Masyarakat ini terbentuk oleh tenunan-tenunan kultural (cultural fabrics) melalui proses historis yang sarat dengan ekspansi kebudayaan, agama, dan konflik-konflik politik.

Perang antar suku, perjuangan memperoleh dan

mempertahankan kemerdekaan, pergolakan politik

kedaerahan, dan kerusuhan serta konflik sosial yang terjadi beruntun, secara berlapis membentuk Poso menjadi sebuah masyarakat yang lebih bersifat politis. Kedatangan, perkembangan, dan perjumpaan Islam dengan Kekristenan di Poso yang masing-masing telah berakulturasi dengan kebudayaan lokal dan kepercayaan asli memberi identitas kepada masyarakat politis ini sehingga karakter sosial kulturalnya terkonstruksi dengan jelas. Oleh sebab itu masyarakat Poso secara umum lebih merupakan sebuah konfigurasi kultural dengan elemen-elemen politik dan teritorialnya masing-masing. Masyarakat yang mendiami daerah pesisir pantai di sepanjang teluk Tomini pada umumnya adalah para pendatang terkemudian yang memeluk agama Islam dan bermata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang. Sedangkan masyarakat yang mendiami daerah pedalaman adalah penduduk asli, memeluk agama Kristen, dan bermata pencaharian sebagai petani. Keadaan ini melahirkan kesadaran-kesadaran subjektif dalam pertarungan politik. Penduduk pedalaman menganggap diri mereka sebagai penduduk asli dan memandang penduduk pesisir sebagai pendatang. Di pihak lain penduduk beragama Islam

memandang agama Kristen sebagai agama warisan

(5)

saja bukan konflik antar kelas seperti dalam masyarakat kapitalis. Konflik ini lebih tepat dilihat sebagai konflik kultural dan politik. Apabila dalam masyarakat kapitalis engsel sistem masyarakat bersumbu pada kondisi-kondisi material, maka dalam masyarakat Poso seluruh interaksi dan struktur sosial dibangun di atas kondisi-kondisi kultural dan politik. Secara kultural masyarakat hidup di dalam komunitas-komunitasnya masing-masing. Akan tetapi secara politis, relasi-relasi kekuasaan mengikat mereka menjadi satu masyarakat yang bersifat organis. Dengan kata lain, apa yang membuat masyarakat yang memiliki perbedaan kultural ini menjadi satu adalah konsensus mereka untuk hidup di bawah sebuah sistem politik yang sama. Ketika sistem politik ini berjalan tidak seimbang dan terdominasi oleh kelompok-kelompok budaya niaga kaum urban di pesisir teluk Tomini, maka muncul ketegangan dalam interaksi dan struktur sosialnya. Itulah sebabnya kalau kerangka analisis Marxis tetap akan dipakai untuk memahami relasi-relasi konflik antar aktor-aktor kolektif maka fokus analisis harus digeser dari relasi-relasi kekuatan produksi di tempat kerja ke relasi-relasi-relasi-relasi kultural di atas panggung pertarungan politik. Dengan cara pandang demikian maka agama berfungsi memberikan identitas kepada kelompok-kelompok masyarakat dan menjadi basis bagi mobilisasi perilaku kolektif dalam konteks persaingan dan pertarungan budaya. Bagi orang-orang Poso dan Kele’i agama bukan konsep-konsep abstrak tentang realitas ideal yang memanipulasi pengalaman sosial mereka. Sebaliknya, melalui agama orang-orang Poso menghadirkan identitas dan resistensi mereka dalam menghadapi ekspansi budaya yang datang dan menguasai struktur sosial di Poso.

(6)

yang dilihat oleh aktor dalam dunia eksternal. Aktor yang dimaksudkan di sini dapat merupakan seorang individu, sebuah komunitas, sebuah organisasi, wilayah, masyarakat total, bahkan sebuah peradaban.5 Tindakan selalu terjadi dalam sebuah keadaan. Lingkungan aktor secara individual terdiri dari lingkungan fisik, organisme biologis aktor sendiri dan aktor-aktor lain, objek-objek kultural dan simbolik. Tindakan dan interaksi antar aktor membentuk tenunan sosial (social fabrics) dan kepadatan moral (moral density) yang mensyaratkan makna, nilai, serta norma yang akan memandu aktor dalam orientasi tindakan dan interaksinya. Inilah yang disebut oleh Peter Berger sebagai proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dalam dialektika formasi masyarakat.

Agama dalam konteks masyarakat Poso adalah bagian dari proses dan fenomena dialektika. Ia terpelihara dalam masyarakat Poso karena keberadaan orang-orang Poso sebagai bagian dari realitas kultural yang tersusun secara politis. Ia berkembang secara teritorial dari individu-individu yang bertindak secara kolektif untuk mengkonstruksi dunia mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman dengan alam dan konflik politik bernuansa kultural. Islam menjadi agama kaum nelayan dan para pedagang yang tinggal di pesisir pantai. Kekristenan menjadi agama para petani yang tinggal di pedalaman dan yang masih kental dengan artefak-artefak kultural lokal. Orang-orang Poso Pamona sebagai mayoritas penduduk pedalaman mengartikulasikan konsepsi-konsepsi kekristenan dalam item-item kultural seperti ritual mompaho

atau penanaman padi dan mopadungku atau pesta panen serta mengembangkan sejenis agama rural agraris yang dinamistik.

