• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebaran Titik Sampel Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan

Titik sampel merupakan titik yang akan digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengecekan hasil yang diperoleh saat di lapangan. Titik sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 106 titik (Lampiran 1). Jumlah titik diperoleh berdasarkan banyaknya jumlah kelas bahaya longsor yang ditemukan pada masing-masing kecamatan. Sebaran titik sampel disajikan pada Gambar 7. Masing-masing kelas diambil 2 titik sebagai pengulangan untuk memperoleh nilai akurasi yang lebih baik. Banyaknya kelas bahaya longsor dan jumlah titik yang diambil disajikan pada Tabel 11.

Setelah dilakukan pengecekan di lapangan, titik sampel yang sesuai dengan peta sebaran bahaya longsor adalah sebanyak 94 titik dan yang tidak sesuai adalah 12 titik, sehingga diperoleh nilai akurasi sebesar 88,68%. Nilai akurasi hasil groundcheck yang diperoleh lebih besar dari 80%. Menurut Short (1982) dan Estes dalam Danoedoro (1996), nilai akurasi yang mempunyai tingkat ketelitian ≥ 80% sudah dianggap akurat. 12 titik yang tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh pada peta tersebar pada Kecamatan Berastagi (2 titik), Kabanjahe (2 titik), Laubaleng (4 titik), Mardingding (1 titik), Merek (1 titik), Munthe (1 titik), dan Simpang Empat (1 titik). Hal ini dikarenakan setiap kecamatan memiliki jumlah kelas bahaya longsor yang berbeda yang ditentukan oleh seluruh parameter penentu rawan longsor yaitu kelas kelerengan, jenis tanah dan batuan, dan penutupan lahan.

Tabel 11. Jumlah titik sampel berdasarkan kecamatan

Kecamatan Kelas Bahaya Longsor Jumlah Titik Sampel

Barusjahe Sangat tinggi dan tinggi 4

Berastagi Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi

10

Juhar Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi

10

Kabanjahe Sangat rendah, sedang, dan tinggi 6

Kutabuluh Sedang, tinggi, dan sangat tinggi 6

Laubaleng Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi

10

Mardingding Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi

10

Merek Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi

10

Munthe Sedang, tinggi, dan sangat tinggi 6

Payung Rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi 8

Simpang Empat Sangat rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi

8

Tiga Binanga Rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi 8

Tiga Panah Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi

10

Total Titik Sampel 106

Sebaran Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan

Hasil yang diperoleh berupa peta rawan longsor dengan sebaran yang terdiri dari 5 kelas yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi berdasarkan kecamatannya di Kabupaten Karo. Sebaran bahaya longsor berdasarkan kecamatan tersebut tidak merata pada setiap kecamatannya yang disajikan pada Gambar 7. Hal ini sesuai dengan hasil analisis pada peta dan pengecekan di lapangan. Setiap kelas bahaya longsor ditandai dengan warna yang berbeda.

Karakteristik longsoran yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah jenis longsoran translasi dan rotasi. Karakteristik longsoran yang ditemukan pada wilayah penelitian adalah longsoran translasi, longsoran rotasi, dan pergerakan blok. Menurut Kementrian ESDM (2008), longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai (Gambar 8a). Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung (Gambar 8b). Sedangkan pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata (Gambar 8c).

(a) (b)

(c)

Gambar 8. Karakteristik longsoran translasi pada Kecamatan Kuta Buluh (a), rotasi pada Kecamatan Laubaleng (b), pergerakan blok pada Kecamatan Kuta Buluh (c)

Karakteristik longsor pada wilayah penelitian memiliki luasan yang berbeda pada setiap kecamatan. Luas tersebut disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, karakteristik longsor yang paling banyak ditemukan adalah Kecamatan Tiga Binanga (sangat tinggi), Kecamatan Mardingding (tinggi, rendah, dan sangat rendah).

