• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praprosesing Analisis Proses Demultiplexing

Tahapan demultiplexing menghasilkan data mentahseismik lintasan TBNE 07. Data mentah yang dihasilkan merupakan suatu rekaman seismik yang terdiri dari sinyal yang diinginkan serta sinyal yang tak diinginkan. Data mentah yang diperoleh ditampilkan sesuai dengan urutan field file identification number, yang dimulai dari FFID 100 sampai FFID 2454. Dalam satu FFID akuisisi data seismik di Perairan Bone kali ini, terdiri dari 48 saluran. Data mentah pada Gambar 11 menunjukan kumpulan jejak seismik yang terdiri atas sinyal serta derau.

(a) (b)

Gambar 10. Spesifikasi parameter Migrasi Kirchhoff pada migrasi sebelum penumpukan (a) dan migrasi setelah penumpukan (b)

Gambar 11. Tampilan data mentah pada source 1 hingga 5

Derau

10

Jejak seismik ditampilkan dalam domain amplitudo dengan panjang perekaman two way travel time (TWT) selama 8000 ms. Pada tampilan jejak seismik di atas terlihat bahwa peristiwa refleksi ditandai oleh nilai amplitudo gelombang yang besar. Pada kelompok jejak source 1 hingga 5, sinyal refleksi dimulai dengan pola kontuinitas amplitudo secara hiperbolik pada TWT sebesar 800 ms. Sinyal gelombang terlihat lebih tebal dan terhubung secara teratur. Sinyal gelombang ini merupakan sinyal yang dianggap hasil proses refleksi yang sempurna pada proses perekaman di lapangan.

Penampang yang telah di-demultiplexing memperlihatkan amplitudo yang kuat pada bagian awal dari peristiwa refleksi. Hal ini ditunjukan dengan koncah yang berwarna hitam tebal dan amplitudo yang relatif lemah terdapat pada bagian bawah dari data rekaman seismik. Perubahan amplitudo pada data seismik mencerminkan suatu bidang batas antar lapisan batuan sehingga bisa dikatakan bahwa data seismik adalah atribut dari suatu bidang batas lapisan batuan (Tabah 2010).

Gelombang seismik yang terekam pertama kali tercatat pada waktu 800 ms. Gelombang ini merupakan gelombang yang tercepat sampai ke penerima atau yang biasa disebut dengan first break. Berdasarkan jejak seismik yang telah tergambar pada tampilan data mentah, dapat diketahui dasar laut dari perairan yang direkam. Gambar 11 memperlihatkan bahwa dasar laut ditunjukan pada waktu 800 ms. Pada kedalaman setelah 3200 ms gelombang mulai mengalami atenuasi. Hal ini terjadi akibat energi gelombang telah mengalami penyerapan oleh lapisan diatasnya dan mengalami divergensi muka gelombang (Priyono 2006).

Dalam survei seismik refleksi, gelombang refleksi yang berisi sinyal data yaitu sederetan spike TWT yang berkaitan dengan reflektor di dalam bumilah yang dikehendaki sedangkan data lainnya diupayakan untuk diminimalkan. Pada kenyataannya dalam jejak seismik tersebut juga terdapat derau. Pada tampilan jejak data mentah (Gambar 12), derau pada jejak seismik terlihat sesudah serta sebelum peristiwa refleksi pada dasar perairan. Derau sebelum peristiwa refleksi terjadi merupakan gelombang langsung yang terekam oleh penerima sebelum gelombang mengalami refleksi oleh dasar laut. Derau sebelum peristiwa refleksi ini terlihat pada TWT 80 ms hingga 500 ms. Derau acak pada data mentah lintasan TBNE 07 tidak membentuk pola tertentu, tidak koheren dan umumnya akan menurunkan kualitas rekaman seismik.

