• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta

Rumah Sakit Hewan Jakarta dibangun pada tanggal 25 Desember 1992, atas restu dan bantuan yang sangat besar dari Ibu Negara pada saat itu yaitu Ibu Tien Soeharto. Rumah Sakit ini merupakan rujukan bagi pasien yang memerlukan diagnosis, penanganan, dan pengobatan yang lebih intensif karena di rumah sakit ini terdapat beberapa fasilitas penunjang diagnosis seperti instalasi radiologi dan ultrasonografi, laboratorium, bahkan terapi alternatif untuk hewan seperti akupuntur.

Di Rumah Sakit Hewan Jakarta, skabies digolongkan kedalam penyakit zoonosis yang memerlukan diagnosis lanjutan seperti pengambilan kerokan kulit. Pasien yang datang dan positif terdiagnosis skabies setelah pemeriksaan klinis dan laboratorium akan langsung diobati dengan menggunakan sediaan-sediaan akarisidal seperti ivermectin dan fipronil. Pengobatan didasarkan kepada ras anjing, kondisi anjing, dan tingkat keparahan penyakit. Selain itu juga diberikan antibiotik berspektrum luas untuk mencegah infeksi sekunder, kemudian diberikan juga vitamin E untuk mempercepat perbaikan kulit anjing. Bila tingkat keparahan penyakit masih ringan, biasanya pasien boleh dibawa pulang dan diharuskan datang 2 minggu kemudian untuk menjalani pemeriksaan dan pengobatan ulang sampai pasien sembuh.

Jika pasien datang dengan keadaan yang buruk, maka dokter-dokter hewan di Rumah Sakit Hewan Jakarta akan mengharuskan pemilik untuk merawat inap agar anjing selalu berada dalam pengawasan dokter hewan. Pasien yang dirawat inap akan dipisahkan dan dimasukkan ke dalam ruang isolasi agar tidak menulari anjing lainnya. Setelah sembuh total, pihak rumah sakit akan menghubungi pemilik bahwa hewan peliharaannya sudah diperbolehkan untuk pulang.

Para dokter hewan praktisi di Amerika Serikat, sudah mulai menggunakan jenis akarisidal untuk mengobati skabies, yang paling sering digunakan adalah mylbemicin oxime dan selamectin. Kedua sediaan tadi merupakan modifikasi dari ivermectin. Keduanya diaplikasikan secara Spot-on dengan dosis 2 mg/kg BB untuk mylbemicin oxime dan 6-12 mg/Kg BB untuk selamectin. Beberapa praktisi di Amerika melaporkan bahwa efisiensi pengobatan dengan kedua obat tersebut

mencapai 98% dan aman untuk ras anjing yang merupakan kontraindikasi dari ivermectin. Tindakan isolasi terhadap pasien juga dilakukan dalam penanganan penyakit-penyakit zoonosis oleh praktisi kesehatan hewan di Amerika Serikat (Curtis 2004).

Prevalensi Skabies Pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta

Selain skabies ada beberapa penyakit lain yang bersifat zoonosis yang mendapatkan perhatian khusus dari pihak Rumah Sakit Hewan Jakarta, diantaranya brucellosis, leptospirosis, visceral larva migrans, toxoplasmosis, salmonellosis, dan ringworm.

Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari 2005-Desember 2010, skabies menempati posisi kedua dengan persentase 28,47% dari seluruh kasus zoonosis pada kurun waktu tersebut, sebagaimana terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Persentase kasus penyakit zoonotik di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari Januari 2005-Desember 2010.

Data rekam medik pasien yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari 2005–Desember 2010 menunjukkan bahwa terdapat 187 kasus skabies pada anjing. Jumlah pasien yang terinfestasi, jumlah pasien anjing tiap tahun, dan prevalensi skabies tiap tahun dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 memperlihatkan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta cukup fluktuatif. Sejak tahun 2005-2008 prevalensinya meningkat hingga 0,92%, lalu kemudian menurun kembali pada 2009. Dua tahun terakhir (2009-2010) kembali terjadi peningkatan menjadi 0,78%.

28.47% 3.05% 0.76% 35.15% 3.51% 4.10% 24.96% Skabies Leptospirosis

Brucellosis Visceral larva migrans

Salmonellosis Toxoplasmosis

Tabel 2 Jumlah pasien terjangkit skabies, jumlah pasien per tahun, dan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari tahun 2005-2010.

