• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap Isolasi dan Penapisan Kapang Isolat Kapang Endofit

Kapang endofit yang digunakan pada penelitian ini diisolasi dari rumput laut dan daun mangrove serta kapang endofit koleksi Kustiariyah yang diisolasi dari spons, pasir laut dan lamun tersaji pada Tabel 1. Hasil isolasi kapang endofit pada rumput laut dan daun mangrove diperoleh masing-masing dua isolat kapang. Media yang digunakan untuk isolasi kapang ini ditambahkan kloramfenikol

12

sebanyak 1 ppm. Hal ini dilakukan untuk mencegah pertumbuhan bakteri pada media. Keempat isolat kapang hasil isolasi (D1, D3, RL6 dan RL9) dan tiga isolat kapang koleksi Kustiariyah Tarman (EN, KT19 dan SMH) diremajakan pada media PDA cawan dan dilihat secara mikroskopik pada bagian miselia kapang. Pada penelitian Kumala dan Siswanto (2007), kapang endofit dapat tumbuh pada media PDA yang telah ditambahkan dengan kloramfenikol (0,005% b/v) sebagai bahan antibakteri untuk pertumbuhan kapang.

Tabel 1 Deskripsi kapang endofit yang digunakan Sumber Kode isolat Bentuk kapang Bentuk miselium

Rumput Laut

RL6

Septa membagi hifa menjadi kompartemen. Ujung hifa monositik.

RL9

Septa membagi hifa menjadi kompartemen. Ujung hifa monositik. Konidia berbentuk seperti bulan sabit dan

memiliki satu septum

Daun mangrove

D1

Septa membagi hifa menjadi kompartemen. Ujung hifa monositik.

D3

Septa membagi hifa menjadi kompartemen. Setiap

kompartemen ada satu inti. Ujung hifa monositik.

Lamun EN

Septa membagi hifa menjadi kompartemen. Setiap

kompartemen ada satu inti. Ujung hifa monositik.

Pasir laut KT19

Hifa terbagi oleh septa menjadi kompartemen yang terdiri dari satu inti tiap bagiannya.

Spons SMH

Hifa terbagi oleh septa menjadi kompartemen yang terdiri dari satu inti tiap bagiannya. Konidia berbentuk elips tanpa septum.

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 D1 D3 RL6 RL9 EN KT19 SMH Inde ks S elul oli ti k Isolat Kapang

Semua kapang endofit yang digunakan memiliki konidia pada hifa untuk pertumbuhannya dan memiliki bentuk miselia yang berbeda-beda. Miselia pada kapang baru akan terlihat jelas pada hari pertama hingga hari ketiga. Keempat jenis isolat kapang yang telah diisolasi (isolat D1, D3, RL6, RL9) dapat tumbuh pada berbagai media yaitu media NaCl 3%, air laut dan air tawar. Hal ini diduga kapang yang tumbuh merupakan kapang laut fakultatif sehingga dapat tumbuh pada berbagai salinitas media yang berbeda. Menurut Gandjar et al. (2006), kapang laut umumnya diisolasi dari tumbuhan yang hidup di dalam laut dan sekitarnya, dari alga, hewan laut dan juga dari buih air laut. Kapang laut dapat bersifat fakultatif yaitu kapang yang berasal dari lingkungan air tawar atau terrestrial tetapi mampu tumbuh dan bersporulasi di lingkungan laut.

Kapang yang diisolasi dari lingkungan laut dapat tumbuh pada kondisi lingkungan dengan salinitas air yang berbeda-beda, contohnya salinitas air laut dengan konsentrasi garam 3-3,5%, salinitas air tawar dengan konsentrasi garam 0,05% dan lingkungan dengan salinitas yang sangat tinggi (hipersalin) yang mengandung garam sebesar 5-10% (Raghukumar et al. 2008).

