PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR
KABUPATEN KARO
PROVINSI SUMATERA UTARA
HASIL PENELITIAN
OLEH:
ANITA NAOMI LUMBAN GAOL 061201012/ MANAJEMEN HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judu l Skripsi : Pemetaan Daerah Rawan Longsor Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara
Nama : Anita Naomi Lumban Gaol
Nim : 061201012
Program Studi : Manajemen Hutan Departemen : Kehutanan
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Rahmawaty, S. Hut, M. Si, Ph. D) (Bejo Slamet, S. Hut, M. P
NIP. 19740721 2001 12 2 001 NIP. 197507092000031002
)
Diketahui Oleh:
Ketua Departemen Kehutanan
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Anita Naomi Lumban Gaol, dilahirkan di Medan pada
tanggal 25 Maret 1988 dari orang tua Bapak J. Lumban Gaol dan
Ibu E. br. Pangaribuan. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara.
Tahun 2000 penulis lulus dari Sekolah Dasar ST. Petrus Medan dan pada
tahun 2003 lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 10 Medan. Tahun 2006 penulis lulus Sekolah Menengah Umum Negeri 17 Medan. Tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi Universitas Sumatera Utara
(USU) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam berbagai organisasi di kampus seperti Himpunan Mahasiswa Silva (HIMAS), UKM KMK dan Paduan Suara Transeamus. Penulis juga telah melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Perum Perhutani Banyuwangi Selatan Surabaya Unit II Jawa
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Pemetaan Daerah Rawan Longsor Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara” ini tepat pada waktunya dan sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan Sarjana Kehutanan bagi setiap mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Orangtua tercinta Ayahanda J. Lumban Gaol dan Ibunda E. br. Pangaribuan serta keluarga dan teman-teman atas semua doa dan motivasinya
2. Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D dan Bejo Slamet, S. Hut, M. P, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta saran dan kritik kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini
3. Kantor BKPH Wilayah I Medan yang turut membantu dalam memberikan
data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
4. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini
yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi penyempurnaan skripsi ini dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak.
Medan, September 2010
ABSTRAK
Bencana alam tanah longsor sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat dan menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat. Kabupaten Karo merupakan wilayah yang memiliki potensi bencana tanah longsor karena wilayah ini pada umumnya berada pada dataran tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta dasar Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 tahun 1992, peta digital kelerengan skala 1:250.000 tahun 2007, peta digital geologi skala 1:250.000 tahun 2000, peta digital tanah skala 1:250.000 tahun 2000, dan peta digital penutupan lahan skala 1:250.000 tahun 2009. Pengolahan dilakukan dengan menumpangsusunkan setiap parameter penentu bahaya longsor. Hasil yang diperoleh adalah sebaran bahaya longsor yang terdiri dari lima kelas yaitu kelas sangat rendah (1.252,01 ha), rendah (349,49), sedang (1.818,91), tinggi (14.895,43), dan sangat tinggi (1.844,10). Identifikasi daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo berdasarkan kecamatan adalah Kecamatan Tiga Binanga dengan kelas bahaya sangat tinggi (477,27 ha) dan Kecamatan Mardingding dengan kelas tinggi (2.476,73 ha). Penyebab tanah longsor terutama disebabkan oleh persen kelerengan suatu wilayah yang tinggi dan didukung oleh jenis batuan, tanah, dan penggunaan lahannya yang dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Identifikasi lahan berpotensi longsor sangat diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah yang rawan longsor dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis.
ABSTRACT
Natural disasters landslide as one natural phenomenon can occur at any time and cause damage to human life. Karo Regency is an area that has potential for landslides as the region in general plateau. This study aims to identify and map areas vulnerable to landslides in karo regency. Data used in this study is to map the basic way as the earth Indonesia 1:50.000 scale in 1992, digital maps of slope scale 1:250.000 in 2007, digital geological map in scale map scale 1:250.000 in 2000, and digital map of land scale 1:250.000 in 2009. Processing is done by riding each parameter determining landslide hazard. The result is a dange landslides distribution consisting of five classes is very low (1.252,01) ha, low (349,49), medium (1.818,91), high (14.895,43), and very high (1.844,10). Identification of areas prone to landslide hazards in Karo district Binanga based on three subdistricts with a very high danger class(477,27 ha) and Mardingding with a high danger class (2.476,73 ha). Causes of landslides mainly caused by the slope of a high percent of the region and supported by the type of sock, soil and land use that is triggered by high rainfall. The identification of landslide prone land is needed to determine the distribution of slide prone areas using Geographic Information System technology.
DAFTAR ISI
Pengenalan Gerakan Tanah ... 4
Pengertian Tanah Longsor ... 5
Penyebab Longsoran ... 8
Aplikasi SIG untuk Pemetaan Daerah Rawan Longsor ... 13
METODOLOGI PENELITIAN... 19
Waktu dan Lokasi Penelitian ... 19
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 20
Bahan dan Alat ... 21
Metode Penelitian ... 22
1. Pengumpulan data primer ... 22
2. Pengumpulan data sekunder... 23
3. Analisis Bahaya Longsor ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
Sebaran Titik Sampel Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan ... 30
Sebaran Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan ... 31
Kelas bahaya longsor sangat tinggi ... 34
Kelas bahaya longsor tinggi ... 35
Faktor-faktor Penyebab Bahaya Longsor di Kabupaten Karo . 35 Bahaya longsor berdasarkan kelas kelerengan... 35
Bahaya longsor berdasarkan jenis batuan ... 37
Bahaya longsor berdasarkan jenis tanah ... 40
Berdasarkan jenis tutupan lahan... 44
KESIMPULAN DAN SARAN ... 47
Kesimpulan ... 47
Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA ... 48
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Parameter pemetaan rawan longsor ... 24
2. Skor Interval Kelas Lereng ... 25
3. Skor Interval Jenis Geologi ... 25
4. Skoring jenis batuan di lokasi penelitian ... 26
5. Skor Interval Jenis Tanah ... 26
6. Skoring jenis tanah untuk pendugaan bahaya longsor ... 27
7. Skor interval jenis penutupan lahan ... 27
8. Padanan jenis penutupan lahan pada data sekunder peta digital penutupan lahan dengan jenis penutupan lahan yang memiliki skor ... 28
9. Faktor pembobotan yang digunakan untuk penetapan bahaya longsor.. ... 28
10.Skor interval dan tingkat bahaya longsor ... 29
11.Jumlah titik sampel berdasarkan kecamatan ... 31
12.Kelas bahaya longsor berdasarkan kecamatan ... 34
13.Kelas bahaya longsor berdasarkan kelerengan ... 36
14.Tingkat bahaya longsor menurut jenis batuan ... 38
15.Tingkat bahaya longsor menurut jenis tanah ... 41
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Longsoran translasi (a), longsoran rotasi (b), pergerakan blok (c),
dan runtuhan batu (d) ……… .... 7 2. Jenis tanah longsor rayapan tanah (a) dan aliran bahan rombakan
(b)……… ... 8
3. Lereng terjal (a), tanah yang kurang padat dan tebal (b), batuan yang kurang kuat (c), jenis tata lahan
(d)………... 11
4. Getaran yang biasanya diakibatkan oleh gempa bumi (a) dan
adanya material timbunan pada tebing (b)... ... 12 5. Peta wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Karo... ... 19 6. Skema Analisis Pemetaan Bahaya Longsor... ... 29
7. Peta sebaran bahaya longsor di Kabupaten
Karo……….. ... 32 8. Karakteristik longsoran translasi pada Kecamatan Kuta
Buluh(a), rotasi pada Kecamatan Laubaleng (b), dan pergerakan
blok pada Kecamatan Kuta Buluh (c) ……….. ... 33 9. Kelas bahaya longsor sangat tinggi di Kecamatan Tiga Binanga
(a) dan tinggi di Kecamatan Mardingding (b)……….. ... 35 10.Pertanian lahan kering pada Kecamatan Mardingding (a) dan
Kecamatan Munthe (b)………. . 45
11.Jenis penggunaan lahan berupa pemukiman di Kecamatan
Berastagi ………. ... 46
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Titik Sampel Bahaya Longsor Kabupaten Karo ... ... 50
2. Peta Kelas Kelerengan Kabupaten Karo………. . 53
3. Peta Jenis Batuan Kabupaten Karo... . 54
4. Peta Jenis Tanah Kabupaten Karo……….. . 55
ABSTRAK
Bencana alam tanah longsor sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat dan menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat. Kabupaten Karo merupakan wilayah yang memiliki potensi bencana tanah longsor karena wilayah ini pada umumnya berada pada dataran tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta dasar Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 tahun 1992, peta digital kelerengan skala 1:250.000 tahun 2007, peta digital geologi skala 1:250.000 tahun 2000, peta digital tanah skala 1:250.000 tahun 2000, dan peta digital penutupan lahan skala 1:250.000 tahun 2009. Pengolahan dilakukan dengan menumpangsusunkan setiap parameter penentu bahaya longsor. Hasil yang diperoleh adalah sebaran bahaya longsor yang terdiri dari lima kelas yaitu kelas sangat rendah (1.252,01 ha), rendah (349,49), sedang (1.818,91), tinggi (14.895,43), dan sangat tinggi (1.844,10). Identifikasi daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo berdasarkan kecamatan adalah Kecamatan Tiga Binanga dengan kelas bahaya sangat tinggi (477,27 ha) dan Kecamatan Mardingding dengan kelas tinggi (2.476,73 ha). Penyebab tanah longsor terutama disebabkan oleh persen kelerengan suatu wilayah yang tinggi dan didukung oleh jenis batuan, tanah, dan penggunaan lahannya yang dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Identifikasi lahan berpotensi longsor sangat diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah yang rawan longsor dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis.