Derau sesudah peristiwa refleksi merupakan multiple yang merupakan refleksi sekunder akibat gelombang yang terperangkap. Multiple termasuk kedalam derau koheren yang memiliki pola tertentu (Gambar 12). Hal ini dapat memungkinkan untuk memprediksi bagaimana derau ini terlihat pada jejak berikutnya. Ciri-ciri dari multiple ialah waktu terjadi peristiwa ini pada penampang sama dengan dua kali waktu first break reflektor pertama, serta pola dari multiple menyerupai pola dari permukaan reflektor.

11

Gambar 13 menunjukan tampilan wiggle trace seismik dalam jejak seismik komposit yang telah diperbesar, sehingga terlihat jelas bentuk koncah seismik. Terdapat dua properti penting dari sebuah koncah, yaitu polaritas dan fase. Koncah yang terbentuk termasuk koncah dengan polaritas terbalik. Pada koncah jenis ini, kenaikan impedansi akustik akan dilambangkan dengan puncak gelombang menghadap ke kanan pada jejak seismik (Konvensi SEG, Yilmaz, 2001).

Analisis Proses Penugasan Geometri

Pada tahapan geometri, parameter lapangan dimasukan ke dalam data set yang kita miliki pada lembatang sebar geometri laut 2D (Tabel 1).

Gambar 13. Bentuk koncah pada jejak seismik FFID 102 yang telah diperbesar. Sumbu y menyatakan waktu (ms), sumbu x menyatakan saluran. Gambar 12. Derau pada FFID 441 (A) derau sebelum peristiwa refleksi (B)

derau sesudah peristiwa refleksi

Channel T ime s (m s) A B

12

Tabel 1. Parameter pengolahan untuk lintasan TBNE 07 digunakan untuk menggambarkan urutan pengolahan dasar.

Parameter Nilai Selang Penembakan 25 m Kelompok Selang 12.5 m Saluran terdekat 13 Saluran terjauh 48 Selang saluran 12.5 m Offset minimum 100 m Kedalaman sumber 4 m Kedalaman penerima 8 m Jarak antar CDP 6.25 m Jumlah tembakan 2545 Azimut lintasan 270

Tahapan penugasan geometri bertujuan untuk memasukan parameter yang dilakukan atau yang didapat dilapangan dan disesuaikan dengan informasi data mentah yang kita miliki, yaitu data mentah yang telah di-demultiplexing.

Analisis Proses Penyuntingan

Proses Penyuntingan terdiri dari tiga tahapan yaitu top mute, kill trace dan band pass. Pada Gambar 14 dapat kita lihat bahwa jejak seismik pada source 141-150 berisikan informasi sinyal juga derau. Derau terdapat dalam jejak seismik pada waktu 0-500 ms, derau ini terjadi sebelum refleksi pada reflektor yaitu lapisan bumi dan berisi gelombang langsung yang hanya membawa informasi berupa efek serapan sinyal seismik dalam medium air laut yang ikut terekam. Gelombang ini akan dipotong dan tidak diikutsertakan dalam pemrosesan data selanjutnya karena tidak mengandung informasi yang kita inginkan. Top mute dilakukan dengan membuat garis pada bagian atas gelombang refleksi primer (picking line).

Gambar 14. Top mute pada source 141 hingga 150.

13 Killing trace dilakukan saat amplitudo pada jejak seismik berisi sinyal yang buruk dan dirasa tidak bisa untuk dilakukan proses penyuntingan. Gambar 15a menunjukan data rekaman seismik pada source 521. Pada jejak seismik terdapat peristiwa refleksi yang berbeda dengan jejak lainnya. Hal ini terjadi akibat kesalahan pada kompresor, sehingga data yang didapat mengandung dua kali tembakan atau lebih. Jejak ini harus dihapus dengan memilih semua jejak agar tidak merusak data seismik yang akan diolah (Gambar 15b). Gambar 15c menunjukan jejak seismik hasil dari proses kill trace dan akan masuk ke tahapan bandpass-gate.

Tahapan terakhir pada proses penyuntingan yaitu bandpass-gate. Pada Gambar 16 terlihat garis hijau yang menunjukan pemilihan sinyal pada puncak dan jugadasar dari refleksi seismik.