Penapisan Kapang Selulolitik

Penapisan secara cepat pada mikroba selulolitik dapat dilakukan dengan pengukuran daerah bening, walaupun demikian penentuan tersebut hanya merupakan deteksi semi kuantitatif. Penapisan kuantitatif merupakan suatu konfirmasi dan hasilnya belum tentu sama dengan penapisan daerah bening (Teater and Wood 1992)

Tiga jenis isolat kapang koleksi Kustiariyah Tarman dan empat jenis isolat kapang yang telah diisolasi kemudian ditapis berdasarkan indeks selulolitiknya dengan salinitas media yang berbeda-beda yaitu dengan penambahan NaCl 3%, air laut dan air tawar. Hasil penapisan isolat kapang selulolitik terhadap nilai indeks selulolitiknya dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Penapisan kapang selulolitik dengan salinitas media yang berbeda. NaCl 3%; Air laut; Air tawar. Data yang diikuti huruf kecil yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) a b a b b b b b b b b b b b b a a a a a c d d de de e e

14

Hasil analisis ragam Univarate Analysis of Variance penapisan kapang (Lampiran 3) menunjukkan bahwa pada perlakuan penggunaan jenis isolat kapang (D1, D3, RL6, RL9, EN, KT19, SMH) dan salinitas media yang berbeda (NaCl 3%, air laut dan air tawar) memberikan perbedaan yang nyata pada taraf uji 0,05%. Hal ini berarti bahwa nilai indeks selulolitik berpengaruh nyata (p<0,05) pada penggunaan jenis isolat kapang dan salinitas media yang berbeda. Pada hubungan interaksi penggunaan jenis isolat kapang dengan jenis salinitas media memberikan hasil yang berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa nilai indeks selulolitik memberikan pengaruh nyata (p<0,05) antara perlakuan jenis isolat kapang dan salinitas media.

Hasil analisis lanjutan dilakukan menggunakan uji Duncan (Lampiran 4). Hasil uji lanjut terhadap pengaruh perbedaan salinitas media pada media dengan penambahan NaCl 3% menunjukkan nilai indeks selulolitik yang berbeda nyata dengan media dengan penambahan air laut dan air tawar. Nilai indeks selulolitik pada media dengan penambahan air laut tidak berbeda nyata terhadap media dengan penambahan air tawar. Hal ini dapat diketahui dari jilai selisih rata-rata indeks selulolitik tiap perlakuan. Berdasarkan hasil uji lanjut terhadap pengaruh perbedaan jenis isolat menunjukkan bahwa pada isolat kapang D1 memberikan pengaruh yang nyata terhadap isolat kapang lainnya. Pengunaan isolat kapang EN dan RL6 tidak memberikan pengaruh nyata terhadap indeks selulolitik pada isolat kapang D3, RL9, KT19, SMH, sedangkan pada isolat kapang D3 dan RL9 memberikan pengaruh yang nyata terhadap indeks selulolitik isolat kapang KT19 dan SMH. Berdasarkan hasil uji lanjut interaksi antara salinitas media dengan jenis isolat kapang menunjukkan bahwa media dengan penambahan air tawar dengan isolat kapang EN memiliki rata-rata indeks selulolitik tertinggi yaitu 1,36 dan tidak berbeda nyata dengan interaksi antara air tawar dengan KT19, air tawar dengan SMH, NaCl dengan isolat RL6, NaCl dengan KT19, NaCl dengan isolat SMH, air laut dengan isolat D3, air laut dengan RL6, air laut dengan SMH.

Hasil nisbah zona bening terbesar diperoleh pada isolat kapang EN artinya isolat ini memiliki potensi yang lebih efisien dalam menghasilkan enzim selulase. Semakin besar indeks selulolitik yang dihasilkan maka semakin besar enzim yang dihasilkan oleh koloni kapang tersebut. Kapang EN memiliki nilai indeks selulolitik sebesar 1,36. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai indeks selulolitik pada kapang-kapang selulolitik dari jenis Trichoderma harzianum sebesar 1, dan

Rhizopus sp. sebesar 0-4 (Jahangeer et al. 2005), Aspergillus flavus sebesar 1,4 (Purwadaria et al. 2003). Adanya zona bening yang terbentuk karena diduga adanya sekresi enzim selulase pada kapang selulolitik dan terjadi degradasi media yang mengandung selulosa sehingga mampu membentuk zona bening.