Tahun Jumlah

pasien skabies (ekor)

Pasien anjing total (ekor) Prevalensi (%) 2005 26 5.521 0,47% 2006 27 4.912 0,55% 2007 33 5.009 0,66% 2008 40 4.351 0,92% 2009 29 5.079 0,57% 2010 45 5.787 0,78% Rata-rata 33,3 5.109,8 0,66%

Penderita Skabies Berdasarkan Ras

Penelitian yang sama yang dilakukan oleh Latif (2001) dari bulan Januari 1999-Desember 2001 melaporkan bahwa terdapat 70 kasus (0,57%) dari 12.632 ekor pasien anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari bulan Januari 1999 sampai dengan Juli 2000. Anjing–anjing tersebut terdiri atas 17 ras yang berbeda.

Tabel 3 memperlihatkan bahwa anjing lokal merupakan pasien yang paling banyak terjangkit skabies dengan jumlah sebanyak 33 ekor (17,6%) dibanding anjing ras lainnya. Latif (2001) melaporkan bahwa pada bulan Januari 1999 sampai dengan bulan Juni 2000 kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta didominasi oleh anjing ras Chow-chow sebanyak 14 ekor dengan persentase 20% dari total kasus yaitu sebanyak 70 kasus.

Tingginya kasus skabies pada anjing tidak dipengaruhi oleh ras anjing dan pada umumnya disebabkan karena pemilik kurang memperhatikan aspek pemeliharaan dan kesehatan hewan peliharaanya, sehingga ektoparasit dapat berkembang dengan baik (Muller & Kirk 1976).

Tabel 3. Frekuensi kasus Skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari 2005–Desember 2010.

Penderita Skabies Berdasarkan Jenis Rambut

Skabies berhubungan dengan jenis rambut anjing. Kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis rambut anjing dapat dilihat pada Gambar 10.

No Ras Anjing Jenis Kelamin Jenis rambut

Jumlah Persentase (%) Jantan Betina

1 Basset Hound 1 1 Pendek 2 1,06

2 Beagle 3 2 Pendek 5 2,67 3 Boxer 4 0 Pendek 4 2,1 4 Bulldog 2 1 Pendek 3 1,6 5 Chow-chow 0 2 Panjang 2 1,06 6 Cihuahua 4 3 Pendek 7 3,74 7 Collie 2 1 Panjang 3 1,6 8 Dalmatian 4 0 Pendek 4 2,13 9 Daschund 3 1 Pendek 4 2,13 10 Dobermann 6 0 Pendek 6 3,02

11 Fox Terrier 1 1 Panjang 2 1,06

12 German Shepherd 3 2 Pendek 5 2,67

13 Golden Retriever 5 2 Panjang 7 3,74

14 Great Dane 1 0 Pendek 1 0,53

15 Jack Russel Terier 2 1 Pendek 3 1,6

16 Kintamani 2 1 Panjang 3 1,6

17 Labrador 15 0 Pendek 15 8,02

18 Lokal 15 18 Pendek 33 17,6

19 Mallinois 1 0 Pendek 1 0,53

20 Maltese 2 2 Panjang 4 2,13

21 Mini Pincsher 3 2 Pendek 5 2,67

22 Pekingese 1 1 Panjang 2 1,06 23 Pitbull 2 4 Pendek 6 3,2 24 Pomeranian 2 6 Panjang 8 4,3 25 Poodle 2 2 Panjang 4 2,13 26 Pug 3 2 Pendek 5 2,67 27 Rotweiller 2 2 Pendek 4 2,13

28 Saint Bernard 0 1 Panjang 1 0,53

29 Samoyed 1 0 Panjang 1 0,53

30 Schnauzer 1 1 Panjang 2 1,06

31 Shiba 2 0 Pendek 2 1,06

32 Shihtzu 0 3 Panjang 3 1,6

33 Siberian Husky 6 1 Pendek 7 3,74

34 Welsh Corgi 0 1 Pendek 1 0,53

35 Yorkshire 2 1 Panjang 3 1,6

36 Mix / Campuran 10 10 Lain-lain 20 10,7

Gambar 10 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis rambut anjing pada tahun 2005–2010.