0

(a) (b) (c)

Gambar 15. Kill trace pada source 521 (a) pada jejak seismik source 521 terdapat multiple yang harus dihilangkan (b) dilakukan proses kill trace dengan memilih jejak yang akan dihapus (c) hasil dari proses kill trace.

Gambar 16. Proses band pass dengan melakukan pemilihan batas sinyal pada puncak dan dasar refleksi

Batas sinyal puncak

14

Pemilihan sinyal pada puncak dilakukan setelah first break, sedangkan sinyal dasar dilakukan pada batas waktu yang ditetapkan, yang bertujuan untuk meredam sinyal yang telah teratenuasi. Prinsip utama dari tahap muting yaitu memotong sebagian sinyal yang tidak kita inginkan.

Hasil dari proses penyuntingan ialah penampang dengan derau serta multiple yang telah tereduksi (Gambar 17). Proses penyuntingan tidak akan mempengaruhi hasil akhir penampang seismik karena pada saat proses penumpukan terdapat berpuluh-puluh jejak seismik yang dijumlahkan. Kehilangan satu atau dua jejak tidak akan banyak merubah hasil penumpukan.

Spektral Analisis

Analisis Spektral Interaktif menghitung dan menampilkan daya, fase dan mengestimasi FX spektrum. Gambar 18 merupakan spectral interaktif dari data seismik lintasan TBNE 07 yang terdiri atas data serta derau. Gambar 18a menunjukan interaktif spektral analisis untuk average power yang menunjukan hubungan antara frekuensi dengan dBPower. Berdasarkan Gambar 18a dapat kita lihat pada frekuensi 0.501 Hz memiliki daya sebesar – 9,43 dBPower. Pada frekuensi 242 Hz menunjukan nilai daya sebesar – 108 dBPower. Hal ini menunjukan bahwa semakin besar frekuensi maka terjadi penurunan daya.

Gambar 18b merupakan interaktif spketral analisis untuk average phase yang menunjukan hubungan antara frekuensi dengan fase. Berdasarkan gambar 18b dapat kita lihat pada frekuensi maksimal yaitu 201,924 Hz memiliki fase sebesar -73,739 radian. Pada frekuensi minimum yaitu 162.838 hz memiliki fase sebesar -38.024 radian. Hal ini menunjukan bahwa semakin besar frekuensi, maka terjadi peningkatan fase.

Gambar 17. Hasil akhir dari proses penyuntingan dimana derau serta multiple pada jejak telah direduksi.

15

Analisis Proses Dekonvolusi

Data luaran dari proses penyuntingan, masih terdapat multiple atau “ringing” yang dapat mengganggu interpretasi penampang seismik, untuk itu dilakukan proses lanjutan yaitu dekonvolusi. Dekonvolusi pada data lintasan TBNE 07 di perairan Teluk Bone dilakukan dalam 2 tipe yaitu spike serta prediktif. Masukan pada proses dekonvolusi merupakan hasil dari proses penugasan geometri dengan memasukan parameter-parameter proses penyuntingan yaitu top mute, kill trace dan bandpass-gate.

Salah satu parameter yang mempengaruhi proses dekonvolusi ialah panjang operator. Panjang operator menggambarkan panjang koncah dan menentukan berapa banyak jumlah autokorelasi yang digunakan. Perbedaan penentuan nilai pada panjang operator akan menyebabkan perbedaan efek yang dihasilkan dalam dekonvolusi. Pada proses dekonvolusi kali ini, baik prediktif maupun spiking, digunakan panjang operator sebesar 80 ms. Menurut Tonnta Energy Limited (2010) panjang operator yang besarnya kurang dari 100 ms umumnya akan menyebabkan kompresi pada koncah.

