• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geometri

Proses geometri merupakan proses memasukkan informasi lapang pada software sesuai dengan parameter pada saat akuisisi data. Penyesuaian data pada geometri dilakukan dengan Inline geom header load untuk menghasilkan data yang telah memiliki informasi lapang. Output geometri berupa gabungan trace seismik yang ditampilkan dengan wiggle trace. Wiggle trace merupakan tampilan dari tipe tembakan data seismik yang memiliki informasi amplitudo yang berubah terhadap waktu. Tampilan wiggle trace pada gambar 7 ditampilkan dengan urutan FFID pada timegate 3300 ms hingga 8000 ms dalam two way traveltime (TWT). Pada wiggle trace, peristiwa refleksi ditandai dengan amplitudo gelombang yang besar dan terkonsentrasi pada bagian atas sub-permukaan.

Hasil perekaman seismik refleksi akan selalu mengandung noise. Pada tampilan wiggle trace pada gambar 7 menampilkan noise acak yang bercampur dengan sinyal refleksi sehingga akan menurunkan kualitas rekaman seismik. Noise juga terlihat setelah peristiwa refleksi yang memiliki amplitudo yang tinggi dan bentuknya tidak koheren. Selain itu trace menunjukkan adanya channel yang tidak merefleksikan amplitudo gelombang seismik yang ditandai kotak berwarna biru yaitu pada recording channel nomor 54. Peristiwa ini merupakan noise yang terjadi karena kerusakan kanal saat akuisisi sehingga disebut noise instrumen (Yilmaz 1987). Trace seismik dipengaruhi oleh wavelet yaitu gabungan source signature, recording filter, refleksi permukaan dan respon hydrophone. Source signature merupakan karakteristik gelombang yang dihasilkan sumber gelombang seismik, yaitu airgun. Signature seismik yang terdiri dari beberapa airgun mungkin saja dapat berubah terhadap ketidak-stabilan geometri array airgun. Signature akan mempengaruhi keefektifan penerapan dekonvolusi karena dekonvolusi kurang efektif diterapkan pada data dengan bentuk ekor signature yang tidak teratur.

10

Gambar 7. Wiggle trace geometri, kotak merah menunjukkan campuran sinyal dan noise, kotak biru menunjukkan noise instrumen

Refleksi terjadi karena ada perbedaan impedansi akustik pada dua lapisan. Perbedaan impedansi akustik pada bagian sub-permukaan dasar laut menunjukkan adanya material-material yang berbeda antar lapisan. Perbedaan material-material lapisan tersebut pada suatu trace seismik terdisplay dalam warna hitam yang menyatakan amplitudo seismiknya. Noise dan sinyal pada wavelet seismik dapat dibedakan melalui bentuk tubuh gelombangnya. Suatu sinyal seismik biasanya memiliki bentuk puncak (peak) dan lembah (through) yang jelas pada tubuh gelombangnya sedangkan noise tidak memiliki bentuk tubuh gelombang yang jelas. Tampilan wiggle trace diperbesar pada gambar 8 sehingga terlihat dengan jelas bentuk tubuh gelombang seismik dengan polaritas yang terbalik sehingga kenaikan impedansi akustik dilambangkan dengan puncak (peak) pada trace seismik. Selain itu gelombang seismik termasuk kedalam jenis konversi SEG yang ditandai dengan bentuk gelombang yang menghadap ke kanan (Yilmaz 2001).