Tabel 12. Kelas bahaya longsor berdasarkan kecamatan

Kecamatan Kelas Bahaya Longsor

Sangat rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi (kosong) Total Ha % Barusjahe 857,79 241,76 1.099,55 5,45 Berastagi 69,53 2,03 2,40 169,00 32,74 275,72 1,37 Juhar 38,05 4,84 167,39 1.661,15 160,79 2.032,24 10,08 Kabanjahe 101,87 153,52 144,36 399,76 1,98 Kutabuluh 12,30 1.841,40 324,77 2.178,48 10,80 Laubaleng 263,96 89,21 26,73 1.218,39 20,10 1,65 1.620,06 8,03 Mardingding 543,37 131,79 28,21 2.476,73 19,61 4,08 3.203,82 15,89 Merek 8,08 4,04 120,18 1.826,77 153,68 2.112,77 10,48 Munthe 214,28 1.009,01 52,27 1.275,56 6,33 Payung 93,46 268,45 958,83 107,24 1.427,99 7,08 Simpang Empat 80,18 335,96 1.025,86 251,68 0,21 1.693,91 8,40 Tiga Binanga 4,06 182,28 925,93 477,27 1.589,56 7,88 Tiga Panah 146,93 19,81 307,16 780,15 2,15 1.256,21 6,23 Total Ha 1.252,01 349,49 1.818,91 14.895,43 1.844,10 5,73 20.165,69 100 % 6,21 1,73 9,02 73,87 9,15 0,03 100

Kelas bahaya longsor sangat tinggi

Kecamatan Tiga Binanga merupakan kecamatan yang memiliki tingkat bahaya longsor yang paling tinggi di Kabupaten Karo dengan luas 477,27 ha. Hal ini dikarenakan Kecamatan Tiga Binanga memiliki jenis tanah Dystropepts, Tropudults, Humitropepts, tutupan lahannya adalah pertanian lahan kering, kemiringan lereng di atas 45%, dan jenis batuannya adalah Sedimen-Campuran (silt/mudstone). Hal yang paling berpengaruh dalam tingkat bahaya longsor di

Kecamatan Tiga Binanga ini adalah kemiringan lerengnya. Kelas bahaya longsor ini dapat dilihat pada Gambar 9a.

Kelas bahaya longsor tinggi

Kecamatan Mardingding merupakan kecamatan yang memiliki luas administrasi yang paling besar bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Karo. Luasnya mencapai 3.203,82 ha dan merupakan kecamatan yang memiliki tingkat bahaya longsor yang tinggi di Kabupaten Karo dengan luas 2.476,73 ha. Hal ini dikarenakan Kecamatan Mardingding memiliki jenis tanah Tropudults, Dystropepts, tutupan lahannya didominasi hutan lahan kering sekunder, jenis batuannya adalah Sedimen-Campuran, dan persen kelerengannya adalah di atas 45%. Kelas bahaya longsor ini dapat dilihat pada Gambar 9b.

a. b.

Gambar 9. Kelas bahaya longsor sangat tinggi di Kecamatan Tiga Binanga (a) dan tinggi di Kecamatan Mardingding (b)

Faktor-faktor Penyebab Bahaya Longsor di Kabupaten Karo Bahaya longsor berdasarkan kelas kelerengan

Tingkat kelerengan suatu tempat sangat berpengaruh besar terhadap adanya longsor terutama terkait dengan kekuatan gelinciran. Menurut Arsyad (2006), kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap longsor. Semakin

curam suatu lereng, maka semakin besar dan cepat longsor terjadi. Luasan tingkat bahaya longsor menurut kelas kelerengan disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Kelas bahaya longsor berdasarkan kelerengan

Persen kemiringan lereng (%)

Kelas Bahaya Longsor Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat

tinggi Total Ha % 0 - < 8 9.030,67 52,12 9.082,80 4,19 8 - < 15 3.496,51 12.955,04 16.451,55 7,58 15 - < 25 213,22 3.150,58 3.363,81 1,55 25 - < 45 3.472,88 64.108,19 67.581,08 31,14 > 45 96.224,26 19.849,70 116.073,97 53,49 (kosong) 4.445,87 4.445,87 2,05 Total Ha 13.476,55 3.761,86 19.578,51 160.332,46 19.849,70 216.999,10 100 % 6,21 1,73 9,02 73,89 9,15 100