ABSTRACT
Natural disasters landslide as one natural phenomenon can occur at any time and cause damage to human life. Karo Regency is an area that has potential for landslides as the region in general plateau. This study aims to identify and map areas vulnerable to landslides in karo regency. Data used in this study is to map the basic way as the earth Indonesia 1:50.000 scale in 1992, digital maps of slope scale 1:250.000 in 2007, digital geological map in scale map scale 1:250.000 in 2000, and digital map of land scale 1:250.000 in 2009. Processing is done by riding each parameter determining landslide hazard. The result is a dange landslides distribution consisting of five classes is very low (1.252,01) ha, low (349,49), medium (1.818,91), high (14.895,43), and very high (1.844,10). Identification of areas prone to landslide hazards in Karo district Binanga based on three subdistricts with a very high danger class(477,27 ha) and Mardingding with a high danger class (2.476,73 ha). Causes of landslides mainly caused by the slope of a high percent of the region and supported by the type of sock, soil and land use that is triggered by high rainfall. The identification of landslide prone land is needed to determine the distribution of slide prone areas using Geographic Information System technology.
ABSTRAK
Bencana alam tanah longsor sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat dan menimbulkan kerugian bagi kehidupan masyarakat. Kabupaten Karo merupakan wilayah yang memiliki potensi bencana tanah longsor karena wilayah ini pada umumnya berada pada dataran tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta dasar Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 tahun 1992, peta digital kelerengan skala 1:250.000 tahun 2007, peta digital geologi skala 1:250.000 tahun 2000, peta digital tanah skala 1:250.000 tahun 2000, dan peta digital penutupan lahan skala 1:250.000 tahun 2009. Pengolahan dilakukan dengan menumpangsusunkan setiap parameter penentu bahaya longsor. Hasil yang diperoleh adalah sebaran bahaya longsor yang terdiri dari lima kelas yaitu kelas sangat rendah (1.252,01 ha), rendah (349,49), sedang (1.818,91), tinggi (14.895,43), dan sangat tinggi (1.844,10). Identifikasi daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo berdasarkan kecamatan adalah Kecamatan Tiga Binanga dengan kelas bahaya sangat tinggi (477,27 ha) dan Kecamatan Mardingding dengan kelas tinggi (2.476,73 ha). Penyebab tanah longsor terutama disebabkan oleh persen kelerengan suatu wilayah yang tinggi dan didukung oleh jenis batuan, tanah, dan penggunaan lahannya yang dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Identifikasi lahan berpotensi longsor sangat diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah yang rawan longsor dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis.
ABSTRACT
Natural disasters landslide as one natural phenomenon can occur at any time and cause damage to human life. Karo Regency is an area that has potential for landslides as the region in general plateau. This study aims to identify and map areas vulnerable to landslides in karo regency. Data used in this study is to map the basic way as the earth Indonesia 1:50.000 scale in 1992, digital maps of slope scale 1:250.000 in 2007, digital geological map in scale map scale 1:250.000 in 2000, and digital map of land scale 1:250.000 in 2009. Processing is done by riding each parameter determining landslide hazard. The result is a dange landslides distribution consisting of five classes is very low (1.252,01) ha, low (349,49), medium (1.818,91), high (14.895,43), and very high (1.844,10). Identification of areas prone to landslide hazards in Karo district Binanga based on three subdistricts with a very high danger class(477,27 ha) and Mardingding with a high danger class (2.476,73 ha). Causes of landslides mainly caused by the slope of a high percent of the region and supported by the type of sock, soil and land use that is triggered by high rainfall. The identification of landslide prone land is needed to determine the distribution of slide prone areas using Geographic Information System technology.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bencana longsor dan banjir menjadi ancaman utama di Sumatra Utara
(Sumut). Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat, Bitra Indonesia (2009), menyatakan sebanyak 19 daerah dari 25 kabupaten dan kota di provinsi Sumut berpotensi longsor. Daerah-daerah yang berpotensi longsor tersebut adalah Kabupaten Nias, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli
Utara, Toba Samosir, Labuhan Batu, Asahan, Simalungun, Dairi, Karo, Deli Serdang, Langkat, Nias Selatan, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat dan
Samosir. Penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah Kabupaten Karo.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas lereng yang mengakibatkan terjadinya longsor. Menurut Hardiyatmo (2006), faktor tersebut
antara lain kondisi geologi dan hidrologi, topografi, iklim, dan perubahan cuaca. Kecepatan gerakan ditentukan oleh kemiringan lereng, semakin besar kemiringan
lereng, maka semakin cepat gerakannya. Bila dilihat dari sudut kemiringan atau lereng tanah Kabupaten Karo, kondisi lerengnya yang paling besar adalah landai dengan persentase 35,22%. Kemudian yang kedua adalah karakter curam dengan
persentase 34,19%. Hal ini tentu saja memiliki potensi terjadinya longsor pada musim penghujan. Menurut Priyono, dkk, (2006), potensi terjadinya gerakan pada
lereng juga bergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut.
penggunaan lahan antara lain adalah perkebunan, pertanian, perladangan,
permukiman, dan lain sebagainya. Aktivitas manusia tersebut dapat memberikan kelebihan beban. Menurut Hardiyatmo (2006), kelebihan beban akibat aktivitas manusia antara lain pembangunan timbunan dan bangunan atau beban berat yang
lain di atas lereng. Hal tersebut dapat meningkatkan gerakan massa tanah.
Kondisi longsor sangat mengkhawatirkan jika pemerintah terutama
pemerintah daerah tidak segera mengambil langkah-langkah taktis dan strategis di masa sekarang untuk mencegah bencana di masa depan. Dengan kondisi ini, pemerintah daerah dalam hal ini dapat melakukan antisipasi untuk memperkecil
dampak bencana longsor dan menghindari banyaknya jatuh korban jiwa. Salah satunya, melakukan pemetaan daerah rawan longsor di Kabupaten Karo.
Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, analisis tingkat bahaya longsor tanah ini dapat digunakan untuk penyusunan sistem informasi penanggulangan bencana yang digunakan sebagai masukan bagi perencanaan dan
pembangunan wilayah maupun penyempurnaan tata ruang wilayah. Potensi terjadinya longsoran ini dapat diminimalkan dengan memberdayakan masyarakat
untuk mengenali tipologi lereng yang rawan longsor tanah, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif sebaiknya dibuat berdasarkan prediksi, bilamana dan
dimana longsor akan terjadi juga tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat bencana datang (Priyono, dkk, 2006)
tindakan mitigasi. Dengan adanya penelitian ini, maka dapat diketahui
daerah-daerah yang rawan terhadap longsor sehingga pencegahan lebih dini dapat dilakukan. Jika antisipasi tidak segera dilakukan, kerugian akibat longsor tidak akan terhindarkan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan daerah rawan bahaya longsor di Kabupaten Karo.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil yang bermanfaat
bagi pemerintah, masyarakat, maupun peneliti lain untuk dapat digunakan sebagai masukan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan hutan untuk
TINJAUAN PUSTAKA
Pengenalan Gerakan Tanah
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng
Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara lempeng itu, maka terbentuk daerah penunjaman memanjang di sebelah Barat Pulau Sumatera, sebelah Selatan Pulau Jawa hingga ke Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah Utara Kepulauan
Maluku, dan sebelah Utara Papua. Konsekuensi lain dari tumbukan itu adalah terbentuknya palung samudera, lipatan, punggungan dan patahan di busur
kepulauan, sebaran gunung api, dan sebaran sumber gempa bumi. Gunung api yang ada di Indonesia berjumlah 129. Angka itu merupakan 13% dari jumlah gunung api aktif di dunia. Dengan demikian, Indonesia rawan terhadap bencana
letusan gunung api dan gempa bumi. Di beberapa pantai, dengan bentuk pantai
sedang hingga curam, jika terjadi gempa bumi dengan sumber berada di
dasar laut atau samudera dapat menimbulkan gelombang Tsunami (Kementrian ESDM, 2008).
Jenis tanah pelapukan yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil
letusan gunung api. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah pelapukan yang berada di atas
batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras
Gerakan tanah adalah suatu konsekuensi fenomena dinamis alam untuk
mencapai kondisi baru akibat gangguan keseimbangan lereng yang terjadi, baik secara alamiah maupun akibat ulah manusia. Gerakan tanah akan terjadi pada suatu lereng, jika ada keadaan ketidaksetimbangan yang menyebabkan terjadinya
suatu proses mekanis, mengakibatkan sebagian lereng tersebut bergerak mengikuti gaya gravitasi, dan selanjutnya setelah terjadi longsor, lereng akan
seimbang atau stabil kembali (Khadiyanto, 2008).
Pengertian Tanah Longsor
Longsoran (slides) merupakan gerakan material pembentuk lereng yang
diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah.
Perpindahan material total sebelum longsoran bergantung pada besarnya regangan untuk mencapai kuat geser puncaknya dan pada tebal zona longsornya (Hardiyatmo, 2006).
Menurut Kementrian ESDM (2008), jenis tanah longsor dibedakan atas 6 jenis, yaitu longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu,
rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan. Berikut ini akan
dijelaskan jenis-jenis longsoran tersebut yaitu: 1. Longsoran Translasi
bidang lemah yang secara pendekatan sejajar dengan permukaan lereng, sehingga
gerakan tanah secara translasi. Dalam tanah lempung, translasi terjadi di sepanjang lapisan tipis pasir atau lanau, khususnya bila bidang lemah tersebut sejajar dengan lereng yang ada. Longsoran translasi lempung yang mengandung
lapisan pasir atau lanau, dapat disebabkan oleh tekanan air pori yang tinggi dalam pasir atau lanau tersebut (Gambar 1a).
2. Longsoran Rotasi
Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung (Gambar 1b). Menurut Hardiyatmo (2006), longsoran
rotasi mempunyai bidang longsor melengkung ke atas, dan sering terjadi pada massa tanah yang bergerak dalam satu kesatuan. Longsoran rotasi murni (slump)
terjadi pada material yang relatif homogen seperti timbunan buatan (tanggul). 3. Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang
gelincir berbentuk rata (Gambar 1c). Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu. Menurut Hardiyatmo (2006), longsoran blok translasi terjadi
pada material keras (batu) di sepanjang kekar (joint), bidang dasar (bedding plane) atau patahan (faults) yang posisinya miring tajam. Longsoran ini banyak terjadi pada lapisan batuan, dengan bidang longsor yang bisa diprediksi
sebelumnya. Longsoran semacam ini sering dipicu oleh penggalian lereng bagian bawah, dan terjadi jika kemiringan lereng melampaui sudut gesek dalam (φ)
4. Runtuhan Batu
Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas (Gambar 1d). Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga meng-gantung terutama di daerah pantai. Batu-batu
besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
(a) (b)
(
(c) (d)
Gambar 1. Longsoran translasi (a), longsoran rotasi (b), pergerakan blok (c), dan runtuhan batu (d)
5. Rayapan Tanah
Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat
(Gambar 2a). Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke
6. Aliran Bahan Rombakan
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air (Gambar 2b). Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah
dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini
dapat menelan korban cukup banyak.
(a) (b)
Gambar 2. Jenis tanah longsor rayapan tanah (a) dan aliran bahan rombakan (b)
Penyebab Longsoran
Banyak faktor semacam kondisi-kondisi geologi dan hidrologi, topografi, iklim, dan perubahan cuaca dapat mempengaruhi stabilitas lereng yang mengakibatkan terjadinya longsoran. Longsoran jarana terjadi oleh satu sebab
saja. Menurut Hardiyatmo (2006), adapun sebab-sebab longsoran lereng alam yang sering terjadi antara lain:
1. Penambahan Beban, Penggalian atau Erosi pada Kaki Lereng
Banyak kejadian longsoran diakibatkan atau dipicu oleh penggalian lereng untuk jalan raya, jalan rel, dan perumahan. Longsoran juga sering terjadi
Longsoran dalam tanah lempung cair sering dipicu erosi tanah oleh aliran
sungai di bagian kaki lereng. Pada kondisi tertentu, penggalian tanah berakibat longsornya lereng galian. Longsoran tersebut disebabkan oleh pekerjaan galian yang mengurangi tekanan overburden, sehingga tanah atau batuan mengembang
dan kuat gesernya turun.
2. Pembekuan dan Pencairan Es
Dalam tanah berlanau, pembekuan air atau cairnya salju dapat mengakibatkan kenaikan tekanan air pori dan gerakan permukaan tanah. Pengembangan air saat membeku dalam retakan dapat menyebabkan runtuhnya
batuan. Longsoran sering terjadi selama musim semi dan musim rontok, ketika temperatur berfluktuasi di sekitar titik beku.
3. Hujan dan Kenaikan Tekanan Air Pori
Kebanyakan longsoran lereng terjadi sesudah hujan lebat atau hujan yang berkepanjangan. Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November
karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar.
Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal
musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada
dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan
berfungsi mengikat tanah.
Kementrian ESDM (2008) juga menjelaskan penyebab terjadinya longsor yaitu antara lain:
1. Lereng Terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng
yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 1800 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.
2. Tanah yang Kurang Padat dan Tebal
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat
dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi
lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas. 3. Batuan yang Kurang Kuat
Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan
umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. 4. Jenis Tata Lahan
menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan
untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3. Lereng terjal (a), tanah yang kurang padat dan tebal (b), batuan yang kurang kuat (c), jenis tata lahan (d)
5. Getaran
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan,
getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.
6. Adanya Material Timbunan pada Tebing
Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman, umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada
lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian
(a) (b)
Gambar 4. Getaran yang biasanya diakibatkan oleh gempa bumi (a) dan adanya material timbunan pada tebing (b)
7. Susut Muka Air Danau atau Bendungan
Akibat susutnya muka air yang cepat di danau, maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 2200 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.
8. Bekas Longsoran Lama
Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan
material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri: adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata
air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, adanya longsoran kecil
terutama pada tebing lembah, adanya tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama, alur lembah dan pada tebingnya memiliki retakan dan longsoran kecil.
9. Adanya Bidang Diskontinuitas (Bidang tidak sinambung) Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:
- Bidang perlapisan batuan
- Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar
- Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan
yang tidak melewatkan air (kedap air)
- Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.
Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.
10. Penggundulan Hutan
Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang.
11. Daerah Pembuangan Sampah
Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan
guyuran hujan, seperti yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah di Cimahi. Bencana ini menyebabkan sekitar 120 orang lebih
meninggal.
Aplikasi SIG untuk Pemetaan Daerah Rawan Longsor
Menurut Prahasta (2005), SIG merupakan sistem komputer yang memiliki
empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data),
analisis dan manipulasi data. Dengan keempat kemampuannya tersebut, maka SIG dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang rawan terhadap adanya bencana.
