DI KABUPATEN BOGOR
FHENY FUZI LESTARI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
PENERAPAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM
PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR
DI KABUPATEN BOGOR
FHENY FUZI LESTARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan NINING PUSPANINGSIH.
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Kondisi topografi yang berbukit dan bergunung, tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor, diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu kawasan diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor.
Penentuan daerah kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan lima parameter yaitu curah hujan, penutupan lahan, geologi, kemiringan lereng dan jenis tanah. Masing-masing parameter tersebut dilakukan pembobotan atau pemberian nilai yang mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin besar nilai bobot yang diberikan artinya semakin memiliki kepekaan terhadap terjadinya tanah longsor. Kelima peta tersebut di overlay dan dilakukan penghitungan skor kumulatif dengan menggunakan model pendugaan yang berasal dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi tahun 2004, sehingga didapatkan peta penyebaran daerah rawan longsor.
Penutupan lahan di daerah penelitian terdiri dari hutan, kawasan industri, kebun campuran/semak belukar, lahan kosong, perkebunan, pemukiman, sawah dan badan air. Daerah rawan longsor di daerah penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu daerah kurang rawan longsor (17.879,40 ha / 17 %), daerah rawan longsor (78.128,16 ha / 74,5 %) dan daerah sangat rawan longsor (8.906,61 ha / 8,49 %). Ke tiga kelas kerawanan tersebut terdapat pada semua tipe penutupan lahan dengan jenis batuan yang mendominasi adalah bahan volkanik-1. Daerah kurang rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga agak curam dan jenis tanah yang mendominasi adalah assosiasi latosol coklat latosol kemerahan dengan kondisi curah hujan relatif sedang (2000-2500 mm/tahun). Daerah rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga curam, jenis tanah yang mendominasi podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan relatif tinggi (2500-3000 mm/tahun). Daerah sangat rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng landai hingga sangat curam, didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan sangat tinggi (>3000 mm/tahun).
Nanggung dan Pamijahan merupakan kecamatan yang memiliki kelas kerawanan daerah rawan longsor dan daerah sangat rawan longsor. Kecamatan Nanggung memiliki daerah rawan longsor seluas 10.963,46 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 1.340,01 ha. Sementara itu, kecamatan Pamijahan memiliki daerah rawan longsor seluas 8.221,73 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 3.823,66 ha. Daerah kurang rawan longsor tersebar luas terutama disekitar kecamatan Babakan Madang yaitu 4.201,35 ha.
SUMMARY
FHENY FUZI LESTARI (E14103014). Geographic Information System Application In Mapping Areas With A Certain Of Landslide Potency In Bogor Regency. Under Supervision of NINING PUSPANINGSIH.
Landslide soil is result of disturbance in the balance that cause movement of soil mass and rock to a lower place. Mountainous topography, high number of settlement in mountainous area, with an incorrect use of land is several factors that have a bad impact to the ecosystem. Various actions need to be carried out to minimalize the negative consequences due to each landslide case. This effort will allow related to one of it is mapping and identification each area that I potent to landslide event. This effort will provide a better picture of the region and allow a better observation based on the factor that cause landslide.
An area that is potent to landslide is categorized based on five perimeters: level of rainfall, land coverage, geology, slope, and soil condition. Each perimeter are scored based on its impact on landslide case in the areas that became due object of this studies. Higher score means higher effect of the perimeter to cause landslide. There are 5 (five) map that is used, each contain one of the five perimeter. Those maps are overlayed and cumulatively scored by estimation method of 2004 Vulcanology and Geological Disaster Mitigation Directorat , that result a map of landslide area distribution.
Land coverage in areas of research consists of forest, industrial area, mixed plantation/bush, abandoned land, plantation area, settlement, rice cultivation, and water body. Areas potent to landslide are classified into three classes, which is areas that is lest potent to landslide (17.879, 40 hectare/17%), intermediate potent to landslide (78.128,6 hectare / 74,5%) and highly potent to landslide (8.906,61 hectare / 8,49%). Each land coverage contain all three classes of landslide potention (from low, intermediate, and high potention) with volcanic-1 material dominating the type of rocks. Areas with a low potention to landslide occurs in flat to a relatively steep slope with the type soil that dominating is association of brown latosol and reddish latosol and iintermediate level of rainfall intensity (2000-2500 mm per annum). Areas with an intermediate potention to landslide are identified in areas with flat to steep slope, yellowish red podsolic soil type , and rainfall intensity that is relatively high (2500-3000 mm annually). Areas that has a high potention of llandslide happens in areas that is has a very steep slope, dominated by yellowish red podsolic soil type and very intense rainfall (more than 3.000 mm per year).
Nanggung and Pamijahan district is largest area that has an intermediate high potention to landslide. There are 10.963,46 hectare of area that have an intermediate potention and 1.340,01 hectare of area that is highly potention to landslide in Nanggung district. Pamijahan district have an area of 8.221,73 hectares with a medium potention and 3.823,66 hectares with a high potention to landslide. An area that is less potention is widely identified around Babakan Madang district with a total 4.201,35 hectare.
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Sistem
Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor
adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing
dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau
lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2008
Judul : Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan
Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor
Nama : Fheny Fuzi Lestari
NRP : E14103014
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Dra. Nining Puspaningsih, M.Si
NIP. 131 918 662
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr.Ir. Hendrayanto, M. Agr
NIP.131 578 788
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada
tanggal 26 Februari 1986 dari pasangan Patullah, S.Pd dan
Euis Nurhayati. Penulis adalah anak pertama dari tiga
bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun
1989 di TK Ibnu Sina dan lulus pada tahun 1991.
Kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah dasar di SDN Cibening 1 (tahun
1991-1997), sekolah menengah pertama di SMPN 1 Cibungbulang (tahun 1997-2000),
serta sekolah menengah umum di SMA KORNITA (tahun 2000-2003).
Pada tahun yang sama (2003) penulis diterima di Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Kehutanan, Program Studi Manajemen Hutan melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama masa studi di IPB, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan
dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Ngawi, BKPH Getas Perum Perhutani Unit
II Jawa Timur pada bulan Agustus – September 2006, dan Praktek Kerja Lapang
(PKL) pada bulan April – Mei 2007 di HPHTI PT. Arara Abadi (Sinar Mas
Group) Provinsi Riau.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan
judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan
Longsor di Kabupaten Bogor di bawah bimbingan Dra. Nining Puspaningsih,
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
dengan judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah
Rawan Longsor di Kabupaten Bogor.