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dilihat bahwa persen kemiringan lereng di atas 45% memiliki kelas bahaya longsor yang sangat tinggi dengan luas 19.849,70 ha. Menurut Marwanto, dkk (2007), suatu daerah dinyatakan memiliki potensi longsor apabila memenuhi tiga syarat, yaitu lereng cukup curam, memiliki bidang luncur berupa lapisan di bawah permukaan tanah yang semi permeabel dan lunak, dan terdapat cukup air untuk memenuhi tanah di atas bidang luncur tersebut. Dengan persen kemiringan lereng yang tinggi, maka kejadian longsor hanya tinggal menunggu faktor pemicunya yaitu curah hujan atau gempa bumi.

Kelas bahaya longsor yang sangat rendah berada pada persen kemiringan lereng 0 - < 8. Hal ini menandakan bahwa keadaan suatu tempat yang datar memiliki pengaruh yang sangat rendah terhadap kejadian longsor. Wahjono (2003) menyatakan bahwa tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng, makin tinggi kemiringan lerengnya akan semakin besar potensi tanah longsornya.

Bahaya longsor akan semakin besar apabila lereng tersusun atas perlapisan batuan yang miring searah dengan kemiringan lereng. Menurut Priyono, dkk (2006), luncuran tersebut terjadi di sepanjang bidang perlapisan batuan yang merupakan bidang yang lemah, terutama apabila terjadi tekanan oleh air yang meresap melalui bidang-bidang tersebut.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, jelas terlihat bahwa semakin tinggi persen kelerengan suatu lahan, maka semakin besar potensi longsornya. Hal ini juga diperjelas oleh Wahyunto, dkk, (2003), yang menyatakan bahwa faktor lereng yang terjal sangat menentukan daya tahan lereng terhadap reaksi perubahan energi (tegangan) pada lereng tersebut. Tanah longsor terjadi biasanya diakibatkan oleh wilayah jenuh air dan adanya gaya gravitasi. Penambahan beban volume dan melemahnya daya ikat materi penyusun lereng dengan bahan induk sebagai akibat adanya peresapan/infiltrasi air hujan yang masuk ke dalam materi tersebut dapat menyebabkan tanah longsor.

Bahaya longsor berdasarkan jenis batuan

Jenis batuan merupakan parameter penentu tingkat bahaya longsor. Jenis batuan yang terdapat di Kabupaten Karo didominasi oleh jenis batuan beku dan batuan sedimen. Munir (1996) mengemukakan bahwa batuan beku terbagi atas 3 jenis berdasarkan proses pembentukannya yaitu batuan plutonis (batuan beku dalam), batuan gang (batuan intrusi), dan batuan vulkanis (batuan beku atas).

Jenis batuan yang termasuk ke dalam batuan beku antara lain Andesit dan Plutonik-Granit sebagai batuan beku dalam yang merupakan sinonim dari jenis batuan Vulkanik-Alluvium, fan deposit, Vulkanik-Alluvium, recent vulka, Vulkanik-Andesit, Vulkanik-Basalt, Vulkanik-Campuran, Vulkanik-Riolit, dan

Vulkanik-Tepra butir halus. Sedangkan jenis batuan sedimen antara lain adalah Alluvium, Batu Kapur, Batu Pasir, dan Breccia (breksi) dengan nama lain yang bersinonim dengan batuan tersebut adalah Campuran-Alluvium, fan deposit, Metamorfik-Kuarsit, Metamorfik-Marbel, Metamorfik-Shale, Sedimen-Alluvium, recent riveri, dan Sedimen-Campuran (silt/mudstone). Luasan bahaya longsor menurut batuan disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Tingkat bahaya longsor menurut jenis batuan

Jenis batuan yang paling berpengaruh terhadap tingkat bahaya longsor adalah Sedimen-Campuran (silt/mudstone) dengan luas 11.154,91 ha dengan kelas bahaya sangat tinggi. Hal ini dikarenakan bahwa batuan Sedimen- Campuran (silt/mudstone) merupakan jenis batuan sedimen (endapan) klastis

