• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksplorasi Data

Eksplorasi data spasial diperlukan untuk mengetahui informasi awal mengenai data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data PDRB pada 113 kabupaten/kota di pulau Jawa pada tahun 2010. Berikut ini adalah pemetaan data PDRB (dalam milyar rupiah) di seluruh lokasi pengamatan.

Gambar 1 Peta PDRB pada setiap kabupaten/kota di Pulau Jawa tahun 2010

Gambar 1 memperlihatkan penyebaran nilai PDRB yang beragam, hal ini disebabkan oleh perbedaan aktifitas ekonomi pada setiap wilayah, serta fasilitas yang menunjang kegiatan ekonomi berbeda pada setiap wilayah seperti jumlah pasar dan pertokoan. Terdapat 39 kabupaten/kota dengan nilai PDRB tinggi (7.374 ─ 102.850) beberapa diantaranya merupakan kota besar seperti lima kota di provinsi DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Bogor, dan Surabaya. Kabupaten/kota yang masuk ke dalam kategori dengan nilai PDRB sedang (3.524 ─ 7.373) terdapat 37 kabupaten/kota meliputi Kota Depok, Serang, Semarang, dan Blitar. Terdapat total 37 kabupaten/kota dengan nilai PDRB rendah (750 ─ 3.523) termasuk Kota Banjar, Wonosobo, Tegal, dan beberapa kabupaten/kota lainnya. Tinggi atau rendahnya PDRB dari kabupaten/kota dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti tingginya arus jual beli pada beberapa daerah yang berbeda, maupun fasilitas perdagangan serta kondisi sosial dan kesejahteraan masyarakat yang berbeda. Letak suatu wilayah juga mempengaruhi nilai PDRB yang dihasilkan, wilayah yang menjadi pusat pemerintahan dan perindustrian cenderung menghasilkan nilai PDRB tinggi seperti kota-kota di DKI Jakarta serta beberapa kota seperti Surabaya, Bandung, Tangerang. Tabel 3 memberikan informasi mengenai statistik deskriptif dari nilai PDRB dan kedelapan peubah penjelasnya. Wilayah dengan PDRB tertinggi yaitu Jakarta Pusat sebesar 102.860 milyar rupiah, sedangkan Kota Banjar (Jawa Barat) merupakan wilayah dengan nilai PDRB paling rendah yaitu sebesar750 milyar rupiah. Rata-rata nilai PDRB dari 113 kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2010 yaitu 11.468 milyar rupiah.

Tabel 3 Statistik deskriptif peubah respon dan penjelas

Peubah Minimum Rata-rata Maksimum Simpangan

Baku Y 750 11.468 102.860 18.420 X1 1,670 12,837 25,220 5,359 X2 94,353 99,355 100 0,933 X3 191 2.131 7.781 1.413 X4 X5 62,940 5,540 72,523 7,988 79,520 11,480 3,404 1,513 X6 12,280 72,700 100 26,400 X7 2.396 14.938 55.080 8.994 X8 4 78,600 1.050 124,300

Hubungan antar peubah respon dan peubah penjelasnya dapat dilihat dari koefisien korelasi yang dihasilkan. Korelasi yang digunakan adalah Pearson Correlation dengan =0,10. Berikut ini merupakan koefisien korelasi antara 8 peubah penjelas dan peubah responnya.