5 Talcott Parson, The Structure of Social Action (Illinois: The Free Press,

(7)

Sementara suku-suku pendatang terkemudian di daerah pesisir mengartikulasikan konsepsi-konsepsi Islam dalam item-item politik seperti ideologi dan kekuasan negara serta mengembangkan sejenis agama urban yang politis. Di sini kita bersinggungan dengan konsepsi Max Weber tentang agama sebagai suatu sistem sosial yang berakar pada abstraksi dan rasionalisasi manusia terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya.6

Dalam perspektif Weber, tindakan-tindakan

keagamaan jemaat Eli Salom Kele’i, terutama pada tataran aktor, baik aktor individual maupun kelompok, seperti peribadatan setiap malam, doa dan puasa, penggalangan dana dan pembangunan rumah ibadah, serta ragam bahasa anti kekerasan yang berbasis kepercayaan mistisisme dan nilai-nilai kultural yang diinterpretasi secara teologis, semuanya adalah tipe khusus tindakan sosial. Dari sudut pandang makna yang dikandung oleh tindakan-tindakan itu, terkandung ekspektasi-ekspektasi historis, yaitu harapan akan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik di Poso, setelah sebelumnya kehidupan masyarakat di sana diobrak abrik oleh sentimen-sentimen kultural, politik, dan bahasa-bahasa kekerasan yang muncul akibat ekspansi agama dan benturan dua sistem sosial yang telah disebutkan di atas. Sementara itu pada level interaksi antara aktor dalam sebuah sistem sosial, kita

menemukan nilai-nilai mombetubunaka atau saling

menghormati dan nilai mosintuwu atau saling menghidupkan sebagai komponen tindakan sosial dan perilaku kolektif yang memberikan alternatif terhadap perilaku sosial masyarakat. Dengan cara pandang seperti ini maka mobilisasi semua sumber daya Jemaat Eli Salom Kele’i dapat diartikan sebagai aktualisasi kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka

(8)

dalam menghadapi ekspansi budaya dan sistem sosial yang didominasi oleh kultur urban niaga serta sistem politik yang didominasi oleh penduduk pesisir. Di lain sisi, itu merupakan juga satu aksi kolektif berorientasi nilai yang bertarung melawan ketidakpastian makna tindakan sosial yang diproduksi oleh masyarakat pasca konflik. Dengan memakai perspektif teoritis Alain Touranie, dapat dikatakan bahwa gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i merupakan sebuah geliat orang-orang Poso sebagai kelompok sosial yang terdevaluasi untuk mengatur kembali produksi sistem makna yang sebelumnya didominasi oleh kekuatan-kekuatan kultural ekspansif. 7

Masyarakat Poso sebagai hasil proses dialetika telah menghasilkan tenunan sistem sosial yang terdiferensiasi secara kultural. Konfigurasi kultural dalam sebuah sistem sosial politik seperti ini menciptakan ragam legitimasi tindakan sosial sehingga pada saat yang sama meminta integrasi dan perluasan kontrol atas motif-motif tindakan manusia. Dalam konteks inilah agama dalam morfologi mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i yang menekankan pengalaman-pengalaman mistik di luar obligasi organisasi dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari model analisis Emile Durkheim yang memperhatikan bagaimana sumbangan agama dalam meletakan basis normatif bagi integrasi sosial, peran agama dalam mengatasi bahaya-bahaya individualisme dan anomie, serta signifikansi kolektivitas dalam sebuah masyarakat yang sedang mengalami perubahan struktural. Model ini menunjukan bahwa masyarakat Kele’I sebagai representasi komunitas rural yang agraris menjadikan fenomena gerakan Jemaat Eli Salom sebagai mekanisme

7 Donatella Della Porta & Mario Diani, Social Movements (Malden MA:

(9)
(10)

Dalam kerangka pemikiran Troeltsch, keberadaan Jemaat Eli Salom Kele’i dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk perkembangan sosiologis agama yang disebutnya sebagai mistisisme.8 Namun demikian, berbeda dengan Troeltsch yang memandang tipe mistisisme ini sebagai reaksi terhadap formalitas dan kemandegan kehidupan keagamaan, pengalaman dan perilaku keagamaan Jemaat Eli Salom Kele’i yang bersifat mistikal tidak semata-mata merupakan respon terhadap keadaan gereja, tetapi yang terutama adalah reaksi terhadap keadaan sosial di Poso yang bersifat anomi. Dalam hal ini, kritik Bryan Wilson terhadap penerapan tipologi Troeltsch di luar konteks Christendom dapat dipahami.

Menurut Wilson mistisisme sebagai sebuah gerakan

keagamaan harus dianggap signifikan bukan hanya sebagai gerakan inovasi keagamaan, tetapi yang lebih penting lagi

adalah ekspresi kebutuhan-kebutuhan sosial, tingkat

kesadaran sosial, konsekuensi-konsekuensi disrupsi sosial dan patron-patron responsif terhadapnya.9 Itu berarti signifikansi sosiologis mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i terletak pada tindakan-tindakan sosial mereka yang terstimulasi oleh interpretasi mistikal terhadap proses perubahan sosial di Poso. Mistisisme sepeti inilah yang masuk dalam kategori mistisisme tindakan sosial. Elemen-elemen mistik dalam kehidupan keagamaan Jemaat Eli Salom Kele’i seperti kepercayaan pada mimpi-mimpi, penglihatan-penglihatan, dan ragam pengalaman keagamaan yang bersifat langsung dan batiniah serta praktek-praktek purifikasi batin, rehabilitasi dan rekonsiliasi sosial, persekutuan doa di tengah malam, puasa di hari-hari tertentu, dan sikap anti kekerasan dapat

8 Ernts Troeltsch, The Social Teaching of the Christian Churches V.2 (Chicago:

The Univ. of Chicago Press, 1981), 993.

9 Bryan Wilson, Magic and Millenium: A Sosiological Study of Religious

(11)

dipandang sebagai ekspresi kesadaran akan matra sosial agama. Oleh sebab itu ragam pengalaman dan praktek mistisisme mereka dapat juga dipandang sebagai upaya untuk menghadirkan resistensi mereka dalam menghadapi masalah-masalah sosial di Poso.

2. Mekanisme Kemunculan Jemaat Eli Salom Kele’i

Setiap masyarakat niscaya memiliki empat komponen dasar, yaitu interaksi sosial, struktur sosial, lokasi geografis, dan lokasi temporal. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.