Jenis Batuan Kelas Bahaya Longsor Total

Sangat rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi (kosong) Ha % Campuran-Alluvium, fan deposit 1.834,23 2.378,86 4.213,09 1,50 Metamorfik-Kuarsit 36.307,60 36.307,60 12,92 Metamorfik-Marbel 16.249,86 16.249,86 5,78 Metamorfik-Shale 7.196,44 7.196,44 2,56 Plutonik-Granit 6.741,31 4.455,73 11.197,05 3,98 Sedimen-Alluvium, recent riveri 52,12 52,12 0,02 Sedimen-Campuran (silt/mudstone) 3.472,88 40.301,87 11.154,91 51.568,95 106.498,62 37,89 Vulkanik-Alluvium, fan deposit 1.049,62 1.049,62 0,37 Vulkanik-Alluvium,recent vulka 213,22 11,70 224,92 0,08 Vulkanik-Andesit 3.830,73 127,54 3.958,27 1,41 Vulkanik-Basalt 144,39 144,39 0,05 Vulkanik-Campuran (silt/mudstone) 14.417,51 2.152,69 16.570,21 5,90 Vulkanik-Riolit 1.958,80 3.796,22 5.755,03 2,05 Vulkanik-Tepra butir halus 68,02 15.949,53 16.017,56 5,70 (kosong) 282,82 55.365,18 55.648,01 19,80 Total Ha 9.313,50 3.761,86 19.578,51 173.214,09 19.849,70 55.365,18 281.082,86 100 % 3,31 1,34 6,97 61,62 7,06 19,70 100

dengan partikel liat yang memiliki kisaran ukuran diameter < 1/256 mm. Ukuran diameter batuan ini tergolong kecil bila dibandingkan dengan batuan beku. Batuan beku merupakan jenis batuan yang berbutir kasar.

Jenis batuan endapan klastis sangat berbeda dengan batuan beku, baik dalam bentuk maupun susunan dari butiran-butirannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Munir (1996). Pada batuan beku, butirannya tidak teratur dan terikat kokoh satu sama lain. Sedangkan pada batuan endapan, di partikel-partikelnya terdapat adanya tanda-tanda goresan akibat berlangsungnya pengangkutan. Pada batuan endapan klastis juga dijumpai adanya penyemenan sehingga terjadi pengikatan partikel-partikel satu dengan lainnya, sedangkan pada batuan beku terdiri atas sambungan-sambungan kristal.

Batuan Sedimen-Campuran (silt/mudstone) juga disebut serpih atau batuan sedimen berbutir halus yang terbentuk dari memadatnya dan atau tersementasinya partikel lempung. Menurut Hardiyatmo (2006), beberapa serpih berkelakuan cenderung seperti tanah daripada batuan dan menunjukkan sifat merugikan. Sifat-sifat teknis serpih pada umumnya adalah:

a. Kekuatan serpih bervariasi. Serpih lunak dapat tergaruk dengan pemukul atau dapat digali dengan alat berat tanpa menggunakan bahan peledak. Sedangkan serpih yang keras harus digali dengan menggunakan bahan peledak.

b. Serpih mempunyai struktur berlapis dengan jarak dekat, dan cenderung sangat mudah terpisah di sepanjang bidang lapisannya. Ketika basah, kuat geser pada batas lapisannya sangat rendah.

c. Serpih sering menjadi lunak atau menjadi lempung atau lanau tidak padat sesudah terendam air dalam beberapa hari.

Berdasarkan sifat-sifat teknis di atas, maka batuan Sedimen-Campuran (silt/mudstone) merupakan salah satu jenis batuan yang memiliki pengaruh besar terhadap tingkat bahaya longsor.

Jenis batuan yang paling kecil pengaruhnya terhadap tingkat bahaya longsor adalah jenis batuan Metamorfik-Shale. Jenis batuan ini termasuk dalam batuan metamorf dan setara dengan batu kapur. Batuan metamorf merupakan batuan yang telah mengalami perubahan dari bentuk asalnya dari batuan yang sudah ada dan pada umumnya masih berkaitan dengan batuan sedimen. Menurut Hardiyatmo (2006), sifat teknis batuan metamorf pada umumnya adalah merupakan material yang keras dan kuat, dan hampir tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa jenis batuan Metamorfik-Shale merupakan batuan yang paling rendah pengaruhnya terhadap tingkat bahaya longsor.