Tabel 4 Koefisien korelasi antara peubah respon dan penjelas

Peubah X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8

Y -0,459 0,168 0,096 0,404 0,448 0,353 0,372 0,186

p-value 0,000 0,076 0,311 0,000 0,000 0,000 0,000 0,048

Tabel 4 menginformasikan bahwa beberapa peubah penjelas bepengaruh signifikan bagi peubah respon. Kecuali peubah X3 yang memiliki koefisien korelasi sangat kecil terhadap peubah respon. Peubah persentase penduduk miskin (X1) memiliki korelasi negatif dengan nilai PDRB yang berarti bahwa semakin meningkatnya persentase kemiskinan di suatu wilayah, maka nilai PDRB akan semakin menurun. Peubah lainnya seperti persentase RT mengunakan listrik (X2), IPM (X4), rata-rata lama sekolah (X5), persentase desa menggunakan gas (X6), jumlah toko dan pasar permanen (X7), serta jumah hotel dan penginapan (X8) berkorelasi positif dengan nilai PDRB. Beberapa peubah tersebut merupakan unsur penyusun PDRB atas dasar harga konstan 2000, walaupun terdapat beberapa peubah yang memiliki nilai korelasi kecil terhadap PDRB, peubah tersebut tetap dianalisis dalam pemodelan.

Hubungan antar peubah penjelasnya digambarkan oleh plot pada Gambar 2 memberikan informasi bahwa peubah jumlah fasilitas pendidikan (X3) berkorelasi positif dengan jumlah pertokoan dan pasar permanen (X7) dengan koefisien korelasi sebesar 0,818. Peubah IPM (X4) dan rata-rata lama sekolah (X5) juga menunjukkan adanya hubungan korelasi positif antar kedua peubah dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,890. Nilai korelasi lokal yang diboboti secara geografis akan dibahas pada subbab berikutnya.

Gambar 2 Scatterplot hubungan antarpeubah penjelas

Pemodelan Regresi Linier

Pemodelan regresi linier ini bertujuan untuk melakukan analisis awal pada data PDRB. Pendugaan parameter pada regesi linier menggunakan MKT. Pada Tabel 5 tercantum ringkasan hasil pendugaan parameter beserta pengujian parsial pada setiap dugaan parameter.

Tabel 5 Hasil pengujian parsial dari dugaan parameter dengan MKT

Peubah Koefisien p-value VIF

Intersep -68,7 0,706 X1 -0,635 0,090 2,162 X2 -0,015 0,994 1,799 X3 -0,003 0,133 4,754 X4 0,7629 0,419 5,620 X5 3,151 0,221 8,202 X6 -0,046 0,565 2,443 X7 X8 0,001 -0,018 0,000 0,162 3,883 1,428 Tabel 6 Hasil analisis ragam dengan MKT

Sumber db JK KT F p-value �2

Regresi 8 16746,3 2093,3 10,24 0,000 44,1%

Galat 104 21266,9 204,5

Total 112 38013,2

Hasil pengujian parameter secara parsial yang ditampilkan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa peubah yang nyata mempengaruhi nilai PDRB adalah jumlah pertokoan dan pasar permanen (X7) pada taraf nyata 5%, sedangkan peubah yang lain tidak memberikan pengaruh yang nyata bagi nilai PDRB. Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 6, pengujian secara serempak yang dilakukan pada model regresi menunjukkan bahwa seluruh peubah memberikan pengaruh yang nyata bagi nilai PDRB. Berdasarkan nilai VIF pada Tabel 5,

peubah X4 dan X5 menghasilkan nilai VIF>5. Pengujian parameter secara serempak memberikan p-value sebesar 0,000, sehingga dinyatakan bahwa seluruh peubah penjelasnya memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai PDRB, namun nilai �2yang dihasilkan hanya sebesar 44,1%. Hal ini bertentangan dengan hasil pengujian secara parsial, ini bisa disebabkan karena besarnya nilai standard error akibat dari ragam yang tidak homogen sehingga berdampak pada kesalahan interpretasi hasil pengujian. Adanya heterogenitas ragam dapat dilihat dari plot antara sisaan terhadap nilai dugaan PDRB yang membentuk pola tertentu atau tidak menyebar acak di sekitar nol seperti pada Lampiran 1.