Skripsi ini merupakan hasil pembahasan secara ilmiah terhadap
perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis yang diharapkan dapat
berguna dalam pemanfaatannya di dunia kehutanan masa kini dan masa yang akan
datang. Semoga tulisan ini dapat menjadi salah satu bagian dari ilmu pengetahuan
yang dapat berguna bagi kita semua. Penelitian ini dibimbing oleh Dra. Nining
Puspaningsih, M.Si.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
menjadikan tulisan ini lebih baik dan bermanfaat.
Bogor, Maret 2008
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam perjalanan menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana
Kehutanan IPB, penulis mendapat banyak bantuan dan perhatian. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya.
2. Papa dan mama, yang selalu memberikan dukungan dan doa
3. Septiana dan Fathur atas semangat dan semua keceriaan yang sudah diberikan
sejak kecil hingga saat ini.
4. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si. Selaku dosen pembimbing yang telah sabar
meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam memberikan bimbingan,
pengarahan, dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah
ini.
5. Bapak Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS. selaku dosen penguji dari Departemen
Hasil Hutan dan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MS. selaku dosen
penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan.
6. Bapak dan ibu dosen Fakultas Kehutanan IPB yang dengan kemuliannya
telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu yang tak ternilai hanya dengan
ucapan terima kasih.
7. Bapak Uus Saeful M. dan Mas Ewink atas ilmu dan bantuannya yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan laporan tugas akhir ini.
8. Maria Oktavia Peo Gambe, Novita Diah Arianti, Shinta Dewi Wisnu
Wijayanti dan Melda Rianita Aruan. Terima kasih untuk seikat persahabatan,
keceriaan, dan saat-saat indah yang pernah kita lalui bersama selama ini.
9. Aa Yana dan Botak yang selalu memberikan dukungan, doa, perhatian,
kesabaran dan kasih sayangnya selama ini.
10.Edy Saefrudin yang sudah membantu dalam pelaksanaan ground check
11.Teman satu perjuangan Danil dan Anna..terima kasih untuk kebersamaan kita
semenjak P3h, PKL, penelitian sampai selesainya skripsi ini
12.Seluruh MNH’40 : Ariz, Ichal, Agus, Nur, Ubai gila, Tante Lita, Aa Yandi,
Dhani, Zae, Elza, Maya, Broto, Achi, Latifah, Alim, Dwi, Irwan, Aziz, Dedi,
iii
Terima kasih atas semangat, keceriaan dan kenangan indah selama masa
kuliah.
13.Keluarga besar ForsGe : Adila, Dega, Bety, Arfan, Adit, Iis, Hery, Asep,
Anggit, Faery, Aan, Heru, Nanik, Nur, Mba Desy dan Mba. Siti. Terima kasih
untuk keceriaan dan kebersamaan kita selama ini
14.Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik selama kuliah
DI KABUPATEN BOGOR
FHENY FUZI LESTARI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
PENERAPAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM
PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR
DI KABUPATEN BOGOR
FHENY FUZI LESTARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan NINING PUSPANINGSIH.
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Kondisi topografi yang berbukit dan bergunung, tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor, diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu kawasan diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor.
Penentuan daerah kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan lima parameter yaitu curah hujan, penutupan lahan, geologi, kemiringan lereng dan jenis tanah. Masing-masing parameter tersebut dilakukan pembobotan atau pemberian nilai yang mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tanah longsor. Semakin besar nilai bobot yang diberikan artinya semakin memiliki kepekaan terhadap terjadinya tanah longsor. Kelima peta tersebut di overlay dan dilakukan penghitungan skor kumulatif dengan menggunakan model pendugaan yang berasal dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi tahun 2004, sehingga didapatkan peta penyebaran daerah rawan longsor.
Penutupan lahan di daerah penelitian terdiri dari hutan, kawasan industri, kebun campuran/semak belukar, lahan kosong, perkebunan, pemukiman, sawah dan badan air. Daerah rawan longsor di daerah penelitian terbagi menjadi tiga kelas yaitu daerah kurang rawan longsor (17.879,40 ha / 17 %), daerah rawan longsor (78.128,16 ha / 74,5 %) dan daerah sangat rawan longsor (8.906,61 ha / 8,49 %). Ke tiga kelas kerawanan tersebut terdapat pada semua tipe penutupan lahan dengan jenis batuan yang mendominasi adalah bahan volkanik-1. Daerah kurang rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga agak curam dan jenis tanah yang mendominasi adalah assosiasi latosol coklat latosol kemerahan dengan kondisi curah hujan relatif sedang (2000-2500 mm/tahun). Daerah rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga curam, jenis tanah yang mendominasi podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan relatif tinggi (2500-3000 mm/tahun). Daerah sangat rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng landai hingga sangat curam, didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kekuningan dengan kondisi curah hujan sangat tinggi (>3000 mm/tahun).
Nanggung dan Pamijahan merupakan kecamatan yang memiliki kelas kerawanan daerah rawan longsor dan daerah sangat rawan longsor. Kecamatan Nanggung memiliki daerah rawan longsor seluas 10.963,46 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 1.340,01 ha. Sementara itu, kecamatan Pamijahan memiliki daerah rawan longsor seluas 8.221,73 ha dan daerah sangat rawan longsor seluas 3.823,66 ha. Daerah kurang rawan longsor tersebar luas terutama disekitar kecamatan Babakan Madang yaitu 4.201,35 ha.
SUMMARY
FHENY FUZI LESTARI (E14103014). Geographic Information System Application In Mapping Areas With A Certain Of Landslide Potency In Bogor Regency. Under Supervision of NINING PUSPANINGSIH.
Landslide soil is result of disturbance in the balance that cause movement of soil mass and rock to a lower place. Mountainous topography, high number of settlement in mountainous area, with an incorrect use of land is several factors that have a bad impact to the ecosystem. Various actions need to be carried out to minimalize the negative consequences due to each landslide case. This effort will allow related to one of it is mapping and identification each area that I potent to landslide event. This effort will provide a better picture of the region and allow a better observation based on the factor that cause landslide.
An area that is potent to landslide is categorized based on five perimeters: level of rainfall, land coverage, geology, slope, and soil condition. Each perimeter are scored based on its impact on landslide case in the areas that became due object of this studies. Higher score means higher effect of the perimeter to cause landslide. There are 5 (five) map that is used, each contain one of the five perimeter. Those maps are overlayed and cumulatively scored by estimation method of 2004 Vulcanology and Geological Disaster Mitigation Directorat , that result a map of landslide area distribution.