Jenis batuan lainnya pada Tabel 14 merupakan jenis batuan Breksi, Andesit, Plutonik-Granit, dan Alluvium. Menurut Effendi (2008), jenis batuan dengan formasi Breksi dan Andesit dapat menjadi bidang gelincir untuk terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air. Dalam keadaan jenuh air pada musim hujan, ditambah dengan tekstur tanah lempung pasiran, maka pada daerah yang memiliki batuan induk bersifat andesit menjadi rawan longsor. Namun jenis batuan ini bukan merupakan faktor terbesar dalam menentukan tingkat bahaya longsor.

Bahaya longsor berdasarkan jenis tanah

Jenis tanah merupakan salah satu parameter penentu tingkat bahaya longsor. Menurut Haifani (2008), terjadinya tanah longsor pada umumnya disebabkan oleh keberadaan ketebalan tanah lepas yang besar. Dengan adanya air hujan yang menjenuhi tanah, maka tingkat longsoran akan semakin tinggi. Hasil analisis tingkat bahaya longsor menurut jenis tanahnya disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Tingkat bahaya longsor menurut jenis tanah

Jenis Tanah Kelas Bahaya Longsor

Sangat rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

(kosong) Total

Ha % Dystropepts, Distrandepts, Tropudults 1.049,62 1.049,62 0,38 Dystropepts, Distrandepts, Tropusults 3.472,88 15.329,39 49.381,64 68.183,92 24,45 Dystropepts, Dystrandepts, Haplorthox 68,02 12.955,04 13.023,06 4,70 Dystropepts, Eutrandepts, Dystrandepts 12.278,78 12.278,78 4,40 Dystropepts, Eutropepts, Tropudults 8.108,67 8.108,67 2,91

Dystropepts, Paleudults 52,12 52,12 0,02

Dystropepts, Troporthens, Tropudults 1.958,80 3.796,22 5.755,03 2,06

Dystropepts, Tropudalts, Tropudults 144,39 144,39 0,05

Dystropepts, Tropudults, Haplorthox 3.159,35 1.595,86 4.755,22 1,71 Dystropepts, Tropudults, Humitropepts 3.035,53 11.154,91 14.190,45 5,09 Dystropepts, Tropudults, Troportens 27.770,68 27.770,68 9,96 Dystropepts, Tropudults, Troportents 3.830,73 127,54 3.958,27 1,42 Dystropepts, Tropudults, Troporthens 3.581,95 2.859,87 6.441,82 2,31 Dystropepts, Tropudults, Tropudalts 2.378,86 2.378,86 0,85

Eutropepts 4.598,63 4.598,63 1,65 Fluvaquents,Tropaquepts 7.196,44 7.196,44 2,58 Humitropepts,Dystrandepts,hydrandepts 1.440,38 2.152,69 3.593,08 1,29 Hydrandepts,Eutropepts,Troporthents 428,24 428,24 0,15 Paleudults,Dystrandepts,Haplorthox 213,22 11,70 224,92 0,08 Rendolls,Eutropepts 11.651,23 11.651,23 4,18 Tropaquepts,Trofopluvents,Pluvaquents 1.834,23 1.834,23 0,66 Tropudults,Dystropepts 24.124,25 24.124,25 8,65 Tropudults,Dystropepts,Eutropepts 2.994,49 2.994,49 1,07 Tropudults,tropohumuts,Dystropepts 698,34 698,34 0,25 (kosong) 282,82 53.177,87 53.460,69 19,17 Total Ha 9.313,50 3.761,86 19.578,51 173.214,09 19.849,70 53.177,87 278.895,55 100 % 3,34 1,35 7,02 62,12 7,12 19,07 100

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 15, dapat dilihat bahwa jenis tanah yang paling tinggi pengaruhnya terhadap tingkat bahaya longsor adalah jenis Dystropepts, Tropudults, Humitropepts dengan luas 11.154,91 ha. Jenis tanah ini didominasi oleh Dystropepts yang dipadankan dengan jenis tanah Eutropepts dengan ordo Inceptisol, sedangkan Tropudults dan Humitropepts merupakan jenis tanah pendukung satuan tanah tersebut. Pada umumnya, jenis tanah yang ada pada peta tanah dipadankan dengan jenis Eutropepts karena memiliki ordo yang sama.