Pewarna merah kongo dapat berikatan dengan selulosa yang masih kompleks apabila selulosa pada media mampu didegradasi oleh kapang maka pewarna merah kongo tidak akan berikatan dengan media sehingga terbentuk zona bening. Apabila nutrisi pada medium tumbuhnya habis maka mikroorganisme akan memanfaatkan sumber karbon selulosa dengan mensintesis enzim selulase. Kemampuan membentuk zona bening pada substrat amorf, contohnya CMC menunjukkan adanya enzim endo-β-1,4 glukanase (CMCase) yang dapat

memutuskan ikatan β-1,4 glikosida pada serat selulosa tersebut secara acak dan banyaknya daerah amorf pada substrat tersebut menyebabkan CMC dapat dihidrolisis dengan lebih efisien (Goto et al. 1992).

Perbedaan nilai indeks selulolitik diduga karena adanya pengaruh interaksi antara salinitas media dengan isolat kapang yang digunakan. Kandungan mineral pada media dapat berpengaruh pada sekresi enzim selulase. Pada media dengan penambahan air laut dan air tawar, semua isolat kapang dapat menghasilkan zona bening dengan rata-rata indeks selulolitik yang berbeda selama 6 hari inkubasi pada suhu ruang, sedangkan pada media dengan penambahan NaCl 3% hanya isolat D1 yang tidak menghasilkan zona bening. Kemampuan kapang untuk tumbuh pada media spesifik Cellulolysis Basal Medium (CBM) menunjukkan bahwa kapang tersebut mampu memanfaatkan selulosa pada CMC sebagai salah satu sumber karbon untuk pertumbuhan. Kapang yang tidak bersifat selulolitik dalam penelitian ini diduga karena tahap dekompisisi kapang terhadap selulosa berada pada kondisi yang tidak optimum untuk mensekresikan enzim selulase, dimana media dengan NaCl 3% diduga merupakan kondisi yang sesuai dengan isolat kapang D3 sehingga isolat kapang tidak memproduksi enzim selulase yang menyebabkan tidak terdeteksinya aktivitas selulase berdasarkan uji zona bening.

Toleransi mikroorganisme terhadap salinitas bukan hanya sekedar kemampuannya tumbuh pada salinitas yang berada sesuai dengan lingkungannya tetapi mengenai respon suatu spesies terhadap perubahan salinitas (Hogarth 2007).

Pertumbuhan Isolat Kapang EN

Isolat kapang EN dari hasil tahap penapisan selulolitik memiliki potensi sebagai kapang selulolitik dengan salinitas media air tawar, selanjutnya isolat kapang EN ditumbuhkan pada media PDA air tawar selama 6 hari dan diremajakan pada media cair selama 7 hari. Bentuk isolat kapang EN pada media cawan dan bentuk miselia secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 6. Miselia pada isolat kapang EN memiliki ciri-ciri seperti septa yang membagi hifa menjadi kompartemen dan setiap kompartemen ada satu inti serta ujung hifa monositik. Pertumbuhan isolat EN dilakukan pada media cair yaitu PDB (Potato

Dextrose Broth) yang diinkubasi selama 27 hari pada suhu ruang dengan kondisi

statis. Proses inkubasi pertumbuhan kapang selama 27 hari menghasilkan miselium kapang berwarna putih. Miselium berada pada bagian atas media dan menutupi seluruh permukaan media seperti yang terlihat pada Gambar 7. Bobot biomassa kering pada pertumbuhan isolat kapang EN dihitung berdasarkan berat kering miselia kapang yang telah dikeringkan selama 24 jam. Bobot biomassa meselia kering pada tingkat pertumbuhan isolat kapang EN berada pada kisaran 0,078 sampai 0,8 gram/100 mL media.