Land coverage in areas of research consists of forest, industrial area, mixed plantation/bush, abandoned land, plantation area, settlement, rice cultivation, and water body. Areas potent to landslide are classified into three classes, which is areas that is lest potent to landslide (17.879, 40 hectare/17%), intermediate potent to landslide (78.128,6 hectare / 74,5%) and highly potent to landslide (8.906,61 hectare / 8,49%). Each land coverage contain all three classes of landslide potention (from low, intermediate, and high potention) with volcanic-1 material dominating the type of rocks. Areas with a low potention to landslide occurs in flat to a relatively steep slope with the type soil that dominating is association of brown latosol and reddish latosol and iintermediate level of rainfall intensity (2000-2500 mm per annum). Areas with an intermediate potention to landslide are identified in areas with flat to steep slope, yellowish red podsolic soil type , and rainfall intensity that is relatively high (2500-3000 mm annually). Areas that has a high potention of llandslide happens in areas that is has a very steep slope, dominated by yellowish red podsolic soil type and very intense rainfall (more than 3.000 mm per year).
Nanggung and Pamijahan district is largest area that has an intermediate high potention to landslide. There are 10.963,46 hectare of area that have an intermediate potention and 1.340,01 hectare of area that is highly potention to landslide in Nanggung district. Pamijahan district have an area of 8.221,73 hectares with a medium potention and 3.823,66 hectares with a high potention to landslide. An area that is less potention is widely identified around Babakan Madang district with a total 4.201,35 hectare.
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Sistem
Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor
adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing
dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau
lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2008
Judul : Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan
Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor
Nama : Fheny Fuzi Lestari
NRP : E14103014
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Dra. Nining Puspaningsih, M.Si
NIP. 131 918 662
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr.Ir. Hendrayanto, M. Agr
NIP.131 578 788
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada
tanggal 26 Februari 1986 dari pasangan Patullah, S.Pd dan
Euis Nurhayati. Penulis adalah anak pertama dari tiga
bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun
1989 di TK Ibnu Sina dan lulus pada tahun 1991.
Kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah dasar di SDN Cibening 1 (tahun
1991-1997), sekolah menengah pertama di SMPN 1 Cibungbulang (tahun 1997-2000),
serta sekolah menengah umum di SMA KORNITA (tahun 2000-2003).
Pada tahun yang sama (2003) penulis diterima di Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Kehutanan, Program Studi Manajemen Hutan melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama masa studi di IPB, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan
dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Ngawi, BKPH Getas Perum Perhutani Unit
II Jawa Timur pada bulan Agustus – September 2006, dan Praktek Kerja Lapang
(PKL) pada bulan April – Mei 2007 di HPHTI PT. Arara Abadi (Sinar Mas
Group) Provinsi Riau.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan
judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah Rawan
Longsor di Kabupaten Bogor di bawah bimbingan Dra. Nining Puspaningsih,
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
dengan judul Penerapan Sistem Informasi Geografis dalam Pemetaan Daerah
Rawan Longsor di Kabupaten Bogor.
Skripsi ini merupakan hasil pembahasan secara ilmiah terhadap
perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis yang diharapkan dapat
berguna dalam pemanfaatannya di dunia kehutanan masa kini dan masa yang akan
datang. Semoga tulisan ini dapat menjadi salah satu bagian dari ilmu pengetahuan
yang dapat berguna bagi kita semua. Penelitian ini dibimbing oleh Dra. Nining
Puspaningsih, M.Si.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
menjadikan tulisan ini lebih baik dan bermanfaat.
Bogor, Maret 2008
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam perjalanan menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana
Kehutanan IPB, penulis mendapat banyak bantuan dan perhatian. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya.
2. Papa dan mama, yang selalu memberikan dukungan dan doa
3. Septiana dan Fathur atas semangat dan semua keceriaan yang sudah diberikan
sejak kecil hingga saat ini.
4. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si. Selaku dosen pembimbing yang telah sabar
meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam memberikan bimbingan,
pengarahan, dan saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah
ini.
5. Bapak Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS. selaku dosen penguji dari Departemen
Hasil Hutan dan Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, MS. selaku dosen
penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan.
6. Bapak dan ibu dosen Fakultas Kehutanan IPB yang dengan kemuliannya
telah membekali penulis dengan ilmu-ilmu yang tak ternilai hanya dengan
ucapan terima kasih.
7. Bapak Uus Saeful M. dan Mas Ewink atas ilmu dan bantuannya yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan laporan tugas akhir ini.
8. Maria Oktavia Peo Gambe, Novita Diah Arianti, Shinta Dewi Wisnu
Wijayanti dan Melda Rianita Aruan. Terima kasih untuk seikat persahabatan,
keceriaan, dan saat-saat indah yang pernah kita lalui bersama selama ini.
9. Aa Yana dan Botak yang selalu memberikan dukungan, doa, perhatian,
kesabaran dan kasih sayangnya selama ini.
10.Edy Saefrudin yang sudah membantu dalam pelaksanaan ground check
11.Teman satu perjuangan Danil dan Anna..terima kasih untuk kebersamaan kita
semenjak P3h, PKL, penelitian sampai selesainya skripsi ini
12.Seluruh MNH’40 : Ariz, Ichal, Agus, Nur, Ubai gila, Tante Lita, Aa Yandi,
Dhani, Zae, Elza, Maya, Broto, Achi, Latifah, Alim, Dwi, Irwan, Aziz, Dedi,
iii
Terima kasih atas semangat, keceriaan dan kenangan indah selama masa
kuliah.
