• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Skabies Anjing Di Rumah Sakit Hewan Jakarta (2005-Desember 2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kasus Skabies Anjing Di Rumah Sakit Hewan Jakarta (2005-Desember 2010)"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Cholillurrahman. Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta (Januari 2005-Desember 2010). Dibawah bimbingan Dr. drh. Susi Soviana, M.Si.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi dari skabies anjing di Rumah sakit Hewan Jakarta, penanganannya, dan efektivitas pengobatannya. Penelitian ini dimulai sejak Bulan September 2011 sampai dengan Oktober 2011 dengan cara mengumpulkan data rekam medis pasien anjing yang terdiagnosis positif skabies secara klinis maupun laboratorium. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif berdasarkan kategori ras, jenis rambut, jenis kelamin, usia, dan efektivitas pengobatan. Terdapat 187 dari 30.659 pasien anjing yang terjangkit skabies (0,66%), yang terdiri atas 36 ras. Persentasi tertinggi penderita skabies berdasarkan ras adalah anjing lokal (17,6%), berdasarkan jenis rambut adalah anjing berambut pendek (65,24%), berdasarkan jenis kelamin adalah anjing jantan (60,43%), dan berdasarkan usia adalah anjing dewasa (77,54%). Tingkat kesembuhan pengobatan dengan ivermectin adalah 93,67%, sedangkan fipronil adalah 92,31%.

(2)

STUDI KASUS SKABIES ANJING DI RUMAH SAKIT HEWAN JAKARTA

(JANUARI 2005-DESEMBER 2010)

SKRIPSI

Cholillurrahman B04070165

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

STUDI KASUS SKABIES ANJING DI RUMAH SAKIT HEWAN JAKARTA

(JANUARI 2005-DESEMBER 2010)

SKRIPSI

Cholillurrahman B04070165

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Studi Kasus Skabies Anjing Di Rumah Sakit Hewan Jakarta (2005-Desember 2010)

Nama : Cholillurrahman NIM : B04070165

Disetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing

Dr. drh. Susi Soviana, M.Si NIP 19581023 198403 2 001

Diketahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet NIP 19621205 198703 2 001

(5)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta (Januari 2005-Desember 2010) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

(7)

ABSTRACT

Cholillurrahman. A Case Study of Canine Scabies at Jakarta Animal Hospital (January 2005-December 2010). Under direction of Dr. drh. Susi Soviana, M.Si.

The objectives of this study was to know the prevalence, the treatment of canine scabies in Jakarta Animal Hospital and the treatment effectiveness. This research was conducted in September to October 2011 by collecting the medical record of dog patients that positively diagnosed scabies. The data were analyzed descriptively with several categories such as race, haircoat, sex, age, and the treatment effectiveness. The results showed that there were 187 from 30.659 dogs infested by scabies (0.66%), and consisted of 36 races. The highest dogs that infested by scabies were local dogs (17.6%), short-haired dogs (65.24%), male dogs (60.43%), and adult dogs (77.54%). There were two drugs that usually used for scabies treatment at Jakarta Animal Hospital, ivermectin and fipronil. The effectiveness of ivemerctin was 93,67% and fipronil was 92,31%.

(8)

ABSTRAK

Cholillurrahman. Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta (Januari 2005-Desember 2010). Dibawah bimbingan Dr. drh. Susi Soviana, M.Si.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui prevalensi dari skabies anjing di Rumah sakit Hewan Jakarta, penanganannya, dan efektivitas pengobatannya. Penelitian ini dimulai sejak Bulan September 2011 sampai dengan Oktober 2011 dengan cara mengumpulkan data rekam medis pasien anjing yang terdiagnosis positif skabies secara klinis maupun laboratorium. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif berdasarkan kategori ras, jenis rambut, jenis kelamin, usia, dan efektivitas pengobatan. Terdapat 187 dari 30.659 pasien anjing yang terjangkit skabies (0,66%), yang terdiri atas 36 ras. Persentasi tertinggi penderita skabies berdasarkan ras adalah anjing lokal (17,6%), berdasarkan jenis rambut adalah anjing berambut pendek (65,24%), berdasarkan jenis kelamin adalah anjing jantan (60,43%), dan berdasarkan usia adalah anjing dewasa (77,54%). Tingkat kesembuhan pengobatan dengan ivermectin adalah 93,67%, sedangkan fipronil adalah 92,31%.

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dari penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2011 ini ialah skabies pada anjing, dengan judul Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta (Januari 2005-Desember 2010).

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, arahan, nasihat, kritik dan saran yang sangat berguna bagi penulis selama penyusunan skripsi. Ucapan terimakasih tidak lupa penulis ucapkan kepada Bapak drh. Chusnul Choliq, MS. MM. yang telah membimbing penulis selama dalam masa perkuliahan. Terimakasih pula kepada Ibu Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si, Bapak Prof. Dr. drh. Iman Supriyatna, dan Dr. drh. I Ketut Mudite Adnyane, M.Si yang telah memberikan arahan dan nasihat kepada penulis untuk membuat karya ilmiah ini menjadi lebih baik.

Ucapan terimakasih pula penulis ucapkan kepada Ayahanda H. Caca

Priyatna, Ibunda Hj. Hamidah, dan kedua adik penulis Robi’atul Adawiyah dan

Nabilah yang telah mendukung dan menyemangati penulis. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada seluruh staf pengajar dan pegawai Laboratorium Entomologi FKH-IPB, atas dukungan dan bantuannya.

Terima kasih pula penulis ucpakan kepada pihak RSHJ Ragunan, drh. Erdwin dan Mas Aini. Kepada teman-teman GIANUZZI 44, Pondok SUZU-RUN, Madu, Rio, Ablay, Antok, Kiki, Daud, Rissar, Danang, Fakhri, Wentil, dan juga personil Wisma Geulis, Uji, Eka, Nyitong dan terutama Kenyo Palupi yang telah banyak mendukung serta mengisi keseharian penulis. Terimakasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya skripsi ini.

Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi, pihak lain, dan dunia pendidikan Indonesia.

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di DKI Jakarta pada tanggal 28 Maret 1990 dari Ayahanda H. Caca Priyatna dan Ibunda Hj. Hamidah. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Bendungan Hilir 09 Pagi Jakarta, lalu melanjutkan ke SMPN 48 Jakarta dan lulus pada tahun 2004, setelah itu penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 29 Jakarta dan lulus pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB/SNMPTN.

(11)

DAFTAR ISI

Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta ... 18

Prevalensi Skabies Pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta ... 19

Penderita Skabies Berdasarkan Ras ... 20

Penderita Skabies Berdasarkan Jenis Rambut... 21

Penderita SkabiesBerdasarkan Jenis Kelamin ... 22

Penderita Skabies Berdasarkan Usia ... 23

Efektivitas Pengobatan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta ... 25

KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

Kesimpulan ... 28

Saran ... 28

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Dosis pemberian fipronil berdasarkan bobot badan anjing

pada aplikasi spot-on.…...………....15 Tabel 2 Jumlah pasien terjangkit skabies, jumlah pasien per tahun,

dan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan

Jakarta dari tahun 2005-2010………...20 Tabel 3 Frekuensi kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan

Jakarta pada Januari 2005-Desember 2010………..………21 Tabel 4 Jenis obat yang digunakan untuk pengobatan skabies di Rumah

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Tungau Sarcoptes scabiei var. canis tampak dorsal... 3

Gambar 2 Tungau Sarcoptes scabiei var.canis tampak ventral... 4

Gambar 3 Bagian tubuh tungau ... 5

Gambar 4 Segmentasi kaki dan berbagai bentuk kaki pada tungau... 6

Gambar 5 Papulae pada gejala awal skabies... 8

Gambar 6 Pola penyebaran lesio awal skabies pada anjing... 9

Gambar 7 Anjing yang terjangkit skabies... 10

Gambar 8 Gambaran histopatologi kulit yang terinfestasi tungau... 11

Gambar 9 Persentase kasus penyakit zoonotik di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari Januari 2005-Desember 2010... 19

Gambar 10 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis rambut pada tahun 2005-2010... 22 Gambar 11 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2005-2010.. 23

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anjing merupakan hewan yang sudah sejak lama didomestikasi oleh manusia. Pada zaman dahulu hewan ini digunakan untuk membantu manusia dalam berburu binatang liar, dan juga untuk menjaga hewan ternak dari ancaman

binatang buas. Ada ungkapan yang berbunyi “Dogs are men’s best friends”

(Anjing adalah sahabat terbaik manusia). Di masa kini, manusia tidak hanya memelihara anjing untuk berburu dan mencari makan, tetapi juga sebagai hewan kesayangan, penjaga rumah dan perkebunan, hiburan, pelacak, dan bahkan menjadi aktor film, serta masih banyak kegunaan anjing lainnya dalam kehidupan manusia.

