• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Tegakan Eucalyptus grandis

Pengukuran di lapangan dilakukan dengan memilih 56 plot pengamatan berukuran 30 x 30 m yang mewakili tanaman tahun tanam 2005 (berumur 1 tahun pada saat pengambilan data Citra) dan 2004 (berumur 2 tahun pada saat pengambilan data Citra). Letak plot pengamatan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 3. Pemilihan plot pengamatan dengan tahun tanam tersebut didasarkan pada ketersediaan citra yang merupakan Citra Landsat TM 5 tahun 2006. Pada seluruh pohon dalam plot dilakukan pengukuran diameter setinggi dada (diamater at breast height/dbh) untuk memperoleh biomassa pohon berdasarkan model allometrik penduga biomassa yang telah dibangun sebelumnya di lokasi penelitian.

Pendugaan biomassa dengan menggunakan model allometrik dilakukan dengan terlebih dahulu mengkonversi data diameter hasil pengukuran di lapangan menjadi diameter pada tahun 2006. Konversi dilakukan dengan memperhitungkan riap diameter pohon E. grandis berdasarkan hasil penelitian Tobing (2007). Riap diameter adalah pertambahan diameter pohon setiap tahun.

Pengurangan diameter hasil pengukuran diameter dengan riap diameter dilakukan untuk menyesuaikan data diameter pohon dengan citra yang tersedia. Berdasarkan tabel 3 berikut diketahui diameter hasil pengukuran berbeda jauh dengan diameter tahun 2006, yang merupakan hasil pengurangan diameter pengukuran dengan riap diameter. Hal ini sesuai dengan pendapat Dephut (1993), yang menyatakan bahwa untuk hutan tanaman, biasanya pertumbuhan diameter

mengikuti grafik berbentuk S (Sigmoid), oleh karena pertumbuhan pada mulanya agak lambat kemudian cepat, lalu menurun. Selengkapnya karakteristik tegakan E. grandis dapat dilihat pada Lampiran 3.

Penyusunan Model Kandungan Karbon

Hubungan Kandungan Karbon dengan DN yang disusun pada taraf uji 95 % menghasilkan tiga model yang signifikan pada taraf tersebut, yakni model hubungan linier, logaritma dan ekponensial. Hubungan linier antara Kandungan Karbon dengan DN yang diperoleh dari persamaan regresi adalah Y = 3,241 + 0,148 Blue. Model logaritma hubungan kandungan Karbon dengan digital number adalah Y = 23.512 Log B – 29.167. Model Eksponensial hubungan Kandungan Karbon dengan DN adalah Y = e1,616 + 0,008 NIR. Berdasarkan hasil penyusunan model terpilih pada Tabel 2, menerangkan bahwa penggunaan band Blue dan Near Infra Red (NIR) berperan untuk menjelaskan kandungan karbon di atas permukaan tanah tegakan A. mangium. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), saluran Blue dengan panjang gelombang 0,45 μm – 0, 52 μm dirancang untuk mendukung analisis sifat khas vegetasi, sedangkan saluran NIR dengan panjang gelombang 0,76 μm – 0,90 μm merupakan saluran citra landsat yang tanggap terhadap seluruh biomassa vegetasi yang terdapat pada suatu daerah kajian.

Tabel 2. Model penduga kandungan karbon berdasarkan DN

No Model penduga Kandungan Karbon R2 (%) F hit Sig 1 Model Linier Y = 3,241 + 0,148 B 9,3 5,533 0,022 2 Model Logaritma Y = 23,512 Log B – 29,167 9,5 5,701 0,02 3 Model Eksponensial Y = e1,616 + 0,008 NIR 7,7 4,446 0,04

Pengujian Ketelitian Model Penduga Cadangan Karbon Uji Signifikansi

Model hubungan antara Kandungan Karbon dengan DN memberikan indikasi adanya hubungan antara Kandungan Karbon dengan DN, yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,022; 0, 02 dan 0,04. Menurut Algifari (2000), pengujian koefisien regresi dengan probabilitas dilakukan dengan membandingkan antara nilai probabilitas dengan tingkat signifikansi yang digunakan. Jika probabilitas lebih kecil dari signifikansi yang digunakan, maka variabel independen yang diuji berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya. Pengujian dilakukan pada taraf nyata 95 % (5 %), (0,022; 0, 02 dan 0,04 < 0,05), maka terdapat hubungan yang nyata antara Kandungan Karbon dengan DN.

