• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB III"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

71

MISTISISME SEBAGAI TIPE PERKEMBANGAN

SOSIOLOGIS AGAMA

Dalam bab sebelumnya telah dibangun perspektif teoritis tentang gerakan keagamaan sebagai tipe khusus gerakan sosial. Perspektif itu ditopang oleh tiga pemahaman konseptual, yaitu tindakan sosial, perilaku kolektif, dan gerakan sosial berorientasi nilai. Kerangka konseptual tersebut diperlukan untuk mendeksripsikan fenomena gerakan keagamaan sebagai sebuah fenomena sosial.

Selanjutnya, mempertimbangkan aspek pengalaman

keagamaan dan kepercayaan fundamental yang menjadi komponen utama dalam mobilisasi perilaku kolektif yang diteliti, maka bab ini berisikan uraian teoritis tentang mistisisme sebagai tipe khusus perkembangan sosiologis gereja. Uraian ini dimulai dengan pengertian mistisisme, kemudian dilanjutkan dengan pengalaman mistik, tradisi mistik Kristen, mistisisme tindakan sosial, dan ditutup dengan elaborasi dimensi-dimensi sosial mistisisme.

1. Pengertian Mistisisme

Di dalam Webster’s New World Dictionary kata

(2)

memperoleh pengetahuan akan kebenaran-kebenaran spiritual melalui intuisi.1

Secara etimologi kata mistisisme berasal dari dua kata, yaitu mistik dan isme. Kata mistik berasal dari bahasa Yunani myo yang artinya saya menutup mulut atau mata. Pengertian kata ini menunjuk pada ibadah-ibadah inisiasi di dalam kultus-kultus yang misterius. Dalam perkembangan mistisisme terkemudian, khususnya dalam tradisi Barat, pengertian hurufiah tersebut bergeser. Pada akhir abad ke-5 Dionisius memakai kata mistisisme untuk menunjuk pada orang-orang yang mempunyai pengalaman-pengalaman khusus yang menimbulkan kondisi-kondisi kesadaran akan suatu

perjumpaan dengan realitas Ilahi.2

Pengertian-pengertian tersebut di atas adalah

pengertian umum yang bisa ditemukan pada kebanyakan literatur mistisisme dari agama apapun, khususnya yang

masuk dalam rumpun spiritualitas semit.3 Gershom G.

Scholem dalam bukunya Major Trends in Jewish Mysticism

menguraikan karakteristik mistisisme Yahudi dengan bertolak dari definisi Rufus Jones yang mengatakan bahwa mistisisme adalah sebuah tipe keagamaan yang memberi tekanan pada kesadaran akan hubungan dengan Tuhan yang terjadi secara langsung dan adanya kesadaran yang mendalam akan

kehadiran Tuhan.4 Ernst Troeltsch dalam bukunya The Social

Teaching of the Christian Churches mengkaji mistisisme sebagai salah satu tipe perkembangan sosiologis gereja dengan bertolak dari definisi umum pengalaman mistik

1 David B. Guralnik, Webster’s New World Dictionary (New York: Simon and Schuster, 1984), 942.

2 Dorothee Soelle, The Silent Cry: Mysticism and Resistence (Minneapolis: Fortress Press, 2001), 16.

3 Philip K. Hitti, History of The Arabs, diterjemahkan oleh Lukman Yasin & Dedy S. Riyadi(Jakarta: Serambi, 2005), 36.

(3)

sebagai sebuah pengalaman keagaman yang langsung, yang tidak dimediasi oleh lembaga agama, doktrin, dan teks suci.5

Dorothee Soelle dalam bukunya The Silent Cry: Mysticism and Resistance menghubungkan antara mistisisme Kristen dan resistensinya di tengah realitas sosio-politik dengan mengacu pada definisi skolastik dari Thomas Aquinas yang mengatakan

bahwa mistisisme adalah cognitio dei experimentalis

(pengetahuan atau pengenalan akan Tuhan dari dan melalui

pengalaman).6 Annemarie Schimmel dalam bukunya Mystical

Dimensions of Islam mengelaborasi dimensi-dimensi mistik dalam Islam berdasarkan pengertian bahwa mistisisme mengandung sesuatu yang misterius, yang tidak dapat dicapai dengan pikiran biasa atau dengan upaya-upaya intelektual. Baginya mistisisme adalah sebuah arus spiritual yang luar biasa yang ada pada semua agama. Pengalaman mistik didefinisikannya sebagai kesadaran akan Realitas Yang Satu yang menjadi tujuan akhir kehidupan manusia. Realitas Yang Satu itu tidak dapat dipahami atau dijelaskan dengan persepsi

normal. Hanya dengan kebijaksaaan jiwa (gnosis) dan

penyucian diri maka beberapa aspek dari Realitas itu dapat diserapi.7 William James dalam bukunya Perjumpaan dengan

Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia, mengatakan bahwa pengalaman mistik adalah pengalaman religius manusia yang berakar dan berpusat pada keadaan kesadaran

mistis. Menurutnya ada empat karakter khas yang

menentukan sebuah keadaan kesadaran mistis, yaitu tidak

5 Ernst Troeltsch, The Social Teaching of the Christian Churches V.2 (Chicago: The Univ. of Chicago Press, 1981), 730.

6 Soelle,The Silent Cry…, 45.

(4)

bisa diungkapkan, kualitas noetik, situasi transien, dan kepasifan.8

Mistisisme sebenarnya bukanlah sebuah agama di dalam dirinya sendiri, tetapi sebagai elemen yang paling vital di dalam semua agama yang muncul sebagai reaksi terhadap

formalitas yang dingin dan kemandegan agama.9 Sifat

keagamaan mistisisme bersumber dari segala perasaan dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh manusia memahami dirinya sendiri saat berhadapan dengan apapun yang dianggapnya sebagai yang ilahiah. Jadi sifat

keagamaan mistisisme paralel dengan pengalaman,

penghayatan, dan tindakan keagamaan yang sifatnya sangat unik dan personal dalam keterlibatan seseorang dengan

sesuatu yang dianggapnya suci.10

Mistisisme bukan sebuah sistem filsafat, walau ia mempunyai doktrin-doktrinnya sendiri tentang skema dari berbagai hal. Mistisisme lebih merupakan sebuah perilaku

pikiran (attitude of mind); sebuah kecenderungan yang dibawa

lahir oleh jiwa manusia yang selalu berupaya untuk mentransendensikan akal budinya hingga mencapai sebuah pengalaman yang langsung akan Tuhan serta kepercayaan akan kemungkinan terjadinya penyatuan jiwa manusia dengan realitas ultim. Penyatuan yang dimaksud adalah penyatuan supernatural, yang terjadi ketika kehendak manusia menyatu dengan kehendak yang ilahi. Apabila agama pada umumnya memisahkan yang ilahi dari manusia, maka pengalaman mistik lebih dari itu, ia menginginkan penyatuan yang intim dengan Yang Ilahi, suatu penetrasi dari Yang Ilahi ke dalam jiwa dan suatu penyangkalan individualitas dengan semua

8 William James, Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius

Manusia (Bandung: PT Mizan Pustaka., 2004), 505 – 508.

9 Margaret Smith, An Introduction to Mysticsm (New York: Oxford University Press., 1977), 3.

(5)

model tindakannya, pemikirannya, dan perasaannya, di dalam substansi yang Ilahi. Di sinilah manusia mencoba untuk melampaui semua yang bersifat fenomenal, di luar dari semua bentuk realitas yang lebih rendah untuk menjadi Ada itu sendiri.11

Menurut Smith secara umum mistisisme sebagai sebuah paham keagamaan mendalilkan artikel-artikel iman tertentu untuk menjadi dasar asumsi-asumsinya, yaitu: pertama, kepercayaan bahwa jiwa dapat melihat dan merasa secara spiritual. Itulah yang disebut dengan inner sense atau intuisi, yang dengannya mana manusia dapat menerima dan merasakan secara langsung kehadiran dan pengetahuan tentang Tuhan. Kedua, keyakinan bahwa manusia ikut serta dalam sifat sifat Ilahi dan bahwa manusia memiliki hubungan eksistensial dan natural dengan Penciptanya. Hal ini terjadi karena di dalam setiap jiwa manusia terdapat pancaran Ilahi (divine spark) atau benih Ilahi (Divine Seed). Ketiga, kepercayaan bahwa tak seorang pun dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan kecuali dengan penyucian diri (purifikasi). Keempat, keyakinan bahwa cinta kasih adalah

jalan dan pemandu (guide) menuju pada persekutuan yang

akrab dengan Tuhan.12

Dari paparan tersebut di atas menjadi jelas bahwa mistisisme merupakan fenomena keagamaan yang bersifat umum. Artinya, dia dapat ditemukan dalam setiap agama dengan ciri-ciri yang umum maupun khusus. Hal ini sesuai dengan hasil investigasi di bidang agama yang menemukan bahwa mistisisme merupakan salah satu elemen dari setiap agama yang hidup. Di dalam sejarah Keristenan misalnya, Troeltsch menyebut adanya tiga tipe perkembangan sosiologis

(6)

gereja, yaitu tipe gereja, tipe sekte, dan tipe mistisisme. Tipe gereja adalah jenis perkembangan sosiologis kekristenan yang bersifat kelembagaan, yang bertolak dari ajaran tentang persekutuan orang percaya yang mendapat berkat dan anugerah keselamatan sebagai hasil penebusan oleh Yesus Kristus. Sekte adalah sebuah masyarakat yang terbentuk secara sukarela (voluntary society) yang terdiri dari orang-orang beriman yang kuat dan terikat satu dengan yang lain oleh fakta bahwa mereka semua telah mengalami kelahiran baru. Sedangkan mistisisme menunjuk pada religiositas yang didasarkan pada ragam pengalaman akan Tuhan yang bersifat langsung dan batiniah.13

Sejalan dengan itu, Dorothee Soelle, yang bertolak dari definisi skolastik yang mengatakan bahwa mistisisme adalah

paham cognitio Dei experimentalis, membagi dua cara

pemahaman dan pengenalan akan Tuhan. Cara yang pertama adalah melalui akal dan penalaran atas ajaran-ajaran yang secara dogmatis telah terlegitimasi dan secara hirarkis terpimpin. Sedangkan cara yang kedua adalah berdasarkan eksperimen dan pengalaman pribadi yang tidak terbatasi oleh doktrin-doktrin resmi dan obligasi-obligasi kelembagaan. Sehubungan dengan itu Soelle menegaskan juga tiga elemen agama, seperti yang dikatakan oleh Baron van Hugel, yaitu elemen institusional, intelektual, dan mistikal.14

