• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spesifikasi Terigu

Secara umum, spesifikasi terigu yang disediakan oleh pemasok bahan hanya mencakup kadar air, kadar protein, dan kadar abu yang merupakan spesifikasi komposisi. Spesifikasi komposisi relatif tidak informatif dan tidak berguna, sedangkan spesifikasi fungsional sangat penting dalam keberhasilan pembuatan biskuit karena mampu menganalisis kontribusi fungsional individu dari masing-masing komponen terigu, yang meliputi kerusakan pati, protein gluten, dan pentosan (Kweon et al. 2011). Data spesifikasi berfungsi untuk mengetahui komposisi kimia terigu yang terdiri atas kadar air, kadar protein, kadar abu, dan kadar gluten basah. Data spesifikasi terigu yang diperoleh dari masing-masing pemasok dapat dilihat pada Tabel 3.

12

Tabel 3 Spesifikasi terigu (berasal dari masing-masing pemasok terigu)

Parameter Hasil (%)

A B C

Kadar Air Maks. 14.0 ≤ 14 13–14 Kadar Protein Maks. 11.0 ≥ 9 Maks. 10.0 Kadar Abu Maks. 0.64 ≤ 0.7 0.50–0.60 Kadar Gluten Basah Maks. 25.5 ≥ 22 23–26

Apabila terigu memiliki kadar air di atas 14.5% dapat mengurangi umur simpan dan meningkatkan kerusakan terigu akibat mikroorganisme. Selain itu, apabila terigu memiliki kadar abu yang tinggi menunjukkan proporsi peningkatan lapisan luar kernel gandum yang telah diekstrak, terigu akan berwarna lebih gelap, dan penyerapan air akan meningkat (Haas et al. 1998). Secara umum, penyerapan air yang tinggi pada terigu dengan kadar abu yang tinggi membuat masalah pada tekstur wafer yang dihasilkan. Sheet wafer cenderung lengket dengan mudah pada baking plate. Menurut Haas et al. (1998), terigu dengan kadar protein serendah mungkin sangat cocok untuk digunakan dalam pembuatan flat wafers dan wafer cones (kurang dari 10% protein dan kurang dari 30% wet gluten). Menurut Haas et al. (1998), spesifikasi terigu protein rendah untuk wafer dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Spesifikasi terigu untuk wafer (Haas et al. 1998) Parameter Hasil (%)

Kadar Air 14.40

Kadar Protein 10.2–11.9

Kadar Abu 0.58

Kadar Gluten Basah 27.50

Penambahan Air 146

Data spesifikasi terigu terutama kadar protein tidak informatif karena mencakup protein gluten (fungsional) dan protein non-gluten (non-fungsional). Bahkan berkaitan dengan gluten, protein penyusunnya, gliadin dan glutenin, memiliki fungsi nyata yang sangat berbeda. Gliadin memiliki berat molekul (BM) yang rendah, kental, ekstensibel, lapisan dua dimensi, sedangkan glutenin memiliki BM yang lebih tinggi, elastis, dan lapisan tiga dimensi (Nakamura et al. 2010).

Viskositas

Penambahan jumlah air sangat penting terhadap proses pemanggangan wafer dan hasil akhir produk wafer (Haas et al. 1998). Formulasi umum penambahan air yang biasa digunakan pada flat wafer adalah 130–150% (U.S Wheat Associates 2006). Terigu merk A dibuat adonan dengan penambahan air 130% dan diukur viskositasnya yang diperoleh sebesar 7500 cP. Penambahan jumlah air pada terigu merk B dan C dilakukan secara trial dan error dengan mendapatkan nilai viskositas adonan yang berdekatan dengan terigu merk A.