Sejak tahun 2005–2010 di Rumah Sakit Hewan Jakarta, 122 ekor (65,24%) anjing yang terjangkit skabies merupakan anjing dengan jenis rambut pendek, dan 45 ekor (24,06%) anjing dengan jenis rambut panjang. Sisanya sebanyak 20 ekor (10,7%) tidak dapat diketahui jenis rambutnya karena merupakan anjing ras campuran.

Menurut Witjaksono & Sungkar (1996), anjing dengan rambut panjang lebih mudah terjangkit skabies karena debu, kotoran, dan bahkan arthropoda yang berukuran mikroskopik lebih mudah menempel pada rambut anjing, sedangkan data di atas menunjukkan bahwa anjing dengan jenis rambut pendek di Rumah Sakit Hewan Jakarta lebih banyak terjangkit skabies. Faktor yang menyebabkan anjing dengan jenis rambut pendek lebih banyak terjangkit skabies adalah karena pemilik anjing kurang memperhatikan dan merawat kesehatan kulit anjingnya. Karena anjing dengan rambut pendek membutuhkan perawatan relatif yang lebih mudah dibandingkan dengan anjing rambut panjang, sehingga kesehatan rambut dan kulitnya kurang diperhatikan.

Penderita SkabiesBerdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, kejadian skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada tahun 2005–2010 didominasi oleh anjing jantan dengan jumlah 113 ekor (60,43%) dan anjing betina hanya (39,57%). Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 11. Menurut Muller & Kirk (1976), skabies tidak berkaitan dengan jenis kelamin. Anjing jantan maupun betina memiliki risiko yang sama untuk terjangkit skabies .

24.06% 65.24% 10.70% Panjang Pendek Lain-lain

Gambar 11 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2005-2010.

Faktor yang menyebabkan anjing jantan lebih banyak terjangkit skabies adalah karena anjing jantan lebih sering digunakan oleh pemiliknya sebagai anjing pemacak. Anjing jantan yang digunakan sebagai pemacak akan lebih sering melakukan kontak langsung dengan anjing lain yang kemungkinan telah terjangkit skabies baik secara klinis maupun subklinis.

Selain itu anjing jantan cenderung lebih dominan dibanding anjing betina dalam kehidupan sosialnya. Menurut Broom & Fraser (2007) hewan jantan memiliki sifat yang lebih dominan daripada hewan betina, dominasi ini ditunjukkan dengan beberapa perilaku seperti melakukan mounting, mengendus- endus, dan berkelahi untuk memperebutkan daerah kekuasaan. Interaksi anjing jantan yang menunjukkan dominasi inilah yang memungkinkan anjing jantan melakukan kontak langsung yang lebih sering dengan anjing lain, sehingga kemungkinan tertular skabies oleh anjing lain lebih besar.

Penderita Skabies Berdasarkan Usia

Anjing diklasifikasikan menurut usia oleh Federation Cynologue International (FCI) menjadi tiga kelas. Kelas yang pertama adalah anakan (puppies) yang berusia dari 3–9 bulan, yang kedua adalah remaja (teenage) dengan usia 10-18 bulan, dan dewasa (adult) yang berusia diatas 2 tahun. (Verhoef–Verhaellen 1996). Berdasarkan pembagian kelompok umur tersebut, anjing yang terjangkit skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari tahun 2005– 2010 didominasi oleh anjing dewasa dengan jumlah sebanyak 145 ekor (77,54%), berikutnya adalah anjing dari usia remaja sebanyak 27 ekor (14.44%) dan sisanya anjing anakan dengan jumlah 15 ekor (8,02%). Data tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 12.

60.43%

39.57% 0

Jantan

Gambar 12 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada tahun 2005-2010 berdasarkan kategori usia anjing.

Data di atas memperlihatkan kejadian skabies pada anjing dewasa lebih sering terjadi daripada anjing anakan dan remaja. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh anjing. Anjing dewasa kemungkinan sistem kekebalannya sudah berkurang karena faktor usia dibandingkan dengan anjing anakan yang sistem kekebalannya masih baik karena antibodi maternal yang diwariskan oleh induknya. Satu dari beberapa faktor yang mempengaruhi sistem imunitas adalah usia, semakin tua usia, maka akan semakin berkurang kemampuan sistem imunnya dalam memproduksi antibodi (Radji 2010).

Arlian (1996) melaporkan bahwa anjing dan kelinci yang ditantang dengan ekstrak Sarcoptes scabiei var.canis menunjukkan kadar IgE dan IgG yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.