13.Keluarga besar ForsGe : Adila, Dega, Bety, Arfan, Adit, Iis, Hery, Asep,
Anggit, Faery, Aan, Heru, Nanik, Nur, Mba Desy dan Mba. Siti. Terima kasih
untuk keceriaan dan kebersamaan kita selama ini
14.Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik selama kuliah
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang... 1
1.2 Tujuan ... 3
1.3 Manfaat ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bencana Tanah Longsor... 5
2.1.1 Definisi... 5
2.1.2 Tanah longsor... 6
2.1.3 Faktor penyebab longsor ... 8
2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 11
2.2.1 Definisi... 11
2.2.2 Komponen SIG ... 12
2.2.3 Cara kerja SIG... 13
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 15
3.2 Alat dan Bahan... 15
3.3 Metode Penelitian ... 17
3.3.1 Pengumpulan data ... 17
3.3.2 Pengolahan data spasial... 17
3.3.3 Analisis data spasial ... 19
3.3.4 Analisis daerah rawan longsor ... 23
BAB IV Kondisi Umum Lokasi 4.1 Letak Geografis dan Luas Daerah Penelitian... 25
v
4.3 Tanah... 26
4.4 Geologi... 26
4.5 Penutupan Lahan... 26
4.6 Iklim ... 27
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Parameter Penyebab Tanah Longsor... 28
5.1.1 Curah hujan ... 28
5.1.2 Geologi... 30
5.1.3 Jenis tanah ... 32
5.1.4 Kemiringan lereng... 34
5.1.5 Penutupan lahan ... 36
5.2 Analisis Kerawanan Tanah Longsor ... 39
5.2.1 Daerah kurang rawan longsor ... 42
5.2.2 Daerah rawan longsor ... 44
5.2.3 Daerah sangat rawan longsor ... 47
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ... 51
6.2 Saran... 52
PUSTAKA ACUAN ... 53
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Pengkelasan kemiringan lereng... 19
2. Sifat-sifat permeabilitas jenis tanah ... 20
3. Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi ... 20
4. Pembagian kelas jenis tanah ... 20
5. Klasifikasi intensitas curah hujan ... 21
6. Kelas penutupan lahan ... 22
7. Pengkelasan jenis batuan ... 22
8. Jumlah sample yang diambil pada setiap kelas kerawanan ... 24
9. Keadaan topografi di daerah penelitian... 25
10. Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian... 26
11. Jenis batuan yang terdapat di daerah penelitian... 26
12. Pola penutupan lahan di daerah penelitian... 27
13. Luas curah hujan daerah penelitian... 28
14. Luas formasi geologi daerah penelitian ... 30
15. Luas jenis tanah daerah penelitian ... 32
16. Luas kelas kemiringan lereng daerah Penelitian... 34
17. Luas penutupan lahan daerah penelitian ... 36
vii
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Peta lokasi penelitian... 16
2. Bagan alir tahap penelitian... 18
3. Peta curah hujan ... 29
4. Peta geologi... 31
5. Peta tanah ... 33
6. Peta kelas kemiringan lereng ... 35
7. Peta penutupan lahan... 38
8. Peta tingkat daerah rawan longsor ... 40
9. Peta titik survey... 41
10. Lokasi longsor di daerah kurang rawan longsor ... 44
11. Lokasi longsor di daerah rawan longsor ... 47
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Wilayah rawan longsor di Provinsi Jawa Barat ... 55
2. Desa-desa yang termasuk dalam lokasi penelitian... 56
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pada masa 10 tahun terakhir ini, Kabupaten Bogor sebagai salah satu
“hinterland” yang terletak di bagian selatan Jakarta untuk sektor pemukiman, industri maupun pariwisata. Tanpa disadari, perkembangan tersebut ternyata
merupakan ancaman bagi keberadaan fungsi Kabupaten Bogor sebagai daerah
konservasi air dan tanah. Perubahan penutupan lahan dan vegetasi yang sekaligus
meningkatkan wilayah pemukiman serta industri mempunyai andil yang cukup
signifikan dalam penurunan fungsinya sebagai daerah resapan.
Penurunan luas hutan dan peningkatan lahan kosong terjadi selama rentang
waktu 5 tahun (dari tahun 1998 ke tahun 2003), dimana luas hutan/vegetasi lebat
di kawasan hutan produksi menurun seluas 1.502 Ha (dari 4.385 Ha menjadi
2.883 Ha). Luas tanah kosong meningkat cukup drastis yaitu dari 13.508 Ha
menjadi 23.748 Ha, sedangkan luas tutupan hutan/vegetasi lebat menurun sekitar
1.357 Ha (dari 8.594 Ha menjadi 7.237 Ha). ( Jaya et al. 2003)
Peluang perubahan lahan yang tinggi sangat dipengaruhi oleh kepadatan
penduduk. Pertambahan jumlah penduduk yang pesat di wilayah
Jakarta-Bogor-Tangerang–Bekasi (Jabotabek) baik yang disebabkan oleh pertambahan alami
(pertumbuhan penduduk), maupun urbanisasi telah menimbulkan kebutuhan akan
sumberdaya alam lahan yang meningkat. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi
dan mengganggu pemanfaatan lahan dan keseimbangan ekosistem di wilayah
Jabotabek. Akibat selanjutnya adalah terjadinya dampak yang sering bersifat
negatif seperti bencana alam berupa banjir, erosi maupun tanah longsor.
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang
menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi
ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor
gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng.
Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut
dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut dalam
Elemen-elemen yang ikut berpengaruh terhadap terjadinya longsor adalah
intensitas curah hujan, jenis tanah, faktor geologi atau batuan penyusunnya,
penutupan lahan yang terjadi dan kemiringan lahan. Selain faktor alamiah, juga
disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam,
seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng dan
penambangan.
Sepanjang tahun 1998-2006 tercatat berbagai bencana alam terjadi di
Indonesia, antara lain tanah longsor, banjir, badai, gunung meletus, tsunami dan
kebakaran hutan. Dan menurut Bakornas (2004) dari seluruh kejadian bencana
alam yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu lima tahun (1998-2003)
tercatat 85% adalah kejadian longsor dan banjir.
Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial
terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar
wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Disamping itu, juga disebabkan
tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga
menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lain yang menyebabkan cukup
tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah
kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang
yang kurang baik.
Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan diketahui bahwa kawasan
rawan longsor di provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota, antara
lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis,
Tasikmalaya, Kuningan, dan Purwakarta (Anonim 2002, diacu dalam Alhasanah
2006). Wilayah rawan longsor di provinsi Jawa Barat secara lengkap per
kecamatan disajikan pada Lampiran 1.
Dilihat dari aspek demografi, dua belas kabupaten/kota tersebut merupakan
kawasan padat penduduk dan pemukiman penduduk pada umumnya terletak pada
lereng perbukitan. Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih
besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut,
diperlukan upaya-upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat
3
tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material dan korban
jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya.
Untuk dapat memantau dan mengamati fenomena tanah longsor di suatu
kawasan diperlukan adanya suatu identifikasi dan pemetaan daerah rawan tanah
longsor yang mampu memberikan gambaran kondisi kawasan yang ada
berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor. Salah satu kegiatan
mitigasi bencana tanah longsor adalah pemetaan daerah rawan tanah longsor skala
nasional dan skala wilayah/daerah. Peta ini secara umum dapat dijadikan panduan
bagi pihak-pihak terkait untuk mengantisipasi terjadinya tanah longsor di suatu
wilayah.
Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan teknologi yang mempunyai
kemampuan untuk memasukkan, mengelola, manipulasi dan melakukan analisis
data ruang spasial misalnya tanah, curah hujan, ataupun kemiringan lereng.
Teknik SIG adalah merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan
sebagai teknik analisis yang menghasilkan informasi tentang berbagai parameter
faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya tanah longsor di suatu daerah.
Melalui proses penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara
tumpang susun (map overlay) dengan sistem skoring atau pembobotan dari masing-masing parameter akan menghasilkan bobot nilai baru yang akan
menentukan tingkat kerawanan suatu daerah terhadap kejadian tanah longsor.