11

Gambar 8. Output geometri yang telah diperbesar (zoom) Analisis Spektral

Rekaman seismik merupakan rekaman amplitudo dalam rentang waktu tertentu. Amplitudo dari beberapa trace adalah sebuah kombinasi dari sejumlah faktor yaitu kekuatan tembakan, respon hidrofon, jarak dari trace, densitas, perbedaan kecepatan pada bidang reflektor dan noise (Mukaddas 2005). Sinyal dapat dilihat secara khusus melalui karakter gelombang yaitu amplitudo, frekuensi dan fasa. Analisis spektral memperlihatkan frekuensi dominan yang terkandung pada data sehingga desain frekuensi dapat ditentukan. Pada umumnya rentang frekuensi pada data laut berkisar 0-100 Hz (Elboth 2010), namun besarnya juga dapat bergantung pada frekuensi kekuatan source dan kondisi bawah permukaan. Analisis spektral didapatkan melalui subflow Interactive Spectral Analysis. Gambar 8 merupakan hasil analisis spektral dari geometri pada lintasan 16. Analisis spektral menunjukkan wavelet pada domain waktu dan transformasinya menjadi komponen-komponen t-x, spektrum amplitudo, domain F-X, dan spektrum fasa.

Spektrum amplitudo (gambar 9(b)) menunjukkan hubungan antara sumbu x sebagai frekuensi dan sumbu y sebagai dBPower yang merepresentasikan amplitudo wavelet seismik. Spektrum amplitudo ini mengandung informasi keberadaan noise dan sinyal yang terdapat pada data. Gambar 9 merupakan analisis spektral pada geometri sebelum dilakukan preprocessing. Pada spektrum amplitudo pada gambar 9(b) terlihat nilai amplitudo tertinggi sinyal yaitu -60 dB pada frekuensi 80 Hz.

12

Gambar 9. Analisis spektral tanpa dekonvolusi(a) domain waktu, (b) spektrum amplitudo, (c) domain F-X, dan (d) domain fasa

Grafik sinyal amplitudo (gambar 9(b)) memperlihatkan hasil perekaman dengan frekuensi dan amplitudo yang rendah. Noise terdapat pada semua frekuensi dalam rekaman seismik. Menurut Krail (2010) kondisi cuaca dan gelombang dapat menjadi penyebab pengurangan refleksi amplitudo serta mempengaruhi stabilitas geometri. Spektrum fasa pada gambar 9(d) memperlihatkan bentuk fasa yang energinya terkonsentrasi pada bagian awal wavelet. Pada gambar juga memperlihatkan campuran sinyal dan noise memiliki fasa yang lebih tinggi pada bagian awal sinyal sehingga dapat disebut sebagai minimum-phase. Spektrum fasa minimum memiliki energi tunda yang menurun dari awal hingga akhir wavelet sehingga energi wavelet terkonsentrasi pada bagian awal. Pada spektrum fasa minimum, sinyal memiliki fasa yang tinggi dan noise memiliki nilai fasa yang rendah. Menurut Yilmaz (2001) dekonvolusi spiking dan dekonvolusi prediktif efektif diterapkan pada wavelet yang fasanya minimum. Minimum-phase wavelet memiliki inverse yang berbentuk minimum-phase juga sehingga bentuk fasa ini yang ideal untuk diterapkan dekonvolusi baik spiking maupun prediktif.

Bandpass filter dapat digunakan untuk menghilangkan noise yang tidak diinginkan (Elboth et al. 2009) sehingga Ormsby bandpass dengan rentang frekuensi 10-15-70-80 Hz diterapkan pada data. Selain proses filtering dilakukan True Amplitude Recovery (TAR) untuk mengembalikan energi yang hilang akibat terserap oleh filter bumi. Proses penentuan nilai TAR dilakukan dengan test parameter dalam TAR dengan menggunakan beberapa nilai intensitas sebagai pembanding. Nilai TAR yang digunakan pada penelitian adalah -1 dB/sec.

Analisis Kecepatan

Metode yang digunakan dalam melakukan analisa kecepatan adalah dengan metode semblance. Semblance merupakan salah satu atribut koherensi

13 pembentuk spektrum kecepatan yang mewakili hubungan kecepatan dengan koreksi NMO-nya. Nilai semblance merupakan rasio energi keluaran dengan energi masukan sinyal seismik yang telah dikoreksi NMO. Hal ini berarti nilai semblance mewakili hasil koreksi NMO yang paling tepat. Metode semblance menampilkan kecepatan dalam kontur warna serta menggunakan atribut semblance panel. Selanjutnya picking warna dilakukan untuk melihat koherensi maksimum dari setiap pantulan utama pada waktu tertentu. Warna yang mewakili koherensi maksimum adalah warna merah sedangkan warna biru mewakili koherensi minimum. Warna dengan koherensi maksimum menunjukkan respon amplitudo yang kuat.