Immunoglobulin G (IgG) merupakan antibodi yang paling umum dihasilkan hanya dalam waktu beberapa hari dan memiliki masa hidup berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa tahun. Antibodi ini beredar dalam tubuh dan banyak terdapat pada darah, sistem getah bening, dan usus. Immunoglobulin G mengikuti aliran darah, langsung menuju antigen dan menghambatnya begitu terdeteksi. Antibodi ini melindungi tubuh terhadap bakteri dan virus, serta menetralkan asam yang terkandung dalam racun. Selain itu, IgG mampu menyelip di antara sel-sel dan menyingkirkan bakteri serta mikroorganisme lain yang masuk ke dalam sel-sel dan kulit. Karena kemampuannya serta ukurannya yang kecil, IgG dapat masuk ke dalam plasenta ibu hamil dan melindungi janin dari kemungkinan infeksi (Mayer 2009).

Imunoglobulin E (IgE) merupakan antibodi yang hanya terdapat pada mamalia. IgE berperan dalam sistem kekebalan yang disebabkan oleh cacing

8.02% 14.44% 77.54% 0 Anakan Remaja Dewasa

parasit, protozoa, dan arthropoda. IgE merupakan komponen yang terlibat dalam reaksi alergi karena light chain IgE terikat pada basofil dan sel mast. Pengikatan alergen oleh IgE menyebabkan pelepasan mediator farmakologis yang menimbulkan berbagai reaksi alergi (Mayer 2009).

Selain antibodi, granulosit juga merupakan sistem kekebalan bawaan yang melindungi inang dari berbagai infeksi dan infestasi parasit. Eosinofil, sel mast dan basofil merupakan komponen kekebalan terhadap parasit. Eosinofil adalah sel darah putih granulosit yang berperan dalam sistem kekebalan dengan melawan parasit multiselular pada vertebrata. Meningkatnya kadar eosinofil mengindikasikan adanya infeksi parasit. Eosinofil diproduksi dalam jumlah yang besar dan akan dimigrasikan ke daerah yang terinfeksi oleh parasit. Selain itu, eosinofil juga mempunyai kecenderungan khusus untuk berkumpul di jaringan tempat terjadinya reaksi alergi. Eosinofil diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat yang dapat menimbulkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil (Guyton & Hall 2008).

Hasil dari biopsi pada jaringan kulit yang terjangkit skabies juga memperlihatkan bahwa terdapat infiltrasi besar-besaran dari limfosit dan eosinofil pada lapisan dermis. Infiltrasi dari eosinofil berhubungan dengan meningkatknya kadar IgE dalam darah penderita skabies (Walton 2010).

Sel mast dan basofil juga berperan dalam sistem kekebalan terhadap parasit. Keduanya memiliki beberapa persamaan antara lain sebagai mediator/perantara pada reaksi hipersensitivitas tipe I karena memiliki jumlah reseptor yang banyak untuk IgE (Lie & Merijanti 1999).

Efektivitas Pengobatan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta

Pengobatan yang dilakukan oleh para dokter hewan di Rumah Sakit Hewan Jakarta mempertimbangkan jenis, keadaan, dan usia anjing. Biasanya anjing ras yang bukan kontra indikasi ivermectin diberikan pengobatan dengan menggunakan ivermectin dengan dosis 200–400 µg / kg BB yang diaplikasikan melalui sub kutan dengan interval dua minggu. Setelah 2 minggu pemilik anjing dianjurkan oleh dokter hewan agar membawa anjingnya kembali untuk diperiksakan dan dilakukan pengobatan kembali. Perlakuan ini diberikan sampai

anjing dinyatakan sembuh secara klinis dan laboratorium. Bila setelah 4–8 minggu anjing tidak menunjukkan kesembuhan, pengobatan akan dilakukan dengan obat–obatan lainnya. Kesembuhan anjing dari skabies dinyatakan dengan rambut yang tumbuh kembali pada bagian yang mengalami kebotakan, keropeng pada kulit hilang, dan tidak ditemukan lagi tungau pada pemeriksaan kerokan kulit anjing.