Pengujian Pengaruh Heterogenitas Spasial

Pada Gambar 1, nilai PDRB berbeda-beda pada setiap lokasi dan sangat beragam, sehingga dimungkinkan untuk melakukan analisis secara spasial. Untuk mengetahui adanya keragaman spasial antar lokasi pengamatan dapat diketahui dengan melakukan uji Breusch-Pagan dengan hipotesis sebagai berikut :

� ∶ �2 = ∀� = , , … , � ( tidak terdapat heterogenitas spasial)

� ∶ Paling sedikit ada satu �2 ≠ (terdapat heterogenitas spasial)

Hipotesis� ditolak jika hasil uji Breusch-Pagan lebih besar dari nilai

�+2 dengan � merupakan banyaknya peubah penjelas. Pengujian yang dilakukan menghasilkan nilai Chi-square sebesar 14,266 lebih besar dari �2; , =13,361 dengan p-value 0,075, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh heterogenitas spasial di setiap lokasi pengamatan pada taraf nyata = 0,10. Apabila analisis dengan mengunakan MKT tetap diterapkan pada data maka hasil pendugaan yang diperoleh akan memiliki ragam dugaan parameter yang besar.

Pemodelan Geographically Weighted Regression (GWR)

Pengujian dengan Uji Breusch-Pagan menunjukkan adanya keragaman data PDRB secara spasial yaitu ragam yang tidak homogen antarlokasipengamatan, sehingga diperlukan pemodelan yang dapat mengatasi keragaman spasial dengan membentuk model regresi pada setiap lokasi pengamatan. Untuk memperoleh model pada setiap lokasi diperlukan bandwidth

yang diperoleh dengan metode Cross Validation (CV) seperti pada persamaan (9) yang selanjutnya digunakan untuk memperoleh matriks pembobot pada proses pendugaan parameternya. Fungsi pembobot yang digunakan untuk membentuk matriks pembobot pada penelitian ini adalah fungsi fixed exponential kernel

karena merupakan fungsi kernel yang paling sederhana, dengan menggunakan jarak euclidean berdasarkan informasi derajat lintang dan bujur dari lokasi pengamatan.

Bandwidth yang digunakan untuk membentuk matriks pembobot pada model GWR bernilai 2,1158. Nilai bandwidth bisa dianggap sebagai jari-jari lingkaran di sekitar titik lokasi pengamatan, sehingga wilayah atau lokasi yang masih berada disekitar 2,1158 derajat atau kurang lebih 235,446 km dari titik

lokasi pengamatan masih memberikan pengaruh pada nilai PDRB lokasi pengamatan tersebut. Setelah diperoleh nilai bandwidth, langkah selanjutnya adalah membentuk matrik pembobot. Matrik pembobot � yang diperoleh untuk seluruh lokasi dapat dilihat Pada Tabel 7, jika suatu lokasi semakin jauh dari titik lokasi pengamatan maka nilai pembobotnya semakin menurun sehingga pengaruhnya semakin kecil. Matriks pembobot yang digunakan untuk pendugaan parameter di lokasi pengamatan , adalah matriks diagonal � � dengan unsur diagonalnya merupakan elemen baris dari matrik pembobot � untuk lokasi pengamatan , . Pengujian kebaikan model GWR dilakukan dengan menggunakan persamaaan (11) diperoleh nilai F-hitung sebesar 1,996. Nilai

, (42,07;104) = 1,501 maka tolak � yang berarti bahwa model GWR mampu mendeskripsikan data dengan lebih baik jika dibandingkan dengan model MKT pada taraf nyata 5%.