Diasumsikan bahwa rekaman seismik terdiri atas koncah dengan bentuk yang konstan, namun berisikan kekuatan yang sembarang. Dekonvolusi prediktif, berusaha untuk mendapatkan estimasi bentuk koncah konstan. Dengan memberikan input x(t) kita berusaha untuk mengetahui nilainya pada waktu tertentu. Maka dari itu pada dekonvolusi prediktif, kita memerlukan suatu nilai untuk memprediksi atau dikenal dengan operator prediction distance yang merupakan besaran panjang dalam satuan ms. Pada penelitian ini, digunakan nilai operator prediksi sebesar 35 ms.

Kestabilan dalam komputasi numerik dapat diperoleh menggunakan prewhitening yang merupakan suatu pembobotan matrix pada proses dekonvolusi dengan menambahkan sebuah konstanta pada fungsi autokorelasi, dengan rentang nilai konstanta antara 0 sampai dengan 1. Dalam dekonvolusi spiking maupun prediktif digunakan nilai prewhitening sebesar 0.1, nilai ini diterapkan dalam satuan persen (%).

Dalam alur kerja dekonvolusi, diaplikasikan juga suatu filter frekuensi untuk setiap masukan jejak. Jenis filter yang digunakan single band pass filter yaitu filter tunggal yang diaplikasikan pada semua jejak dengan menggunakan 4 nilai frekuensi 8 -12, 5-40-50 Hz. Dalam penelitiannya yang berjudul Application

Gambar 18. Interaktif Spektral Analisis metode simple. (a) Average Power (b) Average Phase

16

of Spiking and Predictive Deconvolution to Short Record Length Reflection Data, Williams (2010) menjelaskan bahwa menerapkan filter sebelum dekonvolusi, memberikan hasil yang lebih baik daripada tidak menggunakan filter.

Dekonvolusi spiking dan prediktif ditampilkan lewat penampang brute stack. Penampang brutestack pada Gambar 19 dan 20 merupakan penampang sementara untuk melihat sejauh mana kualitas data seismik yang baru diperoleh dari sebuah akuisisi atau sekedar mendapatkan gambaran awal kondisi bawah permukaan. Gambar 19 menunjukan penampang brutestack dari dekonvolusi prediktif. Pada penampang dapat terlihat proses ini sudah dapat menghasilkan penampang seismik dengan baik, dimana reflektor dapat terlihat. Penampang hasil dekonvolusi spiking (Gambar 20) juga memperlihatkan hasil yang sama.

Hasil kedua penampang dekonvolusi terdapat efek bowtie (kotak merah) yang dapat kita lihat dalam kotak merah. Efek ini dihasilkan oleh bentuk dasar geologi berupa cekungan, akibat dari gelombang seismik yang terdifraksi. Gambar brutestack untuk spiking dan prediktif (gambar 19 dan 20) didapat peristiwa berupa patahan (kotak kuning) yang terdapat pada TWT 2500 ms hingga 6000 ms, namun karena brutestack ini merupakan penampang yang masih bersifat sementara, maka belum dapat kita pastikan apakah peristiwa ini ialah benar suatu

Gambar 19. Penampang brutestack untuk dekonvolusi prediktif

Gambar 20. Penampang brutestack untuk dekonvolusi spiking Keterangan :

17 kondisi geologi sesar atau akibat pencitraan yang belum baik. Untuk itu diperlukan pengolahan lebih lanjut untuk mengetahui fenomena ini.

Penampang seismik yang diperoleh dari kedua proses dekonvolusi diatas mulai menunjukan struktur geologi yang baik, namun hasil menunjukan bahwa dekonvolusi prediktif lebih baik dibanding spiking. Penampang seismik pada dekonvolusi prediktif menunjukan kekontinuitasan lapisan yang lebih jelas dibanding pada dekonvolusi spiking (kotak hitam), selain itu dekonvolusi prediktif lebih unggul dalam mengatasi derau yang terdapat dalam data dibanding dekonvolusi spiking.