Struktur sosial mencakup lembaga-lembaga sosial,

kebudayaan dan agama, kekuasaan dan wewenang, serta stratifikasi sosial. Dari uraian historis di dalam Bab IV dan V nampak bahwa Poso adalah sebuah masyarakat yang terbentuk pada peralihan abad sembilan belas ke abad dua puluh di sebuah daerah di Sulawesi Tengah. Melalui proses sejarah peperangan antar suku, ekspansi budaya dan agama, pergolakan politik di era kemerdekaan, dan sampai pada reformasi politik pasca Orde Baru, Poso terbentuk menjadi sebuah masyarakat dengan interaksi dan struktur sosialnya sendiri. Pada tahun 1998 – 2003 terjadi perubahan sosial yang sangat cepat di Poso akibat kerusuhan dan konflik antar kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat di kabupaten Poso, Kele’i ikut menjadi bagian dari konflik tersebut. Sejumlah anggota masyarakat Kele’i ikut dalam bentrokan bersenjata. Setelah konflik berakhir,

emosi-emosi negatif, sentimen-sentimen sosial, dan ragam

(12)

Tatanan nilai dan norma sosial yang telah terbangun melalui proses sejarah yang panjang tergerus oleh keadaan tersebut di atas.

Berdasarkan kondisi objektif tersebut maka analisis

untuk menemukan faktor-faktor sosiologis yang

mengkondisikan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i harus diarahkan pada komponen-komponen struktur sosial yang ada. Pertama adalah ketegangan struktural. Ekspansi kebudayaan dan agama pada peralihan abad sembilan belas ke abad dua puluh di Poso10, pergeseran-pergeseran demografi melalui program transmigrasi di era Suharto11, politik agama di era Reformasi, ketersediaan infra struktur transportasi lintas Sulawesi, masuknya investasi asing untuk pengolahan sumber daya alam, dan migrasi penduduk dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tengah mengubah Poso dari masyarakat yang homogen tradisional menjadi masyarakat yang heterogen dan urban. Keadaan ini mencapai momentum yang signifikan pada dasawarsa terakhir abad dua puluh. Wilayah Poso menjadi tempat pertemuan kelompok-kelompok sosial dengan identitas kultural dan agamanya masing-masing. Konfigurasi sosial, budaya, dan agama ini kemudian mulai bersitegang ketika masyarakat Poso terlibat dalam persaingan dan perebutan kekuasaan politik pemerintahan lokal seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Kedua adalah termarginalnya

10 Kebudayaan Islam dari Ternate, Bugis Makasar, Gorontalo, dan Jawa

bertemu dengan Kebudayaan Kristen dari Maluku dan Minahasa. Lihat kembali Sejarah Perjumpaan Islam Kristen di Poso: Bab 4 Pasal 4.

11 Poso merupakan salah satu wilayah dengan kepadatan penduduk yang

sangat rendah di zaman Soeharto. Sampai dengan tahun 2000 tingkat kepadatan penduduk hanya mencapai 32/km2. Bandingkan dengan angka kepadatan penduduk

rata-rata di Indonesia 106/km2. Oleh sebab itu sejumlah besar transmigran asal Jawa,

(13)

nilai-nilai budaya dan adat istiadat penduduk asli Poso. Ekspansi budaya melalui kedatangan kelompok-kelompok sosial dari tempat lain membuat budaya dan adat istiadat Poso kehilangan pengaruh dalam kehidupan sosial politik. Keadaan ini didukung oleh peralihan hak kepemilikan tanah dalam jumlah yang besar dari penduduk asli kepada pendatang dan investor, termasuk di dalamnya hak-hak ulayat penduduk asli terhadap tanah Poso.12 Ketegangan struktural ini berkembang menjadi konflik sosial yang terbuka pada tahun 1998 sampai dengan 2005. Interaksi sosial lintas budaya dan agama kemudian membeku dan masyarakat hidup di dalam kelompok-kelompoknya dengan sentimen-sentimen sosial kultural yang kuat.

Perubahan sosial dan ketegangan struktural ini mengakibatkan marginalisasi dan alienasi bagi orang-orang Poso. Mereka mengalami keterpinggiran dan keterasingan dari keterlibatan aktif di bidang kebijakan publik karena dominasi kelompok pendatang yang menguasai struktur sosial. Mereka menyaksikan penjungkirbalikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat mereka di tanah kelahiran mereka sendiri. Keadaan ini kemudian melahirkan ketimpangan sosial dan kemudian menimbulkan pengalaman dan kesan eksploitasi, penindasan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak-hak adat bagi penduduk asli di Poso yang kemudian berkembang menjadi konflik sosial terbuka antara penduduk pedalaman dan penduduk pesisir di Poso. Inilah yang memicu perilaku kolektif dan membuka peluang bagi lahirnya sebuah gerakan sosial yang berbasiskan kepercayaan fundamental. Pertanyaannya adalah apa dan dari mana mereka mendapatkan kepercayaan fundamental itu untuk melakukan mobilisasi perilaku kolektif demi perubahan sosial yang mereka inginkan. Pertanyaan inilah yang

(14)

membawa kita pada sebuah temuan yang penting dan menarik, yaitu fungsi sosial pengalaman mistik keagamaan. Apakah itu kebetulan atau tidak, seorang anak bernama Marliana Pulanga menceritakan pengalaman keagamaannya yang bersifat mistik dan otentik, yang tidak terlibat dengan formalisme keagamaan saat itu. Pengalaman keagamaan itu, ketika disampaikan kepada masyarakat umum, segera diterima dan dipercayai oleh sejumlah orang dan menjadikan pengalaman itu sebagai pokok kepercayaan yang fundamental serta menjadi sumber nilai bagi tindakan sosial dan perilaku kolektif mereka. Fakta ini menunjukan dua hal, pertama ketegangan struktural sebagai faktor sosiologis yang utama dalam memunculkan sebuah gerakan sosial keagamaan membutuhkan faktor pencetus dan basis mobilisasi perilaku kolektif. Dalam konteks Jemaat Eli Salom Kele’i, faktor pencetus dan basis mobilisasi itu adalah pengalaman mistik keagamaan Marliana Pulanga. Kedua, pengalaman mistik keagamaan tidak selalu menarik dan memisahkan orang dari dunia sosial. Purifikasi sebagai konsep utama dari mistisisme tidak hanya mempunyai segi-segi personal batiniah. Dalam konteks Jemaat Eli Salom Kele’i, pengalaman mistik dan anjuran untuk bertobat mendorong orang untuk terlibat dalam kehidupan sosial dan menawarkan nilai-nilai serta norma-norma kehidupan kolektif yang berorientasi pada rekonsiliasi dan perdamaian. Inilah yang menjadi ciri khas sosial keagamaan Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai sebuah jemaat yang bersifat mistikal dan sebuah gerakan sosial yang bersifat keagamaan.