13 Formulasi penambahan air pada terigu merk A, B, dan C secara berturut-turut adalah 130%, 135%, dan 140%. Artinya, terigu merk A membutuhkan air lebih sedikit dibandingkan terigu merk B dan C. Formulasi penambahan air dan nilai viskositas adonan dari ketiga merk terigu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Formulasi penambahan air dan viskositas adonan dari ketiga merk terigu Terigu Penambahan Air (%) Viskositas (cP)

A 130 7466.67a

B 135 7566.67ab

C 140 7833.33b

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Hasil analisis viskositas adonan dari ketiga merk terigu yang diperoleh adalah sekitar 7466.67–7833.33 cP. Viskositas terendah terdapat pada adonan terigu merk A, sedangkan viskositas tertinggi pada adonan terigu merk C. Berdasarkan analisis ragam ANOVA dengan uji lanjut Duncan menunjukkan hasil viskositas adonan terigu merk A tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan viskositas adonan terigu merk B, namun berbeda nyata (P<0.05) dengan viskositas adonan terigu merk C. Apabila dilihat dari karakteristik viskositas adonan pada tiap batch-nya, analisis ragam ANOVA menunjukkan bahwa viskositas adonan terigu merk A, B, dan C tidak berbeda nyata (P>0.05) pada tiap batch-nya. Hal ini berarti masing-masing merk terigu memiliki viskositas yang konsisten dan tidak dipengaruhi oleh perbedaan batch. Hasil viskositas adonan terigu merk A, B, dan C dari ketiga batch dapat dilihat secara berturut-turut pada Tabel 6, 7, dan 8.

Tabel 6 Nilai viskositas adonan terigu merk A dari ketiga batch

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 7 Nilai viskositas adonan terigu merk B dari ketiga batch

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Terigu Batch Viskositas (cP) A

1 7500a

2 7400a

3 7500a

Terigu Batch Viskositas (cP) B

1 7600a

2 7500a

14

Tabel 8 Nilai viskositas adonan terigu merk C dari ketiga batch Terigu Batch Viskositas (cP)

C

1 7800a

2 8000a

3 7700a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

SRC dan GPI

Metode solvent retention capacity (SRC) mampu menganalisis kontribusi fungsional individu dari masing-masing komponen fungsional terigu, yakni kerusakan pati, protein gluten, dan pentosan. Kemampuan untuk menganalisis kontribusi fungsional individu masing-masing komponen fungsional terigu memungkinkan untuk lebih memprediksi fungsi tepung dan meningkatkan kualitas biskuit (Kweon et al. 2014). Nilai SRC merupakan berat pelarut yang terikat oleh tepung setelah disentrifus. SRC dinyatakan persentase dari berat tepung pada basis kelembaban 14% (Chung 2013). Perolehan nilai SRC masing-masing merk terigu pada ketiga batch dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Nilai persentase SRC masing-masing merk terigu pada ketiga batch

Pelarut Batch SRC (%)

Terigu A Terigu B Terigu C Air 1 58.04 63.82 66.51 2 61.56 66.48 69.39 3 56.32 63.04 71.17 Sukrosa 1 98.01 101.24 105.35 2 103.86 101.63 98.70 3 100.44 100.89 103.14 Natrium karbonat 1 74.79 81.26 86.39 2 82.34 84.43 96.56 3 74.58 83.82 97.37 Asam laktat 1 90.73 97.97 119.51 2 95.60 92.96 114.09 3 95.96 103.11 100.28

Hasil analisis SRC air menunjukkan bahwa terigu merk C memiliki nilai SRC yang paling tinggi (66.51%, 69.39%, 71.17%) dibanding terigu merk A (58.04%, 61.56%, 56.32%) dan B (63.82%, 66.48%, 63.04%) pada ketiga batch. Hal ini berarti bahwa terigu merk C memiliki kemampuan menyerap air (WHC) yang lebih tinggi dibanding terigu merk A dan B sehingga membutuhkan lebih banyak penambahan air pada pembuatan adonan. Hasil analisis SRC sukrosa menunjukkan bahwa terigu merk C memiliki nilai SRC yang paling tinggi (105.40%, 103.14%) dibanding terigu merk A (98.01%, 100.44%) dan B