Gambar 10. Picking kecepatan dengan menggunakan metode semblance pada CDP 1001

Pada data terdapat 17592 CDP dan analisa dilakukan pada beberapa CDP saja karena picking kecepatan akan diinterpolasikan ke semua CDP. Analisa kecepatan dilakukan pada setiap kenaikan 500 nomor CDP sehingga didapatkan 35 panel semblance yang dianalisa, menunjukkan nilai kecepatan yang di plot pada domain kecepatan dan waktu. Dalam melakukan picking kecepatan, titik picking yang dipilih tidak hanya melihat kontur warna pada semblance namun juga memperkirakan titik picking yang dapat meluruskan refektor. Dalam metode ini function dan dynamic stack panel digunakan untuk membantu dalam melakukan pemilihan kecepatan. Function stack panel dan dynamic stack panel membantu dalam melihat pola kemenerusan refleksi untuk koreksi NMO. Pada gambar 10 terlihat bahwa pola kontur kecepatan memiliki kecenderungan bertambah terhadap waktu. Namun pada waktu 2800 ms – 3400 ms terjadi penurunan kecepatan karena titik picking yang dipilih diutamakan meluruskan reflektor. Jadi picking kecepatan dapat dilakukan terkonsentrasi pada refleksi primer dan tetap mempertimbangkan korelasi dengan koreksi NMO. Sehingga titik picking tidak selalu pada semblance dengan warna yang memiliki koherensi maksimum. Selain itu picking juga tidak dilakukan pada data yang dianggap

14

multiple (Rahadian 2011). Sehingga diperlukan konsentrasi tinggi pada tahapan ini karena multiple terlihat menyerupai reflektor. Pertambahan kecepatan terhadap kedalaman sesuai dengan teori bahwa semakin bertambah kedalaman maka impedansi akustik akan semakin besar. Hal ini berhubungan terhadap material pengisi pori batuan (air, minyak dan gas) atau porositas yang mempengaruhi kecepatan.

Kecepatan juga berperan dalam menghasilkan resolusi penampang yang baik karena dengan pertambahan kecepatan maka resolusi akan semakin rendah. Pada kedalaman yang semakin dalam maka bumi sebagai suatu filter akan mengatenuasi frekuensi tinggi dan diikuti dengan kecepatan yang semakin besar. Kedua fenomena tersebut justru akan memperburuk resolusi. Jadi untuk meningkatkan resolusi vertikal seismik maka faktor kecepatan dan frekuensi harus diperhatikan. Karena tidak ada yang dapat dilakukan terhadap faktor kecepatan maka faktor frekuensi saja yang dapat diubah melalui processing data.

Dekonvolusi

Gelombang seismik yang merambat mengalami efek filter oleh bumi, sehingga mengakibatkan amplitudo gelombang seismik menjadi menurun. Selain itu efek perambatan gelombang lainnya adalah adanya noise dan multiple yang mengganggu interpretasi data. Proses dekonvolusi diperlukan untuk pengompresan wavelet sehingga memperoleh estimasi dari reflektifitas lapisan bumi dan menghilangkan karakter wavelet sumber. Selain itu dekonvolusi dapat meningkatkan resolusi temporal. Tipe dekonvolusi yang digunakan pada penelitian ini adalah dekonvolusi spiking dan dekonvolusi prediktif.

Keefektifan dekonvolusi sangat tergantung dari operator filter yang didesain. Dekonvolusi spiking menggunakan operator filter yang sudah didesain untuk membentuk wavelet sesuai dengan reflektifitas. Pada dekonvolusi spiking parameter yang digunakan yaitu operator length. Sedangkan pada dekonvolusi prediktif digunakan dua parameter yaitu prediction distance (gap) dan operator length. Kedua parameter ini didapatkan dari hasil autokorelasi pada trace data seismik.