William James juga membedakan antara agama institusional dan agama personal. Agama institusional menyangkut pemujaan (ritus), ajaran (teologi), prosedur dalam berhubungan dengan Tuhan, dan organisasi sosialnya. Sedangkan agama personal menyangkut watak batin manusia seperti kesadaran, rasa kesepian, ketidakberdayaan, dan rasa

(7)

ketidaklengkapan; dengan penekanan utama pada pertolongan Tuhan.15

Dari referensi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa apakah ia tersembunyi atau tidak, disadari atau tidak, diakui atau tidak, setiap agama mempunyai dimensi mistik. Atau dengan kata lain, pengalaman mistik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pengalaman keagamaan seseorang.

2. Pengalaman Mistik

Sebelumnya telah dikatakan bahwa mistisisme berakar pada pengalaman akan Tuhan yang bersifat langsung dan

batiniah. Troeltsch menyebutnya sebagai direct religious

experience dan Soelle, bertolak dari definisi Thomas Aquinas,

menyebutnya sebagai cognitio dei experimentalis. Dari nuansa

pengertian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pengalaman keagamaan yang dimaksud itu tidak datang dari teks-teks suci, dogma, atau institusi keagamaan tertentu, tetapi datang dari gerak hati atau intuisi seseorang. Kalau demikian maka pertanyaan yang muncul ialah pengalaman yang seperti apakah yang menjadi sumber mistisisme tersebut?

William James mengatakan bahwa setiap orang memiliki kesadaran normal yang dialami pada saat terjaga. Kesadaran ini dapat juga disebut sebagai kesadaran rasional. Tetapi kesadaran normal atau kesadaran rasional bukanlah satu-satunya kesadaran yang dimiliki oleh manusia. Ia hanyalah satu jenis dari beberapa kesadaran lain yang ada. Pada diri manusia terdapat juga bentuk-bentuk kesadaran potensial yang sama sekali berbeda dengan kesadaran normal atau kesadaran rasional. Salah satu kesadaran yang berbeda dengan kesadaran normal atau kesadaran rasional itu adalah

(8)

kesadaran mistis.16 Atas dasar itu James menegaskan bahwa

pengalaman mistik sebagai sebuah pengalaman religius pribadi berakar dan berpusat pada keadaan kesadaran mistis tersebut. Untuk dapat menentukan keadaan kesadaran mistis, ada empat karakter khas yang harus ditemukan, yaitu: pertama, pengalaman itu sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Tidak ada uraian manapun yang memadai untuk

mengisahkannya dalam kata-kata. Alih-alih ia dianggap sebagai keadaan intelek, keadaan kesadaran mistis lebih merupakan situasi keadaan perasaan. Kedua, adanya kualitas noetik. Situasi mistik adalah juga situasi yang menghasilkan pengetahuan. Dalam situasi ini seseorang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali dalam ranah kemampuan intelektual yang bersifat diskursif. Semuanya merupakan peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti, tetapi tidak bisa dikatakan meskipun tetap dirasakan. Umumnya pengalaman ini membawa perasaan tentang adanya otoritas yang melampaui ruang dan waktu. Dalam hal ini keadaan kesadaran mistis dapat menimbulkan pencerahan dan kesadaran akan keberadaan Tuhan Yang Maha kuasa. Ketiga, terjadi dalam situasi transien. Kesadaran mistis biasanya terjadi tanpa direncanakan dan hanya dalam waktu singkat. Ia tidak bisa dipertahankan atau diperpanjang dalam waktu yang cukup lama. Keempat, berlakunya kepasifan total yang diawali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan diakhiri dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar biasa.17

16Selain kesadaran mistis, James juga setuju dengan seorang ahli psikiatri dari Kanada, Dr. R.M. Bucke yang menyebut adanya “kesadaran kosmik” pada manusia. Kesadaran kosmik adalah kesadaran tentang kosmos, yaitu kesadaran mengenai kehidupan dan tatanan alam semesta. Ibid., 523.

(9)

Soelle menyebut bahwa pengalaman mistik berhubungan erat dengan apa yang disebutnya sebagai mystical sensibility yang memampukan seseorang menyadari dan mengakui sebuah pengalaman - bahkan pengalaman sehari-harinya - sebagai sebuah pengalaman kehadiran dan

perjumpaan dengan Tuhan.18 Selanjutnya menurut Soelle ada

situasi-situasi kehidupan tertentu yang dapat menimbulkan mystical sensibility seseorang. Situasi-situasi tersebut oleh Soelle disebut sebagai places of mystical experiences yang terdiri dari alam (nature), erotisisme, penderitaan (suffering), perjamuan suci (holy communion), dan kegembiraan (joy).19

Ragam pengalaman yang asli tentang perjumpaan atau kehadiran Tuhan yang tidak dimediasi oleh doktrin, teks suci, atau sakramen bersumber dan berakar pada sensibilitas mistik tersebut.