Uji Kenormalan Data (Normalitas)

Gambar 3 . Tampilan plot uji kenormalan model linier hubungan kandungan karbon dengan digital number

Gambar 4 . Tampilan plot uji kenormalan model logaritma hubungan kandungan karbon dengan digital number

Tampilan plot uji kenormalan data model hubungan Kandungan Karbon dengan DN pada Gambar 3, 4, dan 5 sudah memenuhi syarat model persamaan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing tampilan plot yang terdistribusi normal dimana penyebaran data amatan kumulatif (Observe Cumulative Probability) di sekitar garis diagonal dan penyebarannya mengikuti arah garis diagonal (garis normal) yang merupakan kriteria (Expected Cumulative Probability). Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (2000) yang menyatakan jika nilai PP Plots terletak diantara garis diagonal (tidak menyimpang terlalu jauh dari garis diagonal) maka dikatakan data terdistribusi normal.

Gambar 5 . Tampilan plot uji kenormalan model eksponensial hubungan kandungan karbon dengan digital number

Uji Keaditifan Model (Model Fit/ Heterokedasitas)

Asumsi heterokedasitas adalah asumsi dalam regresi dimana varians dari residual tidak sama untuk satu pengamatan ke pengamatan yg lain. Jika plot terpencar, tidak berpola (acak) maka dikatakan tidak terjadi heterokedasitas. Tampilan plot uji keaditifan model hubungan Kandungan Karbon dengan DN pada Gambar 6,7 dan 8 memenuhi syarat sebagai model persamaan yang baik.

Gambar 6. Tampilan plot uji heterokedasitas model linier hubungan kandungan karbon dengan digital number

Gambar 8. Tampilan plot uji heterokedasitas model eksponensial hubungan kandungan karbon dengan digital number

Gambar 7. Tampilan plot uji heterokedasitas model linier hubungan kandungan karbon dengan digital number

Pengujian Keakuratan Model (koefisien determinasi/R2)

Pengujian keakuratan model digunakan untuk melihat besaran efek atau pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Semakin kecil R2, semakin lemah hubungan kedua variabel. Koefisien determinasi 9,3 % menyatakan bahwa variasi Kandungan Karbon yang dapat dijelaskan oleh model tersebut adalah 9,3 %. sisanya, 91,7 %, variasi kandungan Karbon dipengaruhi oleh faktor lain yang berada di luar model linier tersebut. Koefisien determinasi 7,7 % menyatakan bahwa variasi Kandungan Karbon dapat dijelaskan oleh ln DN dan 92,3 % dipengaruhi oleh faktor lain. Model yang diperoleh menunjukkan hubungan yang rendah antara Kandungan Karbon dengan DN. Algifari (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi koefisien determinasi, maka semakin tinggi pula kemampuan model regresi menjelaskan variasi variabel dependen.

Estimasi karbon tegakan Acacia mangium Willd menggunakan citra Landsat ETM+ DAN SPOT-5 di BKPH Parung Panjang KPH Bogor menghasilkan model dengan koefisien determinasi seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Model terpilih penduga kandungan karbon tegakan Acacia mangium Willd

Model Terbaik R2 (%)

Model Landsat ETM+ :

Y = 43,448E+11G-3,69MIRI-2,88 42,8

Model SPOT-5 :

Y=1.06865E+13G-4,8 R0,8 NIR-1,15MIRI-1,6 44,2

Rendahnya nilai koefisien determinasi model hubungan penduga karbon pada hasil penelitian disebabkan oleh jauhnya rentang waktu antara tahun pengambilan citra dengan waktu pengukuran biomassa di lapangan berdasarkan model

pengukuran diameter di lapangan, tegakan E. grandis mengalami pertumbuhan. Pendugaan pertumbuhan dengan menggunakan faktor riap memberikan bias. Faktor riap tidak dapat menggambarkan pertumbuhan tegakan secara pasti, dimana rumus yang digunakan adalah hasil penelitian di Sektor Tele yang meiliki kondisi lingkungan yang berbeda dengan sektor Aek Nauli. Jenis tanah di daerah penelitian adalah Dystropepts, Hydrandepts, Dystrandept dan Humitropepts, sedangkan jenis tanah di Sektor Tele adalah Tropohemists, Dystopepts, hydradepts dan Dystrandept. Menurut Latifah (2004) pertumbuhan dan hasil tegakan sangat bersifat site spesific. Pertumbuhan suatu tegakan merupakan resultante dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah sifat/genotype dari jenis yang bersangkutan, sedangkan faktor eksternal mencakup kualitas tempat tumbuh ,kondisi persaingan dan perlakuan silvikultur yang diberikan.

Uji Multikoliniearitas

Menurut Algifari (2000), multikolinearitas terjadi jika terdapat hubungan yang sempurna atau mendekati sempurna (koefisien korelasi tinggi atau bahkan 1) antara variabel independen dengan variabel dependen. Multikoliniearitas adalah kejadian yang menginformasikan terjadinya hubungan antara variabel-variabel bebas (interkorelasi) dan hubungan yang terjadi cukup besar. Model persamaan yang baik adalah model persamaan yang bebas multikolinieritas.

Berdasarkan sidik regresi pada Tabel 4 diperoleh nilai VIF 1,000. Nilai VIF yang diperoleh menunjukkan bahwa model hubungan kandungan karbon dengan DN tidak menunjukkan adanya gejala multikolinearitas. Nilai VIF ketiga

model tersebut menunjukkan bahwa model memenuhi syarat sebagai model penduga cadangan karbon yang baik. Oleh karena itu, persamaan ini layak digunakan

Tabel 4. Nilai varians of inflasi model penduga kandungan karbon

No Model Penduga Kandungan Karbon VIF

1 Model Linier Y = 3,241 + 0,148 Blue 1,000 2 Model Logaritma Y = 23,512 Log B – 29,167 1,000 3 Model Eksponensial Y = e1,616 + 0,008 NIR 1,000 .

Pemilihan Model Terbaik

Berdasarkan hasil pengujian, model yang terbaik untuk menduga kandungan karbon tegakan E. grandis adalah model logaritma. Model tersebut memiliki koefisien regresi yang lebih besar daripada model eksponensial dan model linier, yakni 9,5 % (Tabel 5). Selain itu, model ini juga memiliki nilai signifikansi yang lebih baik dai kedua model lainnya. Penggunaan band Blue berperan untuk menduga kandungan karbon E. grandis.

Tabel 5. Model terbaik hubungan digital number dengan kandungan karbon No Model penduga Kandungan Karbon R2 (%) F hit Sig 1 Model Logaritma

Y = 23,512 Log B – 29,167 9,5 5,701 0,02

Hubungan antara digital number dengan kandungan karbon baik Landsat ETM+ relatif kecil. Dengan demikian apabila menggunakan satu peubah bebas dalam penyusunan model akan menghasilkan keter-andalan model yang relatif kecil dibandingkan dengan menggunakan lebih dari satu peubah. Model terbaik Y = 23,512 Log B – 29,167 digunakan untuk memperlihatkan hubungan kandungan karbon

dengan logaritma DN, yakni band 1. Kandungan Karbon di atas permukaan tanah daerah penelitian adalah sebesar 8.188,0 ton dengan luas areal 2.076,02 ha, dengan perincian pada Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata kandungan karbon berdasarkan model terbaik