(a) (b)

16

Gambar 7 Isolat kapang EN pada media PDB

Pertumbuhan isolat kapang EN yang dilakukan selama 27 hari dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Kurva pertumbuhan isolat kapang EN selama 27 hari.

Bobot biomassa miselia kering tertinggi dicapai pada kultur hari ke 21 dengan berat mencapai 0,855 gram per 100 mL media. Pada kurva pertumbuhan isolat kapang EN selama 27 hari dapat diketahui bahwa pertumbuhan isolat kapang EN memiliki fase adaptasi untuk menyesuaikan dengan kondisi media cair selama 3 hari. Pada kultur hari ke-3 hingga ke-12, isolat kapang EN memasuki fase pertumbuhan eksponensial dimana miselium timbuh dengan cepat dan konstan. Hal ini diduga karena kapang memanfaatkan semua nutrien media untuk pertumbuhan sehingga kapang mengalami peningkatan bobot miselianya dengan cepat. Fase pertumbuhan lambat terjadi pada kultur hari ke-12 hingga ke-21. Kecepatan pertumbuhan pada fase ini menurun dibandingkan pada fase log. Pada kultur hari ke-21 hingga ke-27, isolat kapang EN memasuki tahap fase stasioner. Berat kering miselium kapang tetap bahkan cenderung turun.

Tahapan pertumbuhan mikroorganisme dalam suatu media dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan media. Pada fase adaptasi, mikroorganisme dipengaruhi

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 B era t ka pa ng (g /100 mL )

oleh mediumnya yaitu jika medium dan lingkungan pertumbuhannya sama maka tidak diperlukan waktu adaptasi tetapi jika nutrien medianya berbeda dari sebelumnya maka diperlukan waktu penyesuaian untuk mensintesa enzim. Jumlah sel awal akan mempengaruhi kecepatan fase adaptasi. Pada fase lag, kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh medium tumbuhnnya seperti pH, suhu, kelembaban dan kandungan nutrien. Pada fase ini kultur paling sensitif terhadap lingkungan. Pada akhir fase log, kecepatan pertumbuhan populasi menurun karena nutrient di dalam media sudah berkurang serta adanya hasil metabolisme yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Fase stasioner jumlah sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Pada fase ini nutrient sudah berkurang sehingga kemungkinan komposisi sel pada fase ini berbeda dengan sel yang tumbuh pada fase log. Ukuran sel menjadi lebih kecil karena sel tetap membelah meskipun nutrien sudah berkurang.

Media pertumbuhan kapang yang digunakan yaitu PDB, dimana media ini mengandung sumber karbon yang berasal dari kentang dan dextrose. Menurut Kumala dan Muhamad (2008), senyawa-senyawa sumber karbon dan nitrogen merupakan komponen terpenting dalam medium karena sel-sel mikroorganisme sebagian besar terdiri dari unsure-unsur karbon dan nitrogen, selain itu juga mengandung garam-garam organik dan beberapa mineral.

Tahap Hidrolisis

Bahan baku yang digunakan merupakan limbah padat agar-agar dalam bentuk kering dengan ukuran partikel ±100 mesh. Pencacahan bahan baku bertujuan untuk membantu mempercepat proses penguraian selulosa oleh kapang. Semakin luas permukaan yang tersedia bagi mikroorganisme maka akan mempercepat proses degradasi material-material organik yang terdapat di dalam substrat oleh mikroorganisme pengurai. Sebelum pembuatan bioetanol, bahan baku (limbah) dikarakterisasi terlebih dahulu. Hasil karakterisasi limbah tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil karakterisasi limbah padat agar-agar kertas (%)