Troeltsch menganggap sumber pengalaman mistik ada

pada pengalaman keagamaan (religious experience) yang

bersifat langsung dan yang terekspresi melalui luapan

kegembiraan (ecstasy), penglihatan (vision), halusinasi

(hallucination), pengalaman keagamaan yang subjektif

batiniah, dan dalam pemusatan (concentration) atas sisi

pengalaman religius yang emosional dan intuitif.20

Pengalaman mistik mewakili suatu fenomena yang sama, yaitu sebuah pengalaman keagamaan yang didasarkan pada hubungan dengan Tuhan yang langsung dan vital. Hubungan ini dimungkinkan oleh adanya eksistensi ilahi di dalam hati batin manusia. Troeltsch menyebutnya sebagai benih Ilahi (Divine seed).21

18 Soelle, The Silent Cry… , 17-22. 19 Ibid.,97-98.

(10)

Pengalaman-pengalaman yang digambarkan di atas itulah yang dimaksud dengan pengalaman mistik. Pada dasarnya ia merupakan kesadaran tentang kehadiran Tuhan. Ada yang menyebutnya pengalaman yang melampaui batas-batas konsep, kategori, pengalaman-pengalaman yang tak

terbatas. Menurut Heuken pengalaman mistik dapat

berlangsung apabila seseorang bergeser dari modus aktif

kepada modus reseptif.22 Dalam fenomenologi agama

pengalaman mistik ini dikenal sebagai sebuah fakta yang penuh dengan makna bagi kehidupan keagamaan. Pengalaman mistik berhubungan dengan kondisi-kondisi psikologis yang melibatkan jenis kesadaran tertentu di mana simbol-simbol inderawi dan pengertian-pengertian dari pemikiran abstrak maupun diskursif tidak memadai dan tidak berarti. Dalam kondisi seperti ini seseorang merasa jiwanya disatukan dalam suatu kontak langsung dengan kenyataan yang menguasainya. Ia merasa bahwa dirinya memiliki persepsi yang lebih mendalam dan penerangan yang lebih besar dalam pengalamannya akan kenyataan yang agung tersebut, apapun namanya. Namun demikian, pengalaman mistik bukanlah sejenis pengalaman gaib dan paranormal. Pengalaman itu merupakan pengamatan langsung atas sesuatu yang kekal, entah dipahami dalam pengertian-pengertian yang bersifat pribadi seperti dalam agama teistik, ataupun hanya sekedar keadaan kesadaran tertentu. Pengalaman ini bisa juga disebut pengalaman suprarasional, metaempiris, intuitif, dan unitif terhadap sesuatu yang tak ber-ruang, tak berwaktu, tak bisa mati, dan kekal. Indikasi umum akan pengalaman mistik atau pengalaman keagamaan ini adalah hilangnya rasa kepribadian atau kesadaran ego dalam suatu keseluruhan yang lebih besar,

(11)

di mana pada saat itu seseorang merasakan dirinya dipindahkan mengatasi dimensi ruang dan waktu ke suatu ke-kini-an yang abadi, di mana kematian tidak dipersoalkan lagi dan keadaan kodrati manusia menjadi sesuatu yang tak binasa.

3. Tradisi Mistik Kristen

Telah dikatakan sebelumnya bahwa mistisisme merupakan salah satu elemen agama. Yang lain mengatakan bahwa mistisisme adalah salah satu tipe perkembangan sosiologis agama. Ada pula yang mengatakan bahwa ia adalah salah satu dari enam cara beragama manusia di dalam

sejarahnya.23 Dari nuansa pengertian tersebut dapat

disimpulkan bahwa pengalaman mistik adalah suatu fenomena keagamaan yang universal. Jika demikian maka pertanyaannya adalah bagaimanakah tradisi mistisisme itu lahir dan berkembang di dalam Kekristenan? Pertama-tama harus diakui bahwa dalam tradisi Kristen, pengalaman mistik merupakan sebuah kumpulan dari berbagai gambaran yang saling melengkapi satu dengan yang lain yang membentuk sebuah konfigurasi yang menarik dan tidak jarang menjadi sebuah kontroversi. Oleh sebab itu adalah penting untuk menelusuri tradisi Mistik Kristen secara singkat.

Menurut Smith kalau kita hendak menulusuri tradisi mistik dalam Perjanjian Baru maka tulisan-tulisan rasul Paulus dan rasul Yohanes adalah sumber yang paling gamblang. Baginya, rasul Paulus adalah seorang mistik yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani, Yudaisme, dan tulisan-tulisan