Tabel 7 Matriks pembobot pada model GWR

Lokasi Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat ... Kota Serang Tangerang Selatan Jakarta Selatan 1 0,9441 0,9485 0,9419 ... 0,8379 0,9812 Jakarta Timur 0,9441 1 0,9509 0,9146 ... 0,8129 0,9497 Jakarta Pusat 0,9485 0,9509 1 0,9573 ... 0,8305 0,9573 Jakarta Barat 0,9419 0,9146 0,9573 1 ... 0,8511 0,9648 Kota Serang 0,7321 0,6940 0,7208 0,7526 ... 1 0,7549 Tangerang Selatan 0,9871 0,9130 0,9259 0,9388 ... 0,7549 1

Tabel 8 Ringkasan pendugaan parameter pada model GWR

Koefisien Minimum Rata-rata Maksimum

̂ -214,7429 -35,9970 240,0378 ̂ -1,3689 -0,6620 -0,2402 ̂2 -2,8435 -0,9662 -0,1732 ̂ -0,0046 -0,0023 0,0003 ̂ -6,6791 0,4177 4,3401 ̂ -0,0255 -0,0097 0,0236 ̂ 0,0008 0,0012 0,0015 ̂ -0,0235 0,0155 0,0026 ̂ -5,2183 11,5266 73,8361

Tabel 8 menginformasikan bahwa peubah X1 (persentase penduduk miskin) dan X2 (persentase RT menggunakan listrik) pada model GWR memiliki

koefisien dugaan parameter yang bernilai negatif pada setiap lokasi pengamatan. Peubah X6 (persentase desa mayoritas menggunakan gas) memiliki tanda koefisien dugaan parameter yang bernilai positif terhadap nilai PDRB. Peubah X3 (jumlah fasilitas pendidikan), dan X5 (rata-rata lama sekolah) memiliki rata-rata koefisien dugaan parameter yang bernilai negatif.

Gambar 3 Peta dugaan nilai PDRB pada model GWR.

Peta hasil dugaan nilai PDRB pada model GWR (Gambar 3), menunjukkan bahwa terdapat 63 kabupaten/kota dengan PDRB sangat tinggi, 17 kabupaten/kota dengan PDRB sedang, 33 kabupaten/kota dengan PDRB rendah. Pada model GWR, nilai RMSE yang diperoleh adalah 11,4767 dengan R2 bernilai 60,84%. Selanjutnya untuk mengetahui adanya multikolinieritas lokal pada model GWR dapat dilihat dari nilai VIF lokal. Nilai VIF pada Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat multikolinieritas lokal pada peubah penjelas dilihat dari beberapa nilai VIF yang lebih besar dari 10. Sebagai contoh, VIF untuk peubah X5 di lokasi Jakarta Selatan bernilai 13,1419 artinya nilai standard error bagi koefisien dugaan parameter pada peubah X5 akan meningkat sebesar 3,6251 (√13,1419) kali dibandingkan dengan standard error koefisien peubah X5 jika tanpa berkorelasi dengan peubah lain.

Tabel 9 Ringkasan nilai VIF untuk gugus data pertama pada seluruh lokasi

Peubah X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Minimum 1,8645 1,4501 2,0141 4,2818 6,2115 2,2056 1,4380 1,1428 Rata-rata 2,2014 1,9598 2,4633 7,5152 10,0611 2,7773 1,5929 1,2459 Maksimum 2,8975 4,1634 4,3841 14,3322 17,9437 5,3656 1,8374 1,4370 VIF >5 0 0 0 84 113 0 0 0 VIF > 7,5 0 0 0 40 74 0 0 0 VIF > 10 0 0 0 28 39 0 0 0

Nilai VIF yang dihasilkan pada model GWR lebih besar dari nilai yang dihasilkan pada model MKT, ini dapat disebabkan oleh penambahan matriks pembobot pada pendugaan parameternya sehingga kolinearitas antar peubah penjelasnya meningkat. Adanya multikolinieritas dapat menyebabkan hasil dugaan parameter memiliki ragam yang besar sehingga dapat meyebabkan kesalahan dalam interpretasi model. Selain itu, multikoliniearitas yang tidak diatasi akan menghasilkan dugaan model yang tidak stabil.

