• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini menggunakan 53 sampel daging ayam beku yang dilalulintaskan melalui pelabuhan penyeberangan Merak pada Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon Banten. Sampel berasal dari daerah Jakarta (16 sampel), Bekasi (11 sampel), Bogor (8 sampel), dan Serang (18 sampel). Hasil pengujian keberadaan Salmonella sp. pada sampel daging ayam beku dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Keberadaan Salmonella sp. dalam daging ayam beku berdasarkan daerah asal Daerah Asal Jumlah Sampel Keberadaan Salmonella sp.

Menurut SNI No. 01-7388-2009

Persentasi (%)

Jakarta 16 Negatif Negatif 0

Bekasi 11 Negatif Negatif 0

Bogor 8 Negatif Negatif 0

Serang 18 2 Negatif 11.1

Total 53 2 - 3.77

Berdasarkan pengujian terhadap sampel tersebut, menunjukkan keberadaan Salmonella sp. hanya ditemukan pada sampel yang berasal dari daerah Serang yaitu sebanyak dua sampel dengan persentase 11.1% dari 18 sampel, sedangkan pada daerah Jakarta, Bekasi, dan Bogor tidak ditemukan keberadaan

Salmonella sp. Ditemukan Salmonella sp. pada sampel daging ayam beku yang

berasal dari Serang dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu kontaminasi primer dan kontaminasi sekunder. Kontaminasi primer merupakan kontaminasi yang berasal dari hewan yang terinfeksi Salmonella sp. secara transovarial. Sementara yang kontaminasi sekunder adalah kontaminasi melalui tangan pekerja, peralatan, air, maupun limbah cair (Sudarwanto 2007).

Beberapa penelitian terhadap cemaran Salmonella sp. pada daging ayam juga telah dilakukan di beberapa negara. Beli et al. (2001) menyebutkan bahwa

Salmonella sp. ditemukan pada 6.5% sampel daging ayam yang diperiksa selama

kurun waktu 1996-1998 di Albania. Goncagul et al. (2005) dalam penelitiannya tentang prevalensi Salmonella sp. dalam daging ayam di Turki menemukan bahwa dari 315 sampel daging ayam diperoleh prevalensi sebesar 18.09%. Dalam

21

penelitian Kozacinski et al. (2006) mengenai kualitas mikrobiologis daging ayam di Kroasia didapatkan prevalensi Salmonella sp. sebesar 10.60%. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut, prevalensi Salmonella sp. dalam daging ayam berkisar antara 6.5–18.09%.

Anggraini (2000) melakukan pengujian terhadap keberadaan Salmonella sp. di kota Semarang didapatkan jumlah kuman terendah 11.2x106 per gram (pasar Wonodri), sedangkan jumlah tertinggi 28.7x106 (Pasar Kedungmudnu). Sampel yang diambil adalah 31 sampel dari 31 penjual yang berasal dari 26 pasar secara acak. Banyaknya kuman yang ditemukan dapat berasal dari higiene penjamah, perlakuan penjual dan pembeli lain, sanitasi lingkungan selama proses penyembelihan sampai penjualan, serta kontaminasi lain atau kuman dari ayam itu sendiri.

Salmonella sp. dapat ditemukan di produk pangan seperti daging ayam

beku, telur, dan daging sapi, dan buah-buahan. Kontaminasi Salmonella sp. dapat terjadi pada proses penyembelihan hewan dan pengolahan makanan. Pada proses penyembelihan daging ayam dapat terkontaminasi melalui kontak dengan isi perut saluran perncernaan, walau dalam jumlah kecil. Daging ayam dapat terkontaminasi pada saat dicuci atau disirami dengan air yang terkontaminasi oleh pupuk kandang atau air dari saluran pembuangan limbah peternakan unggas.

Pada proses pengolahan makanan sumber utama penyebab infeksi

Salmonella sp. adalah bahan makanan yang tidak dipanaskan secara baik seperti

daging ayam, telur, daging sapi atau susu. Faktor lain yang mempengaruhi terjadi salmonellosis adalah penggunaan bahan makanan mentah yang sudah terkontaminasi atau mengandung Salmonella sp., kontaminasi silang misalnya penggunaan pisau untuk ayam mentah tanpa dicuci terlebih dahulu digunakan juga untuk memotong ayam matang, atau penyimpanan makanan pada temperatur yang tidak tepat. Salmonella sp. juga dapat berpindah dari manusia yang terinfeksi yang sedang bertugas mengolah makanan itu. Salmonella sp. dapat berpindah dari tangan pengolah makanan yang tidak mencuci tangan dengan benar.