(12)

dari Philo.24 Perjanjian Baru mencatat bahwa rasul Paulus

pernah mengalami pengalaman mistik ketika ia melihat terang Kristus dalam perjalanan memasuki kota Damsyik. Sesudah itu ia menjalani cara hidup furgativa, yaitu salah satu tingkat dalam praktek mistik keagamaan di mana seseorang mengalami pertobatan hati dengan mengakui segala dosa dan kelemahan diri serta menerima rahmat Ilahi untuk berpaling dari kehidupan yang berdosa kepada kehidupan yang penuh cinta pada kehendak Tuhan (Kisah Para Rasul 9:1-31). Dalam surat-suratnya Paulus antara lain menampakkan pandangan mistiknya melalui pemahaman bahwa Tuhan ada di dalam semua, dan jiwa manusia sangat membutuhkan suatu hubungan dengan Tuhan. Hubungan itu dapat diperoleh bukan lagi melalui mediasi hukum agama Yahudi (Torat), melainkan melalui persekutuan mistik dengan Kristus yang telah mati dan bangkit sebagai wujud penyataan Tuhan di antara manusia. Salah pemikiran mistik Paulus nampak dalam kata-katanya, “aku hidup, tetapi bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Galatia 2: 20) Dalam Fenomenologi agama, pemahaman mistik seperti ini merupakan kombinasi antara jenis pengalaman mistik yang ekstasis dan teistik. Yang pertama adalah ketika jiwa merasakan dirinya disatukan dengan realitas Yang Ilahi. Sedangkan yang kedua adalah ketika jiwa berpartisipasi dalam sifat-sifat Yang Ilahi melalui cinta dan bakti.25

Tokoh mistisisme Perjanjian Baru yang berikutnya adalah rasul Yohanes, yang tulisan-tulisannya dipengaruhi oleh filsafat Plato dan Philo. Mistisismenya secara signifikan dapat terlihat dalam doktrin tentang Logos yang dipakainya untuk memahami manifestasi Tuhan di dalam dunia, atau

(13)

inkarnasi Tuhan di dalam Yesus Kristus. Dalam filsafat Yunani – khususnya dalam pemikiran Plato yang kemudian lebih dipertegas oleh Plotinos – logos adalah satu dari tiga fungsi jiwa. Dalam jiwa manusia terdapat bagian keinginan yang disebut epitimia, bagian energik yang disebut timos, dan bagian rasional yang disebut logos. Logos sebagai fungsi jiwa yang tertinggi adalah manifestasi dari sebuah sumber transendental, sumber asal usul dan sumber bagi segala yang ada, yaitu yang mutlak dan absolut. Plotinos menyebutnya sebagai Yang Satu (to Hen) atau kemungkinan pertama dan terdalam dari segala ada dan pemikiran. Yang Satu itu tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang ada, melainkan adi-Ada, itulah Yang Tak Berhingga dan Absolut, yang dalam bahasa agama disebut Godhead (Ketuhanan). Dari Yang Satu, yang adi-Ada, dan yang Absolut itu keluarlah – melalui semacam emanasi dan radiasi – Nus atau Roh, yang dalam istilah Plato disebut cosmos noetos atau dunia pemikiran atau Logos. Pada gilirannya Nus atau Roh mengeluarkan serta memancarkan Jiwa (Psyche) untuk terciptanya manusia dan alam semesta, sehingga jiwa atau psyche memiliki eksistensi ilahi. Inilah yang menjadi dasar bagi pemahaman tentang keberadaan benih Ilahi (Divine seed) atau pecikan logos.26

Dalam antropologi Stoa setiap orang dipandang memiliki logos spermatikos atau benih akal universal. Artinya

bahwa manusia sebagai makhluk rohani memiliki

kesanggupan untuk bersatu dengan Roh Abadi atau Yang Ilahi.27 Ketika kekristenan mulai memasuki dunia intelektual

dan spiritual Yunani, Yohanes memakai hirarki metafisik ini untuk menjelaskan hubungan mistik antara manusia dengan Tuhan melalui Yesus Kristus; bahwa Yesus adalah Logos yang

26 P.A. van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia (Yogyakarta: Kanisus., 2000), 35-36.

(14)

menjadi manusia. Pemakaian pemikiran Yunani oleh rasul Yohanes misalnya terdapat dalam Yohanes 1: 1-18 tentang Firman yang menjadi manusia atau dalam I Yohanes 3: 9 tentang benih Ilahi yang ada pada setiap manusia.

Tradisi mistik Perjanjian Baru tersebut bersumber dari kehidupan Yesus Kristus dengan murid-muridNya. Keempat penulis Injil menunjukkan dengan tegas berbagai pengalaman mistik Yesus bersama murid-muridNya. Narasi-narasi mistik dalam kitab Injil menjadi sumber utama tradisi mistik kekristenan yang kemudian secara lambat laun berkembang melalui Origenes dengan teologi cinta kasih, para Bapak Kapadokia dan Dionisius dengan teologi misteri, sampai

pada Augustinus dengan teologi rahmatnya.28

Dari perspektif yang berbeda, Troeltsch melihat adanya dua corak tradisi mistik dalam Perjanjian Baru yang

telah menjadi sumber Mistisisme Kristen sepanjang

sejarahnya, yaitu apa yang disebutnya entusiasme pneumatik jemaat Kristen mula-mula dan Kristologi mistik Paulus. Yang disebut pertama nampak melalui karunia-karunia spiritual seperti bahasa lidah, kuasa mengusir setan, dan keseluruhan aktivitas spiritual mereka di tengah-tengah berbagai tekanan dan hambatan yang datang dari agama Yahudi dan penguasa Romawi. Yang disebut kedua mulai muncul ketika Paulus mengambil alih kultus Kristus dalam gereja mula-mula – yang telah menjadi sebuah bentuk agama yang telah terobjekkan di dalam ibadah, tradisi, dan organisasi – dan menginspirasinya dengan sebuah teologi mistik yang dalam dan penuh gairah, yang juga mempergunakan terminologi-terminologi purba