15 (101.20%, 100.89 %) pada batch 1 dan 3, namun terigu merk C memiliki nilai SRC paling rendah (98.70%) dibanding terigu merk A (103.86%) dan B (101.60%) pada batch 2. Hal ini berarti bahwa kandungan pentosan yang terdapat pada terigu merk C lebih banyak dibanding terigu merk A dan B pada batch1 dan 3, namun paling sedikit pada batch 2. Pentosan pada terigu berasal dari aleuron dan lapisan bran dari kernel gandum yang secara signifikan dapat meningkatkan WHC terigu. Pentosan memiliki WHC jauh lebih tinggi daripada kerusakan pati atau gluten. Hal ini menunjukkan pentosan memiliki peran yang merugikan dalam produksi wafer. Jumlah pentosan yang tinggi merupakan karakteristik yang tidak diinginkan untuk kualitas terigu yang baik pada produk wafer (Ram et al. 2005).

Hasil analisis SRC natrium karbonat menunjukkan bahwa terigu merk C memiliki nilai SRC yang paling tinggi (86.39%, 96.56%, 97.37%) dibanding terigu merk A (74.79%, 82.34%, 74.58%), dan B (81.26%, 84.43%, 83.82%) pada tiap batch. Hal ini berarti bahwa kerusakan pati yang paling banyak terjadi pada terigu merk C. Kerusakan pati dihasilkan selama penggilingan gandum. Semakin banyak kerusakan pati pada terigu dapat meningkatkan WHC, mencegah optimasi pembentukan gluten selama proses mixing, serta menurunkan konsistensi adonan (Barreraet al. 2007). Hasil analisis SRC asam laktat menunjukkan bahwa terigu merk C memiliki nilai SRC yang paling tinggi (119.50%, 114.09%) dibanding terigu merk A (90.73%, 95.60%), dan B (97.97%, 92.96%) pada batch 1 dan 2, namun terigu merk B memiliki nilai SRC yang paling tinggi (103.11%) dibanding terigu merk A (95.96%) dan C (100.28%) pada batch 3. Hal ini berarti bahwa terigu merk C memiliki kekuatan gluten yang lebih dibanding terigu merk A dan C. Terigu yang sesuai untuk produksi wafer adalah terigu dengan kekuatan gluten yang minimal (Kweon et al. 2011).

Berdasarkan analisis ragam ANOVA dengan uji lanjut Duncan menunjukkan nilai persentase SRC air terigu merk A berbeda nyata (P<0.05) dengan terigu merk B dan C. Nilai persentase SRC sukrosa tidak berbeda nyata (P>0.05) pada ketiga merk terigu. Nilai persentase SRC natrium karbonat terigu merk A tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan terigu merk B, namun berbeda nyata (P<0.05) dengan terigu merk C. Nilai persentase SRC asam laktat menunjukkan terigu merk B tidak tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan terigu merk A dan C, namun terigu merk A berbeda nyata (P<0.05) dengan terigu merk C. Perolehan nilai SRC dari ketiga merk terigu dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Nilai persentase SRC dari ketiga merk terigu

Terigu SRC (%)

Air Sukrosa Natrium karbonat Asam laktat A 58.64a 100.77a 77.24a 94.10a B 64.45b 101.23a 83.17a 98.01ab C 69.02b 102.41a 93.44b 111.29b

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Gluten Performance Index (GPI) ditemukan sebagai parameter yang lebih baik dalam menentukan performance glutenin pada terigu secara keseluruhan (Chung 2013). Nilai GPI berkorelasi terhadap nilai SRC asam laktat, SRC natrium

16

karbonat, dan SRC sukrosa. Nilai GPI yang diperoleh dari ketiga merk terigu pada tiap batch dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Nilai GPI terigu masing-masing merk terigu pada ketiga batch