(15)

tersebut ada faktor pemicu dan basis kepercayaan serta nilai fundamental, yaitu pengalaman-pengalaman keagamaan yang bersifat mistik. Dalam keadaan inilah Jemaat Eli Salom Kele’i muncul secara fungsional sebagai sebuah sistem makna, kerangka interpretasi, dan basis tindakan sosial serta perilaku kolektif.13

Dengan demikian dari perspektif struktural

fungsionalis, gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i dapat dipandang sebagai side-effects dari proses transformasi sosial yang terjadi di Poso. Dalam masyarakat Poso sebagai sebuah sistem sosial politik yang terdiri dari sub sistem – sub sistem bernuansa kultural, kemunculan perilaku kolektif seperti yang nampak dalam masyarakat Kele’i menyatakan secara tidak langsung ketegangan-ketegangan yang tidak dapat diabsorsi oleh mekanisme sistem keagamaan dan sistem politik yang ada. Ketika hubungan-hubungan sosial kehilangan basis normatif dan memunculkan perilaku yang tidak terkendali maka kepercayaan dan praktek mistitisme keagamaan Jemaat Eli Salom Kele’i memiliki makna ganda, yaitu pada satu sisi merefleksikan ketidakmampuan agama institusional yang ada untuk mereproduksi kohesi sosial, dan di pihak lain geliat masyarakat untuk menanggapi krisis dan disintegrasi sosial melalui perkembangan kepercayaan dan nilai-nilai bersama di mana dasar-dasar bagi solidaritas kolektif diletakan.

Keberadaan dan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i tidak mungkin dipahami tanpa perspektif ini. Oleh sebab itu berdasarkan perspektif struktural fungsional14, maka tesis pertama dalam disertasi ini adalah bahwa gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i sejatinya adalah bagian dari mekanisme

13 Hal ini telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya.

14 Di sini Penulis tidak merasa perlu lagi untuk mengulang

(16)

interpretasi, restorasi, proteksi, dan modifikasi kehidupan sosial di Poso pada umumnya dan di Kele’i pada khususnya.

3. Rasionalitas Mobilisasi Perilaku Kolektif

Dengan Pendekatan konstruktivis15 kita dapat melihat bahwa konflik Poso tidak hanya menstimulasi ekspresi-ekspresi dan aksi-aksi sosial politik, melainkan juga telah

membangkitkan tantangan-tantangan kultural terhadap

artikulasi-artikulasi bahasa kekerasan yang membentuk praktek sosial masyarakat. Dimensi-dimensi krusial kehidupan sehari-hari, termasuk di dalamnya relasi interpersonal dan identitas individu serta kelompok telah tersangkut di dalam kekaburan tatanan nilai dan norma kehidupan. Item-item budaya asli Poso tergerus oleh ekspansi kekuatan sosio kultural dominatif yang datang dari luar dan deviasi-deviasi tindakan sosial semasa konflik. Dalam keadaan inilah Jemaat Eli Salom kele’i muncul sebagai sebuah rekonstruksi identitas kolektif alternatif.

Identitas adalah sumber makna dan pengalaman setiap aktor sosial. Dengan identitas, proses konstruksi makna yang berbasis pada atribut kultural dan keagamaan mendapat prioritas. Masyarakat Poso sebagai sebuah konfigurasi kultural yang terintegrasi oleh sebuah sistem politik memiliki pluralitas identitas, sehingga menimbulkan kontradiksi, baik di dalam representasi diri maupun tindakan sosial. Masyarakat

pesisir dengan kultur niaga dan agama Islamnya

mengembangkan identitas superior dan menguasai struktur politik di Poso. Masyarakat pedalaman dengan kultur agraris dan agama Kristennya mengembangkan identitas inferior dan

15 Pendekatan konstruktivis yang dimaksudkan di sini adalah perspektif

(17)

termarginal dari kekuasaan politik. Dengan cara pandang ini

maka ketegangan struktural seperti yang dijelaskan

sebelumnya dan konflik sosial di Poso merupakan ketegangan dan konflik identitas.

Identitas harus dibedakan dari apa yang secara tradisional oleh para sosiolog disebut kumpulan peran. Peran-peran terdefinisi oleh norma-norma yang disusun oleh lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi masyarakat. Kemampuan peran-peran dalam mempengaruhi perilaku orang bergantung pada negosiasi-negosiasi dan pengaturan-pengaturan antara individu-individu dengan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi masyarakat. Sedangkan identitas-identitas adalah sumber makna bagi aktor-aktor sendiri dan dikonstruksi oleh mereka sendiri melalui proses individuasi.16 Identitas dapat dilahirkan dari lembaga-lembaga dominan seperti lembaga keagamaan dan lembaga politik. Akan tetapi ia hanya akan menjadi identitas ketika dan jika aktor-aktor sosial menginternalisasinya dan mengkonstruksi maknanya di sekitar internalisasi ini. Identitas-identitas adalah sumber makna yang lebih kuat ketimbang peran-peran karena proses konstruksi diri dan individuasi yang dilibatkannya. Dalam pengertian sederhana identitas-identitas mengorganisasi makna sementara peran-peran mengorganisasi fungsi. Dalam kerangka berpikir ini identitas terdefinisi sebagai identifikasi simbolik oleh aktor-aktor sosial berkenaan dengan maksud tindakan-tindakan sosialnya.