Dalam aspek pemeliharaan hewan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, satu diantaranya adalah kesehatan. Hal ini menjadi sangat penting karena kesehatan yang baik akan membuat hewan peliharaan menunjukkan penampilan dan kondisi yang prima. Sayangnya aspek kesehatan hewan terkadang kurang diperhatikan oleh pemilik. Misalnya masalah pada kulit dan rambut anjing yang tanpa disadari oleh pemilik telah merubah perilaku hewan kesayangannya tersebut. Penyakit itu antara lain penyakit ektoparasitik seperti skabies.

Skabies atau kudis adalah suatu penyakit kulit pada hewan dan manusia yang disebabkan oleh infestasi tungau dari spesies Sarcoptes scabiei pada lapisan korneum kulit. Penyakit ini bersifat zoonotik, dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Skabies pada anjing disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var.canis (Soulsby 1982).

Gejala awal dari penyakit ini ditandai dengan adanya eritema, makula, dan papula pada kulit (Jubb et al. 1993). Biasanya tungau akan menyerang daerah yang berambut jarang seperti telinga, wajah, siku, jari, dan sekitar kelamin. Akibat yang ditimbulkan yaitu berupa kebotakan (alopesia) dan lesio pada kulit yang mengering dan mengeras dan menjadi keropeng, lesio ini akan cepat menyebar ke seluruh tubuh seiring dengan derajat infestasi tungau (Kelly 1984).

(16)

Frekuensi kasus skabies pada anjing sering terjadi tetapi dipandang sebelah mata oleh para pemilik anjing. Karena berbagai hal, pemilik kurang memperhatikan anjingnya, bahkan penanganan yang dilakukan terhadap penyakit ini seringkali terlambat, sehingga menyebabkan anjing telah berada dalam kondisi yang buruk saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan. Kejadian skabies pada anjing di rumah sakit hewan merupakan salah satu kasus yang sering terjadi dan bersifat kambuhan. Latif (2001) melaporkan bahwa pada bulan Januari 1999-Juni 2000 terjadi 70 kasus skabies dari 12.362 ekor pasien anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada kurun waktu yang sama. Untuk mengetahui frekuensi kasus skabies pada kurun waktu berikutnya, tentu saja diperlukan penelitian lanjutan mengenai kasus skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta. Selain itu perlu diketahui juga tentang tindak penanganan skabies dan hubungannya dengan frekuensi kasus skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui berbagai tindak penanganan yang dilakukan terhadap skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta.

2. Mengetahui prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari Januari 2005-Desember 2010.

3. Mengetahui efektivitas pengobatan yang dilakukan di Rumah Sakit Hewan Jakarta.

Manfaat Penelitian

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Skabies dan Penyebabnya

Menurut Paradis et al. (1997), skabies pada anjing adalah penyakit kulit non musim yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var.canis. Penyakit ini sangat mudah menular dan bersifat zoonosis.

Klasifikasi dari tungau ini menurut Taylor et al. (2007) adalah sebagai

Spesies : Sarcoptes scabiei var.canis

(d)

(d)

(d) (d)

(18)

Gambar 2 Tungau Sarcoptes scabiei var.canis betina tampak ventral (a) kelisera (b) pulvilli (c) lubang kelamin (d) kaki

(Sumber : Cornell 2010)

Tungau ini berbentuk bulat atau oval, cembung pada bagian punggung dan rata pada bagian perut serta berwarna transparan dan agak kehitaman. Tungau betina berukuran panjang 0.3–0.6 mm, dan lebar 0.25–0.4 mm. Tungau jantan berukuran lebih kecil yakni 0.2–0.3 mm panjangnya, dan lebar 0.1–0.2 mm (Taylor et al. 2007). Gambaran S.scabiei var. canis sebagaimana terlihat pada Gambar 1 dan 2.

Secara umum, bagian tubuh dari tungau terbagi menjadi dua, yaitu gnathosoma (anterior) atau capitulum, dan idiosoma (posterior). Gnathosoma

hanya terdiri atas mulut, sedangkan beberapa organ lainnya seperti otak ada pada bagian idiosoma. Bagian idiosoma terbagi menjadi dua, bagian tubuh yang memiliki kaki disebut podosoma, dan bagian belakang tubuh yang tidak berkaki disebut opisthosoma. Tungau dewasa memiliki delapan kaki, sedangkan larvanya hanya memiliki enam kaki. Pada tungau dewasa, dua pasang kaki depan berbentuk lebih ramping dan termodifikasi menjadi organ sensoris yang dapat membantu pergerakan dan makan (Wall & Shearer 2001). Pembagian tubuh tungau lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.

0.5 mm (a)

(b)

(19)

Gambar 3 Bagian tubuh tungau (Sumber : Krantz 1975)

Kaki tungau, terdiri atas enam bagian. Bagian kaki yang bertaut pada tubuh, disebut koksa atau epimere, yang diikuti oleh trokanter, femur, genu, tibia, dan tarsus. Pada ujung tarsus, terdapat pretarsus yang ujungnya disebut ambulacrum. Bagian ambulacrum terdiri atas sepasang cakar, yang pada bagian

(20)

Gambar 4 Segmentasi kaki dan berbagai bentuk kaki pada tungau (Sumber : Wall & Shearer 2001)

Mulut tungau ini berbentuk bulat dan lebar. Bagian permukaan dorsal tungau ini ditumbuhi oleh seta yang kuat dan menyerupai duri. Anusnya terdapat di terminal, dan tungau ini tidak mempunyai mata atau disebut juga astigmata (Taylor et al. 2007).

Siklus hidup tungau terdiri atas lima fase, yaitu telur, larva, protonimfa, tritonimfa, dan dewasa. Semua fase tadi berlangsung pada tubuh inangnya.Tungau jantan akan bertemu dan kawin dengan tungau betina di permukaan kulit dan kemudian tungau betina akan menggali terowongan kira–kira sedalam 1 mm pada permukaan kulit dengan menggunakan kelisera dan empodium yang berbentuk seperti cakar pada dua pasang kaki depannya. Dalam terowongan tersebut hanya berisi satu tungau betina, telur-telur, dan fesesnya (Wall & Shearer 2001). Setiap hari tungau betina akan meletakkan telur sebanyak 3-4 butir (Grant 1986). Dalam satu terowongan tungau betina dapat meletakkan telur sebanyak 30–40 butir (Soulsby 1982).

(21)

mencari makan dan kawin di permukaan kulit dan siklus hidup berulang kembali (Wall & Shearer 2001).

Stadium telur menjadi dewasa berlangsung pada waktu yang singkat kira-kira selama 17–21 hari, walaupun singkat tetapi tingkat mortalitas dari periode ini cukup tinggi. Diperkirakan hanya 10% dari total telur yang dihasilkan berhasil menjadi tungau dewasa (Wall & Shearer 2001).

Spesies tungau ini pada tiap-tiap jenis hewan hanya berbeda dalam hal ukuran, sedangkan morfologinya sulit untuk dibedakan (Wardhana et al. 2006)

Patogenesis

Skabies merupakan penyakit kulit yang sangat menular, baik pada sesama anjing dan dapat pula menulari spesies lain bahkan manusia (Nahm & Corwin 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies di dalam genus Sarcoptidae dan adanya beberapa varian akibat terjadinya interbreeding yang terus menerus antarpopulasi tungau yang menginfestasi manusia dan hewan (Fain 1978 dalam Wardhana et al. 2006).

Wall & Shearer (2001) menyatakan bahwa, landak yang terinfestasi oleh tungau Sarcoptes scabiei dapat menjadi reservoir skabies bagi hewan peliharaan dan ruminansia.

Tungau yang ada pada hewan terbukti mampu menginfestasi manusia namun diduga tidak mampu menyelesaikan siklus hidupnya (Thomas et al. 1987, Meinking & Taplin 1990 dalam Wardhana et al. 2006). Banyak hewan yang menderita skabies dilaporkan menjadi sumber penularan bagi manusia. Penularan dari hewan ke manusia secara alami pernah dilaporkan dan menjadi wabah pada populasi manusia (Estes et al. 1983, Schwartzman 1983 dalam Wardhana et al. 2006). Pernah juga dilaporkan sebanyak 48 orang yang kontak dengan kucing penderita skabies 30 orang diantaranya positif tertular skabies (Chakrabarti 1986 dalam Wardhana et al. 2006).

(22)

yang menderita skabies. Bahkan dilaporkan juga anjing yang sehat tertular skabies dari gadis tersebut.

Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita atau kontak tidak langsung dengan berbagai objek yang digunakan oleh penderita, seperti handuk, kasur, selimut, dan tempat tinggal yang terkontaminasi oleh tungau (Goldsmid & Melrose 2005).

Infestasi awal tungau biasanya terjadi pada daerah yang jarang ditumbuhi oleh rambut seperti daerah kepala, meliputi daerah sekitar mata, dan telinga, daerah ventral tubuh meliputi bagian abdomen, dan daerah sekitar kelamin. Pada kaki biasanya di bagian siku, lutut, lipatan paha, dan bahkan sela-sela jari (Kelly 1977). Tungau akan menembus lapisan korneum epidermis kulit, mengisap cairan limfe dan juga memakan sel–sel epitel (Soulsby 1982).

Gejala klinis

Gejala klinis yang muncul akibat infestasi tungau ini bervariasi bergantung kepada waktu berjalannya penyakit. Pada tahap awal infestasi, kegatalan belum terlihat, dan kondisi ini akan terjadi pada minggu pertama sampai dengan minggu ketiga. Sejalan dengan berlanjutnya infestasi dan aktivitas tungau, mulai terlihat adanya lesio papula pada bagian tubuh penderita sebagaimana terlihat pada Gambar 5. Biasanya lesio ini akan terlihat jelas pada bagian tubuh penderita yang jarang ditumbuhi rambut (Bentley 2001).

Gambar 5 Papulae pada gejala awal skabies (Sumber : Bentley 2001)

(23)

Gambar 6 Pola penyebaran lesio awal skabies pada anjing (Sumber : Muller & Kirk 1976 dalam Latif 2001)

Bagian yang dilingkari pada Gambar 6 menunjukkan bagian tubuh yang paling sering memperlihatkan adanya gejala awal berupa papula pada anjing yang menderita skabies. Seiring dengan berjalannya waktu, aktivitas tungau akan meningkat misalnya pada saat tungau betina kawin dan menggali terowongan untuk meletakkan telurnya, anjing akan memperlihatkan gejala klinis berupa kegatalan yang hebat. Biasanya hal ini akan terjadi pada minggu ketiga dan keempat (Nahm & Corwin 1997).

Tungau Sarcoptes scabiei tidak mengisap darah, tetapi mengisap cairan diantara sel kulit. Selama aktivitas tersebut tungau betina akan mengeluarkan sekreta dan ekskreta yang menyebabkan terjadinya iritasi dan peradangan pada inangnya (Wall & Shearer 2001).

(24)

Gambar 7 Anjing yang terjangkit Skabies. Sumber : (Bentley 2001)

Apabila keadaan lebih parah, anjing akan menggaruk hingga berdarah. Darah yang keluar merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri kemudian akan berkembang dan menyebabkan infeksi yang akan menyebabkan adanya nanah, sehingga menimbulkan kondisi pyoderma. Bila tidak segera ditangani, akan berakibat fatal pada anjing (Grant 1986). Goldsmid & Melrose (2005) menyatakan bahwa bakteri yang paling banyak menyebabkan infeksi sekunder pada skabies adalah Staphylococcus pyogenes.

Secara histopatologi, skabies ditandai dengan adanya lesio berupa fokal hiperkeratosis, epidermal hiperplasia (penebalan kulit), dan ditemukan tungau Sarcoptes scabiei yang membentuk sarang pada lapisan korneum kulit yang menebal tersebut (Grant 1986). Gambaran histopatologi lainnya adalah ditemukannya perubahan berupa lesio infiltrasi sel–sel radang yang terdiri atas neutrofil, makrofag, dan sel–sel mononuklear. Antigen yang diekskresikan tungau masuk ke bagian lapisan epidermis dan dermis kulit. Aktivitas ini menginduksi sirkulasi antibodi dan respon imun sel media di sekitar lesio, sebagai reaksi pertahanan tubuh inang (Arlian et al. 1996)

(25)

Gambar 8 Gambaran histopatologi kulit yang terinfestasi tungau (Sumber : Sarma et al. 2009)

Ada beberapa penyakit kulit yang memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan skabies yang menjadi diagnosis pembanding skabies. Beberapa penyakit kulit tersebut diantaranya adalah dermatitis alergi karena makanan atau udara, yang pada tahap awal menyerupai skabies dengan terbentuknya pustulae, tetapi akan berlanjut menjadi berminyak. Penyakit lain seperti ringworm juga membentuk lesio yang hampir sama dengan skabies, perbedaannya adalah pada ringworm lesio yang terjadi lebih sedikit dan terlokalisasi pada satu tempat saja (Muller & Kirk 1976). Selain itu ada pula penyakit demodekosis yang juga disebabkan oleh tungau Demodex canis. Tungau Demodex canis merupakan parasit alami yang ada pada tubuh anjing. Anjing yang terjangkit demodekosis akan memperlihatkan gejala klinis yang sama dengan skabies tetapi dengan aspek yang lebih basah. Demodekosis biasanya berhubungan dengan kondisi imunosupresi (Wall & Shearer 2001). Agar tidak terkecoh dengan penyakit – penyakit yang menyerupai skabies tadi, dibutuhkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan laboratorium yang tepat untuk menghindari kesalahan penanganan skabies.

Diagnosis

Dalam penegakan diagnosis penyakit kulit yang disebabkan oleh beberapa jenis tungau seperti demodekosis, skabies, dan penyakit kulit lain seperti ringworm, biasanya dilakukan pengerokan kulit. Metode ini bertujuan untuk

Tungau Sarcoptes scabiei

Epidermis

(26)

menemukan dan mengidentifikasi jenis parasit dengan memeriksa di bawah mikroskop. Tungau sangat sulit untuk ditemukan pada hewan, terutama pada hewan yang sudah cukup lama terinfestasi atau hewan yang baru saja dimandikan dengan metode dipping (Hammet 1999).

Menurut Hammet (1999), ada dua metode yang biasa digunakan untuk penegakan diagnosis, yaitu kerokan kulit (skin scraping) dan flotasi sentrifugasi. Proses dari kedua metode diagnosis adalah sebagai berikut :

1. Preparat natif / kerokan kulit

Sampel diambil dengan cara membuat luka kerokan pada kulit hewan yang terserang (pada lokasi yang menunjukkan lesio) dengan menggunakan skalpel. Hasil kerokan kulit tadi kemudian diletakkan pada kaca objek yang kemudian ditetesi NaOH atau KOH 10% sebanyak beberapa tetes dan ditunggu beberapa detik hingga jaringan kulit lisis.

Kaca objek tadi kemudian ditutup dengan kaca penutup dan dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 100–400 kali. Hasil positif akan memperlihatkan tungau pada lapang pandang mikroskop (Hammet 1999)

2. Metode Flotasi Sentrifugasi

Sampel kerokan kulit diambil dengan cara yang sama pada metode pertama, kemudian diletakkan pada tabung sentrifugasi. KOH dan NaOH ditambahkan sebanyak 3-5 ml pada tabung tadi, kemudian dilakukan pemanasan dengan Bunsen selama beberapa menit (Hammet 1999).

Sampel tadi akan menjalani proses selanjutnya yaitu dengan dilakukannya sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 3 menit. Proses sentrifugasi tersebut akan membentuk endapan pada dasar tabung. Endapan diambil dengan pipet pastur, kemudian diletakkan pada kaca objek, selanjutnya ditutup dengan kaca penutup dan dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 100–400 kali. Hasil positif akan memperlihatkan tungau pada lapang pandang mikroskop (Hammet 1999).

(27)

ektoparasit. Menurut Wall & Shearer (2001), beberapa perubahan histopalogi yang dapat terlihat pada kulit karena infestasi tungau Sarcoptes antara lain infiltrasi sel eosinofil pada jaringan kulit yang biasanya disertai oleh degenerasi kolagen dan pembentukan formasi pustula oleh sel–sel eosinofil.

Pengobatan dan Pencegahan

Pengobatan skabies berfokus pada eradikasi agen penyakitnya, yaitu tungau Sarcoptes scabiei. Banyak sekali jenis obat yang bersifat akarisidal yang dapat digunakan untuk pengobatan skabies. Obat-obat tersebut dapat diaplikasikan dalam berbagai rute baik secara oral, subkutan, semprot, atau topikal.