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa peubah X3 memiliki p-value yang tidak signifikan pada taraf nyata 10%, dengan koefisien korelasi bernilai 0,096 yang artinya hampir tidak ada hubungan antara jumlah fasilitas pendidikan terhadap nilai PDRB. Namun peubah X3 tetap dianalisis pada tahap selanjutnya karena berdasarkan nilai korelasi Pearson yang diboboti secara geografis seperti pada persamaan (10) diperoleh beberapa wilayah yang memiliki nilai korelasi signifikan antara peubah X3 dengan PDRB. Nilai koefisien korelasi terboboti geografis antara peubah respon dengan peubah-peubah penjelasnya diberikan secara lengkap pada Lampiran 5 dan 6.

Pemodelan Geographically Weighted Ridge Regression (GWRR)

Konsep metode regresi ridge yang diterapkan pada GWR mampu mengatasi multikolinieritas pada data spasial. Pemodelan dengan metode GWRR dilakukan untuk menangani masalah multikolinieritas pada GWR dengan menambahkan koefisien bias ( tertentu pada matriks dugaan parameternya (Wheeler 2007). Hasil dugaan parameter pada model GWRR bersifat bias namun memiliki ragam yang lebih kecil daripada GWR. Pada GWRR, nilai diperoleh secara simultan dengan metode iterasi untuk setiap bandwidth (h), sehingga nilai dan h yang terpilih untuk pendugaan adalah yang meminimumkan nilai CV. Kemudian parameter tersebut digunakan untuk menduga koefisien pada GWRR. Nilai yang diperoleh untuk memodelkan GWRR adalah 1,8435 untuk seluruh lokasi pengamatan dengan dugaan bandwidth bernilai 0,09.

Tabel 10 Ringkasan hasil pendugaan parameter pada model GWRR

Koefisien Minimum Rata-rata Maksimum

̂ 0,14194 1,14053 7,65449 ̂ -0,01195 0,12776 1,44200 ̂2 0,00141 0,01146 0,07663 ̂ -0,00028 0,00047 0,00274 ̂ 0,00181 0,01572 0,10040 ̂ 0,01296 0,13691 0,75112 ̂ 0,00037 0,01421 0,07712 ̂ -0,00002 0,00007 0,00032 ̂ -0,00739 0,01560 0,10540

Tabel 10 menginformasikan bahwa peubah X1 memiliki nilai positif pada rata-rata dan maksimum nilai dugaan koefisiennya. Peubah X2, X4, X5, dan X6 memiliki koefisien dugaan parameter yang bernilai positif pada seluruh wilayah pengamatan. Jika dilihat secara menyeluruh, dugaan parameter pada model GWRR lebih baik daripada GWR dari sisi tanda koefisien yang dihasilkan karena pada hampir keseluruhan koefisien pada model GWRR memiliki tanda yang sama seperti koefisien korelasi terhadap PDRB. Hasil model dugaan GWRR untuk seluruh wilayah pengamatan dengan satu koefisien bias ridge seperti pada persamaan (16) secara lengkap diberikan pada Lampiran 2.

Peta hasil dugaan nilai PDRB pada model GWRR seperti yang tertera pada Gambar 4, menunjukkan bahwa terdapat 33 kabupaten/kota dengan PDRB tinggi, 38 kabupaten/kota dengan PDRB sedang, dan 42 kabupaten/kota dengan PDRB rendah. Nilai RMSE yang dihasilkan pada pemodelan dengan GWRR yaitu 7,5553 dengan R2 sebesar 83,03%. Jika dibandingkan dengan hasil pemodelan GWR, maka GWRR menghasilkan model dugaan yang lebih baik dengan nilai RMSE yang lebih rendah dan R2 yang lebih tinggi.

Gambar 4 Peta dugaan nilai PDRB pada model GWRR.