Ekspansi budaya, ketegangan struktural, dan keadaan anomi akibat kerusuhan dan konflik Poso telah mengakibatkan kekaburan identitas dan peran yang dilahirkan oleh lembaga-lembaga dominan, seperti lembaga-lembaga-lembaga-lembaga agama mapan,

16Manuel Castells, The Power of Identity (Malden MA: Blackwell Publishing,

(18)

termasuk Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Kealpaan peran penduduk asli Poso dan kekaburan makna dalam kehidupan dan keterlibatan sosial mereka memuncak pada awal era Reformasi. Akses penduduk asli Poso terhadap lembaga dan kekuasaan politik terbatas. Era Suharto meninggalkan ketidakseimbangan politik sementara era Reformasi belum menghasilkan keseimbangan politik yang baru. Pada moment inilah terjadi konflik sosial dan identitas di Poso.

Di era reformasi terjadi pemekaran wilayah kabupaten Poso sehingga peta demografi politik berubah. Momentum

rekonsiliasi pasca konflik menyediakan keterbukaan

kesempatan politik dan iklim demokrasi untuk merumuskan kembali peran sosial dan makna tindakan sosial penduduk asli Poso. Kele’i sebagai salah satu tempat terjadinya mobilisasi perilaku kolektif penduduk asli Poso sejak masa kemerdekaan, pergolakan politik, dan konflik Poso kembali menjadi lokasi bagi sejumlah aktor untuk merekonstruksi kembali peran dan makna keterlibatan sosial mereka. Pertanyaannya adalah apa yang menjadi kepercayaan fundamental bagi mobilisasi sosial ini? Kepercayaan fundamental yang dimaksudkan di sini adalah kepercayaan yang berkaitan dengan eksistensi terdalam dari kehidupan manusia. Kepercayaan itu harus dapat menyediakan nilai dan kaedah bagi perilaku dan tindakan-tindakan, baik yang bersifat personal maupun sosial.17 Dalam urgensi inilah pengalaman mistik Marliana Pulanga yang menekankan pembaharuan makna kehidupan dan perilaku sosial berdasarkan iman kepada Tuhan menjadi relevan dan aktual sebagai kepercayaan fundamental bagi mobilisasi perilaku kolektif di Kele’i dan yang melahirkan jemaat Eli Salom. Analisis ini mengarah pada kesimpulan

17 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press,

(19)

bahwa dimensi fungsional dari pengalaman dan abstraksi keagamaan Marliana Pulanga diprakondisikan juga oleh ketegangan struktural dan kebutuhan akan redefinisi tindakan sosial serta rekonstruksi identitas penduduk asli di Poso. Mungkinkah pengalaman dan abstraksi keagamaan itu tidak memberi fungsi sosial yang fenomenal sekiranya kondisi historis di Poso berbeda dari yang telah terjadi. Hal ini menjadi pertanyaan yang penting untuk melihat dan menyimpulkan dimensi fungsional agama di setiap lokasi historis tertentu.

Abstraksi-abstraksi keagamaan dari Marliana Pulanga seperti ajakan untuk melakukan pembaharuan spiritual, reformasi mental, dan redefinisi tindakan sosial menjadi kerangka interpretasi dan legitimasi terhadap konsepsi budaya Poso, terutama konsep mombetubunaka atau saling

menghormati dan konsep mosintuwu atau saling

menghidupkan. Kesimpulan ini didasarkan pada dua

konstruksi pemikiran, yaitu pertama, kepercayaan

fundamental tentang pembaharuan spiritual, reformasi mental, dan redefinisi perilaku sosial dihadirkan di dalam dan melalui kedua konsep budaya tersebut di atas. Kedua, budaya menjadi media yang paling efektif dan efisien bagi masyarakat untuk menjabarkan kepercayaan-kepercayaan fundamental dan nilai-nilai utama kehidupan yang diyakini secara kolektif. Konstruksi pemikiran ini menunjukan bahwa peran dan makna tindakan sosial Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai aktor kolektif terkonstruksi di atas suatu identitas primer yaitu komunitas orang-orang yang dipulihkan oleh Tuhan dan yang hidup berdasarkan nilai-nilai mombetubunaka dan mosintuwu.

(20)

religiositas masyarakat yang bersifat mistik sebagai jalan

alternatif terhadap formalisme agama yang kaku.

Pertanyaannya adalah bagaimana identitas itu terkonstruksi, dari apa, oleh siapa, dan untuk apa ia terkonstruksi. Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai aktor kolektif mengkonstruksi identitas mereka di satu pihak oleh kondisi ketegangan-ketegangan struktural dan benturan identitas, dan di lain pihak oleh perubahan dalam struktur politik era Reformasi dan pergeseran keagamaan dari yang bersifat formal institusional ke informal mistikal. Mereka terlibat secara langsung dalam semua kondisi itu, menafsirkan pengalaman-pengalaman itu berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai yang bersumber dari pengalaman mistik Marliana Pulanga, dan mengatur kembali maknanya menurut determinasi-determinasi sosial dan proyek-proyek moral keagamaan dalam kerangka menata kembali peran dan identitas sosial serta kehidupan yang aman dan damai di Poso.

Konstruksi identitas sosial selalu terjadi di dalam sebuah konteks yang ditandai oleh relasi-relasi kekuasaan.18 Dalam konteks ini ada tiga format dan asal mula bagunan identitas, yaitu identitas yang terlegitimasi, identitas resistensi, dan identitas rancangan. Identitas yang terlegitimasi dilahirkan dan diperkenalkan oleh masyarakat sipil melalui lembaga-lembaga sosial dan keagamaan. Dalam sejarah masyarakat Poso identitas ini nampak melalui representasi-representasi berbagai simbol Islam dari komunitas pesisir yang menguasai ruang publik dan kekuasaan politik. Dominasi ini mengakibatkan komunitas pedalaman merasa terdevaluasi dan termarginalisasi oleh identitas komunitas pesisir. Keadaan ini memaksa orang-orang Kele’i sebagai aktor-aktor komunitas pedalaman

(21)

membangun kubu-kubu resistensi dan survival dengan memanfaatkan sentimen-sentimen kultural, memori-memori

historis, dan emosi-emosi kolektif untuk melakukan

(22)

4. Mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’I dan Signifikansi Sosiologisnya

Mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i berakar pada pengalaman akan kehadiran Tuhan dan perjumpaan dengan-Nya yang terjadi melalui mimpi dan penglihatan. Pengalaman itu disebut sebagai pengalaman mistik karena sifatnya yang suprarasional, meta-empiris, dan intuitif terhadap sesuatu yang tak terbataskan oleh ruang dan waktu. Pengalaman mistik itu kemudian membangkitkan emosi dan antusiasme keagamaan serta rasa kebermaknaan seseorang terhadap diri dan lingkungan sosialnya. Inilah yang terjadi dengan sekelompok orang di desa Kele’i.