Penanganan penyakit skabies cukup sederhana, tetapi ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Selain berfokus pada eradikasi tungau parasit, nutrisi, dan manejemen pemeliharaan harus diperhatikan. Nutrisi dan manejemen pemeliharaan yang buruk akan menyebabkan hewan menjadi stress dan menurunkan imunitas hewan, sehingga akan menyebabkan hewan rentan terhadap penyakit lainnya (Huang et al. 1998). Beberapa akarisida yang biasa digunakan oleh praktisi di Ingggris untuk pengobatan skabies pada anjing adalah amitraz, ivermectin dan turunannya ,serta fipronil (British Veterinary Association 2005). Sediaan–sediaan tersebut juga telah digunakan oleh praktisi di seluruh dunia sebagai obat pilihan untuk mengobati skabies.

(28)

Ivermectin dan turunannya termasuk avermectin, abamectin, doramectin, eprinomectin, dan selamectin adalah senyawa lakton makrosiklik alami dan semi alami yang diisolasi dari kapang Streptomyces avermitilis yang ditemukan di Jepang. Tidak hanya dapat membunuh ektoparasit, ivermectin juga dapat digunakan sebagai obat pilihan pada beberapa penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis Nematoda (Praag 2003).

Obat ini bekerja dengan cara mengatur jumlah ion klorida (Cl-) yang masuk ke dalam sel ektoparasit. Ketika ion–ion klorida tadi masuk ke dalam sel, membran sel akan mengalami hiperpolarisasi, sehingga sinyal saraf tidak dapat ditransmisikan. Setelah itu ektoparasit akan mati perlahan–lahan karena mengalami paralisis. Pada konsentrasi yang lebih tinggi ivermectin akan bekerja

antagonis dengan neutotransmitter GABA (asam γ–aminobutirat). Pada Nematoda dan ektoparasit, reseptor GABA terdapat pada sistem saraf tepi, sedangkan pada mamalia terdapat pada sistem saraf pusat (Praag 2003).

Ivermectin dapat diaplikasikan secara oral, topikal, ataupun sistemik. Dosis tunggal yang dianjurkan untuk Sarcoptes scabiei var.canis adalah 200 µg/kg berat badan, dan dosis untuk aplikasi sistemik maupun oral adalah 200–400 µg /kg berat badan (Curtis 2004). Obat ini memiliki efek samping berupa edema kulit pada kuda. Efek samping tersebut terjadi karena toksin yang dikeluarkan oleh ektoparasit yang mati, dan efek ini berlangsung sekitar 5 hari (Praag 2003). Selain itu, obat ini memberikan efek samping berupa batuk–batuk setelah diberikan secara oral pada domba (British Veterinary Association 2005).

Ivermectin tidak boleh diberikan kepada anjing ras Collie, Australian sheepdog, Old English sheepdog, Shetland sheepdog dan anjing persilangan dari beberapa jenis anjing tadi. Ivermectin juga tidak boleh diberikan pada anjing– anjing muda yang berusia kurang dari 8 bulan, anjing yang sedang bunting dan menyusui (British Veterinary Association 2005).

(29)

bermutasi menjadi Gen mdr1-1Δ ivermectin akan dapat menembus blood brain barrier (Neff et al. 2004). Anjing yang keracunan ivermectin akan menunjukkan gejala klinis seperti ataksia dan depresi. Setelah beberapa lama kemudian anjing akan memperlihatkan gejala seperti dilatasi pupil (mydriasis), stupor, tremor, emesis, hipersalivasi, koma, dan akan berujung pada kematian. Biasanya pertolongan pertama pada keracunan ivermectin adalah pemberian arang aktif dan pemberian cairan elektolit secara intravena.

Fipronil adalah insektisida dari golongan phenylprazole yang bekerja

dengan cara menghambat kerja dari neurotransmitter asam γ–butirat (GABA) ektoparasit, yang menyebabkan ektoparasit akan mati karena paralisis (Ghubash 2006). Obat ini diaplikasikan secara spot–on atau topical pada tubuh anjing yang terinfestasi tungau. Untuk aplikasi spot-on dosis yang digunakan berbeda–beda tergantung bobot anjing. Dosis yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Dosis pemberian fipronil berdasarkan bobot anjing pada aplikasi spot–on. Bobot badan anjing Dosis yang diberikan

1–10 kg 0,67 ml

10–20 kg 1,34 ml

20–40 kg 2,68 ml

Diatas 40 kg 4,02 ml

(Sumber : British Veterinary Association 2005)

Fipronil juga dapat diaplikasikan secara disemprotkan (spray). Jika diaplikasikan secara spray, konsentrasi fipronil yang dianjurkan adalah 0,25 % dari larutan (Ghubash 2006). Apabila obat lain menjadi kontra indikasi dari penderita skabies, fipronil merupakan obat pilihan yang efektif untuk pengobatan skabies (Curtis 1996 ).

(30)

Dalam penanganan skabies perlu juga diperhatikan terapi suportif untuk mengurangi lesio yang diakibatkan oleh tungau, diantaranya keratolitik, untuk mengikis kulit yang keropeng. Antibiotik, untuk mengobati infeksi sekunder akibat bakteri. Asupan vitamin juga dibutuhkan untuk perawatan jaringan tubuh pasien (Curtis 1996).

Agar tidak menulari hewan lain atau manusia di sekitarnya, anjing yang terjangkit skabies hendaknya dipisahkan selama masa pengobatan. Selain itu kandang, perlatan bermain, peralatan makan, dan alat-alat grooming hendaknya dibersihkan setiap hari untuk mencegah penularan skabies. Lingkungan sekitar rumah tempat anjing bermain juga sebaiknya dibersihkan. Kebersihan personal pemilik juga merupakan salah satu hal wajib yang harus diperhatikan mengingat penyakit ini bersifat zoonotik (Wall & Shearer 2001).

(31)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Hewan Jakarta yang beralamat di jalan Harsono RM. 28, Ragunan, Jakarta Selatan, sebagai sumber data penelitian. Rumah sakit ini banyak menjadi tempat rujukan bagi dokter–dokter hewan praktik yang ada di Jakarta. Adapun waktu pengumpulan data dilakukan sejak bulan September – Oktober 2011.

Metode Penelitian

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta

Rumah Sakit Hewan Jakarta dibangun pada tanggal 25 Desember 1992, atas restu dan bantuan yang sangat besar dari Ibu Negara pada saat itu yaitu Ibu Tien Soeharto. Rumah Sakit ini merupakan rujukan bagi pasien yang memerlukan diagnosis, penanganan, dan pengobatan yang lebih intensif karena di rumah sakit ini terdapat beberapa fasilitas penunjang diagnosis seperti instalasi radiologi dan ultrasonografi, laboratorium, bahkan terapi alternatif untuk hewan seperti akupuntur.

Di Rumah Sakit Hewan Jakarta, skabies digolongkan kedalam penyakit zoonosis yang memerlukan diagnosis lanjutan seperti pengambilan kerokan kulit. Pasien yang datang dan positif terdiagnosis skabies setelah pemeriksaan klinis dan laboratorium akan langsung diobati dengan menggunakan sediaan-sediaan akarisidal seperti ivermectin dan fipronil. Pengobatan didasarkan kepada ras anjing, kondisi anjing, dan tingkat keparahan penyakit. Selain itu juga diberikan antibiotik berspektrum luas untuk mencegah infeksi sekunder, kemudian diberikan juga vitamin E untuk mempercepat perbaikan kulit anjing. Bila tingkat keparahan penyakit masih ringan, biasanya pasien boleh dibawa pulang dan diharuskan datang 2 minggu kemudian untuk menjalani pemeriksaan dan pengobatan ulang sampai pasien sembuh.

Jika pasien datang dengan keadaan yang buruk, maka dokter-dokter hewan di Rumah Sakit Hewan Jakarta akan mengharuskan pemilik untuk merawat inap agar anjing selalu berada dalam pengawasan dokter hewan. Pasien yang dirawat inap akan dipisahkan dan dimasukkan ke dalam ruang isolasi agar tidak menulari anjing lainnya. Setelah sembuh total, pihak rumah sakit akan menghubungi pemilik bahwa hewan peliharaannya sudah diperbolehkan untuk pulang.

(33)

mencapai 98% dan aman untuk ras anjing yang merupakan kontraindikasi dari ivermectin. Tindakan isolasi terhadap pasien juga dilakukan dalam penanganan penyakit-penyakit zoonosis oleh praktisi kesehatan hewan di Amerika Serikat (Curtis 2004).

Prevalensi Skabies Pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta

Selain skabies ada beberapa penyakit lain yang bersifat zoonosis yang mendapatkan perhatian khusus dari pihak Rumah Sakit Hewan Jakarta, diantaranya brucellosis, leptospirosis, visceral larva migrans, toxoplasmosis, salmonellosis, dan ringworm.

Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari 2005-Desember 2010, skabies menempati posisi kedua dengan persentase 28,47% dari seluruh kasus zoonosis pada kurun waktu tersebut, sebagaimana terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Persentase kasus penyakit zoonotik di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari Januari 2005-Desember 2010.