Penggunaan SIG dalam rentang manajemen resiko bencana dari pembuatan basis data, inventori, overlay SIG yang paling sederhana hingga
spasial, matriks keputusan, analisis sensitivitas, proses geologi, korelasi, auto
korelasi dan banyak peralatan dan algoritma untuk pembuatan keputusan spasial yang komplek lainnya. Sekali lagi dapat dikenali, bahwa area dimana resiko dengan potensi bahayanya, proses mitigasi dapat dimulai. SIG dapat digunakan
dalam penentuan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk penanggulangan bencana berikut penerapan standar bangunan yang sesuai, untuk mengidentifikasi
struktur, retrofitting, menentukan besarnya jaminan keselamatan terhadap masyarakat dan bangunan sipil, mengidentifikasi sumber bencana, pelatihan dan kemampuan yang dimiliki secara spesifik terhadap bahaya yang dijumpai dan
untuk mengidentifikasi area yang terkena banjir serta relokasi korban ke tempat yang aman. Daerah yang paling rentan terhadap bencana menjadi priorita utama
dalam melakukan tindakan mitigasi (Haifani, 2008).
Menurut ESRI (1990), teknik tumpang tindih (overlay) merupakan hal yang terpenting dalam aplikasi SIG untuk memperoleh tematik data spasial (peta)
baru beserta data atributnya. Terdapat empat jenis metode overlay yang paling penting yaitu: intersect, union, clip, dan merge. Metode intersect adalah metode
yang paling luas penggunaannya untuk analisa data spasial dimana teknik akan mengkombinasikan secara silang data spasial dan non spasial dalam satu tema informasi yang baru. Metode union digunakan ketika dua atau lebih digabungkan
sehingga menghasilkan data yang dikehendaki hanya tergabung secara spasial tanpa memperhatikan aspek databasenya. Metode clip adalah tumpang tindih dua
spasial dan non-spasial dengan syarat adanya field kunci yang sama dalam data
atribut.
Pengidentifikasian bahaya longsor menggunakan beberapa parameter. Menurut Priyono, dkk. (2006), parameter yang mempengaruhi longsoran terbagi
atas beberapa jenis faktor yaitu faktor penyebab (kemiringan lereng), faktor pemicu berupa dinamik (hujan dan penggunaan lahan), dan faktor pemicu berupa
statis (kedalaman tanah, struktur perlapisan, dan tekstur. Faktor hujan mempunyai bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan dikarenakan hujan dapat mempengaruhi perubahan besar beban massa batuan dan
atau tanah secara relatif lebih cepat/dramatik dibandingkan dengan penggunaan lahan. Faktor batuan diberi bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah
karena batuan merupakan alas daripada tanah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada batuan secara otomatis mempengaruhi kestabilan tanah yang menumpang di atasnya. Sedangkan perubahan-perubahan yang terjadi di tanah belum tentu
berpengaruh terhadap batuan yang ada di bawahnya.
Parameter penentu rawan longsor dalam penelitian ini adalah kemiringan
lereng, penggunaan lahan, jenis tanah dan batuan di Kabupaten Karo. Parameter ini mengacu pada tulisan Haifani (2008) yang menggunakan keempat parameter tersebut sebagai parameter yang memperngaruhi longsoran. Parameter yang
memiliki bobot paling besar adalah kemiringan lereng karena kejadian longsoran selalu dipicu oleh adanya perubahan gaya/energi akibat perubahan faktor yang
bersifat dinamis.
Dalam pemberian harkat untuk masing-masing parameter diklasifikasikan ke
dalam lima kelas. Harkat yang paling tinggi, dalam hal ini 5, adalah yang paling besar pengaruhnya terhadap terjadinya longsoran. Harkat yang paling rendah, dalam hal ini 1, adalah yang paling kecil pengaruhnya terhadap terjadinya
longsoran. Pembobotan disusun atas dasar pemahaman faktor penyebab dan faktor pemicu terjadinya longsoran. Faktor yang menyebabkan terjadinya
longsoran adalah gaya gravitasi yang bekerja pada suatu massa tanah dan atau batuan. Di lapangan, besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tanah dan atau batuan ditentukan oleh besarnya sudut lereng. Oleh karena itu dalam
penilaian tingkat kerawanan longsor, faktor lereng diberikan bobot yang paling tinggi dibandingkan dengan faktor-faktor lain. Metode ini hampir sama dengan
metode yang digunakan dalam penelitian ini.
Jenis tanah diklasifikasikan berdasarkan kriteria tertentu yang mempunyai dasar ilmiah. Kriteria itu selain harus berlaku untuk semua jenus tanah yang ada,
juga harus mudah untuk dipahami. Untuk menentukan padanan jenis tanah tersebut, dapat dilihat dari jenis ordo masing-masing tanahnya. Menurut
Darmawijaya (1990), jenis ordo dibedakan atas 10 ordo berdasarkan ada tidaknya horizon diagnostik atau ciri-cirinya sebagai hasil proses genetik yang dialaminya. Jenis ordo tersebut adalah:
1. Alfisol, disingkat: Alf, mempunyai karakteristik sebagai hasil translokasi lempung silikat tanpa merusak basa berlebihan.
3. Entisol, disingkat: Ent, dicirikan oleh bahan mineral tanah yang belum
membentuk horizon pedogenik yang nyata, karena pelapukan baru diawali.
4. Histosol, disingkat: Ist, mempunyai kadar bahan organic sangat tinggi
sampai kedalaman 80 cm.
5. Inceptisol, disingkat: Ept, mempunyai sifat tersedianya air untuk tanaman
lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut-turut dalam musim kemarau, tekstur lebih halus dari pasir geluhan (loamy sand), dan kemampuan menahan kation fraksi lempung yang sedang sampai tinggi.
6. Mollisol, disingkat: Oll, mempunyai karakteristik terbentuknya mollic epipedon sedalam lebih dari 25 cm dengan warna kelam dan kejenuhan basa sangat tinggi.
7. Oxisol, disingkat: Ox, mengandung C organik yang tinggi, kpk rendah, kadar lempung yang menurun, dan tekstur geluh pasiran (sandy loam)
atau lebih halus.
8. Spodosol, disingkat: Od, mempunyai sifat tambahan berupa lembab atau
basah, textur bergeluh atau berpasir (loamy or sandy), kpk tergantung pH, dan mengandung sedikit basa.
9. Ultisol, disingkat: Ult, mempunyai persediaan basa yang rendah, terutama
horizon yang lebih rendah dan suhu tanah tahunan tengah lebih tinggi dari 80C (470F).
tanah jika basah-kering, dan pengeringan mendadak membuat lubang
retakan terbuka.
Jenis batuan terbagi atas 3 batuan yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. Menurut Munir (1996), batuan beku terbagi atas 3 berdasarkan
proses pembekuannya yaitu:
1. Batuan Plutonis, yaitu batuan yang terbentuknya berada jauh di dalam
bumi (15-50 km), bentuk batuannya besar-besar dan mempunyai kristal yang sempurna dengan bentuk tekstur holokristalin (semua komposisi disusun oleh kristal sempurna), disebut juga batuan beku dalam.
2. Batuan Gang, yaitu batuan yang terbentuknya di antara batuan dalam dan batuan leleran yaitu dalam celah-celah serta rekahan-rekahan dalam kerak
bumi.
3. Batuan vulkanis, yaitu batuan yang terbentuk dari magma yang bergerak dari dalam ke permukaan bumi, sebagian besar membeku di dalam
sebagai batuan plutonis, dan hanya kurang dari sepersepuluhnya yang membeku di permukaan bumi sehingga batuan ini disebut juga batuan
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2010.
Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu, Departemen Kehutanan, Universitas Sumatera Utara dan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Peta adminstrasi Kabupaten Karo disajikan pada Gambar 5.