Pemilihan parameter dekonvolusi bergantung kepada karakteristik autokorelasi trace seismik. Maka dari itu penting untuk memilih jendela autokorelasi (gate) yang digunakan untuk memprediksi parameter dekonvolusi. Menurut Yilmaz (2001) jendela autokorelasi yang dibuat terbatas pada rekaman yang memiliki refleksi primer. Picking jendela autokorelasi dilakukan dalam format shot gather ditunjukkan pada gambar 11.

15

Gambar 11. Wiggle trace geometri, garis merah merupakan picking gate autokorelasi

Reflektivitas merupakan proses acak sehingga sebuah autokorelasi trace seismik dianggap hampir sama dengan autokorelasi wavelet seismik (Dey 1999). Melalui autokorelasi dapat dideteksi periode yang berulang antara sinyal dan keberadaan noise. Desain parameter dekonvolusi umumnya ditentukan melalui autokorelasi. Suatu autokorelasi seismik memiliki transient zone yang merupakan zona peralihan pertama saat autokorelasi memiliki amplitudo yang besar kembali sehingga durasi waktu transient zone menjadi nilai operator length. Nilai operator length sendiri menunjukkan panjang wavelet refleksi primer yang bersifat tidak dapat diprediksi. Gambar 13 merupakan autokorelasi geometri seismik sepanjang 500 ms. First transient zone dari gambar 13 ditunjukkan pada waktu 140 ms dan second transient zone ditunjukkan pada waktu 190 ms. Menurut Dondurur dan Hakan (2012) operator length antara 10% hingga 25% dari panjang trace menghasilkan dekonvolusi yang sesuai. Penentuan nilai operator length terbaik dapat ditentukan melalui trial and error yaitu dengan melihat perbandingan analisis spektral, wiggle trace, dan stack. Gambar 12 merupakan parameter test hasil perbandingan beberapa decon operator length. Melalui hasil parameter test dihasilkan parameter operator length terbaik yaitu 190 ms. Operator length yang lebih besar dari 190 ms kurang efektif dalam menekan wavelet.

16

Gambar 12. Parameter test dengan beberapa decon operator length

Parameter prediction distance untuk dekonvolusi prediktif secara teori dipilih berdasarkan second zero crossing. Second zero crossing pada gambar 13 berada pada waktu 30 ms. Second zero crossing dipilih karena dapat menghilangkan short-path multiple. Penggunaan prediction distance pada second zero crossing akan meninggalkan wavelet yang berbentuk lobe negatif dan lobe positif. Dekonvolusi prediktif dengan menggunakan prediction distance yang lebih pendek dapat membuang energi lebih besar, yang diharapkan dapat menghilangkan reverberasi (Yilmaz 2001). Sehingga desain filter untuk dekonvolusi prediktif pada penelitian ini adalah operator length 190 ms dan prediction distance 30 ms.

Faktor white noise juga berpengaruh pada kualitas dekonvolusi untuk mencegah ketidak-stabilan hasil dekonvolusi. White noise factor yang digunakan pada prapemrosesan data biasanya antara 0 hingga 1%. White noise factor yang digunakan pada penelitian ini adalah 0.1%. Semakin kecil faktor white noise yang dibutuhkan maka resolusi data seismik semakin baik (Perez dan David 2000). Hasil penerapan operator white noise akan terlihat pada hasil spektrum amplitudonya.