Hasil analisis GPI menunjukkan bahwa terigu merk C memiliki nilai GPI yang paling tinggi (0.6233, 0.5843) dibanding terigu merk A (0.5251, 0.5134) dan B (0.5368, 0.4996) pada batch 1 dan 2, namun memiliki nilai GPI yang paling rendah (0.5001) dibanding terigu merk A (0.5483) dan B (0.5582) pada batch 2. Terigu merk C memiliki nilai GPI yang cenderung lebih tinggi dibandingkan terigu merk A dan B. Nilai GPI yang tinggi menunjukkan kekuatan gluten maksimal. Berdasarkan analisis ragam ANOVA terhadap nilai GPI menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) antara terigu merk A, B, dan C. Hasil analisis GPI dari ketiga merk terigu dapat dilihat pada Tabel 12 dan hubungan antara nilai SRC dan GPI dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 12 Nilai GPI dari ketiga merk terigu

Terigu GPI

A 0.5289a

B 0.5315a

C 0.5692a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Batch

GPI

Terigu A Terigu B Terigu C

1 0.5251 0.5368 0.6233

2 0.5134 0.4996 0.5843

17

Gambar 3 Grafik hubungan antara nilai SRC dan GPI

Berdasarkan hasil analisis SRC dan GPI dapat dilihat bahwa nilai GPI berbanding lurus dengan nilai SRC asam laktat, namun berbanding terbalik dengan nilai SRC sukrosa dan SRC natrium karbonat. Terigu untuk produksi wafer membutuhkan penyerapan air yang rendah, jumlah pentosan yang rendah, jumlah kerusakan pati yang rendah, dan kekuatan gluten minimal (Kweon et al. 2011). Terigu merk A merupakan merk terigu yang paling sesuai untuk digunakan pada aplikasi pembuatan wafer dengan kemampuan penyerapan air yang rendah, jumlah pentosan yang rendah, jumlah kerusakan pati rendah, dan kekuatan gluten minimal. Menurut U.S. Wheat Crop Quality Seminars (2013), nilai referensi SRC terigu protein rendah pada aplikasi produk wafer dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Nilai referensi SRC terigu protein rendah pada aplikasi produk wafer (U.S. Wheat Crop Quality Seminars2013)

Pelarut SRC (%)

Terigu untuk wafer

Air 50–70

Sukrosa 80–110

Natrium karbonat (pH 11) 60–85 Asam laktat (pH 2) 80–100 Keterangan:

Nilai SRC pelarut air, sukrosa, dan natrium karbonat dipilih nilai yang lebih rendah dari tabel.

Nilai SRC pelarut asam laktat dibutuhkan nilai yang lebih tinggi dari tabel untuk menghasilkan produk akhir yang lebih kuat.

18

Kekerasan Wafer

Tekstur merupakan faktor sensori yang penting untuk menghasilkan sensasi trigeminal dari suatu produk saat dikonsumsi. Matz et al (1984) menjelaskan bahwa mudah tidaknya bahan makanan itu hancur ditentukan oleh mudah tidaknya partikel-partikel saling terpisah bila dikunyah. Wafer yang telah dibuat kemudian diukur tingkat kekerasannya secara obyektif menggunakan alat Stable Micro System Texture Analyzer TA-XT Plus. Kekerasan wafer diukur dengan texture analyzer dan dinyatakan satuan gram gaya (gram force/gf). Semakin besar resistensi untuk deformasi, maka semakin keras tekstur produk wafer. Hasil analisis kekerasan wafer dari ketiga merk terigu yaitu berkisar antara 1610.70 gf sampai 2049.57 gf. Kekerasan terendah terdapat pada adonan wafer terigu merk A dan kekerasan tertinggi pada adonan wafer terigu merk C. Hasil analisis kekerasan wafer dari ketiga merk terigu dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Nilai kekerasan wafer dari ketiga merk terigu Terigu Kekerasan (gf)