Peta Negara Indonesia Pulau Sumatera
Kecamatan di Kabupaten Karo Kabupaten Karo
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Karo merupakan salah satu kabupaten yang secara administrasi berada pada Provinsi Sumatera Utara (Gambar 5). Secara geografis, Kabupaten Karo berada pada 2050’ - 3019’ LU dan 97055’ - 98038” BT. Daerah
Kabupaten Karo terletak di daerah Dataran Tinggi Bukit Barisan dengan total luas administrasinya kurang lebih 2.170,55 km2 atau 217.055 ha. Ibukota
Kabupaten Karo adalah Kabanjahe yang terletak sekitar 76 km sebelah Selatan kota Medan (Gambar 5). Wilayah Kabupaten Karo berbatasan dengan:
- Kabupaten Langkat dan Deli Serdang di bagian Utara,
- Kabupaten Simalungun di bagian Timur, - Kabupaten Dairi di bagian Selatan, dan
- Provinsi Nangro Aceh Darussalam di bagian Barat.
Ditinjau dari kondisi topografinya, wilayah Kabupaten Karo terletak di Dataran Tinggi Bukit Barisan dengan elevasi terendahnya kurang lebih 140 m di
atas permukaan laut (Paya Lahlah, Mardingding) dan yang tertinggi ialah kurang lebih 2.451 m di atas permukaan laut (Gunung Sinabung). Daerah Kabupaten
Karo memiliki kondisi topografi yang berbukit dan bergelombang sehingga banyak ditemui lembah dan alur-alur sungai yang dalam dan lereng-lereng bukit yang curam/terjal.
Daerah Kabupaten Karo memiliki iklim tropis basah dengan curah hujan 1.000 - 4.000 mm/tahun. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan basah yaitu
Secara administratif, Kabupaten Karo memiliki 17 kecamatan, yaitu:
Kecamatan Barusjahe, Berastagi, Dolat Rakyat, Juhar, Kabanjahe, Kuta Buluh, Laubaleng, Mardingding, Merdeka, Merek, Munthe, Naman Teran, Payung, Simpang Empat, Tiga Binanga, Tiga Panah, dan Tiganderket. Peta administratif
kecamatan yang diperoleh masih memiliki 13 kecamatan. Hal ini dikarenakan terdapat 4 kecamatan yang baru terbentuk dan disahkan oleh Bupati Karo tanggal
29 Desember 2006 sehingga belum termasuk ke dalam peta administratif Kabupaten Karo yang digunakan sebagai data sekunder dalam penelitian ini. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Dolat Rakyat, Merdeka, Naman Teran,
dan Tiganderket.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah peta dasar Rupa Bumi Indonesia, peta digital penutupan lahan Kabupaten Karo, peta digital kelerengan, peta digital tanah, dan peta digital geologi yang diperoleh dari Bakosurtanal,
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Medan dan Puslittanak. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah seperangkat komputer
beserta perlengkapannya yang berguna untuk proses pengolahan dan analisis data, Software Arc View 3.3, Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui titik koordinat pada daerah yang masuk ke dalam kategori kelas kerawanan
Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data dan informasi yang diperlukan serta menganalisis data sesuai dengan kebutuhan, yaitu pemetaan daerah rawan longsor. Tahapan kegiatannya adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data primer
Data primer merupakan data yang akan diperoleh saat melakukan
penelitian. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh dengan pengambilan titik di lapangan dengan menggunakan GPS. Titik sampel yang diambil saat melakukan groundcheck adalah titik yang mewakili kelas bahaya
longsor pada setiap kecamatan dengan masing-masing kelas diambil 2 titik. Tahapan pengumpulan data primer adalah:
a. Penentuan titik sampel pada peta bahaya longsor yang telah dianalisis. b. Pemindahan titik sampel ke dalam GPS melalui software DNR Garmin. c. Pencarian lokasi titik sampel ke lapangan dengan menggunakan GPS.
d. Apabila titik sampel sulit untuk ditemukan saat dilakukan groundcheck, maka diambil titik baru yang mewakili titik sampel tersebut.
e. Diambil gambar pada setiap lokasi titik sampel.
f. Penententukan nilai akurasi hasil groundcheck dengan rumus: Jumlah titik yang benar di lapangan
Jumlah seluruh titik yang diambil
x 100%
2. Pengumpulan data sekunder
Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi pemerintah yang dilakukan sebagai persiapan awal penelitian. Data yang dikumpulkan berupa data spasial yang terdiri dari:
a. Peta dasar Rupa Bumi Indonesia tahun 1992 yang di dalamnya terdiri dari jaringan jalan, sungai, dan batas administrasi Kabupaten Karo dengan
skala 1 : 50.000 yang diperoleh dari Bakosurtanal.
b. Peta digital kelerengan tahun 2007 dengan skala 1 : 250.000 yang diperoleh dari BPKH Wilayah I Medan (Lampiran 2).
c. Peta digital geologi tahun 2000 dengan skala 1 : 250.000 yang diperoleh dari Puslittanak (Lampiran 3).
d. Peta digital tanah tahun 2000 dengan skala 1 : 250.000 yang diperoleh dari Puslittanak (Lampiran 4).
e. Peta digital penutupan lahan tahun 2009 dengan skala 1 : 250.000 yang
telah diklasifikasi oleh BPKH Wilayah I Medan dan diperoleh dari instansi tersebut (Lampiran 5).
3. Analisis bahaya longsor
Analisis bahaya longsor menggunakan pendekatan spasial dengan kecamatan sebagai satuan analisisnya. Menurut Haifani (2008), analisis spasial
dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penentu rawan longsor) yang akan digunakan sebagai unit analisis
ditumpangsusunkan dengan batas administrasi kecamatan Kabupaten Karo agar
diperoleh luasan sebaran bahaya longsor berdasarkan kecamatan.
Tabel 1. Parameter pemetaan rawan longsor
No. Data Spasial Tipe Data
1 Peta Lereng Poligon
2 Peta Geologi Poligon
3 Peta Tanah Poligon
4 Peta Penutupan Lahan Poligon
Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan rawan longsor
menggunakan perangkat lunak ArcView GIS dengan bantuan esktensi Geoprocessing. Menurut Kumajas (2006), tahapan dalam analisis spasial untuk penyusunan data spasial (peta) rawan longsor terdiri dari 4 tahap, yaitu:
1. tahap tumpangsusun data spasial, 2. tahap editing data atribut,
3. tahap analisis tabuler, dan
4. presentasi grafis (spasial) hasil analisis.
Metode yang digunakan dalam tahap analisis tabuler adalah metode
tumpang susun dan scoring. Setiap parameter penentu kerawanan longsor diberi skor tertentu, dan kemudian pada setiap unit analisis skor tersebut dijumlahkan.
Hasil penjumlahan skor selanjutnya dikalsifikasikan untuk menentukan tingkat kerawanan longsor (Kumajas, 2006).
Menurut Haifani (2008), penelitian untuk menentukan tingkat bahaya
longsor menggunakan 4 parameter, yaitu: 1. Lereng
terjadinya longsor. Menurut Peraturan Menhut-II No. 32 (2009), parameter ini
dibagi dalam lima kategori yang disajikan pada Tabel 2.