No Umur Tegakan Luas (ha) Total Kabon (ton) Rata-rata Karbon (Ton/ha) 1 1 tahun 769,52 2.601,50 3,38 2 2 tahun 1.306,50 5.586,50 4,28 Total 2.076,02 8.188,00 3,83

Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa tegakan E. grandis mempunyai kandungan karbon di atas permukaan tanah sebesar 8.188,0 ton. Rata-rata kandungan karbon pada tegakan berumur 1 tahun sebesar 3, 38 ton/ha dan 4,28 ton/ha pada tegakan berumur 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian Onrizal, Hartono, dan Kusmana (2006), tegakan E. grandis yang berumur dua tahun pada areal PT TPL, Tbk Sektor Tele dengan metode allometrik memiliki kandungan karbon sebesar 30,78 ton/ha. Hasil pendugaan kandungan karbon tegakan A. mangium berumur satu tahun dan dua tahun dengan menggunakan citra landsat TM di BKPH Parung Panjang KPH Bogor berturut-turut adalah sebesar 8,36 dan 9,62 ton/ha (Dahlan dan Istomo, 2005). Heriansyah, dkk (2003) di RPH Maribaya, BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, mendapatkan biomassa tegakan Acacia mangium umur 10 tahun sebanyak 3,78 ton/ha.

Karbon adalah komponen kunci dari berbagai gas rumah kaca, termasuk yang paling umum, karbondioksida. Karbon terestrial adalah karbon yang berada pada sistem terestrial. Pada saat ini emisi karbon terestrial yang berasal dari penggunaan lahan dan yang merupakan sumber terbesar kedua dari emisi gas rumah kaca akibat ulah manusia secara global telah bertambah sebesar 20%. Sebagian besar emisi gas rumah kaca memang bersumber dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut di kawasan tropik negara-negara yang sedang berkembang. Dengan muatan yang melewati batas di atmosfer, kita mempunyai dua pilihan mitigasi perubahan iklim yang saling melengkapi. Kita dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang terus terjadi ke atmosfer kita.

Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan dengan ”net growth” (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra. Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer.

Berkaitan dengan kemampuan hutan dalam menyerap karbon, perdagangan emisi atau perdagangan karbon merupakan sebuah paradigma baru dalam sektor kehutanan dan dapat menjadi peluang bagi Indonesia yang merupakan negara berkembang untuk mendapatkan devisa melalui sektor ini. Melalui CDM ini negara berkembang seperti Indonesia dapat berpartisipasi dalam rangka perdagangan karbon. Perdagangan karbon adalah paradigma baru dimana kita diharuskan menanam dan memelihara hutan tanpa memanen kayunya sampai kurun waktu tertentu dan sebagai imbalannya kita mendapatkan pendanaan. Oleh karena itu kita perlu banyak persiapan, kesiapan ini juga menyangkut teknik, penilaian informasi kandungan karbon yang dimiliki, sosial budaya dan kelembagaan. Hal yang terpenting adalah adanya kepastian lahan, penggunaan lahan, adanya jaminan keamanan hutan dari kebakaran, illegal logging dan sebab lain yang berdampak hilangnya suatu tegakan serta dituntut adanya komitmen sehingga jangan sampai paradigma ini menjadi bumerang dimana kita mendapat sangsi akibat sebelum berakhirnya kesepakatan telah terjadi perubahan penggunaan lahan ataupun penebangan. Perdagangan karbon ini hendaknya melibatkan dan memberikan manfaat pada masyarakat dan jangan sampai terulang kembali fenomena dimana masyarakat sekitar hutan hanya menjadi penonton dan menerima bencana saat hutan dieksploitasi secara besar-besaran.

Dokumen terkait