Data rekam medik pasien yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari 2005–Desember 2010 menunjukkan bahwa terdapat 187 kasus skabies pada anjing. Jumlah pasien yang terinfestasi, jumlah pasien anjing tiap tahun, dan prevalensi skabies tiap tahun dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 memperlihatkan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta cukup fluktuatif. Sejak tahun 2005-2008 prevalensinya meningkat hingga 0,92%, lalu kemudian menurun kembali pada 2009. Dua tahun terakhir (2009-2010) kembali terjadi peningkatan menjadi 0,78%.

(34)

Tabel 2 Jumlah pasien terjangkit skabies, jumlah pasien per tahun, dan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari tahun 2005-2010.

Tahun Jumlah

Penelitian yang sama yang dilakukan oleh Latif (2001) dari bulan Januari 1999-Desember 2001 melaporkan bahwa terdapat 70 kasus (0,57%) dari 12.632 ekor pasien anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari bulan Januari 1999 sampai dengan Juli 2000. Anjing–anjing tersebut terdiri atas 17 ras yang berbeda.

Tabel 3 memperlihatkan bahwa anjing lokal merupakan pasien yang paling banyak terjangkit skabies dengan jumlah sebanyak 33 ekor (17,6%) dibanding anjing ras lainnya. Latif (2001) melaporkan bahwa pada bulan Januari 1999 sampai dengan bulan Juni 2000 kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta didominasi oleh anjing ras Chow-chow sebanyak 14 ekor dengan persentase 20% dari total kasus yaitu sebanyak 70 kasus.

(35)

Tabel 3. Frekuensi kasus Skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari 2005–Desember 2010.

Penderita Skabies Berdasarkan Jenis Rambut

(36)

Gambar 10 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis rambut anjing pada tahun 2005–2010.

Sejak tahun 2005–2010 di Rumah Sakit Hewan Jakarta, 122 ekor (65,24%) anjing yang terjangkit skabies merupakan anjing dengan jenis rambut pendek, dan 45 ekor (24,06%) anjing dengan jenis rambut panjang. Sisanya sebanyak 20 ekor (10,7%) tidak dapat diketahui jenis rambutnya karena merupakan anjing ras campuran.

Menurut Witjaksono & Sungkar (1996), anjing dengan rambut panjang lebih mudah terjangkit skabies karena debu, kotoran, dan bahkan arthropoda yang berukuran mikroskopik lebih mudah menempel pada rambut anjing, sedangkan data di atas menunjukkan bahwa anjing dengan jenis rambut pendek di Rumah Sakit Hewan Jakarta lebih banyak terjangkit skabies. Faktor yang menyebabkan anjing dengan jenis rambut pendek lebih banyak terjangkit skabies adalah karena pemilik anjing kurang memperhatikan dan merawat kesehatan kulit anjingnya. Karena anjing dengan rambut pendek membutuhkan perawatan relatif yang lebih mudah dibandingkan dengan anjing rambut panjang, sehingga kesehatan rambut dan kulitnya kurang diperhatikan.

Penderita SkabiesBerdasarkan Jenis Kelamin

(37)

Gambar 11 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2005-2010.

Faktor yang menyebabkan anjing jantan lebih banyak terjangkit skabies adalah karena anjing jantan lebih sering digunakan oleh pemiliknya sebagai anjing pemacak. Anjing jantan yang digunakan sebagai pemacak akan lebih sering melakukan kontak langsung dengan anjing lain yang kemungkinan telah terjangkit skabies baik secara klinis maupun subklinis.

Selain itu anjing jantan cenderung lebih dominan dibanding anjing betina dalam kehidupan sosialnya. Menurut Broom & Fraser (2007) hewan jantan memiliki sifat yang lebih dominan daripada hewan betina, dominasi ini ditunjukkan dengan beberapa perilaku seperti melakukan mounting, mengendus-endus, dan berkelahi untuk memperebutkan daerah kekuasaan. Interaksi anjing jantan yang menunjukkan dominasi inilah yang memungkinkan anjing jantan melakukan kontak langsung yang lebih sering dengan anjing lain, sehingga kemungkinan tertular skabies oleh anjing lain lebih besar.

Penderita Skabies Berdasarkan Usia

Anjing diklasifikasikan menurut usia oleh Federation Cynologue International (FCI) menjadi tiga kelas. Kelas yang pertama adalah anakan

(puppies) yang berusia dari 3–9 bulan, yang kedua adalah remaja (teenage) dengan usia 10-18 bulan, dan dewasa (adult) yang berusia diatas 2 tahun. (Verhoef–Verhaellen 1996). Berdasarkan pembagian kelompok umur tersebut, anjing yang terjangkit skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari tahun 2005– 2010 didominasi oleh anjing dewasa dengan jumlah sebanyak 145 ekor (77,54%), berikutnya adalah anjing dari usia remaja sebanyak 27 ekor (14.44%) dan sisanya anjing anakan dengan jumlah 15 ekor (8,02%). Data tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 12.

60.43%

39.57% 0

Jantan

(38)

Gambar 12 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada tahun 2005-2010 berdasarkan kategori usia anjing.

Data di atas memperlihatkan kejadian skabies pada anjing dewasa lebih sering terjadi daripada anjing anakan dan remaja. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh anjing. Anjing dewasa kemungkinan sistem kekebalannya sudah berkurang karena faktor usia dibandingkan dengan anjing anakan yang sistem kekebalannya masih baik karena antibodi maternal yang diwariskan oleh induknya. Satu dari beberapa faktor yang mempengaruhi sistem imunitas adalah usia, semakin tua usia, maka akan semakin berkurang kemampuan sistem imunnya dalam memproduksi antibodi (Radji 2010).

Arlian (1996) melaporkan bahwa anjing dan kelinci yang ditantang dengan ekstrak Sarcoptes scabiei var.canis menunjukkan kadar IgE dan IgG yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.

Immunoglobulin G (IgG) merupakan antibodi yang paling umum dihasilkan hanya dalam waktu beberapa hari dan memiliki masa hidup berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa tahun. Antibodi ini beredar dalam tubuh dan banyak terdapat pada darah, sistem getah bening, dan usus. Immunoglobulin G mengikuti aliran darah, langsung menuju antigen dan menghambatnya begitu terdeteksi. Antibodi ini melindungi tubuh terhadap bakteri dan virus, serta menetralkan asam yang terkandung dalam racun. Selain itu, IgG mampu menyelip di antara sel-sel dan menyingkirkan bakteri serta mikroorganisme lain yang masuk ke dalam sel-sel dan kulit. Karena kemampuannya serta ukurannya yang kecil, IgG dapat masuk ke dalam plasenta ibu hamil dan melindungi janin dari kemungkinan infeksi (Mayer 2009).

Imunoglobulin E (IgE) merupakan antibodi yang hanya terdapat pada mamalia. IgE berperan dalam sistem kekebalan yang disebabkan oleh cacing

(39)

parasit, protozoa, dan arthropoda. IgE merupakan komponen yang terlibat dalam reaksi alergi karena light chain IgE terikat pada basofil dan sel mast. Pengikatan alergen oleh IgE menyebabkan pelepasan mediator farmakologis yang menimbulkan berbagai reaksi alergi (Mayer 2009).

Selain antibodi, granulosit juga merupakan sistem kekebalan bawaan yang melindungi inang dari berbagai infeksi dan infestasi parasit. Eosinofil, sel mast dan basofil merupakan komponen kekebalan terhadap parasit. Eosinofil adalah sel darah putih granulosit yang berperan dalam sistem kekebalan dengan melawan parasit multiselular pada vertebrata. Meningkatnya kadar eosinofil mengindikasikan adanya infeksi parasit. Eosinofil diproduksi dalam jumlah yang besar dan akan dimigrasikan ke daerah yang terinfeksi oleh parasit. Selain itu, eosinofil juga mempunyai kecenderungan khusus untuk berkumpul di jaringan tempat terjadinya reaksi alergi. Eosinofil diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat yang dapat menimbulkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil (Guyton & Hall 2008).

Hasil dari biopsi pada jaringan kulit yang terjangkit skabies juga memperlihatkan bahwa terdapat infiltrasi besar-besaran dari limfosit dan eosinofil pada lapisan dermis. Infiltrasi dari eosinofil berhubungan dengan meningkatknya kadar IgE dalam darah penderita skabies (Walton 2010).

Sel mast dan basofil juga berperan dalam sistem kekebalan terhadap parasit. Keduanya memiliki beberapa persamaan antara lain sebagai mediator/perantara pada reaksi hipersensitivitas tipe I karena memiliki jumlah reseptor yang banyak untuk IgE (Lie & Merijanti 1999).