Table 2. Skor Interval Kelas Lereng
No. Kriteria kemiringan lereng
Secara geologis, sebagian besar lahan Kabupaten Karo tersusun dari batuan gunung api berupa batuan beku dan batuan sedimen. Batuan ini diklasifikasikan berdasarkan kepekaannya terhadap bahaya longsor. Haifani
(2008) mengklasifikasikan skor batuan terkait dengan bahaya longsor seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Skor Interval Jenis Geologi
No. Jenis Geologi Skor
Klasifikasi batuan dipadankan dengan jenis batuan yang ada pada data sekunder peta digital geologi. Menurut Munir (1996), dalam mengklasifikasikan
batuan dapat dilakukan dengan menentukan batuan tersebut tergolong batuan beku (batuan plutonis, batuan gang, atau batuan vulkanis) maupun batuan
Tabel 4. Skoring jenis batuan di lokasi penelitian
No. Geologi Jenis Batuan Padanan Skor
1 Campuran-Alluvium, fan deposit Batuan sedimen Alluvium 1
2 Metamorfik-Kuarsit Batuan sedimen Batu kapur 2
3 Metamorfik-Marbel Batuan sedimen Batu kapur 2
4 Metamorfik-Shale Batuan sedimen Batu kapur 2
5 Plutonik-Granit Batuan beku Plutonik-Granit 4
6 Sedimen-Alluvium, recent riveri Batuan sedimen Batu pasir 3
7 Sedimen-Campuran (silt/mudstone) Batuan sedimen Batu pasir 3
8 Vulkanik-Alluvium, fan deposit Batuan beku Andesit 3
9 Vulkanik-Alluvium, recent vulka Batuan beku Andesit 3
10 Vulkanik-Andesit Batuan beku Andesit 3
11 Vulkanik-Basalt Batuan beku Andesit 3
12 Vulkanik-Campuran (silt/mudstone) Batuan beku Plutonik-Granit 4
13 Vulkanik-Riolit Batuan beku Plutonik-Granit 4
14 Vulkanik-Tepra butir halus Batuan beku Plutonik-Granit 4
3. Tanah
Jenis tanah sangat menentukan potensi terjadinya longsor. Kejadian longsor pada umumnya terjadi karena besarnya erosi permukaan tanah. Ketika
bercampur dengan air hujan, maka dapat memicu terjadinya longsor. Menurut Haifani (2008), jenis tanah diklasifikasikan menjadi 5 (lima) kelas yang disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Skor Interval Jenis Tanah
No. Jenis Tanah Skor
1 Tropafluent 1
2 Eutropepts 2
3 Complex troporthent eutropepts hapludalf 2
4 Complex troporthent eutropepts 3
5 Association eutropepts dystropepts 3
Jenis tanah yang memiliki skor akan dipadankan dengan jenis tanah yang ada pada data sekunder peta digital tanah. Menurut Darmawijaya (1990), dalam
Tabel 6. Skoring jenis tanah untuk pendugaan bahaya longsor
No. Jenis Tanah Padanan Jenis Ordo Padanan Skor
1 Dystropepts, Distrandepts, Tropudults Inceptisol Eutropepts 2
2 Dystropepts, Distrandepts, Haplorthox Inceptisol Eutropepts 2
3 Dystropepts, Eutrandepts, Distrandepts, Inceptisol Eutropepts 2
4 Dystropepts, Eutropepts, Tropudults Inceptisol Eutropepts 2
5 Dystropepts, Paleudults Inceptisol Eutropepts 2
6 Dystropepts, Troporthens, Tropudults Inceptisol Eutropepts 2
7 Dystropepts, Tropudalts, Tropudults Inceptisol Eutropepts 2
8 Dystropepts, Tropudults, Haplorthox Inceptisol Eutropepts 2
9 Dystropepts, Tropudults, Humitropepts Inceptisol Eutropepts 2
10 Dystropepts, Tropudults, Troportens Inceptisol Eutropepts 2
11 Dystropepts, Tropudults, Tropudalts Inceptisol Eutropepts 2
12 Eutropepts Inceptisol Eutropepts 2
13 Fluvaquents, Tropaquepts Entisol Tropafluent 1
14 Humitropepts, Distrandepts, Hydrandepts Inceptisol Eutropepts 2 15 Hydrandepts, Eutropepts, Troporthents Inceptisol Eutropepts 2
16 Paleudults, Distrandepts, Haplorthox Entisol Tropafluent 1
17 Rendolls, Eutropepts Entisol Tropafluent 1
18 Tropaquepts, Trofopluvents, Pluvaquents Inceptisol Eutropepts 2
19 Tropudults, Dystropepts Entisol Tropafluent 1
20 Tropudults, Dystropepts, Eutropepts Entisol Tropafluent 1
21 Tropudults, Trophumuts, Dystropepts Entisol Tropafluent 1
4. Penutupan lahan
Peta digital penutupan lahan diperoleh dari BPKH Wilayah I yang telah diklasifikasi. Penutupan lahan pada penelitian ini dibagi dalam 7 (tujuh) kelas,
yaitu tubuh air, hutan primer, hutan sekunder, kebun, pemukiman, pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering dan semak belukar. Pemberian skornya
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Skor interval jenis penutupan lahan
No. Penutupan lahan Skor
tutupan lahan dikategorikan dalam satu kelas karena memiliki kedekatan kondisi
fisik di lapangan.
Tabel 8. Padanan jenis penutupan lahan pada data sekunder peta digital penutupan lahan dengan jenis penutupan lahan yang memiliki skor
No. Kelas Padanan Skor
1 Hutan lahan kering sekunder Hutan sekunder 2
2 Semak/belukar Pertanian lahan kering 5
3 Hutan lahan kering primer Hutan primer 1
4 Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering 5
5 Pertanian lahan kering campur semak Pertanian lahan kering 5
6 Tanah terbuka Pertanian lahan kering 5
7 Sawah Pertanian lahan basah 5
8 HTI Hutan sekunder 2
9 Tubuh air Tubuh air 0
10 Pemukiman Pemukiman 4
11 Rawa/berair Tubuh air 0
Menurut Haifani (2008), metode yang digunakan dalam menentukan peta rawan longsor adalah model statistik kuantitatif (scoring) dari beberapa
parameter dengan bobot yang ditentukan. Metode ini digunakan dalam model spasial untuk besaran skala prioritas. Parameternya pada masing-masing kelas
diberi skor 1 sampai 5 kelas. Setiap parameter diberi faktor pembobotan (faktor pengali) seperti pada Tabel 9.
Tabel 9. Faktor pembobotan yang digunakan untuk penetapan bahaya longsor
No. Parameter Bobot Skor
Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat bahaya longsor menurut
Haifani (2008) adalah:
Hasil dari perkalian masing-masing parameter tersebut kemudian
diklasifikasikan seperti yang disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Skor interval dan tingkat bahaya longsor
No. Skor Interval Tingkat Bahaya Kelas
1. 9 – 15 Sangat Rendah 1
2. 16 – 22 Rendah 2
3. 28 – 29 Sedang 3
4. 30 – 36 Tinggi 4
5. 37 – 41 Sangat Tinggi 5
Setelah seluruh peta parameter rawan longsor telah diperoleh, maka dilakukan tumpang susun sehingga diperoleh peta daerah yang berpotensi sebagai
daerah rawan longsor (Gambar 6).
Gambar 6. Skema Analisis Pemetaan Bahaya Longsor
Overlay dengan Peta Administrasi Kabupaten
Karo
Peta Kecamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Titik Sampel Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan
Titik sampel merupakan titik yang akan digunakan sebagai acuan dalam
melakukan pengecekan hasil yang diperoleh saat di lapangan. Titik sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 106 titik (Lampiran 1). Jumlah titik
diperoleh berdasarkan banyaknya jumlah kelas bahaya longsor yang ditemukan pada masing-masing kecamatan. Sebaran titik sampel disajikan pada Gambar 7. Masing-masing kelas diambil 2 titik sebagai pengulangan untuk memperoleh
nilai akurasi yang lebih baik. Banyaknya kelas bahaya longsor dan jumlah titik yang diambil disajikan pada Tabel 11.