17

Gambar 13. Autokorelasi geometri

Wiggle Trace

Suatu trace seismik merupakan suatu konvolusi dari wavelet sumber dengan reflektor series. Dekonvolusi diterapkan pada data seismik untuk membentuk wavelet agar menghasilkan bentuk wavelet yang spike. Maka dari itu hasil penerapan dekonvolusi dapat dilihat melalui wiggle trace. Gambar 14 merupakan wiggle trace setelah penerapan dekonvolusi spiking sementara gambar 15 merupakan gambar wiggle trace setelah penerapan dekonvolusi prediktif. Wiggle trace dengan penerapan dekonvolusi jika dibandingkan dengan wiggle trace geometri (gambar 7) menunjukkan hasil yang lebih bersih dari noise. Output geometri yang lebih banyak mengandung noise disebabkan belum diterapkannya proses preprocessing yang menghilangkan efek filter bumi dan mengembalikan amplitudonya yang telah hilang sebelumnya. Sehingga output geometri masih mengandung noise filter bumi. Jika kedua wiggle trace dekonvolusi pediktif dan dekonvolusi spiking dibandingkan maka terlihat bahwa wiggle trace dengan penerapan dekonvolusi prediktif menampilkan trace yang lebih bersih dari noise dibandingkan dengan wiggle trace pada dekonvolusi spiking. Perbedaan keduanya terlihat jelas pada first break yang lebih baik pada dekonvolusi prediktif. Hasil dekonvolusi prediktif menunjukkan wiggle trace yang lebih bersih dari noise. Dengan dekonvolusi prediktif terlihat bahwa wavelet telah terkompresi dengan lebih baik.

18

Gambar 14. Wiggle trace dekonvolusi spiking

Gambar 15. Wiggle trace dekonvolusi prediktif Analisis Spektral Dekonvolusi

Analisis spektral dari dekonvolusi spiking diperlihatkan melalui gambar 16 dan analisis spektral dekonvolusi prediktif diperlihatkan melalui gambar 17. Kedua gambar tersebut memperlihatkan spektrum amplitudo dan spektrum fasa masing-masing dekonvolusi. Hasil analisis spektral menunjukkan perubahan energi wavelet jika dibandingkan dengan output geometri (gambar 9). Secara keseluruhan spektrum amplitudo memperlihatkan amplitudo noise dapat dilemahkan dan amplitudo sinyal dapat dikuatkan. Penguatan amplitudo sinyal menunjukkan bahwa wavelet telah dipersingkat sehingga menghasilkan resolusi yang lebih baik pada penampang seismik (Yilmaz 2001).

Pada spektrum amplitudo geometri (gambar 9) terlihat bahwa nilai power sinyal mencapai ± -60 dB. Pada spektrum amplitudo dekonvolusi spiking (gambar 15) jika dibandingkan dengan spektrum amplitudo dekonvolusi prediktif pada

19 gambar 16 menunjukkan nilai power yang berbeda. Pada dekonvolusi spiking nilai power sinyal yaitu sebesar ± -10 dB. Sementara nilai power sinyal dengan penerapan dekonvolusi prediktif yaitu sebesar ± -1 dB. Peningkatan energi trace setelah dekonvolusi merupakan salah satu keberhasilan dekonvolusi yaitu wavelet mengalami pemendekan.

Spektrum fasa pada gambar 16 dan 17 menggambarkan spektrum minimum pada domain frekuensi (minimum phase) yaitu nilai fasa tertinggi merupakan fasa sinyal dan nilai fasa rendah merupakan fasa noise. Pada gambar 16 kisaran nilai fasa yaitu antara ± -70 radian hingga ± 70 radian. Pada gambar 17 dengan penerapan dekonvolusi prediktif kisaran nilai fasa yaitu ± -85 radian hingga ± 65 radian. Bentuk wavelet dengan fasa minimum merupakan bentuk wavelet yang ideal karena bentuk wavelet fasa minimum memiliki fasa yang tinggi dan terkonsentrasi di bagian awal sementara pada bagian akhir fasa memiliki nilai yang rendah. Sesuai dengan teori oleh Yilmaz (2001) bahwa bentuk fasa yang minimum pada geometri akan menghasilkan inverse yang berbentuk fasa minimum juga. Sementara pada bagian akhir fasa pada dekonvolusi prediktif yaitu berada pada kisaran ± 10 radian hingga ± -35 radian. Dekonvolusi spiking yang memiliki kisaran fasa ± 20 radian hingga ± -20 radian. Kisaran nilai fasa akhir terkecil menggambarkan keefektifan dekonvolusi dalam menekan efek noise. Dekonvolusi spiking memiliki kisaran fasa akhir yang lebih kecil dibandingkan dengan dekonvolusi prediktif. Hal ini tidak sesuai dengan teori dalam Zhu dan Wang (2013) yang menyatakan bahwa dekonvolusi prediktif mampu menekan multiple danreverberasi.

