• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Emisi Gas Rumah Kaca Pada Setiap Aplikasi Amelioran

Gas rumah kaca merupakan kumpulan gas-gas yang paling besar memberikan kontribusinya terhadap terjadinya pemanasan global (global

warming). Pemberian amelioran diharapkan dapat menekan laju emisi gas rumah

kaca terutama dari sektor pertanian yang diusahakan di tanah gambut. Penelitian yang dilakukan di Balingtan, tepatnya di Jakenan, Pati-Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada koordinat 60 45’ LS dan 1110 40’ BT serta beriklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, dengan curah hujan rata-rata kurang dari 1600 mm.

4.1.1. Emisi CH4

Emisi gas rumah kaca (GRK) akhir-akhir ini telah menjadi sorotan dunia. Dampak yang dihasilkan dari emisi GRK telah menyebabkan kekhawatiran bagi seluruh umat manusia. Gas CH4 merupakan salah satu gas rumah kaca yang 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah kaca. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa, lahan sawah memegang peranan penting dalam emisi CH4. Kegiatan ekstensifikasi lahan pertanian pada tanah gambut berpotensi meningkatkan emisi (GRK), terutama CH4.

Perubahan penggunaan lahan gambut menjadi lahan sawah akan mempengaruhi muka air dan perubahan suhu tanah secara drastis sehingga akan merubah keseimbangan ekosistem dan lingkungan lahan gambut serta pelepasan CH4 ke atmosfer. Boer et al., (1996) berpendapat bahwa, laju emisi CH4 pada hutan gambut lebih besar jika dibanding dengan sawah pada tanah bergambut yang nilainya yaitu berturut-turut sebesar 9.40 mg.m-2.jam-1 dan 5.71 mg.m-2.jam-1. Gambar 9 menunjukkan dimana tanaman padi dalam boks pada usia 10 HST (Hari Setelah Tanam)

Gambar 9. Kondisi Tanaman Padi Dalam Boks

Padi yang digunakan pada penelitian ini adalah padi varietas batanghari. Karena berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, varietas Batanghari menghasilkan emisi metana yang lebih rendah jika dibandingkan dengan varietas padi pasang surut lainnya, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3 di bawah.

Tabel 3. Emisi CH4 dari beberapa varietas padi pasang surut (Setyanto, 2005)

Varietas Padi Emisi CH4 (kg/ha/musim) Punggur 183.0 Banyuasin 179.0 Martapura 171.0 Sei Lalan 153.0 Indragiri 141.0 Tenggulang 124.0 Batanghari 104.0

Pengukuran emisi CH4 dimulai pada 13 hari sebelum tanam pindah, hal ini dilakukan untuk mengetahui emisi CH4 dari tanah gambut sebelum dan sesudah tanah gambut ditanami padi.

Gambar 10. Lokasi Pengukuran CH4 Secara Otomatis

Pada awal pengukuran fluks CH4 terlihat masih rendah, setelah ditanami padi fluks CH4 mulai meningkat dan fluktuatif seiring dengan pertumbuhan tanaman (Gambar 11). Dari grafik terlihat nilai fluks metana pada 13 hari sebelum tanam berkisar antara 200-400 mg/m2/hari. Fluks metana meningkat setelah pemberian amelioran pada tanah gambut. Emisi CH4 yang dihasilkan tidak lepas dari nilai potensial redoks (Eh). Pada tanah gambut dengan tanpa amelioran memiliki Eh pada kisaran -100 mV sampai -150 mV. Sesuai dengan teori bahwa semakin rendah suatu Eh pada tanah gambut maka emisi CH4 yang dihasilkan semakin tinggi. Sedangkan tanah gambut dengan pemberian amelioran memiliki Eh pada kisaran lebih besar dari -100 mV, menghasilkan emisi CH4 lebih rendah dibandingkan dengan tanah gambut tanpa pemberian amelioran. Dari grafik juga terlihat bahwa pemberian pupuk kandang menghasilkan emisi yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa amelioran, dolomit, dan jerami. Gambar 12 adalah kumulatif fluks CH4 yang menunjukkan secara jelas bahwa pemberian pupuk kandang menghasilkan emisi CH4 lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 -13 -6 1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 92 HST F luks C H 4 (m g /m 2 /ha ri)