A 1610.70a

B 1784.29b

C 2049.57c

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Hasil analisis kekerasan wafer dari ketiga merk terigu yang diperoleh adalah sekitar 1610.70–2049.57gf. Kekerasan terendah terdapat pada wafer dari terigu merk A, sedangkan kekerasan tertinggi pada wafer dari terigu merk C. Berdasarkan analisis ragam ANOVA dengan uji lanjut Duncan menunjukkan hasil kekerasan wafer dari terigu merk A berbeda nyata (P<0.05) dengan kekerasan wafer dari terigu merk B dan C. Apabila dilihat dari karakteristik kekerasan wafer pada tiap batch-nya, analisis ragam ANOVA dengan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kekerasan wafer dari terigu merk A tidak berbeda nyata (P>0.05) pada tiap batch-nya. Wafer dari terigu merk B pada batch 2 berbeda nyata (P<0.05) dengan batch 1, namun tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan batch 3. Wafer dari terigu merk C pada batch 1 tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan batch 2, namun berbeda nyata (P<0.05) dengan batch 3. Hasil analisis kekerasan wafer dari terigu merk A, B, dan C dari ketiga batch dapat dilihat secara berturut-turut pada Tabel 15, 16, dan 17.

Tabel 15 Nilai kekerasan wafer terigu merk A dari ketiga batch Terigu Batch Kekerasan (gf)

A

1 1560.02a 2 1631.50a 3 1640.58a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

19 Tabel 16 Nilai kekerasan wafer terigu merk B dari ketiga batch

Terigu Batch Kekerasan (gf) B

1 1933.93a 2 1700.01b 3 1718.92b

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 17 Nilai kekerasan wafer terigu merk C dari ketiga batch Terigu Batch Kekerasan (gf)

C

1 2086.72a 2 2237.69a 3 1824.31b

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Uji Organoleptik Metode Rating Hedonik

Analisis sensori yang digunakan pada penelitian ini adalah uji hedonik. Uji ini digunakan untuk menentukan tingkat kesukaan dan ketidaksukaan panelis terhadap kekerasan wafer. Panelis yang digunakan sebanyak 30 dan panelis tidak diperkenankan untuk membandingkan antar sampel. Uji rating hedonik yang digunakan menggunakan skala kategori lima poin. Hasil uji rating hedonik kekerasan produk wafer dari ketiga merk terigu disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer dari ketiga merk terigu Terigu Skor kesukaan panelis terhadap atribut

kekerasan wafer

A 3.6a

B 3.7ab

C 3.8b

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Secara overall, hasil uji subyektif menunjukkan wafer yang dibuat dari ketiga merk terigu dapat diterima tingkat kesukaannya terhadap atribut kekerasan wafer dengan nilai tingkat penerimaan > 3.5. Nilai kesukaan secara keseluruhan bernilai antara 3.6 sampai 3.8 (antara suka dan tidak suka hingga suka). Hasil uji organoleptik menunjukkan wafer dari terigu merk C lebih disukai oleh panelis dibandingkan wafer dari terigu merk A dan B.

Berdasarkan analisis ragam ANOVA dengan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap kekerasan wafer dari terigu merk A tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan wafer dari terigu merk B, namun berbeda nyata (P<0.05) dengan wafer dari terigu merk C. Apabila dilihat dari karakteristik

20

kesukaan panelis terhadap kekerasan wafer menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap kekerasan wafer dari terigu merk A, B, dan C tidak berbeda nyata (P>0.05) pada tiap batch-nya. Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer dari terigu merk A, B, dan C dari ketiga batch dapat dilihat secara berturut-turut pada Tabel 19, 20, dan 21.