Setelah dilakukan pengecekan di lapangan, titik sampel yang sesuai dengan peta sebaran bahaya longsor adalah sebanyak 94 titik dan yang tidak sesuai adalah 12 titik, sehingga diperoleh nilai akurasi sebesar 88,68%. Nilai akurasi hasil groundcheck yang diperoleh lebih besar dari 80%. Menurut
Short (1982) dan Estes dalam Danoedoro (1996), nilai akurasi yang mempunyai tingkat ketelitian ≥ 80% sudah dianggap akurat. 12 titik yang tidak sesuai dengan
hasil yang diperoleh pada peta tersebar pada Kecamatan Berastagi (2 titik), Kabanjahe (2 titik), Laubaleng (4 titik), Mardingding (1 titik), Merek (1 titik), Munthe (1 titik), dan Simpang Empat (1 titik). Hal ini dikarenakan setiap
kecamatan memiliki jumlah kelas bahaya longsor yang berbeda yang ditentukan oleh seluruh parameter penentu rawan longsor yaitu kelas kelerengan, jenis tanah
Tabel 11. Jumlah titik sampel berdasarkan kecamatan
Kecamatan Kelas Bahaya Longsor Jumlah Titik Sampel
Barusjahe Sangat tinggi dan tinggi 4
Berastagi Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,
dan sangat tinggi
10
Juhar Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,
dan sangat tinggi
10
Kabanjahe Sangat rendah, sedang, dan tinggi 6
Kutabuluh Sedang, tinggi, dan sangat tinggi 6
Laubaleng Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,
dan sangat tinggi
10
Mardingding Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,
dan sangat tinggi
10
Merek Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,
dan sangat tinggi
10
Munthe Sedang, tinggi, dan sangat tinggi 6
Payung Rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi 8
Simpang Empat Sangat rendah, sedang, tinggi, dan sangat
tinggi
8
Tiga Binanga Rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi 8
Tiga Panah Sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,
dan sangat tinggi
10
Total Titik Sampel 106
Sebaran Bahaya Longsor Berdasarkan Kecamatan
Hasil yang diperoleh berupa peta rawan longsor dengan sebaran yang
terdiri dari 5 kelas yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi berdasarkan kecamatannya di Kabupaten Karo. Sebaran bahaya longsor
berdasarkan kecamatan tersebut tidak merata pada setiap kecamatannya yang disajikan pada Gambar 7. Hal ini sesuai dengan hasil analisis pada peta dan pengecekan di lapangan. Setiap kelas bahaya longsor ditandai dengan warna yang
Karakteristik longsoran yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah
jenis longsoran translasi dan rotasi. Karakteristik longsoran yang ditemukan pada wilayah penelitian adalah longsoran translasi, longsoran rotasi, dan pergerakan blok. Menurut Kementrian ESDM (2008), longsoran translasi adalah bergeraknya
massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai (Gambar 8a). Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan
pada bidang gelincir berbentuk cekung (Gambar 8b). Sedangkan pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata (Gambar 8c).
(a) (b)
(c)
Karakteristik longsor pada wilayah penelitian memiliki luasan yang
berbeda pada setiap kecamatan. Luas tersebut disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, karakteristik longsor yang paling banyak ditemukan adalah Kecamatan Tiga Binanga (sangat tinggi), Kecamatan Mardingding (tinggi, rendah,
dan sangat rendah).
Tabel 12. Kelas bahaya longsor berdasarkan kecamatan
Kecamatan Kelas Bahaya Longsor
Sangat rendah
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Kelas bahaya longsor sangat tinggi
Kecamatan Tiga Binanga merupakan kecamatan yang memiliki tingkat bahaya longsor yang paling tinggi di Kabupaten Karo dengan luas 477,27 ha. Hal
ini dikarenakan Kecamatan Tiga Binanga memiliki jenis tanah Dystropepts, Tropudults, Humitropepts, tutupan lahannya adalah pertanian lahan kering,
Kecamatan Tiga Binanga ini adalah kemiringan lerengnya. Kelas bahaya longsor
ini dapat dilihat pada Gambar 9a.
Kelas bahaya longsor tinggi
Kecamatan Mardingding merupakan kecamatan yang memiliki luas
administrasi yang paling besar bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Karo. Luasnya mencapai 3.203,82 ha dan merupakan kecamatan yang
memiliki tingkat bahaya longsor yang tinggi di Kabupaten Karo dengan luas 2.476,73 ha. Hal ini dikarenakan Kecamatan Mardingding memiliki jenis tanah Tropudults, Dystropepts, tutupan lahannya didominasi hutan lahan kering
sekunder, jenis batuannya adalah Sedimen-Campuran, dan persen kelerengannya adalah di atas 45%. Kelas bahaya longsor ini dapat dilihat pada Gambar 9b.
a. b.
Gambar 9. Kelas bahaya longsor sangat tinggi di Kecamatan Tiga Binanga (a) dan tinggi di Kecamatan Mardingding (b)
Faktor-faktor Penyebab Bahaya Longsor di Kabupaten Karo
Bahaya longsor berdasarkan kelas kelerengan
Tingkat kelerengan suatu tempat sangat berpengaruh besar terhadap
curam suatu lereng, maka semakin besar dan cepat longsor terjadi. Luasan tingkat
bahaya longsor menurut kelas kelerengan disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Kelas bahaya longsor berdasarkan kelerengan
Persen kemiringan lereng (%)
Kelas Bahaya Longsor
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Ha 13.476,55 3.761,86 19.578,51 160.332,46 19.849,70 216.999,10
100 % 6,21 1,73 9,02 73,89 9,15 100
Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dilihat bahwa persen kemiringan
lereng di atas 45% memiliki kelas bahaya longsor yang sangat tinggi dengan luas 19.849,70 ha. Menurut Marwanto, dkk (2007), suatu daerah dinyatakan memiliki potensi longsor apabila memenuhi tiga syarat, yaitu lereng cukup curam, memiliki
bidang luncur berupa lapisan di bawah permukaan tanah yang semi permeabel dan lunak, dan terdapat cukup air untuk memenuhi tanah di atas bidang luncur
tersebut. Dengan persen kemiringan lereng yang tinggi, maka kejadian longsor hanya tinggal menunggu faktor pemicunya yaitu curah hujan atau gempa bumi.
Kelas bahaya longsor yang sangat rendah berada pada persen kemiringan
lereng 0 - < 8. Hal ini menandakan bahwa keadaan suatu tempat yang datar memiliki pengaruh yang sangat rendah terhadap kejadian longsor. Wahjono
Bahaya longsor akan semakin besar apabila lereng tersusun atas perlapisan
batuan yang miring searah dengan kemiringan lereng. Menurut Priyono, dkk (2006), luncuran tersebut terjadi di sepanjang bidang perlapisan batuan yang merupakan bidang yang lemah, terutama apabila terjadi tekanan oleh air yang
meresap melalui bidang-bidang tersebut.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, jelas terlihat bahwa semakin tinggi
persen kelerengan suatu lahan, maka semakin besar potensi longsornya. Hal ini juga diperjelas oleh Wahyunto, dkk, (2003), yang menyatakan bahwa faktor lereng yang terjal sangat menentukan daya tahan lereng terhadap reaksi perubahan
energi (tegangan) pada lereng tersebut. Tanah longsor terjadi biasanya diakibatkan oleh wilayah jenuh air dan adanya gaya gravitasi. Penambahan beban volume dan
melemahnya daya ikat materi penyusun lereng dengan bahan induk sebagai akibat adanya peresapan/infiltrasi air hujan yang masuk ke dalam materi tersebut dapat menyebabkan tanah longsor.
Bahaya longsor berdasarkan jenis batuan
Jenis batuan merupakan parameter penentu tingkat bahaya longsor. Jenis
batuan yang terdapat di Kabupaten Karo didominasi oleh jenis batuan beku dan batuan sedimen. Munir (1996) mengemukakan bahwa batuan beku terbagi atas 3 jenis berdasarkan proses pembentukannya yaitu batuan plutonis (batuan beku
dalam), batuan gang (batuan intrusi), dan batuan vulkanis (batuan beku atas). Jenis batuan yang termasuk ke dalam batuan beku antara lain Andesit dan
Vulkanik-Tepra butir halus. Sedangkan jenis batuan sedimen antara lain adalah
Alluvium, Batu Kapur, Batu Pasir, dan Breccia (breksi) dengan nama lain yang bersinonim dengan batuan tersebut adalah Campuran-Alluvium, fan deposit, Metamorfik-Kuarsit, Metamorfik-Marbel, Metamorfik-Shale, Sedimen-Alluvium,
recent riveri, dan Sedimen-Campuran (silt/mudstone). Luasan bahaya longsor menurut batuan disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Tingkat bahaya longsor menurut jenis batuan
Jenis batuan yang paling berpengaruh terhadap tingkat bahaya longsor adalah Sedimen-Campuran (silt/mudstone) dengan luas 11.154,91 ha dengan kelas bahaya sangat tinggi. Hal ini dikarenakan bahwa batuan Sedimen-
Campuran (silt/mudstone) merupakan jenis batuan sedimen (endapan) klastis
Jenis Batuan Kelas Bahaya Longsor Total
Sangat rendah
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
36.307,60 36.307,60 12,92
Metamorfik-Marbel 16.249,86 16.249,86 5,78
Metamorfik-Shale 7.196,44 7.196,44 2,56
Plutonik-Granit 6.741,31 4.455,73 11.197,05 3,98
Sedimen-Alluvium, recent riveri
52,12 52,12 0,02
Sedimen-Campuran (silt/mudstone)
3.472,88 40.301,87 11.154,91 51.568,95 106.498,62 37,89
Vulkanik-Vulkanik-Andesit 3.830,73 127,54 3.958,27 1,41
Vulkanik-Basalt 144,39 144,39 0,05
Vulkanik-Campuran (silt/mudstone)
14.417,51 2.152,69 16.570,21 5,90
Vulkanik-Riolit 1.958,80 3.796,22 5.755,03 2,05
Vulkanik-Tepra butir halus
68,02 15.949,53 16.017,56 5,70
(kosong) 282,82 55.365,18 55.648,01 19,80
dengan partikel liat yang memiliki kisaran ukuran diameter < 1/256 mm. Ukuran
diameter batuan ini tergolong kecil bila dibandingkan dengan batuan beku. Batuan beku merupakan jenis batuan yang berbutir kasar.