Efektivitas Pengobatan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta

(40)

anjing dinyatakan sembuh secara klinis dan laboratorium. Bila setelah 4–8 minggu anjing tidak menunjukkan kesembuhan, pengobatan akan dilakukan dengan obat–obatan lainnya. Kesembuhan anjing dari skabies dinyatakan dengan rambut yang tumbuh kembali pada bagian yang mengalami kebotakan, keropeng pada kulit hilang, dan tidak ditemukan lagi tungau pada pemeriksaan kerokan kulit anjing.

Selain ivermectin, pengobatan skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta juga menggunakan sediaan fipronil dengan konsentrasi 10% secara spot on. Dosis yang digunakan sudah tertera pada labelnya dan sesuai dengan bobot badan anjing. Biasanya pasien yang diobati dengan fipronil adalah pasien yang merupakan kontra indikasi dari ivermectin. Pengobatan dengan fipronil akan diulangi seminggu sekali sampai 6 minggu sampai anjing sembuh.

Selain pemberian sediaan akarisida, juga diberikan antibiotik untuk mengobati infeksi sekunder. Antibiotik yang diberikan biasanya adalah linkomisin. Selain itu diberikan juga terapi supportif berupa pemberian vitamin E untuk mempercepat persembuhan keropeng pada kulit. Data pengobatan anjing yang terjangkit skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis obat yang digunakan untuk pengobatan skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dan persentase kesembuhannya.

Tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat 12 dari 174 pasien yang diobati dengan ivermectin tidak sembuh, untuk presentasi kesembuhan dari obat ini adalah 93,67%. Terada et al. tahun 2010 di Jepang melaporkan bahwa terdapat dua ekor anjing yang diobati dengan ivermectin dengan dosis 300µg/kgBB tidak menunjukkan kesembuhan setelah 14 hari dan masih bisa ditemukan tungau yang hidup pada hari ke–35. Keadaan kulit dari anjing pun tidak mengalami perubahan. Hal ini mengindikasikan telah adanya resistensi terhadap ivermectin pada tungau Sarcoptes scabiei var. canis.

Fipronil juga tidak sepenuhnya dapat mengobati skabies. Data di atas menunjukkan 1 dari 13 pasien yang diobati dengan fipronil tidak sembuh, No Jenis pengobatan Jumlah Tidak sembuh Persentase

kesembuhan

1 Ivermectin 174 12 93,67%

(41)

sehingga presentasi kesembuhannya adalah 93,31%. Koutinas et al. (2001) melaporkan, bahwa pada penelitiannya dalam pengobatan skabies dengan menggunakan fipronil 0,25% dengan metode disemprotkan terdapat 3 dari 12 anjing yang diobati tidak mengalami kesembuhan sampai hari ke–71 setelah pengobatan pertama. Hal ini juga mengindikasikan bahwa ada kemungkinan resistensi terhadap fipronil pada tungau Sarcoptes scabiei var.canis. Sampai saat ini sediaan akarisida yang digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh tungau tidak pernah ada yang menunjukkan efektifitas sampai 100% atau tanpa menunjukkan efek samping (Koutinas et al 2001).

Skabies pada anjing menyebabkan kerusakan kulit yang parah, sehingga anjing tidak dapat mengikuti kontes, menjadi pemacak, dan berinteraksi dengan manusia. Hal ini menyebabkan kerugian pada pemilik dari segi materil dan moril. Kerugian dari segi materil berupa biaya pengobatan, sedangkan kerugian moril (psikologis) dapat berupa rasa takut akan tertular skabies oleh anjingnya dan berkurangnya rasa sayang terhadap anjing yang dimiliki.

Berbeda pada anjing maupun hewan kesayangan lainnya, skabies pada hewan ternak bisa menjadi masalah yang serius dan menimbulkan kerugian ekonomis yang besar. Menurut Siratno (2000 dalam Wardhana et al. 2006), kerugian ekonomi akibat skabies pada kambing di pulau Lombok mencapai Rp.1.633.158.750 per tahun. Kejadian yang fatal pernah terjadi pada kambing paket bantuan pemerintah, yaitu dari 396 ekor ternyata 360 ekor (91%) diantaranya mati karena skabies. Kejadian ini tidak hanya menimbulkan kerugian materi berupa kematian, tetapi juga kerugian moril berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap ternak bantuan pemerintah selanjutnya (Sobari 1991 dalam Wardhana et al. 2006) .

(42)
(43)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penanganan skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit dan sesuai dengan prosedur standar rumah sakit hewan. Sejak Januari 2005–Desember 2010 terdapat 187 kasus skabies dari 30.659 pasien anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta. Prevalensi skabies tertinggi yaitu pada tahun 2008 dengan persentase 0,98% dan rata-rata 0,66% per-tahun. Dari data keseluruhan persentasi tertinggi penderita skabies berdasarkan ras adalah anjing lokal (17,6%), berdasarkan jenis rambut adalah anjing berambut pendek (65,24%), berdasarkan jenis kelamin adalah anjing jantan (60,43%), dan berdasarkan usia adalah anjing dewasa (77,54%). Tingkat kesembuhan pengobatan dengan ivermectin adalah 93,67%, sedangkan fipronil adalah 92,307%.

Saran

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Arlian LG. 1989. Biology, host relations, and epidemiology of Sarcoptes scabiei. Ann Rev Entomol 34 : 139-161.

Arlian LG, Morgan MS, Rapp CM, and Vyszenenski-Moher DL. 1996. The development of protective immunity in canine scabies. Vet Parasitol 62 : 133 – 142.

Bentley D. 2001. Dermvet skin & ear clinic. http: //pets.webmd.com/dogs/ slideshow- skin - problems - in - dogs.htm. [ 1 Oktober 2011].

Broom DM & Fraser AF. 2007. Domestic Animal Behaviour and Welfare. Cambridge : CAB International.

[BVA] British Veterinary Association. 2005. The Veterinary Formulary Sixth Edition. Yolande Bishop : Editor. London : Pharmaceutical Press.

Cornell RF. 2010. Mange mites in dogs. http: // www.petcare.com/dogs/mange-mites-in-dogs.htm. [ 1 Desember 2011].

Curtis CF. 1996. Use of 0.25 percent fipronil spray to treat sarcoptic mange in a litter of five week old Puppies. Vet Rec 139 : 43 – 44.

Curtis CF. 2004. Current trends in treatment of sarcoptes, cheyletiella, and otodectes mites infestations in dogs and cats. Vet Dermatol 15 : 108 – 114. Ghubash R. 2006. Parasitic miticidal therapy. Clin Tech Small Anim Pract 21 :

135-144.

Goldsmid JM & Melrose W. 2005. Parasitic infection of the skin. http: // www. universityoftasmania. com/ veterinary-medicine/ dermatology/parasitic-infection-of-the-skin.htm [ 9 Desember 2011 ].

Grant DI. 1986. Skin Disease in The Dog and Cat. Oxford : Blackwell scientific Publications.

Guyton AC & Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 11st ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hammet DE. 1999. Canine Demodecosis (Demodex, Red Mange). http://www.all-creatures.com/demodex.html [24 Agustus 2011].

(45)

Jubb KVF, Kennedy PC, and Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals Vol.1 Ed.4. London : Academic Press Inc.

Kelly JD. 1977. Canine Parasitology. Sydney : University of Sydney.

Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnostics Third Edition. London : Baillire Tindall.

Koutinas AF, Saridomichelakis MN, Soubasis N, Bornstein S, and Koutinas CK. 2001. Treatment of canine sarcoptic mange with fipronil spray: A Field Trial. Aust Vet Pract 31(3) : 115-119.

Krantz GW. 1975. A manual of Acarology. Oregon : O.S.U Book Stores, Inc.

Latif A. 2001. Studi Kasus Skabies pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta Periode Januari 1999 – Juli 2000 [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Lie T & Merijanti S. 1999. Peranan sel mast dalam reaksi hipersensitivitas tipe I. J Kedokt Trisakti, 18 (3).

Mayer G. 2009. Immunoglobulins Structure and Functions. http: // pathmicro. med.sc.edu/ mayer/ IgStruct2000.htm [26 Desember 2011].

Muller GH, & Kirk RW. 1976. Small Animal Dermatology. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Nahm J & Corwin RM. 1997. Arthropoda. http: // www.missouri.edu.html /vmicroc / arthropod/ arachnids / scabies.htm [19 November 2011].