Eutropepts merupakan Great-group dari ordo Inceptisol. Jenis tanah ini juga disebut latosol coklat. Menurut Effendi (2008), tanah latosol merupakan jenis yang memiliki tekstur tanah liat, konsistensi yang gembur dan tetap dari atas

sampai bawah, serta struktur lemah sampai gumpal lemah. Menurut Arsyad (2006), tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat

tersuspensi oleh tumbukan butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat yang tersuspensi tersebut. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya aliran permukaan dan memicu adanya longsor.

Meskipun tanah yang mengandung liat memiliki potensi yang besar terhadap bahaya longsor, pada kondisi tertentu tanah ini juga dapat memperlambat jalannya air yang akan menjenuhi permukaan tanah. Menurut Prijono dan Nurrohmah (2009), longsor dengan kedalaman bidang gelincir dangkal dengan ketebalan lapisan liat hanya berkisar antara 10-30 cm di atas susunan batu gamping yang rapat mampu memperlambat distribusi air pada lapisan tanah secara cepat. Tanah yang mengandung liat seperti ini dapat mengurangi volume

longsoran yang terjadi karena Prijono dan Nurrohmah (2009) juga menyatakan bahwa semakin dalam bidang gelincir tanah, maka volume longsor yang ditimbulkan akan semakin besar.

Menurut Darmawijaya (1990), tanah dengan ordo Inceptisol mempunyai karaktersistik dari kombinasi sifat-sifat tersedianya air untuk tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut-turut dalam musim kemarau dan tekstur lebih halus dari pasir geluhan (loamy sand) dengan beberapa mineral lapuk. Hal ini berarti bahwa jenis tanah dengan ordo Inceptisol besifat menyimpan air sehingga apabila terjadi hujan, yang merupakan faktor pemicu, maka tanah akan sulit untuk menahan air dan longsor akan mudah terjadi. Hal ini juga didukung oleh jenis tanah Dystropepts yang unsur formatifnya adalah dystr yang berarti tanah tersebut tidak subur dan memiliki sifat basa yang rendah.

Jenis tanah lainnya yang terdapat pada Tabel 15 dipadankan dengan jenis Tropafluent yang memiliki ordo Entisol. Berdasarkan hasil yang diperoleh, jenis tanah dengan ordo Entisol merupakan tanah yang memiliki pengaruh rendah terhadap tingkat bahaya longsor. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 15 yaitu jenis tanah Fluvaquents,Tropaquepts dengan luas 7.196,44 ha. Menurut Budiono (2003), tanah Entisol merupakan tanah yang masih muda perkembangannya dan secara umum, kandungan mineral primernya cukup banyak. Padanan dengan tanah yang berordo Entisol adalah tanah Aluvial atau Regosol. Tanah Aluvial hanya meliputi lahan yang sering atau baru saja mengalami banjir, sehingga dapat dianggap masih muda dan belum ada diferensiasi horison. Suatu hal yang mencirikan pada pembentukan Aluvial ialah bahwa bagian terbesar bahan kasar akan diendapkan tidak jauh dari sumbernya. Hal ini sesuai dengan hasil yang

diperoleh bahwa jenis tanah Aluvial memiliki pengaruh rendah terhadap tingkat bahaya longsor.

Jenis tanah Regosol berwarna kelabu mengandung bahan yang belum atau masih baru mengalami pelapukan. Hal ini berpengaruh terhadap daya serapnya terhadap air. Menurut Budiono (2003), tekstur tanah juga berpengaruh terhadap daya serap suatu tanah. Tekstur tanah Regosol biasanya kasar, struktur kersai atau remah, konsistensi lepas sampai gembur dan pH 6-7. Makin tua umur tanah, maka struktur dan konsistensinya padat, bahkan sering kali membentuk padas (lapisan tanah yang keras) dengan drainase dan porositas yang terhambat. Dengan tekstur tanah seperti itu, jenis tanah Regosol memiliki pengaruh kecil untuk terjadinya longsor.