dari misteri-misteri agama pagan.29 Misalnya Perjamuan

Kudus, bagi Paulus itu telah menjadi sebuah penyatuan

28 Arthur Cushman McGiffert, A History of Christian Thought (New York: Charles Scribner’s Sons., 1932), 177-291.

(15)

mistikal dan substansial dengan Kristus yang mati dan bangkit (Roma 6:1-14). Demikian juga Baptisan, ia telah menjadi sebuah kematian yang aktual dan kebangkitan kembali bersama Kristus. Itu berarti Kristus telah menjadi sebuah atmosfir kehidupan yang baru yang di dalamnya orang percaya hidup, merasa, berpikir dan menjadi seorang pribadi spiritual yang baru atau ciptaan baru (Efesus 4:17-32).

4. Tradisi Mistik Tindakan Sosial

William Johnston mengamati adanya fenomena perkembangan Teologi Mistik di zaman modern. Memasuki abad ke-20 terjadi perkembangan baru, yang disebutnya Mistisisme keterlibatan sosial.30 Mistisisme ini dapat dilihat

melalui kehidupan para aktivis gerakan sosial yang hatinya cerah menyala-nyala dengan kobaran cinta kasih di tengah-tengah persoalan-persoalan sosial, seperti kemiskinan, ketidakadilan, perang, pelanggaran hak-hak sipil, dan pengrusakan lingkungan alam. Para aktivis gerakan sosial ini mengalami malam gelap karena harus menanggung banyak penderitaan di tengah keterlibatan sosial mereka. Mereka mengungkapkan cinta dan iman mereka dengan berunjuk rasa di jalan, menumpahkan darah sendiri di instalasi nuklir, mengutuk struktur yang jahat, menentang pemerintahan yang menindas, masuk penjara, mengalami siksaan dan bahkan mati karena keyakinan iman dan gerakan sosial mereka.

Soele juga melihat dalam konteks Kekristenan, pada abad 19 dan 20, telah terjadi perkembangan besar dalam tradisi mistiknya, yaitu ketika orang-orang Kristen menjadi sadar akan matra sosial agama mereka. Orang Kristen sadar akan keteladan Yesus Kristus yang berempati dengan

(16)

penderitaan dunia; penderitaan kaum miskin dan tertindas. Itulah sebabnya muncul kesadaran mistik baru, yaitu bahwa mistikus tidak selamanya harus hidup menyendiri di gua-gua, gunung-gunung, atau di balik tembok biara gereja, tetapi mistikus yang sejati adalah mereka yang juga memiliki dan menunjukan imannya melalui aksi solidaritas dengan semua penderitaan manusia di dunia ini dan berjuang menentang semua bentuk ketidakadilan, penindasan, dan kejahatan sosial.31 Kobaran cinta dan keyakinan iman mendorong para

mistikus Kristen modern untuk ikut turun ke jalan dalam aksi-aksi unjuk rasa, mengutuk struktur yang menindas, menghadapi pemerintah-pemerintah yang otoriter dan korup, dan akhirnya pergi ke penjara dan mati sebagai martir kemanusiaan. Seperti para mistikus abad pertengahan yang mengosongkan dirinya dan masuk dalam malam gelap yang menyedihkan di dalam keheningan bilik-bilik biara, para mistikus kristen modern juga mengosongkan dirinya dari berbagai kepentingan diri sendiri dan mengalami malam gelap di tempat kumuh, sel-sel penjara, dan tempat-tempat pengasingan. Oleh sebab itu, baginya mistisime adalah pengungkapan resistensi manusia terhadap problem-problem sosial politik di dalam masyarakatnya.

5. Dimensi-Dimensi Sosial Mistisisme

Fenomena mistisme adalah bagian dari fenomena sosial. Secara sosiologis gerakan-gerakan mistik keagamaan berbeda dengan format-format agama yang berlaku dominan di dalam masyarakat. Perbedaan ini bukan hanya berdasarkan status minoritas mereka tetapi juga oleh karena perbedaan-perbedaan yang begitu jelas dalam hal doktrin, praktek hidup, etos sosial, dan format asosiasi. Saat ini, gerakan-gerakan

(17)

mistik keagamaan dapat dengan mudah dibedakan dari generalitas masyarakat sekuler oleh karena etos sosial dan tingkah laku mereka.

Komunitas-komunitas mistisisme yang muncul

belakangan ini memiliki karakter dan sifat-sifat tersendiri yang berbeda satu sama lain, baik secara ideologis maupun kelembagaan. Namun demikian secara umum mereka cenderung bersifat eksklusifistik, mengambil posisi protes terhadap tradisi-tradisi dominan dalam masyarakat, dan menolak pola-pola kepercayaan dan tingkah laku sebelumnya. Komunitas-komunitas mistis memelihara tingkat ketegangan dengan masyarakat luas sebagai ekspresi ketidakpedulian (indifference) terhadap masyarakat, jikalau bukan

permusuhan.32

Komunitas mistis merupakan sebuah organisasi sukarela dalam pengertian bahwa individu harus mengambil komitmen yang tegas terhadap standar-standar tingkah laku pengakuan-pengakuan iman kelompok mistisnya. Orang-orang harus memenuhi beberapa eksaminasi dan harus bisa menerima tindakan disipliner dan bahkan pengucilan jika mereka melanggar norma-norma yang berlaku di dalam

komunitasnya.33 Dalam hal ini, bagi individu-individu,

keanggotaan di dalam komunitas-komunitas mistis tersebut dapat menjadi sumber utama identitas sosialnya.