Selain ivermectin, pengobatan skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta juga menggunakan sediaan fipronil dengan konsentrasi 10% secara spot on. Dosis yang digunakan sudah tertera pada labelnya dan sesuai dengan bobot badan anjing. Biasanya pasien yang diobati dengan fipronil adalah pasien yang merupakan kontra indikasi dari ivermectin. Pengobatan dengan fipronil akan diulangi seminggu sekali sampai 6 minggu sampai anjing sembuh.

Selain pemberian sediaan akarisida, juga diberikan antibiotik untuk mengobati infeksi sekunder. Antibiotik yang diberikan biasanya adalah linkomisin. Selain itu diberikan juga terapi supportif berupa pemberian vitamin E untuk mempercepat persembuhan keropeng pada kulit. Data pengobatan anjing yang terjangkit skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis obat yang digunakan untuk pengobatan skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dan persentase kesembuhannya.

Tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat 12 dari 174 pasien yang diobati dengan ivermectin tidak sembuh, untuk presentasi kesembuhan dari obat ini adalah 93,67%. Terada et al. tahun 2010 di Jepang melaporkan bahwa terdapat dua ekor anjing yang diobati dengan ivermectin dengan dosis 300µg/kgBB tidak menunjukkan kesembuhan setelah 14 hari dan masih bisa ditemukan tungau yang hidup pada hari ke–35. Keadaan kulit dari anjing pun tidak mengalami perubahan. Hal ini mengindikasikan telah adanya resistensi terhadap ivermectin pada tungau Sarcoptes scabiei var. canis.

Fipronil juga tidak sepenuhnya dapat mengobati skabies. Data di atas menunjukkan 1 dari 13 pasien yang diobati dengan fipronil tidak sembuh, No Jenis pengobatan Jumlah Tidak sembuh Persentase

kesembuhan

1 Ivermectin 174 12 93,67%

sehingga presentasi kesembuhannya adalah 93,31%. Koutinas et al. (2001) melaporkan, bahwa pada penelitiannya dalam pengobatan skabies dengan menggunakan fipronil 0,25% dengan metode disemprotkan terdapat 3 dari 12 anjing yang diobati tidak mengalami kesembuhan sampai hari ke–71 setelah pengobatan pertama. Hal ini juga mengindikasikan bahwa ada kemungkinan resistensi terhadap fipronil pada tungau Sarcoptes scabiei var.canis. Sampai saat ini sediaan akarisida yang digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh tungau tidak pernah ada yang menunjukkan efektifitas sampai 100% atau tanpa menunjukkan efek samping (Koutinas et al 2001).

Skabies pada anjing menyebabkan kerusakan kulit yang parah, sehingga anjing tidak dapat mengikuti kontes, menjadi pemacak, dan berinteraksi dengan manusia. Hal ini menyebabkan kerugian pada pemilik dari segi materil dan moril. Kerugian dari segi materil berupa biaya pengobatan, sedangkan kerugian moril (psikologis) dapat berupa rasa takut akan tertular skabies oleh anjingnya dan berkurangnya rasa sayang terhadap anjing yang dimiliki.

Berbeda pada anjing maupun hewan kesayangan lainnya, skabies pada hewan ternak bisa menjadi masalah yang serius dan menimbulkan kerugian ekonomis yang besar. Menurut Siratno (2000 dalam Wardhana et al. 2006), kerugian ekonomi akibat skabies pada kambing di pulau Lombok mencapai Rp.1.633.158.750 per tahun. Kejadian yang fatal pernah terjadi pada kambing paket bantuan pemerintah, yaitu dari 396 ekor ternyata 360 ekor (91%) diantaranya mati karena skabies. Kejadian ini tidak hanya menimbulkan kerugian materi berupa kematian, tetapi juga kerugian moril berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap ternak bantuan pemerintah selanjutnya (Sobari 1991 dalam Wardhana et al. 2006) .

Lalu lintas perdagangan hewan dan produknya ke seluruh wilayah Indonesia atau internasional membuka pintu penyebaran penyakit menular semakin luas. Penularan skabies yang relatif cepat menjadi tantangan bagi dunia veteriner dan kesehatan manusia. Rendahnya kesadaran serta pengetahuan masyarakat tentang penyakit skabies, harga obat yang relatif mahal dan bervariasinya hasil pengobatan juga masih perlu mendapat perhatian dari kalangan

praktisi kesehatan hewan maupun manusia. Selain itu dibutuhkan juga perhatian pemerintah untuk mengendalikan skabies.

Dokumen terkait