Pemodelan LCR-GWR

Jika data dimodelkan dengan menggunakan LCR-GWR seperti pada persamaan (17) maka setiap lokasi pengamatan memiliki koefisien ridge yang berbeda. Model dugaan yang dibangun untuk setiap lokasi diberikan secara lengkap pada Lampiran 3. Pemetaan hasil dugaan nilai PDRB dari model LCR-GWR diberikan pada Gambar 5 berikut:

Gambar 5 Peta dugaan nilai PDRB pada model LCR-GWR

Pada model LCR-GWR, besarnya nilai koefisien ridge ditentukan dari nilai conditional number (κ) yang diperoleh. Hocking (2003) menyatakan bahwa kolinieritas dapat dideteksi dengan nilai κ yang lebih besar dari 30, namun kondisi data gugus pertama pada penelitian ini tidak memungkinkan untuk mencapai nilai tersebut, sehingga penentuan nilai κ dilakukan secara subyektif oleh penulis yaitu sebesar 10. Lokasi yang memiliki nilai koefisien ridge adalah lokasi dengan κ >

10. Nilai R2 yang dihasilkan oleh pemodelan dengan menggunakan LCR-GWR sebesar 61,31%, dengan RMSE sebesar 11,4081.

Pemodelan Geographically Weighted Lasso (GWL)

Konsep dari lasso yang diterapkan dalam pemodelan GWR yang kemudian lebih dikenal dengan Geographically Weighted Lasso (GWL) merupakan suatu metode spasial yang digunakan untuk mengatasi heterogenitas pada metode MKT sekaligus kolinearitas lokal (Wheeler 2009). GWL menghasilkan dugaan koefisien parameter yang efisien sehingga hasil prediksi yang diperoleh lebih akurat. Seperti pada pemodelan dengan menggunakan lasso, koefisien regresi pada GWL juga akan disusutkan ke nol melalui koefisien

shrinkage yang diberikan. Dengan demikian, koefisien yang bernilai nol tersebut sudah pasti tidak berpengaruh pada model. Nilai bandwidth yang diperoleh dari proses iterasi menggunakan CV pada GWL bernilai 0,09. Koefisien penyusutandiperoleh dengan metode CV, nilai bandwidth dan koefisien penyusutan yang dihasilkan kemudian digunakan untuk menduga parameter GWL. Hasil model dugaan GWL dan koefisien penyusutan untuk seluruh lokasi pengamatan diberikan pada Lampiran 4.

Gambar 6 Peta dugaan nilai PDRB pada model GWL

Peta hasil dugaan nilai PDRB dari model GWL pada Gambar 6, menunjukkan bahwa terdapat 33 kabupaten/kota dengan PDRB sangat tinggi, 14 kabupaten/kota dengan PDRB tinggi, 37 kabupaten/kota dengan PDRB sedang dan 43 kabupaten/kota dengan PDRB rendah. Nilai RMSE yang dihasilkan dari model GWL yaitu 2,3379 dengan R2 sebesar 98,37% yang berarti bahwa model GWL mampu menjelaskan keragaman PDRB pada 113 kabupaten/kota di Pulau Jawa tahun 2010 sebesar 98,37%, sisanya 1,63% dijelaskan oleh peubah di luar model. Dari hasil tersebut maka pendugaan pada model GWL dinilai lebih baik dari pendugaan dengan metode GWR maupun GWRR karena nilai RMSE yang dihasilkan lebih kecil dan R2 yang lebih tinggi.

Kekonsistenan Metode Terhadap Multikolinieritas

Untuk memperoleh metode yang konsisten dalam mengatasi masalah multikolinieritas dapat dilihat dari hasil analisis model dengan menggunakan sebelas peubah. Penambahan 3 peubah bertujuan untuk meningkatkan multikolinieritas pada peubah-peubah penjelasnya dilihat dari nilai VIF yang dihasilkan.Tabel 11 merupakan nilai VIF yang dihasilkan pada model MKT. Pada tabel dapat dilihat bahwa peubah X2, X4, X5, X7, X9, dan X11 memiliki nilai VIF > 5, bahkan nilai VIF peubah X4, X5, dan X9 lebih besar dari 10.