Pada spektrum amplitudo juga terlihat perbedaan power pada frekuensi tinggi padahal sebelumnya bandpass filter sudah diterapkan untuk menghindari noise frekuensi rendah dan noise frekuensi tinggi. Spektrum amplitudo memiliki power yang lebih tinggi pada dekonvolusi spiking daripada dekonvolusi prediktif. Sedangkan jika dibandingkan dengan power pada output geometri, power pada dekonvolusi spiking memperlihatkan peningkatan power pada frekuensi tinggi yaitu memiliki nilai power noise dengan batas atas ± -32 dB. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan pada dekonvolusi prediktif yang memiliki nilai power noise dengan batas atas ± -50 dB. Sementara pada output geometri (gambar 9) memperlihatkan nilai power noise sebesar ± -80 dB. Peningkatan power pada frekuensi tinggi yang dianggap noise pada dekonvolusi spiking membuktikan bahwa dekonvolusi spiking meningkatkan amplitudo noise berfrekuensi tinggi. Hal ini sesuai dengan Yilmaz (2001) yang menyatakan bahwa dekonvolusi spiking tidak selalu dapat diaplikasikan pada data lapang karena akan meningkatkan noise berfrekuensi tinggi pada data. Sementara pada dekonvolusi prediktif (gambar 17) memiliki power noise yang lebih rendah daripada dekonvolusi spiking. Hal ini merupakan efek dari penerapan prediction distance sehingga noise berfrekuensi tinggi dapat ditekan dan tetap mempertahankan spektrum sinyal. Hal tersebut membuktikan bahwa dekonvolusi prediktif lebih baik dalam menekan noise dan meningkatkan sinyal. Menurut Elboth (2010) noise berfrekuensi tinggi merupakan multiple yang disebabkan material sub-permukaan yang keras. Menurut Ekasapta (2008) noise berfrekuensi tinggi merupakan noise acak dan ditandai dengan bentuk fasa yang tidak sama.

Spektrum amplitudo kedua dekonvolusi menunjukkan bahwa pertambahan power sinyal akan meningkatkan power noise juga. Namun pertambahan power

20

noise tertinggi adalah dengan penerapan dekonvolusi spiking pada data dengan peningkatan sinyal yang lebih rendah daripada dekonvolusi prediktif. Sementara itu dengan penerapan dekonvolusi prediktif sinyal dapat dipertinggi dengan noise yang dapat lebih ditekan. Maka dari itu dekonvolusi prediktif lebih baik diterapkan daripada dekonvolusi spiking karena sinyal dapat lebih meningkat dan noise dapat lebih ditekan.

Gambar 16. Analisis spektral dekonvolusi spiking

Gambar 17. Analisis spektral dekonvolusi prediktif

Pada bagian awal spektrum amplitudo pada masing-masing dekonvolusi juga masih terlihat adanya noise berfrekuensi rendah namun memiliki amplitudo cukup tinggi. Ciri ini menandakan adanya swell noise atau noise lain yang disebabkan oleh kondisi cuaca yang buruk yang terkandung dalam data (Elboth 2010). Jika dibandingkan dengan spektrum amplitudo output geometri pada gambar 9(b) noise ini telah mengalami penekanan dengan penerapan dekonvolusi. Pada

21 spektrum amplitudo terlihat noise berada pada frekuensi ≤ ± 10 Hz. Noise berfrekuensi rendah juga dapat disebabkan gerakan streamer. Pada frekuensi ± 1 Hz terlihat noise yang amplitudonya lebih tinggi dari amplitudo sinyal. Noise ini disebabkan adanya variasi tekanan hidrostatis (Parrish 2005 dalam Elboth 2010).