Informasi akhir dari proses tersebut dapat menghasilkan peta sebaran daerah
rawan longsor yang dapat dijadikan sumber informasi bagi pihak-pihak yang
terkait.
1.2Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. Memetakan tingkat daerah rawan longsor
1.3Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
yang termuat dalam bentuk peta mengenai daerah rawan longsor dan memberikan
peringatan sedini mungkin (early warning system) atau antisipasi terhadap kemungkinan kejadian longsor sehingga dapat mengurangi jumlah kerugian yang
akan ditimbulkan dan juga dapat membantu pemerintah dalam perencanaan
pengembangan wilayah serta mempercepat pengambilan keputusan dalam
pembangunan sarana dan prasarana wilayah. Selain itu juga sebagai salah satu
bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk mengurangi tindakan
yang dapat memicu terjadinya longsoran, khususnya mereka yang tinggal di
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bencana Tanah Longsor
2.1.1 Definisi
Quarantelli (1998) diacu dalam Alhasanah (2006) memberikan pengertian
bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial
atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya
merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami
kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, definisi bencana difokuskan
pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan
hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya, jatuhnya korban manusia,
kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan
komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak luar.
Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang luas
dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi,
batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi.
Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu
seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh
tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti
yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain.
Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya
(hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat disuatu daerah, agar daerah
tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau hazard
mempunyai kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada
suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah jadi
bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan
2.1.2 Tanah longsor
Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah suatu
produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan
bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah. Gaya yang
menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik
tanah dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja disepanjang lereng.
Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh pengaruh perubahan alam
maupun tindakan manusia. Perubahan kondisi alam dapat diakibatkan oleh gempa
bumi, erosi, kelembaban lereng karena penyerapan air hujan dan perubahan aliran
permukaan. Pengaruh manusia terhadap perubahan gaya-gaya antara lain adalah
penambahan beban pada lereng dan tepi lereng, penggalian tanah di tepi lereng
dan penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah penduduk yang banyak
mengokupasi tanah-tanah berlereng sangat berpengaruh terhadap peningkatan
resiko longsor. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah antara
lain: tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi, keadaan vegetasi,
curah hujan/hidrologi dan aktivitas manusia di wilayah tersebut (Sutikno 1997).
Cruden (1991) diacu dalam Alhasanah (2006) mengemukakan longsoran
(landslide) sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (yang merupakan pencampuran tanah dan batuan)
menuruni lereng. Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan
hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal
sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air
(impermeable) sehingga berfungsi sebagai bidang luncur.
Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi yang
bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini, besarnya
pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh besarnya sudut
kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (kelerengan). Semakin besar
kelerengan, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu
juga sebaliknya.
Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan
atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau batuan. kondisi
7
keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya
dan menyebabkan terjadinya pengurangan kekuatan geser serta peningkatan
tegangan geser tanah (Suryolelono 2005, diacu dalam Alhasanah 2006).
Besarnya gaya penahan material pembentuk lereng atau disebut juga sebagai
kekuatan geser (shear strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan
kondisi geologi sebagaimana dikemukakan Sutikno (2000), yaitu sebagai berikut:
a. Komposisi dan tekstur material
b. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan
seragam
c. Reaksi kimia
d. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung
e. Pengaruh tekanan air pori
f. Perubahan struktur material karena pengaruh pelapukan
g. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah.
Selanjutnya, Sutikno (2000) juga menjelaskan bahwa peningkatan tegangan
geser dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain:
a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan
kemiringan lereng, dan pemotongan lereng
b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan
diatas lereng dan genangan air di atas lereng
c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan
d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air, penambangan
batuan, pembuatan terowongan dan eksploitasi air tanah berlebihan
e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antar butiran tanah dan
pengembangan tanah
f. Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak
antar batuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan,
rekahan, sesar dan perlapisan batuan yang terlampau miring
g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan
dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau kurang
kompak
h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air
yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong
munculnya pergerakan tanah atau longsor
i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks.
Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai
lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai
penahan masa lereng. Di sisi lain meskipun tumbuhan memiliki perakaran
yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi
yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kasus tersebut
tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan
sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor.
2.1.3 Faktor penyebab longsor
Terjadinya longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah
secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya satu volume tanah di
atas satu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat
atau mengandung kadar tanah liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai
peluncuran (Arsyad 1989).
Karnawati (2003) diacu dalam Febriana (2004) menyatakan salah satu
faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang
telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan
yang lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang
tertahan semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam
lereng ini semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung
pasiran untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan
sebagai penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan
air berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan
kompak tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan
penggelinciran juga semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung
maka semakin mudah tanah tersebut meloloskan air dan semakin cepat air
9
volume massa tanah yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian
umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor sering
menimbulkan suara gemuruh.
Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng-lereng yang terbuka akibat
aktivitas makhluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini
dalam memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan),
kurang memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan,
sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat
miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi rawan longsor (Suryolelono 2005,
diacu dalam Purnamasari 2007).
Menurut Arsyad (1989) longsoran akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan
sebagai berikut:
a. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau
meluncur ke bawah
b. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur
c. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas
lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.
Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat
tinggi atau dapat juga berupa lapisan batuan, seperti Napal Liat (Clay shale). Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) faktor
alam dan faktor manusia merupakan salah satu pemicu terjadinya tanah longsor.
a. Faktor alam
Meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit bumi,
erosi dan pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat
lembek, butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena proses alam
(gempa bumi, tektonik), air (hujan di atas normal, susut air cepat, banjir, aliran air
bawah tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air miring ke atas
b. Faktor manusia
Lereng menjadi terjal akibat pemotongan lereng dan penggerusan oleh air
saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata lahan menjadi lahan
basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran mesin, ledakan,
beban massa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan dekat
tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama
pada tebing, bocoran air saluran, luapan air saluran, kolam ikan, penggundulan
hutan sehingga terjadi pengikisan oleh air permukaan.
Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak
memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng
bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air
(drainase) yang seharusnya, dan bentuk-bentuk teras bangku pada lereng tersebut perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya penduduk
menyebabkan perkembangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng-lereng
bukit) yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan
beban pada lereng (surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki lereng akibat aliran sungai, atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya
bagian kaki lereng, terjadinya kembang susut material pembentuk lereng, dan
lain-lain menyebabkan terjadinya peningkatan tegangan geser.