Tanpa amelioran Dolomit Jerami Pupuk Kandang

Gambar 11. Grafik fluks metana

Gambar 12. Fluks kumulatif metana

Schutz et al., (1989) melaporkan bahwa penambahan jerami kering 3 t/ha menghasilkan emisi CH4 0.5 kali lebih tinggi dibanding dengan tanpa pemberian jerami. Emisi CH4 akan meningkat dua kali lebih tinggi pada penambahan jerami 5 t/ha, dan akan meningkat lagi sebesar 2.4 kali

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 -13 -6 1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 92 HST F lu k s K u m u la ti f C H 4 ( m g /m 2 )

lebih tinggi pada penambahan jerami 12 t/ha. Sedangkan penambahan 60 t/ha jerami memberikan emisi yang sama dengan pemberian 12 t/ha. Yagi dan Minami (1990) menemukan bahwa, penambahan jerami 6 t/ha dapat meningkatkan emisi CH4 1.8-3.3 kali lebih besar dibanding hanya pemberian pupuk organik. Pada penambahan 9 t/ha jerami kering emisi CH4 yang dihasilkan 3.5 kali lebih besar.

Pada awal pertumbuhan tanaman padi setelah tanam pindah, fluks CH4 hariannya masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena adanya proses adaptasi fisiologis dari tanaman terhadap kondisi lingkungan yang baru akibat tanam pindah dan eksudat akar yang dihasilkan berupa karbon organik (C-organic) masih sangat sedikit. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya umur tanaman, fluks CH4 harian pun meningkat. Pada saat fase ini, fotosintat yang dihasilkan tidak banyak digunakan untuk pertumbuhan tanaman sehingga banyak eksudat akar yang dikeluarkan. Menurut Kimura et al., (1991), eksudat akar merupakan hasil samping metabolisme karbon yang berupa senyawa organik yang mengandung gula, asam amino dan asam organik yang akan digunakan sebagai bahan bagi bakteri methanogen dalam pembentukkan CH4. Fluks CH4 cenderung tinggi pada 15-50 HST, hal ini disebabkan tanaman padi mengalami perkembangan jumlah anakan. Semakin banyak jumlah anakan, maka semakin banyak media yang digunakan sebagai cerobong untuk jalan keluar dan pelepasan CH4 ke atmosfer. Jaringan aerenkimia pada tanaman padi merupakan cerobong untuk jalan keluar dan pelepasan CH4 ke atmosfer.

Raimbault et al., (1977) menyatakan bahwa 90% CH4 yang dilepas dari lahan sawah ke atmosfer dipancarkan melalui tanaman dan sisanya melalui gelembung air (ebullition). Ruang udara pada pembuluh aerenkimia daun, batang dan akar yang berkembang dengan baik menyebabkan pertukaran gas pada tanah tergenang berlangsung cepat. Pembuluh tersebut bertindak sebagai cerobong (chimney) bagi pelepasan CH4 ke atmosfer. Suplai O2 untuk respirasi pada akar melalui pembuluh aerenkimia dan demikian pula gas-gas yang dihasilkan dari dalam tanah,

seperti CH4 akan dilepaskan ke atmosfer juga melalui pembuluh yang sama untuk menjaga keseimbangan termodinamika.

Rejim air merupakan faktor utama yang menentukan iklim mikro dari pertanaman padi. Kompleksitas iklim mikro menjadi lebih besar karena fluktuasi intensitas sinar matahari, suhu, reaksi tanah (pH, Eh), konsentrasi O2 di dalam air genangan, dan status hara tanah (Watanabe and Roger, 1985)seperti yang disajikan dalam Gambar 13.

Gambar 13. Dinamika produksi dan emisi metana dari lahan sawah (Watanabe and Roger, 1985)

4.1.2. Emisi N2O

Fluks N2O diukur saat tanaman berumur 2 HST (Hari Setelah Tanam). Selanjutnya pengukuran fluks N2O dilakukan setiap satu minggu sekali dengan menggunakan boks manual seperti yang disajikan dalam Gambar 14. Dinitro oksida (N2O) dihasilkan oleh tanaman melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen dalam rizosfer tanah, proses ini melibatkan bakteri nitrosomonas dan nitrobacter. Kondisi lingkungan yang anaerobik merupakan kondisi yang baik bagi bakteri untuk menghasilkan gas N2O. Lahan basah juga dicurigai sebagai sumber dari nitro oksida, karena kondisi anaerob akan mendukung produksi nitro

oksida melalui denitrifikasi (Bouwman, 1990; Sahrawat dan Kenney, 1984). Walaupun demikian gas N2O dapat terbentuk pada kondisi aerobik dan anaerobik. Pada kondisi aerobik proses yang dominan adalah proses nitrifikasi sedangkan, pada kondisi anaerobik proses yang dominan adalah proses denitrifikasi.

Gambar 14. Pengambilan Gas N2O Secara Manual

Nilai fluks N2O untuk setiap perlakuan bervariasi seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 15. Dari grafik dapat dilihat bahwa pemberian dolomit menghasilkan emisi N2O yang tinggi pada awal tanam yaitu sebesar 1071.24 μg/m2/hari. Berdasarkan analisis secara kumulatif fluks N2O meningkat secara linear seiring perkembangan dan pertumbuhan tanaman seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16.

0 1000 2000 3000 4000 5000 -13 -6 1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85

HST

F lu k s K u m u la ti f N 2O ( u g /m 2 )

Tanpa Amelioran Dolomit Jerami Kering Pupuk Kandang

Gambar 15. Grafik fluks N2O

Gambar 16. Fluks kumulatif N2O

Nilai fluks N2O yang beragam disebabkan oleh banyak faktor diantaranya, suhu, jenis tanah, pH tanah, ketersediaan bahan organik, aerasi dan penggunaan pupuk. Pemakaian pupuk nitrogen yang tidak tepat sasaran sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan N2O. Setyanto (2004) menyatakan bahwa diperkirakan antara 1-2% pupuk nitrogen yang

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 -13 -6 1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85

HST

Fl u k s N 2O ( m g /m 2 /ha ri )

diberikan ke tanaman terurai menjadi N2O. Cara mengurangi emisi N2O adalah dengan penggunaan pupuk N lambat urai dan pemberian pupuk N sesuai takaran yang dibutuhkan tanaman. Seperti yang terlihat dalam Gambar 16 bahwa pemberian jerami kering mampu menghasilkan emisi N2O yang lebih rendah dibandingkan dengan tiga perlakuan yang lain yaitu, tanpa amelioran, dolomit, dan pupuk kandang.

4.1.3. Emisi CO2

Karbondioksida merupakan salah satu gas yang sangat penting dalam pertumbuhan tanaman. Fluks CO2 yang dihasilkan pada padi varietas Batanghari di tanah gambut memiliki pola seperti yang terlihat dalam Gambar 17, di mana fluks CO2 berfluktuasi dari awal tanam hingga panen. Pemberian jerami kering menghasilkan fluks CO2 terendah sebesar 1043.3 mg/m2/hari sedangkan fluks CO2 tertinggi dihasilkan dari pemberian pupuk kandang saat tanaman berusia 65 HST yaitu sebesar 17915.8 mg/m2/hari.

Gambar 17. Grafik fluks CO2

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000 -12 -6 2 9 16 23 30 37 44 51 58 65 72 79 86 93 HST Fl u k s C O 2 (m g /m 2 /ha ri)

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 -12 -6 2 9 16 23 30 37 44 51 58 65 72 79 86 93 HST Fl u k s k u m u la ti f C O 2 (m g /m 2 )

Tanpa amelioran Dolomit Jerami Kering Pupuk Kandang

Gambar 18. Fluks kumulatif CO2

Fluks CO2 yang beragam disebabkan oleh aktivitas bakteri pada lapisan tanah anaerob sepanjang waktu. Selain itu, adanya suplai oksigen dari atmosfer melalui aerenkimia batang tanaman padi maupun dari turbulensi aliran air yang terperangkap dalam air menyebabkan suasana oksidatif tetap terjadi di lahan yang tergenang. Jika dilihat dari kumulatif fluks CO2, pada dasarnya emisi CO2 yang dihasilkan meningkat untuk setiap pemberian amelioran seperti yang disajikan dalam Gambar 18. Dari Gambar dapat dilihat bahwa pemberian jerami kering menghasilkan emisi CO2 yang lebih tinggi dari ketiga perlakuan yang lain. Sedangkan emisi terendah dihasilkan oleh tanah gambut dengan perlakuan tanpa amelioran.

4.2. Potensial Redoks (Eh) dan Kemasaman Tanah (pH) 4.2.1. Potensial Redoks (Eh)

Potensi redoks tanah merupakan suatu petunjuk ketersediaan elektron dalam larutan tanah. Sedangkan ketersediaan elektron sendiri merupakan petunjuk status oksidasi-reduksi tanah. Redoks potensial (Eh) merupakan petunjuk status oksidasi dan reduksi tanah. Kondisi oksidasi

maupun reduksi dapat terjadi serempak dalam tanah, saat lapisan permukaan tanah berada pada kondisi oksidasi. Lapisan bawah dapat berada pada kondisi reduksi akibat fluktuasi permukaan tanah. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi cepat-lambatnya proses produksi dan konsumsi gas CH4 adalah reaksi reduksi dan oksidasi (redoks) dari oksidan-oksidan tanah. Tahapan proses redoks yang terjadi di lahan sawah yang tergenang adalah berkurangnya kandungan oksigen tanah, reduksi NO3, Mn4+, Fe3+, SO4 dan reduksi CO2 membentuk CH4.

Menurut Neue (1993), Eh tanah berkorelasi negatif dengan produksi CH4. Gambar 20 menunjukkan Eh tanah gambut tanpa pemberian amelioran lebih rendah dibandingkan tanah gambut dengan pemberian amelioran, sehingga fluks CH4 yang dihasilkan pada tanah gambut tanpa pemberian amelioran lebih tinggi dibandingkan dengan tanah gambut dengan pemberian amelioran. Proses reduksi dari oksidan-oksidan tanah ini diakibatkan oleh aktifitas mikroorganisme yang berbeda. Oksigen direduksi oleh mikroorganisme anaerobik, sedangkan Mn4+ dan Fe3+ oleh bakteri fakultatif anaerobik.

Gambar 19. Pengukuran potensial redoks dan pH

Pengukuran potensial redoks di tanah gambut ditunjukkan dalam Gambar 19. Pengukuran dilakukan setiap seminggu sekali bersamaan dengan pengukuran pH. Semakin kaya kandungan oksidan dalam tanah,

semakin lama CH4 terbentuk dalam tanah. Potensial redoks tanah diukur dengan menggunakan alat Eh/pH meter.

Dinamika potensial redoks selam satu musim tanam ditunjukkan dalam Gambar 20. Pada saat tanaman yaitu saat tanaman berusia 1 HST, nilai Eh tertinggi dicapai pada tanah gambut dengan penambahan dolomit sedangkan terendah adalah tanah gambut dengan tanpa amelioran.

Gambar 20. Grafik Pengukuran Potensial Redoks (Eh)

Pada awal pertumbuhan tanaman padi, Eh tanah gambut berada pada kisaran positif, hal ini disebabkan masih tersedianya oksigen sebagai sumber respirasi bagi bakteri yang terdapat dalam tanah. Nilai Eh mencapai negatif untuk setiap perlakuan setelah tanaman berumur 22 HST. Untuk tanah gambut dengan tanpa amelioran, nilai Eh mencapai positif saat tanaman berumur 71-85 HST. Hal ini disebabkan kebocoran yang terjadi pada mikroplot, sehingga tanh gambut di dalamnya tidak tergenang dan memungkinkan oksigen masuk ke dalam mikroplot. Nilai Eh turun kembali menjadi negatif setelah panen (-191mV). Secara rata-rata, nilai Eh yang dihasilkan adalah negatif untuk setiap perlakuan yang diberikan terhadap tanah gambut.

-250 -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 92 HST P o te n s ia l r e d o k s ( m V )

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 -13 -6 1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 92 HST pH

Tanpa amelioran Dolomit Jerami Kering Pupuk Kandang

Nilai redoks potensial tanah yang tinggi untuk tanah gambut diduga disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa oksida pada tanah tersebut. Tanah gambut sangat identik dengan tanah yang mengandung besi (Fe) dan Aluminium (Al) yang tinggi. Bentuk oksida dari kedua unsur tersebut diduga dapat menekan turunnya redoks potensial.

4.2.2. Kemasaman Tanah (pH)

Reaksi tanah yang penting adalah masam, netral dan alkalin. Hal ini didasarkan pada jumlah ion H+ dan OH- dalam larutan tanah. Bila dalam larutan tanah ditemukan ion H+ lebih banyak dari OH- maka tanah disebut masam, jika kondisi sebaliknya terjadi maka hal itu diebut alkalin. Bila konsentrasi ion H+ dan OH- seimbang maka disebut netral. Untuk menyeragamkan pengertian, sifat reaksi tersebut dinilai berdasarkan konsentrasi ion H+ dan dinyatakan dengan pH.

Penambahan amelioran pada tanah gambut dapat meningkatkan nilai pH tanah menjadi lebih basa atau bahkan mendekati netral. Selain dapat meningkatkan nilai pH, penambahan amelioran juga berpengaruh pada nilai Eh di tanah gambut. Meningkatnya pH pada tanah dengan penambahan amelioran berpengaruh pada nilai Eh. Tanah gambut dengan penambahan amelioran memiliki Eh rata-rata lebih besar dari -100mV, hal ini berarti akan berpengaruh pada emisi CH4 yang dihasilkan.

Wang et al.,(1993) menyatakan bahwa, pembentukan CH4 maksimum terjadi pada pH 6.9 hingga 7.1. Perubahan kecil pada pH akan menyebabkan menurunnya pembentukan CH4. Pada pH di bawah 5.75 atau di atas 8.75 menyebabkan pembentukan CH4 terhambat. Nilai pH dari tanah gambut hasil pengukuran disajikan dalam Gambar 21. Pemberian amelioran untuk mengatasi kemasaman sehingga dapat menaikkan pH tanah dan dapat meningkatkan produktivitas. Tanah gambut yang mengalami peningkatan pH akan memberikan suasana optimum bagi aktivitas mikroorganisme tanah dalam merombak gambut.

Nilai pH terendah tanah gambut sebelum pemberian amelioran adalah 4.24. Selama pertumbuhan tanaman, pH tanah gambut berkisar antara 4.55-6.16. Tanah gambut dengan perlakuan pemberian dolomit memiliki pH yang relatif konstan yaitu berkisar antara 5-6. Tetapi Yusima (1999) menyatakan bahwa, bakteri metanogen merupakan bakteri neutrofilik yang mampu hidup pada kisaran pH 6-8. Efek pH tanah sangat berpengaruh terhadap emisi N2O, terutama proses denitrifikasi dan nitrifikasi. Menurut Granli (1995) bahwa jika denitrifikasi sebagai sumber utama, peningkatan pH cenderung akan menurunkan emisi sampai pH menjadi 6. Sedangkan jika nitrifikasi sebagai sumber utama emisi N2O, emisi cenderung akan meningkat sejalan dengan meningkatnya nilai pH yang berkisar antara 6-8.

4.3. Parameter Tanaman dan Komponen Hasil

Selain mengukur emisi GRK, penelitian ini juga mengukur parameter-parameter tanaman yang mempengaruhi emisi GRK di lahan sawah. Parameter-parameter tanaman yang diukur selama penelitian meliputi tinggi tanaman dan jumlah anakan. Tinggi tanaman dan jumlah anakan diukur pada 8, 22, 36, 50, 64, dan 78 HST. Parameter tanaman dianalisa statistik dengan menggunakan Duncan

Multiple Range Test (DMRT) untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar

4.3.1. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan

Tanaman padi merupakan penghubung dilepaskannya CH4 dari rizosfer ke atmosfer. Tanaman padi mempunyai struktur anatomi yaitu jaringan aerenkimia yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas antara rizosfer dan atmosfer. Jaringan aerenkimia terdapat di batang tanaman padi. Semakin banyak jumlah anakan maka semakin banyak batang yang berfungsi sebagai cerobong yang menghubungkan antara rizosfer dan atmosfer, sehingga akan semakin banyak pula emisi CH4 yang dilepaskan. Semakin banyak jumlah anakan dapat meningkatkan kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkimia sehingga kapasitas angkut CH4 menjadi besar (Aulakh et al., 2000b).

Tinggi tanaman dan jumlah anakan yang diukur setiap dua minggu sekali berbeda untuk setiap pemberian amelioran. Tinggi tanaman dan jumlah anakan selama percobaan disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis jumlah anakan dan tinggi anakan di tanah gambut dengan 4 pemberian amelioran

Jumlah Anakan Perlakuan

8 HST 22 HST 36 HST 50 HST 64 HST 78 HST

Tanpa Amelioran 2.66b 5a 10a 12,66a 11a 11,33a Dolomit 3,33ab 6,67a 12,33a 12a 11a 10,66a Jerami Kering 3,67a 8,66a 14,66a 14a 11,66a 12,33a Pupuk Kandang 3,33ab 6,33a 11,33a 12,33a 12a 11a

Tinggi Tanaman

8 HST 22 HST 36 HST 50 HST 64 HST 78 HST

Tanpa Amelioran 23,33a 41,50ab 55,16ab 77,83a 98,50a 102,16a Dolomit 24,16a 39,33ab 55,16ab 73,83a 98,33a 97,5a Jerami Kering 25,66a 45a 63,50a 81,33a 103,33a 102,16a Pupuk Kandang 22,83a 37,50b 50,33b 71,83a 103a 96,83a Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Dari Tabel 4 di atas dapat dikatakan bahwa, terdapat perbedaan jumlah anakan pada 8 HST. Sedangkan pada umur 22 HST hingga 78 HST tidak ada perbedaan jumlah anakan pada setiap perlakuan. Berbeda halnya dengan tinggi

tanaman, perbedaan nyata terjadi hingga tanaman berumur 36 HST. Tanah gambut dengan perlakuan tanpa amelioran memiliki tinggi tanaman tertinggi (63.5 cm). Pada saat tanaman berumur 50 HST hingga 78 HST tidak terjadi perbedaan tinggi tanaman antar perlakuan. Berdasarkan uji DMRT, ternyata tanah gambut dengan penambahan amelioran dapat mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman.

Emisi gas CH4 dari tanaman padi sawah ke atmosfer berdasarkan atas tiga proses, yaitu (1) pelepasan gas CH4 dalam bentuk gelembung-gelembung udara (ebullition) (2) proses difusi yang ditentukan oleh adanya perbedaan konsentrasi gas CH4 ke permukaan air dan (3) pelepasan melalui aerenkimia (Naharia, 2004). Aerenkimia merupakan ruang udara yang terdapat pada pelepah daun, helai daun, batang dan akar tanaman padi yang saling berhubungan satu sama lain, sehingga seolah-olah membentuk pipa kecil.

4.3.2. Total Emisi Gas Rumah Kaca

Total emisi CH4, N2O, dan CO2 serta hasil gabah yang telah dianalisis statistik disajikan dalam Tabel 5. Analisis statistik menunjukkan bahwa tanah gambut dengan penambahan jerami kering tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa amelioran. Total emisi CH4 yang dihasilkan jerami kering yaitu sebesar 852.95 kg/ha, diikuti tanpa amelioran, dolomit dan pupuk kandang dengan total emisi secara berturut 837.67, 593.69, dan 546.24 kg/ha. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa penambahan pupuk kandang sebagai amelioran di tanah gambut untuk tanaman padi, dapat menekan emisi CH4. Total emisi CH4 yang dihasilkan jerami kering tidak berbeda nyata dengan tanah gambut tanpa amelioran. Sehingga penambahan jerami kering pada tanah gambut tidak berpengaruh terhadap emisi CH4 yang dihasilkan.