Poststack Time Migration

Rasio sinyal terhadap noise dapat dipertinggi dengan menjumlahkan trace sedangkan migrasi digunakan untuk memperbaiki posisi reflektor ke posisi yang sebenarnya. Dekonvolusi spiking umumnya digunakan untuk mempersingkat wavelet sehingga resolusi penampang seismik akan meningkat. Gambar 18 merupakan migrasi tanpa penerapan dekonvolusi sebagai perbandingan hasil migrasi dengan menggunakan dekonvolusi spiking dan dekonvolusi prediktif. Penampang seismik hasil penerapan dekonvolusi spiking (gambar 19) dan dekonvolusi prediktif (gambar 20) membentuk pola reflektifitas struktur bawah permukaan yang ditamplikan dalam waktu tempuh gelombang TWT antara 3200 ms hingga 4500 ms yang menunjukkan titik reflektor dengan variasi amplitudo untuk setiap reflektor secara vertikal. Lingkaran merah pada gambar 18 menunjukkan ketidak-stabilan yang terjadi saat akuisisi seismik di lapang sehingga menghasilkan beberapa refleksi yang muncul dan saling bertumpuk pada permukaan bawah laut. Selain itu refleksi bawah permukaan terlihat tidak kontinu dan waktukemunculan refleksi menjadi berubah.

Pada gambar hasil dekonvolusi spiking (gambar 19) menunjukkan adanya multiple lintasan panjang pada data. Keberadaan multiple pada gambar 19 menunjukkan penerapan dekonvolusi spiking belum mampu untuk menekan multiple. Hal ini sesuai dengan teori bahwa dekonvolusi spiking diterapkan pada data seismik untuk mengembalikan bentuk wavelet dan tidak mampu untuk menekan multiple. Karena dekonvolusi spiking menekan wavelet menjadi bentuk yang ideal pada data sehingga menyebabkan bentuk wavelet yang lebih spike. Hasil penampang seismik dengan menggunakan dekonvolusi spiking menunjukkan kemenerusan lapisan yang terputus-putus sehingga akan sulit dalam proses interpretasinya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bestari (2012) bahwa dekonvolusi spiking belum mampu menghilangkan efek multiple.

Gambar 20 merupakan penampang seismik dengan penerapan dekonvolusi prediktif. Dekonvolusi prediktif diterapkan pada data seismik untuk menghilangkan noise yang bersifat periodik dalam domain waktu, yaitu multiple dan reverberasi. Pada gambar 20 dasar laut dan multiple terlihat kuat dan kontinu. Namun setelah diperhatikan pada hasil migrasi, multiple muncul pada waktu 140 ms hingga 160 ms setelah water bottom sepanjang line FLRS-16. Multiple yang terlihat pada hasil migrasi tidak bersifat periodik yaitu prediktabilitasnya tidak konstan. Multiple ini tidak dapat dihilangkan secara keseluruhan dengan dekonvolusi. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bestari (2012) bahwa dekonvolusi prediktif mampu menghilangkan efek multiple dan meminimalkan efek noise sehingga menampakkan bidang-bidang patahan. Jika dibandingkan dengan penampang hasil dekonvolusi spiking terlihat bahwa hasil penampang seismik dengan dekonvolusi prediktif tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan bentuk ekor signature yang tidak teratur akibat sinkronisasi array airgun di lapang yang kurang efektif.

22

Gambar 18. Migrasi tanpa penerapan dekonvolusi, bingkai merah merupakan refleksi yang tidak kontinu

Gambar 19. Migrasi dengan penerapan dekonvolusi spiking, bingkai merah menunjukkan multiple pada penampang seismik

Gambar 20. Migrasi dengan penerapan dekonvolusi prediktif, bingkai merah menunjukkan multiple yang tidak teratenuasi

23

Dokumen terkait