Hal yang penting untuk di analisis di sini adalah apa hakikat dan makna pengalaman mistik itu dan apa yang menjadi signifikansi sosiologisnya. Hasil wawancara dan pengamatan empirik tidak menunjukan bahwa pengalaman mistik itu hanya pengalaman gaib semata yang irasional dan yang tidak memiliki pengaruh sosial. Sebaliknya, fakta menunjukan bahwa pengalaman akan kehadiran Tuhan dan pengimplementasian nilai-nilai kehidupan dalam dunia sosial menunjukan adanya sebuah konstruksi mental spitirual yang memberi landasan normatif bagi keterlibatan sosial mereka.

(23)

keagamaan seperti ritual formal di rumah ibadah. Pengalaman mistik Marliana Pulanga dikondisikan oleh pikiran dan perasaan di dalam dimensi ruang dan waktu tertentu, misalnya saat sepi di malam hari atau saat teduh menjelang pagi, dalam ruangan yang gelap dan sunyi, ketika pikiran dan perasaannya menjadi hangat dengan memori dan emosi karena anomi yang dihasilkan oleh konflik Poso. Ragam peristiwa tragis dan mengerikan memunculkan perasaan cemas, takut, dan panik bagi Marliana Pulanga di tengah ketidakjelasan nilai dan norma dalam kehidupan sosial. Di tengah situasi dan kondisi tersebut kemudian timbul kondisi mental tertentu yang terdiri dari berbagai perasaan seperti sedih, kecewa, putus asa, marah, takut, panik, bingung dsb. Kondisi mental ini – yang sering juga disertai dengan kondisi fisik tertentu seperti terjadinya rasa mengantuk, lemas, pusing, keringat dingin, jantung berdebar - selanjutnya diarahkan pada Tuhan melalui objek-objek keagamaan seperti doa, meditasi, puasa, dan membaca kitab suci. Proses ini menjadi stimulan bagi munculnya keadaan kesadaran mistis yang berbeda dengan keadaan kesadaran normal. Dalam keadaan kesadaran mistis, medan kesadaran yang didominasi oleh intelektual tersubstitusi oleh intuisi sehingga peranan hati dan batin (daya afeksi) mengemuka dan menggantikan peran nalar (daya kognisi). Dalam terminologi spiritualitas proses itu disebut sebagai peralihan dari modus aktif kepada modus reseptif. Modus aktif adalah cara yang mengutamakan pemikiran logis, kontrol, analisis, dan penalaran. Modus ini berperan dalam bidang gagasan dan sistem. Sedangkan modus reseptif bersifat asosiatif, penyerahan, intuisi, dan kagum.19 Pada moment inilah seseorang menjadi pasif dan merasa tidak

19 Adolf Heuken, Spiritualitas Kristiani (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,

(24)

dapat berpikir dan berkata lagi. Orang merasa dirinya melayang, terpaku, terdiam, tak dapat berkata sepatahpun, hilang kesadaran normal, kemudian terjerumus masuk ke alam mimpi (halusinasi) dan penglihatan (vision) serta pendengaran akan suatu realitas lain yang melampaui waktu dan ruang.

Malam itu saya duduk di kamar setelah selesai persekutuan doa di tenda, saya sudah puasa dari pagi dan saya mau saat teduh untuk berdoa. Tiba-tiba ada cahaya masuk ke dalam kamar. Cahaya itu datang dan menyinari saya. Saya tidak dapat bicara dan bergerak. Lalu saya merasa terangkat dan melayang, saya di bawa ke suatu tempat yang yang sangat mengerikan. Waktu saya sadar saya pikir itu neraka. Di tempat itu saya lihat beberapa muka yang saya kenal, mereka sudah mati, ada yang karena bunuh diri ada yang karena aborsi. Mereka sangat menderita. Lalu saya dapat petunjuk bahwa orang-orang Kele’i harus bertobat dan kembali kepada Tuhan.20

Di dalam teologi mistik, apa yang terjadi dalam pengalaman Marliana tersebut di atas dianggap sebagai pengalaman mistik yang disebut orison persatuan. Seorang mistik abad pertengahan Santa Teresa dari Avila mengatakan, “Dalam orison persatuan, jiwa sepenuhnya terjaga terhadap

Tuhan, tetapi sepenuhnya tertidur terhadap hal-hal

keduniawian dan terhadap dirinya sendiri.”21

Mengenai penglihatan cahaya dan pendengaran petunjuk yang dialami sebagai kehadiran Tuhan pada keadaan

20 Wawancara dengan Marliana Pulanga tanggal 1 April 2014 di Palu. 21 William James, Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius

(25)

kesadaran mistis tersebut, dapat dikatakan bahwa yang melihat bukan nalar seorang Marliana, tetapi kontemplasinya akan Tuhan.22 Dalam Fenomenologi agama cara melihat seperti ini disebut sebagai suatu ekstasis atau suatu saat di mana terjadi penyerahan diri yang total kepada kuasa dan pertolongan Tuhan. Dalam pengalaman ini jiwa merasakan dirinya terserap oleh suatu kehidupan yang kekal, menembus ruang dan waktu. Inti pengalaman ini ialah bahwa semua kondisi mental dan fisik sebagai suatu individualitas yang utuh merembes dan larut ke dalam medan kuasa Tuhan dan memberi kegembiraan serta kedamaian bagi orang yang mengalaminya.23 Itulah sebabnya di dalam situasi dan kondisi transien ini kemudian muncul kondisi mental tertentu yang pada umumnya sebagai kebalikan atau lawan dari kondisi mental sebelumnya. Beberapa anggota jemaat Eli Salom Kele’i yang juga memiliki pengalaman mistik mengatakan bahwa pada diri mereka muncul perasaan terhibur, sukacita, gembira, bahagia, optimis, bergairah dan bersemangat, antusias, dan berani menghadapi dan menjalani kehidupan mereka selanjutnya. Inilah yang menjadi sumber antusiasme beragama jemaat Eli Salom Kele’i yang menimbulkan kepasrahan dan kepercayaan kepada Tuhan. Struktur spiritual dan sikap mental inilah yang tetap dipertahankan ketika situasi transien dan kondisi kesadaran mistis berakhir. Seseorang kembali pada kesadaran normal dan terjadi sugesti terhadap sisi kognitifnya serta timbul sebuah praanggapan keagamaan atau

pengakuan iman. Proses ini pada gilirannya akan

mempengaruhi pandangan seseorang terhadap diri dan lingkungannya serta membentuk karakter serta perilaku