Terhadap komunitas-komunitas mistis sering diberi sebutan sekte karena sikapnya yang sektarian. Banyak tulisan teologis tentang gerakan mistis sebagai sekte berangkat dari asumsi-asumsi normatif teologis yang mengarah pada penghakiman dan pembuktian bahwa kelompok-kelompok tersebut telah terdistorsi (menyimpang) dari agama yang

32Bryan Wilson, The Social Dimension of Sectarianism (New York: Oxford University Press, 1990), 2.

(18)

benar. Namun demikian sekarang ini sudah mulai bermunculan tulisan-tulisan sosiologis yang memakai istilah sekte dalam arti yang netral, tanpa konotasi evaluatif dan emosional.34 Sekte dilihat sebagai fenonena sosial, sebagai

bidang studi sosiologis yang sama dengan organisasi-organisasi voluntir lainnya atau sama dengan kelas-kelas sosial, birokrasi, atau keluarga. Dalam translasi sosiologis, konsep sekte kemudian menjadi konsep tentang minoritas-minoritas keagamaan dan divisi-divisi dalam ragam budaya dan tradisi-tradisi keagamaan.

Pergeseran dari pendekatan teologis yang bersifat

normatif

konfesional

ke pendekatan sosiologis yang positivis

telah memberikan prospek bagi pemahaman purbasangka tentang sekte-sekte mistis. Studi-studi modern tentang mistisisme berada dalam posisi ini. Sekte-sekte mistisisme

dilihat sebagai fenomena yang tidak memerlukan

pertimbangan nilai eksplisit tentang apakah mereka memiliki kepercayaan dan praktek hidup yang benar atau tidak.

Sosiolog mistisisme kontemporer menghindari

sumber-sumber

informasi

dan data dari penggalan-penggalan

dan kesaksian-kesaksian yang bias yang diberikan oleh para oponen kelompok mistisisme tersebut. Sebaliknya sosiolog lebih mengutamakan informasi-informasi yang tersedia di dalam sekte-sekte mistis itu sendiri, baik lisan maupun tulisan. Informasi-informasi ini kemudian dikaji dalam konteks struktur sosial masyarakat di sekitarnya.35 Untuk itu maka

salah satu cara yang dipakai adalah observasi partisipan yang dengannya sosiolog ikut serta di dalam aktivitas-aktivitas sekte mistis tersebut sampai ia memperoleh pemahaman yang utuh dan objektif. Dalam hal ini biasanya kesulitan pertama

(19)

adalah bagaimana mendapat kepercayaan dan penerimaan dari suatu sekte sehingga bisa diikutsertakan dalam ragam kegiatan mereka.

Untuk mengkaji sekte mistis sebagai sebuah entitas sosial yang total, sosiologi perlu memperhatikan tidak hanya aspek-aspek struktural di dalam masyarakat, tetapi juga ajaran-ajaran dan sumber-sumbernya, asal mula gerakannya sebagai sebuah komunitas yang terpisah dari arus utama,

sejarah perkembangannya, karakter transimisi

kepemimpinannya, daya tariknya, metode rekruitmen anggota baru, motif-motif konversi anggota-anggotanya, komposisi-komposisi sosial konstituennya, kontrol sosialnya, struktur

ekonominya, posisi-posisi gendernya, kapasitas untuk

memobilisasi dan memotivasi anggota-anggotanya, hubungan

antara ideologi dengan organisasi, etos sosial, dan

hubungannya dengan struktur sosial masyarakat yang lebih luas.36

Pada sisi yang lain, sosiolog yang tertarik di bidang gerakan-gerakan mistik keagamaan mendapat tantangan untuk mengamati dan menganalisis bagaimana gerakan-gerakan mistik dapat muncul di tengah masyarakat, bagaimana gerakan mistik tersebut berinteraksi dengan lingkungan sosial dan kulturalnya, dan faktor-faktor apa yang membuatnya berhasil atau sebaliknya gagal.37 Sosiologi fokus

pada keberadaan komunitas-komunitas mistisisme sebagai subkultur-subkultur atau unit-unit sosial yang termarginal yang berada dalam konflik dengan masyarakat luas. Sosiologi mengkaji ragam cara yang dipakai untuk membentuk organisasi-organisasi mistis dan pemeliharaan kelangsungan hidupnya. Dinamika internal yang menjadikannya sebagai