Longsor merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau
kekuatan air dan angin, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai
tindakan/perbuatan manusia (Sutedjo et al. 1985). Sehubungan dengan proses-prosesnya secara alami maupun buatan, dengan demikian secara keseluruhannya
yang menjadi penyebab dan mempengaruhi besarnya laju longsor terdapat lima
faktor utama dan satu faktor sebagai penyebab besarnya resiko terjadinya bencana
longsor, yaitu :
1. Iklim
2. Tanah
3. Topografi
4. Penutupan lahan/vegetasi
5. Geologi atau jenis batuan
11
Faktor-faktor penyebab tersebut di atas saling mempengaruhi satu sama
lainnya dan menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan
suatu daerah terhadap bencana tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan
kaitan faktor-faktor ini satu sama lainnya.
2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)
2.2.1 Definisi
Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem berbasiskan
komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi
informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan
menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan
karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG
merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan untuk menangani
data bereferensi geografis, yaitu pemasukan data, pengelolaan atau manajemen
data (menyimpan atau pengaktifan kembali), analisis dan manipulasi data serta
keluaran data. Pemasukan data ke dalam SIG dilakukan dengan cara digitasi dan
tabulasi (Aronoff 1989, diacu dalam Prahasta 2001).
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasis komputer yang
terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis informasi yang
bereferensi geografis (Jaya 2002).
Kelebihan SIG terutama berkaitan dengan kemampuannya dalam
menggabungkan berbagai data yang berbeda struktur, format dan tingkat
ketepatan. Sehingga memungkinkan integrasi berbagai disiplin keilmuan yang
sangat diperlukan dalam pemahaman fenomena bahaya longsoran, dapat
dilakukan lebih cepat. Salah satu kemudahan utama penggunaan SIG dalam
pemetaan bahaya longsoran adalah kemampuannya menumpang-tindihkan
longsoran dalam unit peta tertentu sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif
2.2.2 Komponen SIG
Menurut Lo (1995) SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemprosesan,
subsistem analisis data dan subsistem menggunakan informasi. Subsistem
pemprosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan.
Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis data dan keluaran informasi
dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan
informasi relevan diterapkan pada suatu masalah.
Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki peranan
dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk
memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah
input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada tiga kategori
data secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu: Alfanumerik, Piktorial atau
grafik dan data penginderaan jauh dari bentuk digital (Lo 1995).
Gistut (1994) diacu dalam Prahasta (2001) menyatakan bahwa SIG
merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan
sistem-sistem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan. Sistem ini
terdiri dari beberapa komponen, yaitu:
1. Perangkat keras (hardware)
SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC
(personal computer) desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang
luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (hard disk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian,
fungsionalitas SIG tidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik
fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi.
Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah computer (PC),
mouse, keyboard, digitizer, printer, scanner dan CD-Writer. 2. Perangkat lunak (software)
SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular
dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan
dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga
13
program yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. Saat ini terdapat banyak
sekali perangkat lunak SIG baik yang berbasis vektor maupun yang berbasis
raster. Nama perangkat lunak SIG yang berbasis vektor antara lain ARC/INFO,
Arc VIEW, Map INFO, CartaLINX dan AutoCAD Map. Sedangkan perangkat
lunak SIG yang berbasis raster antara lain ILWIS, IDRISI, ERDAS dan
sebagainya.
3. Data-data geografis
SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang
diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-import-nya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara
mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari
tabel-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.
4. Manajemen
Komponen terakhir yang tak terelakan dari SIG adalah sumberdaya manusia
yang terlatih. Peranan sumberdaya manusia ini adalah untuk menjalankan sistem
yang meliputi pengoperasian perangkat keras dan perangkat lunak, serta
menangani data geografis dengan kedua perangkat tersebut. Sumberdaya manusia
juga merupakan sistem analis yang menerjemahkan permasalahan riil di
permukaan bumi dengan bahasa SIG, sehingga permasalahan tersebut bisa
teridentifikasi dan memiliki pemecahannya.
2.2.3 Cara kerja SIG
SIG dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor komputer yang kemudian mempresentasikan keatas kertas. Tetapi, SIG memiliki
kekuatan lebih dan fleksibilitas daripada lembaran peta kertas. Obyek-obyek yang
dipresentasikan diatas peta disebut unsur peta atau map features (contohnya taman, sungai, kebun, jalan dan lain-lain). Peta yang ditampilkan bisa berupa titik,
garis dan polygon serta juga menggunakan simbol-simbol grafis dan warna untuk
membantu mengidentifikasi unsur-unsur berikut deskripsinya.
SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai
atribut-atribut basis data. Kemudian, SIG membentuk dan menyimpannya dalam
bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut dapat diakses melalui
lokasi-lokasi unsur-unsur peta dan sebaliknya unsur-unsur peta juga dapat diakses
melalui atributnya. Karena itu, unsur itu bisa dicari dan dapat ditemukan
berdasarkan atribut-atributnya.
SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atributnya di
dalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administratif, perkebunan dan hutan merupakan contoh layer. Kumpulan layer
tersebut membentuk basis data SIG. Dengan demikian, perancangan basis data
akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan
keluaran (Prahasta 2001).
SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan. Beberapa
macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Klasifikasi/Reklasifikasi
Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau
data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.
b. Overlay
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari
beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau polygon yang terbentuk dari irisan dari beberapa
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-November 2007, dengan lokasi
penelitian di 18 Kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Babakan
Madang, Caringin, Ciampea, Ciawi, Cibungbulang, Cigombong, Cijeruk, Ciomas,
Cisarua, Dramaga, Leuwiliang, Leuwisadeng, Mega Mendung, Nanggung,
Pamijahan, Sukaraja, Tamansari dan Tenjolaya, yang disajikan pada Gambar 1.
Sedangkan untuk pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik
Remote Sensing Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
3.2Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah perangkat keras (hardware) terdiri dari PC Komputer, Printer dan Scanner. Perangkat lunak (software) terdiri dari Arc View versi 3.2 dan MS-Office, selain itu juga digunakan GPS (Global Positioning System), kamera dan alat tulis.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1. Peta digital Rupa Bumi Bogor Skala 1: 250.000, BAKOSURTANAL,Bogor
2. Peta Geologi Lembar Bogor Skala 1 : 100.000 tahun 1998 diperoleh dari Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat (PUSLITTANAK), Bogor
3. Peta digital Curah Hujan Bogor Skala 1 : 100.000 tahun 2003 diperoleh dari
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PUSLITTANAK), Bogor
4. Peta digital Kontur Bogor tahun 2001 , BAKOSURTANAL,Bogor
5. Peta digital Jenis Tanah Bogor Skala 1 : 250.000 tahun 2002 diperoleh dari
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PUSLITTANAK), Bogor
6. Peta digital Penutupan Lahan Kabupaten Bogor tahun 2003 skala 1 : 100.000
7. Peta digital Administrasi kabupaten Bogor (Bapeda Bogor, 2005)
17
3.3Metode Penelitian
3.3.1 Pengumpulan data
Kegiatan diawali dengan pengumpulan data dasar berupa peta-peta
pendukung, studi pustaka dan penelaahan data sekunder terutama berkaitan
dengan sejarah kejadian tanah longsor. Pada tahap ini, juga dilakukan konsultasi
ke instansi terkait untuk memperoleh informasi tentang kejadian tanah longsor.