Tabel 19 Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer terigu merk A dari ketiga batch Terigu Batch Skor kesukaan panelis terhadap atribut

kekerasan wafer A

1 3.6a

2 3.6a

3 3.6a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 20 Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer terigu merk B dari ketiga batch Terigu Batch Skor kesukaan panelis terhadap atribut

kekerasan wafer B

1 3.7a

2 3.8a

3 3.7a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 21 Hasil uji rating hedonik kekerasan wafer terigu merk C dari ketiga batch Terigu Batch Skor kesukaan panelis terhadap atribut

kekerasan wafer C

1 3.7a

2 3.9a

3 3.8a

Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Korelasi Kekerasan Wafer secara Obyektif dan Subyektif

Pada Tabel 14 dan 18, dapat dibandingkan antara nilai kekerasan wafer dengan skor kesukaan panelis terhadap atribut kekerasan wafer. Pada Tabel 14, dapat dilihat bahwa wafer dari terigu merk A memiliki nilai kekerasan yang paling rendah yaitu sebesar 1610.70 gf, sedangkan wafer dari terigu merk C memiliki nilai kekerasan yang paling tinggi yaitu sebesar 2049.57 gf. Pada tabel 18, dapat dilihat bahwa wafer yang memiliki skor kesukaan terhadap atribut kekerasan tertinggi adalah wafer yang dibuat dari terigu merk C dengan skor kesukaan sebesar 3.8, sedangkan wafer yang memiliki skor kesukaan terhadap atribut kekerasan terendah adalah wafer yang dibuat dari terigu merk A dengan

21 skor kesukaan sebesar 3.6. Dari dua analisis ini, dapat disimpulkan bahwa panelis lebih menyukai produk wafer dengan tekstur yang lebih keras.

Hubungan antara nilai kekerasan wafer dan skor kesukaan panelis terhadap atribut kekerasan wafer juga dapat dilihat darinilai kekerasan wafer yang lebih tinggi memiliki skor kesukaan panelis terhadap atribut kekerasan wafer yang lebih tinggi pula pada tiap batch-nya. Hubungan antara nilai kekerasan wafer secara obyektif dan subyektif disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Grafik hubungan antara kekerasan wafer secara obyektif dan subyektif Korelasi Kekerasan Wafer dengan Analisis Terigu

Kekerasan wafer juga dapat dikorelasikan dengan analisis terigu yang dilakukan. Analisis terigu yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis fisik yang meliputi viskositas adonan, SRC air, SRC sukrosa, SRC natrium karbonat, SRC asam laktat, dan GPI. Masing-masing analisis terigu dilihat korelasinya terhadap kekerasan wafer yang dihasilkan. Pada analisis viskositas adonan, nilai kekerasan wafer cenderung meningkat dengan seiring meningkatnya viskositas adonan. Kurva linearitas analisis viskositas adonan dengan tekstur wafer yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5.

22

Gambar 5 Kurva linearitas viskositas adonan dengan kekerasan wafer Persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu y = 1.145x - 6912.8 dengan R2 sebesar 0.8637 (R2>0.50). Hasil persamaan regresi linear menunjukkan viskositas adonan dengan kekerasan wafer yang dihasilkan memiliki linearitas yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai viskositas adonan berpengaruh terhadap kekerasan wafer yang dihasilkan. Hubungan viskositas adonan terhadap tekstur akhir wafer adalah wafer dengan viskositas adonan yang terlalu encer menghasilkan wafer dengan nilai kekerasan yang lebih rendah, namun apabila viskositas adonan terlalu kental akan menghasilkan wafer dengan tekstur yang lebih keras. Selain itu, adonan wafer yang terlalu kental akan sulit untuk memenuhi seluruh luas permukaan baking plate karena adonan tidak tersebar secara merata dan dapat menimbulkan kerusakan pada alat, sedangkan adonan wafer yang terlalu encer dapat menyebabkan sheet wafer melengkung (U.S. Wheat Associates 2006).