22 Lihat pemikiran Plotinos tentang pengalaman mistik dalam P.A. van der

Weij, Filsuf-Filsuf Besar Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 36.

23 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius,

(26)

sosialnya. Dalam perspektif sosiologi agama, analisis ini disebut sebagai model sibernetik karena perilaku sosial seseorang atau sekelompok orang memiliki hubungan kausalitas dengan proses-proses mental dan organik di dalam dirinya.24

Penilaian eksistensial tersebut di atas tidak bisa dihindari dalam upaya untuk memahami entitas dan struktur psikologis pengalaman mistik di Jemaat Eli Salom Kele’i, bagaimana itu bisa terjadi dan bagaimana tatanan serta asal usulnya. Aspek-aspek psikologis memainkan peranan yang signifikan dalam analisis ini. Namun demikian, seringkali hal inilah yang mencemarkan sisi kehidupan keagamaan sehingga muncul anggapan bahwa mereka yang memiliki pengalaman mistik dan perasaan keagamaan yang kuat acap kali mendapat serangan psikis abnormal. Hal ini nampak dari anggapan sebagian orang bahwa Marliana Pulanga be mo mayoa rayanya.25 Orang-orang seperti Marliana Pulanga dipandang memiliki kepekaan emosional yang sangat dalam. Mereka menjalani kehidupan batin penuh konflik dan mengalami suasana melankolis dalam realita kehidupan mereka yang keras dan penuh penderitaan. Mereka kerap tenggelam ke dalam kondisi trans, mendengar suara-suara gaib, mengalami penampakan, dan menunjukkan segala jenis keanehan yang biasa disebut sebagai patologi. Ludwigh Feurbach mengatakan bahwa semua pengalaman dan perasaan keagamaan hanyalah

alat psikologis yang digunakan manusia untuk

menggantungkan harapan, kebaikan, dan ideal-idealnya sendiri kepada wujud khayal supernatural yang disebutnya dengan Tuhan, dan dalam proses itu ia hanya mengecilkan arti

24 Robert N. Bellah, Beyond Belief: Esei-Esei tentang Agama di Dunia Modern.

Diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2000), 14-15.

25 Bahasa Pamona yang atinya sudah terganggu akal dan pikirannya.

(27)

dirinya sendiri.26 Kritisisme terhadap pengalaman keagamaan seperti ini, paling keras datang dari Sigmund Freud dengan psiko analisisnya yang berusaha untuk memahami mengapa pengalaman dan perasaan keagamaan manusia bisa bertahan dalam masyarakat yang semakin rasional. Menurutnya emosi keagamaan dapat bertahan, meskipun telah didiskreditkan oleh realitas sosial dan intelektualitas manusia, karena sumber dan akarnya bukan pada pikiran rasional tapi pikiran bawa sadar. Pengalaman keagamaan muncul dari emosi dan konflik yang berawal dari masa lalu seseorang dan berada di bawah

permukaan kepribadian yang normal dan rasional.

Pengalaman keagamaan adalah suatu neurosis obsessional. Iahanya muncul sebagai respon terhadap konflik dan kelemahan emosional yang dalam akibat sebuah peristiwa di masa lalu. Inilah yang disebut dengan pendekatan agama yang

reduksionisme fungsionalistik. Artinya agama secara

keseluruhan dapat direduksi hingga lebih sedikit dari akibat penderitaan psikologis, hingga sekedar kumpulan ide dan kepercayaan yang setelah penampilan luarnya dirembus, menjadi harapan ilusi yang digerakkan oleh alam bawa sadar.27 Dengan interpretasi seperti itu kita mengingat tesis Sigmund Freud, “Saya tidak pernah ragu bahwa fenomena keagamaan harus dipahami sebagai sebentuk model tentang gejala-gejala neurotik individu.”28 Itulah sebabnya para penentang Jemaat Eli Salom Kele’i mengatakan bahwa pengalaman mistik Marliana Pulanga hanyalah akibat masalah emosional yang disebabkan oleh keadaan keluarganya dan ketakutannya terhadap berbagai kondisi sosial di Poso dan

26 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (New York: Oxford Univ. Press,

1996), 140.

27Ibid., 147.

28 Sigmund Freud, Musa dan Monoteisme. Diterjemahkan oleh Burhan Ali

(28)

Kele’i.29 Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengklarifikasi kebenaran pengalaman keagamaan Marliana Pulanga. Dalam hal ini kriteria empiris menjadi cara yang logis dan rasional untuk menentukan kebenaran suatu pengalaman keagamaan. Kriteria empiris melihat adanya nilai spiritual superior dari pengalaman keagamaan itu yang mempengaruhi sikap batin, citra diri, pandangan tentang dunia, dan membentuk tingkah laku yang etis.30

Setiap agama yang hidup memiliki tiga elemen dasar yang penting yaitu elemen institusional, elemen intelektual, dan elemen mistikal. Elemen institusional mencakup sistem organisasi dan kelembagaan, kepemimpinan dan keanggotaan. Elemen intelektual adalah abstraksi-abstraksi sistematis dan logis serta refleksi-refleksi teologis dalam format sistem dogma dan etika. Sementara elemen mistikal adalah pengalaman-pengalaman keagamaan, baik bersifat batiniah maupun historis.31 Dalam perspektif sosiologi agama, elemen-elemen mistikal agama mempunyai hubungan kausalitas dengan kondisi-kondisi historis masyarakat. Apabila sebuah masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat dan signifikan serta menimbulkan krisis sosial maka agama institusional dan intelektual akan ditinggalkan lalu orang-orang akan berpaling pada agama mistikal yang menawarkan pengalaman-pengalaman keagamaan yang otentik, bersifat langsung dan batiniah.32