Komponen

Jumlah komposisi (%) Limbah agar-agar

(Cap Apel) Limbah alginat

a Limbah agar-agar (agarindo)b Selulosa 30,18 30,27 2,05 Hemiselulosa 13,87 - 9,11 Lignin 5,76 - 4,13 Kadar air 9,91 - 4,64 Kadar abu 28,46 - 80,24 a Sari et al. (2011), bSetyaningsih et al. (2011)

18

Kadar air limbah agar-agar pada penelitian ini sebesar 9,91%, nilai tidak berbeda dengan nilai kadar air pada penelitian Setyaningsih et al. (2011) yang memiliki kadar air bahan baku sebesar 4,64%. Kandungan air pada bahan berpengaruh terhadap kesegaran dan daya simpan bahan baku (Sari et al. 2011). Menurut Loebis (2008) bahwa kandungan air berpengaruh terhadap pertumbuhan kapang dan aktivitas enzim.

Kadar abu pada limbah mencapai 28,46% tetapi nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu pada penelitian Setyaningsih et al. (2011) yaitu memiliki nilai kadar abu pada bahan baku sebesar 80,24%. Kadar abu yang tinggi pada bahan baku ini diduga karena masih banyak pengotor selama pengolahan agar-agar kertas, contohnya kerikil, kayu dan lain-lain yang terbawa pada bahan baku (limbah).

Kandungan selulosa pada bahan baku sebesar 30,18%. Kandungan selulosa pada limbah padat agar-agar kertas ini memiliki jumlah selulosa yang tidak jauh berbeda dengan kandungan selulosa pada limbah padat pengolahan alginat dari rumput laut coklat yang digunakan oleh Sari et al. (2011) untuk produksi bioetanol yaitu sebesar 30,27%. Kandungan lignin pada penelitian ini jauh lebih rendah yaitu sebesar 5,76% dibandingkan dengan kandungan lignin pada bahan baku yang digunakan oleh Samsuri et al. (2007) yaitu 24,2% tetapi tidak jauh berbeda dengan limbah agar-agar dari Agarindo yaitu sebesar 4,13%. Lignin yang terdapat pada bahan baku dapat menghalangi atau memperlambat akses enzim dalam memecah polisakarida pada proses hidrolisis sehingga dapat mempengaruhi jumlah etanol yang dihasilkan (Sun et al. 2002).

Lignin merupakan penyusun jaringan tumbuhan selain selulosa dan hemiselulosa. Senyawa ini merupakan polimer aromatik dari phenilpropanoid. Lignin berfungsi sebagai perekat pada jaringan pengangkut tumbuhan dan melindungi struktur yang tersusun dari polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) dari serangan organisme lain sehingga lignin bersifat rekalsitran (Subowo 2010) sehingga enzim selulase akan sulit memecah selulosa apabila substratnya masih banyak mengandung lignin. Jaringan lignin dapat didegradasi menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh mikroorganisme xilanolitik yang memiliki enzim fenol oksidase sehingga dapat diserap oleh mikroorganisme lain.

Konsentrasi Kapang dan Waktu Hidrolisis

Nilai gula pereduksi dalam proses hidrolisis merupakan indikator penentuan konsentrasi kapang dan lama waktu hidrolisis. Hasil penentuan konsentrasi kapang dan waktu hidrolisis terhadap nilai gula pereduksi (glukosa) dapat dilihat pada Gambar 9.