Tabel 11 Nilai multikolinieritas untuk gugus data kedua pada model dengan MKT Peubah VIF X1 2,487 X2 2,403 X3 5,593 X4 55,520 X5 10,408 X6 3,714 X7 4,511 X8 1,466 X9 14,272 X10 3,698 X11 9,963

Tabel 12 Ringkasan nilai VIF untuk gugus data kedua pada seluruh lokasi Peubah Minimum Rata-rata Maksimum VIF>5 VIF>7,5 VIF>10

X1 2,163 2,411 2,966 0 0 0 X2 1,905 2,308 3,985 0 0 0 X3 2,208 2,718 4,455 0 0 0 X4 25,810 95,159 256,448 113 113 113 X5 6,514 16,516 39,099 113 88 65 X6 3,332 3,824 5,171 0 0 0 X7 1,508 1,620 1,796 0 0 0 X8 1,154 1,260 1,400 0 0 0 X9 8,214 22,137 60,038 113 113 82 X10 2,775 5,105 10,026 41 22 1 X11 6,990 13,026 22,293 113 102 60

Nilai VIF dari model GWR yang diberikan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai VIF dari model dengan MKT, hal ini disebabkan karena adanya penambahan matriks pembobot saat proses pendugaan parameternya. Jika dibandingkan dengan model GWR untuk 8 peubah, nilai VIF untuk 11 peubah lebih tinggi karena terdapat penambahan 3 peubah yaitu (X9), (X10) dan (X11) yang memiliki hubungan dengan peubah (X4). Peubah Indeks Pembangunan Manusia (X4) diperoleh dari perhitungan yang mengandung informasi dari peubah rata-rata lama sekolah (X5), Angka Harapan Hidup (X9), Angka Melek Huruf (X10), dan pengeluaran per kapita (X11). Peubah X4 memiliki nilai VIF>10 untuk seluruh wilayah, sedangkan peubah X1, X2, X3, X6, X7 an X8 tidak mengandung multikolinieritas lokal dilihat dari nilai VIF yang tidak

melebihi 5. Nilai RMSE yang diperoleh dengan pemodelan GWR adalah 6,5258 dengan R2 sebesar 87,34%. (a) (b) (c) (d)

Gambar 7 Peta dugaan nilai PDRB pada model GWR (a), GWRR(b), LCR-GWR (c) dan GWL(d)

Pemodelan GWRR dan GWL pada gugus data kedua dilakukan untuk mengetahui kekonsistenan metode dalam mengatasi multikolinieritas. Nilai RMSE bagi model GWRR adalah 7,1845 dengan R2 sebesar 84,65%. Sedangkan nilai RMSE bagi model GWL adalah 2,9346 dengan R2 sebesar 97,43%. Untuk mempermudah dalam membandingkan hasil dugaan, berikut ini diberikan peta pada Gambar 7 mengenai hasil dugaan nilai PDRB pada 113 Kabupaten/Kota dari model GWR, GWRR, dan GWL.

Hasil dugaan nilai PDRB untuk 113 kabupaten/kota di Pulau Jawa berbeda pada setiap model. Pada model GWR Gambar 7(a) dapat dilihat bahwa nilai dugaan terbesar adalah 81.690,573 milyar rupiah, Cianjur dengan PDRB berada di kategori tinggi, masuk ke kategori sedang jika dimodelkan dengan GWR. Kabupaten/kota dengan nilai PDRB rendah seperti Grobogan, Ngawi, Sragen hasil dugaannya masuk ke dalam kategori sedang. Terdapat beberapa wilayah dengan pendugaan yang kurang sesuai jika dimodelkan dengan GWR. Ini bisa disebabkan karena ragam dugaan pada model GWR masih tinggi dikarenakan masalah multikolinieritas antara peubah penjelas yang belum diatasi. Hasil dugaan PDRB tertinggi yang diperoleh dengan model GWRR pada Gambar 7(b) senilai 66.021,291 milyar rupiah. Pada model GWRR, hasil dugaan PDRB wilayah Kab. Sukabumi dan Cianjur masuk ke kategori sedang dengan nilai PDRB yang tinggi. Begitupun hasil pendugaan wilayah Boyolali dan Kab. Magelang termasuk ke dalam wilayah dengan PDRB rendah, sedangkan nilai PDRB yang sebenarnya termasuk ke dalam kategori sedang.

