257
kolektif yang berbasiskan kepercayaan fundamental untuk mengatasi ketegangan-ketegangan interaksi dan struktur sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, kemunculan Jemaat Eli Salom kele’i di satu pihak merupakan sebuah mekanisme redefinisi kolektif terhadap kehancuran struktur sosial di Poso akibat kerusuhan dan konflik berdarah, dan di pihak lain koreksi terhadap formalisme agama institusional. Fakta ini dicirikan oleh dua kondisi faktual, yaitu terjadinya modifikasi relasi manusia dengan sesamanya dan terbentuknya kultus yang memisahkan diri dari induk organisasi keagamaan.
Tesis-tesis di dalam disertasi ini mempertajam kembali teori-teori fungsional agama dari para sosiolog klasik yaitu bahwa agama bersifat historis dan sosiologis. Agama adalah bagian dari proses historis dan struktur sosial sebuah masyarakat. Oleh karena itu perilaku keagamaan, baik secara individual apalagi kolektif selalu hanya dapat dipahami dalam konteks sosio historisnya. Agama yang fungsional adalah agama yang menjadi bagian dari sejarah pergolakan masyarakat. Selama agama memposisikan diri seperti ini maka ia akan tetap hidup. Sebaliknya ketika agama semakin menjadi sebuah sistem organisasi dan sistem simbol dan pemikiran yang abstrak-dogmatis serta terpisah dari pergolakan sosial maka agama itu akan mati.
teologis dan melahirkan kepercayaan fundamental, nilai-nilai, dan norma-norma sosial. Berdasarkan tesis-tesis yang telah disebutkan sebelumnya maka ada tiga tujuan tindakan sosial keagamaan dari para aktor kolektif jemaat Eli Salom Kele’i. Pertama, dalam kondisi krisis sosial di mana terjadi ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik sosial mereka memobilisir diri untuk menyusun kembali tatanan nilai dan norma yang hancur akibat konflik Poso dengan berdasarkan keyakinan-keyakinan fundamental atau kepercayaan keagamaan.1 Secara sosiologis Jemaat Eli Salom Kele’i tidak
dapat disebut sebagai sebuah gerakan sempalan agama yang bertujuan untuk menyimpangkan dan menodai ajaran-ajaran Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Dalam tipologi Ernst Troeltsch ia adalah salah satu tipe perkembangan sosiologis gereja yang muncul ketika agama mengalami formalisme yang kaku di tengah krisis dan perubahan struktur sosial. Dalam tipologi Neil Smelser ia adalah sebuah tipe gerakan sosial yang berbasiskan perilaku kolektif yang berorientasi nilai. Di bawah kondisi kondusifitas yang dihasilkan oleh konflik Poso, para aktor yaitu orang-orang Kele’i menafsirkan secara teologis dan mengembangkan secara kolektif nilai-nilai budaya lokal untuk menjadi komponen-komponen dasar tindakan sosial mereka.2 Oleh sebab itu gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i
sebagai sebuah gerakan sosial berorientasi nilai telah didorong oleh keinginan yang rasional untuk mengartikan kembali secara kolektif keadaan sosial yang tidak terstruktur lagi, baik di Poso pada umummnya dan di Kele’i pada khususnya. Kedua, jemaat Eli Salom Kele’i adalah kumpulan
1 Lihat kembali Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The
Free Press, 1962), 23., dan lihat juga Bryan Wilson, Magic and the Millenium: A
Sociolgical Study of religious Movements (New York: Harper & Row, Publishers, 1973) 1 – 8.