Penelitian Bestari (2012) menunjukan tampilan wiggle trace dari luaran dekonvolusi prediktif memberikan hasil yang lebih bersih dibanding luaran dekonvolusi spiking. Hal ini terjadi karenaproses dekonvolusi prediktif mencoba untuk memperkirakan dan kemudian menghapus bagian-bagian yang dapat diprediksi dari jejak seismik. Penggunaan jenis dekonvolusi pada pengolahan data seismik, disesuaikan dengan tujuan pengolahan data. Penerapan dekonvolusi untuk mengatasi multiple periode pendek jenis prediktif lebih baik dibandingkan dengan spiking, namun untuk meningkatkan resolusi, jenis spiking lebih baik dibandingkan prediktif. Maka dari itu pada proses selanjutnya yaitu analisis kecepatan digunakan data hasil dari proses dekonvolusi prediktif.

Prosesing Analisis Proses Analisis Kecapatan

Analisis kecepatan merupakan bagian paling penting dan sensitif dari pengolahan data seismik. Untuk menerapkan koreksi NMO dan migrasi Kirchhoff dibutuhkan tabel kecepatan yang kita dapat dari analisis kecepatan (Tabel 2).

Tabel 2. Nilai kecepatan pada proses pemilihan kecepatan pada CDP 123, 501 dan 7001 CDP Waktu (ms) Kecepatan RMS (m/s) 123 747.9 1506.6 123 1191.7 1840.1 123 2481.4 2704.7 501 872.7 1535.0 501 1427.4 1942.7 501 2301.1 2524.7 7001 3050.0 2164.4 7001 3979.2 2744.9 7001 5066.7 3377.2

Tabel 2 menunjukan kecepatan root mean square yang diperoleh pada setiap kelompok CDP dalam proses pemilihan kecepatan dari data seismik lintasan TBNE 07 Perairan Teluk Bone. Berdasarkan tabel di atas, dapat ditunjukan bahwa kecepatan root mean square bertambah besar seiring bertambahnya kecepatan seismik. Disimpulkan pula bahwa kecepatan bertambah besar dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa medium bumi

18

dianggap berlapis-lapis dan tiap lapisan menjalarkan gelombang seismik dengan kecepatan yang berbeda. Kecepatan akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman ditimbulkan juga karena adanya efek kompaksi dan diagenesa, sedangkan frekuensi akan berkurang akibat atenuasi. Oleh karena itu dengan bertambahnya kedalaman, resolusi vertikal dan horizontal akan berkurang, sedangkan efek interferensi akan semakin besar.

Analisis kecepatan pada penelitian ini menggunakan metode pemilihan kecepatan. Data seismik yang diolah dalam proses ini ialah data-data seismik yang tergabung dalam kelompok CDP. Satu kumpulan CDP berisi informasi waktu tempuh gelombang seismik yang dipantulkan oleh satu titik pantul yang sama. Dapat terlihat pada Gambar 21, titik dipilih pada amplitudo terkuat yang ditandai dengan warna merah pada semblance panel. Dari hasil pemilihan titik kecepatan akan terbentuk kurva yang membentuk suatu pola hiperbolik (Garis merah dan putih). Keakuratan model kecepatan root mean square yang dihasilkan dari proses ini akan sangat mempengaruhi hasil penumpukan dari migrasi.

Pada picking panel Gambar 21a dapat terihat bahwa semakin dalam, maka bentuk koncah seismik akan semakin tipis dan cenderung mendekati bentuk garis lurus. Hal ini merupakan indikasi dari pengurangan energi serta bukti bahwa semakin dalam, maka sedimen pembentuk muka bumi semakin kompak dan keras sehingga sulit untuk ditembus oleh gelombang seismik yang merupakan gelombang elastis yang memiliki batas kemampuan penetrasi gelombang. Gambar 21b menunjukan volume viewer yang menggambarkan profil kecepatan dari data seismik dan digunakan sebagai kontrol kualitas hasil dari analisis kecepatan

Tahapan pemilihan kecepatan ini, memerlukan ketelitian yang tinggi karena akan sangat mempengaruhi proses pengolahan selanjutnya (NMO, migrasi). Pada tahapan ini dipilih titik-titik yang tepat dianggap sebagai reflektor yang memiliki kecepatan yang tinggi. Titik-titik reflektor ini dapat menjadi acuan untuk membedakan antara suatu sedimen dengan sedimen yang lain. Kesulitan pada tahapan ini yaitu tidak jarang terdapat multiple yang bentuknya menyerupai reflektor. Setelah mendapat tabel kecepatan dari proses analisis kecepatan, data seismik kemudian masuk dalam tahapan dip moveout dan binning.