29 Pada tingkat yang lebih ekstrim ada yang menganggap bahwa pengalaman

mistik dan perasaan keagamaan berhubungan dengan kehidupan seksual. Misalnya masalah peralihan agama dilihat berhubungan dengan krisis masa pubertas. Dan tindakan menyakiti diri, atau menerima penderitaan secara sukarela seperti yang dilakukan oleh para orang suci hanyalah naluri pengorbanan diri parental yang salah arah. Lih. James, Perjumpaan dengan Tuhan…, 71, 87.

30Ibid., 79.

31 Dorothe Soelle, The Silent Cry: Mysticism and Resistance (Minneapolis:

Fortress Press, 2001), 45-49.

32 Perspektif teoritis ini dapat ditemukan dalam pemikiran Ernst Troletsch dan

(29)
(30)

krisis sosial. Pragmatisme keagamaan ini tidak dapat dipungkiri lagi ketika masyarakat terus diperhadapkan dengan tantangan-tantangan baru dari lingkungan dunia sosial mereka. Berdasarkan analisis ini maka tesis ketiga dari disertasi ini adalah bahwa unsur-unsur dan gejala-gejala mistisisme di Jemaat Eli Salom Kele’i adalah perilaku kolektif yang rasional dan pragmatis untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang otentik dan fungsional di luar formalisme dan dogmatisme agama yang kaku.

Fakta-fakta eksistensial yang menjadi objek

interpretasi psikologi modern tidak cukup sahih untuk dapat menentukan hakekat dan nilai spiritual pengalaman mistik seseorang. Atau dengan kata lain, sumber pengalaman dan perasaan keagamaan manusia tidak hanya terletak pada sebab musabab organik. Oleh sebab itu kritik terhadap materialisme medis adalah bahwa ia telah mencoba mengembangkan sejenis teori psiko-fisika yang menghubungkan nilai-nilai spiritual secara umum dengan perubahan-perubahan fisiologis tertentu, tetapi pada saat yang sama ia tidak dapat menjelaskan signifikansi filosofis sebuah pengalaman mistik keagamaan.

(31)

saling menolong dan memaafkan satu terhadap yang lain, semua itu adalah cerminan rasa kebermaknaan yang dihasilkan oleh pengalaman keagamaan mereka. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bahwa pengalaman mistik Marliana Pulanga dan Jemaat Eli Salom Kele’i telah memperdalam rasa kebermaknaan mereka sebagai manusia yang percaya pada kuasa dan kasih Tuhan, menyediakan nilai dan norma bagi tindakan-tindakan sosial mereka, dan memberi isi terhadap identitas mereka di tengah pluralitas kultural masyarakat.

Sikap mental, perilaku, dan identitas tersebut adalah ekspresi rasa kebermaknaan yang tidak hanya diperoleh melalui praktek-praktek objektif pelayanan kelembagaan gereja, tetapi melalui sebuah kondisi mental emosional tertentu yang terstruktur secara organis dan mampu menstimulasi munculnya sebuah pengalaman akan Tuhan yang bersifat subjektif, langsung, dan batiniah. Itulah sebabnya pengalaman melihat sebuah kilatan cahaya di malam hari, mendengar suara melalui telinga batin, melihat sesosok wajah, ketabahan di tengah penderitaan, semuanya adalah

pengalaman-pengalaman yang diyakini sebagai fakta

kehadiran Tuhan dan perjumpaan denganNya. Bagi orang yang mengalami kehadiran Tuhan secara mistik, perasaan-perasaan batin akan perjumpaan dengan Tuhan sama nyatanya dengan

pengalaman-pengalaman melalui penginderaan secara

langsung, bahkan jauh lebih meyakinkan dari pada hal-hal yang dihasilkan oleh logika semata. Itulah sebabnya, oleh pengalaman mistik, seseorang tidak bisa membendung pemikiran bahwa apa yang telah terjadi pada dirinya adalah persepsi sejati atas kebenaran, seperti sebuah penyingkapan sejenis realitas yang tidak dapat disingkirkan oleh argumen

(32)

merasakan kehadiran Tuhan sedemikian nyata, argumen-argumen kritis anda akan tak berguna dalam mengubah keyakinannya.”33 Dengan demikian menjadi jelas bahwa signifikansi sosiologis mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i tidak ditentukan oleh fakta eksistensial dan argumentasi logisnya, melainkan oleh kriteria empirisnya, yakni bagaimana

keyakinan keagamaan yang telah ditimbulkan oleh

pengalaman-pengalaman mistik Marliana Pulanga dan anggota jemaatnya bekerja secara keseluruhan dalam kehidupan sosial sekelompok masyarakat di Kele’i. Sikap mental, perilaku dan identitas kolektif Jemaat Eli Salom adalah bukti yang paling nyata dari signifikansi sosiologis pengalaman dan perilaku mistik mereka.

---

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Uji Daya Terima Konsumen ini dilakukan dengan membagikan kuesioner yang didalamnya berisi pertanyaan tentang Ravioli, penilaian dari produk inovasi dari

Selain itu terjadi penurunan fungsi dari cholinesterase suatu enzim yang berfungsi untuk memecah agen anestesikum sehingga zat anestesikum yang tidak dapat

Contoh filosofi Islam yang diterapkan pada menara Islamic Center Samarinda Sumber :

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada faktor belajar dari segi eksternal telah diidentifikasi pada mata pelajaran teknologi mekanik dan yang paling terhambat

Pokja Pekerjaan Konstruksi pokja pada SKPD04 akan melaksanakan Pelelangan Umum Ulang dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara elektronik sebagai berikut :4.

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

[r]