Berdasarkan jenis tutupan lahan

Luasan bahaya longsor menurut tutupan lahan di Kabupaten Karo disajikan pada pada Tabel 16.

Tabel 16. Kelas bahaya longsor berdasarkan tutupan lahan

Kelas Tutupan

lahan

Kelas Bahaya Longsor Sangat

rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi (kosong) Total Ha % HTI 97,09 349,94 765,98 4.290,25 5.503,27 0,02 Hutan lahan kering primer 910,83 910,83 1,90 Hutan lahan kering sekunder 38,92 237,45 2.675,68 59.585,55 62.537,63 0,32 Pemukiman 0,82 43,79 24,63 55,69 124,95 21,82 Pertanian lahan kering 10.320,83 2.637,72 15.898,27 28.164,54 14.441,57 56.250,27 127.713,22 0,04 Pertanian lahan kering campur semak 733,78 414,65 8.300,69 117,57 9.566,71 44,56 Rawa/berair 31,21 83,96 115,17 0,04 Sawah 935,86 55,11 182,71 1.338,74 13,81 2.526,26 0,88 Semak/belukar 287,04 23,16 9.448,77 2.688,20 12.447,18 4,34 Tanah terbuka 1.008,21 5.150,02 2.588,53 8.746,78 3,05 Tubuh air 53,95 92,60 146,56 0,05 (kosong) 56.250,27 56.250,27 19,63 Total Ha 13.476,55 3.761,86 19.578,51 173.671,96 19.849,70 56.250,27 286.588,87 100 % 4,70 1,31 6,83 60,60 6,93 19,63 100

Pertanian lahan kering merupakan jenis tutupan lahan yang paling tinggi pengaruhnya terhadap tingkat bahaya longsor di Kabupaten Karo dengan luas 14.441,57 ha. Dalam melakukan tutupan lahan berupa pertanian lahan kering, pada umumnya masyarakat di Kabupaten Karo membuka lahan hutan. Perambahan hutan ini dilakukan untuk memperoleh lahan pertanian yang lebih luas. Jenis tanaman yang mengisi pertanian lahan kering ini biasanya terdiri dari jagung, pisang, dan singkong. Beberapa contoh gambar pertanian lahan kering disajikan pada Gambar 10.

a. b.

(a)

(b)

Menurut Effendi (2008), jenis tanaman yang bertajuk kecil dan sangat jarang (kurang rapat) menyebabkan energi butir-butir hujan saat terjadinya hujan lebat memiliki kekuatan perusak yang tinggi dan ini bermakna meningkatnya tingkat erosivitas hujan yang jatuh langsung di atas permukaan tanah. Meningkatnya kemampuan erosivitas hujan ini menyebabkan peluang terjadinya longsor semakin besar pula. Selain itu, tanaman-tanaman tersebut juga memiliki perakaran yang kurang dalam sehingga tidak mampu menembus lapisan tanah yang kedap air, sehingga tidak membantu dalam menjaga kemantapan agregat tanah.

Jenis penggunaan lahan yang paling rendah pengaruhnya adalah permukiman dengan luas 0,826 ha. Hal ini dikarenakan daerah permukiman pada umumnya berada pada lahan dengan persentasi kemiringan yang rendah sehingga kemungkinan terjadi longsor menjadi kecil. Menurut Hardjono (2008), meskipun variabel kedalaman pelapukan dan kedalaman air tanah pada lahan pemukiman mempunyai nilai besar, namun karena lahan ini mempunyai relief yang datar maka kemungkinan terjadinya longsor lahan akan menjadi kecil atau bahkan tidak ada/stabil. Jenis penggunaan lahan ini ditemukan di setiap kecamatan yang di antaranya disajikan pada Gambar 11.

Dokumen terkait