Selain itu juga diperlukan data yang menyatakan posisi keberadaan suatu
tempat di permukaan bumi dalam bentuk koordinat yang disebut Ground Control Points (GCP). Data GCP didapatkan dengan melakukan survey langsung di lapangan. Data GCP ini selanjutnya dijadikan acuan dalam validasi kejadian
longsor di daerah penelitian.
3.3.2 Pengolahan data spasial
Data spasial dalam SIG dipresentasikan dalam dua format, yaitu format
vektor dan format raster. Data spasial itu sendiri merupakan data yang bersifat
keruangan. Data yang telah dikumpulkan sebelumnya dalam format vektor berupa
peta analog, yaitu Peta Geologi dan data GPS lokasi kejadian longsor. Peta analog
tersebut selanjutnya dikonversi menjadi peta digital melalui proses digitasi on screen, kemudian dilakukan koreksi geometri atau georeferensi. Proses pemasukan data GPS dan peta analog dilakukan melalui seperangkat komputer
dengan software Arc View 3.2.
Koreksi geometri atau georeferensi merupakan proses memproyeksi peta ke
dalam suatu sistem proyeksi peta tertentu. Penyeragaman data-data ke dalam
sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah
proses pengintegrasian data-data. Proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah UTM (Universal Transverse Mercator) datum WGS 84 dan zone 48S, menggunakan software ArcView versi 3.2 dengan extension Projection Utility Wizard.
Setelah proses koreksi terhadap peta selesai, maka dilanjutkan dengan
pemotongan peta untuk menentukan daerah penelitian, dengan acuan peta batas
Gambar 2 Bagan Alir Tahap Penelitian Persiapan dan pengumpulan data
Peta digital
Analisis spasial daerah rawan longsor
Ground check Mulai
Peta tingkat daerah rawan longsor
19
3.3.3 Analisis data spasial
Setelah semua data spasial dimasukkan ke dalam komputer dalam bentuk
peta digital, kemudian dilakukan pemasukan data atribut dan pembobotan pada
setiap parameter. Parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat
kerawanan adalah penutupan lahan (landcover), jenis tanah, topografi, curah hujan dan geologi (batuan induk).
Derajat dan panjang lereng adalah unsur yang mempengaruhi terjadinya
longsor. Semakin tinggi derajat lereng maka akan memberikan bahaya rawan
longsor yang lebih tinggi, sehingga diberi nilai bobot yang paling tinggi.
Pemberian skor dan pengkelasan lereng dapat dibagi dalam lima kelas yang
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Pengkelasan kemiringan lereng
No Kelas (%) Bentuk lereng Skor
Sumber: Nicholas and Edmunson (1975) dalam Purnamasari (2007)
Pemberian skor kerawanan tanah longsor untuk masing-masing kelas jenis
tanah didasarkan pada ciri morfologi tanah berupa tekstur tanah (pasir, debu dan
lempung) dan sifat permeabilitasnya yang disajikan pada Tabel 2. Selain itu
dipengaruhi juga oleh tingkat kepekaan tanah terhadap erosi yang dapat
menyebabkan longsor, yang disajikan pada Tabel 3. Jenis tanah yang memiliki
potensi untuk terjadinya longsor terutama bila terjadi hujan adalah jenis tanah
yang kurang padat dalam hal ini adalah tanah yang mempunyai tekstur pasir dan
tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5m. Selain itu tanah
ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air
dan pecah ketika hawa terlalu panas. Air permukaan yang meresap ke dalam
lapisan tanah yang mempunyai tekstur pasir akan mempercepat kondisi tanah
tersebut menjadi jenuh air dan menjadi labil serta pada kemiringan lereng yang
relatif curam akan mempermudah terjadinya tanah longsor. Pemberian skor dan
Tabel 2 Sifat-sifat permeabilitas jenis tanah
No Jenis tanah Tekstur Permeabilitas
1. Aluvial Liat; pasir < 50% Rendah
2. Glei Humik Lempung hingga liat Rendah
3. Latosol Liat, tetap dari atas hingga ke bawah Tinggi
4. Andosol Lempung hingga debu Tinggi
5. Litosol Aneka, umumnya berpasir Aneka
6. Regosol Pasir, kadar liat < 40% Tinggi
Sumber: Soepraptohardjo (1961)
Tabel 3 Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi
Kelas Jenis tanah Kepekaan Tanah
1. Aluvial, Gleisol, Planosol, Hidromorf kelabu, Laterik air tanah
Tidak peka
2. Latosol Agak peka
3. Brown forest soil, Non calcik brown, Mideteranian Agak peka 4. Andosol, Laterik, Grumosol, Podsol, Podsolik Peka
5. Regosol, Litosol, Renzina Sangat peka
Sumber: Rahim, S.Effendi (2000)
Tabel 4 Pembagian kelas jenis tanah
No Jenis tanah Skor
1. Aluvial 1
2. Asosiasi latosol coklat latosol kekuningan, asosiasi latosol merah latosol coklat kemerahan, kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan asosiasi latosol coklat latosol kemerahan.
2
3. Asosiasi latosol coklat regosol 3
4. Andosol, podsolik merah kekuningan, asosiasi andosol regosol, podsolik kekuningan dan podsolik merah.
4
5. Regosol 5
Sumber: PUSLITANAK (1976)
Pada dasarnya ada dua tipe hujan pemicu terjadinya longsoran, yaitu hujan
deras yang mencapai 70 mm hingga 100 mm per hari dan hujan kurang deras
namun berlangsung terus menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari
yang kemudian disusul dengan hujan deras sesaat (1-2 jam). (Subhan, 2006).