(a) (b)

Gambar 21. (a) Tampilan proses pemilihan titik pada analisis kecepatan spiking deconvolution pada CDP gathers 9001 (b) Volume viewer untuk kontrol kualitas hasil analisis kecepatan.

19

Analisis Proses Penumpukan

Seismik refleksi umumnya lemah, dan harus mengalami penguatan dengan menggunakan prosedur penjumlahan sinyal atau penumpukan. Dalam proses ini jejak seismik yang telah diolah dijumlahkan dalam satu CDP, tujuannya untuk mempertinggi rasio sinyal terjadap derau. Sebelum memasuki tahap penumpukan masing-masing kelompok CDP dikoreksi dari efek perbedaan jarak offset yang disebut normal moveout (NMO). Koreksi NMO membutuhkan suatu model kecepatan yang kita dapat dari proses analisis kecepatan.

Hasil penampang proses penumpukan (stacked section) pada Gambar 22 memperlihatkan kondisi geologi dari daerah penelitian. Jika dibandingkan dengan brutestack (Gambar 19 dan 20) penampang hasil proses penumpukan menunjukan kualitas lebih baik dari segi kekontinuitasan lapisan, namun proses ini belum efektif dalam menekan multiple dan difraksi. Terlihat dalam penampang masih terdapat efek bowtie (kotak merah), karena sinyal belum berada pada posisi sebenarnya. Pada penampang ini juga masih terdapat peristiwa patahan (kotak kuning) yang terdapat pada penampang brutestack.

Analisis Proses Migrasi

Ada banyak alasan kenapa aplikasi migrasi pada data seismik digunakan. Dua hal yang cukup penting berhubungan dengan permasalahan pencitraan dan posisi(Triarto 2010).Dalam penelitian ini dilakukan migrasi dalam domain waktu yang dilakukan sebelum dan sesudah tahapan penumpukan. Pascapenumpukan mengacu pada migrasi dari suatu data yang telah ditumpuk, satu jejak per bin untuk data seismik. Proses ini jauh lebih murah daripada migrasi prapenumpukan, tetapi juga kurang akurat terutama di daerah yang memiliki pola struktural yang kompleks (Liner 2010).

Prapenumpukan mengacu pada migrasi data seismik sebelum ditumpuk yang berisi banyak jejak per bin. Setiap blip amplitudo pada setiap jejak prapenumpukan diproses, memerlukan upaya komputasi yang sangat besar. Hal

Gambar 22. Penampang stacked section. Keterangan :

20

ini jauh lebih mahal daripada migrasi pascapenumpukan. Masukan data pada migrasi prapenumpukan berbeda dengan masukan data pada migrasi pascapenumpukan.

Proses migrasi waktu prapenumpukan dan pascapenumpukan kali ini menggunakan metode penjumlahan Kirchhoff. Metode Kirchhoff sangat umum dan populer digunakan dalam pengolahan data seismik. Dalam penerapan Migrasi Kirchhoff, ada beberapa parameter yang sangat berpengaruh dalam penentuan keberhasilan tahapan pengolahan ini diantaranya model kecepatan yang digunakan, lebar tingkap, kemiringam maksimum yang akan dimigrasi dan frekuensi maksimum yang digunakan dalam migrasi. Atribut seismik seperti amplitudo, frekuensi dan kontinuitas sangat sensitif terhadap parameter tersebut,