Hasil analisis ragam Univarate Analysis of Variance konsentrasi kapang dan waktu hidrolisis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pada perlakuan penggunaan konsentrasi kapang (2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20%) dan waktu hidrolisis yang berbeda (3, 6, 9 hari) memberikan pengaruh yang yang nyata pada taraf uji 0,05%. Hal ini berarti bahwa nilai glukosa berpengaruh nyata (p<0,05) pada penggunaan konsentrasi kapang dan waktu hidrolisis yang berbeda. Pada hubungan interaksi antara penggunaan konsentrasi kapang dengan lama hidrolisis memberikan hasil yang berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa nilai indeks selulolitik memberikan pengaruh nyata (p<0,05) antara perlakuan jenis isolat kapang dan salinitas media.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 2% 4% 6% 8% 10% 12% 14% 16% 18% 20% Gula pe re duksi (mg /L ) Konsentrasi kapang

Gambar 9 Pengaruh konsentrasi kapang dan lama waktu hidrolisis terhadap total gula pereduksi. hari ke-3; hari ke-6; hari ke-9. Huruf yang

berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Hasil analisis lanjutan dilakukan menggunakan uji Duncan (Lampiran 6). Hasil uji lanjut terhadap pengaruh perbedaan waktu hidrolisis selama 3 hari menunjukkan nilai gula pereduksi yang berbeda nyata dengan perlakuan yang dihidrolisis selama 6 dan 9 hari. Nilai gula pereduksi selama 6 hari hidrolisis berbeda nyata dengan nilai gula pereduksi yang dihidrolisis selama 9 hari. Hal ini dapat diketahui dari nilai selisih rata-rata gula pereduksi tiap perlakuan. Berdasarkan hasil uji lanjut terhadap pengaruh perbedaan konsentrasi kapang menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi 2% memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap nilai gula pereduksi pada semua perlakuan konsentrasi kapang. Beberapa perlakuan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata yaitu pada perlakuan konsentrasi kapang 6% dengan 10% dan konsentrasi kapang 12% dengan 16%. Penggunaan konsentrasi kapang 8% memberikan hasil yang tidak berbeda dengan konsentrasi kapang 14% dan 18%. Berdasarkan hasil uji lanjut interaksi antara penggunaan konsentrasi kapang dengan waktu hidrolisis yang berbeda menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi kapang 20% dengan waktu hidrolisis 3 hari memiliki nilai rata-rata glukosa tertinggi yaitu 397,33 mg/L dan hasilnya berbeda signifikan dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Nilai gula pereduksi pada perlakuan konsentrasi kapang 20% lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi kapang lainnya. Hal ini diduga adanya kerja enzim selulase yang semakin tinggi dengan seiring banyaknya konsentrasi kapang yang digunakan, sedangkan pada perlakuan lama waktu hidrolisis terjadi penurunan nilai gula hingga hari kesembilan. Peningkatan nilai gula pereduksi yang dihasilkan menunjukkan adanya aktivitas selulolitik pada kapang. Enzim selulase pada kapang dapat memutus ikatan β-1,4 glikosidik dengan produk akhir gula sederhana, contohnya glukosa, maltosa, maltoheksosa dan maltopentosa. Penurunan nilai gula pereduksi selama hidrolisis diduga karena adanya pemanfaatan gula-gula sederhana oleh kapang selulolitik untuk proses metabolisme pertumbuhan kapang. Total gula pereduksi dengan penggunaan

G f F f A f C f DE f C f B f E f B f D f a b c a b c a b c a b c a b c a b c a b c a b c a b c a b c

20

konsentrasi kapang 20% selama 3 hari hidrolisis sebesar 0,04% (b/v). Pada penelitian Sari et al. (2011) didapatkan nilai total gula pereduksi tertinggi (0,25%, b/b) pada limbah alginat yang dihidrolisis oleh kapang Thrichoderma viride pada hari ketiga dan cenderung turun hingga hari kesembilan. Hal ini diduga adanya serangan selulase secara sinergis antara CMCase, selobiohidrolase dan beta-glukosidase dalam memecah ikatan selulosa yang kompleks.

Umur Kapang

Pada proses hidrolisis dilakukan optimasi umur kapang terhadap nilai gula pereduksi yang dihasilkan. Hasil gula pereduksi (glukosa) terhadap penggunaan umur kapang yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Pengaruh umur kapang terhadap nilai total glukosa. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).

Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa penggunaan umur panen kapang yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai gula pereduksi yang dihasilkan (Lampiran 7). Hasil uji lanjut penggunaan umur kapang terhadap nilai glukosa (Lampiran 8) menunjukkan konsentrasi total glukosa tertinggi dicapai pada kapang dengan umur 18 hari, tetapi total gula pada umur kapang 9 hari dengan 18 hari memberikan hasil yang tidak berbeda nyata.

Total glukosa meningkat pada umur kapang 9 hari, kemudian konsentrasi gula menurun pada hidrolisis dengan umur kapang 12 hari hingga 21 hari. Hal ini diduga kapang dengan umur 9 hari mengalami fase logaritmik. Pada kurva pertumbuhan isolat kapang EN diketahui bahwa fase logaritmik/eksponensial terjadi pada hari ke 9 hingga hari ke 12. Selain itu, aktivitas enzim selulase mencapai nilai maksimum karena pada fase pertumbuhan kapang akan mengurai polimer yang lebih kompleks (selulosa) sebagai nutrisi pertumbuhannya. Selulosa pada limbah agar-agar dimanfaatkan olek isolat kapang sebagai sumber karbon untuk proses pertumbuhannya. Molekul yang terlalu besar untuk diserap akan dihancurkan oleh enzim ekstraseluler sehingga pada fase ini aktivitas enzim akan maksimum. Apabila aktivitas enzim pada kapang selulolitik besar, maka proses degradasi material substrat (selulosa) akan lebih cepat dan menghasilkan nilai

0 50 100 150 200 250 300 350 3 6 9 12 15 18 21 T otal Glukosa ( mg /L )

Umur Kapang (hari)

abc ab bc de a cd e

0 2 4 6 8 10 12 0 1 2 3 4 5 6 7 L og se l ra g i komer sial

Waktu fermentasi (hari)

gula sederhana yang semakin besar. Menurut Subowo (2010) kapang akan mengurai selulosa menjadi senyawa karbon yang lebih sederhana sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi selama pertumbuhan.

Perlakuan terpilih dari proses hidrolisis kemudian dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu fermentasi. Perlakuan terpilih pada proses hidrolisis enzimatis limbah agar-agar menggunakan isolat kapang EN yaitu dengan menggunakan kapang berumur 3 hari dengan konsentrasi 20% yang dihidrolisis selama 3 hari. Komposisi kandungan selulosa limbah agar-agar yang terhidrolisis tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi selulosa setelah proses hidrolisis Komposisi Jumlah Sebelum

Hidrolisis (%) Jumlah setelah hidrolisis (%) Persentase terhidrolisis Selulosa 30,18 0,81 97,32 Hemiselulosa 13,87 5,22 62,36 Lignin 5,76 2,27 39,41 Tahap Fermentasi Waktu Fermentasi

Fermentasi merupakan aplikasi metabolisme mikroba untuk mengubah suatu bahan baku menjadi produk yang bernilai tinggi, contohnya asam-asam organik, biopolimer dan alkohol. Proses fermentasi alkohol yaitu suatu proses yang mengubah gula sederhana contohnya glukosa menjadi alkohol dengan bantuan mikroorganisme (khamir) pada kondisi yang sesuai (Hartoto 1992). Pada proses fermentasi, substrat yang digunakan adalah filtrat hasil hidrolisis limbah agar-agar oleh isolat kapang EN. Hasil pengukuran pertumbuhan ragi komersial pada media fermentasi dapat dilihat pada Gambar 11.

22

Hasil pengukuran pertumbuhan ragi komersial selama fermentasi menunjukkan bahwa kepadatan ragi komersial dalam hidrolisat sebanyak 7,48x107 CFU sampai 5,84x109 CFU. Gambar 11 menunjukkan bahwa pertumbuhan ragi komersial memasuki fase pertumbuhan lambat pada fermentasi hari ke 0 hingga hari ke 1. Selanjutnya pertumbuhan ragi komersial memasuki

Dokumen terkait