36 Ibid., 11.

(20)

unit-unit sosial yang dapat bertahan dieksplorasi, termasuk di dalamnya struktur politik dan ekonominya dan tipe kepemimpinan karismatik yang memberikan legitimasi ilahi

bagi kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek

keagamaan yang ada. Dalam kaitan dengan hal tersebut sosiologi juga berkepentingan dengan tingkat-tingkat dan tipe-tipe komitmen yang harus dimiliki oleh mereka yang ikut serta dalam gerakan mistik tersebut. Selain itu, sosiologi juga perlu mengamati korelasi sosial dan faktor-faktor kultural yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan rekruitmen anggota. Hal yang tidak kalah pentingnya juga adalah melihat konflik yang ada antara gerakan mistisisme dengan tradisi-tradisi keagamaan arus utama dan dampak dari konflik tersebut

terhadap keduanya.38

Dengan demikian menjadi jelas bahwa dimensi sosiologis dari mistisisme adalah karena sebagai sebuah fenomena sosial ia terbentuk dari format perilaku sosial manusia dan ekspresi dari dinamisme keagamaan, sosial, dan kultural. Itulah sebabnya penelitian dan pembahasan dimensi sosiologis dari mistisisme tidak pertama-tama didedikasikan pada investigasi psikologis personal. Artinya, secara sosiologis penelitian tentang mistisisme tidak berfokus pada eksplanasi-eksplanasi individual tetapi pada eksplanasi-eksplanasi struktural.

6. Kesimpulan

Dari beberapa konsep dan teori tentang mistisisme yang dipandang dari sudut teologis dan sosiologis serta oleh tinjauan historis tentang perkembangan tradisi mistik dalam kekristenan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat enam indikator utama mistisisme Kristen.

(21)

1) Pengalaman mistik adalah sebuah pengalaman keagamaan atau pengalaman akan Tuhan yang bersifat langsung dan batiniah. Sebuah pengalaman akan kehadiran Tuhan dan perjumpaan denganNya tanpa dimediasi oleh bentuk-bentuk objektif pelayanan gereja. Pengalaman kehadiran itu terjadi dalam kondisi mental yang konkret melalui

mimpi, halusinasi, penglihatan, ketabahan dalam

penderitaan (suffering), dan pengalaman batin. Itulah sebabnya mistisisme yakin bahwa pengetahuan dan pengenalan manusia akan Tuhan serta perasaan keagamaanya terletak pada intuisi. Dan pengalaman keagamaan atau pengalaman akan Tuhan selalu bersifat subjektif, langsung, dan batiniah.

2) Mistisisme sebagai sebuah praxis filosofis meyakini bahwa

dalam jiwa manusia terdapat eksistensi ilahi dengan apa yang disebut sebagai benih Ilahi (Divine seed) atau pancaran Ilahi (Divine Spark). Keyakinan ini mengartikan bahwa manusia ikut serta dalam sifat-sifat Tuhan seperti kesucian, kekudusan, kekekalan, dan cinta kasih. Inilah yang menyebabkan adanya kesadaran akan Tuhan di dalam hati batin manusia dan yang dapat memotivasi manusia untuk mencari dan menyatukan eksistensinya dengan Tuhan.

3) Cara atau jalan yang terbaik untuk mendekatkan diri

kepada Tuhan dan menyatukan eksistensi denganNya adalah pengosongan diri (self annihilation) dan penyucian hati dari segala kejahatan (purification). Cara ini dapat dilakukan melalui doa kontemplasi, meditasi, puasa, praktek asketik, dan kehidupan yang penuh dengan cinta kasih.

4) Kepastian keselamatan personal tidak diperoleh melalui

(22)

yang bersifat batiniah. Itulah sebabnya karya penebusan dan penyelamatan dipahami sebagai sebuah proses yang akan mencapai titik puncaknya pada saat jiwa dan kehendak manusia mengalami iluminasi oleh Roh Tuhan,

dan melahirkan perasaan damai, sukacita, dan

kegembiraan yang luar biasa (ecstasy)

5) Mistisisme menganut paham gereja sebagai sebuah

persekutuan spiritual yang tidak dibatasi oleh

signal-signal eksternal, obligasi-obligasi organisasi dan

sektarian. Itulah sebabnya ia dapat lebih apresiatif dan positif terhadap semua perasaan dan tradisi keagamaan.

6) Mistisisme adalah sebuah fenomena sosial karena ia

terbentuk dari format perilaku sosial manusia dan ekspresi dari dinamisme keagamaan, sosial, dan kultural.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun Peraturan Daerah yang bernuansa Syariat Islam di antaranya adalah Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat (diundangkan tertanggal

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) atau penurunan faal ginjal yang menahun dimana ginjal tidak

Selain itu terjadi penurunan fungsi dari cholinesterase suatu enzim yang berfungsi untuk memecah agen anestesikum sehingga zat anestesikum yang tidak dapat

Titik Hasil dari titik-titik sendi ini dapat dipanggil oleh Unity melalui aset Kinect with MS-SDK yang kemudian dapat digunakan untuk membuat gesture serta interaksi

Contoh filosofi Islam yang diterapkan pada menara Islamic Center Samarinda Sumber :

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada faktor belajar dari segi eksternal telah diidentifikasi pada mata pelajaran teknologi mekanik dan yang paling terhambat

Pokja Pekerjaan Konstruksi pokja pada SKPD04 akan melaksanakan Pelelangan Umum Ulang dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara elektronik sebagai berikut :4.

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas