• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskriptif Data

Data sekunder berupa persebaran kelas umur (KU), persebaran bonita dan keadaan umum lokasi penelitian diambil dari buku Hasil Audit Sumberdaya Hutan Tahun 2005 KPH Blitar yang diterbitkan oleh Seksi Perencanaan Hutan (SPH) III Jombang Desember 2005. Pengambilan data hanya pada kelas hutan produktif dan dilakukan pada satu KPH dan tidak dibedakan berdasar bagian hutan, itu dilakukan karena datanya tidak menyebar secara merata setelah dilakukan pengelompokan menurut kelas umur dan kelas bonita keseluruhan yang ada di KPH Blitar.

Untuk itu lokasi pengambilan petak contoh dilakukan di tiga BKPH yaitu BKPH Wlingi, BKPH Kesamben dan BKPH Lodoyo Barat dimana ketiga lokasi tersebut sudah mewakili keseluruhan kelas umur dan bonita di KPH Blitar. Data penyebaran luas (ha) dan bonita pada hutan tanaman Jati di KPH Blitar disajikan pada tabel 11.

Tabel tersebut menunjukkan luas hutan pada kawasan KPH Blitar relative besar terdapat pada kelas umur rendah (KU I) dan menurun dengan bertambahnya kelas umur. Penyebaran luas hutan itu menunjukkan tidak seimbangnya kegiatan penebangan dan penanaman hutan yang mengakibatkan pola penyebaran luas hutan menurut kelas umurnya menjadi kurang baik. Kaidah pengelolaan hutan yang lestari seyogyanya mengharuskan luas hutan yang ditebang sama dengan luas hutan yang ditanam. Apabila penebangan dilakukan lebih besar daripada kemampuan untuk menanam, maka akan mengakibatkan persediaan tegakan dalam jangka panjang akan berkurang dan juga sebaliknya jika kemampuan menanam yang lebih besar daripada menebang maka akan mengakibatkan persediaan tegakan belum masak tebang yang besar.

Seperti terlihat pada tabel 11, sedikitnya ketersediaan luas hutan yang masak tebang mengakibatkan terjadinya penebangan pada kelas umur muda yang berarti daurnya dipercepat untuk tetap memenuhi target produksi yang telah ditentukan. Apabila dalam jangka waktu lama kondisi pengelolaan hutan Jati ini dibiarkan terus

menerus maka akan mengakibatkan semakin pendeknya daur tegakan Jati di KPH Blitar, karena tegakan Jati yang masak tebang sudah tidak tersedia sedangkan target produksi harus dipenuhi sehingga akan mengancam kelestarian hutan Jati.

Besarnya luasan hutan pada kelas umur muda, disebabkan oleh terjadinya gangguan hutan seperti pencurian, kebakaran, bencana alam, dan juga oleh kegagalan penanaman yang berdampak pada penebangan tegakan belum masak tebang sehingga terjadi percepatan daur untuk memenuhi target produksi. Dampak yang nyata terlihat dari luas areal yang akan ditanam setiap tahun bertambah luas dari luas tebangan yang sebenarnya. Tegakan Jati yang cukup luas pada kelas umur rendah dibandingkan dengan kelas umur masak tebang, merupakan tegakan cadangan (stock) jika pengelolaan hutannya dilakukan dengan baik.

Dari tabel tersebut juga terlihat persebaran kelas umur dan bonita di KPH Blitar meliputi KU I sampai KU VI. Pada KU II terbagi menjadi tujuh bonita yaitu bonita 2;2,5;3;3,5;4;4,5;dan 5. Pada KU III ada lima bonita yaitu bonita 3;3,5;4;4,5 dan 5. KU IV ada lima bonita: 2,5; 3;3,5;4;dan bonita 4,5. KU V ada bonita 3; 3,5; 4 dan 5, dan KU VI hanya terdapat bonita 4,5 dan 5. Dari keseluruhan tingkat KU dan bonita tersebut di atas maka ada 23 lokasi petak ukur yang dibuat dengan masing – masing lokasi tiga kali ulangan sehingga jumlah keseluruhan ada 69 petak ukur.

Simpanan Karbon tegakan Jati

Simpanan karbon tegakan Jati dihitung dalam satuan ton/ha dengan mengkonversi karbon tiap petak ukur. Setelah dilakukan perhitungan diperoleh data-data simpanan karbon tiap kelas umur dan bonita seperti tersaji pada tabel 12 di bawah ini dan diperjelas dengan gambar 2a sampai 2f.

Tabel 12. Simpanan karbon pada tegakan hutan di kawasan KPH Blitar dirinci menurut umur dan bonita

Kelas umur

Umur (tahun)

bonita Rata rata volume per ha (m3/ha) Biomassa (ton/ha) Karbon (ton/ha) I 4 2,5 29,9 14,95 II 12 2 68,7 47,4 23,7 20 2,5 74,4 51,33 25,66 12 3 93,2 64,31 32,15 12 3,5 138,3 95,43 47,71 15 4 102,2 70,52 35,26 15 4,5 107,8 74,38 37,19 19 5 182,8 126,13 63,06 III 27 3 159,6 110,12 55,06 24 3,5 178,6 123,23 61,61 29 4 208,8 144,07 72,03 29 4,5 193,6 133,58 66,79 23 5 215,1 148,42 74,21 IV 36 2,5 79,4 54,78 27,39 36 3 145,3 100,26 50,13 34 3,5 125,1 86,32 43,16 35 4 156,2 107,78 53,89 33 4,5 162,5 112,12 56,06 V 47 3 143,0 98,67 49,33 47 3,5 169,8 117,16 58,58 47 4 190,9 131,72 65,86 47 5 237,4 163,81 81,90 VI 52 4,5 336,6 232,25 116,12 51 5 389,6 268,82 134,41

0 10 20 30 (to n 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 bonita

Gambar(2a) simpanan karbon pada KU II

0 10 20 30 40 50 60 70 80 (t on/ha ) 3 3.5 4 4.5 5 bonita Gambar (2b)simpanan karbon pada KU III

0 10 20 30 40 50 60 (t on/ha ) 2.5 3 3.5 4 4.5 bonita Gambar (2c)simpanan karbon pada KU IV

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 (ton/ ha ) 3 3.5 4 5 bonita Gambar (2d) simpanan karbon pada KU V

105 110 115 120 125 130 135 (t on/ ha) 4.5 5 bonita

Gambar (2e) simpanan karbon pada KU VI

14.95 37.83 65.94 46.12 63.92 125.26 0 20 40 60 80 100 120 140 kar bon (ton/ ha) KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI

Parameter umur dan kondisi tempat tumbuh (bonita) digunakan karena mempunyai pengaruh terhadap laju peningkatan biomassa, oleh karena biomassa tersebut 50 persennya tersusun atas karbon maka setiap peningkatan jumlah biomassa akan diikuti oleh peningkatan jumlah karbon. Begitu juga faktor yang mempengaruhi jumlah biomassa akan berpengaruh juga terhadap jumlah karbon. Pendugaan karbon menurut perbedaan karbon dan kelas bonita dilakukan pada kelas hutan Jati produktif yaitu KU I sampai KU VI. Hal itu karena pada kelas hutan Jati produktif pembagian umur (kelas umur) dan kelas bonita sangat jelas. Selain itu pengelolaan dan pemanfaatan terhadap kelas hutan tersebut lebih diutamakan karena menghasilkan potensi hutan yang paling tinggi dan berkelanjutan.

Pada KU I metode pendugaan karbon berbeda dengan KU yang lain karena pada KU I ini belum dilakukan pengukuran terhadap diameter dan atau kelilingnya oleh Perhutani sehingga pendugaan volumenya tidak dapat dihitung dengan menggunakan Tarif Volume Lokal Jati KPH Blitar. Sedangkan untuk KU II dan seterusnya pendugaan volumenya dapat dihitung dengan tabel volume lokal, dimana nanti digunakan untuk menduga karbonnya.

Tabel 12 dan diperjelas dengan gambar 2a sampai 2f menunjukkan bahwa secara umum adanya kecenderungan peningkatan rata-rata simpanan karbon sejalan dengan meningkatnya kelas umur dan bonita. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2f, potensi biomassa dan karbon tegakan terkecil pada KU I yaitu 29,9 ton/ha dan 14,95 ton/ha dan potensi biomassa dan karbon terbesar adalah 268,82 ton/ha dan 134,41 ton/ha pada KU VI. Simpanan karbon relative normal atau mengalami peningkatan pada kelas umur muda dari KU I sampai KU III akan tetapi pada KU IV justru mengalami penurunan. Meskipun pada KU V simpanan karbonnya naik lagi tetapi simpanan karbon pada KU V sebesar 63,92 ton/ha masih dibawah simpanan karbon pada KU III sebesar 65,94 ton/ha. Keadaan ini kemungkinan disebabkan adanya pencurian kayu yang relative besar pada kelas umur tua atau disebabkan juga faktor pengelolaan yang kurang baik. Gangguan hutan diatas akan berpengaruh terhadap jumlah karbon yang terkandung dalam tegakan tersebut.

Dari gambar 2a sampai 2e terlihat bahwa pada kelas umur yang sama, ada kecenderungan karbon meningkat seiring dengan peningkatan bonita untuk semua kelas umur. Namun pada KU II ada penurunan karbon yang cukup signifikan dari bonita 3,5 ke bonita 4 yaitu turun dari 47,71 ton/ha menjadi 35,26 ton/ha, tetapi naik kembali sampai bonita 5. Begitu juga pada KU III ada penurunan dari bonita 4 sebesar 72,03 ton/ha tapi pada bonita 4,5 hanya 66,79 ton/ha dan pada KU IV terjadi penurunan pada bonita 3,5. Secara teori dengan semakin baiknya tingkat kesuburan tanah (bonita) akan diikuti dengan peningkatan karbon, karena pada tanah yang subur tegakan Jati akan memperoleh unsur hara dan zat-zat lain yang cukup untuk pertumbuhannya. Dari berbagai tingkat KU ternyata hanya pada KU V dan KU VI yang simpanan karbonnya meningkat konsisten sejalan dengan meningkatnya tingkat kesuburan tanah (bonita). Untuk KU II sampai KU IV ada sedikit penyimpangan seperti sudah dijelaskan diatas dimana simpanan karbonnya tidak terus meningkat sejalan meningkatnya bonita akan tetapi justru pada beberapa bonita yang lebih tinggi simpanan karbonnya turun.

Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi terjadinya penyimpangan diantaranya adanya gangguan-gangguan hutan seperti pencurian kayu, terjadinya bencana yang terjadi sehingga mengurangi jumlah karbon yang tersimpan. Kesalahan dalam pengambilan data juga bisa mempengaruhi terkait juga dengan pemilihan lokasi letak plot-plot ukur yang diambil data primernya kebetulan terletak pada petak-petak yang banyak mengalami gangguan. Selain itu ketelitian dan kecermatan dalam mengukur diameter pohon juga mempengaruhi meskipun sudah diusahakan dalam pembuatan plot dan mengukur diameter dilakukan sebaik mungkin. Namun jika faktor-faktor kesalahan seperti tadi diasumsikan sangat kecil sekali pengaruhnya ada kemungkinan lain bahwa data-data persebaran KU dan bonita di lokasi penelitian sudah kurang sesuai sehingga penelitian ini bisa merekomendasikan kepada pihak terkait untuk melakukan penelitian lebih lanjut agar ada penyesuaian seperti hal tersebut diatas.

Selain itu terjadinya perbedaan pola peningkatan karbon pada tegakan tiap kelas umur tersebut dikarenakan perhitungan karbon tegakan selain dipengaruhi oleh

diameter juga dipengaruhi oleh kerapatan pohon pada arealnya. Jika dilihat dari kerapatannya (lihat Tabel 13), pada kelas umur muda memiliki kerapatan yang lebih tinggi daripada kelas umur tua. Tegakan yang memiliki kerapatan per hektar yang tinggi menambah potensi karbon dalam tegakan, karena jumlah karbon pohon yang diakumulasikan lebih besar. Hal ini berpengaruh juga pada bonita yang berbeda dalam kelas umur yang sama, seperti yang ditunjukkan pada KU II, kerapatan pada bonita 3,5 sebesar 890 pohon/ha dan pada bonita 4 hanya 610 pohon/ha.

Penurunan kerapatan tegakan ini disebabkan beberapa faktor antara lain oleh adanya penjarangan yang merupakan tindakan silvikultur yang dilakukan pihak KPH untuk mengelola hutan dalam rangka meningkatkan diameter pohon, adanya tebang habis pada KU tua untuk memperoleh hasil (produksi), dan terjadinya bencana alam yang memaksa dilakukannya penebangan pada lokasi yang tidak direncanakan sebelumnya untuk ditebang. Faktor lain yang cukup signifikan pengaruhnya yang tidak dilakukan pihak KPH adalah adanya pencurian pada kelas umur tua.

Penurunan kerapatan tegakan ini mempengaruhi pertumbuhan pohon pada tegakan tersebut, dengan semakin berkurangnya kerapatan tegakan maka tanaman akan memperoleh hara tanpa persaingan yang kuat. Namun dengan berkurangnya kerapatan tegakan pertumbuhan pohon tidak akan terus linier dengan pertambahan umurnya, karena pohon mempunyai batas optimum untuk pertumbuhannya pada umur tertentu.

Dari hasil pendugaan simpanan karbon di KPH Blitar yang berkisar antara 14,95 ton/ha sampai125,28 ton/ha ternyata lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian serupa di KPH Madiun yang dilakukan oleh Ojo (2003) yang mempunyai kisaran simpanan karbon antara 24,48 sampai 64,39 ton/ha. Jika dibandingkan dengan hasil – hasil penelitian di hutan tropika seperti dalam Whitmore (1985), maka hutan tropika memiliki simpanan karbon yang jauh lebih besar. Di hutan tropika Thailand simpanan karbonnya mencapai 260,4 ton/ha karena hutan - hutan tropika memang memiliki keanekaragaman dan kekayaan flora yang jauh lebih banyak.

Simpanan karbon tumbuhan bawah dan serasah

Tumbuhan bawah adalah tumbuhan yang mempunyai keliling batang kurang dari 6,3 cm, diantaranya termasuk semai, kecambah, paku – pakuan, rumput – rumputan, tumbuhan memanjat, dan lumut. Tumbuhan bawah di bawah tegakan Jati umumnya didominasi oleh jenis alang – alang (Imperata cylindrica), kerinyu (Eupatorium odoratum), dan rumput-rumputan. Rata – rata potensi karbon tumbuhan bawah dan serasah yang berada di bawah tegakan Jati dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 13. Biomassa dan karbon tumbuhan bawah pada tegakan Jati KU bonita Kerapatan (Pohon/ha) Biomassa (ton/ha) Karbon (ton/ha) I 2,5 1666 0,979 0,49 II 2 296 1,314 0,657 2,5 1100 1,386 0,693 3 470 1,517 0,759 3,5 890 1,343 0,672 4 610 1,437 0,719 4,5 473 1,488 0,744 5 780 1,479 0,74 III 3 443 1,692 0,846 3,5 310 1,793 0,897 4 313 1,539 0,769 4,5 412 1,572 0,786 5 250 1,806 0,903 IV 2,5 180 2,395 1,197 3 206 2,475 1,238 3,5 156 2,637 1,318 4 186 3,247 1,624 4,5 166 3,425 1,713 V 3 143 3,222 1,611 3,5 113 3,018 1,509 4 173 1,89 0,945 5 180 3,327 1,664 VI 4,5 176 3,603 1,802 5 196 3,514 1,757

Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa simpanan karbon pada tumbuhan bawah dan serasah berkisar antara 0,49 sampai 1,80 ton/ha. Dimana KU I mempunyai potensi karbon tumbuhan bawah dan serasah terendah dan KU VI potensinya tertinggi. Potensi simpanan karbon tumbuhan bawah dan serasah tersebut relative kecil dibandingkan dengan karbon total di atas permukaan lahan. Hal ini sangat memungkinkan karena dari segi ukuran tumbuhan bawah jauh lebih kecil dibandingkan dengan pohon atau tegakan. Dari tabel di atas secara umum menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan simpanan karbon sejalan dengan meningkatnya umur tegakan (kelas umur). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3 yang menunjukkan rata-rata potensi simpanan karbon tumbuhan bawah pada setiap kelas umur.

0.489 0.84 1.432 1.779 1.418 0.711 1666 346 659 176 152 186 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 Karbon (ton/ha) Kerapatan(phn/ha

Gambar 3. Rata-rata potensi simpanan karbon tumbuhan bawah dan serasah dan kerapatan tegakan menurut kelas umur .

Sedangkan jika dibandingkan dengan kerapatan tegakannya cenderung terjadi penurunan kerapatan pohon seiring dengan meningkatnya kelas umur kecuali pada KU VI yang mempunyai kerapatan 182 pohon/ha lebih tinggi daripada kerapatan pada KU V sebesar 152 pohon/ha. Kerapatan tegakan semakin menurun karena adanya aktivitas pengelolaan hutan yaitu tebang penjarangan pada setiap kelas umur

yang dilakukan secara bertahap. Maksud dari tebang penjarangan selain untuk memperoleh hasil produksi juga meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan memberi ruang tumbuh yang lebih luas. Terbukanya areal hutan akibat penjarangan mengakibatkan penutupan tajuk berkurang dengan semakin bertambahnya kelas umur sehingga pada kelas umur tua sinar matahari yang mencapai lantai hutan lebih besar dibandingkan pada kelas umur muda.

Dari gambar 3 dapat dibandingkan dengan semakin berkurangnya kerapatan tegakan pada kelas umur tua diikuti dengan peningkatan karbon tumbuhan bawah dan serasah. Kerapatan tegakan pada KU III sebesar 346 pohon/ha lebih besar dibandingkan dengan kerapatan pada KU IV sebesar 178 pohon/ha. Rapatnya tegakan pada KU III akan berpengaruh terhadap penutupan tajuk dan masuknya sinar matahari ke lantai hutan. Sedikitnya sinar matahari yang masuk ke lantai tegakan KU III dibandingkan dengan tegakan KU IV mengakibatkan potensi simpanan karbonnya lebih rendah, karena proses perkecambahan dan pertumbuhan tumbuhan bawah pada KU IV lebih cepat . Ini disebabkan peningkatan karbon tumbuhan bawah berkaitan erat dengan intensitas cahaya matahari. Dalam pertumbuhannya tumbuhan bawah sangat memerlukan sinar matahari untuk melakukan fotosintesis maupun perkecambahan.

Persentase rata – rata karbon tumbuhan bawah dengan karbon total diatas lahan pada setiap kelas umur dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 14. Persentase karbon tumbuhan bawah dengan karbon total di atas lahan pada tegakan Jati

Kelas umur Karbon(ton/ha) Persentase Tegakan Tumbuhan bawah Total

KU I 14,95 0,48 15,43 3,11% KU II 37,83 0,71 38,54 1,84% KU III 65,94 0,84 66,78 1,25% KUIV 46,12 1,42 47,54 2,98% KU V 63,92 1,43 65,35 2,18% KUVI 125,26 1,78 127,04 1,40%

Tabel diatas menunjukkan bahwa persentase karbon tumbuhan bawah dan serasah sangat kecil di bawah 4 persen. Menurut Brown (1997), biomassa dan karbon tumbuhan bawah memiliki persentase ≤ 3 % dari biomassa dan karbon total di atas tanah. Namun walaupun begitu keberadaan tumbuhan bawah tidak bisa diabaikan dan sangat berpengaruh terhadap total biomassa dan pembentukan unsur hara tanah.

Dokumen terkait