Jika pada total emisi CH4 total emisi yang dihasilkan berbeda nyata, lain halnya dengan total emisi N2O dan CO2. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa total emisi N2O yang dihasilkan tidak berbeda nyata antar perlakuan. Total emisi N2O pada tanaman padi gambut dalam penelitian ini berkisar antara berkisar antara 0.127-0.241 kg/ha. Sedangkan total emisi CO2 pada setiap

perlakuan selam satu musim tanam tidak berbeda nyata. Total CO2 yang dihasilkan berkisar antara 4784.32 kg/ha sampai 5947.99 kg/ha.

Tabel 5. Total Emisi Gas Rumah Kaca dan Hasil Gabah Selama Satu Musim

Perlakuan Emisi Gas

CH4 (kg/ha) Emisi Gas N2O (kg/ha) Emisi Gas CO2 (kg/ha) Hasil Gabah (ton/ha) Tanpa

Amelioran 837.67a 0.223a 4784.32a 4.69a

Dolomit 593.69b 0.241a 5201.69a 4.92a Jerami

kering 852.95a 0.127a 5947.99a 4.97a Pupuk

Kandang 546.24b 0.160a 5075.58a 4.53a

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Sama halnya dengan total emisi CO2 dan N2O yang dihasilkan pada setiap perlakuan, hasil gabah setiap perlakuan juga tidak berbeda nyata. Hasil gabah berkisar antara 4.53 t/ha sampai 4.97 t/ha seperti disajikan dalam Tabel 5.

4.4. Global Warming Potential (GWP)

Untuk menduga berapa potensi emisi gas rumah kaca yang dilepaskan dari suatu lahan pertanian, maka digunakan pendekatan menggunakan nilai Global

Warming Potential (GWP) atau biasa disebut sebagai potensi pemanasan global.

GWP digunakan untuk menyetarakan nilai masing-masing total emisi GRK dengan nilai emisi karbondioksida (Emisi CO2-eq). Menurut data terbaru dari IPCC tahun 2002, nilai GWP dari CH4 adalah 23 kali nilai GWP CO2 dengan asumsi indeks GWP CO2 adalah 1, sedangkan N2O setara dengan 293 kali GWP dari CO2. Sedangkan untuk mengetahui total emisi GRK yang setara dengan karbon (C) dari karbondioksida atau Emisi CO2-C, dihitung dengan cara mengalikan jumlah atom dari unsur N dalam senyawa N2O dengan 296, C dalam senyawa CH4 dengan 23, dan C dalam CO2. Untuk mempermudah perhitungan

GWP yang dihasilkan dari keempat perlakuan, maka digunakan rumus sebagai berikut:

Emisi CO2-eq = (N2O*296) + (CH4*23) + CO2

Emisi CO2-C= (N2O-N*(14/44)*296) + (CH4-C*(12/16)*23) + CO2-C*(12/44)

Hasil perhitungan menggunakan rumus di atas disajikan dalam bentuk tabel (Lampiran 1). Jika dilihat dari nilai emisi CO2-eq yang dihasilkan dan hasil gabah yang tidak berbeda nyata maka perlakuan pupuk kandang sebagai bahan amelioran lebih baik daripada perlakuan tanpa amelioran, jerami kering dan dolomit. Nilai emisi CO2-eq yang dihasilkan oleh pupuk kandang lebih kecil dibandingkan dengan tiga perlakuan yang lain yaitu dengan emisi CO2-eq sebesar 17686,46 kg CO2-C/ha. Hal yang sama juga terjadi jika total emisi GRK dari setiap perlakuan dijumlahkan. Perlakuan pemberian pupuk kandang lebih baik dengan total emisi GRK lebih rendah dibanding dengan tiga perlakuan yang lain.

4.5. Kandungan Karbon Organik Pada Tanaman

Selain tanah, penanaman di lahan pertanian dan menjaga hutan tetap alami merupakan salah satu cara yang mampu mengurangi emisi karbon di udara. Nelson et al., (1982) berpendapat bahwa, total karbon (C) dalam tanah adalah jumlah dari karbon organik dan karbon anorganik. Kebanyakan karbon organik

Dokumen terkait