untuk itu nilai optimum harus diterapkan pada setiap parameter (Gazar 2011). Model kecepatan pada migrasi Kirchhoff menggunakan model kecepatan

yang diperoleh dari salah satu tahap pengolahan data seismik yaitu analisis kecepatan. Kecepatan yang didapat dari proses ini sangat mempengaruhi hasil dari migrasi. Jika model kecepatan yang digunakan untuk migrasi terlalu besar atau terlalu kecil, maka data yang seharusnya berupa titik akan berubah menjadi seperti setengah lingkaran overmigrated atau undermigrated, jika hal ini terjadi akan berpengaruh pada hasil penampang seismik sehingga penampang tidak merepresentasikan keadaan geologi bawah laut yang sebenarnya.

Frekuensi yang digunakan dalam migrasi ini yaitu sebesar 80 Hz, nilai frekuensi ini menyatakan frekuensi maksimum yang digunakan dalam data. Frekuensi dengan nilai diatas batas yang telah ditentukan pada parameter ini, tidak ikut termigrasi. Besar dari frekuensi data seismik bergantung dari kedalaman suatu peristiwa seismik. Semakin dalam suatu peristiwa seismik maka nilai frekuensinya semakin kecil. Frekuensi yang digunakan dalam metode eksplorasi seismik di darat akan berbeda dengan frekuensi ekplorasi seismik dilaut.

Salah satu parameter penting dalam implementasi dari Migrasi Kirchhoff yaitu lebar tingkap (Swisi 2009). Lebar tingkap migrasi yang digunakan yaitu sebesar 5000 m, nilai ini menyatakan jarak horisontal maksimum dimana energi dapat bergerak dalam migrasi. Jarak ini menentukan lebar dari waktu tempuh di sebelah kiri dan kanan dari permukaan yang diberikan. Dalam menentukan nilai tingkap, kita harus memilih nilai tingkap optimum untuk dipakai didalam migrasi pada suatu data hasil penumpukan. Alaei (2005) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa menerapkan lebar tingkap lebih dari 5000 m akan menghasilkan pencitraan yang lebih baik pada struktur geologi curam dan terjal.

Proses migrasi waktu pascapenumpukan kali ini menggunakan kemiringan maksimum sebesar 180. Nilai ini sangat berkaitan dengan kemiringan reflektor yang kita miliki dalam hasil rekaman seismik. Nilai kemiringan akan melengkapi penentuan nilai lebar tingkap. Dengan membatasi nilai kemiringan kita akan turut membatasi derau yang akan ikut dimigrasi dan mengurangi waktu dari proses Migrasi Kirchhoff.

Gambar 23 memperlihatkan perbedaan hasil penampang seismik yang belum dimigrasi dan yang telah mengalami proses migrasi. Gambar 23a menunjukan penampang hasil penumpukan dimana terdapat efek bowtie akibat peristiwa difraksi. Gambar 23b menunjukan penampang prose penumpukan yang telah dimigrasi menggunakan metode Kirchhoff dimana efek bowtie yang terlihat pada penampang hasil proses penumpukan berubah menjadi cekungan. Efek

21 bowtie telah hilang karena dalam migrasi, sinyal-sinyal seismik telah dipindahkan ke posisi sebenarnya.

Gambar 24 dan 25 menunjukan penampang hasil dari proses migrasi waktu prapenumpukan serta pascapenumpukan. Kedua penampang seismik sama-sama menunjukan reflektivitas penampang dengan penetrasi gelombang mencapai 7500 ms, dimana dari reflektivitas ini dapat menunjukan stratigrafi lapisan bumi pada data seismik lintasan TBNE 07. Penampang hasil migrasi baik prapenumpukan maupun pascapenumpukan semakin menajamkan posisi reflektor. Menurut Nusantara (2005) hal ini terjadi karena efek difraksi gelombang dan pengaruh pemantulan oleh lapisan miring telah dihilangkan, sehingga reflektor tersebut berada pada posisi yang sebenarnya.

Dokumen terkait