Faktor curah hujan yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor, mencakup
terjadinya peningkatan curah hujan (tekanan air pori bertambah besar, kandungan
air dalam tanah naik dan terjadi pengembangan lempung dan mengurangi
tegangan geser, lapisan tanah jenuh air), rembesan air yang masuk dalam retakan
tanah serta genangan air. Adanya pengaruh curah hujan tersebut dapat
21
hujan yang tinggi relatif akan memberikan bahaya gerakan tanah yang lebih
tinggi. Penentuan skor dan pembagian kelas intensitas curah hujan disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi intensitas curah hujan
No Intensitas hujan (mm/tahun) Parameter Skor
1. 2.000 – 2.500 Sedang/lembab 1
2. 2.500 – 3.000 Basah 2
3. > 3.000 Sangat basah 3
Sumber: PUSLITANAK (2004)
Pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan penting untuk
berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan
permukaan bumi dalam hal ini adalah pemetaan. Istilah penutupan lahan berkaitan
dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi sedangkan istilah
penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu
(Lillesand 1990). Karena keterbatasan data maka pada penelitian ini digunakan
data penutupan lahan. Pengaruh penutupan lahan terhadap terjadinya gerakan
tanah longsor merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan, dimana
penutupan lahan yang langsung berhubungan dengan kemungkinan menyebabkan
terjadinya tanah longsor diberikan nilai bobot yang paling tinggi sedangkan
daerah yang masih tertutup oleh hutan bila terkena gerakan tanah akan
memberikan bahaya yang paling rendah sehingga dalam pembobotannya
diberikan nilai bobot yang paling rendah. Ada beberapa pustaka yang digunakan
untuk menentukan skoring parameter penutupan lahan yaitu menurut Subhan
(2006), Febriana (2004), Alhasanah (2006) dan hasil wawancara dengan
beberapa ahli di PUSLITANAK. Maka pada penelitian ini di buat justifikasi nilai
skoring parameter penutupan lahan yang disesuaikan dengan lokasi penelitian.
Penutupan lahan dibagi kedalam enam kelas dengan nilai skoring dapat dilihat
Tabel 6 Kelas penutupan lahan
No Tipe penggunaan lahan Skor
1. Awan dan bayangan awan 0
2. Hutan / vegetasi lebat dan badan-badan air 1
3. Kebun campuran / semak belukar 2
4. Perkebunan dan sawah irigasi 3
5. Kawasan industri dan permukiman / perkampungan 4
6. Lahan-lahan kosong 5
Faktor geologi yang memicu terjadinya suatu longsor ditentukan oleh
struktur batuan dan komposisi mineralogi yang berpengaruh terhadap kepekaan
erosi dan longsor yang dicirikan dengan jenis batuan. Jenis batuan yang menyusun
suatu daerah mempunyai tingkat bahaya yang berbeda satu sama lain.
Berdasarkan besar butirnya, batuan yang berbutir halus pada umumnya
mempunyai bahaya terhadap gerakan tanah yang lebih tinggi, sedangkan bila
dilihat dari kekompakannya maka batuan yang kompak dan masif lebih kecil
kemungkinan terkena gerakan tanah. Pengkelasan jenis batuan disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Pengkelasan jenis batuan
No Jenis batuan Skor
1. Bahan Aluvial (Qav, Qa, a) 1
2. Bahan Volkanik-1 (Qvsl, Qvu, Qvcp, Qvl, Qvpo, Qvk, Qvba)
2
3. Bahan Sediment-1 (Tmn, Tmj) 3
4. Bahan Volkanik-2 (Qvsb, Qvst, Qvb, Qvt) dan bahan Sediment-2 (Tmb, Tmbl, Tmtb)
4
Sumber: PUSLITANAK (2004)
Cara untuk mengetahui sebaran daerah rawan tanah longsor dilakukan
dengan menggunakan software Arc View 3.2. Dengan melakukan analisis tumpang susun (map overlay) peta – peta tematik yang merupakan parameter fisik penentu daerah rawan longsor, yaitu peta kelas lereng, peta geologi, peta jenis
tanah, peta curah hujan dan peta penutupan lahan.
Penentuan tingkat daerah rawan longsor diperoleh dari pengolahan dan
penjumlahan bobot nilai dari masing-masing parameter. Sehingga akan
menghasilkan bobot nilai baru yang merupakan nilai potensi rawan longsor
23
Nilai skor kumulatif untuk menentukan tingkat daerah rawan longsor
diperoleh melalui model pendugaan sedangkan pemberian bobot untuk
menentukan tingkat daerah rawan longsor disesuaikan dengan faktor dominan
atau faktor terbesar penyebab terjadinya tanah longsor.
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (2004) Curah hujan
merupakan faktor dominan penyebab terjadinya bencana longsor sehingga
nilainya lebih tinggi dari parameter lainnya. Curah hujan memiliki bobot sebesar
30% dari total pembobotan, sedangkan tanah dan geologi memiliki bobot yang
sama yaitu 20% dan 15% merupakan bobot yang diberikan untuk faktor
penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Model pendugaan tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:
Sumber: Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2004)
Berdasarkan hasil skor kumulatif maka daerah rawan (potensial) tanah
longsor dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; dan
(iii) kurang rawan. Dengan skor kelas kerawanan:
1. Kurang rawan (≤ 2,5)
2. Rawan (≥ 2,6 – ≤ 3,6)
3. Sangat rawan (≥ 3,7)
3.3.4 Analisis daerah rawan longsor
Pada penelitian ini analisis daerah rawan longsor dilakukan dengan cara
deskriptif yaitu melakukan pengecekan kejadian longsor yang ada di lapangan
pada setiap tingkat kerawanan daerah rawan longsor. Ground check di lakukan
secara purposif sampling pada setiap kelas kerawanan dengan jumlah sample yang
diambil dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah sample yang diambil pada setiap kelas kerawanan
Titik koordinat
No. Kelas
kerawanan
Jumlah
sample X Y keterangan
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI
4.1 Letak Geografis dan Luas Daerah Penelitian
Penelitian dilakukan di 18 kecamatan yang dipilih berdasarkan daerah rawan
longsor yang ada di Kabupaten Bogor. Daerah ini secara geografis terletak di
antara 106º21' - 107º13' BT dan 6º19' - 6º47' LS. Secara administratif, batas-batas
dari daerah penelitian adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kec.Cigudeg, Kec.Rumpin, Kec.Cibinong
Sebelah Selatan : Banten, Cianjur, Sukabumi
Sebelah Barat : Kec. Sukajaya
Sebelah Timur : Kec. Citeureup, Kec. Sukamakmur
Luas derah penelitian sekitar 104.914,17 Ha yang mencakup 187 desa yang
terletak di 18 kecamatan. Luas wilayah selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
2.
4.2 Topografi
Kabupaten Bogor berada pada ketinggian berkisar antara 15-2.500 M Dpl,
dengan penyebarannya sebagai berikut:
• Wilayah dataran rendah 15-100 m terletak diwilayah bagian Utara
• Wilayah dataran bergelombang 100-500 m terletak di wilayah bagian
Tengah,
Pegunungan 500-1.000 m, serta pegunungan tinggi dan daerah Puncak
2.000-2.500 meter ada dibagian Selatan
Luas dan penyebaran kelas lereng daerah penelitian, disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9Keadaan topografi di daerah penelitian
No Kelas lereng Luas (ha)