Nilai SRC air menunjukkan pengaruhnya terhadap daya serap air oleh terigu. Terigu yang digunakan dalam produksi wafer adalah terigu jenis protein rendah. Terigu protein rendah ini memiliki daya serap air yang rendah sehingga akan menghasilkan adonan yang sukar diuleni, tidak elastis, dan daya pengembangan yang rendah (Bennion 1980). Sifat tersebut cocok pada aplikasi pembuatan wafer dimana tidak dibutuhkan daya pengembangan yang tinggi. Kurva linearitas analisis SRC air dengan tekstur wafer yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 6.

23

Gambar 6 Kurva linearitas SRC air dengan kekerasan wafer

Persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu y = 31.495x - 201.95 dengan R2 sebesar 0.4608 (R2<0.50). Hasil persamaan regresi linear menunjukkan nilai SRC air dengan kekerasan wafer yang dihasilkan memiliki linearitas yang tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai SRC tidak cukup berpengaruh terhadap kekerasan wafer yang dihasilkan.

Nilai SRC sukrosa menunjukkan banyaknya pentosan yang terkandung di dalam terigu. Pentosan merupakan polisakarida yang tidak mengandung nitrogen. Pentosan yang mengalami hidrolisis secara sempura akan menghasilkan molekul pentosa. Pentosan pada terigu memiliki pengaruh terhadap warna cokelat pada biskuit (Xiao et al. 2006). Kurva linearitas analisis SRC sukrosa dengan tekstur wafer yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 7.

24

Persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu y = 11.914x + 605.9 dengan R² sebesar 0.0152 (R2<0.50). Hasil persamaan regresi linear menunjukkan nilai SRC sukrosa dengan kekerasan wafer yang dihasilkan memiliki linearitas yang tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai SRC sukrosa tidak cukup berpengaruh terhadap kekerasan wafer yang dihasilkan.

Nilai SRC natrium karbonat menunjukkan banyaknya kerusakan pati di dalam terigu akibat proses penggilingan gandum. Pengaruh semakin banyak kerusakan pati pada terigu adalah meningkatkan WHC terigu, mencegah optimasi pembentukan gluten selama proses mixing, serta menurunkan konsistensi adonan (Barreraet al. 2007). Kurva linearitas analisis SRC natrium karbonat dengan tekstur wafer yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Kurva linearitas SRC natrium karbonat dengan kekerasan wafer Persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu y = 19.167x + 193dengan R2 sebesar 0.4592 (R2<0.50). Hasil persamaan regresi linear menunjukkan nilai SRC natrium karbonat dengan kekerasan wafer yang dihasilkan memiliki linearitas yang tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai SRC sukrosa tidak cukup berpengaruh terhadap kekerasan wafer yang dihasilkan.

Nilai SRC asam laktat menunjukkan kandungan gluten pada terigu. Kandungan gluten menentukan kadar protein terigu. Semakin tinggi kadar gluten, maka semakin tinggi kadar protein terigu tersebut (U.S. Wheat Associates 2006). Menurut Matz (1992), terigu yang sesuai untuk produk biskuit seperti cookie, cracker, dan wafer adalah terigu berkadar protein rendah. Tujuannya adalah agar produk yang dihasilkan renyah dan tidak keras. Kurva linearitas analisis SRC asam laktat dengan tekstur wafer yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 9.

25

Gambar 9 Kurva linearitas SRC asam laktat dengan kekerasan wafer Persamaan regresi linear yang diperoleh yaitu y = 20.47x – 255.33 dengan R2 sebesar 0.7539 (R2>0.50). Hasil persamaan regresi linear menunjukkan SRC asam laktat dengan kekerasan wafer yang dihasilkan memiliki linearitas yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai SRC asam laktat berpengaruh terhadap kekerasan wafer yang dihasilkan.

Nilai GPI ditemukan sebagai parameter yang lebih baik dalam menentukan performance glutenin pada terigu secara keseluruhan (Chung 2013). Nilai GPI

Dokumen terkait