Jenis batuan endapan klastis sangat berbeda dengan batuan beku, baik
dalam bentuk maupun susunan dari butiran-butirannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Munir (1996). Pada batuan beku, butirannya tidak teratur dan terikat
kokoh satu sama lain. Sedangkan pada batuan endapan, di partikel-partikelnya terdapat adanya tanda-tanda goresan akibat berlangsungnya pengangkutan. Pada batuan endapan klastis juga dijumpai adanya penyemenan sehingga terjadi
pengikatan partikel-partikel satu dengan lainnya, sedangkan pada batuan beku terdiri atas sambungan-sambungan kristal.
Batuan Sedimen-Campuran (silt/mudstone) juga disebut serpih atau batuan sedimen berbutir halus yang terbentuk dari memadatnya dan atau tersementasinya partikel lempung. Menurut Hardiyatmo (2006), beberapa serpih berkelakuan
cenderung seperti tanah daripada batuan dan menunjukkan sifat merugikan. Sifat-sifat teknis serpih pada umumnya adalah:
a. Kekuatan serpih bervariasi. Serpih lunak dapat tergaruk dengan pemukul atau dapat digali dengan alat berat tanpa menggunakan bahan peledak. Sedangkan serpih yang keras harus digali dengan menggunakan bahan peledak.
b. Serpih mempunyai struktur berlapis dengan jarak dekat, dan cenderung sangat mudah terpisah di sepanjang bidang lapisannya. Ketika basah, kuat
geser pada batas lapisannya sangat rendah.
Berdasarkan sifat-sifat teknis di atas, maka batuan Sedimen-Campuran
(silt/mudstone) merupakan salah satu jenis batuan yang memiliki pengaruh besar terhadap tingkat bahaya longsor.
Jenis batuan yang paling kecil pengaruhnya terhadap tingkat bahaya
longsor adalah jenis batuan Metamorfik-Shale. Jenis batuan ini termasuk dalam batuan metamorf dan setara dengan batu kapur. Batuan metamorf merupakan
batuan yang telah mengalami perubahan dari bentuk asalnya dari batuan yang sudah ada dan pada umumnya masih berkaitan dengan batuan sedimen. Menurut Hardiyatmo (2006), sifat teknis batuan metamorf pada umumnya adalah
merupakan material yang keras dan kuat, dan hampir tidak terpengaruh oleh perubahan cuaca. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa jenis batuan
Metamorfik-Shale merupakan batuan yang paling rendah pengaruhnya terhadap tingkat bahaya longsor.
Jenis batuan lainnya pada Tabel 14 merupakan jenis batuan Breksi,
Andesit, Plutonik-Granit, dan Alluvium. Menurut Effendi (2008), jenis batuan dengan formasi Breksi dan Andesit dapat menjadi bidang gelincir untuk terjadinya
longsor karena sifatnya yang kedap air. Dalam keadaan jenuh air pada musim hujan, ditambah dengan tekstur tanah lempung pasiran, maka pada daerah yang memiliki batuan induk bersifat andesit menjadi rawan longsor. Namun jenis
Bahaya longsor berdasarkan jenis tanah
Jenis tanah merupakan salah satu parameter penentu tingkat bahaya longsor. Menurut Haifani (2008), terjadinya tanah longsor pada umumnya disebabkan oleh keberadaan ketebalan tanah lepas yang besar. Dengan adanya air
hujan yang menjenuhi tanah, maka tingkat longsoran akan semakin tinggi. Hasil analisis tingkat bahaya longsor menurut jenis tanahnya disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Tingkat bahaya longsor menurut jenis tanah
Jenis Tanah Kelas Bahaya Longsor
Sangat rendah
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
(kosong) Total
Ha %
Dystropepts, Distrandepts, Tropudults 1.049,62 1.049,62 0,38
Dystropepts, Distrandepts, Tropusults 3.472,88 15.329,39 49.381,64 68.183,92 24,45 Dystropepts, Dystrandepts, Haplorthox 68,02 12.955,04 13.023,06 4,70
Dystropepts, Eutrandepts, Dystrandepts 12.278,78 12.278,78 4,40 Dystropepts, Eutropepts, Tropudults 8.108,67 8.108,67 2,91
Dystropepts, Paleudults 52,12 52,12 0,02
Dystropepts, Troporthens, Tropudults 1.958,80 3.796,22 5.755,03 2,06
Dystropepts, Tropudalts, Tropudults 144,39 144,39 0,05
Dystropepts, Tropudults, Haplorthox 3.159,35 1.595,86 4.755,22 1,71
Dystropepts, Tropudults, Humitropepts 3.035,53 11.154,91 14.190,45 5,09 Dystropepts, Tropudults, Troportens 27.770,68 27.770,68 9,96
Dystropepts, Tropudults, Troportents 3.830,73 127,54 3.958,27 1,42 Dystropepts, Tropudults, Troporthens 3.581,95 2.859,87 6.441,82 2,31
Dystropepts, Tropudults, Tropudalts 2.378,86 2.378,86 0,85
Eutropepts 4.598,63 4.598,63 1,65
Fluvaquents,Tropaquepts 7.196,44 7.196,44 2,58
Humitropepts,Dystrandepts,hydrandepts 1.440,38 2.152,69 3.593,08 1,29
Hydrandepts,Eutropepts,Troporthents 428,24 428,24 0,15
Paleudults,Dystrandepts,Haplorthox 213,22 11,70 224,92 0,08
Rendolls,Eutropepts 11.651,23 11.651,23 4,18
Tropaquepts,Trofopluvents,Pluvaquents 1.834,23 1.834,23 0,66
Tropudults,Dystropepts 24.124,25 24.124,25 8,65
Tropudults,Dystropepts,Eutropepts 2.994,49 2.994,49 1,07
Tropudults,tropohumuts,Dystropepts 698,34 698,34 0,25
(kosong) 282,82 53.177,87 53.460,69 19,17
Total
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 15, dapat dilihat bahwa jenis
tanah yang paling tinggi pengaruhnya terhadap tingkat bahaya longsor adalah jenis Dystropepts, Tropudults, Humitropepts dengan luas 11.154,91 ha. Jenis tanah ini didominasi oleh Dystropepts yang dipadankan dengan jenis tanah
Eutropepts dengan ordo Inceptisol, sedangkan Tropudults dan Humitropepts merupakan jenis tanah pendukung satuan tanah tersebut. Pada umumnya, jenis
tanah yang ada pada peta tanah dipadankan dengan jenis Eutropepts karena memiliki ordo yang sama.
Eutropepts merupakan Great-group dari ordo Inceptisol. Jenis tanah ini
juga disebut latosol coklat. Menurut Effendi (2008), tanah latosol merupakan jenis yang memiliki tekstur tanah liat, konsistensi yang gembur dan tetap dari atas
sampai bawah, serta struktur lemah sampai gumpal lemah. Menurut Arsyad (2006), tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat
tersuspensi oleh tumbukan butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori
lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat yang tersuspensi tersebut. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya aliran permukaan dan memicu adanya
longsor.
Meskipun tanah yang mengandung liat memiliki potensi yang besar terhadap bahaya longsor, pada kondisi tertentu tanah ini juga dapat memperlambat
jalannya air yang akan menjenuhi permukaan tanah. Menurut Prijono dan Nurrohmah (2009), longsor dengan kedalaman bidang gelincir dangkal dengan