Neff MW, Robertson KR, Wong A, Safira N, Broman KW, Slatkin M, Mealey KL, and Pedersen NC. 2004. Breed distribution and history of mdr1-1Δ, a pharmacogenetic mutation that marks the emergence of formal breeds from the collie lineage. Proc Nat Acad Scie 101:11725-30

Paradis M, Jaham CD, and Page N. 1997. Topical (pour – on) ivermectin in the treatment of canine scabies. Can Vet J 38 : 379 – 382.

Praag EV. 2003. Ivermectin. http: // www. Medirabbit. Com. /drugs/ ivermectin.htm. [18 November 2011].

(46)

Sarma DP, Panganiban S, and Albertson D. 2009. Diagnostic microscopic image : condyloma acuminatum and scabies.The Int J Dermatol 7 (1).

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. London : Bailliere Tindall.

Taylor MA, Coop RL, and Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ed ke-3. Oxford: Blackwell Publishing.

Terada YC, Murayama N, Ikemura H, Morita T, and Nagata M. 2010. Sarcoptes scabiei var. canis refractory to ivermectin treatment in two dogs. Vet Dermatol 21: 608–612.

Verhoef–Verhaellen E. 1996. The Complete Encyclopedia of Dogs. Groningen: Rebo International b.v.

Wall R & Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites : Biology, Pathology, and Control. Oxford : Blackwell Publishing.

Walton SF. 2010. The immunology of susceptibility and resistance to scabies. Par Immunol 32 : 532–540.

Wardhana AH, Manurung J, dan Iskandar T. 2006. Skabies: tantangan penyakit zoonosis masa kini dan masa datang. Wartazoa 16 (1).

(47)

LAMPIRAN

(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anjing merupakan hewan yang sudah sejak lama didomestikasi oleh manusia. Pada zaman dahulu hewan ini digunakan untuk membantu manusia dalam berburu binatang liar, dan juga untuk menjaga hewan ternak dari ancaman

binatang buas. Ada ungkapan yang berbunyi “Dogs are men’s best friends”

(Anjing adalah sahabat terbaik manusia). Di masa kini, manusia tidak hanya memelihara anjing untuk berburu dan mencari makan, tetapi juga sebagai hewan kesayangan, penjaga rumah dan perkebunan, hiburan, pelacak, dan bahkan menjadi aktor film, serta masih banyak kegunaan anjing lainnya dalam kehidupan manusia.

Dalam aspek pemeliharaan hewan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, satu diantaranya adalah kesehatan. Hal ini menjadi sangat penting karena kesehatan yang baik akan membuat hewan peliharaan menunjukkan penampilan dan kondisi yang prima. Sayangnya aspek kesehatan hewan terkadang kurang diperhatikan oleh pemilik. Misalnya masalah pada kulit dan rambut anjing yang tanpa disadari oleh pemilik telah merubah perilaku hewan kesayangannya tersebut. Penyakit itu antara lain penyakit ektoparasitik seperti skabies.

Skabies atau kudis adalah suatu penyakit kulit pada hewan dan manusia yang disebabkan oleh infestasi tungau dari spesies Sarcoptes scabiei pada lapisan korneum kulit. Penyakit ini bersifat zoonotik, dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Skabies pada anjing disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var.canis (Soulsby 1982).

Gejala awal dari penyakit ini ditandai dengan adanya eritema, makula, dan papula pada kulit (Jubb et al. 1993). Biasanya tungau akan menyerang daerah yang berambut jarang seperti telinga, wajah, siku, jari, dan sekitar kelamin. Akibat yang ditimbulkan yaitu berupa kebotakan (alopesia) dan lesio pada kulit yang mengering dan mengeras dan menjadi keropeng, lesio ini akan cepat menyebar ke seluruh tubuh seiring dengan derajat infestasi tungau (Kelly 1984).

(57)

Frekuensi kasus skabies pada anjing sering terjadi tetapi dipandang sebelah mata oleh para pemilik anjing. Karena berbagai hal, pemilik kurang memperhatikan anjingnya, bahkan penanganan yang dilakukan terhadap penyakit ini seringkali terlambat, sehingga menyebabkan anjing telah berada dalam kondisi yang buruk saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter hewan. Kejadian skabies pada anjing di rumah sakit hewan merupakan salah satu kasus yang sering terjadi dan bersifat kambuhan. Latif (2001) melaporkan bahwa pada bulan Januari 1999-Juni 2000 terjadi 70 kasus skabies dari 12.362 ekor pasien anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada kurun waktu yang sama. Untuk mengetahui frekuensi kasus skabies pada kurun waktu berikutnya, tentu saja diperlukan penelitian lanjutan mengenai kasus skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta. Selain itu perlu diketahui juga tentang tindak penanganan skabies dan hubungannya dengan frekuensi kasus skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui berbagai tindak penanganan yang dilakukan terhadap skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta.

2. Mengetahui prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari Januari 2005-Desember 2010.

3. Mengetahui efektivitas pengobatan yang dilakukan di Rumah Sakit Hewan Jakarta.

Manfaat Penelitian

(58)

TINJAUAN PUSTAKA

Skabies dan Penyebabnya

Menurut Paradis et al. (1997), skabies pada anjing adalah penyakit kulit non musim yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var.canis. Penyakit ini sangat mudah menular dan bersifat zoonosis.

Klasifikasi dari tungau ini menurut Taylor et al. (2007) adalah sebagai

Spesies : Sarcoptes scabiei var.canis

(d)

(d)

(d) (d)

(59)

Gambar 2 Tungau Sarcoptes scabiei var.canis betina tampak ventral (a) kelisera (b) pulvilli (c) lubang kelamin (d) kaki

(Sumber : Cornell 2010)

Tungau ini berbentuk bulat atau oval, cembung pada bagian punggung dan rata pada bagian perut serta berwarna transparan dan agak kehitaman. Tungau betina berukuran panjang 0.3–0.6 mm, dan lebar 0.25–0.4 mm. Tungau jantan berukuran lebih kecil yakni 0.2–0.3 mm panjangnya, dan lebar 0.1–0.2 mm (Taylor et al. 2007). Gambaran S.scabiei var. canis sebagaimana terlihat pada Gambar 1 dan 2.

Secara umum, bagian tubuh dari tungau terbagi menjadi dua, yaitu gnathosoma (anterior) atau capitulum, dan idiosoma (posterior). Gnathosoma

hanya terdiri atas mulut, sedangkan beberapa organ lainnya seperti otak ada pada bagian idiosoma. Bagian idiosoma terbagi menjadi dua, bagian tubuh yang memiliki kaki disebut podosoma, dan bagian belakang tubuh yang tidak berkaki disebut opisthosoma. Tungau dewasa memiliki delapan kaki, sedangkan larvanya hanya memiliki enam kaki. Pada tungau dewasa, dua pasang kaki depan berbentuk lebih ramping dan termodifikasi menjadi organ sensoris yang dapat membantu pergerakan dan makan (Wall & Shearer 2001). Pembagian tubuh tungau lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.

0.5 mm (a)

(b)

(60)

Gambar 3 Bagian tubuh tungau (Sumber : Krantz 1975)

Kaki tungau, terdiri atas enam bagian. Bagian kaki yang bertaut pada tubuh, disebut koksa atau epimere, yang diikuti oleh trokanter, femur, genu, tibia, dan tarsus. Pada ujung tarsus, terdapat pretarsus yang ujungnya disebut ambulacrum. Bagian ambulacrum terdiri atas sepasang cakar, yang pada bagian

(61)

Gambar 4 Segmentasi kaki dan berbagai bentuk kaki pada tungau (Sumber : Wall & Shearer 2001)

Mulut tungau ini berbentuk bulat dan lebar. Bagian permukaan dorsal tungau ini ditumbuhi oleh seta yang kuat dan menyerupai duri. Anusnya terdapat di terminal, dan tungau ini tidak mempunyai mata atau disebut juga astigmata (Taylor et al. 2007).

Siklus hidup tungau terdiri atas lima fase, yaitu telur, larva, protonimfa, tritonimfa, dan dewasa. Semua fase tadi berlangsung pada tubuh inangnya.Tungau jantan akan bertemu dan kawin dengan tungau betina di permukaan kulit dan kemudian tungau betina akan menggali terowongan kira–kira sedalam 1 mm pada permukaan kulit dengan menggunakan kelisera dan empodium yang berbentuk seperti cakar pada dua pasang kaki depannya. Dalam terowongan tersebut hanya berisi satu tungau betina, telur-telur, dan fesesnya (Wall & Shearer 2001). Setiap hari tungau betina akan meletakkan telur sebanyak 3-4 butir (Grant 1986). Dalam satu terowongan tungau betina dapat meletakkan telur sebanyak 30–40 butir (Soulsby 1982).