Dari peta dugaan nilai PDRB dengan menggunakan model LCR-GWR pada Gambar 7(c) dapat dilihat bahwa nilai dugaan PDRB tertinggi yaitu sebesar 73.694,756 milyar rupiah. Pada pemodelan dengan LCR-GWR, nilai conditional number (κ) yang digunakan untuk memperoleh koefisien ridge yaitu � > 30, karena pada gugus data kedua nilai multikolinieritas antara peubah-peubah penjelasnya sangat tinggi. Hasil dugaan model GWL pada Gambar 7(d) memberikan nilai dugaan PDRB tertinggi sebesar 87.633,285 milyar rupiah yang merupakan nilai dugaan bagi PDRB di Kota Surabaya. Pada model GWL masih ditemukan beberapa hasil pendugaan yang belum tepat seperti pada wilayah Kab. Sukabumi, Tulungagung, dan Kota Depok. Jika dilihat dari rentang nilai dugaan yang dihasilkan, model GWL menghasilkan dugaan yang mendekati nilai PDRB sebenarnya. Perbandingan dari performa model GWR, GWRR, LCR-GWR, dan GWL untuk gugus data pertama diberikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Perbandingan model GWR, GWRR, LCR-GWR, dan GWL gugus data pertama

Model GWR GWRR LCR-GWR GWL

Bandwidth 2,1158 0,09 2,0181 0,09

RMSE 11,4767 7,5553 11,4081 2,3379

R2 60,84% 83,03% 61,31% 98,37%

Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa performa GWRR dalam melakukan pendugaan nilai PDRB lebih baik dari GWR dilihat dari nilai R2 yang lebih tinggi dengan RMSE yang lebih rendah. Pendugaan dengan LCR-GWR memberikan

hasil yang tidak lebih baik dari GWRR, namun sedikit lebih baik dari GWR. Pemodelan dengan LCR-GWR diharapkan mampu mengatasi masalah multikolinieritas pada data karena setiap lokasi pengamatan memiliki nilai koefisien ridge yang berbeda, namun hasil dari pemodelan pada data tidak mendukung hal tersebut dikarenakan parameter yang digunakan dalam pemodelan sangat banyak sehingga tidak efektif.

Tabel 14 Perbandingan model GWR, GWRR, LCR-GWR, dan GWL gugus data kedua

Model GWR GWRR LCR-GWR GWL

Bandwidth 0,4245 0,09 2,2195 0,09

RMSE 6,5258 7,1845 11,0351 2,9346

R2 87,34% 84,65% 63,80% 97,43%

Dari hasil yang diperoleh dari ketiga model yang terdapat pada Tabel 14 diketahui bahwa untuk model gugus data kedua dengan tingkat multikolinieritas yang lebih tinggi, model dugaan GWRR tidak lebih baik dari GWR dilihat dari RMSE model GWRR yang bernilai 7,1845. Nilai tersebut lebih tinggi dari GWR dan koefisien determinasi R2 yang diperoleh bernilai lebih rendah yaitu 84,65%. Nilai RMSE yang dihasilkan dengan menggunakan model LCR-GWR lebih besar dari model GWR dan GWRR, sedangkan nilai R2 yang dihasilkan lebih kecil. Pada model gugus data pertama dan kedua, GWL tetap memberikan performa yang lebih baik dari GWR, GWRR, dan LCR-GWR dilihat dari nilai RMSE yang lebih kecil dengan R2 yang lebih tinggi.

Dokumen terkait