2 Kedua nilai itu adalah Mombetubunaka dan Mosintuwu. Untuk jelasnya
aktor-aktor kolektif yang merasa terdorong untuk mendefinsikan kembali diri mereka sendiri dan hubungan-hubungan mereka dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Para anggota persekutuan Jemaat tersebut berkontribusi pada pembentukan sebuah identitas kolektif melalui proses konstruksi sistem tindakan yang berbasiskan kepercayaan-kepercayaan Kristen. Konstruksi identitas kolektif ini didefinisikan dan diartikulasikan secara bersama melalui praktek-praktek ritual, perilaku hidup sosial, dan produk-produk kultural.3 Ketiga, perubahan sosial yang cepat dan
ketegangan-ketegangan struktural dalam masyarakat Poso pasca konflik 1998 – 2003 membuat pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang teoritis formal menjadi kering dan tidak bermakna. Dimensi spiritual dan intuisi keagamaan tidak dapat lagi diisi oleh obligasi-obligasi keagamaan dan abstraksi-abstraksi dogmatis. Orang-orang menjadi haus dan dahaga dengan pengalaman keagamaan yang eksistensial dan otentik. Untuk menangkap pengalaman keagamaan yang seperti itu orang-orang Kele’i yang sederhana lebih mengandalkan intuisi ketimbang rasionalitas. Itulah sebabnya pengalaman keagamaan Marliana Pulanga terasa lebih dipahami ketimbang khotbah-khotbah di Gereja GKST Yerusalem Kele’i. Berdasarkan hal ini maka elemen-elemen mistikal seharusnya mendapat tempat dan perhatian yang cukup dalam praktek-praktek keagamaan di Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Diskursus dogmatis, formalitas ritual, dan birokrasi institusional gereja bukan menjadi kebutuhan utama warga gereja, apalagi ketika mereka menghadapi kebutuhan untuk menginterpretasi dunia sosial mereka dan mengkonstruksi makna tindakan sosial dan identitas di tengah
3 Lihat kembali Alberto Melluci, dalam Dalam: Hank Johnston and Bert
Klandermans (Ed.), Social Movements and Culture (Minneapolis: Univ. of Minnesota
masyarakat yang bergolak. Apa yang menjadi kebutuhan mereka adalah praktek keagamaan yang membuka ruang seluas-luasnya bagi pengalaman-pengalaman meditatif, kontemplatif, intuitif dan reflektif. Praktek keagamaan yang seperti ini mensyaratkan keseimbangan antara aspek kognitif dan afektif manusia. Oleh karena itu Gereja Kristen Sulawesi Tengah perlu menghindari model-model ibadah yang formalistik dan indoktrinatif serta mengembangkan model ibadah yang lebih partisipatif dan reflektif.
Hal tersebut di atas melahirkan satu kesimpulan umum bahwa rasionalitas tindakan sosial orang-orang yang ikut dalam Jemaat Eli Salom Kele’i melibatkan dua kesadaran, yaitu kesadaran intelektual dan kesadaran intuisi. Kesadaran intelektual bersentuhan dengan rekonstruksi tatanan nilai dan identitas kolektif, sementara kesadaran intuisi bersentuhan dengan dimensi spiritual yang melahirkan kepercayaan fundamental.
Inilah yang menyebabkan adanya kesadaran akan Tuhan di dalam hati batin manusia dan yang dapat memotivasi manusia untuk mencari dan menyatukan eksistensinya dengan Tuhan. Cara atau jalan yang terbaik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyatukan eksistensi denganNya adalah pengosongan diri dan penyucian hati dari perasaan benci, dendam, marah, dengki, penyucian tubuh dari kekuatan-kekuatan magis dan makanan atau minuman yang mengotori tubuh serta menghindarkan diri dari perilaku yang merendahkan orang lain. Kepercayaan fundamental tersebut direfleksikan ke dalam nilai-nilai utama sebagai elemen dasar tindakan sosial. Nilai-nilai mombetubunaka dan mosintuwu
yang diambil dari konsepsi budaya tradisional
diinterpretasikan secara teologis dan dioperasionalisasikan dalam norma-norma tingkah laku sehari-hari. Jadi, kepercayaan fundamental Jemaat Eli Salom kele’i adalah adanya hubungan dan kesatuan eksistensial antara manusia dengan Tuhan dan antara manusia dengan sesamanya. Oleh karena itu setiap orang harus memandang dirinya dan sesamanya sebagai bagian dari sebuah kesatuan hakekat. Itulah kehidupan yang ada dalam persekutuan dengan Tuhan.