Infeksi Salmonella sp. sering terjadi pada musim panas karena mikroba ini berkembang biak pada suhu hangat. Salmonella sp. jika dibiarkan dalam keadaan hangat dan pasokan makanan yang cukup, maka ia dapat membelah diri

22

dan berkembang biak setengah jam sekali hingga mencapai jumlah jutaan sel dalam jangka waktu 12 jam. Sebagai hasilnya, makanan yang tercemar ringan pada malam hari jika dibiarkan di suhu ruang dapat menjadi infeksius keesokan paginya. Jika makanan yang tercemar segera disimpan di dalam kulkas, maka bakteri tidak akan membelah diri.

Ada dua jenis penyakit yang ditimbulkan oleh Salmonella sp. yaitu salmonellosis dan demam enterik. Salmonellosis dapat disebabkan oleh

Salmonella choleraesuis dan Salmonella Enteritidis, sedangkan demam

enterik/demam typoid disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella

parathypi. Salmonella Enteriditis dan Salmonella thypi dapat menyebabkan

infeksi bila sudah berkembang biak menjadi 100 000, sedangkan Salmonella

typhimurium dengan jumlah 11 000 sudah dapat menimbulkan infeksi. Waktu

inkubasi salmonellosis adalah antara 5-72 jam, biasanya 12-48 jam, dengan gejala-gejala sakit perut, diare, demam, muntah, dehidrasi, sakit kepala, dan lemas. Salmonellosis dapat fatal bagi bayi atau orang tua yang daya tahan tubuhnya lemah. Perkembangan Salmonella sp. pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung yang ada dalam tubuh (Hiasinta 2001).

Untuk menghindari penularan infeksi Salmonella sp., sisa kotoran, urin atau muntahan penderita harus dibuang dengan hati-hati, sebab dapat menjadi sumber penularan. Sisa makanan yang diduga menyebabkan infeksi harus segera dibuang dan jangan sampai bercampur dengan makanan lain. Piring, pisau maupun alat dapur lain yang tersentuh makanan yang diduga mengandung

Salmonella sp. harus dicuci dengan air panas atau direbus agar mikroba mati.

Secara umum pembekuan atau pendinginan dapat mencegah perbanyakan segala jenis bakteri karena bakteri berada di dalam keadaan suspensi. Kandungan garam, gula dan asam dalam konsentrasi tinggi ternyata dapat mencegah perbiakan bakteri. Mikroba akan mati pada suhu tinggi, jika makanan dipanaskan hingga mencapai suhu diatas 160 °F atau 78 °C selama beberapa detik parasit, virus dan bakteri (kecuali jenis Clostridium yang akan berubah bentuk menjadi spora yang tahan panas) akan terbasmi.

Tindakan pencegahan sederhana dapat mengurangi resiko timbulnya penyakit yang dibawa oleh makanan, antara lain masak daging ayam hingga

23

matang, hindari proses saling mencemar antara satu jenis makanan dengan lainnya, hindari pencemaran silang dengan cara mencuci tangan, peralatan dan alas potong (telenan) segera setelah terjadi kontak dengan daging sapi ataupun daging ayam. Sebelum menyentuh jenis makanan lainnya, letakkan daging yang telah dimasak pada wadah yang bersih. Hindari meletakkan daging masak di tempat yang sebelumnya digunakan untuk menampung daging ketika masih mentah. Konsumen harus menyimpan daging ayam pada suhu di bawah 4 °C (masa disimpan daging pada suhu -1-2 °C selama 1-2 hari, sedangkan daging beku bisa disimpan pada suhu dibawah -18 °C selama 6 bulan). Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah cuci tangan sebelum menangani, mempersiapkan, mengolah/memasak makanan. Menggunakan pakaian yang bersih (apron) untuk menghindari pencemaran, menutup luka pada tangan dengan plester kedap air (Anonim 2010).

Sementara bagi produsen diharapkan dapat menerapkan prinsip-prinsip

hazard analysis critical control point (HACCP) sehingga menghasilkan pangan

yang aman, bermutu, dan bergizi (Jay 1996). Selain itu produsen juga bisa melakukan klorinasi sesuai dengan aturan yang diijinkan pada proses pencucian karkas dengan tujuan mengurangi jumlah kuman yang terdapat dalam daging ayam.

24

Dokumen terkait