(62)

mencari makan dan kawin di permukaan kulit dan siklus hidup berulang kembali (Wall & Shearer 2001).

Stadium telur menjadi dewasa berlangsung pada waktu yang singkat kira-kira selama 17–21 hari, walaupun singkat tetapi tingkat mortalitas dari periode ini cukup tinggi. Diperkirakan hanya 10% dari total telur yang dihasilkan berhasil menjadi tungau dewasa (Wall & Shearer 2001).

Spesies tungau ini pada tiap-tiap jenis hewan hanya berbeda dalam hal ukuran, sedangkan morfologinya sulit untuk dibedakan (Wardhana et al. 2006)

Patogenesis

Skabies merupakan penyakit kulit yang sangat menular, baik pada sesama anjing dan dapat pula menulari spesies lain bahkan manusia (Nahm & Corwin 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies di dalam genus Sarcoptidae dan adanya beberapa varian akibat terjadinya interbreeding yang terus menerus antarpopulasi tungau yang menginfestasi manusia dan hewan (Fain 1978 dalam Wardhana et al. 2006).

Wall & Shearer (2001) menyatakan bahwa, landak yang terinfestasi oleh tungau Sarcoptes scabiei dapat menjadi reservoir skabies bagi hewan peliharaan dan ruminansia.

Tungau yang ada pada hewan terbukti mampu menginfestasi manusia namun diduga tidak mampu menyelesaikan siklus hidupnya (Thomas et al. 1987, Meinking & Taplin 1990 dalam Wardhana et al. 2006). Banyak hewan yang menderita skabies dilaporkan menjadi sumber penularan bagi manusia. Penularan dari hewan ke manusia secara alami pernah dilaporkan dan menjadi wabah pada populasi manusia (Estes et al. 1983, Schwartzman 1983 dalam Wardhana et al. 2006). Pernah juga dilaporkan sebanyak 48 orang yang kontak dengan kucing penderita skabies 30 orang diantaranya positif tertular skabies (Chakrabarti 1986 dalam Wardhana et al. 2006).

(63)

yang menderita skabies. Bahkan dilaporkan juga anjing yang sehat tertular skabies dari gadis tersebut.

Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita atau kontak tidak langsung dengan berbagai objek yang digunakan oleh penderita, seperti handuk, kasur, selimut, dan tempat tinggal yang terkontaminasi oleh tungau (Goldsmid & Melrose 2005).

Infestasi awal tungau biasanya terjadi pada daerah yang jarang ditumbuhi oleh rambut seperti daerah kepala, meliputi daerah sekitar mata, dan telinga, daerah ventral tubuh meliputi bagian abdomen, dan daerah sekitar kelamin. Pada kaki biasanya di bagian siku, lutut, lipatan paha, dan bahkan sela-sela jari (Kelly 1977). Tungau akan menembus lapisan korneum epidermis kulit, mengisap cairan limfe dan juga memakan sel–sel epitel (Soulsby 1982).

Gejala klinis

Gejala klinis yang muncul akibat infestasi tungau ini bervariasi bergantung kepada waktu berjalannya penyakit. Pada tahap awal infestasi, kegatalan belum terlihat, dan kondisi ini akan terjadi pada minggu pertama sampai dengan minggu ketiga. Sejalan dengan berlanjutnya infestasi dan aktivitas tungau, mulai terlihat adanya lesio papula pada bagian tubuh penderita sebagaimana terlihat pada Gambar 5. Biasanya lesio ini akan terlihat jelas pada bagian tubuh penderita yang jarang ditumbuhi rambut (Bentley 2001).

Gambar 5 Papulae pada gejala awal skabies (Sumber : Bentley 2001)

(64)

Gambar 6 Pola penyebaran lesio awal skabies pada anjing (Sumber : Muller & Kirk 1976 dalam Latif 2001)

Bagian yang dilingkari pada Gambar 6 menunjukkan bagian tubuh yang paling sering memperlihatkan adanya gejala awal berupa papula pada anjing yang menderita skabies. Seiring dengan berjalannya waktu, aktivitas tungau akan meningkat misalnya pada saat tungau betina kawin dan menggali terowongan untuk meletakkan telurnya, anjing akan memperlihatkan gejala klinis berupa kegatalan yang hebat. Biasanya hal ini akan terjadi pada minggu ketiga dan keempat (Nahm & Corwin 1997).

Tungau Sarcoptes scabiei tidak mengisap darah, tetapi mengisap cairan diantara sel kulit. Selama aktivitas tersebut tungau betina akan mengeluarkan sekreta dan ekskreta yang menyebabkan terjadinya iritasi dan peradangan pada inangnya (Wall & Shearer 2001).

(65)

Gambar 7 Anjing yang terjangkit Skabies. Sumber : (Bentley 2001)

Apabila keadaan lebih parah, anjing akan menggaruk hingga berdarah. Darah yang keluar merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri kemudian akan berkembang dan menyebabkan infeksi yang akan menyebabkan adanya nanah, sehingga menimbulkan kondisi pyoderma. Bila tidak segera ditangani, akan berakibat fatal pada anjing (Grant 1986). Goldsmid & Melrose (2005) menyatakan bahwa bakteri yang paling banyak menyebabkan infeksi sekunder pada skabies adalah Staphylococcus pyogenes.

Secara histopatologi, skabies ditandai dengan adanya lesio berupa fokal hiperkeratosis, epidermal hiperplasia (penebalan kulit), dan ditemukan tungau Sarcoptes scabiei yang membentuk sarang pada lapisan korneum kulit yang menebal tersebut (Grant 1986). Gambaran histopatologi lainnya adalah ditemukannya perubahan berupa lesio infiltrasi sel–sel radang yang terdiri atas neutrofil, makrofag, dan sel–sel mononuklear. Antigen yang diekskresikan tungau masuk ke bagian lapisan epidermis dan dermis kulit. Aktivitas ini menginduksi sirkulasi antibodi dan respon imun sel media di sekitar lesio, sebagai reaksi pertahanan tubuh inang (Arlian et al. 1996)

(66)

Gambar 8 Gambaran histopatologi kulit yang terinfestasi tungau (Sumber : Sarma et al. 2009)

Ada beberapa penyakit kulit yang memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan skabies yang menjadi diagnosis pembanding skabies. Beberapa penyakit kulit tersebut diantaranya adalah dermatitis alergi karena makanan atau udara, yang pada tahap awal menyerupai skabies dengan terbentuknya pustulae, tetapi akan berlanjut menjadi berminyak. Penyakit lain seperti ringworm juga membentuk lesio yang hampir sama dengan skabies, perbedaannya adalah pada ringworm lesio yang terjadi lebih sedikit dan terlokalisasi pada satu tempat saja (Muller & Kirk 1976). Selain itu ada pula penyakit demodekosis yang juga disebabkan oleh tungau Demodex canis. Tungau Demodex canis merupakan parasit alami yang ada pada tubuh anjing. Anjing yang terjangkit demodekosis akan memperlihatkan gejala klinis yang sama dengan skabies tetapi dengan aspek yang lebih basah. Demodekosis biasanya berhubungan dengan kondisi imunosupresi (Wall & Shearer 2001). Agar tidak terkecoh dengan penyakit – penyakit yang menyerupai skabies tadi, dibutuhkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan laboratorium yang tepat untuk menghindari kesalahan penanganan skabies.

Diagnosis

Dalam penegakan diagnosis penyakit kulit yang disebabkan oleh beberapa jenis tungau seperti demodekosis, skabies, dan penyakit kulit lain seperti ringworm, biasanya dilakukan pengerokan kulit. Metode ini bertujuan untuk

Tungau Sarcoptes scabiei

Epidermis

Gambar

Tabel 1  Dosis pemberian fipronil berdasarkan bobot badan anjing
Gambar 1 Tungau  Sarcoptes scabiei var. canis jantan tampak dorsal  (a) kepala (b) pulvilli (c) duri (d) kaki (Sumber : Cornell 2010 )
Gambar 2 Tungau Sarcoptes scabiei var.canis betina tampak ventral
Gambar 5  Papulae pada gejala awal skabies
+7

Referensi

Dokumen terkait

dialami oleh pasien.. 3) Kodein adalah obat batuk kering yang akan menekan batuk pada pasien. 4) Piridoksin dan tiamin diberikan untuk mengatasi efek samping dari. isoniazid. 5)

[r]

Tujuan dari penelitian adalah (1) menentukan sisa radiofarmaka Tc 99m MDP, (2) menentukan akumulasi radiofarmaka dan paparan radiasi interna pada jantung, tulang paha

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan muatan informasi dari suatu peristiwa politik terhadap aktivitas di Bursa Efek Jakarta (BEJ) atau dengan kata lain

[r]